ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM KASUS SALAH TANGKAP TERHADAP TERSANGKA PENGEROYOKAN

(1)

Oleh

MOH. MARTHADINATA HASAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM KASUS SALAH TANGKAP TERHADAP

TERSANGKA PENGEROYOKAN

Oleh

MOH. MARTHADINATA HASAN

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana pengeroyokan bisa jadi mengalami kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan penyidiknya dalam praktek dilapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namun seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik kepolisian.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap kaedah-kaedah, norma-norma, peraturan-peraturan, yang berhubungan dengan tindak pidana dalam hal salah tangkap. Sedangkan pendekatan yuridis empiris merupakan suatu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan tindak pidana dalam hal salah tangkap.


(3)

Pertanggungjawaban penyidik Kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan. Pertanggungjawaban penyidik Polri secara individu atau non individu dengan memberikan jalan terhadap korban untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Pertanggungjawaban penyidik secara kode etik berupa penurunan pangkat jabatan bahkan pemecatan apabila melakukan tindakan berat yang bertentangan dengan kode etik Kepolisian Indonesia. Pertanggungjawaban penyidik polri secara hukum pidana apabila terjadi salah tangkap atau error in persona dalam melakukan tugas kepolisian dapat dipidanakan atau dituntut sesuai penyalahgunaan wewenang Kepolisian. Penyidik juga berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu perlu Kepolisian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang dan dapat meminimalisir terjadinya salah tangkap, selain itu penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Untuk mencegah dan menanggulanginya terjadinya salah tangkap maka upaya ditreskrimmum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan tellegram atau juklak. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang terpidana yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya praperadilan. Dalam praktek dilapangan sebaiknya terpidana tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Hlm I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah ……….……….. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup……….………... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….……….. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………... 7

E. Sistematika Penulisan……… 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri ... 15

B. Penangkapan dan Penahanan ... 21

C. Pengertian Salah Tangkap (Error In Persona) ... 24

D. Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Salah Tangkap... 25

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….……….. 31

B. Sumber dan Jenis Data……….……….. 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel……….……… 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data……… 35


(7)

B. Pertanggungjawaban Penyidik Kepolisian dalam Kasus Salah

Tangkap terhadap Tersangka Pengeroyokan ……..……….….……. 38 C. Upaya Hukum yang Dilakukan oleh Tersangka

Pengeroyokan dalam Kasus Salah Tangkap

yang Dilakukan oleh Penyidik Kepolisian ………....……... 49 V. PENUTUP

A. Simpulan ....……… 62

B. Saran …….………. 63


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Apabila hasil dari penyelidikan tersebut penyelidik menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana (delict) maka statusnya akan ditingkatkan pada tahap penyidikan yang ditujukan untuk mencari bukti dan menemukan tersangkanya. Selanjutnya penyidik apabila telah menemukan bukti permulaan yang cukup dan mengarah kepada seseorang sebagai tersangkanya dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tersebut.

Tindak pidana yang sering terjadi di masyarakat membuat pihak berwajib harus lebih hati-hati, teliti dan cermat dalam memulai penyidikan dalam memecahkan suatu perkara agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan tersangka dalam kasus tindak pidana, tetapi yang harus diingat adalah bahwa penangkapan tersebut harus sesuai dengan cara-cara yang sudah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni pada Bab V bagian kesatu Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Penangkapan bisa dianggap sebagai bentuk pengurangan dari


(9)

hak asasi seseorang, oleh karena itu tindakan penangkapan harus benar-benar diletakkan pada proporsinya yaitu hanya demi kepentingan hukum dan benar-benar sangat diperlukan.1

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami suatu kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan penyidiknya dalam praktek di lapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Apabila terjadi kesalahan dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan praperadilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian. Apabila kesalahan dari proses penangkapan tersebut tidak diketahui dan baru diketahui setelah perkaranya diputus oleh pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, maka terpidana atau terhukum bisa melakukan suatu upaya hukum luar biasa setelah putusan hakim tersebut meskipun telah berkekuatan hukum tetap.

Penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang istimewa yang diberikan oleh undang-undang namun tidak berarti dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Penangkapan merupakan suatu proses hukum yang sangat penting sebab akan berpengaruh terhadap tahap-tahap proses hukum selanjutnya. Oleh karena itu penangkapan harus dilakukan secara teliti dan cermat oleh penyidik.

1

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta : Sinar Grafika,


(10)

Berdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP dituliskan bahwa:

"Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdakwa cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini."

Penjelasan di atas tentang penangkapan tiada lain sama saja dengan pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa guna kepentingan penyidikan atau penuntutan.

Salah satu fenomena atau permasalahan kasus yang akan menjadi contoh dalam tulisan ini terkait upaya hukum dan tanggung jawab penyidik Polri ketika terjadi salah tangkap terhadap tersangka Imamsyah 21 ( dua puluh satu) tahun dan Adi Saputra 19 (sembilan belas) tahun warga Jalan Ikan Terbang, Kampung Kunyit, RT 022, Kelurahan Bumiwaras, Teluk Betung Selatan. yang dituduh melakukan pengeroyokan terhadap korban yang bernama Dwi 30 (tiga puluh) tahun, warga Jalan Ikan Julung, Kampung Sekip Rahayu, Kelurahan Bumiwaras, Teluk Betung Selatan.

Kejadian bermula pada tanggal 19 Desember 2010 kronologis adanya dugaan salah tangkap oleh aparat Polri bermula dari adanya suatu perkumpulan masa yang sedang mengadakan pesta hajatan, korban Dwi 30 (tiga puluh) tahun di pukuli orang tidak dikenal yang mengakibatkan terjadinya bentrok antar kampung setempat. Saat kejadian usai korban Dwi 30 (tiga puluh) tahun melaporkan


(11)

pengeroyokan dirinya yang dilakukan Imamsyah 21 (dua puluh satu) tahun dan Adi Saputra 19 (sembilan belas) tahun atas dasar keterangan dari teman korban yang menyatakan Imamsyah 21 (dua puluh satu) tahun dan Adi Saputra 19 (sembilan belas) tahun yang melakukan pengeroyokan ada pada saat kejadian perkara berlangsung. Yayat 25 (dua puluh lima) tahun salah satu warga dilokasi membenarkan adanya tawuran yang terjadi, tetapi dalam pemukulan terhadap korban Dwi 30 (tiga puluh) tahun, Yayat 25 (dua puluh lima) tahun menyatakan bahwa bukanlah Imamsyah 21 (dua puluh satu) tahun dan Adi Saputra 19 (sembilan belas) tahun yang memukul korban melainkan Lihun dan Acay yang kini menjadi buronan polisi dalam kasus pengeroyokan itu.

Sebulan setelah kejadian itu pada 14 Januari 2011 aparat Polsekta Teluk Betung Selatan datang kerumah dan menangkap mereka berdua dengan tuduhan ikut mengeroyok Dwi 30 (tiga puluh) tahun sebagai korban.

Tersangka ini dapat menuntut ganti kerugian dan atau rehabilitasi kepada Polri atas kesalahan dalam melakukan penangkapan error in persona. Dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP dijelaskan tentang Ganti kerugian sebagai berikut :

"Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan."

Selanjutnya tentang Rehabilitasi dijelaskan dalam Pasal 97 Ayat (1) KUHAP sebagai berikut :


(12)

"Seorang berhak memperoleh Rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap."

Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namun seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik. Tanggung jawab hukum dari penegak hukum dalam hal ini yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia mengacu kepada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Isi dari undang-undang ini mengatur tentang fungsi, tugas dan wewenang dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penegak hukum. Terkait dengan sanksi Polri bila terjadi salah tangkap dalam Undang-Undang Polri Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003, menegaskan hukuman disiplin tersebut berupa :

a. Teguran tertulis

b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) Tahun c. Penundaan kenaikan gaji berkala

d. Penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) Tahun e. mutasi yang bersifat demosi

f. Pembebasan dari jabatan

g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari

Tujuan penjatuhan hukuman disiplin tersebut ialah untuk memperbaiki dan menuntun anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu,


(13)

setiap atasan berhak menghukum (ankum) wajib memeriksa terlebih dahulu dengan seksama anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin itu.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul "Analisis Pertanggungjawaban Penyidik Kepolisian dalam Kasus Salah Tangkap terhadap Tersangka Pengeroyokan".

B. Permasalahan dan Ruang lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat ditentukan beberapa masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah pertanggungjawaban penyidik Kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan ?

2) Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan oleh tersangka pengeroyokan dalam kasus salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dapat dibedakan menjadi ruang lingkup bidang ilmu dan ruang lingkup kajian. Adapun ruang lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini merupakan bidang ilmu hukum pidana, khususnya dalam bidang hukum acara pidana. Penelitian juga mengkaji Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan disiplin Anggota Kepolisian


(14)

negara Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana, serta yurisprudensi dan teori-teori yang berhubungan dengan pertanggungjawaban penyidik kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan. Adapun yang menjadi ruang lingkup lokasi dalam penelitian ini terbatas pada daerah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, dan Penyidik Polda Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban penyidik Kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan.

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh tersangka pengeroyokan dalam kasus salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

1) Kegunaan teoritis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya pengembangan secara teoritis dalam bidang disiplin ilmu hukum khususnya hukum pidana mengenai tanggung jawab penyidik dalam hal terjadinya salah tangkap dan upaya hukum yang dapat dilakukan terpidana.

2) Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai upaya hukum apa saja yang dapat ditempuh seorang terpidana untuk mencari keadilan apabila menjadi korban dalam salah tangkap oleh penyidik Kepolisian.


(15)

b. Kegunaan Praktis

1) Sebagai bahan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama.

2) Sebagai bahan acuan dan sumber informasi bagi penulis. 3) Untuk menambah sumber atau literatur di perpustakaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2 Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori pertanggungjawaban penyidik polri, dan teori upaya hukum. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.3

Secara teoritis menurut Roeslan Saleh, menjelaskan mengenai definisi

2

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 1986, hlm 125. 3

Tolib Setiadi, Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, Jakarta, 1997, hlm 59.


(16)

pertanggungjawaban sebagai berikut:

"Pertanggungjawaban hukum adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan dihadapan hukum. Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana".4

Empat Pertanggungjawaban penyidik polri terdiri dari: 1. Pertanggungjawaban secara hukum disiplin

2. Pertanggungjawaban secara hukum perdata 3. Pertanggungjawaban secara kode etik 4. Pertanggungjawaban secara hukum pidana

Menurut Mardjono Reksodiputro fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya.5

Dijelaskan dengan tegas dalam KUHAP istilah Penyidik atau opsporing / interrogation dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa Penyidikan itu adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Andi Hamzah, secara global

4

Roeslan Saleh, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hlm 78. 5

Mardjono Reksodisiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan


(17)

menyebutkan beberapa bagian Hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah :

a. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan

b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik c. Pemeriksaan di tempat kejadian

d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa e. Penahanan sementara

f. Penggeledahan

g. Pemeriksaan atau interogasi

h. Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat) i. Penyitaan

j. Penyampingan perkara

k. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada Penyidik untuk disempurnakan.6

Adapun mengenai Penyelidik menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah orang yang melakukan Penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Berdasarkan batasan ini dapat diketahui bahwa tampak jelas hubungan erat tugas dan fungsi penyidik dan penyelidik. Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.

Menurut KUHAP, definisi penangkapan ialah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila

6


(18)

terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau dalam hal peradilan serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

Sedangkan pengertian penahanan menurut KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat suatu tertentu oleh penyidik dan atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Menurut Yahya Harahap salah tangkap (error in persona) adalah orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bukan dirinya yang dimaksud ditangkap atau ditahan.7

Upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atas kepentingan untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum menurut cara-cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang.8

2. Konseptual

Kerangka konseptual ini menjelaskan tentang berbagai macam istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian sebagai bahan informasi untuk mempermudah bagi pembaca. Istilah-istilah tersebut dijelaskan dengan batasan-batasan secara singkat agar tidak menyimpang dari topik penelitiannya.

a. Menurut Moeljatno Pertanggungjawaban adalah Kemampuan bertanggung jawab untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Serta mampu untuk mengerti nilai

7

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta,

2002, hlm 45. 8

Merpaung, Leden, Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta. 2004, hlm 42.


(19)

dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan, mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan perbuatannya itu. 9

b. Penyidik Polri adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia (sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua) yang diberi tugas dan wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.10.

c. Pengertian upaya hukum dapat ditemukan di dalam KUHAP yaitu Pasal 1 Ayat (12). Di dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pengertian upaya hukum menurut ahli hukum yang penulis kutip dari pendapat Luhut M. Pangaribuan bahwa upaya hukum adalah suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada para pihak dalam suatu perkara untuk tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan.

d. Terpidana adalah orang yang tengah menjalani masa hukuman atau pidana dalam lembaga pemasyarakatan.

e. Error In Persona atau salah tangkap memiliki arti apabila terjadi kekeliruan mengenai kekeliruan terhadap orang yang ditangkap atau ditahan sedangkan

9

Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta. Bina Aksara.1985. 10


(20)

orang yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa orang yang hendak dimaksud penyidik bukanlah dia.11

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian hukum ini penulis mencoba akan memaparkan sistematika penulisannya terlebih dahulu sebagai berikut ini.

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan yang berisi penjelasan tentang latar belakang permasalahan, pokok pemasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan hukum digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian secara garis besar.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penulis memaparkan secara singkat mengenai sistem hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada KUHAP. Secara urut penulis membahas mengenai tinjauan umum pertanggungjawaban Polri, penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan terhadap tersangka/terdakwa, upaya hukum terhadap putusan hakim dan salah tangkap.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini dibahas dalam setiap subbab mengenai jenis penelitian yang digunakan penulis, sumber data/ bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, teknik

11

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 45.


(21)

pengumpulan data/bahan hukum yang digunakan penulis, dan teknik analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini dibahas upaya hukum tersangka dan tanggung jawab penyidik Kepolisian dalam hal terjadi salah tangkap. Mengenai upaya hukum tersangka korban salah tangkap, Rehabilitasi, Ganti Kerugian, dan tanggung jawab Penyidik Polri menurut UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Indonesia dan Kode Etik Profesi Kepolisian Indonesia dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/0 1 /VII/2003.

V. PENUTUP

Penulis uraikan simpulan tentang penelitian ini dengan mengacu pada pertanyaan yang terdapat dalam pokok permasalahan, serta memberikan saran-saran yang relevan dengan penelitian tersebut.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Polri

Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar hukum tersebut, misalnya: tugas Polisi dalam menangkap, menahan, menggeledah, memborgol, dan sebagainya. Semua itu dilakukan berdasarkan kewenangan berdasarkan hukum KUHAP sehingga anggota polisi tersebut tidak melanggar HAM.

Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan demikian anggota Polri sebagai warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan warga Negara lainnya.

Tindakan setiap anggota Polri di dalam rangka wewenang hukum dapat dibenarkan sedangkan tindakan yang di luar atau melampaui wewenang hukumnya tidak dibenarkan, atau memang tidak mempunyai wewenang hukum untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak wajar, harus dipandang sebagai


(23)

tindakan perseorangan secara pribadi yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Pertanggungjawaban Polri tersebut perlu ditegakkan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan sehingga dalam pertanggungjawaban hukum tersebut termuat juga pengertian perlindungan hukum bagi anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Polri mempunyai 4 bentuk pertanggungjawaban apabila melalaikan tugasnya. Adapun 4 pertanggungjawaban tersebut antara lain, yaitu:

1. Pertanggungjawaban Peraturan Hukum Disiplin Polri

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI, ditetapkan bahwa kepolisian Negara RI tunduk kepada peraturan disipllin Polri. Peraturan disiplin anggota kepolisian Negara RI pada dasarnya adalah serangkaian norma untuk membina, menegakkan disiplin dan memelihara tata tertib kehidupan anggota kepolisian Negara RI. Apabila Anggota Polri melanggar HAM dan berkaitan dengan yang tercantum pada Pasal 7 dan Pasal 8 hukum disiplin Polri, maka anggota Polri tersebut dikenakan hukuman disiplin.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 yaitu : Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.


(24)

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 yaitu : (1) Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik.

(2) Tindakan disiplin dalam Ayat (1) tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003, menegaskan hukuman disiplin tersebut berupa:

a. Teguran tertulis

b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun c. Penundaan kenaikan gaji berkala

d. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun e. Mutasi yang bersifat demosi

f. Pembebasan dari jabatan

g. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

Tujuan penjatuhan hukuman disiplin tersebut ialah untuk memperbaiki dan menuntun anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu, setiap atasan yang berhak menghukum (ankum) wajib memeriksa terlebih dahulu dengan seksama anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin itu.

2. Pertanggungjawaban secara Kode Etik

Etika kepolisian ialah serangkaian aturan dan peraturan yang ditetapkan untuk membimbing petugas dan menentukan apakah tingkah laku pribadi benar/ salah. Etika kepolisian meliputi 2 hal yaitu :


(25)

1. Etika pengabdian

Etika Pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Polri terbadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyuakat. Isi dari etika pengabdian tercantum dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Kode Etik Profesi Polri. Garis besarnya tercantum dalam Pasal 5 yang isinya sebagai berikut Anggota Polri dalam memberikan pelayanan pada masyarakat senantiasa:

a) Memberikan pelayanan terbaik.

b) Selamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama. c) Mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit

d) Bersikap hormat kepada siapa pun, tidak congkak / arogan karena kekuasaan. e) Tidak beda-bedakan cara pelayanan.

f) Tidak kenal waktu istirahat / hari libur.

g) Tidak bebani biaya (kecuali diatur undang-undang).

h) Tidak boleh tolak permintaan bantuan dengan alasan bukan wilayah hukumnya / kurang alat dan orang. Tidak keluarkan kata-kata / lakukan gerakan anggota tubuh yang isyarat minta imbalan.

2. Etika Kelembagaan

Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota kepolisian RI terhadap Institusinya yang menjadi wadah pengabdian dan peraturan dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bahayangkara dengan segala martabat pada kehormatan.


(26)

Pasal 7 Kode Etik Profesi Polri dinyatakan bahwa anggota kepolisian negara republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:

1) Bertutur kata kasar bernada kemarahan

2) Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas 3) Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat

4) Mempersulit masyarakat yang butuhkan bantuan /pertolongan 5) Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat 6) Perbuatan yang dirasakan rendahkan martabat perempuan

7) Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur.

8) Merendahkan harkat dan martabat manusia 9) Etika kelembagaan.

3. Pertanggungjawaban secara Hukum Acara Pidana

Berdasarkan Penyidikan terhadap anggota Polri yang dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana yang berlaku. penyidikan terhadap anggota Polri harus memperhatikan TKP dan jika anggota Polri tersebut sebagai tersangka dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian, sejak dilakukan proses penyidikan sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 17 Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara


(27)

Pidana, Perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Ketentuan tersebut diatas dapat diterapkan kepada sikap orang. Bagaimana orang yang menjadi korban kesalahan penangkapan untuk mengetahui ketentuan yang mengatur bagi korban salah tangkap dapat diketahui dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang hukuman kehakiman yang dalam Pasal 9 Ayat 1 menyebutkan bahwa :

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. (2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan dalam Praperadilan, arti praperadilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi Pasal 1 butir 10 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus:

a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permlntaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.


(28)

b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan.

c) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Secara limitatif umumnya mengenai praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada Pasal lain yang masih berhubungan dengan praperadilan tetapl diatur dalam Pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitesi sebagaimana di atur dalam Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP. Kewenangan secara spesifik praperadilan sesuai dengan Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pada Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP kewenangan praperadilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi.

B. Penangkapan dan Penahanan 1. Penangkapan

Masalah penangkapan merupakan bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan, penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya. Definisi penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah:


(29)

"suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan"

Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

2. Penahanan

Definisi Penahanan sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau


(30)

Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut undang-undang. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.

Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 20 KUHAP antara lain:

1. Untuk kepentingan penyidikan,yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik.

2. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum. 3. Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk

menahan adalah Hakim.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangkal/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkutkan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa.

Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan


(31)

rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan Penahanan Kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.

C. Pengertian salah tangkap (Error In Persona)

Pengertian mengenai istilah error in persona tidak terdapat dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teori pengertian error in persona ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari error in persona adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya.

Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus. Pengertian ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya.

Kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan.


(32)

Sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.12

D. Upaya Hukum Yang Dilakukan Korban Salah Tangkap

Pengertian upaya hukum terdapat dalam Pasal 1 Ayat (12) KUHAP yaitu:

"Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini."

KUHAP membedakan upaya hukum menjadi upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa bab XVIII. Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan upaya hukum luar biasa.

1. Upaya hukum biasa

a. Pemeriksaan Tingkat Banding

Upaya hukum banding adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Pada Pasal 233 Ayat (1) KUHAP dan

12


(33)

dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian. Putusan pengadilan yang bisa diajukan banding adalah :

a) Putusan yang bersifat pemidanaan.

b) Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

c) Putusan dalam perkara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa.

d) Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau penuntutan.

Upaya hukum banding ini diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP, Dimana dijelaskan dalam Pasal 233 KUHAP bahwa permohonan banding tersebut diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau kuasa hukumnya pada penuntut umum. Dalam jangka waktu (7) tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa permohonan banding tersebut harus sudah diterima oleh panitera pengadilan negeri yang memutus perkara.

Pengetahuan tentang jangka waktu pengajuan banding ini sangatlah penting sebab apabila jangka waktunya telah habis maka terdakwa atau statusnya yang kini berubah menjadi terpidana dianggap telah menerima putusan hakim tersebut. Jika demikian halnya maka putusan tersebut menjadi final dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang sifatnya mengikat.


(34)

Tersangka tidak dapat lagi melakukan upaya hukum biasa hanya bisa dilakukan upaya hukum luar biasa tetapi harus terlebih dahulu dipenuhi alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan mengapa mengajukan upaya hukum luar biasa.

b. Pemeriksaan Tingkat Kasasi

Upaya hukum Kasasi, diatur dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Di dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan bahwa:

"Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas."

Menurut Pasal 29 dan Pasal 30 UU No 14 Tahun 1985 jo. UU No 5 Tahun 2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.

Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14 Tahun 1985 jo. UU No 5 Tahun 2004 mengenai perubahan atas UU tentang Mahkamah agung adalah:

a) tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;

b) salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;

c) lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.


(35)

Permohonan kasasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP tersebut harus disampaikan kepada panitera di pengadilan negeri yang memutus perkaranya dalam tempo 14 hari semenjak putusan yang dimintakan kasasinya tersebut diberitahukan kepada terdakwa. Apabila dalam jangka waktu 14 hari tersebut terpidana tidak meminta kasasi maka dianggap telah menerima putusan tersebut sehingga putusan tersebut menjadi mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kasasi didasarkan pada pertimbangan bahwa telah terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Melampaui kekuasaan kehakiman tersebut dapat ditafsirkan secara sempit maupun secara luas. Jika ditafsirkan secara sempit seperti pendapat D. Simons yang dikutip Andi Hamzah yaitu apabila hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman.

2. Upaya hukum luar biasa

Upaya hukum luar biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi dilakukan. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali.

a. Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Pasal 259 Ayat (1) KUHAP disebutkan "Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan satu kali permohonan kasasi


(36)

oleh Jaksa Agung." Cukup jelas dari bunyi Pasal tersebut bahwa upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum ini hanya diperuntukan bagi kejaksaan. Namun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tak menjelaskan lebih lanjut tentang perkara yang bagaimana dan alasan apa yang dikernukakan oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan hukum. Ternyata pembuat undang-undang bermaksud menyerahkan permasalahan tersebut kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri. 13 Permohonan kasasi demi kepentingan hukum ini disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara tersebut, disertai dengan risalah memuat alasan permintaan itu.

b. Peninjauan Kembali (PK)

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan. (Pasal 66 dan Pasal 77 UU No 14 Tahun 1985 jo. UU No 5 Tahun 2004).

Alasan-alasan peninjauan kembali menurut Pasal 67 UU No 14 Tahun 1985 jo. UU No 5 Tahun 2004, yaitu:

a. Ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

13


(37)

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata.


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.14

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam proposal skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penyidik

14


(39)

polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.15 Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dan

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian.

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006 tentang HAM. 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

7. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 mengenai perubahan atas UU tentang Mahkamah Agung.

15


(40)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam proposal skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Kode Etik Profesi Kepolisian.

3. Petikan Putusan Nomor: 36/Pid/B/2011/PN.TK dan Petikan Putusan Nomor: 31 /Pid/B/2011 /PN.TK.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini. Di dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona, buku-buku ilmu hukum, maupun literatur lainnya serta pencarian data penunjang melalui internet.


(41)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah Akademisi atau Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Penyidik Polda Lampung, dan Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.16

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Anggota Kepolisian Polresta Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, dan Dosen yang Fakultas Hukum Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah purposive sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu

1. Penyidik Polda Lampung = 1 orang

2. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

16


(42)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research).

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan ecara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokkan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(43)

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara deskriptif kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(44)

V. PENUTUP A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban penyidik Kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan. Pertanggungjawaban penyidik Kepolisian secara individu atau non individu dengan memberikan jalan untuk mengajukan pra peradilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Pertanggungjawaban penyidikan secara kode etik berupa penurunan pangkat jabatan bahkan pemecatan apabila melakukan tindakan berat yang bertentangan dengan kode etik Kepolisian Indonesia. Pertanggungjawaban penyidikan polri secara hukum pidana apabila terjadi salah tangkap atau error in persona dalam melakukan tugas kepolisian dapat dipidanakan atau dituntut sesuai penyalahgunaan wewenang Kepolisian. Penyidik juga berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka.


(45)

2. Upaya hukum yang dilakukan oleh tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian antara lain upaya pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan Analisis Pertanggungjawaban Penyidik Kepolisian dalam Kasus Salah Tangkap Tersangka Pengeroyokan sebagai berikut :

1. Perlu Kepolisian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang dan dapat meminimalisir terjadinya salah tangkap, selain itu penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Untuk mencegah dan menanggulanginya terjadinya salah tangkap maka upaya ditreskrimmum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan tellegram atau juklak.

2. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan. Dalam praktek dilapangan sebaiknya tersangka tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Marpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara, Jakarta.

Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Reksodisiputro, Mardjono. 1997. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, Jakarta. Saleh Roeslan, 1981 Sifat melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara baru,

Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Sitompul. 2000. Beberapa Tugas dan Peranan Polisi. CV Wanthy Jaya, Jakarta. Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas

Lampung Press, Bandar Lampung.

UNDANG – UNDANG

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Undang- Undang Dasar 1945.


(47)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 81 Tentang KUHP.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 mengenai perubahan atas undang-undang tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 81 tentang Acara Pidana.

LITERATUR


(48)

(49)

(1)

62

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban penyidik Kepolisian dalam kasus salah tangkap terhadap tersangka pengeroyokan. Pertanggungjawaban penyidik Kepolisian secara individu atau non individu dengan memberikan jalan untuk mengajukan pra peradilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Pertanggungjawaban penyidikan secara kode etik berupa penurunan pangkat jabatan bahkan pemecatan apabila melakukan tindakan berat yang bertentangan dengan kode etik Kepolisian Indonesia. Pertanggungjawaban penyidikan polri secara hukum pidana apabila terjadi salah tangkap atau error in persona dalam melakukan tugas kepolisian dapat dipidanakan atau dituntut sesuai penyalahgunaan wewenang Kepolisian. Penyidik juga berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka.


(2)

63

2. Upaya hukum yang dilakukan oleh tersangka dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian antara lain upaya pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan Analisis Pertanggungjawaban Penyidik Kepolisian dalam Kasus Salah Tangkap Tersangka Pengeroyokan sebagai berikut :

1. Perlu Kepolisian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang dan dapat meminimalisir terjadinya salah tangkap, selain itu penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Untuk mencegah dan menanggulanginya terjadinya salah tangkap maka upaya ditreskrimmum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan tellegram atau juklak.

2. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan. Dalam praktek dilapangan sebaiknya tersangka tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Marpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara, Jakarta.

Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Reksodisiputro, Mardjono. 1997. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, Jakarta. Saleh Roeslan, 1981 Sifat melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara baru,

Jakarta

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Sitompul. 2000. Beberapa Tugas dan Peranan Polisi. CV Wanthy Jaya, Jakarta. Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas

Lampung Press, Bandar Lampung.

UNDANG – UNDANG

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Undang- Undang Dasar 1945.


(4)

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian. Undanng-Undang Nomor 20 Tahung 2006 tentang HAM.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 81 Tentang KUHP.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 mengenai perubahan atas undang-undang tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 81 tentang Acara Pidana.

LITERATUR


(5)

(6)