Kajian Pola Dan Mekanisme Inaktivasi Bakteri Oleh Ekstrak Etil Asetat Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk)

KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT
BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)

LAVLINESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KAJIAN POLA DAN
MEKANISME INAKTIVASI BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI
ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2007

Lavlinesia
IPN 965044

Abstrak
LAVLINESIA. KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI ATUNG (Parinarium
glaberimum HASSK). Di bawah bimbingan Soewarno T. Soekarto sebagai
ketua, dan Betty Sri Laksmi Jenie, Dedi Fardiaz dan Purwiyatno Hariyadi
sebagai anggota.
Atung adalah sejenis tanaman hutan yang bijinya sejak lama secara
tradisional digunakan sebagai bahan pengawet pangan di Maluku,bubuk dan
ekstrak biji atung telah terbukti dapat mengawetkan udang, berbagai jenis ikan
dan berbagai produk dari ikan. Ekstrak etil asetat biji atung bebas lemak
mempunyai penghambatan yang tinggi dengan spektrum penghambatan yang luas
terhadap bakteri patogen dan perusak pangan.. Agar ekstrak etil asetat biji atung
ini dapat digunakan secara tepat dan efisien dalam memperpanjang umur simpan

dan dapat menjamin keawetan pangan perlu dipelajari pola dan mekanisme
inaktivasi bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung.
Dalam penelitian ini, (1) dipelajari nilai MIC dari pada 5 jenis bakteri
yaitu Staphylococcus aureus, Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus plantarum,
Bacillus subtilis dan Escherichia coli, (2) dipelajari pola inaktivasi bakteri S.
aureus dan P. fluorescens pada dosis di atas dan di bawah MIC, (3) dikaji
pengunaan nilai D dan Z untuk pola kematian yang bersifat logaritmik, pada
media cair dan pada pangan model padat, dan (4) dipelajari pola kerusakan sel
melalui pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur menggunakan
scanning electron microscope (SEM) dan transmission electron microscope
(TEM) (5) dan di analisa pola kebocoran sel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri S. aureus dan P. fluorescens
mempunyai kepekaan yang sama terhadap ekstrak etil asetat biji atung dengan
nilai MIC 3,2 mg/ml, E. coli lebih tahan dari P. fluorescens yang sama-sama
Gram negatif dengan nilai MIC 5,34 mg/ml. Nilai MIC E. coli ini sama dengan
nilai MIC B. subtilis yaitu bakteri Gram positif penghasil spora. L. plantarum
menunjukkan resitensi terhadap ekstrak etil asetat biji atung sampai dengan
penambahan 26,70 mg/ml ekstrak tidak menunjukkan penghambatan.
Hasil pengamatan pola inaktivasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens
pada dosis di bawah MIC menunjukkan pola regenerasi, akan tetapi pola

regenerasi P. fluorescens terjadi pada kisaran dosis yang sempit (0,53-0,61 MIC).
Terdapatnya pola regenerasi pada kedua jenis bakteri ini menunjukkan bahwa
ekstrak etil asetat menyebabkan bakteri S. aureus dan P. fluorescens menjadi
sakit. Dari hasil penelitian ini sel S. aureus yang sakit dapat dideteksi
menggunakan media TSA-YE sebagai media non selektif dan TSAS-YE sebagai
media selektif.
Pola kematian S. aureus, P. fluorescens dan E.coli pada dosis di atas MIC
dari hasil penelitian ini bersifat logaritmik mengikuti reaksi kimia ordo pertama
yang ditunjukkan dengan pola garis lurus dengan waktu. Penyimpangan dari garis
lurus ditemui pada ke tiga jenis bakteri, yaitu ditemukannya bahu dan ekor. Ke
tiga bakteri ini mempunyai bahu dengan bentuk yang berbeda. S. aureus dan P.
fluorescens mempunyai bahu pendek, dengan panjang yang sama tetapi P.
fluorescens mempunyai bahu yang lebih curam. Pada S. aureus, bahu tidak

ditemukan pada dosis tinggi, yang ditemukan adalah ekor, pada P. fluorescens
ekor ditemukan pada dosis sekitar MIC, semakin tinggi dosis dari MIC ekor
hilang, Bakteri E. coli mempunyai bahu yang panjang dengan bentuk mendatar
seperti S. aureus, pada E. coli ini tidak ditemukan ekor.
Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik dari ke tiga jenis bakteri (S.
aureus , P. fluorescens dan E. coli) tersebut dihasilkan nilai D dan z untuk

masing-masing bakteri pengaruh dosis ekstrak etil asetat biji atung. Untuk
menghitung nilai D dari bakteri E. coli karena mempunyai bahu yang panjang,
kurva kematiannya dibagi atas dua garis lurus, garis pertama adalah fase bahu
(adaptasi) dan garis lurus kedua adalah fase kematian. Dari 8 tingkat dosis yang
diperlakukan dari bakteri S. aureus dengan tidak memasukan data ekor , dan 6
tingkat dosis P. fluorescens serta 5 tingkat dosis dari E coli menunjukkan semakin
tinggi dosis ekstrak etil asetat biji atung semakin kecil nilai D. Nilai D S. aureus
pada dosis 1,0 MIC (3,20 mg/ml) adalah 3,14 jam, lebih kecil dari nilai D P.
fluorescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam. E. coli mempunyai nilai D yang
lebih besar dari nilai D bakteri S. aureus dan P. fluorescens yaitu untuk fase
adaptasi 22.03 jam dan untuk fase kematian 1,66 jam. Nilai D S. aureus pada
setiap dosis yang sama lebih kecil dari nilai D P. fluorescens, akan tetapi pada
dosis yang tinggi (5,34 mg/ml) nilai D S. aureus lebih besar dari P. fluorescens.
E. coli mempunyai nilai D lebih besar untuk dosis yang sama baik untuk fase
adaptasi (bahu) maupun fase kematian. Dari hubungan log D dengan dosis
diperoleh nilai z S. aureus 3,45 mg/ml lebih besar dari nilai z P. fluorescens
yaitu 1,65 mg/ml. Nilai z E. coli paling besar diantara ketiga bakteri yang diuji
yaitu 5,05 mg/ml untuk fase adaptasi dan 5,16 mg/ml untuk fase kematian.
Pola kematian bakteri S. aureus di dalam pangan model padat dengan
kandungan protein 9,08 %, karbohidrat 48,7 %, lemak 25,6 % dan kadar air 12,18

% (aw = 0,76-0,78) pada suhu penyimpanan 29,9oC bersifat logaritmik dengan
penyimpangan pada awal kurva. Bentuk penyimpangannya berbeda dari pola
kematian S. aureus dalam media cair (NB). Pada`media cair fase adaptasi pada
awal kurva kematian mendatar berbentuk bahu. Pada pangan model padat fase
adaptasinya cekung dengan derajat kemiringan yang lebih besar dibandingkan
dari fase kematian. Dengan mengasumsikan pola kematian S. aureus pada
pangan model padat bersifat logaritmik didapat nilai D dan z yang jauh lebih
besar daripada dalam media cair. Nilai D S. aureus pada media cair NB 3,14
jam, di dalam media padat menjadi 76,9 jam pada dosis 1,0 MIC (3,2 mg/ml)
dengan nilai z 3,45 mg/ml menjadi 34,1 mg/g.
Perbedaan ketahanan (nilai D dan z) bakteri S. aureus dengan P.
fluorescens terhadap ekstrak etil asetat biji atung disebabkan karena perbedaan
mekanisme kerja dari kedua bakteri ini. Pada sel S. aureus, ekstrak etil asetat biji
atung bekerja pada membran sel, menganggu sintesis protein, protein dan asam
nukleat. Pada sel P. fluorescens ekstrak etil asetat bekerja pada dinding sel yaitu
melisis membran luar sel, akibatnya membran tidak tahan, menahan tekanan
sitoplasma yang terdapat di dalam sel menyebabkan sel bocor. Ekstrak etil asetat
biji atung menyebabkan dinding sel S. aureus dan P. fluorescens lisis, sel yang
lisis melepaskan ion Ca++, dan menyebabkan membran S. aureus dan P.
fluorescens bocor, sel yang bocor mengeluarkan protein, asam nukleat, ion-ion

kalium yang terdapat di dalam sel.

THE BACTERIAL INACTIVATION PATTERN AND ANTIBACTERIAL
MECHANISM BY ETHYL ACETATE EXTRACT OF ATUNG SEED
(PARINARIUM GLABERIMUM HASSK).
LAVLINESIA
Under the advisory guidance of SOEWARNO T. SOEKARTO as the
chairman of advisory committee and BETTY SRI LAKSMI JENIE, DEDI
FARDIAZ and PURWIYATNO HARIYADI as members of the advisory
committee.
Abstract
Recently, people avoid synthetic material for food preservation because of
health reasons. Atung (Parinarium glaberimum Hask) is forest plant species. In
Maluku, atung seed is traditional used as food preservatives. Many researches
demonstrated that atung seed can be used for fish and fish products preservation.
The ethyl acetate extract of atung seed could inhibit a wide range of bacteria
effectively. Information about bacterial inactivation pattern of ethyl acetate extract
of atung seed and its mechanism are important for efficient and save use of the
atung seed extract.
The objectives of this research were to investigate the pattern of bacterial

inactivation and the mechanisms of ethyl acetate extract of atung seed. This
research were consisted of 6 experiments are: (1) to acquire MIC (minimum
inhibition concentration) value of its antimicrobial activities (2) to study the
inactivation pattern of S. aureus (Gram positive), P. fluorescens (Gram negative)
of ethyl acetate extract at doses below MIC (3) to study the time killing curve of
S. aureus, P. fluorescens and E. coli of ethyl acetate extract at doses above MIC
(4) to study the application of kinetic parameter ( D and z value) in broth and
solid food model (5) to study the damage of S. aureus (Gram positive) and P.
fluorescens (Gram negative) upon exposed of ethyl acetate extract of atung seed
(6) to study the leakage of S. aureus (Gram positive) and P. fluorescens (Gram
negative) upon exposed of ethyl acetate extract of atung seed.
The value of MIC of ethyl acetate extract were 3.2 mg/ml for S. aureus,
P. fluorescens, 5.34 mg/ml for E. coli and B. subtilis meanwhile L. plantarum was
resistant to extract. The inactivation pattern curve of S. aureus and P. fluorescens
at doses below MIC showed regrowth. The regrowth indicated that the S. aureus
and P. fluorescens was merely injured. The injured microbes can not detected
from routine medium. In this research the injured of S. aureus caused by ethyl
acetate extract of atung seeds can be detected by using TSA-YE as nonselected
medium and TSAS-YE as selected medium. At doses above MIC, the pattern of
the time killing curve of S. aureus, P. fluorescens and E. coli was followed first

order of reaction kinetic as indicated by a straight line curve against time.
Deviations from linear was observed : a shoulder and tail were found in S. aureus,
P. fluorescens and a shoulder was found in E. coli. The D value was calculated
from the linear part of time killing curve by regression of log (N) against the
time. The kinetic studies showed that D value decreased with dose. The D value
of S. aureus was lower than D value of

P. fluorescens at dose 3,20 mg/ml, meanwhile at 5.34 mg/ml atung concentration
the D value of S. aureus was higher. The D value of E. coli at the same dose (5.34
mg/ml) was higher both on the shoulder phase and the lethality phase. The z
value of S. aureus was higher than P. fluorescens and E. coli. The D and z value
on solid food model was shifting. The D value of S. aureus on liquid medium was
3.14 hour on on solid medium to 76.9 hour on 1.0 MIC (3.2mg/ml), while the z
value on liquid medium 3.4 mg/ml was increasing on solid medium to 34.1 mg/ml
.
The resistancy of S. aureus and P. fluorescens was different due to the
difference of their defence mechanism. On S. aureus, ethyl acetate extract
worked by disturbing the membranes protein thus the membrane cell were leaked.
On the P. fluorescens, the extract worked by lysing the outer membrane of the cell
that the membrane could not overcome the cytoplasma pressure that the cell

would be leak. The leaked cells were excreting protein, nucleic acid, calcium ions
and potassium ions within the cell.

96, teman diskusi yaitu Novelina dan semua pihak yang tidak tersebutkan
diucapkan terima kasih.
Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah bapak dan ibu
berikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata
semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Februari 2007
Lavlinesia

© Hak cipta milik Lavlinesia, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.

KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT

BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)

LAVLINESIA

DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul disertasi

:

Nama mahasiswa


:

KAJIAN POLA DAN MEKANISME INAKTIVASI
BAKTERI OLEH EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI
ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)
Lavlinesia

Nomor pokok

:

IPN 965044

Program studi

:

Ilmu Pangan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Soekarno T. Soekarto, M.Sc.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.
Anggota

Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc.
Anggota

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc.
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.

Tanggal ujian: 9 Februari 2004

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Kairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal lulus :

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan
selesainya penulisan disertasi yang berjudul : Kajian Pola dan Mekanisme
Inaktivasi Bakteri oleh Ekstrak Etil asetat Biji atung (Parinarium glaberimum
Hassk), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi
Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada komisi pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Soewarno T.
Soekarto, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing atas petunjuk dan saran mulai
dari perencanaan, pelaksanaan penelitian dan penulisan. Ucapan terimakasih yang
sama penulis aturkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.,
Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi,
M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas sumbangan pikiran berupa
konsep-konsep yang berarti kearah penyempurnaan tulisan ini.
Kepada kedua orang tua, Ayahanda Drs. Syamsir Alam dan Ibunda Asma
yang telah menghantarkan penulis sampai pada jenjang pendidikan terakhir S3,
kepada adik-adik semua terutama At dan Hadi yang telah membantu baik moril
maupun materil penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas semangat
dan doa yang telah diberikan selama ini.
Terima kasih kepada kepada Pimpinan IPB, terutama Pimpinan Sekolah
Pascasarjana, khususnya Pimpinan Program Studi Ilmu Pangan atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada jenjang S3.
Terima kasih kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Dikti atas
bantuan pembiayaan selama masa belajar. Terima kasih

kepada Pusat Studi

Pangan dan Gizi IPB, NAMRU, Lembaga Eijkman dan Laboratorium Genetika
Fak. Perikanan IPB atas bantuan dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian.
Kepada Mbak Ari yang selama penelitian siang malam menemani, kepada
Mas Yoyo di NAMRU, Ine di Eijkman dan kepada teman-teman satu kos
Hamzah, Yatno, Mairizal dan Eri diucapkan terimakasih banyak atas bantuan dan
semangat yang telah diberikan. Kepada teman-teman satu angkatan yaitu angkatan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1960 di Bukitingggi, Sumatera
Barat, merupakan anak pertama

dari

ayahanda Drs. Syamsir Alam dengan

ibunda Asma.
Penulis menamatkan sekolah dasar di SD negeri no. 6 Lubuk Sikaping,
Sumatera Barat pada tahun 1972, sekolah menengah pertama di SMP negeri V
Padang pada tahun 1975 dan menamat sekolah menengah atas di SMA negeri I
Jakarta pada tahun 1979. Pada tahun 1980, penulis melanjutkan pendidikan tinggi
di Universitas Andalas Padang jurusan Teknologi Hasil Pertanian, tamat tahun
1985. Pada tahun 1992, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan magister
sains di Institut Pertanian Bogor jurusan Teknologi Pascapanen di bawah
bimbingan Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief
DESS dan Dr. Ir. Rosmawati Peranginangin, APU yang berhasil diselesaikan pada
tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 1996, penulis memasuki program doktor di
Institut Pertanian Bogor dengan program studi Ilmu Pangan.
Sejak tahun 1987 sampai saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Fakultas Pertanian, Universitas Jambi.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
i
DAFTAR TABEL……………………………………………………………
ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………...
iii
iv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
I.

II.

1
1
3
4
5
5

PENDAHULUAN…………………………………………………….
LATAR BELAKANG ………………………………..…..……..
A
B. RUANG LINGKUP PENELITIAN…………………..………….
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN………….………....
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………
A. ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)………………………
1.
Tanaman Atung…………………………………………….
2.
Buah dan Biji Atung……………………………………….
3.
Komposisi Kimia Biji Atung………………………………
Potensi Atung sebagai Pengawet Pangan…...……………..
4.
Aktivitas Antibakteri Buah Atung………………………….
5.
B. STRUKTUR SEL BAKTERI……………………………………
Dinding Sel…………………………………………………
1.
Membran Sel………………………………………………
2.
Inti Sel……………………………………………………...
3.
Ribosom…………………………………………………....
4.
5.
Kapsul……………………………………………………...
C. SENYAWA ANTIMIKROBA…………………………………..

5
5
6
7
8
10
11
15
15
16
16
17

1.
Pengertian Agen Antimikroba……………………………..
2.
Stres Mikroba Oleh Senyawa Antimikroba………………..
MEKANISME KERJA SENYAWA ANTIMIKROBA…………
Merusak Dinding Sel…………………………….…………
1.
Menganggu Membran Sitoplasma……………….………...
2.
Menganggu Protein dan Asam Nukleat………….………...
3.
PERUBAHAN STRUKTUR SEL MIKROBA…………………
Pembentukan Filamen………………………………..……
1.
Pembentukan Septum dan Peningkatan Ukuran Sel……....
2.
Penebalan Dinding Sel………………………………….…
3.
Terbentuk Tonjolan (Blebs) ………………………………
4.

17
18
19
19
20
20
21
21
23
24
25

D.

E.

F.

III.

IV.

KINETIKA INAKTIVASI MIKROBA………………….…..
1.
Pola Kematian Mikroba………………………………..
2.
Kinetika Inaktivasi Bakteri oleh Proses ……….………
3.
Kinetika Inaktivasi Bakteri oleh Bahan Kimia………...

26
26
30
34

METODOLOGI………………………………………………….
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN……………………
B. BAHAN DAN ALAT………………………………………..
1.
Bahan Utama…………………………………………...
2.
Bahan Pembantu……………………………………….
3.
Kultur Mikroba………………………………………...
4.
Peralatan………………………………………………..
C. PERSIAPAN…………………………………………………

36
36
36
36
36
37
37
38

1.
Ekstraksi BijiAtung……………………………………
2.
Kultur Bakteri …………………………………………
D. METODE PERCOBAAN……………………………………
.
1.
Percobaan 1. Konsentrasi Minimum Penghambatan
(MIC)…………………………………...
2.
Percobaan 2. Inaktivasi Bakteri S. aureus dan
P. fluorescens Menggunakan Ekstrak Biji Atung pada
Dosis di bawah MIC…………………………………...
3.
Percobaan 3. Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens
oleh Ekstrak Biji Atung pada Dosis di atas MIC………
4.
Percobaan 4. Inaktivasi S. aureus oleh Ekstrak Biji
Atung pada Pangan Model Padat………………………
Percobaan 5. Pengamatan Morfologi dan Ultrastruktur
5.
S. aureus dan P. fluorescens oleh Ekstrak Biji Atung
6.
Percobaan 6. Analisa Kebocoran Sel………………...
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………...
A. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK ETIL ASETAT
BIJI ATUNG…………………………………………………
B. KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATAN (MIC)…
S. aureus dan P.fluorescens…………………………...
1.
Escherichia coli………………………………………...
2.
Lactobacillus plantarum……………………………….
3.
Bacillus subtilis………………………………………...
4.

38
39
39
40

40
41
41
42
45
47
47
49
50
51
52
53

C. POLA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus dan
P. fluorescens PADA DOSIS DI BAWAH MIC…………….
1. Pola umum Inaktivasi S. aureus dan P. fluorescens
di bawah Nilai MIC………………………………..
2. Regenerasi Sel S. aureus dan P. fluorescens………
3. Penyembuhan S. aureus …………………………..
D. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus dan
P. fluorescens PADA DOSIS DI ATAS MIC………………..
.
1. Pola Kematian Bakteri………………………….
2. Laju Inaktivasi Bakteri…………………………….
3. Parameter Laju Inaktivasi……………………….
E. KINETIKA INAKTIVASI BAKTERI S. aureus
PADA PANGAN MODEL PADAT…………………………
1. Pola Kematian Bakteri pada Pangan Model Padat…...
2. Perubahan Pola Inaktivasi Bakteri……………………
3. Perubahan Parameter Laju Inaktivasi…………………..
F. PERUBAHAN STRUKTUR SELULER BAKTERI
S. aureus DAN P. fluorescens PENGARUH EKSTRAK ETIL
ASETAT BII ATUNG…………………………………
1. Staphylococcus aureus…………………………………
2. Pseudomonas fluorescens……………………………..
G. KEBOCORAN SEL S. aureus DAN P. fluorescens PENGARUH
EKSTRAK ETIL ASETAT BII ATUNG…….
1. Kebocoran Bahan-bahan yang Dapat Menyerap Sinar UV
pada OD 260 dan 280 nm……………………….
2. Perubahan Kandungan Ion K+……………………….
3. Kebocoran Ca++………………………………………
H. PEMBAHASAN UMUM……………………………………
V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………...
A. KESIMPULAN………………………………………………
B. SARAN………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
LAMPIRAN……………………………………………………………….

54
56
56
59
61
61
64
67
73
74
74
76

80
81
92

99
99
101
103
104
108
108
110
111
121

DAFTAR TABEL

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Diameter zona penghambatan ( daerah bening) beberapa jenis
bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung .............................................
Konsentrasi minimum penghambatan ( MIC) ektrak biji atung
untuk 5 jenis bakteri.............................................................................
Persentase S. aureus sehat, sakit dan mati oleh ekstrak etil asetat
biji atung pada dosis 0,8 MIC selama 48 jam .....................................
Hasil analisis parameter laju kematian bakteri S. aureus,
P. fluorescens dan E. coli.....................................................................
Nilai D dan z dari bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli pada
dosis ekstrak etil asetat biji atung 5.34 mg/ml.....................................
Nilai aktivitas air (aw) pangan model padat dari beberapa tingkat
dosis ekstrak etil asetat biji atung.........................................................
Nilai no dan nilai D S. aureus pada pangan model padat pada
beberapa dosis ekstrak biji atung..........................................................
Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung terhadap ketebalan
dinding sel S.aureus.............................................................................
Panjang dan lebar sel P. fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat
biji atung.............................................................................................

Halaman
57

60
74
84
88
89
94
103
114

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram positif dan negatif.......

12

2.

Bentuk penyimpangan kurva kematian mikroba oleh panas................

27

3.

Kurva kematian logaritmik dari sel mikroba pada proses termal.........

30

4.

Penentuan nilai D menurut Pflug dan Holcom (1983).........................

32

5.

Skema proses pembuatan pangan model padat..................................

42

6.

Zona hambat ekstrak etil asetat biji atung pada berbagai ....................

48

7.

Pola inaktivasi bakteri S. aureus (a) dan P. fluorescens (b).............. .
oleh ekstrak biji atung pada dosis di bawah nilai MIC.......................

55

8.

Pola regenerasi bakteri S. aureus dan P. fluorescens oleh ekstrak .....

58

9.

Pertumbuhan S. aureus di dalam media TSA-YE dan TSAS-YE .......

60

10.

Kurva kematian S. aureus (a), P. flourescens (b) dan E. coli ............

62

11.

Kurva resistensi dosis dari bakteri S. aureus, P. fluorescens...............

72

12.

Produk pangan semi basah yang digunakan sebagai pangan model....

73

13.

Pola kematian S. aureus dalam medium cair NB (a) dan di pangan....

76

14.

Kurva resistensi dosis dari S. aureus pada pangan model padat .........

79

15.

Scanning electron microscope (SEM) dari sel S. aureus ...................

81

16.

Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus ...................

84

17.

Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus ...................

87

18.

Transmission electron microscope (TEM) dari S. aureus pada ..........

89

19.

Scanning electron microscope (SEM) dari sel P. fluorescens ............

93

20.

Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens ...........

96

21.

Transmission electron microscope (TEM) dari P. fluorescens ...........

97

22.

Absorbansi dari bahan-bahan yang dilepaskan dan diserap UV..........

100

23.

Peningkatan jumlah ion K+ dan Ca++yang dibebaskan sel ..................

102

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Bagan alir proses ekstraksi senyawa antimikroba biji atung…………..…..122
2. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v)…………....122
3. Pertumbuhan bakteri S. aureus selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4 % (v/v)……….…...122
4. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.6 % (v/v)…………....122
5. Pertumbuhan bakteri P. fluorescens selama 24 jam pada medium NB
pada konsentrasi ekstrak atung 0 sampai dengan 0.4% (v/v)…………... 123
6. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair MRS
pada konsentrasi ekstrak atung 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v)…….….123
7. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium cair MRS
pada konsentrasi ekstrak 0, 0.65, 0.70, 0.75 dan 0.8 % (v/v)……………...123
8. Pertumbuhan bakteri L. plantarum selama 24 jam pada medium MRS
cair pada konsentrasi ekstrak 0, 1.0, 1.5, 2.0 dan 2.5 % (v/v)……….……124
9. Pertumbuhan bakteri B. subtilis selama 24 jam pada medium NB pada
konsentrasi ekstrak 0, 0.45, 0.5, 0.55 dan 0.6 % (v/v)………………….…124
10 Pertumbuhan E. coli selama 24 jam pada medium NB pada
konsentrasi ekstrak 0, s/d 0.6 % (v/v), ………………………………..…124
11. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis di bawah MIC pada
pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair NB, ……………..….125
12.

Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah MIC pada
pertumbuhan bakteri P. flourescens pada medium NB ………………....126

13. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis yang menyebabkan bakteri S. aureus
stres pada medium cair NB………………….…………………………...127
14. Pengaruh ekstrak biji atung pada dosis yang menyebabkan bakteri P.
fluorescens menjadi sakit pada medium NB……………………………...127

15. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada
pertumbuhan bakteri S. aureus pada medium cair ……………………....128
16. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC
pada pertumbuhan bakteri P. fluorescens pada medium NB……….….129
17. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di atas MIC pada
pertumbuhan bakteri E. coli pada medium cair..........................................130
18. Skema proses pembuatan dekstrin tapioka (Mukodiningsih, (1991)….....131
19. Skema proses pembuatan tepung kedele (Koeswara, 1995)………..…….132
20. Pengaruh ekstrak etil asetat biji atung pada pertumbuhan bakteri
S. aureus pada pangan model padat ……………..……………………….133
21 Data absorbansi dari bahan yang dilepaskan oleh sel S. aureus dan P.
fluorescens pengaruh ekstrak biji atung pada OD 260 dan 280 nm……......133
22. Data peningkatan jumlah ion Ca++ dan K+ yang dilepaskan oleh sel…....…134

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan kian hari semakin meningkat
sementara masyarakat dihadapkan akan tuntutan kebutuhan pangan yang praktis,
mudah diolah, siap saji dan tahan lama. Untuk mendapatkan bahan pangan
tersebut diperlukan bahan pengawet yang aman untuk dikonsumsi. Bahan
pengawet sintetis banyak ditemui dan dapat digunakan akan tetapi keamanannya
masih diragukan. Pada saat ini bahan pengawet alami diyakini lebih aman untuk
digunakan.
Atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan yang
bijinya sejak lama secara tradisional digunakan oleh masyarakat Maluku untuk
mengawetkan ikan tangkapan jauh sebelum es balok dikenal (Moniharapon,
1991). Parutan biji atung digunakan masyarakat Maluku sebagai bahan
pencampur bahan makanan yang terbuat dari cacahan ikan mentah yang dibumbui
jahe, cabe, bawang dan air limun, makanan tradisional ini dikenal dengan nama
kohu-kohu (Moniharapon, 1991). Selain itu biji atung dapat digunakan sebagai
obat diare, menghentikan keputihan dan bubur biji atung yang dioleskan pada
kayu dapat mencegah serangan hama bubuk (Heyne, 1987).
Penelitian terhadap bubuk dan ekstrak air biji atung telah terbukti dapat
meningkatkan kesegaran dan umur simpan udang windu (Moniharapon,1991),
ikan kembung dan ikan mujair segar (Tilapia mossambica Peters) (Saragih, 1998),
pindang ikan mujair (Soeherman, 1997), dengan tekstur daging ikan menjadi lebih
padat dan kompak.
Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat biji atung mempunyai spektrum
penghambatan yang luas (Moniharapon, 1998) dan tinggi (Adawiyah, 1998).
Ekstrak ini mengandung senyawa fenolik (Adawiyah, 1998), terpenoid (Syamsir,
2002) dan senyawa dari golongan amina, ester, asam karboksilat, monoterpena
(limonena) dan tiol yang ditemukan dalam jumlah kecil yang dikenal memiliki
aktivitas antibakteri (Murhadi, 2002).

2

Untuk memanfaatkan ekstrak etil asetat biji atung sebagai bahan pengawet
pangan secara tepat dan efisien dalam memperpanjang umur simpan dan
menjamin keamanan pangan agar dapat digunakan dalam merancang operasi
pengolahan pangan, perlu dipelajari pola dan mekanisme inaktivasi mikroba.
Melalui pola inaktivasi, informasi kuantitatif dari kematian patogen dan perusak
makanan dapat diketahui untuk menunjukkan mekanisme kematian oleh senyawa
antimikroba. Melalui pola ini pengetahuan mikroba yang sakit (injury) dapat
diketahui untuk menghindari salah perkiraan terhadap mikroorganisme yang
masih hidup.
Inaktivasi bakteri merupakan hasil interaksi senyawa antimikroba dengan
bagian tertentu pada sel mikroba (Gilbert, 1984). Interaksi senyawa antimikroba
tersebut dapat menyebabkan sejumlah perubahan atau kerusakan pada sel bakteri
yang berpengaruh pada kelangsungan hidup bakteri. Kebanyakan senyawa
antimikroba

bisa

bersifat

menghambat

(bakteriostatik)

atau

mematikan

(bakterisidal), yang aktivitasnya tergantung pada konsentrasi yang digunakan
(Hugo dan Russel, 1983). Pada umumnya, pola inaktivasi bakteri oleh agen
antimikroba pada dosis yang mematikan kurva inaktivasi mengikuti reaksi kimia
ordo I bersifat eksponensial, sementara pola inaktivasi di bawah dosis mematikan
mikroba uji, secara umum memperlihatkan pola resistensi .
Pola inaktivasi bakteri oleh senyawa antimikroba
mematikan tidak selalu bersifat logaritmik tergantung

pada dosis yang

jenis antimikroba dan

mikroba yang dihambat, kebanyakan bersifat sigmoid (Soper dan Davis, 1994).
Dari hasil penelitian Moniharapon (1998) kurva kematian bakteri Pseudomonas
aeruginosa oleh ekstrak etil asetat biji atung berbentuk garis lurus bersifat
eksponensial mengikuti reaksi kimia ordo pertama. Beberapa penyimpangan dari
garis lurus juga dapat terjadi tergantung dari jenis mikroorganisme yang diserang,
adakalanya terbentuk bahu (shoulder) pada awal kurva kematian bakteri atau ekor
(tail) pada akhir kurva (Stumbo, 1973; Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan
Davies, 1994).
Kurva kematian bakteri digunakan sebagai dasar untuk menentukan
ketahanan mikroba oleh senyawa antimikroba, yang dinyatakan dengan nilai D
(waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah bakteri satu siklus log dari

3

suatu populasi bakteri) dan z (peningkatan konsentrasi yang diperlukan untuk
menurunkan satu siklus log D pada kurva resisten dosis). Nilai D dan z diperoleh
dari kurva kematian yang bersifat eksponensial, membentuk garis lurus mengikuti
reaksi kimia orde pertama (Stumbo, 1973, Pflug dan Holcomb, 1983; Soper dan
Davies, 1994). Penentuan nilai D dan z untuk senyawa antimikroba pangan masih
sedikit dilakukan yaitu pada ekstrak biji atung (Moniharapon, 1998), ozon ( Kim
dan Yousef, 2000), CO2 dan tekanan hidrostatik (Park et al, 2003).
Pada dosis yang tidak mematikan mikroba akan sakit, terjadi sejumlah
perubahan dan kerusakan struktur sel bakteri yang akhirnya dapat mempengaruhi
fungsi metabolisme sel, pada kerusakan yang parah menyebabkan kematian.
Bentuk dan besarnya perubahan atau kerusakan struktur sel dipengaruhi oleh jenis
senyawa antimikroba, jenis mikroba dan besarnya konsentrasi yang digunakan
(Gemmel dan Lorian, 1996). Perubahan dan kerusakan struktur sel oleh senyawa
antimikroba dapat berupa perubahan morfologi sel, perubahan ultrastruktur sel,
ukuran sel, kebocoran dinding dan membran sel, ketebalan dinding, penampakan
sitoplasma dan lain-lain (Suganuma, 1972; Fass dan Prior, 1974; Gemmel dan
Lorian, 1996).

B. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Lingkup penelitian ini meliputi : (1) Percobaan konsentrasi minimum
penghambatan (MIC) 5 jenis bakteri yaitu :

Staphylococcus aureus,

Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus plantarum, Bacillus subtilis dan
Escherichia coli dengan ekstrak etil asetat biji atung, (2) percobaan inaktivasi
bakteri S. aureus (Gram positif) dan P. fluorescens (Gram negatif) oleh ekstrak
etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung di bawah
nilai MIC (3) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus, P. fluorescens dan E. coli
oleh ekstrak etil asetat biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung
di atas nilai MIC (4) percobaan inaktivasi bakteri S. aureus oleh ekstrak etil asetat
biji atung pada beberapa dosis ekstrak etil asetat biji atung pada pangan model
padat (5) pengamatan perubahan morfologi dan ultrastruktur sel S. aureus dan P.
fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung secara mikroskopis

4

menggunakan scanning electron microscopy (SEM) dan transmissi electron
microscopy (TEM) (6) percobaan analisa kebocoran sel oleh ekstrak etil asetat biji
atung.
C. TUJUAN DAN MANFAAT HASIL PENELITIAN

Penelitian

ini

secara

umum

bertujuan

untuk

mempelajari

pola

penghambatan dan pola kerusakan sel bakteri oleh ekstrak etil asetat biji atung
(Parinarium glaberimum Hassk)..
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1.

Memperoleh dan membandingkan nilai MIC serta resistensi bakteri dari
ekstrak etil asetat biji atung untuk 5 jenis bakteri yaitu : S. aureus, P.
fluorescens, L. plantarum, B. subtilis dan E. coli.

2. Menemukan pola regenerasi dan fenomena sakit dari bakteri S. aureus dan P.
fluorescens oleh ekstrak etil asetat biji atung pada dosis di bawah nilai MIC.
3. Menemukan pola kematian pada dosis di atas nilai MIC, berdasarkan pola
kematian dipelajari kinetika inaktivasi (D dan z) S. aureus, P. fluorescens dan
E. coli oleh ekstrak etil asetat biji atung.
4. Mengkaji penerapan nilai D pada pengawetan produk pangan model padat.
5. Menemukan mekanisme kerusakan sel bakteri S. aureus dan P. fluorescens
oleh ekstrak etil asetat biji atung.
6. Menemukan bahan-bahan yang dikeluarkan oleh sel

S. aureus dan P.

fluorescens pengaruh ekstrak etil asetat biji atung.

Manfaat Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan
efektifitas dan merancang penggunaan atung sebagai pengawet secara tepat pada
produk pangan olahan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. ATUNG (Parinarium glaberrimum Hassk)

Atung adalah sejenis tanaman hutan tropis yang tumbuh secara alami di
Kawasan Timur Indonesia. Hampir di semua tempat di Maluku tanaman ini
ditemukan terutama di Maluku Tengah (Moniharapon, 1991), namun di Pulau
Jawa tidak ditemukan ( Heyne, 1987). Atung mempunyai nama yang berbedabeda di setiap daerah, di Aceh bernama Pele kambing, di Maluku, atung, Lomo di
Makasar orang Bugis menamakan Samaka dan di Ternate Saya ( Heyne, 1987).

1. Tanaman Atung
Tanaman atung memiliki pohon yang besar dan tumbuh lebat, setelah
tanaman agak berumur batangnya berlubang dengan kayu yang keras tetapi getas
dan tidak awet (Heyne, 1987). Tinggi pohon dapat mencapai ketinggian 10 m
dengan diameter pohon mencapai 40 cm, dengan kulit kayu berwarna coklat gelap
(Koorders dan Valeton, 1913 dalam Murhadi, 2002).

2. Buah dan Biji Atung
Bentuk dan besarnya buah atung menyerupai telur bebek, berwarna merah
gading pudar, mempunyai kulit luar yang keras dengan tebal kulit sebesar jari
tangan (Heyne, 1987 dan Adawiyah, 1998). Berat rata-rata satu buah atung
berkisar antara 31,3 - 48,7 gram dan apabila buah sudah kering kulit buah
menjadi retak (Adawiyah, 1998). Di bagian kulit buah terdapat mesokarp tebal
yang memiliki struktur berserat dengan arah vertikal dengan tekstur yang sangat
keras, bagian kulit dan mesokarp ini merupakan bagian terbesar dari buah
mencapai dua pertiga (68 %) berat utuh dengan berat antara 18,7 - 36,5 gram
(Adawiyah. 1998).
Di bawah kulit buah atung terdapat biji tunggal, memiliki jalur-jalur keriput,
dengan besar biji kira-kira sebesar telur ayam tetapi pipih dan sangat keras. Biji
ini menimbulkan suara gemeretak ketika buah utuh diguncang, biji berwarna
coklat dilapisi serabut tipis putih dengan tekstur sangat keras dengan proporsi biji

6

terhadap keseluruhan buah utuh rata-rata 31.8 % atau kira-kira sepertiga berat
buah utuh (Adawiyah.1988).

3. Komposisi Kimia Biji Atung
Hasil penelitian Adawiyah (1998), lemak merupakan komponen terbesar
(42,7 %) dari biji atung diikuti oleh air ( 8-13,2 % ), protein (5,4 %), serat kasar
(4,3 %), abu (2,1 %), pati (2,3 %) dan tannin (1,7 %). Kadar air biji atung dipengaruhi oleh umur simpan buah, semakin lama disimpan biji semakin kering dan
keras sehingga sulit untuk dihancurkan dan adanya kandungan tanin merupakan
penyebab rasa atung menjadi agak sepat.
Selanjutnya dari hasil penelitian Adawiyah (1998), tipe asam-asam lemak
yang mendominasi lemak biji atung terutama adalah asam lemak rantai panjang
yaitu bahenat (27,98 mg/g asam lemak), palmitat (24,61 mg/g lemak), linoleat
(21,68 mg/ g lemak), stearat (19,70 mg/lemak), oleat (19,24 mg/g lemak) serta
sejumlah kecil asam dokosaheksaenoat/ DHA (4,27 mg/g lemak), gadoleat (4,83
mg/g lemak), arakhidat (2,72 mg/g lemak ) dan linolenat (0,87 mg/g lemak).
Menurut Greshoff biji atung mengandung 31 % lemak (Heyne, 1987).
Lemak atung terdiri dari beberapa jenis asam lemak rantai panjang dalam bentuk
ester asil gliserol, termasuk asam parinarat yaitu asam lemak tidak jenuh C18:4
dengan 4 ikatan rangkap terkojugasi pada posisi ikatan 9,11,13 dan 15 (Skalar et
al ,1981 dalam Murhadi, 2002), dalam bentuk dua isomer geometris yaitu (1) cisasam parinarat (9,11,13,15- cis, trans, trans, cis-asam oktadekatetraenoat) atau
disingkat cis-PnA dan (2) trans-asam parinarat (9.11,13,15-trans, trans, trans,
trans-asamoktadeka tetraenoat) atau disingkat trans-PnA (Skalar et al, 1989, 1981
dalam Murhadi, 2002).
Biji atung memiliki aroma khas atung terutama setelah berbentuk serbuk
biji atung.

Murhadi (2002) telah mengidentifikasi

aroma khas yang berupa

komponen volatil dari serbuk biji atung utuh, komponen volatil dari serbuk biji
atung yang telah dikurangi lemak minyaknya dan komponen volatil dari serbuk
biji atung yang telah dikurangi komponen polarnya. Dari ke tiga isolat volatil
tersebut Murhadi (2002) memperoleh 70 komponen volatil secara komulatif yang
terdiri 17 golongan senyawa yaitu: alkana (8 komponen), alkana siklik (4), alkil

7

halida (1), alkena (5), alkena siklik (3), alkuna (3), aromatik (1), amina (2), tiol
(1), ester (3), asam karboksilat (2), alkohol (5), aldehida (24), ester (1), alkil furan
(1), keton (4) dan senyawa lain (2).

Komponen volatil golongan aldehida

merupakan golongan komponen volatil yang dominan, jumlahnya 34 % yaitu 24
dari 70 komponen volatil gabungan, komponen utamanya adalah : 2,4-dekadienal,
heksanal, 2-heptenal, 2,4-nonadienal,

(E,E)-2,4-nonadienal dan (z)-2-dekenal.

Komponen aldehida ini masih ditemukan pada serbuk biji atung yang diekstraksi
dengan alat sokhlet menggunakan pelarut heksana selama 3 x 8 jam. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstraksi dengan menggunakan pelarut heksana menggunakan sokhlet selama 3 x 8 jam belum mampu menghilangkan seluruh kandungan
lemak minyak di dalam serbuk biji atung.
Selain senyawa dari golongan aldehida, senyawa-senyawa seperti golongan :
amina (2-propana amina dan N-metil-2-propuna-1-amina), ester (ester pentil asam
format dan ester butil asam asetat), asam karboksilat (asam propionat dan 2-metil
–2-asam propenoat), monoterpena (limonena) dan tiol (2-metil-2-undekanatiol)
teridentifikasi dalam jumlah kecil yang dikenal memiliki aktivitas bakteri
(Murhadi, 2002).

4. Potensi Atung Sebagai Bahan Pengawet Pangan
Daya antibakteri biji atung pertama kali diketahui dari kemampuan biji
atung yang dapat mengawetkan makanan tradisional dari Ambon yang dikenal
dengan nama kohu-kohu.

Masyarakat biasa menambahkan parutan atung ke

dalam cincangan ikan mentah yang dibumbui jahe, bawang, cabe dan air limun
(Moniharapon, 1998).

Atung juga dapat digunakan sebagai obat diare,

menghentikan murus-murus, menghentikan keputihan dan olesan bubur biji atung
pada kayu dapat mencegah serangan hama bubuk (Heyne, 1987). Bubuk biji
atung juga telah lama dan populer digunakan oleh nelayan di Maluku jauh
sebelum es balok dikenal sebagai pengawet ikan tangkapan (Moniharapon, 1991).
Mutu ikan tangkapan dapat dipertahankan beberapa hari sampai nelayan kembali
ke pelabuhan dan memasarkannya.
Penelitian atung sebagai pengawet pangan pertama kali diteliti oleh
Moniharapon (1991).

Moniharapon (1991) menambahkan bubuk biji atung

8

sebanyak 3-5 % (bb) pada udang windu, ternyata mampu meningkatkan kesegaran
udang dari 4 jam menjadi 10 jam pada suhu kamar. Bila penambahan bubuk biji
atung sebesar 5 % dari berat udang (bb) dikombinasikan dengan penyimpanan
dalam bongkahan es dapat meningkatkan kesegaran sampai 2 hari dan bila
dikombinasikan dengan penyimpanan dingin dalam lemari es bersuhu 4oC dapat
meningkatkan kesegaran mencapai 9 hari.

Pada umur penyimpanan tersebut

rupa, tekstur, rasa, pH dan kadar air udang tidak berbeda dari kontrol, dan dapat
menahan

pertumbuhan

mikroba

dan

mengurangi

susut

bobot

selama

penyimpanan.
Aplikasi bubuk biji atung sebesar 5-15 % pada ikan mujair

(Tilapia

mossambica Peters ) dapat memperpanjang umur simpan dari 3 hari menjadi 7
hari, pada ikan kembung penambahan sebesar 15 % meningkatkan umur simpan
dari 8 hari menjadi 13 hari (Saragih, 1998). Pada akhir penyimpanan total koloni
mikroba kedua jenis ikan masih di bawah batas kerusakan ikan yaitu kurang dari
5x105 koloni/gram ikan.
Soeherman (1998), membuktikan bahwa penggunaan bubuk biji atung
atau ekstrak air biji atung pada pindang ikan mujair mampu memperpanjang
umur simpan dari satu hari menjadi empat hari

dengan tekstur daging ikan

menjadi lebih padat dan kompak.

5. Aktivitas Antibakteri Buah Atung
Hasil penelitian Moniharapon (1998), seluruh bagian buah atung
mengandung zat antimikroba akan tetapi bagian biji aktivitas antibakterinya jauh
lebih kuat (7 kali) daripada daging buah. Daging buah tidak efektif digunakan
sebagai antibakteri.

Hal ini menguntungkan karena penyiapan biji untuk

dijadikan ekstrak jauh lebih mudah dibandingkan daging buah biji.
Selanjutnya dikatakan oleh Moniharapon (1998), ekstrak biji atung tua
mempunyai ativitas antibakteri 2 – 3 kali lebih kuat dari biji muda. Biji atung
segar memiliki aktivitas antibakteri 1,2 –1,5 kali lebih tinggi dari biji atung yang
disimpan pada suhu ruang selama 3 bulan namun biji atung simpan ini masih jauh
lebih tinggi aktivitas antibakterinya dari ekstrak biji atung muda. Biji atung tua

9

baik segar maupun yang telah disimpan keduanya baik sebagai bahan untuk
produksi bahan pengawet pangan (Moniharapon, 1998).
Metode ekstraksi dan jenis pelarut mempengaruhi aktivitas antibakteri biji
atung.

Hasil penelitian (Moniharapon, 1998), metode ekstraksi cara refluks

menggunakan heksana menghasilkan aktivitas antimikroba lebih kuat (24,9 UIB)
dari pada metode maserasi metanol 100 % (9,8 UIB), kemudian metode maserasi
100 % lebih kuat dari refluks metanol 80 % (7,8 UIB). Selanjutnya dari hasil
penelitian Moniharapon (1998), ekstraksi buah atung dengan metode maserasi
menggunakan metanol, lalu ekstraknya diseparasi dengan heksana dan residunya
diseparasi lagi dengan etil asetat, menghasilkan ekstrak etil asetat dengan aktivitas
yang cukup tinggi dengan zona penghambatan yang lebih besar dari ekstrak
heksana. Ekstrak etil asetat dari biji atung ini mempunyai spektrum penghambatan
yang luas dan cukup kuat untuk 9 jenis bakteri pembentuk dan non pembentuk
spora, patogen dan pembusuk, Gram positif, Gram negatif, bentuk batang dan
kokus. Daya antibakteri biji atung ini secara konsisten sangat kuat terhadap 6 jenis
bakteri penting pada produk pangan yaitu S. aureus, S. enteritidis, S. typhimurium,
E. coli, B. subtilis dan P. aeruginosa.
Ekstraksi biji atung secara tunggal,

menggunakan pelarut polar yaitu

etanol 95 %, etanol 50 % dan air menghasilkan ekstrak dengan aktivitas antimikroba yang rendah, ekstraksi tunggal dengan pelarut heksana (non polar) tidak
menunjukkan penghambatan akan tetapi dengan pelarut etil asetat menghasilkan
aktivitas tertinggi terhadap P. aeruginosa (Adawiyah, 1998).
Ekstraksi dengan cara bertingkat, menunjukkan aktivitas antimikroba yang
lebih tinggi dari ekstraksi tunggal (Adawiyah, 1998). Ekstraksi bertingkat dua
tahap yang dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) dilanjutkan dengan etil
asetat menghasilkan aktivitas yang lebih tinggi dari ekstraksi tunggal
menggunakan pelarut etil asetat saja dan ekstraksi bertingkat tiga tahap yaitu
dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) diikuti dengan pelarut semipolar (etil
asetat) dan terakhir dengan etanol (polar) menghasilkan ekstrak etanol yang
memiliki aktivitas antimikroba yang rendah. Ekstrak heksana etil asetat dari
metoda ekstraksi bertingkat dua tahap merupakan cara ekstraksi yang terbaik akan
tetapi rendemennya rendah 0.63-1.00 % (bb), dengan karakteristik ekstrak yang

10

diperoleh adalah ekstrak berwarna jingga, mengandung total fenol 47,6 ppm, berat
jenis 0,9876 g/cm3 dan indeks refraksi 1,44.
Dalam rangka untuk memperoleh ekstrak yang mempunyai aktivitas
antibakteri dan rendemen yang tinggi Murhadi (2003) menggunakan beberapa
pelarut nonpolar, semipolar dan polar. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstraksi
serbuk biji atung kering yang didahului dengan petroleum eter pada suhu 40-60oC
disokhlet selama 8 jam dan residunya diekstraksi (sokhlet, 3 x 8 jam) dengan
heksana lalu residunya direfluks pada suhu 60oC menggunakan pelarut polar yaitu
metanol, ekstrak yang diperoleh menghasilkan aktivitas antibakteri (S. aureus)
paling tinggi dengan diameter penghambatan 99,20 mm pergram biji atung
dengan rendemen 11,58 % (bb). Ekstrak metanol ini mempunyai potensi sebagai
pengawet pangan, hanya saja perlu dipertimbangkan kembali untuk meminimalkan residu karena metanol bersifat toksik.

B. STRUKTUR SEL BAKTERI
Bakteri mempunyai ukuran yang bervariasi dengan panjang 0,2-60 μm
dengan diameter satu sampai beberapa mikron, kebanyakan bakteri yang
menginfeksi manusia mempunyai ukuran panjang 1-3 μm (Boyd, 1995). Secara
morfologi bakteri mempunyai struktur yang tidak sempurna, tidak mempunyai
dinding inti (membran nukleus), mitokondria dan retikulum endoplasma (Davis
et al , 1976).
Bakteri mempunyai 4 bentuk dasar yaitu batang (jamak: basili), bulat atau
kokus (jamak: koki), bentuk spiral dan persegi (Boyd, 1995). Bakteri berbentuk
bulat dapat dibedakan atas diplokoki (berpasangan), streptokoki (bentuk rantai),
tetrad (4 sel membentuk segi empat), stapilokoki ( tidak beraturan menyerupai
anggur) dan sarcinae (kumpulan sel berbentuk kubus) (Fardiaz, 1989). Bakteri
berbentuk batang terdapat dalam bentuk berpasangan (diplobasili) atau
membentuk rantai (streptobasili). Pengelompokan ini pada beberapa keadaan
bukan merupakan sifat morfologinya, melainkan dipengaruhi oleh tahap
pertumbuhan atau kondisi kultur.

11

1. Dinding Sel
Hampir semua sel prokariot mempunyai dinding sel kecuali mikoplasma
(Nikaido dan Vaara, 1985 dan Fardiaz, 1989). Dinding sel ini sangat penting bagi
bakteri dan dari segi kimiawi tidak sama dengan struktur jaringan hewan.
Dinding sel bakteri tebal dan relatif kaku terletak disebelah luar membran
sitoplasma, berfungsi melindungi membran sitoplasma yang rapuh dan men