Analisa Pertanggung Jawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah Tangkap Atau Error In Persona

(1)

ANALISA PERTANGGUNG JAWABAN PENYIDIK POLRI

DALAM KAITAN TERHADAP TERJADINYA SALAH

TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

080200266

YESSI KURNIA ARJANI MANIK

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISA PERTANGGUNG JAWABAN PENYIDIK POLRI

DALAM KAITAN TERHADAP TERJADINYA SALAH

TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

080200266

Yessi KurniaArjani Manik

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Nip.195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, S.H., M.Hum

Nip. 19611024198903200 Nip. 197404012002121001 Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Yessi Kurnia Arjani manik * Liza Erwina**

Mahmud Mulyadi***

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satulembaga penegak hukum yang berfungsi melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan dan memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakat. Dalam pelaksanaan hukum pidana dan hukum acara pidana tindakan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian sebagai langkah awal dalam proses penegakan hukum.

Permasalahan yang diikemukakan dalam skripsi ini adalah adalah Bagaimana fungsi Polri dalam penegakan hukum, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta Bagaimana pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap terjadinya salah tangkap atau error in persona.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan menganalisis putusan pengadilan negeri, dihubungkan dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan mewawancarai instansi pemerintah terkait yang dapat membantu memecahkan permasalahan dalam skripsi ini.

Penyidik sebagai salah satu aparat penegak hukum yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk menegakkan hukum, sehingga tugas dan wewenang yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga penegak hukum. Pengawas penyidik dalam hal ini berwenang dalam memberikan pengawasan terhadap penyidik yang apabila jika terjadi penyalahgunaan wewenang melakukan penyidikan, sehingga dapat diberikan Sanksi terhadap penyidik dalam melakukan kesalahan dalam prosedur penangkapan merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya.

Penyidik Polri sebagai penegak hukum diharapkan dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat. Masyarakat pada umumnya mengharapkan sosok penegak hukum yang benar-benar dapat menciptakan keadilan bagi mereka. Penyidik polisi adalah transparansi proses penyidikan tindak pidana, hal ini disebabkan karena banyak nya laporan atau pun komplain dari masyarakat mengenai masalah penyidikan Polri. Realisasi yang ingin dicapai tentu saja mengarah pada sosok penyidik yang mampu dapat melaksanakan proses penyidikan dengan cepat dan profesional.

Kata kunci : polri, penyidik penyidik, salah tangkap

* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam serta tak lupa shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi ini berjudul : “PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI

TERHADAP TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA BERDASARKAN KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang dengan berkat dan

rahmat-Nya memberikan kesehatan, petunjuk, dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Kedua Orangtuaku tercinta, yang tiada hentinya mendoakan, menemani,

mengasihi, dan memberikan dukungan serta semangat pantang menyerah kepada penulis.

3. Saudara Kandungku, Umi Chairani Manik S.farm.,apt kakak yang juga

sedang berjuang untuk mendapatkan gelar masternya, Abangku Syukri Abdullah Manik S.T, dan adik-adikku Winda Imoyati Manik, Rachmi Lolo Maya Manik, yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayangnya, memberi motivasi terus menerus hingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(5)

4. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H. M.Hum. selaku Dekan FH USU, Bapak Prof. Dr. Runtung S.H. M.Hum. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin S.H. M.Hum.D.F.M. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Husni S.H. M.Hum. selaku Pembantu Dekan III.

5. Bapak Dr. M. Hamdan S.H. M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana.

6. Ibu Liza Erwina S.H. M.Hum,selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

dan Dosen Pembimbing I

7. Bapak Dosen Pembimbing II Dr. Mahmud Mulyadi, S.H. M.Hum., penulis

berterimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan arahan selama ini.

8. Bapak Dosen Pembimbing Akademik Prof. Dr.Bismar Siregar, S.H. M.Hum.,

9. Para Narasumber bapak J. Pakpahan, J. Sirait selaku Wassidik Kanit I dan

Kanit II di Polda Sumatera Utara penulis berterimakasih banyak atas informasi yang diberikan.

10.Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

11.Seluruh staf dan pegawai pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Sahabat Seperjuangan, Zola Sondra Siregar, Ainul Mardiah S.H, Noni

Hardiyanti S.H, Rendi Kurniawan, Haris Fadhillah, Jefrianto Sembiring S.H, Samuel S.H, Hisar Simanjuntak, Wulans, Samuel Nainggolan, Meta Permata Sari, Chintya Arsyad S.H, Pratiwi utami S.H, yang selalu ada disetiap penulis


(6)

membutuhkan bantuan, memberi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis sangat menghargai dan bangga memiliki kalian semua.

13.Kak Maya Barus S.H.,M.H dan Sari Mariska Siregar S.H yang tak

bosan-bosannya membuka pintu rumah untuk berdiskusi dan memberikan masukan untuk melengkapi bahan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Junior ku Julia Agnetha Barus S.H, Sharin Alfi, Lia Hartika, Jojo, Adri

Hariadi, Iswanda, yang selalu mendoakan serta memberi motivasi-motivasi yang dapat menghibur penulis.

15.Teman sejurusan, dan Para Senior, teman Satu Angkatan 2008 , maupun para

junior semuanya yang tidak dapat disebut satu persatu, yang terkadang tiada henti menanyakan kabar skripsi daripada kabar penulis sendiri, tetapi menjadikan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

16.Orang-orang yang telah banyak membantu penulis baik selama perkuliahan

maupun selama penulisan skripsi.

Saya sadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran. Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.

Medan, 11 April 2013 Hormat Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI . ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 12

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Tinjauan Kepustakaan ... 13

G. Metode Penelitian... 22

H. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II FUNGSI POLRI dalam PENEGAKAN HUKUM ... 27

A. Tugas dan Fungsi Polri secara Umum ... 27

B. Tugas dan fungsi Polri dalam Penegakan Hukum ... 36


(8)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI TERHADAP TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA BERDASARKAN KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002

A. Pertanggungjawaban Penyidik Polri terhadap Terjadinya Salah Tangkap atau

Error In persona Berdasarkan KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 ………. 90

B. Prosedur teknis proses Praperadilan sebagai upaya pertanggungjawaban

penyidik terkait kasus salah tangkap di Polda Sumatera Utara Tanjung Morawa ……….123

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….... 161

B. Saran……….. 162


(9)

ABSTRAK

Yessi Kurnia Arjani manik * Liza Erwina**

Mahmud Mulyadi***

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satulembaga penegak hukum yang berfungsi melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan dan memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakat. Dalam pelaksanaan hukum pidana dan hukum acara pidana tindakan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian sebagai langkah awal dalam proses penegakan hukum.

Permasalahan yang diikemukakan dalam skripsi ini adalah adalah Bagaimana fungsi Polri dalam penegakan hukum, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta Bagaimana pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap terjadinya salah tangkap atau error in persona.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan menganalisis putusan pengadilan negeri, dihubungkan dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan mewawancarai instansi pemerintah terkait yang dapat membantu memecahkan permasalahan dalam skripsi ini.

Penyidik sebagai salah satu aparat penegak hukum yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk menegakkan hukum, sehingga tugas dan wewenang yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga penegak hukum. Pengawas penyidik dalam hal ini berwenang dalam memberikan pengawasan terhadap penyidik yang apabila jika terjadi penyalahgunaan wewenang melakukan penyidikan, sehingga dapat diberikan Sanksi terhadap penyidik dalam melakukan kesalahan dalam prosedur penangkapan merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya.

Penyidik Polri sebagai penegak hukum diharapkan dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat. Masyarakat pada umumnya mengharapkan sosok penegak hukum yang benar-benar dapat menciptakan keadilan bagi mereka. Penyidik polisi adalah transparansi proses penyidikan tindak pidana, hal ini disebabkan karena banyak nya laporan atau pun komplain dari masyarakat mengenai masalah penyidikan Polri. Realisasi yang ingin dicapai tentu saja mengarah pada sosok penyidik yang mampu dapat melaksanakan proses penyidikan dengan cepat dan profesional.

Kata kunci : polri, penyidik penyidik, salah tangkap

* Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi nya juga harus berdasarkan legitimasi hukum yang berlaku. Dimana fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.1

1. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi janji-janji dan tujuan-tujuan hukum untuk mengamankan serta melindungi masyarakat menjadi kenyataan. Perincian tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, misalnya membuktikan hal tersebut, diantaranya yaitu:

2. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberi

perlindungan dan pertolongan.

3. Memelihara keselamatan Negara terhadap gangguan dari dalam.

4. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat.

5. Mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap

peraturan-peraturan Negara. 1

Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, USU press,


(11)

Perincian tugas-tugas polisi sebagaimana yang tertera diatas, mencapai dan memelihara ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh polisi. Persoalan mulai timbul pada saat dipertanyakan dengan cara bagaimanakah tujuan tersebut hendak dicapai. Ternyata pekerjaan kepolisian tersebut hanya boleh dijalankan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu dari pembatasan-pembatasan tersebut adalah hukum. Polisi ditugasi untuk

menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku.2

Disepakati atau tidak sebenarnya polisi adalah pekerja sosial berseragam, tidak dapat disangkal bahwa mereka menyediakan sesuatu yang dalam arti luas dapat disebut sebagai pelayanan sosial bagi masyarakat yang menjadi tanggung jawab mereka. Jelas, hanya sebagian kecil dari kerja rutin aparat kepolisian harus mengarah Kepolisian dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 merupakan sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kepolisian dalam undang-undang tersebut juga disebutkan mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

2

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,Halaman 113


(12)

kepada mencegah, menjawab, dan menangani kejahatan. Sebenarnya jasa yang mereka berikan, entah berkaitan dengan kejahatan atau tidak, merupakan suatu bentuk layanan jasa sosial. Namun lebih jauh, dalam konteks kerja kepolisian, polisi harus berurusan dengan sederet pemberi jasa lainnya yang luas, mulai dari biro layanan keluarga dan anak-anak hingga dinas pekerjaan umum yang menyangkut pengumpulan sampah dan kondisi jalan. Bukan hal yang aneh jika tiba-tiba polisi harus menengahi penculikan anak, menangani pertikaian suami-istri, perkelahian antar tetangga, dan kasus-kasus depresi serta bunuh diri yang kondusif bagi kerjasama yang lebih besar dengan biro jasa sosial. Diantara kegiatan mereka, aparat kepolisian harus tiba-tiba berurusan dengan pemberi jasa lain, atau dalam beberapa kasus, berhadapan dengan masalah pencegahan kejahtan yang barangkali lebih beresiko, misalnya yang menyangkut orang-orang jompo atau manula atau pemabuk, keduanya memerlukan kepekaan yang berbeda antara calon korban dan calon pelanggar.3

Polisi pada hakekatnya dihadapkan kepada suatu situasi konflik dan polisi bertugas untuk mengambil keputusan. Apabila pada akhirnya polisi bertindak, maka pada saat tersebut polisi telah melakukan suatu yang menguntungkan atau melindungi salah satu pihak dalam konflik, tetap dengan melawan, mengalahkan “merugikan” pihak yang lain, tetapi sulit juga untuk mengharapkan, polisi selalu akan mempertimbangkan dengan masak-masak segala segi etis dan moral. Untuk itu, maka

3

Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi dalam pembinaan keamanan dan ketertiban

masyarakat perbandingan perspektif dan prospeknya, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, halaman


(13)

polisi tidak hanya harus berbuat sebagai seorang polisi, melainkan juga seorang filosofi.4

Penyelidikan merupakan tindakan, bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Kepolisian Berdasarkan undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diberikan kewenangan dalam hal melaksanakan tugas sebagai penyelidik dan penyidik.

5

Berdasarkan kewenangan Aparat Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik dalam membantu memperlancar proses penyidikan maka seorang aparat kepolisian juga berwenang untuk melakukan Penangkapan, yaitu Wewenang yang diberikan kepada penyidik khusus nya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sangatlah luas. Bersumber dari wewenang tersebut,penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, selama masih berpijak pada suatu landasan hukum yang sah. Salah satu wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak

4

Satjipto Rahardjo, Op.Cit. halaman 113-117 5

Ratna Sari, penyidikan dan penuntutan dalam hukum acara pidana, kelompok studi hukum dan masyarakat fakultas hukum USU, Medan , 1995, halaman 30


(14)

pidana. Aparat kepolisian juga berwenang melakukan Penahanan,yang merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang, sehingga penahanan merupakan suatu kewenangan penyidik yang sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.6 Penahanan berkaitan erat dengan penangkapan karena seorang tersangka pelaku tindak pidana yang setelah ditangkap dan memenuhi persyaratan sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-undang, baru dapat dikenakan penahanan guna kepentingan pemeriksaan. Jadi penangkapan merupakan langkah awal dari perampasan kemerdekaan tersangka atau terdakwa.7

Aparat penegak hukum adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban dalam masyarakat, ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas waktu yang telah ditentukan, sehingga tersangka/ terdakwa menderita lahir bathin akibat sikap tindak para aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.8

Seseorang ditangkap, ditahan, kemudian diadili diforum pengadilan dengan kekuasaan yang diberikan hukum (khususnya aturan tertulis) mengandung resiko bahwa, semakin bebas aparatur hukum melaksanakan tugas (kewenangan ) yang

6

Mahmud Mulyadi, Op.cit, halaman 20 7

Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan ruang lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, halaman 35-36

8


(15)

ditentukan aturan formal (tidak luwes), semakin besar kemungkinan terjadi pelanggaran (penyelewengan/penyimpangan), karena pada dasarnya aturan (itu

sendiri) merupakan “musuh tersembunyi”( a hidden enemy). Hal demikian membawa

konsekuensi (semacam tuntutan), perlu kehati-hatian dalam menerapkan aturan, karena aturan seringkali bias terutama apabila berjalan melalui proses penafsiran.9

Salah satu solusi yang rasional dan realistis adalah apabila kata ‘permulaan dalam ketentuan tersebut dihilangkan. Dengan demikian nya ada tercipta suatu kepastian dalam melakukan proses penangkapan, sebagaimana yang telah diterapkan dalam hukum acara pidana Amerika yang menentukan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan harus didasarkan atas affidavit and testimony

yakni harus berdasarkan adanya bukti dan kesaksian .

Tindakan penangkapan sebagai pegangan, baru dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu: “diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Pembuat Undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan “kekurangpastian”dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup.

10

Penangkapan tidak boleh dilakukan terhadap tersangka tindak pidana pelanggaran sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat 2 KUHAP,

9

Anton F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, Halaman 6-7 10

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHP,(penyidikan dan penuntutan)buku I, Sinar grafika, Jakarta, 2007, Halaman 158


(16)

namun apabila tersangka tindak pidana pelanggaran tidak memenuhi panggilan penyidik selama 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah maka tersangka dapat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan paksa untuk dilakukan pemeriksaan.

Menurut ketentuan Pasal 21 ayat 4 KUHAP tidak semua tersangka tindak pidana pelanggaran tidak dapat ditangkap dan ditahan karena menurut ketentuan ini penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka pelaku percobaan tindak pidana dan terhadap orang yang memberi bantuan untuk terjadinya suatu tindak pidana.

Setiap dalam melakukan tugasnya, Polisi (dalam hal ini adalah penyidik) harus selalu bertindak berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak boleh melakukan sesuatu hanya dengan sewenang-wenang saja dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “ tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut Undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.11

Pelaksanaan wewenang sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh aparatnya terkadang terjadi penyimpangan tindakan anggota Polri dari yang seharusnya dengan menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Padahal Polisi yang sehari-hari dihadapkan pada tugas yang tak menentu dan berhadapan

11

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung, 1997, halaman 123


(17)

langsung dengan masyarakat, sangat mutlak memiliki kestabilan emosi dan berprilaku baik kepada masyarakat.12

Salah satu contoh Korban salah tangkap di Jakarta,yang dianiaya oleh oknum kepolisian Polres Tangerang Kabupaten, Ujang A. Melalui kuasa hukumnya mengatakan telah ditangkap untuk kasus yang kejahatan yang tidak dilakukan, kemudian dianiaya oknum polisi dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan itu. "Sampai saat ini tidak ada itikad baik dari kepolisian terkait salah tangkap ini," jelas kuasa hukum korban. Kuasa hukum korban menjelaskan bahwa Ujang diperlakukan bak tahanan selama 12 hari. Ia ditangkap, dipaksa mengaku, dianiaya kemudian dilepas kemudian diajak belanja beli baju lalu diberi uang Rp1 juta. "Keadilannya dimana, sudah dituduh yang tidak benar, disiksa, lalu sadar telah salah menangkap, klien dikeluarkan begitu saja tanpa kata maaf dan surat perintah perhentian penyidikan (SP3)," paparnya. Ujang K sudirman, sehari-harinya bekerja sebagai

Kepolisian terutama Polri nyatanya sebagai penyidik yang memiliki kewenangan dalam menangani setiap tindak pidana. Sebagaimana fenomena yang ada sekarang tentang Kepolisian Republik Indonesia banyak dijumpai kejanggalan- kejanggalan dalam hal penyidikan yang melampaui dari batas-batas kewenangannya, seperti dalam tahap awal pemeriksaan yang seringkali tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur oleh peraturan perundang-undang yang ada. Penyimpangan pelanggaran hak asasi manusia terkadang terjadi didalam prakteknya.

12

Anton Tabah, Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1991, Halaman 23


(18)

tukang ojek. Ia sendiri dituduh terlibat kasus pencurian brankas berisi uang tunai Rp. 80 juta dan surat-surat berharga di rumah Mintarja, warga Perumahan Citra Raya,

Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.13

Menurut laporannya itu, mereka meminta agar pemerintah menindak aparat yang menangkap suaminya Ang Ho dan Sun An karena dituduh sebagai otak pembunuhan di Medan, Sumatera Utara. Tidak hanya ditangkap, korban juga mengalami kekerasan fisik dan seksual saat menjalani pemeriksaan.Sia Kim Tui ditangkap bersama suaminya saat berada di Hotel JW Marriot. Sedangkan Sumiyati ditahan kesesokan harinya di Kisaran, Sumatera Utara. Keempatnya dibawa ke ruang tahanan Mako Brimob Medan, Polsek Medan Timur dan Polresta Medan."Saya dan suami Sun An ditangkap polisi tanpa surat penangkapan. Saat di tahanan, saya mendengar suami berteriak karena disiksa. Saya juga diancam intel dan penyidik berjumlah 10 orang untuk mengakui suami saya otak pelaku pembunuhan," ujar Sia Kim di Wantimpres, Jakarta, Selasa (23/10). Akibat berada di bawah ancaman sejumlah penyidik, Sun An terpaksa mengakui

Medan Sumatera Utara, juga ada terdapat kasus salah tangkap Sumiyati dan Sia Kim Tui, istri korban salah tangkap melaporkan kasus kekerasan dan intimidasi aparat kepolisian ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ditemani aktivis KontraS Usman Hamid, mereka diterima secara langsung oleh anggota bidang Hukum Albert Hasibuan.

13


(19)

perbuatan yang belum pernah dia lakukan dan menandatangani BAP. Saat menandatangani, Sun An tidak didampingi pengacara yang ditunjuk pemerintah."Selama pemeriksaan, penyidik meminta uang sebesar Rp 12 juta, lalu minta lagi Rp 20 juta. Total ada Rp 30 juta. Ketika di tahanan, HP dan kartu ATM suami diambil dan diminta nomor PIN, di sana mereka mengambil semua uang tabungan yang jumlahnya Rp 50 juta," Sia Kim nada kesal.Tidak selesai di sana, salah satu penyidik bernama Aiptu Baharuddin yang memeriksa suaminya mengirimkan surat yang ditandatangai atas namanya. Surat itu berisi permintaan Baharuddin agar suami maupun keluarga memberikan bantuan untuk dapat membangun rumah tinggal.Dalam pemeriksaan di pengadilan, keduanya diputus bersalah dan dihukum seumur hidup, lebih tinggi dari tuntutan JPU selama 20 tahun penjara."Padahal BAP sudah dibatalkan, tapi hakim pengadilan negeri dan tinggi Medan menutup mata," sahut Edwin.Terkait pengalaman itu, dengan bantuan dari kuasa hukum dan KontraS, keluarga melaporkan kejadian yang mereka alami melalui Propam Mabes Polri, Kompolnas, Komisi Yudisial dan Wantimpres. Mereka berharap agar mendapatkan keadilan dari peristiwa yang mereka alami.14

Terjadinya salah tangkap terhadap orang-orang yang tidak sama sekali bersalah, bahkan lebih dari sekedar penangkapan, orang yang tidak bersalah tersebut terkadang mau tidak mau harus merasakan pahitnya penahanan dengan kurungan, menghadapi hukuman yang sama sekali tidak diperbuat oleh korban. Hal ini sudah

14


(20)

pasti mengalami mental dan fisik yang negatif pula bagi si korban, selain mendapati kerugian-kerugian besar bagi keluarga korban salah tangkap tersebut yang sebagian merupakan tulang punggung bagi kehidupan keluarganya selama ini, kemudian pada akhirnya di ketahui terjadinya kesalahan Penyidik Polri dalam melakukan tugasnya sebagai penegak hukum, tetapi hanya dengan membebaskan atau meminta maaf kepada korban salah tangkap tanpa melihat kerugian-kerugian yang diterima si korban. Hal tersebut sudah jelas tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat oleh Polri sebagai penyidik.

Aparatur harus mampu mengoptimalkan fasilitas, kinerja yang ditopang oleh sikap mental agar hasil optimal, dan suasana kondusif dapat diwujudkan. Hal ini dapat menjadi umpan balik yaitu sebagai bentuk pengendalian diri sekaligus mekanisme tanggung jawab (akuntabilitas) peradilan yang selama ini sulit dipastikan. Sangat tidak bijaksana dan memperlihatkan rentannya persoalan apabila seorang (pejabat peradilan), atau kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan (dalam sebuah birokrasi) melakukan tindakan (pelanggaran hak asasi) yang merugikan (tersangka atau masyarakat umum), terlebih jika tindakan tersebut dilakukan dengan dalih atau dasar sebuah aturan yang mendukung. Etika, akuntabilitas pejabat dan professionalitas merupakan kunci utama yang mampu membawa peradilan kepada model pelayanan manusiawi, karena peradilan harus memanusiakan manusia sebagai manusia dan bukan mesin atau objek pasif yang rigid serta tertutup.15

15


(21)

Untuk itu saya ingin mengetahui secara lebih jelas bagaimana upaya-upaya dan pertanggungjawaban penyidik Polri atas kesalahan yang diperbuat dan apa yang dapat dilakukan korban salah tangkap tersebut untuk menuntut atas hukuman dan kerugian yang telah korban alami.

Maka dalam kasus diatas saya selaku penulis tertarik untuk membahas dan

untuk mengetahui lebih lanjut mengenai judul skripsi yang berjudul “Analisa

Pertanggungjawaban Penyidik Polri Dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah Tangkap atau Error In Persona”.

A. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah fungsi Polri dalam penegakan hukum?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap terjadinya salah

tangkap atau error in persona.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimana fungsi Polri dalam penegakkan hukum.

2. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam mengaplikasikan

peraturan perandang-undangan yang mengatur tentang kesalahan penyidik Polri dalam kasus salah tangkap yang terjadi.


(22)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan pertanggungjawaban penyidik Polri terhadap korban salah tangkap yang terjadi atas kesalahan si penyidik sehingga kemungkinan terjadinya kerancuan-kerancuan dan tumpang tindih hukum dapat diminimalisasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai Analisa Pertanggungjawaban Penyidik Polri dalam Kaitan Terhadap Terjadinya Salah tangkap atau Error In Persona berdasarkan pemeriksaan arsip hasil penulisan skripsi di Fakultas Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulisan sendiri tanpa ada penipuan, penjuplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulisan dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan


(23)

perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang perbankan. Dengan demikian, penulisan skripsi merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tanggung Jawab

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tanggung jawab

timbul karena telah diterimanya wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab seimbang dengan wewenang.

Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang telah menjadi kewajiban (keharusan) untuk dilaksanakan, dibalas dan sebagainya. Dengan demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatunya. Dengan kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Burhanuddin Salam, dalam bukunya “Etika Sosial”, memberikan pengertian bahwa responsibility is having the character of a free moral agent; capable of determining one’s acts; capable deterred by consideration of sanction or consequences. (Tanggung jawab itu memiliki karakter agen yang bebas moral;


(24)

mampu menentukan tindakan seseorang; mampu ditentukan oleh sanksi/hukuman atau konsekuensi). Setidaknya dari pengertian tersebut, dapat kita ambil 2 kesimpulan : a)harus ada kesanggupan untuk menetapkan suatu perbuatan; dan b)harus ada kesanggupan untuk memikul resiko atas suatu perbuatan. Kemudian, kata tanggung jawab sendiri memiliki 3 unsur : 1)Kesadaran (awareness).16

Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan, Barangkali penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan pengusutan”

2. Pengertian Penyidik

Menurut KUHAP ketentuan umum, pasal 1 ayat (1) penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakiikan penyidikan. Dan kemudian menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengampalkan bukti-bukti terjadi dan guna menemukan tersangkanya, Penyidikan dilakukan setelah adanya tahap penyelidikan terlebih dahulu yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai ttndak pidana guna menentnkan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

16

Muhammad Joe Sekigawa, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,


(25)

sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bxikti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.17

A. Penyidik Polri

Penyidik sebagaimana diatur didalam KUHAP terdiri dari dua bagian yaitu:

Penyidik menurut ketentuanTasal 6 ayat (l) huruf a, salah satu instansi yang diberi wewenang melakukan penyidikan ialah “pejabat polisi Negara”. Memang dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, haras memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 6 ayat (2), Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalarn menetapkan kepangkatan jabatan penyidik disesuaikan dengan kepangkatan penutut umum dan Hakim Peradilan Negeri Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27 tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab

17


(26)

11 PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian, dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pejabat penyidik penuh

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh” harus memenuhi syarat kepangkatan dau pengangkaian.

a. Sekurang-kurangnyaPembantu Letnan Dua Polisi;

b. Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila

dalam suatu sector kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu letnan Dua;

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala kepolisian RI.

Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi penjabat penyidik. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, sekalipun prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sector kepolisian, Peraturan Pemerintahan memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan Kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah.


(27)

2. Penyidik Pembantu

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”diatur dalam Pasal 3 PPNo. 27 Tahun 1983.menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik umum:

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan kepolisian Negara dengan

syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a)

c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan

kesatuan masing-masing.

Penyidikan pembantu bukan mesti terdiri dari anggota Polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu.misalnya ahli kimia atau ahli patologi. Kalau pegawai negeri sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat pengangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai sipil.

B. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik negeri sipil diatur dalam Pasal ayat (1) huruf b, yaitu pegawai sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki


(28)

bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khususnya, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Lebih lanjut dapat dilihat kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan.

1. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah: a. Koordinasi penyidik Polri, dan

b. Di bawah pengawasan penyidik Polri

2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada

penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1))

3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (pasal 107 ayat (2)).

4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)).


(29)

5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (pasal 109 ayat (3)).18

3. Penangkapan

Sering kali dikatakan pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan

sejajar dengan arrest (inggris) sedangkan penahanan sejajar dengan detention

(inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.

Penangkapan pada Pasal 1 butir 20 KUHAP dijelaskan: “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

Dari defenisi penangkapan yang disebut dalam pasal 1 butir 20 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa yang berwenang melakukan penangkapau ialah:

a. Penyidik dan alas perintah penyidik juga penyelidik serta penyidik pernbanru

untuk kepentingan penyidikan.

b. Penuntut umum untuk kepentingan penuntutan.

18


(30)

c. Hakim untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan.

Untuk kepentingan penyidikan, maka baik penyidik maupun penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Penangkapan yang akan dilakukan ditujukan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Oleh sebab itu penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditajukan kepada orang yang benar-benar melakukan tindak pidana.19

a. Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana.

Mengenai alasan penangkapan atau syarat penangkapan terdapat dalam pasal 17:

b. Dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.

Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan pasal 17 ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Selanjtrtnya penjelasan pasal 17 menyatakan; “Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana”.

Sebagai pegangan, tindakan penangkapan bara dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu: “diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan

19


(31)

yang demikian, bias menimbulkan “kekurangpastian” dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup.20

Error in persona adalah suatu dwaling, saata salah faham atau kekeliruan dari pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jadi, salah paham tentang obyeknya perbuatan, umpamanya, apabila yang akan dibunuh itu A, kemudian dikira telah membunuh A, padahal sesungguhnya yang dianggap A itu adalah B.

4. Error in persona

21

Keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, Tetapi terdakwa dapat dipidana tergantung dari bunyinya dakwaan. Jika didakwa telah membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh karena memang kesengajaannya untuk itu tidak ada. Yang adalah untuk membunuh A. Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B. Rumusan pasal 338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain dari pada terdakwa). Jadi error in persona dalam contoh diatas tidak membawa akibat apa-apa.22

Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu. Sebagaimanatentang cara penelitian hams dilakukan, maka metode penelitian yang digunakan penulis mencakup antara lain:

G. Metode Penelitian

20

M. Yahya Harahap, Op Cit. halaman 158. 21

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2008, halaman 209. 22


(32)

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan pidana sebagai sarana kebijakan hukum pidana, dalam rangka pembangunan dan pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap eksistensi pidana badan di Indonesia dan aplikasinyaterhadap penegakan hukum di Indonesia.

2. Sumber Data

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang

terdiri dari :

a. Norma kaidah dasar yaitu pembukaan Undang-undang Dasar

Republik Indonesia 1945;

b. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Undang-undang No, 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang

Hukum acara pidana dan Undang-undang No. 2 Talum 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;


(33)

d. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

2) Badan Hukum Sekunder, yaitu badan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari:

a. Buku-buku yang terkait dengan hukum;

b. Artikel dijurnal hukum;

c. Komentar-komentar atas putusan pengadilan;

d. Skripsi, tesis dan Disertasi Hukum.

e. karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari :

a. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;

b. Majalah-majalah yang ada hubungatmya dengan penelitian ini;

c. Surat kabar yang berkaitan dengan materi skripsi;

d. Data skunder diatas akan didukung alat data primer berupa data

laporan 3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kepolisian Medan pada instansi :

a. Polda Sumatera Utara


(34)

4. Narasumber Penelitian

a. Kepala Direktur Resort kriminal Umum atau yang mewakilinya

b. Pelaku atau korban salah tangkap atau yang mewakilinya.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Library research (penelitian kepustakaan).

Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan. dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

b. Field research (penelitian lapangan)

Yaitu data dilakukan dengan cara wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada responden penelitian.

6. Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan

permasalahan dalam penelitian

b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan


(35)

H. Sistematika Penulisan

Dalam membantu penulis dan pembaca dalam memahami suatu skripsi perlu dibuat suatu sistematika (gambaran isi) dengan menguraikan secara singkat materi-materi yang terdapat didalam uraian mulai dari bab pertama sampai dengan bab yang terakhir sehingga tergambar hubunaan antara bab yang satu dengan bab yang lain.

Maka dalam penulisan skripsi ini penulis menyusun secara sistematis dalam beberapa bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang : Latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistemarika Penulisan.

BAB II : FUNGSI POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Tugas dan Fungsi POLRI secara umum, Fungsi POLRI dalam penegakan hukum, Penyimpangan Prilaku Penyidik dalam Penegakan Hukum

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI MENURUT

KUHAP TENTANG POLISI BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang :

Pertanggungjawaban Penyidik POLRI Menurut KUHAP Tentang Polisi Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Prosedur teknis Proses Praperadilan sebagai upaya


(36)

pertanggungjawaban Penyidik terkait kasus salah tangkap di POLDA Sumatera Utara Tanjung Merawa Medan.

BAB IV : KESIMPULAN dan SARAN

Dalam bagian terakhir ini akan diuraikan Kesimpulan dan Saran Skripsi.


(37)

BAB II

TUGAS DAN FUNGSI PENYIDIK POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM

A. Tugas dan Fungsi Polri Secara Umum

Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal yang dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi baik sebagai fungsi maupun organ. Pada awalnya polisi lahir bersama masyarakat untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri terhadap kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari masyarakat. Ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah polisi dibentuk sebagai lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi “Sicherheitspolitizei”. Kehadiran polisi sebagai organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect). 23

23

Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju POLRI yang Professional, Mandiri, Berwibawa,

dan dicintai Rakyat ,PTIK Press dan Restu AGUNG, Jakarta, 2006,halaman 36

Tugas, peran dan fungsi kepolisian suatu Negara selalu berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangannya itu dipengaruhi oleh banyak hal.Beberapa diantaranya adalah lingkungan, politik, ketatanegaraan, ekonomi maupun social budaya.Begitu pula dengan tugas, peran dan fungsi kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dari masa berdirinya Polri sebagaimana disahkan dalam Undang - Undang Dasar


(38)

(UUD) tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan sekarang, tugas, peran dan fungsinya mengalami perkembangan. Apabila dahulu pada masa awal disahkannya kepolisian nasional disamping melaksanakan tugas rutin kepolisian juga secara aktif ikut dalam perang mempertahankan kemerdekaan, maka pada saat sekarang ini berdasarkan Undang - Undang No 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 2 merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.24

Fungsi Kepolisian yang tercantum dalam Undang-undang tidak terlepas dari fungsi hukum dimana didalam dasar dari adanya Undang-undang tersebut yaitu tujuan pokok dari hukum yang dapat direduksi hal yaitu:25

1. Ketertiban

Ketertiban adalah tujuan utama dari hukum. Ketertiban merupakan syarat utama untuk suatu masyarakat yang ingin teratur. Pembangunan hanya dapat dilakukan di dalam masyarakat yang teratur. Disamping ketertiban ialah tercapainya keadilan. Keadilan tidak mungkin ada tanpa ketertiban. Untuk mencapai ketertiban perlu terciptanya kepastian dalam pergaulan.

24

senin14 januari 2013 pukul 15.30 25

B.Simanjuntak, Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana, Tarsito, bandung, 1982, halaman 11-13


(39)

2. Alat pembaharuan masyarakat

Dengan menciptakan Undang-undang maka dapat diciptakan pembaharuan sikap dan cara berfikir. Justru hakekat daripada pembangunan adalah pembaharuan sikap hidup. Tanpa sikap dan cara berfikir yang berubah maka pengenalan lembaga modern dalam kehidupan tak akan berhasil. Usaha berubah cara berfikir dalam jual beli yang sifatnya riel kearah berfikir yang konsensual diciptakanlah undang-undang pokok agraria. Menghentikan cara berfikir magis di Kalimantan seperti “mengayu”di larang melalui KUHP. Melarang perbudakan di Amerika (masalah hak sipil negro) diciptakan Undang-undang New deal.

Melihat daripada fungsi hukum diatas maka bila ada hukum, undang-undang yang tidak menciptakan ketertiban berarti undang-undang itu kehilangan fungsinya. Hukum demikian harus ditiadakan, dihapus. Hukum yang baik adalah hukum yang

sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya

sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain hukum undang-undang sebagai kaidah sosial dalam masyarakat bahkan dapat dikatakan hukum, undang-undang itu merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalm masyarakat. Nilai itu tidak lepas


(40)

dari sikap dan sifat yang dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang membangun itu.26

Sebagaimana yang ditentukan dalam Peaturan Pemerintah wilayah kepolisian dibagi secara berjenjang mulai tingkat pusat yang biasa disebut dengan Markas Besar Polri yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden, kemudian wilayah di tingkat Provinsi disebut dengan Kepolisian Daerah yang lazim disebut dengan Polda yang dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada Kapolri, di tingkat Kabupaten disebut dengan Kepolisian Resot atau disebut juga Polres yang dipimpin oleh seorang Kapolres yang bertanggungjawab kepada Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Agar dalam melaksanakan fungsi dan perannya diseluruh wilayah Negera Republik Indonesia atau yang dianggap sebagai wilayah negara republik Indonesia tersebut dapat berjalan dengan efektif dan effisien, maka wilayah Negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

26


(41)

Kapolda, dan di tingkat Kecamatan ada Kepolisian Sektor yang biasa disebut dengan Polsek dengan pimpinan seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres, dan di tingkat Desa atau Kelurahan ada Pos Polisi yang dipimpin oleh seorang Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi daerahnya.27

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

Berdasarkan Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 Bab 3 Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

2. Menegakkan hukum dan;

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat

Pasal 14, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

27


(42)

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum;


(43)

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratuf kepolisian;

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti;

j. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan/ atau surat keterangan yang di perlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Tugas Kepolisian berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Pasal 16 adalah:

1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dan 14 di bidang proses pidana, kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:


(44)

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakn serta memeriksa

tanda pengenal diri;

e. ‘melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;dan


(45)

2. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf I adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika meemenuhi syarat berikut ini:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan

e. Menghormati hak asasi manusia.

Lembaga kepolisian merupakan lembaga yang harus tetap berdiri tegak sekalipun negara runtuh, pemerintahan atau rezim jatuh atau untuk mengamankan warga masyarakat dari ekses-ekses yang mengancam jiwa, raga, dan harta bendanya. Bahkan pada saat negara negara diduduki tentara asing polisi tetap menjalankan tugasnya yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi adalah subordinasi dari masyarakatnya, dimana masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian polisi.28

Bermacam bentuk tindakan dan wewenang yang diberikan undang-undang kepada penyidik dalam rangka pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang. Mulai dari bentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan. Tapi harus diingat, semua tindakan penyidik yang bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan

28


(46)

pembatasan hak asasi seseorang, adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pada proporsi “demi untuk kepentingan pemeriksaan”, dan “benar-benar sangat diperlukan sekali”. Jangan disalahgunakan dengan cara yang terlampau murah, sehingga setiap langkah tindkan yang dilakukan penyidik, langsung menjurus ke arah penangkapan atau penahanan.29

Pelaksana penegakan hukum tidak hanya Criminal justice system (CJS) atau Catur Wangsa atau Panca Wangsa (termasuk Lembaga Pemasyarakatan), tetapi juga melibatkan pemerintahan (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk instansi pemerintah dan TNI) serta masyarakat pada umumnya (baik secara perseorangan maupun secara berkelompok) sesuai dengan peran mereka masing-masing.

30

B. Tugas dan Fungsi Polri dalam Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai btahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.31

Masalah penegakan hukum pada umumnya, termasuk di Indonesia mencakup tiga hal penting yang harus diperhatikan dan dibenahi, yaitu kultur masyarakat tempat

29

M. Yahya Haharap, Op,.cit, halaman 157

30

Bibit Samad Rianto, Op,.cit, halaman 45 31

Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan Hukum dalam Kerangka pembangunan di Indonesia, UIpress, Jakarta, 1983, halaman 3


(47)

dimana nilai-nilai hukum akan ditegakkan, struktur para penegak hukumnya dan terakhir substansi hukum yang akan ditegakkan. Disampingkan itu untuk mencegah tindakan main hakim sendiri kepada masyarakat harus secara kontinyu diberikan penyuluhan hukum agar taat hukum walaupun kemungkinan terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat itu juga sebagai dampak dari lemahnya penegakan hukum.32

Masalah penegakan hukum akan selalu terjadi sepanjang kehidupan manusia itu ada, semakin tumbuh dan berkembang manusia maka masalah penegakan hukum pun semakin bermacam-macam yang terjadi. Bicara tentang penegakan hukum tentunya tidak bisa lepas dari soal aparat yang menempati posisi strategis sebagai penegak hukum yaitu Polisi Jaksa dan Hakim yang terbatas pada masalah profesionalitas.33

Konsep negara hukum, bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya suatu wewenang yang harus bersumber dari

Kepolisian di dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 Pasal 2 yang merupakan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

32

Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana khusus, Liberty, Yogyakarta, 2009, halaman 32

33

Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan


(48)

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga di dalam suatu Negara Hukum penerapan asas asas Legalitas menjadi salah satu prinsip utama yang menjadi dasar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama bagi Negara-negara hukum

yang menganut system civil Law (Eropa Kontinental). Dengan demikian setiap

penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi yakni suatu kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang.34

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu penyelenggara kegiatan pemerintahan di bidang penegakan hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat tidaklah memiliki tugas yang ringan, karena ruang lingkup tugas kepolisian sangat luas yakni seluruh masyarakat, dan perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, mengakibatkan adanya perubahan tuntutan pelayanan

Wewenang kepolisian yang diperoleh secara atributif, yakni wewenang yang dirumuskan dalam pasal peraturan undang-undangan seperti wewenang kepolisian yang dirumuskan Pasal 30 ayat (4) Undang-undang Dasar, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, dan lain-lain. Berdasarkan wewenang atributif tersebut kemudian dalam pelaksanaannya lahir wewenang delegasi dan wewenang mandat, yakni pemberian wewenang dari satuan atas kepada satuan bawah (berupa mandat), maupun pendelegasian kepada bidang-bidang lain di luar struktur.

34


(49)

terhadap masyarakat di segala bidang, termasuk pelayanan kepolisian terhadap masyarakat.35

Tata cara penyelidikan adalah:

Berdasarkan undang Nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang Hukum acara Pidana (KUHAP) maka wewenang yang diberikan Undang-undang ini kepada aparat kepolisian adalah kewenangan dalam hal melaksanakan tugas sebagai penyelidik dan penyidik.

Penyelidikan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

36

1. Penyelidik dalam melakukan penyelidikan wajib menunjukkan tanda

pengenalnya. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut diatas, penyelidik wajib membuat berita acara dan

35

Mahmud Mulyadi Op,.cit, halaman 40

36

Mohammad Taufik Makarao,Suhasril, hukum acara Pidana dalam teori dan praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, halaman 24-25


(50)

melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu atau penyelidik. Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catataan dalam laporan atau pengaduan tersebut. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.

2. Penyelidik dikoordinasi, diawasi, dan diberi, petunjuk oleh penyidik. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi, dan diberi petunjuk oleh penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Dapat dikatakan bahwa penyelidik adalah polisi terdepan atau paling utama yang ditugaskan untuk melakukan tugas mengungkapkan suatu tindak pidana, dalam KUHAP tidak ditentukan pangkat dari polisi yang bertugas melakukan penyelidikan. Tetapi dari ketentuan di atas dan ketentuan Peraturab Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Pasal 2, kita dapat mengambil patokan bahwa penyelidik adalah polisi yang berpangkat di bawah pembantu letnan dua, atau jika di suatu tempat tidak ada pejabat penyidik berpangkat pembantu letnan dua melainkan hanya berpangkat bintara, maka penyelidik adalah berpangkat di bawah bintara.37

KUHAP dalam ketentuan umum, Pasal 1 ayat (1) penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil terteentu yang

37


(51)

diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dan kemudian menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan dilakukan setelah adanya tahap penyelidikan terlebih dahulu yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.

Ini berarti semua pegawai kepolisian negara tanpa kecuali telah dilibatkan di dalam tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakikatnya merupakan salah satu bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang ada hubungannya yang erat dengan tugas-tugas yang lain, yakni sebagai satu keseluruhan upaya para penegak hukum untuk membuat seseorang pelaku dari suatu tindak pidana itu harus

mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum pidana di depan hakim.38

Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas penyelidikan seperti yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, sudah barang tentu perlu benar-benar memahami tentang dasar-dasar pemikiran dari pembentuk undang-undang mengenai pembentukan dari Undang-undang Hukum Acara Pidana yang harus mereka

38

P.A.F Lamintang, Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP,menurut ilmu pengetahuan


(52)

tegakkan, seperti asas-asas yang dimiliki oleh hukum acara pidana itu sendiri, kewajiban dan wewenang yang mereka punyai, batas-batas dari penggunaan wewenang yang mereka punyai, dan batas-batas dari penggunaan wewenang yang mereka miliki. Semua hal ini mempunyai hubungan yang erat dengan putusan kehendak dari pembentuk undang-undang untuk memberikan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dan untuk adanya ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.39

a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia;

Penyidikan perkara dilakukan oleh pejabat-pejabat kepolisian tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP bahwa:

Penyidik adalah:

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU.

Istilah penyidikan sinonim dengan pengusutan, merupakan terjemahan dari istilah Belanda Osporing atau dalam bahasa inggrisnya Investigation.40

39

Ibid, halaman 47-48 40

Djoko Prakoso,Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum , PT Bina Aksara, Jakarta, 1987, halaman 5

Penyidik berasal dari kata sidik, yang berarti terang dan bekas. Maksudnya penyidikan membuat terang atau jelas dan penyidikan berarti mencari bekas-bekas kejahatan.


(53)

Bertolak dari kedua kata terang dan bekas arti kata sidik itu, maka penyidikan artinya membuat terang kejahatan.41

Jika ditinjau dari sistem hukum acara sebelum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan penyidikan adalah merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak hukum yang diberi wewenang untuk itu, yang dilakukan setelah diketahui olehnya akan terjadi atau diduga terjadinya suatu tindak pidana.42

Tidak dapat dielakkan, betapa pentingnya peran penegak hukum sebagai pagar penjaga yang mencegah dan memberantas segala bentuk penyelewengan atau tingkah laku menyimpang, baik di pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita. Tetapi dari pengalaman dan pengamatan yang ada, sangatlah berlebihan kalau longgarnya simpul moral itu hanya bersumber dan terbatas pada penegak hukum. Begitu pula anggapan seolah-olah segala sesuatu akan menjadi baik apabila penegak hukum telah baik.43

Penyidik tidak boleh melakukan penyidikan, penahanan, ataupun penyitaan seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yakni apabila

41

R. Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil,Politeia,Bogor, 1996 halaman 17

42

Djoko Prakoso, Penyidik Penuntut Umum Dan Hakim dalam Proses Hukum Acara Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987, halaman 8

43

Sholeh so’an, moral penegak hukum di indonesia,(pengacara, hakim, polisi, jaksa), agung mulia, 2004, halaman 13


(54)

ia tidak ingin disebut telah melakukan tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum.44

Tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa perbuatan-perbuatan menyelidik, menyidik, dan menuntut menurut hukum pidana bersifat hukum publik. Ini berarti untuk menyelidik dan menyidik seseorang yang disangka telah melakukan sesuatu tindak pidana, para penyelidik dan penyidik pada dasarnya dapat melaksanakan kewajiban mereka dengan tidak digantungkan pada adanya suatu laporan atau suatu permintaan dari seseorang yang telah merasa dirugikan oleh sesuatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.45

a. Menerima laporan dan pengaduan

Agar pelaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai penyelidik maka penyelidik memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana yang diatur pada Pasal 5 KUHAP yang meliputi :

Setiap laporan atau pengaduan yang disampaikan oleh seseorang kepada penyelidik, maka penyelidik memiliki hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Prinsip setiap laporan atau pengaduan yang disampaikan kepada penyelidik wajib diterima dan berwenang untuk menanganinya baik hal itu yang bersifat pemberitahuan biasa atau laporan, maupun yang bersifat delik aduan, yang dimaksud dengan pengaduan ialah adanya tuntutan (permintaan ) dari seseorang yang

44

P.A.F Lamintang, Theo Lamintang, Op,.cit, halaman 34

45


(55)

menderita kerugian atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang

terhadap dirinya, agar terhadap orang tersebut dapat diambil tindakan hukum.46

b. Mencari keterangan dan barang bukti

Menurut ketentuan Pasal 103 ayat (1), apabila penyelidik menerima laporan atau pengaduan harus segera melakukan penyelidikan yang diperlukan, baik hal itu atas dasar pengetahuannya sendiri maupun berdasarkan laporan atau pengaduan, penyelidik harus segera melakukan tindakan yang diperlukan.

Tujuan dari penyelidikan dimaksudkan sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan, guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan, dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan. Penyelidikan sangat penting untuk dilakukan , karena jika penyidikan dilakukan tanpa disertai persiapan dan landasan hukum yang memandai yang berasal dari proses penyelidikan maka tindakan penyidikan yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan dapat terjadi suatu tindakan pra peradilan.47

c. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHAP, penyelidik memiliki kewajiban dan

wewenang untuk menyuruh berhenti orang yang dicurigai.

Untuk menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, hal ini dilakukan karena dalam rangka melakukan tugas penyelidikan tidak mungkin penyelidik tidak mengetahui identitas seseorang. Terhadap pelaksanaan wewenang ini, penyelidik

46

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito,Bandung, 1976 halaman 35 47


(56)

tidak perlu memiliki surat perintah khusus atau dengan surat apapun, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 KUHAP.

d. Tindakan lain menurut hukum

Wewenang penyelidik untuk melakukan tindakan lain menurut hukum dalam melakukan penyelidikan tidak memiliki arti dan pengertian yang cukup jelas. Jika ditelaah dari penjelasan Pasal 5 ayat 1 huruf a butir 4, yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya

tindakan jabatan

3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya

4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa

5. Menghormati hak asasi manusia

e. Kewenangan berdasarkan perintah penyidik

Tindakan dan kewenangan Undang-undang melalui penyelidik dalam hal ini lebih tepat merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik yang berupa:48

48


(57)

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Selain wewenang tersebut, penyelidik juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan. Laporan hasil penyelidikan tersebut harus disampaikan secara tertulis oleh penyelidik, hal ini bertujuan sebagai pertanggungjawaban dan pembinaan pengawasan terhadap penyelidik.

Penyelidikan merupakan tindakan, bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas

kepada penuntut umum.49

49

Ratna Sari, Op.Cit., halaman 30

Berdasarkan kewenangan tersebut dan untuk membantu memperlancar proses penyidikan maka seorang aparat kepolisian juga berwenang untuk melakukan:


(58)

A. Penangkapan

Wewenang yang diberikan kepada penyidik khusus nya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Teantang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sangatlah luas. Bersumber dari wewenang tersebut,penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, selama masih berpijak pada suatu landasan hukum yang sah. Salah satu wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku tindak pidana, dengan perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, ini berarti penyidik sekurang-kurangnya telah memiliki dan memegang sesuatu barang bukti, atau pada seseorang kedapatan benda/benda curian, atau telah mempunyai sekurang-kurangnya seorang saksi.50

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut diatas maka penangkapan merupakan suatu bentuk tindakan pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka untuk keperluan penyidikan atau penuntutan dengan tata cara yang diatur dalam KUHAP. Walaupun penangkapan adalah wewenang dari penyidik, bukan berarti penyidik dapat menangkap seseorang dengan sesuka hati.

Pasal 1 Ayat 20 KUHAP menjelaskan bahwa “ Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.

51

50

Mohammad Taufik Makarao,Suhasril, Op.cit, halaman 34 51

Mahmud Mulyadi, Op.cit, halaman 19


(59)

tersangka pelaku tindak pidana kejahatn harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 KUHAP yaitu:

1. Seorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana 2. Dugaan tersebut harus didasarkan bukti permulaan yang cukup.

Dalam melakukan penangkapan, penyidik harus melakukan cara-cara yang diatur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 KUHAP yakni:

a. Pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas Kepolisian Negara republik

Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat 2 KUHAP Jaksa Penuntut Umum memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan dalam kedudukannya sebagai penyidik.

b. Petugas yang diperintahkan untuk melakukan penangkapan harus membawa

surat tugas penangkapan, dan penyidik wajib menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka agar demi adanya kepastian hukum terhadap keluarga tersangka. Kecuali dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana maka penyidik dapat melakukan penangkapan tanpa harus disertai surat perintah penangkapan dengan ketentuan penyidik harus segera menyerahkan pelaku yang tertangkap tangan kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

Penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana kejahatan memiliki batas waktu selama 1 (satu) hari, hal ini sebagaimana yang ditentukan


(60)

dalam Pasal 19 ayat 1 KUHAP. Penangkapan yang dilakukan lebih dari satu hari dikatakan sebagai suatu pelanggaran hukum dan penangkapan dianggap tidak sah sehingga tersangka harus dibebaskan dengan segera. Tersangka, keluarga tersangka ataupun penasehat hukumnya dapat mengajukan praperadilan terhadap sah atau tidaknya penangkapan tersangka dan dapat menuntut ganti rugi.

Penangkapan tidak boleh dilakukan terhadap tersangka tindak pidana pelanggaran sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 19 ayat 2 KUHAP, namun apabila tersangka tindak pidana pelanggaran tidak memenuhi panggilan penyidik selama 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah maka tersangka dapat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan paksa untuk dilakukan pemeriksaan.

B. Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang, sehingga penahanan merupakan suatu kewenangan penyidik yang sangat

bertentangan dengan hak asasi manusia.52

52

Ibid, halaman 20

Penahanan berkaitan erat dengan penangkapan karena seorang tersangka pelaku tindak pidana yang setelah ditangkap dan memenuhi persyaratan sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-undang, baru


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam sistem peradilan pidana, USU press, Medan,2009.

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi dalam pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat perbandingan perspektif dan prospeknya, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998

Ratna Sari, penyidikan dan penuntutan dalam hukum acara pidana, kelompok studi hukum dan masyarakat fakultas hukum USU, Medan , 1995.

Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan ruang lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986.

Anton F. Susanto, Wajah Peradilan Kita, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004.

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHP,(penyidikan dan penuntutan)buku I, Sinar grafika, Jakarta, 2007.

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung, 1997.

Anton Tabah, Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,1991.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2008.

Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju POLRI yang Professional, Mandiri, Berwibawa, dan dicintai Rakyat ,PTIK Press dan Restu AGUNG, Jakarta, 2006.

B.Simanjuntak, Hukum Acara Pidana dan Tindak Pidana, Tarsito, bandung, 1982.

Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan Hukum dalam Kerangka pembangunan di Indonesia, UIpress, Jakarta, 1983.


(2)

Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana khusus, Liberty, Yogyakarta, 2009.

Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Mohammad Taufik Makarao,Suhasril, hukum acara Pidana dalam teori dan praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010.

P.A.F Lamintang, Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP,menurut ilmu pengetahuan hukum pidana dan yurisprudensi, Sinar Grafika, 2010 .

Djoko Prakoso,Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum , PT Bina Aksara, Jakarta, 1987.

R. Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil,Politeia,Bogor, 1996.

joko Prakoso, Penyidik Penuntut Umum Dan Hakim dalam Proses Hukum Acara Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Sholeh so’an, moral penegak hukum di indonesia,(pengacara, hakim, polisi, jaksa), agung mulia, 2004.

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito,Bandung, 1976 . R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983.

Yesmil Anwar& Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung, 2009.

H. Sunaryo dan Ajen Dianawati, Tanya Jawab seputar hukum acara pidana, Visimedia, jakarta, 2009.

P.A.F Lamintang & Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Warsito Hadi Utomo, Hukum kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka,

Jakarta, 2005.


(3)

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi perlindungan Korban kejahatan antara norma dan realita, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007

Supriadi, Etika dan tanggung jawab profesi hukum di indonesia, Sinar grafika, Jakarta, 2008.

Soejono Dirdjosisworo, sinopsis kriminologi indonesia, CV. Mandar maju, bandung 1994.

Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia diIndonesia

Loeby Loqman , Praperadilan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1987, , Bandung: PT. Alumni, 2001.

B. Simandjuntak, Hukum Acara Pidana dan tindak Pidana Khusus, Tarsito, bandung, 1982.

B. Undang-undang

Undang-undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 Tentang Pelanggaran Disiplin Kepolisian Republik Indonesia

Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2006 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia


(4)

C. Internet

di akses pada tanggal 7 Desember 2012, pukul 15.30

Sosial Perusahaan, Diakses tanggal 28 November 2012, jam 15.34 WIB

pada hari senin14 januari 2013 pukul 15.30

tanggal 5 januari 2013 pukul 15.30

Wib

diakses pada hari jumat tanggal 1 februari 2013 15.30 Wib

tanggal 1 februari 2013 15.30 Wib

diakses pada hari jumat tanggal 1 februari pukul 15.30 WIB

diakses pada hari jumat tanggal 1 februari 2013 pukul 15.30 Wib


(5)

hari jumat 1 februari 2013 15.30 Wib

diakses pada hari jumat 1 februari 2013 15.30 Wib

diakses pada hari jumat 1 februari 2013 15.30 Wib

diakses pada

jumat 1 februari 2013 pukul 15.30 Wib

diakses pada

hari jumat 1 februari 2013 15.30 Wib.

diakses pada hari jumat 1

februari 2013 15.30 Wib.

diakses pada hari jumat 1 februari 2013 15.30 Wib.

diakses pada hari jumat 1februari 2013 15.30 wib

pada 1februari 15.30 wib


(6)

Arhjayati Rahim, ,

Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kinerja Penyidik, diakses Pada 1 februari 2013 15.30 wib

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, bab 5 mengenai wewenang pengadilan

untuk mengadili, bagian praperadilan da

15.30 wib

diakses

pada hari jumat 1 februari 2013 15.30 Wib

D. Makalah Hukum

Frans Hendra Winarta, berita diambil dari situs

Frans hendra winarta, membangun profesionalisme aparat penegak hukum,makalah hukum berita diambil dari situs

Kusnu goesniadhie s, perspektif moral penegakan hukum yang baik

Ediwarman, Paradoks penegakan hukum pidana dalam perspektif kriminologi di indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 8 No.1 Mei 2012