ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TERPIDANA DALAM HAL TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA

(1)

A. Latar Belakang

Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Apabila hasil dari penyelidikan tersebut penyelidik menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana (delict) maka statusnya akan ditingkatkan pada tahap penyidikan yang ditujukan untuk mencari bukti dan menemukan tersangkanya. Selanjutnya penyidik apabila telah menemukan bukti permulaan yang cukup dan mengarah kepada seseorang sebagai tersangkanya dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tersebut.

Penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang istimewa yang diberikan oleh undang-undang namun tidak berarti dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Penangkapan merupakan suatu proses hukum yang sangat penting sebab akan berpengaruh terhadap tahap-tahap proses hukum selanjutnya. Oleh karena itu penangkapan harus dilakukan secara teliti, hati-hati dan cermat oleh penyidik. Berdasarkan Pasal 1 butir 20 KUHAP disebutkan bahwa:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”


(2)

Tapi yang harus diingat adalah bahwa penangkapan tersebut harus sesuai dengan cara-cara yang sudah ditentukan dalam KUHAP yakni pada Bab V bagian kesatu Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Penangkapan bisa dianggap sebagai bentuk pengurangan dari hak asasi seseorang, oleh karena itu tindakan penangkapan harus benar-benar diletakkan pada proporsinya yaitu hanya demi kepentingan hukum dan benar-benar sangat diperlukan (Yahya Harahap, 2002 : 157).

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami suatu kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan penyidiknya dalam praktek di lapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Apabila terjadi kesalahan dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan praperadilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian. Namun apabila kesalahan dari proses penangkapan tersebut tidak diketahui dan baru diketahui setelah perkaranya diputus oleh pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, maka terpidana atau terhukum bisa melakukan suatu upaya hukum luar biasa setelah putusan hakim tersebut meskipun telah berkekuatan hukum tetap.

Terhadap seorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya setelah diputus bersalah oleh suatu pengadilan tidaklah seketika tertutup jalan keadilan baginya. Keadilan dalam konteks apapun merupakan suatu hak bagi siapapun juga yang ingin mendapatkannya sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak hanya bagi yang merasa dirugikan sebagai


(3)

atau keadaan hukum baru yang lebih lazim disebut dengan istilah “novum” Pengertian novum berdasarkan Undang-undang dapat dilihat dalam Pasal 263 ayat (2) huruf (a) :

“Keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat. Bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”

Novum tersebut maka bagi seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannya dapat melakukan suatu upaya hukum tertentu. Dari pengertian novum atau keadaan baru tersebut dapat disimpulkan bahwa novum itu hanya bisa diperuntukkan terhadap suatu putusan dari pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, yakni suatu putusan paling akhir dari pengadilan dan bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang divonis dalam putusan tersebut. Mereka sudah tidak memiliki pilihan apapun kecuali menjalankan putusan pengadilan tersebut dan jika menolak penegak hukum memiliki wewenang untuk secara paksa mereka menjalani isi dalam vonis tersebut.

Seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat menempuh upaya hukum luar biasa apabila dikemudian hari ditemukan suatu novum atau bukti baru yang kuat. Bukti baru ini bisa bermacam-macam sepanjang bukti atau keadaan baru tersebut menimbulkan dugaan kuat apabila sudah diketahui ketika persidangan perkaranya masih berlangsung akan dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Salah satunya yang bisa menjadi novum adalah apabila


(4)

Salah satu fenomena atau permasalahan kasus yang akan menjadi contoh dalam tulisan ini terkait upaya hukum dan tanggung jawab penyidik Polri ketika terjadi salah tangkap terhadap terpidana Roli bin Usman dan Wandi bin Sunari yang dituduh melakukan pembegalan dan pembunuhan terhadap korban yang bernama Sariyun. Berdasarkan keterangan yang penulis dapatkan, selain adanya dugaan salah tangkap oleh aparat Polri, ternyata dalam kasus Roli dan Wandi tersebut terdapat dugaan kasus penganiyayaan. Proses penyiksaan terjadi sejak proses penangkapan, yaitu pada tanggal 10 Juli 2010 di Baturaja Sumatera Selatan.

Keduanya ditangkap oleh dua orang anggota polisi dan satpam PT. GGP dan selanjutnya dinaikan kedalam mobil. Diatas mobil, proses penyiksaan mulai terjadi, diantaranya mulut dipukul dengan kunci inggris, telinga disundut rokok, mata ditutup dan disepanjang jalan terus dipukuli. Dalam perjalanan menuju lampung, salah satu aparat polisi berpakaian preman memaksa Roli untuk mengaku membunuh Sariyun.

Kedua korban tersebut tetap tidak mengaku, akhirnya pinggang Sdr. Roli dijepit dipintu, dan ketika tiba di Lampung, Roli di seret keluar dari mobil dengan leher diikat pakai tali lalu ditarik diseret dari mobil. Pada tanggal 2 dan 3 Mei 2011, Sdr. Roli dan Sdr. Wandi dibebaskan dari vonis 9 tahun. Karena tidak terbukti keduanya membunuh Sariyun, maka pengadilan Tinggi Lampung menganulir putusan Pengadilan Negeri Kotabumi yang

sebelumnya memvonis mereka 9 tahun.

(http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1297 diakses pada 1 September 2011).


(5)

dijelaskan tentang Ganti kerugian sebagai berikut :

“Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”

Selanjutnya tentang Rehabilitasi dijelaskan dalan Pasal 97 ayat (1) KUHAP sebagai berikut : “Seorang berhak memperoleh Rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namum seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik. Tanggung jawab hukum dari penegak hukum dalam hal ini yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia mengacu kepada ketentuan dalam peraturan tentang Kepolisian yaitu dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Isi dari undang undang ini mengatur tentang fungsi, tugas dan wewenang dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penegak hukum.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut dalam penulisan hukum yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Penyidik Polri Dan Upaya Hukum Yang Dilakukan Oleh Terpidana Dalam Hal Terjadinya Salah Tangkap Atau Error In Persona”.


(6)

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat ditentukan beberapa masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana pertanggungjawaban penyidik Polri dalam hal terjadinya error in persona berdasarkan sistem hukum acara pidana di Indonesia ?

2) Bagaimana upaya hukum bagi terpidana dalam hal terjadinya error in persona oleh penyidik Polri berdasarkan sistem hukum acara pidana Indonesia?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah:

a. Pertanggungjawaban penyidik Polri kepada terpidana dalam hal salah tangkap atau error in persona yang dilakukannya.

b. Upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik Polri.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab dan kewajiban hukum penyidik Polri apabila terjadi error in persona saat mereka menjalankan tugasnya.

2. Untuk mengetahui upaya hukum apa saja yang dapat ditempuh seorang terpidana untuk mencari keadilan apabila menjadi korban dalam error in persona oleh penyidik Polri.


(7)

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

1) Kegunaan teoritis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya pengembangan secara teoritis dalam bidang disiplin ilmu hukum khususnya hukum pidana mengenai tanggung jawab penyidik dalam hal terjadinya error in persona dan upaya hukum yang dapat dilakukan terpidana.

2) Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai upaya hukum apa saja yang dapat ditempuh seorang terpidana untuk mencari keadilan apabila menjadi korban dalam error in persona oleh penyidik Polri.

b. Kegunaan Praktis

1) Sebagai bahan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama.

2) Sebagai bahan acuan dan sumber informasi bagi yang membutuhkan. 3) Sebagai sumber atau literatur data di perpustakaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).


(8)

Menurut Tolib Setiady (2010 : 145) menjelaskan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.

Secara teoritis menurut Roeslan Saleh, (1999: 86) menjelaskan mengenai definisi pertanggungjawaban sebagai berikut:

“Pertanggungjawaban hukum adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan dihadapan hukum. Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana”.

Empat Pertanggungjawaban penyidik polri terdiri dari: 1. Pertanggungjawaban secara hukum disiplin

2. Pertanggungjawaban secara hukum perdata 3. Pertanggungjawaban secara kode etik 4. Pertanggungjawaban secara hukum pidana

Menurut Reksodiputro (1997 : 21) fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya.


(9)

kepolisian negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa Penyidikan itu adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Andi Hamzah (2006 : 118-119), secara global menyebutkan beberapa bagian Hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah :

a. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan

b. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik c. Pemeriksaan di tempat kejadian

d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa e. Penahanan sementara

f. Penggeledahan

g. Pemeriksaan atau interogasi

h. Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat) i. Penyitaan

j. Penyampingan perkara

k. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada Penyidik untuk disempurnakan.

Adapun mengenai Penyelidik menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah orang yang melakukan Penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan batasan ini dapat diketahui bahwa tampak jelas hubungan erat tugas dan fungsi penyidik dan penyelidik. Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub


(10)

Menurut KUHAP, definisi penangkapan ialah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau dalam hal peradilan serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan pengertian penahanan menurut KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat suatu tertentu oleh penyidik dan atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Menurut Yahya Harahap ( 2002 : 45) salah tangkap (error in persona) adalah orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan.

Menurut Leden Merpaung (2004 : 42) upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atas kepentingan untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

2. Konseptual

Dalam kerangka konseptual ini dijelaskan tentang berbagai macam istilah yang akan dipergunakan dalam penelitian sebagai bahan informasi untuk mempermudah bagi pembaca. Istilah-istilah tersebut dijelaskan dengan batasan-batasan secara singkat agar tidak menyimpang dari topik penelitiannya.


(11)

kematangan/kecerdasan yang membawa 3 kemampuan yaitu mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri, mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan, mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu. (Tri Andrisman, 2009 : 97) b. Penyidik Polri adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia

(sekurang-kurangnya berpangkat pembantu letnan dua) yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. (Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP)

c. Pengertian upaya hukum dapat ditemukan di dalam KUHAP yaitu Pasal 1 ayat (12). Di dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang. Sedangkan pengertian upaya hukum menurut ahli hukum yang penulis kutip dari pendapat Luhut M. Pangaribuan bahwa upaya hukum adalah suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada para pihak dalam suatu perkara untuk tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan. (Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP)

d. Terpidana adalah orang yang tengah menjalani masa hukuman atau pidana dalam lembaga pemasyarakatan. (Andi Hamzah, 2008 : 64)

e. Error In Persona atau salah tangkap memiliki arti apabila terjadi kekeliruan mengenai kekeliruan terhadap orang yang ditangkap atau ditahan sedangkan orang yang


(12)

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian hukum ini penulis mencoba akan memaparkan sistematika penulisannya terlebih dahulu sebagai berikut ini.

I. PENDAHULUAN

Pada Bab.1 diuraikan mengenai pendahuluan yang berisi penjelasan tentang latar belakang permasalahan, pokok pemasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, dan sistimatika penulisan hukum yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kemudian di dalam Bab.2 penulis memaparkan secara singkat mengenai sistim hukum acara pidana yang belaku di Indonesia berdasarkan pada KUHAP. Secara urut penulis akan membahas mengenai tinjauan umum tentang pertanggungjawaban Polri, penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana, penangkapan dan penahanan terhadap tersangka/terdakwa, upaya hukum terhadap putusan hakim dan error in persona.


(13)

pengumpulan data/bahan hukum yang digunakan penulis, dan teknik analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Selanjutnya pada Bab.4 dibahas upaya hukum terpidana dan tanggung jawab penyidik Polri dalam hal terjadi error in persona. Bab 4 ini terdiri dari subbab mengenai upaya hukum terpidana sebagai korban dalam error in persona, Rehabilitasi, Ganti Kerugian, dan tanggung jawab Penyidik Polri berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Indonesia dan Kode Etik Profesi Kepolisian Indonesia dalam Kep. Kapolri No. Pol. : KEP/0 1 /VII/2003.

V. PENUTUP

Kemudian terkahir dalam Bab.5 penulis uraikan simpulan tentang penelitian ini dengan mengacu pada pertanyaan yang terdapat dalam pokok permasalahan, serta memberikan saran-saran yang relevan dengan penelitian tersebut.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Polri

Dalam melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan hukum berdasarkan ketentuann hukum, maka hilanglah sifat melanggar hukum tersebut, misalnya: tugas Polisi dalam menangkap, menahan, menggeledah, memborgol, dan sebagainya. Semua itu dilakukan berdasarkan kewenangan berdasarkan hukum KUHAP sehgingga anggota polisi tersebut tidak melanggar HAM.

Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan demikian anggota Polri sebagai warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan warga Negara lainnya.

Tindakan setiap anggota Polri di dalam rangka wewenang hukum dapat dibenarkan sedangkan tindakan yang di luar atau melampaui wewenang hukumnya tidak dibenarkan, atau memang tidak mempunyai wewenang hukum untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak wajar, harus dipandang sebagai tindakan perseorangan secara pribadi yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.


(15)

Pertanggungjawaban Polri tersebut perlu ditegakkan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan sehingga dalam pertanggungjawaban hukum tersebut termuat juga pengertian perlindungan hukum bagi anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Polri mempunyai 4 bentuk pertanggungjawaban apabila melalaikan tugasnya. 4 pertanggungjawaban tersebut antara lain, yaitu:

1. Pertanggungjawaban Secara Hukum Disiplin

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI, ditetapkan bahwa kepolisian Negara RI tunduk kepada peraturan disipllin Polri. Peraturan disiplin anggota kepolisian Negara RI pada dasarnya adalah serangkaian norma untuk membina, menegakkan disiplin dan memelihara tata tertib kehidupan anggota kepolisian Negara RI. Apabila Anggota Polri melanggar HAM dan berkaitan dengan yang tercantum pada Pasal 5 dan Pasal 6 hukum disiplin Polri, maka anggota Polri tersebut dikenakan hukuman disiplin.

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003, menegaskan hukuman disiplin tersebut berupa:

a. Teguran tertulis

b. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun c. Penundaan kenaikan gaji berkala

d. Penundaan kenaikan pangakat untuk paling lama 1 (satu) tahun e. Mutasi yang bersifat demosi

f. Pembebasan dari jabatan


(16)

Tujuan penjatuhan hukuman disiplin tersebut ialah untuk memperbaiki dan menuntun anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu, setiap atasan yang berhak menghukum (ankum) wajib memeriksa terlebih dahulu dengan seksama anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin itu.

2. Pertanggungjawaban Secara Hukum Perdata

Selain Pasal 1365 KUHPdt, masalah ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1988. Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud daIam Pasal 77 huruf b dan Pasal 94 KUHAP, adalah imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000 (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).

Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah). Adapun pembayaran ganti kerugian tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan penetapan pengadilan (Pasal 11). Tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

Salah satu tugas polisi adalah menegakkan Hak Asasi Manusia bukan berarti ia kebal hukuman. Polisi tetap dapat dihukum apabila ia melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya, dan ancaman hukum yang dapat menimpanya antara lain adalah hukum perdata. Apabila ditinjau dari sudut tersangka yang ditangkap, resiko penderitaan lebih besar lagi, karena resiko yang harus ia derita meliputi; kerugian yang bersifat material, dan immaterial.


(17)

Kerugian yang bersifat material yang diderita oleh si tersangka adalah kerugian-kerugian yang dapat diperhitungkan dengan uang, sebagai contoh tersangka A ditangkap polisi, karena melanggar Undang-Undang HAM. A adalah seorang pedagang, selama berada dalam penangkapan, dan kemudian ditahan seharusnya ia dapat menyelesaikan bisnis dagangannya dengan kemungkinan keuntungan-keuntungan yang sudah dapat dipastikan. Tetapi karena ditangkap polisi, keuntungan itu hilang.

Kerugian yang bersifat immaterial adalah kerugian - kerugian yang diderita oleh si tersangka meliputi hal-hal, perasaan takut, sedih, malu, sakit, kejutan psikis, dan lain-lain, sebagai contoh tersangka B ditangkap polisi, karena melanggar Undang-Undang HAM sewaktu ditangkap seluruh tetangganya melihat dan berita tersebut dengan cepat menyebar luas keseluruh penjuru kota. Padahal sebelum peristiwa penangkapan itu semua orang tahu bahwa B adalah warga yang baik dan terpandang. Akibat dari penangkapan itu B menderita rasa malu, sedih dan mengalami kejutan psikis, termasuk juga seluruh keluarganya. Tentu rasa malu dan tercemar nama baiknya itu tidak mudah dalam waktu singkat dipulihkan.

3. Pertanggungjawaban secara Kode Etik

Etika kepolisian ialah serangkaian aturan dan peraturan yang ditetapkan untuk membimbing petugas dan menentukan apakah tingkah laku pribadi benar/ salah. Etika kepolisian meliputi 2 hal yaitu :

1) Etika pengabdian 2) Etika kelembagaan


(18)

Etika pengabdian

Etika Pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Polri terbadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyuakat. Isi dari etika pengabdian tercantum dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Kode Etik Profesi Polri. Garis besarnya tercantum dalam Pasal 5 yang isinya sebagai berikut Anggota Polri dalam memberikan pelayanan pada masyarakat senantiasa:

a) memberikan pelayanan terbaik.

b) selamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama. c) Mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit

d) Bersikap hormat kepada siapa pun, tidak congkak I arogan karena kekuasaan. e) Tidak beda-bedakan cara pelayanan.

f) Tidak kenal waktu istirahat /hari libur. g) Tidak bebani biaya (kecuali diatur U.U).

h) Tidak boleh tolak permintaan bantuan dengan alasan bukan wilayah hukum-nya /kurang alat dan orang. Tidak keluarkan kata-kata /lakukan gerakan anggota tubuh yang isyarat minta imbalan.

Pasal 7 Kode Etik Profesi Polri dinyatakan bahwa :

Anggota kepolisian negara republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

1) Bertutur kata kasar bernada kemarahan

2) Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas 3) Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat

4) Mempersulit masyarakat yang butuhkan bantuan /pertolongan 5) Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat 6) Perbuatan yang dirasakan rendahkan martabat perempuan

7) Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur.

8) Merendahkan harkat dan martabat manusia

Etika kelembagaan


(19)

terhadap Institusinya yang menjadi wadah pengabdian dan peraturan dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan bhayangkara dengan segala martabat pada kehormatan.

4. Pertanggungjawaban secara Hukum Pidana

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 2 Tahun 2003 ditentukan bahwa proses peradilan pidana bagi anggota Polri dilakukan menurut hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan umum. Penyidikan terhadap anggota Polri yang dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana yang berlaku. penyidikan terhadap anggota Polri harus memperhatikan TKP dan jika anggota Polri tersebut sebagai tersangka dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian, sejak dilakukan proses penyidikan sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 17 Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara Pidana, Perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Pasal 18 ayat (1) Undang - Undang No. 39 tahun 1999 mengatakan bahwa:


(20)

melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak berrsalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberiikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelanya, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.”

Anggota Polri yang melanggar ketentuan mengenai HAM tersebut maka anggota Polri tersebut dapat dihukum sesuai dengan hukum pidana yang berlaku.

B. Penyelidikan dan Penyidikan

1. Penyelidikan

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 5, yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima proposal, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.


(21)

Penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse yang tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran. (Andi Hamzah, 2004 : 118)

Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Menurut M. Yahya Harahap, tindakan penyelidikan lebih dapat disamakan dengan tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang di atur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP, yaitu: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”. Penyidikan sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat dilakukan oleh penyidik berdasarkan pada Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu pejabat polisi negara dan pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik dari pejabat polisi negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang mengatur tentang Kepangkatan Pejabat Penyidik pada Bab II dibedakan menjadi pejabat penyidik penuh dan penyidik pembantu. Untuk pejabat penyidik penuh harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


(22)

b. Atau berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam satu sektor kepolisian tidak ada pejabat peyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua.

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Namun untuk menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Pengertian penyelidikan menurut KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk mencari tahu dan memastikan apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Sebab tidak semua peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah suatu tindak pidana. Suatu peristiwa hukum baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana hanya apabila telah terpenuhi unsur-unsur pidananya.

Ketentuan dalam Pasal 5 KUHAP terdapat beberapa kewenangan penyelidik, yaitu:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari sesorang tentang adanya tindak pidana

2) Mencari keterangan dan barang bukti

3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri


(23)

2. Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya.

Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;


(24)

d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya. (Adami Chazawi, 2005 : 380)

Menurut Pasal 7 KUHAP, penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan sebagai berikut:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

7) Memanggil orang untuk didengarkan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

9) Mengadakan penghentian penyidikan.

10)Mengadakan tindakan lainmenurut hukum yang bertanggungjawab.

C. Penangkapan dan Penahanan

1. Penangkapan

Masalah penangkapan merupakan bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan, penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya. Definisi penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah:


(25)

“suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan”

Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

2. Penahanan

Definisi Penahanan sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir (21) KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau


(26)

yang diatur menurut Undang-undang ini. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.

Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 20 KUHAP antara lain:

1. Untuk kepentingan penyidikan,yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik.

2. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum. 3. Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah Hakim.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkutkan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa.

Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan


(27)

rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan Penahanan Kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.

D. Pengertian Error In Persona

Pengertian mengenai istilah error in persona tidak terdapat dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teori pengertian error in persona ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari error in persona adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya.

Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus. Pengertian ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya.

Kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan (Yahya Harahap


(28)

2002: 45) sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.

E. Upaya Hukum

Pengertian upaya hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat (12) KUHAP yaitu:

“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.”

KUHAP membedakan upaya hukum menjadi upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa bab XVIII.

Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan upaya hukum luar biasa.

1. Upaya hukum biasa

a. Pemeriksaan Tingkat Banding

Upaya hukum banding adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.


(29)

Pada Pasal 233 ayat (1) KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian. Putusan pengadilan yang bisa diajukan banding adalah :

a) Putusan yang bersifat pemidanaan.

b) Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

c) Putusan dalam perkara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa.

d) Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau penuntutan.

Upaya hukum banding ini diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP, Dimana dijelaskan dalam Pasal 233 KUHAP bahwa permohonan banding tersebut diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau kuasa hukumnya pada penuntut umum. Dalam jangka waktu (7) tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa permohonan banding tersebut harus sudah diterima oleh panitera pengadilan negeri yang memutus perkara. Pengetahuan tentang jangka waktu pengajuan banding ini sangatlah penting sebab apabila jangka waktunya telah habis maka terdakwa atau statusnya yang kini berubah menjadi terpidana dianggap telah menerima putusan hakim tersebut. Jika demikian halnya maka putusan tersebut menjadi final dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang sifatnya mengikat.


(30)

Terpidana tidak dapat lagi melakukan upaya hukum biasa hanya bisa dilakukan upaya hukum luar biasa tetapi harus terlebih dahulu dipenuhi alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar permohonan mengapa mengajukan upaya hukum luar biasa.

b. Pemeriksaan Tingkat Kasasi

Upaya hukum Kasasi, diatur dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Di dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan bahwa:

“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas.”

Menurut Pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.

Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:

a) tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas wewenang;

b) salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;

c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.


(31)

Permohonan kasasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP tersebut harus disampaikan kepada panitera di pengadilan negeri yang memutus perkaranya dalam tempo 14 hari semenjak putusan yang dimintakan kasasinya tersebut diberitahukan kepada terdakwa. Apabila dalam jangka waktu 14

hari tersebut terpidana tidak meminta kasasi maka dianggap telah menerima putusan tersebut sehingga putusan tersebut menjadi mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kasasi didasarkan pada pertimbangan bahwa telah terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Melampaui kekuasaan kehakiman tersebut dapat ditafsirkan secara sempit mapun secara luas. Jika ditafsirkan secara sempit seperti pendapat D. Simons yang dikutip Andi Hamzah yaitu apabila hakim memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman.

2. Upaya hukum luar biasa

Upaya hukum luar biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi dilakukan. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali.

a. Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Pasal 259 ayat (1) KUHAP disebutkan “Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.” Cukup jelas dari bunyi Pasal tersebut bahwa upaya hukum kasasi


(32)

demi kepentingan hukum ini hanya diperuntukan bagi kejaksaan. Namun KUHAP tak menjelaskan lebih lanjut tentang perkara yang bagaimana dan alasan apa yang dikemukakan oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan hukum. Ternyata pembuat undang-undang bermaksud menyerahkan permasalahan tersebut kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri (Andi Hamzah, 2004 :297). Permohonan kasasi demi kepentingan hukum ini disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara tersebut, disertai dengan risalah yang memuat alasan permintaan itu.

b. Peninjauan Kembali (PK)

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang- undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan. (Pasal 66-77 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004).

Alasan-alasan peninjauan kembali menurut Pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:

a. Ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata.


(33)

(34)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 43).

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam proposal skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan


(35)

dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian. 3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2006 tentang HAM.

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam proposal skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Kode Etik Profesi Kepolisian.

3. Petikan Putusan Nomor: 36/Pid/2011/PT.TK dan Petikan Putusan Nomor: 31/Pid/2011/PT.TK.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, naskah, paper,


(36)

dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona, buku-buku ilmu hukum, maupun literatur lainnya serta pencarian data penunjang melalui internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1986 : 172) yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah Akademisi atau Dosen, Polisi, dan Hakim.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Anggota Kepolisian Polresta Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, dan Dosen yang Fakultas Hukum Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987 : 172) memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Burhan Ashshofa (1996 : 91) memberikan pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah purposive sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan


(37)

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (tigat) orang, yaitu : 1. Polisi Daerah (Polda) Lampung = 1 orang 2. Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 1 orang 3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research).

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, per-undang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data


(38)

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara deskriptif kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(39)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban penyidik polri kepada terpidana dalam hal salah tangkap atau error in persona yang dilakukannya Pertanggungjawaban penyidik Polri secara individu atau perorangan dengan memberikan jalan untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Pertanggungjawaban penyidik secara perdata dengan memberikan ganti kerugian berupa uang atau lainnya sesuai ketentuan dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP. Pertanggungjawaban penyidik secara kode etik berupa penurunan pangkat jabatan bahkan pemecatan apabila melakukan tindakan berat yang bertentangan dengan kode etik kepolisian Indonesia. Pertanggungjawaban penyidik Polri secara hukum pidana apabila terjadi salah tangkap atauerror in persona dalam melakukan tugas kepolisian dapat dipidanakan atau dituntut sesuai penyalahgunaan wewenang Kepolisian. Penyidik juga berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka.


(40)

2. Upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik polri antara lain Upaya pra peradilan, Upaya hukum banding dan kasasi, Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, Permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis pertanggungjawaban penyidik polri dan upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona sebagai berikut:

1. Agar Kepolsian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang dan dapat meminimalisir terjadinyaerror in persona, selain itu Penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya error in persona maka upaya Ditreskrimum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan telegram atau juklak. 2. Mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang terpidana yang

ternyata merupakan korban terjadinya error in persona, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi. Dalam praktek dilapangan sebaiknya terpidana tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(41)

(Skripsi)

oleh Selvi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(42)

(43)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri ... 15

B. Penyelidikan dan Penyidikan ... 21

C. Penangkapan dan Penahanan... 25

D. PengertianError In Persona... 28

E. Upaya Hukum... 29

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39 DAFTAR PUSTAKA


(44)

B. Pertanggungjawaban Penyidik Polri kepada Terpidana dalam Hal

Salah Tangkap atau error in persona yang Dilakukannya………...41 C. Upaya Hukum yang Dilakukan oleh Terpidana dalam Hal Terjadinya

Salah Tangkap atau error in persona yang Dilakukan oleh

Penyidik Polri ………. 52

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66


(45)

TERPIDANA DALAM HAL TERJADINYA SALAH

TANGKAP ATAU

ERROR IN PERSONA

Oleh:

Selvi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG


(46)

TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAU ERROR IN PERSONA

Nama Mahasiswa :

Selvi

No. Pokok Mahasiswa : 0852011205

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dr. Eddy Rifa’i, S.H.,M.H. Tri Andrisman, S.H.,M.H.

NIP 19610912 198603 1 003 NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(47)

1. Tim Penguji

Ketua :Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota :Tri Andrisman, S.H., M.H. ………

Penguji Utama :Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H.,M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(48)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 31 Agustus 1990 yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Drs.Mahyuddin Siabat dan Ibu Arma Husnaini,BA. Pendidikan yang telah diselesaikan oleh penulis adalah Sekolah Dasar Negeri 3 Gunung Terang Bandar Lampung pada Tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama Negeri 10 Tanjung Karang Bandar Lampung yang diselesaikan pada Tahun 2005, lalu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Yayasan Pembina Unila Bandar Lampung yang diselesaikan pada Tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada Tahun 2011 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang bertempat pada Kelurahan Margorejo Kec.Metro Selatan Kotamadya Metro, Lampung. Sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, penulis melakukan penelitian pada Kepolisian Daerah lampung, Hakim Pengadilan Tinggi Lampung, dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung sebagai objek bahan penelitian penulisan skripsi.


(49)

Ridho nya Orang Tua adalah Awal dari Sebuah Kesuksesan (Selvi)

Sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan

membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh Permasalahan akan rusak.


(50)

Skripsi ini aku persembahkan kepada :

Kedua orangtuaku tercinta dan tersayang Papa Drs. Mahyuddin Siabat dan Mama Arma Husnaini, sebagai wujud bakti pengabdian dan tanda kasih sayang sebagai anak yang paling bahagia di dunia ini.

Kedua kakak lakiku tercinta Rizal dan Harli, semoga Selvi bisa menjadi adik yang baik dan berguna bagi kalian.

Seluruh keluarga besar Siabat dan keluarga Arsyad yang telah membuatku semakin termotivasi menjadi lebih baik dalam kehidupan ini.

Sahabat- sahabat tercintaku yang senantiasa menemani hari-hari sepanjang hidup ini.


(51)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Alhamdulillah, Allah telah memberikan segala kesempurnaan, kebahagiaan, kemudahan, dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Penyidik Polri Dan Upaya Hukum Yang Dilakukan Oleh Terpidana Dalam Hal Terjadinya Salah Tangkap Atau Error In Persona ”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tulus kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Hi. Armen Yasir, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.

4. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.


(52)

masukan, pengarahan, ide perbaikan kerangka teori, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan langkah-langkah penulisan dan semangat disela-sela kesibukannya sebagai Sekretaris Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.

7. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembahas I, yang telah memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi, sehingga saya dapat memperbaiki dan menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan benar dan tepat waktu.

6. Ibu Rini Fathonah, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembahas II, yang telah memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat waktu.

7. Ibu Hj. Wati Rahmi S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik yang selalu bersedia meluangkan waktu dalam membantu proses perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan perkuliahan, ilmu pengetahuan, motivasi, dan pelajaran hidup terkait masalah hukum selama kuliah.

10. AKP Iryouw Yohanis, S.H., selaku Kepala Ditreskrimum Kepolisian Daerah Lampung, terima kasih telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi responden untuk memberikan informasi terkait permasalahan pada skripsi ini.


(53)

dengan penulisan skripsi ini.

12. Bapak Shafruddin, S.H.,M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum, terima kasih telah bersedia menjadi responden dan memberikan jawaban atas permasalahan dalam skripsi ini.

13. Mba Sri, Mba Yanti, Babe Narto, Ibu Arniah, Mba Yani, dan Mba Dian, terima kasih telah membantu dalam mengurus borang pengajuan judul, pembuatan SK Seminar, jalannya seminar I dan II, pengurusan borang pengajuan SK Kompre sampai dengan pelaksanaan Ujian Kompre, dan segala kebaikan dan perhatian lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 14. Terkhusus rasa cinta, sayang dan hormat yang setulusnya kepada kedua

orangtuaku Papa dan Mama, terima kasih telah melahirkan, membesarkan, menjaga, mendidik, membimbing, berusaha memberi yang terbaik untuk pendidikanku hingga kuliah dan memberikan arti kehidupan di dunia ini. Kepada Kedua kakakku yaitu Rizal dan Harli terima kasih telah memberikan semangat yang besar dalam menjalani hidup.

15. Seluruh keluarga besar Siabat dan Arsyad yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala doa dan dukungan semangatnya.

16. Teman-teman terdekat (seven icons ala-ala) yang setia dari awal perkuliahan hingga saat ini menjadi teman sejatiku Asri Rejeki Utami, Rahandini Woro Patitis, Wirda Apriliani, Silca Ariani Jasib Bustam, Donna Nidya Yolanda, Alana Arum Sari.


(54)

Anasya Achba, Raestin Silfani, Muhaiminul Aziziah, Burmansyah, Wira Nanda Subing, Indra dan seven icons ala-ala.

18. Teman- teman arisan AishaTheHijabees

19. Om Zaini yang telah memberi masukan dan pengarahan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini, M.Rezaguna Ekasaputera yang selalu kasih semangat disaat penulis merasa down dalam menyesaikan skripsi ini.

20 Seluruh guru dan teman pada SDN 3 Gunung Terang Bandar Lampung, SMPN 10 Bandar Lampung, SMA Yayasan Pembina Unila Bandar Lampung (tanpa jasa para guru dan kebersamaan bersama teman-teman dalam menjalani kehidupan pada masa-masa itu, saya tidak mungkin mencapai keberhasilan ini.)

21. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas segala bentuk kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih besar. Amin Ya Rabbal Alamin

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(55)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TERPIDANA DALAM HAL

TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAUERROR IN PERSONA

Oleh SELVI

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami suatu kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan penyidiknya dalam praktek di lapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namum seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik. Bagaimana pertanggungjawaban penyidik polri kepada terpidana dalam hal salah tangkap atau error in persona yang dilakukannya dan bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik polri.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap penyidik Polda Lampung, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(56)

secara individu atau perorangan dengan memberikan jalan untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Memberikan ganti kerugian berupa uang atau lainnya sesuai ketentuan dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP. Penyidik berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka. Penyidik (pelanggar) dalam hal terjadi error in persona dapat diberikan sanksi berupa sanksi administratif seperti tour of duty, sanksi pemberhentian dengan hormat, atau sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. Upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik polri antara lain Upaya pra peradilan, Upaya hukum banding dan kasasi, Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, Permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu agar kepolsian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang jadi dapat meminimalisir terjadinya error in persona, selain itu Penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Agar mencegah dan menanggulangi terjadinya error in persona maka upaya Ditreskrimum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan telegram atau juklak. Mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang terpidana yang ternyata merupakan korban terjadinya error in persona, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi. Dalam praktek dilapangan sebaiknya terpidana tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Adi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Merpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Reksodisiputro, Mardjono. 1997. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

Undang- Undang Dasar 1945

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran pers&pid=1297

www.kilasberita.com


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Merpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Sitompul. 2000. Beberapa Tugas dan Peranan Polisi. CV Wanthy Jaya, Jakarta. Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya, Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survey. Grafika, Jakarta

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dari Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press, Bandar Lampung.


(1)

17. Teman-teman seperjuangan skripsi dan EPT : Sandi Saputra, M. Habi Hendarso, Ahmad Gema Dwi Putra, Ria Andayani, Reza Fahlepi, Tria Anasya Achba, Raestin Silfani, Muhaiminul Aziziah, Burmansyah, Wira Nanda Subing, Indra dan seven icons ala-ala.

18. Teman- teman arisan AishaTheHijabees

19. Om Zaini yang telah memberi masukan dan pengarahan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini, M.Rezaguna Ekasaputera yang selalu kasih semangat disaat penulis merasa down dalam menyesaikan skripsi ini.

20 Seluruh guru dan teman pada SDN 3 Gunung Terang Bandar Lampung, SMPN 10 Bandar Lampung, SMA Yayasan Pembina Unila Bandar Lampung (tanpa jasa para guru dan kebersamaan bersama teman-teman dalam menjalani kehidupan pada masa-masa itu, saya tidak mungkin mencapai keberhasilan ini.)

21. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas segala bentuk kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih besar. Amin Ya Rabbal Alamin

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(2)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH TERPIDANA DALAM HAL

TERJADINYA SALAH TANGKAP ATAUERROR IN PERSONA

Oleh SELVI

Proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami suatu kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan penyidiknya dalam praktek di lapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Konsekuensi hukum dalam kasus salah tangkap tersebut seharusnya tidak hanya bagi pihak korban yang menjadi korban salah tangkap saja namum seharusnya demi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang semestinya juga menjadi tanggung jawab dari penyidik. Bagaimana pertanggungjawaban penyidik polri kepada terpidana dalam hal salah tangkap atau error in persona yang dilakukannya dan bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik polri.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap penyidik Polda Lampung, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Pertanggungjawaban penyidik polri kepada terpidana dalam hal salah tangkap


(3)

atau error in persona yang dilakukannya Pertanggungjawaban penyidik Polri secara individu atau perorangan dengan memberikan jalan untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan agar dapat mengetahui dimanakah letak kekeliruan penerapan salah tangkap tersebut. Memberikan ganti kerugian berupa uang atau lainnya sesuai ketentuan dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP. Penyidik berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka. Penyidik (pelanggar) dalam hal terjadi error in persona dapat diberikan sanksi berupa sanksi administratif seperti tour of duty, sanksi pemberhentian dengan hormat, atau sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. Upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana dalam hal terjadinya salah tangkap atau error in persona yang dilakukan oleh penyidik polri antara lain Upaya pra peradilan, Upaya hukum banding dan kasasi, Upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, Permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu agar kepolsian lebih teliti sehingga hasil dalam penyelidikan lebih matang jadi dapat meminimalisir terjadinya error in persona, selain itu Penyidik harus lebih berhati-hati dalam penyelidikan dan mencari data. Agar mencegah dan menanggulangi terjadinya error in persona maka upaya Ditreskrimum memberikan bimbingan secara teknik pada tingkat Polda dan Polres secara langsung ataupun secara tertulis dengan menggunakan telegram atau juklak. Mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang terpidana yang ternyata merupakan korban terjadinya error in persona, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan, upaya hukum banding dan kasasi, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi. Dalam praktek dilapangan sebaiknya terpidana tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Adi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Merpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Reksodisiputro, Mardjono. 1997. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum UI, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

Undang- Undang Dasar 1945

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran pers&pid=1297

www.kilasberita.com


(5)

35

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika, Jakarta.

Merpaung, Leden. 2004. Perumusan Memori dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.

Sitompul. 2000. Beberapa Tugas dan Peranan Polisi. CV Wanthy Jaya, Jakarta. Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya, Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survey. Grafika, Jakarta

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dari Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press, Bandar Lampung.