BAB II TEORI DAN KONSEP

(1)

BAB II

TEORI DAN KONSEP

2.1. Konselor Sekolah

2.1.1 Definisi Konselor Sekolah

Konselor sekolah adalah konselor yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan BK terhadap sejumlah peserta didik. Pelayanan BK di sekolah merupakan kegiatan untuk membantu siswa dalam upaya menemukan dirinya, penyesuaian terhadap lingkungan serta dapat merencanakan masa depannya. Prayitno (2004:3) menyebutkan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan BK di sekolah untuk mencapai tri sukses, yaitu: sukses bidang akdemik, sukses dalam persiapan karir dan sukses dalam hubungan kemasyarakatan.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan “konselor adalah pendidik” dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 mengemukakan “konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah”. 2.1.2 Tugas Konselor Sekolah

Tugas konselor sekolah adalah mengenal siswa dengan berbagai karakteristiknya, melaksanakan konseling perorangan, bimbingan dan konseling kelompok, melaksanakan bimbingan karir termasuk informasi pendidikan dan karir, penempatan, tindak lanjut dan penilaian, konsultasi dengan konselor, semua personil sekolah, orang tua, siswa, kelompok dan masyarakat.

Selanjutnya Prayitno, dkk (1997:117-140) mengemukakan tugas konselor sekolah, sebagai berikut:


(2)

1. Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, 2. Merencanakan program bimbingan dan konseling

terutama program – program satuan layanan dan satuan kegiatan pendukung untuk satuan-satuan waktu tertentu, program-program tesebut dikemas dalam program harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan, 3. Melaksanakan segenap satuan layanan bimbingan dan

konseling,

4. Melaksanakan segenap progam satuan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,

5. Menilai proses dan hasil pelaksanaan satuan layanan dan kegiatan pendukung,

6. Menganalisis hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,

7. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,

8. Mengadministrasikan kegiatan satuan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan yang dilaksanakan, mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling secara menyeluruh kepada koordinator bimbingan dan konseling dan kepala sekolah.

2.1.3 Fungsi Konselor Sekolah  Fungsi Intruksional

Memberikan umpan balik (feedback) bagi siswa dan guru untuk melanjutkan kemajuan belajar dan untuk mengetahui kesalahan maupun untuk menemukan kekeliruan dalam unit pelajaran atau keperluan perbaikan proses pengajaran.


(3)

 Fungsi Administratif

1. Seleksi dan penempatan yang fungsinya meyaring siswa dengan melihat dipenuhinya prasyarat yang dibutuhkan atau memasukan siswa dalam tingkat kelas tertentu.

2. Bersifat sumatif ialah untuk memberikan status atau nilai akhir semester atau program pendidikan. 3. Bersifat evaluatif yang berperan penting dalam evaluasi program pendidikan/ latihan dan pertanggungjawaban pendidikan. Bisa juga sebagai bahan evaluasi akreditasi.

4. Menemukan indikator pendidikan sebagai sarana melaporkan keadaan pendiidkan suatu negara atau masyarakat.

 Fungsi Bimbingan

Tes prestasi juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik psikoedukasional dalam bentuk bimbingan. Misalnya dalam program remedial terhadap elemen – elemen pelajaran yang terbukti tidak dapat dikuasai oleh seorang murid. Memberikan saran memilih SMA, penjurusan dan sebagainya.

2.2. Agresi

2.2.1 Definisi Agresi

Banyak ahli yang mengemukakan teori tentang agresi. Teori agresi, menurut para ahli ada yang berpendapat bahwa agresi adalah sebuah perilaku yang diturunkan (biologis), agresi adalah


(4)

sebuah perilaku yang di pelajari (lingkungan) ataupun perilaku agresi karena hasil dari sebuah keputusan (kognitif).

Pengertian agresi menurut para ahli dapat di definisikan sebagai berikut :

a. Dalam buku social psychology pengertian agresi yang dikemukaan oleh Bjorkqvist & Niemela (1992). Adalah segala bentuk perilaku yang diniatkan untuk melakukan atau menyakiti orang lain, diri sendiri atau objek.

b. Menurut Atkinson (1999), perilaku agresif adalah perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak harta benda.

c. Intensitas perilaku yang mengarah pada melukai atau menghancurkan (Brehm & Kassin, 1994)

d. Intensitas perilaku yang mengarah pada melukai atau menghancurkan dengan tujuan menguasai secara totalitas (Brehm & Kassin, 1995)

Sehingga dapat di simpulkan bahwa agresi adalah bentuk perilaku yang besifat menyakiti atau melukai orang lain.

Menurut Berkowitz (1993), terdapat dua jenis agresi, yaitu hostile aggression dan instrumental aggression.

a. Hostile aggression

Adalah penggunaan tingkah laku menyakiti yang diniatkan, dan bertujuan untuk menyakiti orang lain bahkan yang paling fatal sampai menyebabkan kematian. Tindakan agresi yang berasal dari perasaan marah dan bertujuan menimbulkan sakit serta luka.

b. Instrumental aggression

Adalah penggunaan tingkah laku agresi yang tujuannya memperoleh hasil yang lain sehingga agresi yang dimaksudkan


(5)

untuk mencapai tujuan lain atau memperoleh hasil yang lain, bukan sekedar untuk menyebabkan rasa sakit.

Adapun bentuk dari agresi itu sendiri adalah: a. Indirect aggression

Adalah bentuk agresi yang dilakukan secara tidak langsung. b. Direct aggression

Adalah bentuk agresi yang dilakukan secara langsung.

2.2.2 Faktor Penyebab

Adapun secara teoritis agresi agresi memiliki beberapa faktor penyebab yaitu :

a. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki cirri – ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal – hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi.

b. Faktor biologis

Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):


(6)

 Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.

 Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.

Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka


(7)

tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.

c. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

d. Lingkungan

Lingkungan yang menjadi salah satu penyebab agresi memiliki beberapa aspek penilaian dalam suatu lingkungan diantaranya :  Kemiskinan

Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami


(8)

penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari – hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah – olah biasa saja.

 Anonimitas

Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.


(9)

Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi – aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992). e. Peran belajar model kekerasan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga “games” atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara – acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan


(10)

pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.

f. Frustasi

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.

Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu. Hal ini menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan cara menembaki guru – gurunya. Begitu pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong – nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya. g. Proses Pendisiplinan yang Keliru


(11)

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan – larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka).

2.2.3 Langkah – Langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Mengatasi

Tampak bahwa dalam menanggapi berbagai permasalahan dan terkait dengan kewajiban konselor sekolah, maka sudah tentunya dibutuhkan model konseling yang efektif untuk menurunkan tingkat perilaku agresif siswa yang penyebabnya sangat variatif. Berdasarkan paradigma perilaku agresif yang dihadapi oleh siswa maka bimbingan dan konseling memberikan suatu alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah perilaku agresif


(12)

yaitu dengan teknik (Operant Conditioning). Adapun landasan menggunakan teknik ini yaitu seperti yang dikemukakan oleh Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diberikan konsekuensi, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Dan prinsip penguatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola – pola tingkah laku merupakan inti dari Pengondisian Operan. Pengondisian Operan adalah salah satu teknik dalam terapi behavioral, Skinner memusatkan pada hubungan tingkah laku dan konsekuensinya. Pengondisian Operan merupakan teknik yang menggunakan konsekuensi menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Konsekuensi menyenangkan akan memperkuat tingkahlaku, sementara konsekuensi tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Skinner menyebut konsekuensi tersebut dengan reinforcement (penguatan). Berdasarkan uraian tersebut, perilaku agresif siswa dapat diturunkan dengan memberikan konseling behavioral dengan teknik Pengondisian Operan.

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas – tugas berikutnya. Akan tetapi kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas tugas berikutnya.

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya mengurangi atau bila mungkin menghilangkan sama


(13)

sekali perilaku kekanak – kanakan serta berusaha untuk menepati kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas – tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst dalam Hurlock (1980:10) diantaranya : 1. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan

teman sebaya baik laki – laki maupun perempuan, maksudnya adalah remaja dapat berinteraksi secara sosial, dengan membina persahabatan maupun pertemanan dengan teman sebaya secara harmonis, baik dengan laki – laki maupun dengan perempuan.

2. Mencapai peran social laki – laki dan perempuan. Dalam hal ini remaja harus sudah dapat memahami peran apa yang dilakukannya agar tidak bertentangan dengan jenis kelaminya.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. Menerima keadaan fisik adalah salah satu cara remaja memahami dan mengenali dirinya. Lima pandangan diri yang positif terhadap kondisi fisik dan kondisi tubuhnya sangat diperlukan dalam pembentukan kepercayaan diri remaja.

4. Mengharapkan mencapai perilaku bertanggung jawab. Artinya remaja dapat bekerja sama dan bertingkahlaku secara rasional dan bertanggung jawab. Mengharapkan mencapai perilaku social yang tidak melanggar aturan atau norma – norma yang berlaku dimasyarakat.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang – orang dewasa lainnya. Pada masa ini berarti remaja diharapkan dapat melepaskan diri dari kedekatan dan ketergantungannya pada orang tua dan dapat secara mandiri dalam bertindak danmengambil keputusan.


(14)

6. Mempersiapkan karier ekonomi. Karier dan ekonomi sebaiknya dipersiapkan sejak dini, yaitu sejak masa remaja. Perencanaan karir sejak dini dilakukan agar remaja tidak lagi bingung dalam menghadapi pekerjaan di masa yang akan datang.

7. Memperoleh perangkat nilai dan sistemetis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Adanya nilai – nilai yang dan sistem etis yang dianut membuat remaja lebih berwawasan luas dan memiliki pegangan untuk berperilaku untuk mengembangkan ideologi dan pemikirannya.


(1)

Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi – aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992). e. Peran belajar model kekerasan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga “games” atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara – acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan


(2)

pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.

f. Frustasi

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.

Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu. Hal ini menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan cara menembaki guru – gurunya. Begitu pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong – nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya. g. Proses Pendisiplinan yang Keliru


(3)

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan – larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka).

2.2.3 Langkah – Langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Mengatasi

Tampak bahwa dalam menanggapi berbagai permasalahan dan terkait dengan kewajiban konselor sekolah, maka sudah tentunya dibutuhkan model konseling yang efektif untuk menurunkan tingkat perilaku agresif siswa yang penyebabnya sangat variatif. Berdasarkan paradigma perilaku agresif yang dihadapi oleh siswa maka bimbingan dan konseling memberikan suatu alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah perilaku agresif


(4)

yaitu dengan teknik (Operant Conditioning). Adapun landasan menggunakan teknik ini yaitu seperti yang dikemukakan oleh Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diberikan konsekuensi, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Dan prinsip penguatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola – pola tingkah laku merupakan inti dari Pengondisian Operan. Pengondisian Operan adalah salah satu teknik dalam terapi behavioral, Skinner memusatkan pada hubungan tingkah laku dan konsekuensinya. Pengondisian Operan merupakan teknik yang menggunakan konsekuensi menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku. Konsekuensi menyenangkan akan memperkuat tingkahlaku, sementara konsekuensi tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Skinner menyebut konsekuensi tersebut dengan reinforcement (penguatan). Berdasarkan uraian tersebut, perilaku agresif siswa dapat diturunkan dengan memberikan konseling behavioral dengan teknik Pengondisian Operan.

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu dan jika berhasil akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas – tugas berikutnya. Akan tetapi kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas tugas berikutnya.

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya mengurangi atau bila mungkin menghilangkan sama


(5)

sekali perilaku kekanak – kanakan serta berusaha untuk menepati kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas – tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst dalam Hurlock (1980:10) diantaranya : 1. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan

teman sebaya baik laki – laki maupun perempuan, maksudnya adalah remaja dapat berinteraksi secara sosial, dengan membina persahabatan maupun pertemanan dengan teman sebaya secara harmonis, baik dengan laki – laki maupun dengan perempuan.

2. Mencapai peran social laki – laki dan perempuan. Dalam hal ini remaja harus sudah dapat memahami peran apa yang dilakukannya agar tidak bertentangan dengan jenis kelaminya.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. Menerima keadaan fisik adalah salah satu cara remaja memahami dan mengenali dirinya. Lima pandangan diri yang positif terhadap kondisi fisik dan kondisi tubuhnya sangat diperlukan dalam pembentukan kepercayaan diri remaja.

4. Mengharapkan mencapai perilaku bertanggung jawab. Artinya remaja dapat bekerja sama dan bertingkahlaku secara rasional dan bertanggung jawab. Mengharapkan mencapai perilaku social yang tidak melanggar aturan atau norma – norma yang berlaku dimasyarakat.

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang – orang dewasa lainnya. Pada masa ini berarti remaja diharapkan dapat melepaskan diri dari kedekatan dan ketergantungannya pada orang tua dan dapat secara mandiri dalam bertindak danmengambil keputusan.


(6)

6. Mempersiapkan karier ekonomi. Karier dan ekonomi sebaiknya dipersiapkan sejak dini, yaitu sejak masa remaja. Perencanaan karir sejak dini dilakukan agar remaja tidak lagi bingung dalam menghadapi pekerjaan di masa yang akan datang.

7. Memperoleh perangkat nilai dan sistemetis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Adanya nilai – nilai yang dan sistem etis yang dianut membuat remaja lebih berwawasan luas dan memiliki pegangan untuk berperilaku untuk mengembangkan ideologi dan pemikirannya.