BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Keagenan

BAB II
 

LANDASAN TEORI

2.1

Teori Keagenan (Agency Theory)
Sebuah perusahaan dalam menjalankan kegiatannya umumnya melibatkan sebuah

perjanjian ataupun dalam bahasa bisnisnya adalah kontrak dan juga kerjasama. Kerja sama
dan kontrak ini dilakukan dengan melibatkan pihak lain seperti investor, manajer, pegawai,
supplier, penyedia modal, regulator atau pemerintah dimana dipastikan kerjasama akan
saling memberikan keuntungan untuk masing–masing pihak yang terlibat.
Dengan adanya sebuah kerjasama dan kontrak yang melibatkan dua pihak atau
lebih menempatkan salah satu pihak sebagai pemilik sumber daya (principal) dan pihak
lainnya sebagai pengelola sumber daya (agent). Dalam melakukan kerjasama pihak agent
ditugaskan oleh pihak principal untuk mengelola sumber daya dengan seefisien mungkin.
Dalam agency theory tujuan principal menunjuk agent sebagai pelaksana adalah agar
perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang
seefisien mungkin (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini diharapkan bisa terwujud karena

agent yang ditunjuk umumnya merupakan tenaga-tenaga yang profesional sehingga
memahami apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil dari principal.
Scott (2003) menyatakan terdapat dua jenis kontrak yang cukup penting berkaitan
dengan hubungan pihak principal – agent tersebut yaitu Lending Contract dan
Employment Contract. Lending Contract merupakan hubungan principal-agent dengan
kreditur sebagai pihak principal dan manajer sebagai pihak agent dimana dalam Lending
Contract pihak manajer harus mengelola dana dari pihak kreditur dengan baik agar tidak
memberikan kerugian bagi pihak kreditur. Sedangkan Employment Contract juga
merupakan hubungan principal–agent dengan pemegang saham sebagai pihak principal

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

dengan manajer perusahaan sebagai pihak agent yang disewa pemegang saham untuk
 

mengoperasikan perusahaan.
Dalam hubungan principal–agent ini tidak lepas dari timbulnya suatu konflik yang
disebabkan oleh situasi tertentu. Situasi yang dapat menyulut terjadinya konflik tersebut
dapat berupa perbedaan kepentingan antara pihak principal dengan pihak agent dan juga
karena asimetris informasi. Asimetris informasi dapat terjadi akibat adanya pemisahan

fungsi pengelola dengan fungsi kepemilikan dimana menyebabkan principal mengalami
kesulitan untuk memastikan bahwa manajer benar-benar telah berusaha dan bekerja untuk
dan atas nama principal (moral hazard), dan juga disebabkan oleh adanya adverse
selection yaitu manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi yang lebih
banyak daripada pihak lain. Dengan adanya situasi tersebut maka manajer yang memiliki
kepentingan yang berbeda dengan principal akan menggunakan kesempatan ini untuk
melakukan hal-hal yang bisa memaksimumkan kepentingannya, bukan kepentingan
principal.
Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan suatu masalah yang biasa disebut dengan
Agency problem. Agency problem tidak hanya terjadi pada pihak principal dan agent tapi
juga dapat terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas
pada perusahaan-perusahaan publik. Hal ini disebabkan karena kepemilikan perusahaanperusahaan tersebut sebagian besar dikendalikan oleh kepemilikan keluarga.
Menurut Arifin (2003) , kepemilikan keluarga dapat mengurangi agency problem
antara principal (pemegang saham) dengan agent (manajer) karena berkurangnya konflik
yang terjadi diantara mereka. Namun hal ini akan memunculkan agency problem yang
baru, yaitu masalah agensi antara pemegang saham mayoritas dengan minoritas, jika dalam
perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga tersebut terdapat kepemilikan minoritas.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007


Agency problem menimbulkan agency cost dimana menurut Jensen dan Meckling
 

(2003), agency cost adalah jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan
monitoring cost, bonding cost serta residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang
ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya
yang ditanggung oleh agent, dengan beban principal (yaitu laba menurun), untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk
kepentingan principal. Residual loss timbul dari kenyataan bahwa tindakan agent
kadangkala berbeda dari tindakan yang memaksimumkan kepentingan principal (Fitriasari,
2004).
Dengan menyadari bahwa Agency problem dapat menimbulkan agency cost maka
setiap kontrak dan kerjasama yang dilakukan antara pihak principal dengan pihak Agent
harus dapat dipastikan memiliki agency cost yang paling minim.

2.2

Corporate Governance
Konsep CG berdasarkan pada agency theory. Dengan adanya agency theory dan


Agency problem tersebut timbulah suatu konsep CG Mayer (1997) menyatakan bahwa CG
memiliki asosiasi dengan masalah mengenai hubungan pihak principal–agent dimana
keinginan dan tujuan dari investor (principal) dengan manajer (agent) berbeda, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu agency problem. eperti yang dinyatakan oleh
Starks dan Gillan (2006) “ The need for Corporate Governance arises from the potential
conflict of interest among participant in the corporate structure “. Sehingga Agency
Theory dan Agency problem merupakan inspirasi konsep CG.
Dalam bahasa Indonesia CG diterjemahkan sebgai tata kelola atau tata
pemerintahan perusahaan. Terdapat berbagai definisi yang menjelaskan tentang CG.
Monks dan Minow (2001) menyatakan CG merupakan tata kelola perusahaan yang

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah
 

dan kinerja perusahaan. The Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD, ) mendefinisikan CG sebagai berikut:

“Corporate Governance is the system by which business corporation are

directed and controlled. The CG structure specifies the distribution of
rightstand responsibilities among different participants in the corporation,
such as the board, the managers, shareholders and other stakeholders, and
spells out the rules and procedures for making decisions on corporate
affairs. By doing this, it also provides the structure through which the
company objectives are set, and the means of attaining those objectives and
monitoring performance”.

Selain definisi diatas Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
memiliki definisi CG adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara
pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak–hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
Tujuan Corporate Governance ialah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi para
stakeholders.
Sedangkan Surat Edaran No. S.106/M.PM P.BUMN/2000, tentang kebijakan
penerapan CG menyatakan bahwa Good Corporate Governance ( GCG ) diartikan sebagai
hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif yang bersumber dari
budaya perusahaan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi
perusahaan yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan perusahaan,


Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efektif dan efisien serta
 

pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.
Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
CG adalah sistem yang mengatur, mengelola dan mengawasi kegiatan perusahaan untuk
meningkatkan nilai perusahaan sekaligus sebagai bentuk perhatian terhadap stakeholders,
karyawan, kreditor, dan masyarakat. Penerapan CG yang baik (GCG) akan menjaga
keseimbangan antara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat serta menjauhkan
perusahaan dari pengelolaan yang buruk yang mengakibatkan perusahaan terkena masalah.
Berbagai penelitian yaitu antara lain Alijoyo (2002) mengatakan bahwa dengan
penerapan GCG maka masalah agency problem yang dapat menimbulkan agency cost
sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Khanchel (2007) dimana ketidak-efisienan dari CG akan menimbulkan tambahan agency
cost dan jika pasar mengestimasi adanya penambahan agency cost tersebut maka harga
saham perusahaan akan turun dan pastinya akan memberikan kerugian bagi perusahaan
tersebut. Oleh karena itu dengan pelaksanaan CG yang buruk juga akan memberikan

masalah kepada perusahaan secara finansial.
Perhatian dunia terhadap CG meningkat sejak perusahaan–perusahaan raksasa
terkemuka di dunia mengalami kejatuhan seperti Enron Corporation, dan WorldCom di
Amerika Serikat, HIH Insurance Company Ltd dan One-Tell Pty Ltd di Australia serta
Parmalat di Itali pada awal dekade 2000-an. Untuk Indonesia sendiri perhatian terhadap
CG meningkat akibat krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1998 yang berkembang
menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan. Kejatuhan perusahaan terkemuka dunia
dan juga krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan terjadi akibat
lemahnya dan inkonsistensi penerapan CG.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Melihat kenyataan tersebut maka CG merupakan suatu hal yang penting untuk
 

dipahami dan diterapkan dengan baik pada dunia bisnis di setiap negara. Menanggapi hal
tersebut para regulator baik di Indonesia maupun di luar Indonesia berbondong-bondong
mencipatakan peraturan demi meningkatkan penerapan GCG di setiap perusahaan. Pada
tahun 1999 OECD


mengeluarkan OECD principle of Corporate Governance untuk

negara–negara baik yang merupakan anggota OECD maupun yang bukan sebagai usaha
mereka untuk mengevaluasi dan memperbaiki hukum, institusi dan kerangka peraturan
demi menciptakan CG yang lebih baik (Khanchel, 2007). Pada tahun yang sama di
Indonesia pun dibentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)
yang pada tahun 2004 diganti menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
dengan Sub Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi berdasarkan keputusan Menko
Perekonomian No.KEP/49/M.EKON/11/2004. KNKG mengeluarkan pedoman GCG
sebagai acuan bagi setiap perusahaan di Indonesia untuk melaksanakan GCG.

2.2.1

Prinsip CG
Corporate Governance memiliki prinsip – prinsip yang diciptakan oleh OECD

yang diharapkan dapat digunakan sebagai acuan internasional oleh penguasa negara,
investor, perusahaan dan para stakeholders perusahaan, baik di negara-negara anggota
OECD maupun negara non anggota (Sutojo, dan Aldridge ,2005).
Prinsip–prinsip CG yang diterbitkan OECD itu mencakup hal berikut :

1) Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan / (The rights of
shareholders and key ownership functions).
Pemegang saham mempunyai hak–hak tertentu. OECD menyarankan hak–hak tersebut
dilindungi baik secara hukum maupun oleh manajemen perusahaan.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

2) Perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham / (The equitable treatment of
 

shareholders).
Perusahaan wajib menjamin perlakuan yang adil terhadap semua pemegang saham
perusahaan, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Dalam
kaitannya dengan perlakuan yang adil itu sebelum membeli saham yang akan
diperdagangakan di bursa efek, setiap investor berhak mendapatkan informasi tentang
hak dan perlindungan terhadap saham yang mereka beli.
3) Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan / ( The role of stakeholders)
OECD juga menyarankan adanya perlindungan hak dan kepentingan para anggota
stakeholders non pemegang saham. Hal itu disebabkan karena kerjasama para anggota
stakeholders dapat membantu keberhasilan operasi bisnis perusahaan.

4) Prinsip pengungkapan informasi perusahaan secara transaparan / (Disclosure and
transparency).
Mewajibkan adanya suatu pengungkapan informasi yang terbuka, akurat, tepat waktu,
jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut semua hal yang penting bagi kinerja
perusahaan seperti keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, eksposur risiko dan
mengenai kepemilikan dalam perusahaan.
5) Tanggung Jawab Dewan Pengurus / ( The responsbilities of the Board)
Memastikan bahwa manajemen mengelola perusahaan secara berhati-hati sesuai
dengan hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk menetapkan manajemen risiko,
pengendalian internal yang sesuai dan pertanggungjawaban kepada para stakeholders.
Agar prinsip – prinsip CG diatas digunakan sebagai acuan internasional, OECD
kerja keras dalam menyosialisasikannya ke seluruh dunia melalui pertemuan-pertemuan
antar negara OECD dan negara–negara non anggota. Kerja keras tersebut memberikan
hasil, dimana prinsip CG OECD telah dijadikan bahan acuan instansi pemerintah banyak

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

negara di dunia dalam mereformasi CG di negaranya dan prinsip–prinsip CG OECD juga
 


dijadikan international benchmark para investor, perusahaan dan stakeholders perusahaan
di berbagai negara di dunia ( Sutojo, dan Aldrige ,2005).
Namun dalam perkembangannya prinsip–prinsip CG OECD tidak diterima secara
utuh oleh seluruh dunia. Hal ini disebabkan dalam penerapan prinsip–prinsip CG disetiap
negara dipengaruhi banyak faktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor-faktor internal
dan eksternal tersebut menyebabkan pemerintah dan masyarakat bisnis di negara tertentu
tidak dapat begitu saja menerapkan prinsip–prinsip CG yang diterapkan di negara lain yang
sudah berhasil. Perusahaan di

negara berkembang di Asia tidak dapat begitu saja

mengadopsi prinsip–prinsip CG yang dapat diterapkan secara berhasil di Amerika Utara,
Australia, dan Eropa.
Di Indonesia sendiri terdapat prinsip – prinsip CG yang ditetapkan oleh KNKG
dimana prinsip–prinsip CG tersebut telah disesuaikan dengan faktor internal dan ekternal
perusahaan di Indonesia dengan prinsip CG OECD sebagai international benchmark.
Setiap perusahaan di Indonesia harus memastikan bahwa prinsip CG yang di tetapkan oleh
KNKG diterapkan pada setiap aspek bisnis di semua jajaran perusahaan. Prinsip–Prinsip
CG berdasarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia 2006 adalah
sebagai berikut :
1.

Transparansi
Untuk

menjaga

objektivitas

dalam

menjalankan

bisnis,

perusahaan

harus

menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh stakeholders. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan/UU, tetapi
juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham , kreditur,
dan pemangku kepentingan lainnya.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

2.
 

Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus di kelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan stakeholders lainnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3.

Tanggung Jawab
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan good
corporate citizen.

4.

Independensi
Untuk melancarkan pelaksanaan prinsip Good Corprate Governance ( GCG ),
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing–masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5.

Kewajaran dan Kesetaraan
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan stakeholderss lainnya berdasarkan prinsip
kewajaran dan kesetaraan.

2.2.2

Unsur CG
Unsur – unsur ( person in charge ) dalam CG yang baik terdiri dari:

1)

Pemegang Saham
Pemegang saham (shareholder) adalah individu atau institusi yang mempunyai
taruhan vital (vital stake) dalam perusahaan. CG harus melindungi hak–hak

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

pemegang saham, antara lain adalah mengamankan registrasi dari kepemilikan,
 

menyerahkan atau memindahkan saham, mendapatkan informasi yang relevan dan
memiliki hak suara dalam RUPS (Tunggal dan Tunggal ,2002).
2)

Komisaris dan Direksi
UU No 1/1995 mengenai perseroan terbatas menganut two board system yaitu
direksi dan komisaris dimana direksi sebagai pengurus dan komisaris sebagai
pengawas. Sedangkan di Amerika menganut single Board system yang disebut
Board of directors atau selanjutnya disingkat menjadi BOD. BOD merupakan
faktor sentral dalam CG karena hukum perseroan menempatkan tanggungjawab
legal perusahaan kepada BOD. Di Indonesia, faktor sentral merupakan tanggung
jawab dewan komisaris (Tunggal dan Tunggal ,2002).

3)

Komite Audit
Komite Audit didesain untuk membantu board dan individual director untuk
melaksanakan kewajiban mereka, terutama yang berhubungan dengan kontrol
internal perusahaan, pelaporan informasi keuangan, dan standar perilaku
perusahaan. Tujuan dari komite ini umumnya mencakup hal-hal berikut :


Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan.



Memastikan bahwa board membuat keputusan tentang kebijakan, praktek,
dan pengungkapan akuntansi.

4)



Meninjau kembali cakupan dan hasil dari audit internal dan eksternal.



Mengawai proses pelaporan akuntansi

Sekretaris Perusahaan
Pedoman CG dari KNKG menganjurkan perusahaan publik Indonesia mengangkat
seorang sekretaris perusahaan. Surat KEP-339/BEJ/07-2001 tanggal 21 Juli 2001
tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa poin C

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

menyatakan bahwa fungsi Sekretaris Perusahaan harus dilaksanakan oleh seorang
 

direktur perusahaan listing atau pejabat perusahaan listing yang ditunjuk khusus.
Tugas utama Sekretaris Perusahaan adalah menjaga perusahaan agar selalu
mematuhi ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengungkapan informasi
perusahaan secara transparan. Sekretaris perusahaan juga bertugas secara periodik
menyajikan data dan informasi yang bersangkutan dengan pelaksanaan tugas para
anggota Dewan Komisaris dan Direksi. Dan dalam melakukan tugasnya sehari–hari
sekretaris perusahan bertanggungjawab kepada direksi perusahaan.
5)

Manajer dan Karyawan
Manajer menempati posisi yang stratejik karena pengetahuan mereka dan
pengambilan keputusan dari hari ke hari. Manajer bertanggungjawab kepada
perusahaan dan pemegang saham. Manajer bertanggungjawab untuk kelangsungan
hidup ekonomis perusahaan, memperpanjang umur perusahaan ke masa depan
melalui inovasi, pengembangan manajemen, ekspansi pasar serta menyeimbangkan
permintaan dari seluruh kelompok dengan cara sedemikian rupa sehingga
perusahaan dapat mencapai tujuannya. Karyawan khususnya yang diwakili Serikat
Pekerja atau mereka yang memiliki saham dalam perusahaan dapat mempengaruhi
kebijakan tata kelola perusahaan tertentu (Tunggal dan Tunggal ,2002).

6)

Auditor Eksternal
Auditor eksternal bertanggung jawab memberikan opini/pendapat terhadap laporan
keuangan perusahaan. Laporan auditor independen adalah ekspresi dari opini
profesional

mereka

mengenai

laporan

keuangan.

Auditor

Independen

bertanggungjawab untuk menilai kewajaran pernyataan manajemen dalam laporan
keuangan perusahaan melalui laporan audit mereka (Tunggal dan Tunggal ,2002).

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

7)
 

Auditor Internal
Pada Juli 1999 The Institute of International Auditors mendefinisikan internal
auditing sebagai berikut :

“Internal auditing is an Independent, objective assurance and consulting activity
designed to add value and improve an organization’s operations. It helps an
organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined
approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control,
and governance process”

8)

Stakeholders lainnya ( pemerintah , Kreditor, dan lain – lain )
Pemerintah juga terkait dengan penerapan CG dimana pemerintah adalah sebagai
regulator yang menetapkan peraturan perundangan-undangan dan hukum si suatu
negara, sehingga dalam menerapkan CG di suatu negara harus disesuaikan dengan
hukum dan peraturan perundangn-undangan yang berlaku. Kreditor sebagai
stakeholders juga merupakan unsur CG sebab kreditor sebagai pemberi pinjaman
juga mempengaruhi kebijakan perusahaan (Tunggal dan Tunggal ,2005)
Dalam penerapan CG pada perusahaan akan melibatkan unsur – unsur di atas

dimana merupakan hal – hal yang membantu dalam penerapan CG yang baik Oleh karena
itu dalam implikasi penerapan sangat dibutuhkan peranan dari berbagai pihak di atas untuk
mewujudkan suatu GCG dalam sebuah perusahaan .

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

2.2.3
 

Tujuan dan Manfaat CG

2.2.3.1 Tujuan CG
Good Corporate Governance mempunyai lima macam tujuan utama (Sutojo dan
Aldridge, 2005). Tujuan pertama dan yang paling utama adalah Good Corporate
Governance memiliki peranan yang penting dalam membangun dan mempertahankan
integritas perusahaan dan mengontrol risiko timbulnya kecurangan (fraud) dalam sebuah
perusahaan, dan juga memberantas adanya manajemen yang buruk dan salah dalam sebuah
perusahaan sehingga perusahaan terhindar dari masalah baik finansial (financial
distressed) maupun non finansial yang merugikan perusahaan dan para stakeholders nya.
Tujuan Kedua adalah melindungi hak dan kepentingan pemegang saham. Tujuan
ketiga, melindungi hak dan kepentingan stakeholders lainnya non pemegang saham. tujuan
kedua dan ketiga ini dapat tercapai jika penerapan CG dilakukan dengan baik (Good
Corporate Governance). Berkaitan dengan tujuan pertama dimana dengan GCG berperan
dalam perusahaan akan menghindarkan perusahaan dari terkena masalah baik finansial
maupun non finansial, sehingga apabila perusahaan menerapkan GCG maka secara
otomatis segala hak dan kepentingan stakeholders pun terlindungi.
Tujuan keempat adalah meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham.
Pengelolaan perusahaan yang baik akibat GCG dapat meningkatkan kepercayaan para
investor untuk menanamkan dananya pada perusahaan sehingga akan lebih banyak investor
yang melakukan investasi dan pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan dari sisi
modal. Sebuah survei yang dilakukan oleh McKinsey (2002) menyatakan bahwa untuk
perusahaan yang telah menerapkan mekanisme GCG dipandang sebagai perusahaan yang
lebih bernilai daripada perusahaan yang belum menerapkan mekanisme tersebut dan
adanya GCG dalam sebuah perusahaan ternyata menjadi pertimbangan utama bagi para
investor dalam menetapkan keputusan investasinya. Fakta ini ditunjukkan dengan

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

kenyataan bahwa 75% dari para investor bersedia membayar premium terhadap harga
 

saham perusahaan yang telah menerapkan GCG.
Tujuan kelima adalah meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja BOD dan
manajemen perusahaan serta meningkatkan mutu hubungan BOD dengan manajemen
senior perusahaan. Dalam perusahaan yang menerapkan GCG, komisaris utama maupun
dewan komisaris secara kolektif maupun individual mempunyai pengetahuan yang dalam
tentang bidang usaha perusahaannya. Dengan demikian mereka dapat membimbing
anggota manajemen perusahaan secara lebih efektif. Selain itu dengan GCG para anggota
dewan komisaris mempunyai motivasi tinggi untuk mempertimbangkan faktor risiko dan
manfaat terbaik bagi perusahaannya atas setiap keputusan penting yang akan mereka
ambil. Mereka juga bersedia meluangkan waktu secukupnya untuk mempersiapkan diri
menghadiri rapat – rapat Dewan Pengurus.GCG mendorong para anggota dewan komisaris
dan manajemen perusahaan selalu mengetengahkan etika bisnis dan moral, ketentuan
hukum yang berlaku dan kepentingan masyarakat dalam setiap tindakan dan keputusan
penting mereka. Sehingga dengan GCG mutu dewan komisaris dan manajemen perusahaan
serta hubungan yang terjalin diantaranya menjadi lebih baik.

2.2.3.2 Manfaat CG
Corporate Governance yang baik diakui mambantu mengebalkan perusahaan dari
kondisi – kondisi yang tidak menguntungkan, dalam banyak hal CG yang baik telah
terbukti juga meningkatkan kinerja korporat sampai 30% di atas tingkat imbal hasil (rate of
return) yang normal. Penerapan CG memberikan banyak manfaat untuk negara,
stakeholderss perusahaan dan perusahaan itu sendiri.
Bagi negara penerapan GCG juga memiliki pengaruh. Dalam suatu negara di
mana mayoritas perusahaannya telah menerapkan GCG, maka pasar modal di

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

negara tersebut akan cenderung lebih diminati oleh investor global. Investor global
 

kini semakin selektif dalam memilih pilihan investasi, sehingga apabila mereka
melihat suatu negara belum baik penerapan GCG oleh perusahaan-perusahaan di
dalamnya, akan cenderung menghindar atau mengenakan risk premium yang cukup
besar apabila mereka bersedia berinvestasi di negara tersebut. Hal ini tentu akan
sangat mempengaruhi kelangsungan perekonomian suatu negara secara keseluruhan.
Suatu negara hampir selalu membutuhkan tambahan suntikan modal dari luar
negeri untuk bisa bertumbuh sesuai tingkat pertumbuhan yang diharapkannya. Oleh
karena itulah, penerapan GCG oleh perusahan-perusahaan di suatu negara akan
membantu masuknya investor global ke dalam negara tersebut. Selain itu, required
rate of return yang diharapkan oleh investor juga akan lebih rendah apabila
dibandingkan dengan required rate of return yang dituntut dari perusahaan di
negara yang belum menerapkan GCG.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, stakeholders perusahaan juga akan
menikmati dampak dari penerapan GCG oleh suatu perusahaan. Apabila suatu
perusahaan memang telah dengan sungguh-sungguh menerapkan GCG pada semua
tingkat di perusahaannya, maka kondisi ideal yang kita harapkan dapat diwujudkan
yakni, antara lain konsumen akan terjamin haknya untuk membeli barang dengan
nilai dan kualitas sesuai yang telah dijanjikan. Karyawan akan dilindungi haknya
oleh perusahaan, demikian pula rekan bisnis seperti pemasok dan distributor, yang
juga akan memperoleh kontrak kerja yang memang sesuai dan tidak dirugikan oleh
perusahaan. Selain itu, pihak regulator juga tidak akan dipusingkan dengan upayaupaya ilegal yang mungkin dilakukan perusahaan seperti membuat laporan pajak
yang menipu, uang suap, dan sebagainya.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Selain memberikan manfaat kepada negara dan stakeholders perusahaan,
 

penerapan GCG juga memberikan manfaat khususnya kepada perusahaan yang
menerapkan GCG tersebut. GCG seperti yang telah disebutkan sebelumnya dapat
menghindarkan perusahaan dari masalah baik keuangan maupun non keuangan
dengan menjamin pengelolaan perusahaan yang baik. Maka dengan pengelolaan
yang baik suatu perusahaan akan memiliki proses pengambilan keputusan yang lebih
baik, peningkatan efisiensi operasional perusahaan, peningkatan efektifitas
bimbingan Dewan Komisaris terhadap manajemen perusahaan, transparansi
pengungkapan laporan keuangan dan peningkatan pelayanan pada stakeholders
dimana kesemuanya itu akan berdampak pada peningkatan kinerja suatu
perusahaan. Hubungan GCG dengan kinerja ini telah diteliti oleh Klapper dan Love
(2002) dimana hasilnya menyatakan CG yang lebih baik mempunyai korelasi yang
tinggi dengan kinerja operasi (dilihat dari ROA, Gross Margin, dan ROE) serta
penilaian pasar yang lebih baik.
Selain memberkan manfaat terhadap peningkatan kinerja perusahaan, penerapan
GCG oleh sebuah perusahaan juga meningkatkan kepercayaan stakeholdersnya terutama
investor sehingga akan mudah dalam memperoleh dana pembiayaan dan dengan tingkat
bunga yang lebih murah dan tidak kaku karena faktor kepercayaan . Kepercayaan tidak
hanya didapatkan dari investor namun dengan pengelolaan yang baik kepercayaan juga
akan di dapatkan dari karyawan, pemerintah dan masyarakat. Dengan didapatkannya
kepercayaan dari berbagai pihak dimana membawa banyak keuntungan bagi perusahaan
pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.
Namun ada yang perlu digarisbawahi bahwa manfaat yang diterima satu
perusahaan dengan perusahaan lainnya tidaklah selalu sama. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Justice Owen (Commisioner of Australian Royal Commision, 2005) dalam satu

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

paragraf laporannya tentang hasil analisis kejhatuhan HIH Insurance Company Ltd (salah
 

satu perusahaan dunia yang jatuh disinyalir akibat CG yang buruk) bahwa manfaat optimal
CG tidak sama dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain bahkan pada perusahaan
publik sekalipun, hal ini disebabkan perbedaan faktor intern perusahaan, termasuk riwayat
hidup perusahaan, jenis usaha bsinis, resiko bisnis, struktur permodalan, dan
manajemennya. Namun demikian suatu hal yang dapat dijamin adalah bahwa GCG
memiliki peranan dalam pengelolaan perusahaan menjadi lebih baik sehingga perusahaan
akan terhindar dari masalah – masalah keuangan dan non keuangan yang dapat merugikan
perusahaan dan stakeholdersnya.

2.2.4 Penerapan CG di Indonesia
Untuk di Indonesia sendiri penerapan GCG pun terus digalakkan walaupun didalam
usaha tersebut tidak selalu berjalan lancar. Pada tahun 1999 penerapan konsep CG di dunia
usaha Indonesia masih sangat minim, hal ini dikaitkan dengan hasil survei yang dilakukan
oleh PricewaterhouseCoopers dimana Indonesia dinilai sebagai salah satu negara terburuk
dalam bidang standar-standar akuntansi, penaatan dan pertanggungjawaban terhadap para
pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses
kepengurusan perusahaan (Fitriasari, 2006).
Melihat kenyataan tersebut para regulator pun bertindak membentuk Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang mengeluarkan Pedoman Good
Corporate Governance yang pertama.
Dengan berjalannya waktu, pemerintah juga makin menyadari pentingnya
penerapan GCG di sektor publik sehingga pada bulan November 2004 pemerintah dengan
keputusan Menko bidang perekonomian telah menyetujui pembentukan Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Korporasi. Dengan dibentuknya KNKG maka KNKCG dinyatakan tidak berlaku lagi.
 

Pedoman GCG juga mengalami beberapa kali penyempurnaan yakni pada awal tahun 2004
dikeluarkan pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun Pedoman GCG
Perasuransian Indonesia dikeluarkan. Hal ini dilakukan agar penerapan GCG dapat
dilakukan secara merata pada semua jenis bisnis di Indonesia dengan harapan semua
perusahaan di Indonesia dapat dikelola dengan baik agar terhindar dari masalah finansial
maupun non finansial yang merugikan perusahaan dan stakeholdersnya.
Selain adanya berbagai regulasi yang mengatur penerapan CG dalam perusahaan,
dibutuhkan pula monitoring dari pihak eksternal terhadap manajemen perusahaan. Namun
proses monitoring penerapan CG tersebut bukanlah suatu yang mudah sebab memerlukan
biaya yang besar untuk mendapatkan informasi tentang penerapan CG pada perusahaan.
Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut kini telah digunakan pemeringkatan
penerapan CG yang umunya dalam bentuk Indeks. Indeks CG dapat memberikan
gambaran mengenai penerapan CG secara komprehensif pada perusahaan-erusahaan di
Indonesia. Penelitian tentang pemeringkatan CG pada perusahaan yang terdaftar lakukan
leh IICG tiap tahun sejak tahun 2001. Kemudian hal yang sama juga dilakukan oleh CLSA
(Credit Lyonnais Security Asia) pada tahun 2001. Pemeringkatan CG pada perusahaan
terbuka merupakan suatu usaha yang sulit karena masih kurangnya keterbukaan dari pihak
perusahaan.
Walaupun begitu adanya Indeks CG merupakan suatu hal yang penting, karena jika
dipublikasikan maka akan membantu pihak eksternal untuk memonitor manajemen
perusahaan. Arsjah (2005) menyatakan bahwa Indeks CG akan menurunkan biaya
keagenan sebab sangat tidak cost-effective jika pihak luar ingin mengetahui kondisi CG
pada perusahaan dalam waktu singkat dengan mencari sendiri informasi tersebut.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Pada tahun 2005 Arsjah membentuk suatu Indeks CG melalui kuesioner self 

assesment yang di isi oleh Sekretari Perusahaan dengan jumlah pertanyaan sebanyak 160
pertanyaan, kuesioner tersebut dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertanyaan yang
menyangkut kepentingan dan keterlibatan Pemegang Saham (48 butir), Dewan Komisaris
(67 butir), Direksi (35 butir) dan Stakeholderss lainnya (10 butir). Semakin tinggi nilai
indeks CG suatu perusahaan maka semakin baik penerapan prinsip-prinsip GCG pada
perusahaan tersebut. Dengan jumlah emiten yang mengembalikan kuesioner sebanyak 146
perusahaan dari total 339 emiten BEJ (43%), maka survei ini merupakan survei dengan
tingkat respons tertinggi dibanding survei-survei sejenis di BEJ. Sehingga Indeks CG
Arsjah pada tahun 2005 ini dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai
penerapan CG di Indonesia.
Kemudian Arsjah juga melakukan survei kedua terhadap para analis keuangan
untuk menggali opini mereka mengenai penerapan CG para emiten BEJ dan kedua indeks
CG yang dihasilkan terbukti memiliki korelasi yang positif dan signifikan.
Selain dapat memberikan informasi bagi pihak luar untuk memonitor manajemen
perusahaan, Indeks CG juga sering digunakan untuk penelitian mengenai penerapan CG
dan pengaruhnya. Penelitian yang dilakukan oleh Klapper dan Love (2002) mengaitkan
Indeks CG yang dihasilkan oleh CLSA 2001 dengan firm valuation. Black, Jang, Kim
(2003) juga menggunakan Indeks CG untuk melihat pengaruh CG terhadap kinerja
perusahaan di Korea. Untuk Indonesia penelitian yang menggunakan Indeks CG dilakukan
oleh Deni, Khomsiyah dan Rika (2005), dimana penelitiannya menggunakan Indeks CG
yang dihasilkan dari survei IICG tahun 2001 dan 2002 yang dikaitkan dengan kinerja.
Dengan begitu Indeks CG merupakan suatu informasi mengenai penerapan CG
pada perusahaan yang tidak hanya berguna untuk memonitor manajemen perusahaan tapi
juga digunakan untuk penelitian ilmiah. Penelitian ini juga akan menggunakan Indeks CG

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Arsjah 2005 dalam melihat penerapan CG terhadap kemungkinan perusahaan mengalami
 

financial distress.

2.3

Kesulitan Keuangan (Finansial Distress)
Perusahaan dalam menjalankan operasinya tidak lepas dari kemungkinan

mengalami masalah keuangan yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal
lingkungannya dimana akan mengarahkan perusahaan kepada suatu situasi yang disebut
dengan financial distress atau kesulitan keuangan. Wruck (1990) mendefinisikan kesulitan
keuangan atau financial distress sebagai situasi dimana arus kas operasi perusahaan tidak
cukup untuk memenuhi kewajiban jangka pendek perusahaan (seperti trade credit atau
interest expense), dan perusahaan terpaksa melakukan suatu tidakan koreksi. Selain
definisi diatas, terdapat beberapa definisi mengenai kesulitan keuangan. Ross et al (1996)
mengaitkan insolvency (ketidakmampuan memenuhi kontrak) dengan kesulitan keuangan
dan mendefinisikannya sebagai ketidakmampuan dalam melunasi kewajiban-kewajiban.
Emery, Finnerty dan Stowe (2004), mendefinisikan kesulitan keuangan sebagai
situasi dimana perusahaan memiliki masalah yang signifikan dalam membayar kewajiban–
kewajibannya ketika jatuh tempo. Terdapat berbagai istilah untuk mendefinisikan kesulitan
keuangan, sebagai berikut (Brigham dan Gapenski, 1996) :
o Economic Failure
Kegagalan Ekonomi sebuah perusahaan menandakan bahwa perusahaan tersebut tidak
memiliki pendapatan yang cukup untuk menutupi total biaya perusahaan, termasuk
biaya modal. Namun perusahaan yang gagal secara ekonomi dapat melanjutkan operasi
asalkan kreditor bersedia untuk menyediakan modal dan pemegang saham (pemilik)
bersedia menerima tingkat pengembalian dibawah nilai pasar.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

o Technical Insolvency
 

Perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajiban lancarnya saat jatuh tempo
bermakna perusahaan tersebut mengalami technical insolvency. Technical Insolvency
dapat hanya berlangsung secara sementara, yang mungkin hanya disebabkan oleh
masalah likuiditas perusahaan dimana dengan berjalannya waktu perusahaan dapat
menghasilkan kas untuk melunasi kewajibannya sehingga dapat bertahan dalam dunia
bisnis.
o Business Failure
Business Failure dinyatakan ketika perusahaan telah menghentikan operasinya dan
setelahnya terdapat kerugian resultan bagi kreditor.
o Insolvency in Bankruptcy
Jika nilai buku kewajiban totalnya lebih besar daripada nilai pasar aktiva totalnya,
maka perusahaan tersebut dikatakan Insolvency in bankruptcy. Pada umumnya
insolvency in bankruptcy merupakan tanda dari economic failure, dan berakhir pada
likuidasi perusahaan.
o Legal in Bankruptcy
Legal in bankruptcy berarti bangkrut secara hukum .Sebuah perusahaan menjadi
bangkrut secara hukum jika perusahaan telah mengajukan petisi bangkrut sesuai
hukum.

Sedangkan financial distress menurut wikipedia adalah sebagai berikut:
“Financial distress is a term in Corporate Finance used to indicate a condition
when promises to creditors of a company are broken or honored with difficulty.
Sometimes financial distress can lead to bankruptcy.”

Suatu perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan akan mengalami suatu
kerugian yang berkelanjutan seperti pembayaran bunga mulai terhambat, operasi

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

perusahaan mulai menyerap lebih banyak kas daripada menghasilkan kas dan net working
 

capital mungkin menjadi negatif dan pada akhirnya mengakibatkan penurunan kinerja
perusahaan dan kerugian tidak hanya bagi perusahaan tapi juga bagi para stakeholders
perusahaan.
Kesulitan keuangan merupakan suatu peringatan awal bahwa perusahaan memiliki
masalah. Pada umumnya perusahaan dengan hutang yang lebih banyak akan mengalami
kesulitan keuangan lebih awal daripada perusahaan dengan hutang yang sedikit. Namun,
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan lebih awal akan memiliki lebih banyak
waktu untuk reorganisasi dan pengaturan internal. Perusahaan dengan hutang yang sedikit
(low leverage) akan mengalami kesulitan keuangan pada waktu yang lebih lama, dan
dalam banyak kasus akan dipaksa untuk melikuidasi.
Terdapat berbagai faktor baik ekonomi maupun non ekonomi yang menyebabkan
terjadinya suatu kondisi kesulitan keuangan bagi perusahaan. Untuk faktor ekonomi ,
kesulitan keuangan dapat disebabkan oleh lemahnya industri dan lokasi yang buruk, dan
faktor keuangan termasuk terlalu banyak hutang dan kurangnya modal (Brigham dan
Gapenski, 1996). Dan untuk faktor non ekonomi dapat disebabkan oleh manajemen yang
lemah, ekspansi yang berlebihan, kompetisi yang ketat, terlalu banyak hutang, dan kontrak
yang kurang memihak (Emery et al, 2004). Pengelolaan perusahaan yang buruk
mengakibatkan keputusan yang diambil manajemen perusahaan seperti keputusan yang
berkaitan dengan ekonomi maupun keputusan ekspansi, kontrak,dan pembiayaan
perusahaan, menjadi buruk bagi perusahaan dan membawa perusahaan kepada masalah.
Pengelolaan perusahaan yang buruk dapat disebabkan oleh penerapan CG yang buruk.

Terdapat beberapa cara untuk menghadapi kesulitan keuangan (financial distress),
antara lain :

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

1. Menjual aktiva utama.
 

2. Merger dengan perusahaan lain.
3. Mengurangi pengeluaran modal untuk riset dan pengembangan.
4. Menerbitkan sekuritas baru.
5. Bernegosiasi dengan bank dan kreditor lain.
6. Menukar hutang dengan ekuitas.
7. Mengajukan bangkrut.
8. Reorganisasi (termasuk pembaharuan manajemen).
Cara (1), (2), dan (3) melibatkan aktiva perusahaan. Cara (4), (5), (6), dan (7)
melibatkan bagian kanan dari neraca dan merupakan contoh restrukturisasi keuangan
sedangkan cara (8) merupakan contoh restrukturisasi non keuangan (manajemen).

2.4 Regresi Logistik
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari penerapan CG pada
perusahaan terbuka terhadap kemungkinan suatu perusahaan mengalami kesulitan
keuangan atau tidak. Oleh karena itu teknik statistik yang akan digunakan pada penelitian
ini adalah Regresi Logistik.
Regresi Logistik atau yang juga disebut dengan model logit adalah salah satu dari
qualitative response regression models yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan
probabilitas terjadinya suatu peristiwa (Gujarati ,2002). Secara matematis, bentuk awal
dari model logit adalah sebagai berikut:

Pi = E (Y = 1 X i ) =

1

1+ e

−( β1 + β 2 X i )

(3.1)

Persamaan diatas disederhanakan menjadi fungsi distribusi logistik dengan
persamaan seperti dibawah ini:

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Pi =

 

1
eZ
=
1 + e −Zi 1 + e Z

; dimana Z i = β1 + β 2 X i

(3.2)

Jika Pi , merupakan probabilita terjadinya suatu peristiwa, dinyatakan melalui
persamaan (3.2), maka probabilita (1 − Pi ) atau tidak terjadinya suatu peristiwa adalah :

1 − Pi =

1
1 + eZi

(3.3)

Sehingga, persamaan dapat ditulis sebagai berikut :
Pi
1 + e Zi
= e Zi
=
− Zi
1 − Pi 1 + e

(3.4)

Jika natural log dari persamaan (3.4) digunakan maka didapatkan
⎛ P ⎞
Li = ln⎜ i ⎟ = Z i = β1 + β 2 X i
⎝ 1 − Pi ⎠

(3.5)

Persamaan (3.5) merupakan persamaan regresi logistik, dimana L disebut logit dan
juga merupakan bentuk model logit. Sedangkan, persamaan (3.4) merupakan odds ratio
terjadinya suatu peristiwa. Odds ratio adalah
Gujarati juga menyebutkan bahwa model ligit atau regresi logistik memiliki
beberapa karakteristik seperti dibawah ini:
1. Nilai P (probabilita terjadinya suatu peristiwa) bergerak pada level antara 0 dan 1,
maka nilai Logit akan bergerak pada level − ∞ sampai ∞ .
2. Nilai L – yaitu rasio antara probabilita terjadinya peristiwa terhadap probabilita tidak
terjadinya peristiwa, linier dengan parameter, namun P tidak.
3. Variabel dalam persamaan regresi logistik dapat ditambah sebanyak mungkin selama
didukung dengan teori-teori yang ada.
4. Jika L positif, artinya ketika persamaan regresi logistik meningkat, maka meningkat
pula kemungkinan P sama dengan 1 (artinya terjadinya suatu peristiwa), begitu pula
sebaliknya.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

5. Interpretasi dari model logit adalah sebagai berikut : β 2 , slope, adalah besarnya
 

perubahan L untuk setiap 1 unit perubahan X. β1 , intercept, adalah besarnya nilai L
jika seluruh variabel bebas bernilai 0.
6. Model logit mengasumsikan bahwa log dari odds ratio linier terhadap X.
Observasi umum yang dapat dilakukan pada model logit atau regresi logistik
adalah:
1. Terdapat Z statistik untuk menguji signifikansi suatu koefisien secara statistik.
2. Dalam binary regressand model, digunakan pseudo R2, yang mirip dengan R2, untuk
mengukur goodness of fit dari suatu model. Namun penting harus diperhatikan bahwa
dalam binary regressand model, goodness of fit merupakan prioritas kedua. Yang harus
diperhatikan pertama kali adalah tanda dan signifikansi koefisien regresi secara
statistik.
3. Kemudian terdapat likelihood ratio (LR) statistik yang mirip dengan f test pada model
regresi linier. LR statistik mengikuti ditribusi χ2 dengan derajat kebebasan (degree of
freedom) sama dengan jumlah variabel bebas.
Regresi Logistik merupakan suatu bentuk regresi spesial yang dirumuskan untuk
memprediksi dan menjelaskan variabel kategorikal binary (dua kelompok).

Regresi

Logistik secara langsung memprediksi probabilitas terjadinya suatu peristiwa. Regresi
Logistik memiliki keunggulan karena tidak terlalu terpengaruh ketika asumsi dasar,
khususnya normalitas variabel, tidak terpenuhi. Selain itu Regresi Logistik hanya dapat
memprediksi ukuran dua klasifikasi variabel depeden.

2.5

Penelitian – penelitian CG-Financial Distress Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menitikberatkan penelitiannya untuk
melihat pengaruh penerapan CG terhadap kemungkinan suatu perusahaan mengalami

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

financial distress atau kesulitan keuangan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas
 

mengenai pengaruh penerapan CG pada kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan
keuangan maka disajikan beberapa penelitian penting berikut ini, dimana semua penelitian
menggunakan teknik statistik Regresi Logitik.

2.5.1 Catherine M. Daily dan R. Dalton (1994)

Penelitian yang dilakukan oleh Daily dan Dalton menitikberatkan pada adanya
pengaruh penerapan CG yang dilihat dari dua aspek struktur governansi, yaitu komposisi
direksi dan struktur kepemimpinan dari direksi, sebagai faktor penjelas dari kebangkrutan
suatu perusahaan.
Dalam melakukan penelitiannya Daily dan Dalton menggunakan sampel 50
perusahaan yang mengalami kesulitan kebangkrutan dan 50 perusahaan sehat yang berada
pada industri yang sama. Proses pengambilan sampel ini dilakukan melalui dua tahap.
Tahap pertama dilakukan untuk mengidentifikasi 50 perusahaan publik yang mengajukan
bangkrut dilihat dari Predicast's F & S Index of Companies yang menyediakan informasi
tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah menentukan 50 perusahaan publik yang sehat
dengan kode klasifikasi standar, dan total volume penjualan, dan industri yang sama pada
tahun yang sama yaitu 1990 pada Ward's Business Directory of U.S. Private & Public
Companies yang menyediakan informasi tersebut.
Dua aspek struktur governansi yang dilihat pengaruhnya pada kebangkrutan dalam
penelitian ini adalah komposisi direksi dan struktur kepemimpinan dari direksi yaitu
jumlah direksi independen dan proporsinya pada board serta independensi dari CEO. Data
yang berkaitan dengan hal diatas didapatkan dari Standard and Poor's Register of
Corporations, Directors, and Executives. Kemudian selain variabel governansi sebagai
variable independen, Daily & Dalton juga menggunakan indikator finansial yang biasa

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

digunakan untuk meprediksi kebangkrutan dan ukuran perusahaan sebagai variable
 

kontrol. Indikator finansial yang digunakan adalah rasio profitabilitas, likuiditas, dan
leverage serta ukuran perusahaan dilihat dari total aset perusahaan dimana semua data
didapatkan melalui laporan tahunan setiap perusahaan.
Penelitian mereka menyimpulkan bahwa memang terdapat hubungan yang
signifikan antara komposisi direksi dan struktur kepemimpinan direksi tersebut dengan
kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan. Perusahaan yang bangkrut cenderung
memiliki struktur kepemimpinan direksi yang dualitas tidak tersentralisasi dan komposisi
direksi independen yang sedikit. Penelitian ini dilakukan dengan periode 5 tahun dan 3
tahun sebelum kebangkrutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan CG dalam
penelitian ini yaitu komposisi direksi dan struktur kepemimpinan direksi memiliki
hubungan yang signifikan dengan kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan
dilihat pada periode 5 tahun dan 3 tahun sebelum kebangkrutan terjadi.

2.5.2

Fathi Elloumi , Jean-Pierre Gueyie ( 2001)

Penelitian yang dilakukan oleh Elloumi dan Gueyie berusaha melihat hubungan
antara karakteristik CG dengan status sebuah perusahaan sebagai financially distressed
firms (perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan). Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah 46 perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dengan 46
perusahaan yang sehat secara keuangan.
Karakteristik CG yang diteliti disini adalah komposisi dari Board Of Directors,
kepemilikan directors baik diluar maupun di dalam perusahaan serta perputaran Chief
Executives Officer (CEO). Penelitian ini juga menyertakan indikator keuangan sebagai
variabel pengendali untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengani pengaruh
karakteristik CG terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan.

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

Dengan alat uji statistik logit regression analysis maka didapatkan kesimpulan
 

bahwa komposisi dari Board of Directors dalam kasus ini karena merupakan negara yang
menganut sistem One Single Board maka yang dimaksud adalah komisaris, memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan
keuangan. Penelitian ini juga menambahkan bahwa kepemilikan dewan baik dalam
perusahaan maupun diluar perusahaan mempengaruhi kemungkinan sebuah perusahaan
mengalami kesulitan keuangan. Selain itu dinyatakan pula bahwa menentukan perusahaan
yang mengalami kesulitan keuangan dilihat dari perubahan CEO sebagai salah satu strategi
perputaran (turnaround strategies) memberikan gambaran yang sangat berguna dalam
melihat karakteristik CG pada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan.

2.5.3

Ratna Wardhani (2006)

Searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Daily dan Dalton, penelitian yang
dilakukan oleh Wardhani juga mengenai pengaruh penerapan CG terhadap perusahaan
yang mengalami kesulitan keuangan (financially distressed firms). Tujuan dari penelitian
ini adalah membandingkan praktek CG dalam perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan tersebut dengan perusahaan yang sehat secara keuangan. Dalam penelitian ini
sampel yang digunakan adalah perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan
perusahaan yang sehat secara keuangan pada periode 1999 sampai dengan 2004. Semua
sampel tersebut berada dalam satu industri yang sama yaitu manufaktur dan tercatat pada
BEJ.
Penerapan dan praktek CG yang diteliti disini adalah struktur CG yang berkaitan
dengan manajemen, diantaranya adalah ukuran dewan baik direksi dan komisaris,
independensi dari dewan dalam hal ini proporsi komisaris independen, perputaran
(turnover) dari direksi yaitu direksi yang keluar dan yang masuk, dan struktur kepemilikan

Pengaruh penerapan ..., Dwitridinda, FE UI, 2007

perusahaan yang diukur dengan persentase kepemilikan bank dan atau lembaga keuangan
 

dan persentase kepemilikan oleh direksi. Selain itu penelitian juga menggunakan nilai total
aset sebagai variabel ukuran perusahaan yang ditransformasi melalui proses logaritma dan
variabel dummy untuk tahun terjadinya tekanan keuangan dimana keduanya digunakan
sebagai variabel pengendali dalam melakukan pengujian terh