ANALISIS PELAKSANAAN KOORDINASI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN PUSAT PELAPORAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(1)

ANALISIS PELAKSANAAN KOORDINASI ANTARA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN PUSAT PELAPORAN

ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh Joko Febrianto

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan dalam Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjelaskan bahwa KPK dapat berkoordinasi dengan beberapa instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? dan apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Staf Ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Petugas Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(2)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. meliputi koordinasi secara kelembagaan yang diwujudkan dengan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara KPK dengan PPATK Nomor : Kep/16/VII/2011 dan Nomor: 07/KPK-PPATK/VII/2011 antara Ketua KPK dengan Kepala PPATK yang isinya meliputi pertukaran informasi, perumusan produk hukum, intersepsi, penanganan perkara, pendidikan dan sosialisasi, serta pengembangan informasi teknologi (IT), koordinasi, supervisi, penindakan, dan tugas reformasi birokrasi, sedangkan secara operasional KPK dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan PPATK dapat bertindak dan bersama-sama dalam hal meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana korupsi maupun pencucian uang. Faktor-Faktor penghambat pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi meliputi: para petugas ahli dari masing-masing lembaga masing-masing kurang fokus dan kurang tegas, secara operasionalnya terkait laporan harta kekayaan pejabat negara yang disampaikan kepada KPK masih kurang begitu jelas, laporan transaksi keuangan yang diterima Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) masih dikomplikasi secara manual dalam sebuah data base, sehingga hal ini menyulitkan dalam proses analisis yang akan dioperasikan oleh Sistem Informasi Bank Investigasi (SIBADI), birokrasi politik yang turut campur di dalamnya menjadi kurang berjalan maksimal dalam konteks koordinasi pemberantasan korupsi antar kedua lembaga.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu koordinasi yang dibentuk oleh KPK dan PPATK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi baik secara kelembagaan maupun secara operasional harus lebih dijalankan seefektif mungkin. Perlunya peningkatan pemahaman dan kinerja di kalangan pengurus dan pegawai bank dalam dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih baik sehingga laporan-laporan transaksi keuangan dapat diberikan kepada KPK sebagai partnerPPATK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi lebih cepat dan akurat.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya Negara-negara di dunia karena dapat menimbulkan kerugian yang sangat luar biasa. Khusus di Negara Indonesia sendiri, tindak pidana korupsi sudah ada sejak masa penjajahan. Masa pemerintahan kolonial Belanda budaya korupsi mulai menyebar dalam pemerintahan. Semenjak itu upaya pemberantasan korupsi terus digalakkan untuk menjaga wajah birokrasi pemerintahan dan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Bahkan karena meningkatnya korupsi di Indonesia dapat menjatuhkan sistem pemerintahan Indonesia (Lilik Mulyadi, 2007: 31).

Keadaan yang demikian setelah berakhirnya masa orde baru yang berkuasa, Indonesia mulai membenahi untuk memulai kembali mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, serta secara terus-menerus di tingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Sehububngan dengan hal di atas menurut Doddy Wuryanto (2002: 14) menjelaskan bahwa:

“...dalam konteks regulasipun dimulai adanya pembaharuan. Karena pada masa sebelumnya regulasi atau peraturan peraturan yang ada masih lemah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai kebijakan awal Pemerintahan B.J. Habibie (Pengganti Presiden Soeharto) mengeluarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang


(4)

pemberantasa tindak pidana korupsi menggantikan undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di harapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk Tindak Pidana Korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya”.

Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberatasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat


(5)

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001).

Berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka dilakukan koordinasi, supervisi, dan monitoring yang dilakukan antar instansi penegak hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kewajiban yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yakni berkoordinasi dengan beberapa instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK).

KPK dapat berkoordinasi dengan beberapa instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disingkat PPATK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sebagainya. Ketentuan dalam Pasal 7 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK dalam melaksanakan tugas koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Sehubungan dengan pelaksanaan tugas koordinasi di atas, ketentuan Pasal 12 Ayat (1) UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK menjelaskan bahwa:


(6)

(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dan huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

KPK berwenang meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya dalam hal ini adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. KPK juga berwenang memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya dalam hal ini adalah PPATK untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

Indonesia merupakan sarang para koruptor dan untuk tindak pidana korupsi ini, negeri ini selalu berada pada peringkat atas. Bila ditelaah Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi salah satu dari 24item harta kekayaan yang di peroleh dari tindak pidana itu adalah korupsi plus tindak pidana lainnya yang di ancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Selain itu negeri yang subur ini merupakan salah satu negara yang enak pula bagi para koruptor (Koran Tempo, 23 Oktober 2011).

Beberapa contoh yang terkait dalam kasus tindak pidana korupsi yang telah diputus yaitu perkara atas nama saudara Lukman Hakim dan Tony Ch. Martawinata di BII Capem Senen yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana


(7)

korupsi secara berlanjut dan dijatuhi pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp 1.000.000.000 subsidair 6 bulan kurungan, perkara atas nama jasmarwan (Bank Lippo Kantor Kas USU) di Pengadilan Negeri Medan yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, penipuan dan menggunakan surat palsu sehingga dijatuhi pidana terhadap terdakwa dengan penjara denda selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 5.000.000,00 subsidair 1 bulan kurungan (Pasal 6 ayat (1) huruf b 20 Tahun 2001), perkara atas nama Ie Mien Sugandhi (Bank Global) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta Perkara atas nama Anatsasya dan Herry Robbet (Bank Lippo Kebumen) di PT Jawa Tengah (www.hukumonline.com, akses 20 Oktober 2011, 19:45 WIB).

Beberapa contoh kasus di atas menjadi pertanyaan besar, mengapa bisa terjadi? Tentu bisa di lihat bahwa pelaku bisa melakukan tindak pidana korupsi melalui sistem keuangan. Salah satu lembaga yang menggunakan sistem keuangan adalah penyedia jasa keuangan bank yang rentan dengan masuknya uang hasil dari suatu kejahatan tersebut, dengan tahapan awal atau dikenal dengan placement ini suatu tindak pidana korupsi bisa saja terjadi. Tahapan placement ini adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana korupsi ke dalam sistem keuangan. Sebagaimana sudah diberlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa penyedia jasa keuangan mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi untuk menyampaikan laporan kepada PPATK sebagai lembaga independen yang di bentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi maupun pencucian uang.


(8)

PPATK memiliki empat pedoman untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui sistem keuangan di Indonesia yaitu satu, pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan; kedua, pedoman tata cara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan; ketiga, pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi pedagang valuta asing dan pengiriman uang;empat, pedoman tata cara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan bagi pedagang valuta asing dan unit jasa pengiriman uang. Pedoman-pedoman inilah yang di ambil PPATK untuk memudahkan penyedia jasa keuangan mendeteksi setiap transaksi yang mencurigakan, memberikan pemahaman kepada penyedia jasa keuangan untuk melaporkan setiap transaksi yang di anggap mencurigakan. Salah satu langkah konkrit untuk mengidentifikasi nasabah yaitu penerapan prinsip mengenal nasabah atau dikenalknow your customer principle, prinsip ini merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian untuk menghindarkan penyedia jasa keuangan dari berbagai resiko yang termuat kebijakan dan prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah, pemantauan rekening dan transaksi nasabah, kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta pelaporan yang mencurigakan, seperti apakah penerapan prinsip mengenal nasabah (Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, 2003: 14).

Saat ini PPATK juga memperkuat basis kelembagaan misalnya dengan melakukan koordinasi dengan sejumlah Financial Intelligence Unit negara lain, lembaga terkait di Indonesia seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan perluasan kewenangan. Dengan beberapa kasus yang terjadi dalam upaya pemberantasan korupsi secara tidak langsung akan memberikan dampak psikologis terhadap masyarakat yang lain


(9)

ketika mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi. Terjadinya tindak pidana korupsi akan terus berlangsung tanpa adanya upaya efektif dan strategis dalam pemberantasannya dan peran serta masyarakat secara aktif sangat di perlukan dalam pengungkapan dalam berbagai kasus korupsi serta dengan koordinasi antara KPK dan PPATK.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul“Analisis Pelaksanaan Koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

b. Apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?


(10)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana khususnya hanya terbatas pada pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta faktor-faktor penghambat pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ruang lingkup penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Jakarta Pusat khususnya pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(11)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang Pelaksanaan Koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan


(12)

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai kedudukan yang sebenarnya merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban tertentu. Sedangkan hak dan kewajiban adalah merupakan peran (role), dengan demikian seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu disebut sebagai pemegang peran (role occupant), suatu hak adalah kewenangan yang dialah menanggung beban atau tugas yang harus di emban.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2002: 11) menjelaskan bahwa:

“...bahwa hak merupakan role atau peran yang bersifat fakultatif. Kewajiban adalah role atau peranan yang sifatnya imperatif, karena tidak boleh tidak harus dilaksanakan”.

Berkaitan dengan hak itu, dalam mengkaji kewajiban notebene merupakan peran dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kita harus juga melihat bagaimana tinjauan dari sosiologisnya. Menurut Soejono (1986: 251) menjelaskan bahwa:

“Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan yang sebenarnya merupakan wadah yang berisi hak dan kewajiban tertentu. Sedangkan hak dan kewajiban adalah merupakan peran (role), dengan demikian seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu disebut sebagai pemegang peran (role occupant), suatu hak adalah kewenangan yang dialah menanggung beban/tugas yang harus diemban”.

Kedudukan dan Peranan merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan, dan mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial yang diartikan sebagai sistem.


(13)

Tindak pidana korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat atas dengan kemampuan intelektual tertentu. Sehingga dalam pelaksanaannya kejahatan itu tidak menggunakan kekerasan terhadap korbannya. Namun, secara material korban mengalami kerugian yang sangat besar. Sebagai suatu bentuk tindak pidana yang dilakukan dengan sangat canggih dan merugikan dalam jumlah yang umumnya sangat besar dan terus menerus ini.

Kedudukan dan Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan, dan mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial yang diartikan sebagai sistem. Berkaitan dengan peranannya maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai beberapa tugas berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai berikut:

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi lain mempunyai beberapa wewenang berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai berikut:


(14)

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

KPK berwenang meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya dalam hal ini adalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. KPK juga berwenang memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya dalam hal ini adalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) berdasarkan ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang menjelaskan bahwa:

(1) Kerja sama nasional yang dilakukan PPATK dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal.

(2) Pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan tersebut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dapat melakukan koordinsai atau kerja sama nasional yang dilakukan


(15)

antara PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal, adapun pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tersebut adalah pihak yang mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang diduga hasil dari korupsi di Indonesia seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya.

Selanjutnya dalam hal proses penyidikan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) juga dapat berkoordinasi dengan penyidik KPK maupun penyidik Kepolisian Negara RI. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang yang menjelaskan bahwa:

(1) PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain.

(2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.

(3) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK.


(16)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132).

Adapun konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Koordinasi

Koordinasi merupakan suatu bentuk kerjasama antar suatu lembaga yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) guna melakukan suatu tujuan khusus (M. Marwan, 2009: 164).

c. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa komisi pemberantasan korupsi adalah sebuah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan


(17)

wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi KPK memiliki kedudukan yang strategis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

d. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (yang selanjutnya disebut PPATK) yaitu sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan PPATK bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).

e. Tindak Pidana Korupsi

Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan atau perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana; memperkaya diri sendiri,


(18)

orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan Negara/perekonomian Negara (Evi Hartanti, 2005: 19).

Korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Sedangkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang Koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang pengertian tindak pidana korupsi, pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas dan wewenang KPK, pengertian Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pelaporan transaksi keuangan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.


(20)

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Hartanti, Evi. 2005.Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Alumni. Bandung.

Soejono.1986. Kejahatan dan penegakan Hukum di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Wuryanto, Doddy et.al. 2002. Panduan Rakyat Memberantas Korupsi, Komite Anti Korupsi. Bandar Lampung.

Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita, 2003. Pengenaan Sanksi Atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Lain Terkait Dengan Unang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bina Aksara. Jakarta

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberntasan Tindak

Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(22)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Secara teoritis tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan pidana yang merugikan keuangan Negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberatasannya harus dilakukan secara luar biasa (Evi Hartanti, 2005: 37).

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana menimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana (Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999).


(24)

Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Lilik Mulyadi, 2007: 43).

Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Sedangkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi


(25)

dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

B. Sejarah dan Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

1. Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Pemberantasan korupsi di Indonesia sejak tahun 1958 mulai digalakkan, ini terlihat dari diusahakannya peraturan penguasa perang pusat kepala staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No.Prt/Perpu/013/1958 beserta pelaksanaanya dan peraturan penguasa perang pusat Kepala Staf Angkatan Laut No.Prt/Z.I/1/7 tanggal 17 April 1958. Dengan demikian di tingkat Asia Tenggara Indonesia merupakan Negara yang mengatur secara khusus dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut di lakukan karena yang di anggap menjadi kelemahan dalam upaya pemberantasan korupsi adalah lemahnya peraturan perundang-undangan yang mendukung.

Upaya-upaya tersebut masih jauh dari harapan untuk memberantas korupsi, karena dari tahun 1958 korupsi makin meningkat bahkan kondisi Indonesia makin terpuruk. Hasil penelitianTranparancy Internasionaltahun1998 mengenai tingkat korupsi menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam urutan pertama dan urutan ketiga di dunia setelah Brazil. Tetapi anehnya sebagai Negara yang paling korup di dunia justru paling sedikit koruptor yang berhasil di jebloskan dalam penjara. Dapat di maklumi kesulitan dalam pemberantasan ini adalah karena budaya di tubuh pemerintahannya yang berkuasa secara absolute akhirnya adagium bahwa kekuasaan yang absolute cendrung korup telah terbukti di Negara ini. Menurut


(26)

Max Weber (Achmad Ali, 2002: 11) korupsi merajalela dan berakar ketika kekuasaan bertumpu pada apa yang di sebut kekuasaan birokrasi patrimonial.

Kekuasaan yang seperti itu akhirnya dapat mempengaruhi sistem hukum untuk dapat mengontrol kekuasaannya. Menurut Friedman (Achmad Ali, 2002: 18) ada tiga unsur yang saling berkaitan erat dalam sistem hukum, yaitu: Struktur, Subtansi dan kultur hukum. Struktur merupakan kerangkanya, yang termasuk dalam struktur ini adalah institusi-institusi penegakkan hukum, seperti Kepolisan, Kejaksaan, dan Pengadilan. Subtansi menurut Friedman (Achmad Ali, 2002: 28) berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistim tersebut, mencakup keputusan yang mereka keluarkan.Sedangkan kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dansistem hukum-kepercayaan,nilai,pemikiran serta harapannya. Ketiga sistem tersebut ketika sudah dibayang-bayangi kekuasaan absolute akan tidak menjadi efektif dalam rangka penegakkan supremasi hukum.Akhirnya korupsi menjadi suatu penyakit yang abnormal (di luar kewajaran).

Kondisi tersebut akhirnya sedikit bisa di pecahkan ketika gelombang reformasi pecah dan berhasil menurunkan rezim yang berkuasa lebih dari 30 tahun, dimana upaya penberantasa korupsi menjadi salah satu agenda yang harus dilaksanakan. Dalam rangka mewujudkan supermasi hukum, pemerintahan yang baru telah meletakkan landasan yang kuat dalam usaha memerangi korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tap MPR nomor XI/MPR/1988 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas


(27)

korupsi, kolusi dan nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengamanatkan untuk di bentuknya Komisi Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang tersebut berlaku. Karena selama ini upaya konvensional yang di lakukan (melalui lembaga kepolisian dan kejaksaan) tidak menunjukkan prestasi yang signifikan dan cenderung mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan suatu cara penegakkan hukum dengan lembaga yang khusus.

2. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Undang-undang Nomor 30 Tahun 20002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK) menjelaskan bahwa komisi pemberantasan korupsi adalah sebuah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi KPK memiliki kedudukan yang strategis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pemberantasan korupsi selama ini dalam seluruhnya dibebankan pada lembaga konvensional dalam menyelesaikannya, namun langkah ini memang tidak


(28)

memuaskan dalam melakukan langkah-langkah pemberantasannya karena banyak mengalami hambatan. Untuk itu diperlakukan metode penegakkan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasa tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal intensif, efektif, professional serta berkesinambungan (Supriyadi Widodo Eddyono dan Zainal Abidin, 2004: 36).

C. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Berkaitan dengan peranannya maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai beberapa tugas berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 sebagai berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf a di atas maka KPK mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dapat berkoordinasi dengan beberapa instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti PPATK


(29)

(Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan sebagainya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugas koordinasi, mempunyai beberapa wewenang berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 sebagai berikut:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

Ketentuan dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK menjelaskan bahwa:

(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dan huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

KPK berwenang meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya dalam hal ini adalah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. KPK juga berwenang memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya dalam hal ini adalah PPATK untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.


(30)

D. Pengertian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan PPATK bertanggungjawab langsung kepada Presiden (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).

PPATK berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan dapat pula dibuka perwakilan daerah sebagaimana di atur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun tentang tugas dan wewenang dari PPATK di atur dalam Pasal 39 sampai Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pengangkatan dan pemberhentian kepala dan wakil kepala PPATK oleh presiden atas usul Menteri Keuangan dengan masa jabatan 5 tahun dan dapat di angkat kembali hanya 1 kali masa jabatan berikutnya (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8


(31)

Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).

E. Pelaporan Transaksi Keuangan

Sebagaimana ketentuan dasar kewajiban pelaporan penyedia jasa keuangan tertera Pasal 23 Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan bahwa:

“Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:

a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;

b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau

c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri”.

Ada beberapa jenis laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keungan yaitu:

1. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicion Transaction Report)

a. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Unsur-Unsurnya

Ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa transaksi keuangan mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;


(32)

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan

menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak

Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 di atas terdapat unsur-unsur yaitu:

a. Transaksi yang menyimpan dari: 1. Profil

2. Karakteristik

3. Kebiasaan pola Transaksi

b. Transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan

c. Transaksi keuangan yang dananya diduga berasal dari hasil kejahatan

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena dananya diduga berasal dari hasil kejahatan

Suatu transaksi keuangan apabila telah memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur di atas maka penyedia jasa keuangan wajib menetapkannya sebagai transaksi keuangan mencurigakan dan melaporkannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menggunakan istilah transaksi keuangan mencurigakan. Istilah mencurigakan memiliki konotasi bahwa transaksi keuangan tersebut seolah-olah sudah pasti terkait dengan tindak pidana sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan istilah transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan atau tidak wajar dan tidak selalu terkait dengan tindak pidana tertentu. Terdapat ciri-ciri umum dari transaksi keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan, sebagai berikut :


(33)

a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas.

b. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran.

c. Di luar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah.

Berkaitan dengan hal itu, apabila diperlukan penyedia jasa keuangan dapat melakukan klarifikasi atau meminta dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan.

b. Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan

Mengidentifikasi suatu transaksi keuangan memenuhi satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut di atas, penyedia jasa keuangan dapat menggunakan indikator-indikator transaksi keuangan mencurigakan antara lain:

1). Transaksi a. Tunai

a) Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah di luar kebiasaan yang dilakukan nasabah.


(34)

b) Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan frekuensi yang tinggi(structuring).

c) Transaksi dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu(smurfing).

d) Pertukaran atau pembelian mata uang asing dalam jumlah relatif besar. e) Pembeliantravellers checkssecara tunai dalam jumlah relatif besar. f) Pembelian secara tunai beberapa produk asuransi dalam jangka waktu

berdekatan atau bersamaan dengan pembayaran premi sekaligus dalam jumlah besar yang kemudian diikuti pencairan polis sebelum jatuh tempo.

g) Pembelian efek dengan menggunakan uang tunai, transfer atau cek atas nama orang lain.

b. Transaksi yang tidak rasional secara ekonomis

a) Transaksi-transaksi yang tidak sesuai dengan tujuan pembukaan rekening

b) Transaksi yang tidak ada hubungannya dengan usaha nasabah c) Jumlah dan frekuensi transaksi diluar kebiasaan yang normal

c. Transfer dana

a) Transfer dana untuk dan dari offshore financial centre yang berisiko tinggi(high risk)tanpa alasan usaha yang jelas.

b) Penerimaan transfer dana dalam beberapa tahap dan setelah mencapai akumulasi jumlah tertentu yang cukup besar kemudian ditransfer ke luar secara sekaligus.

c) Penerimaan dan pengiriman dana dalam jumlah yang sama atau hampir sama serta dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat (pass-by)

d) Pembayaran dana dalam kegiatan ekspor impor tanpa dokumen yang lengkap.

e) Transfer dana dari atau ke negara yang tergolong berisiko tinggi (high risk)

f) Transfer dana dari atau ke pihak yang tergolong berisiko tinggi (high risk)

g) Penerimaan/pembayaran dana dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) rekening baik atas nama yang sama atau atas nama yang berbeda. h) Transfer dana dengan menggunakan rekening atas nama pegawai


(35)

2). Perilaku Nasabah

a) Perilaku nasabah yang tidak wajar pada saat melakukan transaksi (gugup, tergesa-gesa, rasa kurang percaya diri, dan lain-lain)

b) Nasabah atau calon nasabah memberikan informasi yang tidak benar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas, sumber penghasilan atau usahanya.

c) Nasabah atau calon nasabah menggunakan dokumen identitas yang diragukan kebenarannya atau diduga palsu seperti tanda tangan yang berbeda atau foto yang tidak sama.

d) Nasabah atau calon nasabah enggan atau menolak untuk memberikan informasi atau dokumen yang diminta oleh petugas penyedia jasa keuangan tanpa alasan yang jelas.

e) Nasabah atau kuasanya mencoba mempengaruhi petugas penyedia jasa keuangan untuk tidak melaporkan sebagai transaksi keuangan mencurigakan dengan berbagai cara.

f) Nasabah membuka rekening hanya untuk jangka pendek saja.

g) Nasabah tidak bersedia memberikan informasi yang benar atau segera memutuskan hubungan usaha atau menutup rekening pada saat petugas penyedia jasa keuangan meminta informasi atas transaksi yang dilakukannya.

Berdasarkan indikator-indikator di atas, apabila setelah melakukan proses identifikasi transaksi keuangan mencurigakan penyedia jasa keuangan masih merasa ragu, sebaiknya penyedia jasa keuangan tetap melaporkannya kepada PPATK sebagai transaksi keuangan mencurigakan agar terhindar dari risiko yang tidak diharapkan termasuk kemungkinan terkena sanksi sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(36)

2. Laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan secara Tunai (Cash Transaction Report)

a. Pengertian Transaksi Keuangan yang Dilakukan secara Tunai

Ketentuan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam atau instrumen lain yang dilakukan melalui penyedia jasa keuangan. Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sesuai dengan Pasal 13 ayat (3) yaitu paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.

3. Laporan Pembawaan Tunai

Ketentuan Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyebutkan untuk setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,-(seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau keluar Indonesia Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya tersebut kepada PPATK selama jangka waktu 5 hari


(37)

kerja dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahu kepada PPATK paling lambat 5 hari kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan pembawaan tersebut.

4. Laporan Tanpa Perlu Adanya Unsur Kecurigaan

Laporan ini perlu dilaporkan kepada PPATK tanpa perlu adanya unsur kecurigaan dan ini pun terdapat threshold ketentuan Pasal 13 Ayat (1) huruf b dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya).Ghalia Indonesia, Jakarta.

Eddyono, Supriyadi Widodo dan Zainal Abidin, 2004. Beberapa Model Lembaga Pemberantasan Korupsi. Makalah Focus Group Discussion IIII Komisi Pemberantasan Korupsi,Jakarta.

Hartanti, Evi. 2005.Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Alumni. Bandung

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberntasan Tindak

Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(39)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986: 43).

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan-peraturan hukum serta hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan melalui penelitian lapangan yang dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian,


(40)

perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat di lihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986: 11).

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa penegak hukum dari KPK dan PPATK, dan juga Dosen yang terkait dengan pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :


(41)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari : 1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73

tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 2. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

4. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

5. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi:

1. Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.

2. MoU (Nota Kesepahaman) KPK-PPATK Nomor: SPJ-12/02/08/2011 tentang Kerjasama dalam Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi.

3. Perpu Nomor 4 tahun 2009 tentang Revisi Undang-Undang KPK. 4. Surat Presiden Nomor R-26/Pres/4/2010 tanggal 7 April 2010 tentang

Penetapan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. RUU KUHAP Tahun 2011.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia,


(42)

media massa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 172) yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Penentuan populasi dalam penelitian ini adalah Akademisi atau Dosen, Petugas PPATK dan Staf Ahli KPK.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Adapun sampel dari penelitian ini adalah Petugas PPATK, Staf Ahli KPK, dan Dosen yang Fakultas Hukum Universitas Lampung. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987: 172) memberikan pengertian mengenai sampel yaitu sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dan Burhan Ashshofa (1996: 91) memberikan pengertian mengenai prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.


(43)

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 6 (enam) orang, yaitu: 1. Staf Ahli Komisi Pemberantasan Korupsi = 2 orang 2. Petugas Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan = 2 orang 3. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 2 orang +

Jumlah = 6 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, per-undang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.


(44)

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah mengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara analisis kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai proses pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.


(46)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. meliputi koordinasi secara kelembagaan yang diwujudkan dengan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara KPK dengan PPATK Nomor : Kep/16/VII/2011 dan Nomor: 07/KPK-PPATK/VII/2011 antara Ketua KPK dengan Kepala PPATK yang isinya antara lain :

a. Koordinasi dan/atau kerjasama antara KPK dan PPATK meliputi pertukaran informasi, perumusan produk hukum, intersepsi, penanganan perkara, pendidikan dan sosialisasi, serta pengembangan informasi teknologi (IT).

b. PPATK membantu KPK dalam rangka pelaksanaan pemberantasan korupsi terhadap adanya dugaan tindak pidana korupi atas permintaan KPK secara tertulis.


(47)

c. Pelaksanaan pemberantasan korupsi dan pencucian uang antara KPK dan PPATK mencakup kompetensi tugas koordinasi, supervisi, penindakan, dan tugas reformasi birokrasi.

d. PPATK dan KPK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana korupsi dan pencucian uang atau tindak pidana lain.

Sedangkan secara operasional KPK dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan PPATK dapat bertindak dan bersama-sama dalam hal sebagai berikut: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah

dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;

b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana korupsi maupun

pencucian uang;

d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana korupsi maupun pencucian uang;

2. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain: a. Para petugas ahli dari masing-masing lembaga masing kurang fokus dan


(48)

b. Tugas koordinasi, supervisi, penindakan, tugas reformasi birokrasi, belum dipertegas masing-masing lembaga

c. Secara operasionalnya terkait laporan harta kekayaan pejabat negara yang disampaikan kepada KPK masih kurang begitu jelas. Dalam dal ini sifatnya deklaratif tidak konstitutif, maksudnya tidak memberikan sanksi tegas.

d. Laporan transaksi keuangan yang diterima Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) masih dikomplikasi secara manual dalam sebuah data base, sehingga hal ini menyulitkan dalam proses analisis yang akan dioperasikan oleh Sistem Informasi Bank Investigasi (SIBADI).

e. Mentalitas dari karyawan atau pegawai Bank f. Skala usaha Bank

g. Ketidaksiapan dalam penerapan prinsip mengenal nasabah

h. Birokrasi politik yang turut campur di dalamnya menjadi kurang berjalan efektif dalam konteks koordinasi pemberantasan korupsi antar kedua lembaga tersebut.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis pelaksanaan koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai berikut:

1. Koordinasi yang dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam upaya


(49)

pemberantasan tindak pidana korupsi baik secara kelembagaan maupun secara operasional harus lebih dijalankan seefektif mungkin hal ini karena antar kedua lembaga telah memiliki sebuah nota kesepahaman (MoU) yang dibentuk khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, sehingga pelaksanaan koordinasi tersebut benar-benar dapat berjalan efisien.

2. Berbagai permasalahan yang muncul dari peranan penyedia jasa keuangan bank dalam hal ini faktor internal penyedia jasa keuangan bank, tentunya akan menghambat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang baik maka perlu untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kinerja di kalangan pengurus dan pegawai bank dalam dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih baik sehingga laporan-laporan transaksi keuangan dapat diberikan kepada KPK sebagai partner PPATK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi lebih cepat dan akurat.


(50)

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh Joko Febrianto

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(51)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 16

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertaian Tindak Pidana Korupsi... 20

B. Sejarah dan Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ... 22

C. Tugas, Wewenang & Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 25 D. Pengertian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) . 27 E. Pelaporan Transaksi Keuangan ... 28

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 40

E. Analisis Data ... 41 DAFTAR PUSTAKA


(52)

B. Pelaksanaan Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi... 45 C. Faktor - Faktor Penghambat Pelaksanaan Koordinasi Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi... 57 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 68


(53)

TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM

UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

Nama Mahasiswa :Joko Febrianto No. Pokok Mahasiswa : 0852011124

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H.

NIP 19631217 198803 2 003 NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.


(54)

1. Tim Penguji

Ketua :Firganefi, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.

...

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003


(55)

Joko Febrianto dilahirkan di Toba, Lampung Timur 15 Januari 1990, yang merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Krio Hasan dan Ibu Siti Aisyah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Banjar Agung, Lampung Timur pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 1 Banjar Agung, Lampung Timur pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Metro pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Metro pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30 Juni sampai 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Kelurahan Mukti Karya Kecamatan Pancajaya Kabupaten Mesuji.


(56)

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Bapak dan Emak yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Kakak-kakakku Kiyay Abdul Karim, Daying Nur Jannah, Yuk Era, Tita Anita dan Adikku Noviyanti dan almarhummah Habsah yang senantiasa menemaniku dengan

keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(57)

Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini.

“Jangan melupakan sejarah tapi jadikanlah sejarah sebagai kenangan dan fokus pada masa depan”

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras; dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alfa Edison)


(58)

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS PELAKSANAAN KOORDINASI ANTARA

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN PUSAT

PELAPORAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(59)

skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Ibu Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H.

sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Johan Budi, S.P. dan Ibu Maharani Siti Shopia, S.H. selaku responden dari Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Bapak Wuri Adhi, S.E., M.Akt. dan Bapak Priyanto Soewarno, S.H., M.Sc. selaku responden dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.dan Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.


(60)

setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Saudara-saudaraku: Kiyay Abdul Karim, Daying Nur Jannah, Yuk Era, Tita Anita, Adikku Noviyanti dan almarhummah habsah keponakan-keponakanku beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan

dan do’a yang selama ini telah diberikan.

12. Sahabat seperjuanganku angkatan 2008: Fajrie, Angga, Ari, Nurdian, Harina, Eki, Uci, Nizar, Vera kuadrat, Tria, Lingga, Jale, Syendro, Sandy, Cici Marienci, Burman, Fani, Muin, Mandala, Mirwan, Jusy, Wellent, Chandra dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13. Sahabat sekaligus kakak tingkatku : Dwi N, S.H., Nedi, S.H.(ciyek), Ilham, S.H., Cristman, S.H(toel), Rivan, S.H., Rivani, S.H.(Mimi), Yuza, Novan, Diki Nambela(idung), Gusnan, S.H., dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya. 14. Sahabat-sahabatku: Yuwanti, ari Samson, galih kucing, gede susis, andri

doank, kang asep, mas benk, mas puri, rendy exe, deni penyol, nasir, olan, nana cyenki, meta, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

15. Sahabat-sahabatku di Metro: Hilda unyil, Fata plepoh, sopyan kupank, dody stw, agung bendol, Heru, hendra bengak, eko kadal, edi bupati, ali ustadz, ivan, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.


(61)

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(1)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Bapak dan Emak yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Kakak-kakakku Kiyay Abdul Karim, Daying Nur Jannah, Yuk Era, Tita Anita dan Adikku Noviyanti dan almarhummah Habsah yang senantiasa menemaniku dengan

keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(2)

MOTTO

Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini.

“Jangan melupakan sejarah tapi jadikanlah sejarah sebagai kenangan dan fokus pada masa depan”

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras; dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan

bertemu dengan kesiapan. (Thomas Alfa Edison)


(3)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS PELAKSANAAN KOORDINASI ANTARA

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN PUSAT

PELAPORAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(4)

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Ibu Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H.

sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Johan Budi, S.P. dan Ibu Maharani Siti Shopia, S.H. selaku responden dari Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Bapak Wuri Adhi, S.E., M.Akt. dan Bapak Priyanto Soewarno, S.H., M.Sc. selaku responden dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.dan Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.


(5)

10. Papa Kr. Hasan dan mama Siti Aisyah tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Saudara-saudaraku: Kiyay Abdul Karim, Daying Nur Jannah, Yuk Era, Tita Anita, Adikku Noviyanti dan almarhummah habsah keponakan-keponakanku beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selama ini telah diberikan.

12. Sahabat seperjuanganku angkatan 2008: Fajrie, Angga, Ari, Nurdian, Harina, Eki, Uci, Nizar, Vera kuadrat, Tria, Lingga, Jale, Syendro, Sandy, Cici Marienci, Burman, Fani, Muin, Mandala, Mirwan, Jusy, Wellent, Chandra dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

13. Sahabat sekaligus kakak tingkatku : Dwi N, S.H., Nedi, S.H.(ciyek), Ilham, S.H., Cristman, S.H(toel), Rivan, S.H., Rivani, S.H.(Mimi), Yuza, Novan, Diki Nambela(idung), Gusnan, S.H., dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya. 14. Sahabat-sahabatku: Yuwanti, ari Samson, galih kucing, gede susis, andri

doank, kang asep, mas benk, mas puri, rendy exe, deni penyol, nasir, olan, nana cyenki, meta, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

15. Sahabat-sahabatku di Metro: Hilda unyil, Fata plepoh, sopyan kupank, dody stw, agung bendol, Heru, hendra bengak, eko kadal, edi bupati, ali ustadz, ivan, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.


(6)

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis