Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk) dengan Pelarut Etil Asetat Teknis selama Penyimpanan Terhadap Staphylococcus aureus

MEMPELAJARI STABILITAS AKTIVITAS ANTIMIKROBA
EKSTRAK BIJI ATUNG (Parinariumglaben'nwm Hassk)
DENGAN PELARUT ETIL ASETAT TEKNIS
SELAMA YEN Y lMPANAN TERtlADAP Staphylococcus aureus

OLEH:
ELVIRA SYAMSIR

YHVGHAM PASCA SARTANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK

ELVIRA SYAMSR. Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji
Atung (Parinarium glaberimum Hassk) Dengan Pelarut Etil Asetat Teknis Selama
Penyimpanan Terhadap Staphylococcus uureus. Dibimbing oleh SOEWARNO T.
SOEMTO, RATi'ti DE-*-mTi-~i-YYmi dan
mIil-y-mTOO
NNO

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi stabilitas antimikroba ekstrak
biji atung selama penyimpanan dan menyedakan data dasar bagi pengembangan bentuk dan cara penyimpanan bahan pengawet pangan dari ekstrak biji atung.
Peneiitian dibagi menjacii empat tanap, yaitu: i j. Pembuatan ekstrak biji atung
menggunakan pelarut teknis; 2). pembuatan ekstrak bubk dan ekstrak cair dari ekstrak
biji atung; 3). Pembuatan kurva standar aktivitas antimikroba ekstrak biji atung tefhadap Staphylococcus aureus; dan 4). Pengujian stabilitas antimikroba ekstrak cair dan
ekstrak bubuk selama penyimpanan. Pengujian kemurnian pelarut teknis dilakukan dengan melihat suhu didih dan komponen non volatil (pada 105'~). Pengujian aktivitas
antimikroba dilakukan dengan metode uji difusi agar dan metode kontak. Selain itu juga dilakukan uji kualitatif terhadap komponen fenolik dan terpenoid ekstrak.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa kemurnian peiarut teknis untuk mengekstrak komponen aktif darl suatu bahan, perlu dipertimbangkan. Yerbedaan kemurnian
menyebabkan terjadinya modifikasi dalam prosedur ekstraksi, yang dapat menyebabkan perbedaan aktifitas ekstrak. Pelarut teknis etil asetat yang digunakan untuk ekstraksi-1 (pelarut-1) memiliki tiga suhu didih (77, 79 dan 81'~)sementara pelarut untuk
ekstraksi-2 (pelarut-2) memiliki dua suhu didih (78 dan 79'~). Jumlah komponen non
volatil sampai pemanasan pada suhu 1 0 5 ' ~pelarut-1 sebesar 0,40% dan pelarut-2 sebesar 0,16%. Laju penguapan pelarut-2 yang digunakan sebagai larutan pengencer pada
suhu 10,30,45 dan 5 5 ' ~bertvrut-turut adalah 0,017, 0,020, 0,028 dan 0,042 mllhari,
Proses evaporasi dari ekstraksi-1 (E-I) dilakukan pada suhu 7 0 ' ~sementara
ekstraksi-2 (E-2) pada 4 0 ' ~ . Rendemen ekstrak E-1 2,76%, densitas 0,9819 g/ml dan
benvarna merah gelap, sementara rendemen ekstrak E-2 2,52% dengan densitas 0,9955
g/ml dan benvarna merah bata. Secara kualitatif kedua ekstrak mengandung komponen
fen01 dan terpenoid. Walaupun aktivitas penghambatan kedua ekstrak relatif sama
(diameter penghambatan E-I: 22,40 mm dan E-2:22,06 mm) tapi daya bunuhnya berbeda. Pada konsentrasi 1% V&stfakNmeQa7daya bunuh ekstrak E- 1 sebesar 1,63 (tingkat
kematian sebesar 97,60%j sementara ciaya bun& ekstrak E-2 sebesar 4,2 (tingkat
kematian sebesar 99,YY%).

Dari kurva standar diperoieh hubungan persamaan iinier antara konsentrasi ekstrak E-1 dengan diameter penghambatan: Y = 14,332Log(X) - 1,3174; dimana ? =
0,96; X = konsentrasi (%, VIV) dan Y = diameter penghambatan (mm). Hubungan
konsentrasi ekstrak dengan iuas area penghambatan dapat dijeiaskan dengan persamaan: Y = 345,53Log(X) - 167,Y; dlmana r2 = O,Y 5; X = konsentrasi (%, VIV) dan Y =
luas area penghambatan (mm2). Luas area penghambatan dan besar diameter penghambatan yang dibentuk tidak berbanding lurus dengan faktor pengenceran.

Perbedaan kondisi ekstraksi menyebabkan perbedaan stabilitas antimikroba ekstrak selarna penyimpanan dalam bentuk cair (konsentrasi 50% Vekstrak/Vpelarut) Ekstrak
cair E-1 tidak menunjukkan daya bunuh pada uji kontak 24 jam, setelah 30 hari
penyimpanan pada suhu penyimpanan 5 5 ' ~ . Pada kondisi yang sama, ekstrak cair E-2
menunjukkan aktivitas penghambatan yang relatif sama dengan yang disimpan pada suhu yang lebih rendah.
Ekstrak cair E- 1 menunjukkan dua pola penlbahan aktivitas antimikroba selama
penyimpanan. Penurunan aktivitas penghambatan terjadi pada awal penyimpanan dan
diikuti dengan stabilitas aktivitas penghambatan. Pada ekstrak cair E-2, aktivitas penghambatan berfluktuasi tetapi cenderung tetap selama 35 hari penyimpanan. Suhu penyimpanan mempengaruhi stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak. Peningkatan suhu
mempercepat proses perubahan aktivitas.
Pengujian aktivitas antimikroba dengan uji Qfusi agar tidak tepat jika digunakan untuk mempelajari perubahan stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak kasar selama
penyimpanan. Pengujian dengan metode kontak akan memberikan gambaran mengenai
stabilitas aktivitas antimikroba dengan lebih baik.
Selama penyimpanan, stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak biji atung bentuk
cair lebih baik dari bentuk bubuknya. Pada penyimpanan di suhu 30°c, konstanta Iaju
penurunan luas daerah penghambatan (nilai k) ekstrak bubuk (-0,027) lebih besar dari
ekstrak cair (-0,O 17).

Pada kurva penurunan aktivitas penghambatan antimikroba, energi aktivasi ekstrak cair (1691 9,82 Jlmol) lebih besar dari ekstrak bubuk (i3945,07 J/mol). Berarti,
ekstrak dalam bentuk cair mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih baik.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung (Parinariumglaberzmum Hassk) Dengan Pelarut Etil Asetat Teknis Selama Penyimpanan Terhadap Stuplzylococcus aureus
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua
surnber data dan inforrnasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas clan &pat diperiksa kebenarannya

MEMPELAJARI STABILITAS AKTMTAS ANTIMIKROBA
EKSTRAK BIJI ATUNG (Parinariumglaberimum Hassk)
DENGAN PELARUT ETIL ASETAT TEKNIS
SELAMA PENYIMPANAN TERHADAP Staphylococcus aureus

ELVIRA SYAMSIR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
MAGISTER SAINS pada

Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

: Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji

Atung (Parinarium glaberimum Hassk) dengan Pelarut Etil
Asetat Teknis selama Penyimpanan Terhadap Staphylococcus
aureus
Nama Mahasiswa

: Elvira Syamsir

Nomor Pokok

: 95132


Program studi

: Ilmu Pangan

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

Prof Dr. Soewamo T. Soekarto, M.Sc
(Ketua)

Dr. Ir. ~ t d o Apriyantono,
6
MS
(At-Q3iwta)

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc
(A%%ota)

afrida Manuwoto, M.Sc


Tanggal lulus

: 15 Juni2001

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang (Sumatera Barat), 9 Agustus 1969 sebagai anak
pertama dari empat bersaudara. Orang tua penulis adalah Bapak dr. Syamsir Ma'aruf
dan Ibu Irdawati.
Pada tahun 1988, penulis lulus dari SMAN I Payakumbuh (Surnbar) dan meneruskan pendidikan di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknolog Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang diselesaikan pada Maret 1993. Selanjutnya pada tahun 1995, penulis mengambil program Master (5-2) pada Program Pasca Sarjana IPB
dalam bidang Ilmu Pangan dengan biaya dari Proyek URGE Batch 11.
Penulis menikah dengan Ir. Yanar Siswanto, MM pada bulan Juli 1996 dan dikaruniai seorang putri bernama Anindya Widya Desbriviyanti (26 Desember 1997).

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program
Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc, selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama pembimbingan dan penyusunan tesis. Demikian juga kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Anton
Apriyantono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penelitian dan penulisan tesis.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Jurusan dan seluruh staf pengajar Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB, untuk persahabatan, bantuan dan dorongan moril yang diberikan sehingga tulisan ini dapat tenvujud setelah sekian lama
terkatung-katung. Secara khusus, disampaikan pula terimakasih kepada Resti, Ibu Iin,
Mbak Ari, Mbak Sri, Pak Gatot, Ibu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Mulyono dan Mas
Nurwanto yang telah membantu jalannya penelitian ini.
Kepada Proyek URGE (University Research for Graduate Education) Batch I1
yang telah memberikan beasiswa selama perkuliahan dan penelitian, penulis sampaikan
terimakasih.
Secara khusus, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan rasa kasih yang tulus kepada suami dan anak tercinta, orang tua terkasih, mertua dan adik-adik untuli semua rasa sayang, pengertian, serta dorongan moril dan materil yang telah diberikan selama ini.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Penulis

DAFTAR IS1

Halaman

.

1


PENDAHULUAN

...........................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG .............................................................................................. 1
A. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN ..........................................................2
I

. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................4
A. SENYAWA ANTIMIKROBA.................................................................................. 4
1. Spektrum Antimikrobial dan Mekanisme Kerja Antimikroba ............................ 4
2. Sifat Fisikokirnia Antimikroba .......................................................................... 6
B. ANTIMIKROBA ALAMl DARI TANAMAN......................................................... 6
C . ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) ................................................................. 9
1. Tanaman Atung ................................................................................................10
2 . Morfologi dan Anatomi Buah Atung ................................................................ 10
..
....
B y Atung ............................................................................
11

3. Komposisl Kimia
...
4 . Pemanfaatan Biji Atung ...................................................................................12
D. DAYA ANTIMIKROBA BIJI ATUNG ................................................................. 13
1. Pengawet Pangan clan Produk Pangan ............................................................ 13
2 . Kajian Terhadap Daya Antimikroba Biji Atung ............................................... 15
E. Staphylococcus aureus ............................................................................................ 19
F. STABILITAS KOMPONEN ANTIMIKROBA SELAMA ........................................
PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN .............................................................. 20
1. Stabilitas Aktivitas Antimikroba Beberapa Bahan Pangan ............................... 21
2 . Faktor-Faktor yang Mernpengaruhi Stabiiitas Aktivitas .................................. 2 2
Antimikroba selama Penyimpanan .......................................................................
G. KINETIKA REAKSI ............................................................................................ 27

IIL BARAN DAN METODE

...........................................................................................

28


A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................................... 28
B. PERSIAPAN.......................................................................................................... 29
1. Ekstraksi ..........................................................................................................2 9
2 . Pembuatan Kultur Cair Bakteri ........................................................................ 29
C . METODE PERCOBAAN .......................................................................................30
1. Percobaan 1...................................................................................................... 30
2 . Percobaan 2 ......................................................................................................31
3. Percobaan 3 ...................................................................................................... 32
4 . Percobaan 4 ......................................................................................................32
D. METODE ANALISIS DAN PENGAMATAN ....................................................... 33
1. Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Difusi Agar ........................ 33
2 . Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Kontak ............................... 34
3. Pengujian Komponen Fenolik secara Kualitatif ............................................. 3 5
4 . Pengujian Komponen Terpenoid secara Kualitatif ..................................... 35
5. Pengujian Kemurnian Pelarut Etil Asetat Teknis .............................................36
6 . Pengujian Laju Penguapan Pelarut Etil Asetat Teknis
Selma Penyimpanan .......................................................................................
36

.


IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................................... 37
A. EKSTRAKSI ANTIMIKROBA BIJI ATUNG DENGAN
PELARUT TEKNIS ............................................................................................... 37
1. Karakteristik Pelarut ............................................................................................
37
2. Karakteristik Fisik dari Ekstrak ......................................................................... 38
3. Komponen Aktif (Kualitatif) ......................................................................... 4 1
4 . Aktivitas Antimikroba Ekstrak ...................................................................... 4 1
a. Aktivitas penghambatan ........................................................................... 4 1
b . Daya bunuh .................................................................................................
42
B. METODE PENGUJIAN DAN AKTIVITAS ANTIMlKROBA
43
BIJI ATUNG ..........................................................................................................
1. Hubungan antara Mekanisme Penghambatan Antimikroba
dan Metode Pengujian..................................................................................... 43
2. Perbandingan Hasil Uji Difusi Agar dengan Uji Kontak .....................................45
3. Karakteristik Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung
Menggunakan Pelarut Teknis Dilihat dari Hasil Pengujian ................................. 46
C. PEMBUATAN EKSTRAK CAIR DAN EKSTRAK BUBUK .............................. 48
1. Ekstrak Biji Atung Bentuk Cair ........................................................................ 48
2. Ekstrak Biji Atung Bentuk Bubuk ....................................................................... 50
D . KURVA STANDAR HUBUNGAN KONSENTRASI EKSTRAK ATUNG
(E- 1) DENGAN DIAMETER DAN LUAS DAERAH PENGHAMBATAN ......... 52
1. Hubungan Konsentrasi Ekstrak dengan Diameter Penghambatan ....................... 52
2. Hubungan Konsentrasi Ekstrak dengan Luas Daerah Penghambatan.................. 53
E . PERUBAHAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA SELAMA
PENYIMPANAN ....................................................................................................55
1. Penguapan Pelarut dan Diameter Terkoreksi Ekstrak Cair ..................................59
2 . Pengaruh Perbedaan Pelarut terhadap Stabilitas Penyimpanan ........................... 60
3. Pengaruh Suhu Penyimpanan pada Stabilitas Antimikroba Ekstrak ....................65
a. Ekstrak cair E- 1 ........................................................................................ 66
b . Ekstrak cair E-2 ..................................................................................... 6 7
4 . Pengaruh Bentuk Ekstrak pada Stabilitas Penyimpanan...................................... 68
a. Laju penurunan aktivitas antimikroba ekstrak .............................................69
b . Kinetika stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak E-1
pada awal penyimpanan ............................................................................ 72
V

.

...................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................76
LAMPIRAN.................................................................................................................. 83
KESIMPULAN

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel

1. Komponen antimikroba alami yang terdapat didalam tanaman
atau makanan yang berasal dari tanaman... ...... ... ... ... ... ... ... ... ......8

Tabel 2. Tumbuhan obat yang mempunyai efek antimikroba.. ... ... ... ... ... . . . .. . .9
Tabel 3. Komposisi kimia biji atung.. . ...... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... l l
Tabel 4. Komposisi asam lemak dari lemak biji atung.. . ... ... ... ... ... ... ... .. . ...12
Tabel 5. Karakteristik ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat.. .. ... ... ... ...12
Tabel 6. Aktifitas antimikroba dari ekstrak biji atung... ... . . . ... ... ... ... ... ... ... ..18
Tabel 7. Aktifitas beberapa bahan antimikroba terhadap S. aureus.. . ... ... ... ...-20
Tabel 8. Karakteristik kondisi proses ekstraksi dan
ekstrak biji atung yang dihasilkan ... ... ... ... ... ... ........ ......... ... ... ....39
Tabel 9. Hasil analisis aktivitas antimikroba ekstrak biji atung
terhadap S. aureus. .. ... ... ... ... ... ................. ... ... ... ... ... ... ... ... .....42
Tabel 10. Sifat antimikrobial minyak esensial terhadap S. aureus. ... ... ... ..... .... .46
Tabel 11. Perbandingan aktivitas antimikroba ekstrak cair dan ekstrak
pekatnya terhadap S. aureus. ...... ............ ........ ... ... ... ... ... ... ... ... ..49
Tabel 12. Aktivitas penghambatan dari ekstrak biji atung bentuk bubuk
terhadap S. aureus ... . . . ... ... ...... ... ........ .. .. ..... ... . .. ... ... ... ... ... ... . . . ..5 1
Tabel 13. Perbandingan diameter pengharnbatan ekstrak bentuk cair
dan bubuk. . . . . . . . . . .. .. . ... . . . ... ... .. . ... ... ... ... ... . . . ... .. . . . . .... . .. ... ... . . . .5I
Tabel 14. Data pengukuran hubungan diameter penghambatan
dan konsentrasi ekstrak E-1... ... ... ... ... ....... ... ... ... . .. .. . . .. .. . ... ... ... ..53
Tabel 15. Data diameter penghambatan (mm) ekstrak selama
penyimpanan ..... ... . . . ... ... ... ... . .. ... . . . ... ... ... ... .. . ... ..... . .. .. . ... ... . ..57
Tabel 16. Persamaan laju perubahan aktivitas penghambatan ekstrak... ... .... ... .. . ..67

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan
dengan bahan antimikroba...................................................5
Gambar 2 . Hidrolisis DEDC pada suhu yang berbeda ................................. 24
Gambar 3. Pengaruh penyimpanan bumbu gulai terhadap pertumbuhan
relatif S. aureus ................................................................ 26
Gambar 4. Hubungan suhu dan waktu selama destilasi pelarut
etil asetat teknis ...............................................................

38

Gambar 5. Kurva hubungan konsentrasi ekstrak dengan
diameter pengharnbatan ...................................................... 53
Gambar 6. Kurva hubungan konsentrasi ekstrak dengan
luas daerah penghambatan ................................................... 54
Gambar 7. Perubahan diameter pengharnbatan yang dibentuk oleh ekstrak
cair dan ekstrak bubuk selama penyimpanan ................................ 56
Gambar 8. Daya bunuh ekstrak setelah penyimpanan...................................58
Gambar 9. Perubahan konsentrasi ekstrak cair selama penyimpanan................ 59
Gambar 10. Perubahan diameter penghambatan terkoreksi ekstrak cair .............. 60
Gambar 11. Kurva penurunan aktivitas penghambatan ekstrak
E- 1 pa& penyimpanan 3 0 ' ~di awal penyimpanan......................71
Gambar 12. Kurva Arrhenius ekstrak E- 1 ................................................. 72

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran la. Data diameter penghambatan pada berbagai konsentrasi
ekstrak E-1.. .................................................................. .83
Lampiran 1b. Analisis regresi untuk pembuatan kurva standar.. ..................... ..84
Lampiran 2. Data jumlah bakteri uji yang digunakan dalam uji difusi
agar selama penyimpanan...................................................85
Lampiran 3. Diameter penghambatan ekstrak cair E- 1 selama
penyimpanan ................................................................. .85
Lampiran 4. Diameter penghambatan ekstrak cair E-2 selama
penyimpanan.. ............................................................... .86
Lampiran 5. Diameter penghambatan ekstrak bubuk E-1 selama
penyimpanan ................................................................ .86
Lampiran 6a. Aktivitas antimikroba ekstrak cair E-1 selama penyimpanan
(pengujian dengan metode kontak). ...................................... .87
Lampiran 6b. Aktivitas antimikroba ekstrak cair E-2 selama penyimpanan
(pengujian dengan metode kontak). ...................................... -88

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengawet kimia selama ini telah digunakan sebagai barier tarnbahan untuk
membatasi jumlah mikroorganisme yang hidup didalam pangan. Penibahan sikap
konsumen, kekhawatiran terhadap bahaya keracunan yang mungkin terjadi karena
penggunaan pengawet kimia yang berlebihan, telah memaksa industri pangan untuk
menghindari penggunaan pengawet kimia pada produknya, atau mencari alternatif
yang lebih alami untuk mempertahankan atau memperpanjang umur simpan produk
(Hill, 1995; Nychas, 1995).
Banyak bahan-bahan di alam mempunyai kemampuan untuk menghambat
mikroorganisme. Meningkatnya kebutuhan untuk minimally processed food telah
menimbulkan minat banyak peneliti untuk mengeksploitasi komponen antimikroba
alami (Conner, 1993). Hill (1995) juga menyarankan dilakukannya penelitian tentang
kemungkinan penggunaan inhibitor alami yang berasal dari tanaman, hewan maupun
mikroorganisme.
Menurut Mitscher (1975) didalam Nychas (1995), tanaman merupakan sumber komponen antimikroba alternatif yang masih sangat sedikit dieksploitasi. Padahal, Wilkins dan Board (1989) yang dikutip oleh Nychas (1995) menyatakan, lebih
dari 1389jenis tanaman merupakan sumber komponen antimikroba yang potensial.
Buah atung (Parinarium glaberimum Hassk), telah sejak lama dimanfaatkan
masyarakat Arnbon sebagai campuran makanan, obat diare dan pengawet kayu (Burkill, 1935; Heyne, 1987). Nelayan tradisional Maluku memanfaatkan hancuran buah
atung sebagai bahan pengawet ikan (Moniharapon, 1991).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat aktivitas antimikroba buah
atung (P. glaberrzmum Hassk) baik dalam bentuk bubuk hancuran buah ataupun ekstrak. Hasilnya menunjukkan indikasi adanya potensi antimikroba alami didalam biji
buah atung. Ekstrak etil asetat biji atung yang telah dikurangi kadar lemaknya, ber-

sifat antimikroba dengan spektrum aktivitas yang luas (Moniharapon, 1991;Moniharapon, 1998; Adawiyah, 1998; Saragih, 1998).
Dari penelitian Adawiyah (1998) dan Moniharapon (1998), diketahui bahwa
ekstrak atung adalah cairan yang sangat kental dengan berat jenis 0,9876 &m3. Ekstrak yang kental dapat menyebabkan masalah sehingga tidak cocok jika langsung diaplikasikan kedalam pangan, karena kesulitan yang mungkin timbul dalam proses
pencampuran. Hal ini dapat menyebabkan ketidaktepatan dosis yang digunakan dan
akan menurunkan efek antimikroba yang diingnkan.
Menurut Aurand dan Woods (1987), ekstraksi pelarut menghasilkan oleoresin
yang bersifat kental dan sukar ditangani. Hal ini dapat diatasi dengan cara mendispersikan ekstrak kedalam edible carrler, melarutkan dalam pelarut pangan, emulsifikasi dan enkapsulasi (Heath dan Reineccius, 1986).
Pada penelitian ini, ekstraksi antimikroba biji atung dilakukan dengan menggunakan pelarut teknis. Hal ini bertujuan untuk mensimulasikan proses ekstraksi
komponen antimikroba biji atung pada skala komersial. Ekstrak biji atung yang diperoleh selanjutnya dibuat dalam bentuk bubuk (pencampuran ekstrak kedalam bahan
pengisi) dan bentuk cair (dilarutkan dalarn pelarut pangan) sebagai bentuk alternatif
untuk mempermudah penggunaannya, kemudian dikaji stabilitas aktivitas antimikrobanya selama penyimpanan.

B. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kajian untuk mengevaluasi stabilitas antimikroba
ekstrak biji atung dengan pelarut etil asetat teknis selama penyimpanan. Tujuan penelitian ini secara spesifik adalah sebagai berikut:
1. Menentukan efektifitas pelarut teknis terhadap stabilitas aktivitas antimikroba
selama penyimpanan.
2. Mendapatkan data dasar pengaruh perbedaan bentuk ekstrak (ekstrak cair dan

ekstrak bubuk) terhadap stabilitas aktivitas antimikroba selarna penyimpanan.

3. Mendapatkan data stabilitas aktivitas antimikroba atung selama penyimpanan

Kegunaan penelitian ini adalah untuk menyediakan data dasar bagi pengembangan bentuk dart cara penyimpanan bahan pengawet pangan dari ekstrak biji atung.

11. TINJAUAN PUSTAKA
A. SENYAWA ANTIMIKROBA
Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Penggunaan antimikroba yang
tepat dapat memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan pangan. Pemilihan dan penggunaan antimikroba perlu mempertimbangkan banyak faktor, dan semua
kembali pada keseimbangan dari resiko dan keuntungan (Giese, 1994). Faktor-faktor
pertimbangan untuk memilih antimikroba yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain antimikroba; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba didalam produk; aspek
legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan
bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk (Giese, 1994; Branen,
1993; Busta dan Foegeding, 1983).

1. Spektrum Antimikroba dan Mekanisme Kerja Antimikroba
Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya. Senyawa yang diinginkan adalah yang mempunyai spektrum
antimikroba luas (Branen, 1993; Busta dan Foegeding, 1983), meskipun ha1 ini sulit
dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis mikroorganisme (Branen, 1993), tetapi penghambatan suatu mikroorganisme kadang-kadang menyebabkan mikroorganis~nelain didalam suatu produk menjadi dominan (Busta dan Foegeding, 1983). Karenanya, senyawa antimikroba terpilih untuk
suatu produk sebaiknya aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan didalam
produk tersebut (Busta dan Foegeding, 1983).
Efektifitas antimikroba didalam mengawetkan produk pangan adalah dengan
cara mengendalikan pertumbuhan atau merusak mikroba (Branen, 1993). Menurut
Fardiaz (1989), senyawa antimikroba dapat bersifat bakteristatik dan fungistatik
(menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang) atau bakterisidal dan fungisidal (me-

rusak bakteri dan kapang). Menurut Liick dan Jager (1997), perbedaan dari statik dan
sidal adalah dalam kecepatan kematian mikroba. Pola pertumbuhan mikroba relatif
jika kontak dengan bahan antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1. Penggunaan
pengawet untuk jangka waktu yang lama didalam suatu produk pangan, dapat menyebabkan kematian mikroba atau menyebabkan mikroba tumbuh kembali.

w

tidak mengawet

.-5c

daya awet

a

F
0
0

L

Y

E
a
E

mikrobiostatis

c

3

7
I

I

Waktu

Gambar 1. Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan dengan
bahan antimikroba (Liick dan Jager, 1997).

Cara kerja senyawa antirnikroba bermacam-macam, yaitu: menghambat sintesa dinding sel bakteri; bereaksi dengan membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan bahan-bahan penyusun seluler; inaktifasi enzim
esensial dan merusak sintesa protein dan asam nukleat (Branen, 1993; Russell, 1983;
Frazier dan Westhoff, 1981). Mengetahui mekanisme kerja dari antimikroba dan bagaimana pengaruhnya terhadap mikroba akan sangat membantu dalam menilai efisiensi dan kegunaan dari suatu antimikroba. Umumnya, antimikroba yang bereaksi
dengan membran sel mempunyai spektrum antimikroba yang luas (Branen, 1993).

2. Sifat Fisikokimia Antimikroba
Spektrum antimikroba, cara kerja dan efisiensi senyawa sangat tergantung
kepada sifat fisikokimia senyawa tersebut. Polaritas senyawa merupakan sifat fisik
yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa larut didalam fase
air yang merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel yang hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik; sehingga senyawa memerlukan keseimbangan hidrofilik-hidrofobik untuk mencapai aktifitas yang optimal. Sifat-sifat lain yang perlu diketahui misalnya titik didih senyawa, kemampuan terionisasi dan reaktifitasnya dengan komponen makanan (Branen, 1993).
Titik didih senyawa akan mempengaruhi aktivitas senyawa antimikroba. Jika
produk diproses dengan menggunakan panas, maka komponen antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang. Kemampuan komponen untuk terionisasi menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap aktivitasnya. Ionisasi senyawa antimikroba ini tergantung pada pH produk atau medianya. Umumnya, komponen mempunyai
aktivitas antimikroba yang rendah pada kondisi pH medium yang menyebabkan komponen terionisasi.
Reaksi antara antimikroba dengan komponen lain yang terdapat didalam pangan penting untuk diketahui. Interaksi antara antirnikroba dengan lemak, protein,
karbohidrat atau aditif pangan lainnya dapat menyebabkan turunnya aktifitas komponen antimikroba tersebut (Branen, 1993). Beberapa komponen pangan yang mempengaruhi efektifitas senyawa antimikroba adalah garam, karbohidrat dan alkohol (Luck
dan Jager, 1997). Selain itu, reaksi kimiawi tersebut juga dapat menyebabkan penyimpangan flavor dan warna produk.

B. ANTIMIKROBA ALAMI DARI TANAMAN
Banyak senyawa kimia yang menunjukkan potensi sebagai antimikroba, tetapi
hanya sedikit yang digunakan didalam pangan; karena alasan keamanan pangan (Nishina et al., 1993) atau karena tidak aktif dalam model makanan walaupun aktif secara
in vitro (Jay, 1995).

Banyak tanaman rempah dan ekstrak tanaman memiliki aktivitas antimikroba,
yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya (Giese, 1994). Laporan tertua (1550 SM) menyebutkan bahwa masyarakat Mesir kuno telah menggunakan
rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi (Davidson et al., 1983;
Conner, 1993). Dari Wilkins dan Board (1975) seperti disitasi oleh Nychas (1995)
diketahui bahwa lebih dari 1389 jenis tanaman merupakan sumber antimikroba yang
potensial.
Saat ini, perhatian terhadap antimikroba alarni semakin meningkat karena dianggap lebih baik, khususnya ditinjau dari keamanan pangan (Nishina et al., 1993).
Meskipun demikian, beberapa komponen yang memberikan efek antimikroba, mungkin juga menyebabkan efek lain yang tidak menguntungkan terhadap pangan, misalnya toksik atau meningkatkan sifat karsinogen komponen yang lain (Banwart, 1989).
Senyawa allyl isothiocyanate didalam allyl mustard oil dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan kandung kemih. Senyawa ini juga bersifat karsinogen terhadap
tikus (Neudecker dan Henschler, 1985 yang disitasi oleh Liick dan Jager, 1997).
Komponen antimikroba tanaman, seringkali terdapat didalam fraksi minyak
esensialnya (Nychas, 1995; Giese, 1994; Conner, 1993), yang juga bertanggung jawab terhadap aroma dan flavor rempah-rempah. Senyawa fenolik mungkin merupakan komponen antimikroba utama didalam minyak esensial tanarnan (Nychas, 1995),
walaupun beberapa komponen lain juga menunjukkan aktivitas serupa. Menurut
Conner (1993), komponen terpenoid di dalam oleoresin tampaknya juga memiliki aktivitas antimikroba.
Antimikroba yang terdapat didalam tanaman, adalah kelompok komponen
yang disebut fitoaleksin. Fitoaleksin merupakan metabolit sekunder dengan berat
molekul rendah, yang dibentuk oleh jaringan tanaman sebagai tanggapan terhadap
stress, trauma atau infeksi yang disebabkan oleh mikroba dan tidak terdapat pada jaringan tanaman yang sehat (Harborne, 1987; Conner, 1993; Mann, 1994; Nychas,
1995). Aktivitas antimikroba utama senyawa fitoaleksin adalah terhadap kapang, walaupun juga dapat melawan bakteri. Bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap fito-

aleksin daripada bakteri Gram negatif (Nychas, 1995). Beberapa komponen antimikroba yang ada didalam tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen antimikroba alami yang terdapat didalam tanaman atau makanan
yang berasal dari tanaman*

I Komponen antimikroba

TanamanIPangan

I Pigmen antosianin

Asetaldehida
Dimetoksi isoflavon
Purotionin

I
I

Lemak
Asam lemak bebas
Tanin
Lu~ulon.humulon. isohumulon
Metilxantin
Sinamaldehid, sitral, perillaldehid dan sitronellal
Ekstrak
Hidroksi sinamat:
p-coumaric acid

I

Buah
Jaringan buah
Kacang tanah
Endosperm gandum

Pecan
Barlev
Jagung
Bean
1 Peas
I Coklat
I Kacang tanah
I HOD
Biji coklat
Minyak esensial

Wortel
Kacang kedelai
Sayur dan buah
anggur
Curcurma
zedoaria

p-methoxy cinnamate

1 Asam kafeat, asam klorogenat

Chycory

Organisme yang dihambat
Bakteri
Khainir
Aspergillus jlavus
Pseudomonas, Xanthomonas,
I Erwinia amylovora,
Corynebacterium
Fusicladium effusum
As~er~illus
Kapang
Selulase dari kapang
I Ka~an~
I Aspergillus parasiticus
I Aspergillus parasiticus
I Bakteri mam ~ositif
Aspergillus parasiticus
Ka~ang

-

I

I Aspergillus parasiticus
Aspergillus parasiticus

S. cerevisiae, E. coli,
S. aureus, B. cereus
Tricophyton rubrum,
A. Niger, S. cerevisiae,
Fusarium nivale
Bakteri

*Banwart (1 989)
Penelitian tanaman obat telah banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa tanaman obat yang mempunyai efek anti bakteri dan anti kapang hasil penelitian in
vitro yang dilakukan dibeberapa perguruan tinggi Indonesia, dirangkum oleh Santoso

(1995), seperti tampak pada Tabel 2.

Tabel 2. Tumbuhan obat di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba*
No

Nama latin

Nama Indonesia Bagian Bentuk

~fek~)

Bawang putih
Umbi
Lengkuas malaka Akar

Ekstrak

1

3.

Allium sativum L.
Alpinia galanga L
Alpinia malaccansis Rose
Anacardium occidentale L.

Jambu mede

4.

Averrhoea carambola L.

Belimbing

Ekstrak
Ekstrak
Ekstrak

1.
2.

Daun,
biji
Daun

-

1 2
1
1
1

"Santoso (1995)

C . ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)
Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal masyarakat dengan nama yang berbeda Atung merupakan nama yang dikenal di Maluku, pde' kambing di
Aceh, lamo di Makasar, samaka di Bugis dan saya di daerah Ternate (Heyne, 1987).

1. Tanaman Atung
Tanaman atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan
tropis dan tumbuh secara alami (indigenous). Menurut Burkil (1935), tanaman ini
terdapat di daerah Jawa, Kalimantan terus kearah timur sampai daerah Pasifik, sedangkan menurut Heyne (1987), tanaman ini tidak ditemukan di daerah Jawa. Moniharapon (1991) menyebutkan, tanaman ini terdapat hampir di semua tempat di Maluku, terutama didaerah Maluku Tengah.
Pohon atung merupakan pohon yang tumbuh lambat. Ketinggian pohon dapat
mencapai 10 m atau lebih dengan diameter 40 cm, dan berbuah sepanjang tahun
(Koorders and Valeton, 1913). Kayunya berwarna putih, kasar, keras tapi getas sangat berat dan tidak awet (Heyne, 1987, Burkills, 1935).

2. Morfologi dan Anatorni Buah Atung
Bentuk buah atung menyerupai telur (bulat lonjong) sebesar telur bebek, berwarna merah gading pudar, coklat atau coklat pudar. Kulit buah keras, setebal jarijari tangan dengan permukaan yang kasar dan jika buah kering, sebagian kulit akan
menjadi retak (Heyne, 1987; De Guzman et al, 1986 dan Adawiyah, 1998). Adawiyah (1998) membedakan kulit menjadi kulit buah dan daging buah (mesokarp). Mesokarp buah atung tebal dengan struktur berserat dengan arah vertikal.
Biji atung yang terdapat dibagian dalam buah adalah biji tunggal, sebesar telur
ayam tetapi lebih pipih, bentuknya agak keriput dengan tekstur yang sangat keras.
Menurut Heyne ( 1987), biji atung berwarna kelabu sementara menurut Adawi yah
(1998), biji atung berwarna coklat tua dan dilapisi oleh serabut tipis berwarna putih.
Panjang buah atung sekitar 6-9 cm dan lebar 6 cm. Tebal kulit sekitar 7 mm,
sedangkan panjang dan lebar biji masing-masing sekitar 5 dan 4 cm (De Guzman et
al., 1986). Berat buah atung bervariasi antara 31.3 sampai 48.7 gram. Berat bagian
kulit (dan mesokarp) mencapai 2/3 dari berat total buah utuh (68%), sementara berat
biji mencapai 1/3 berat utuh (Adawiyah, 1998).

3. Komposisi Kimia Biji Atung
Menurut Greshoff yang disitasi oleh Heyne (1987), komponen utama biji
atung adalah lemak sebesar 31%. Tanin juga ditemukan didalam biji atung (Burkill,
1935).
Analisis proksimat biji atung telah dilakukan oleh Adawiyah (1998), dan datanya dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat bahwa lemak merupakan komponen utama
biji atung (42.7 %, bb). Kadar tanin biji atung adalah 1.7 % dan menyebabkan ekstrak air biji atung berasa agak sepat dan pahit.

Tabel 3. Komposisi kimia biji atung*
Komponen
Air
Abu
Protein
Lemak
Serat kasar
Pati
Tanin
*Adawiyah (1998)

Persentase (% bb)
8 - 13.2
2.1
5.4
42.7
4.3
2.3
1.7

Analisis asam lemak dari lemak biji atung yang dilakukan Adawiyah (1998)
menyimpulkan bahwa asam lemak rantai panjang adalah tipe asam lemak yang dominan terdapat didalam lemak biji atung, yaitu behenat, palmitat, linoleat, stearat, oleat
dan sejumlah kecil asam dokosaheksaenoat (DHA), gadoleat, arakhidat dan linolenat.
Komposisi masing-masing asam lemak tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Adawiyah (1998) juga melakukan karakterisasi dari ekstrak biji atung hasil
ekstraksi bertingkat (Tabel 5). Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan total fenol
terbesar ada pada ekstrak heksan-etil asetat-etanol. Menurut Adawiyah (1998), tingginya total fenol yang ada didalam ekstrak heksan-etil asetat-etanol disebabkan oleh
adanya komponen pigmen (flavonoid) yang turut terekstrak dalam pelarut etanol yang
ditandai oleh warna merah gelap dari ekstraknya.

Tabel 4. Komposisi asam lemak dari lemak biji atung*

22:OO
22:06
*Adawiyah (1998)

Nama asam lemak
Palmitat
Stearat
Oleat
Linoleat
Linolenat
Arakhidat
Gadoleat
Behenat
Docosaheksanoat/DHA

Konsentrasi (mglg lemak)

27,98
4,27

Tabel 5. Karakteristik ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat*

I

Jenis ekstrak

I

Warna

I Rendemen I Berat jenis
(%I

Kuning
Heksan
Heksan-etil
Oranye
asetat
Heksan-etil
Merah
I asetat-etanol 1 gelap
*Adawiyah (1998)

( Indeks refraksi

I Total fen01 I
(PP~)

1,o

(dcm3)
0,9229
0,9876

(29OC)
1,5200
1,0070

23,7

1,0248

1,4410

1 138,5

41,6

-

47,6

4. Pemanfaatan Biji Atung
Masyarakat Ambon mengenal tanaman atung sebagai tanaman obat dan pengawet. Biji atung digunakan untuk membuat kohu-kohu, sejenis makanan yang dibuat
dari ikan mentah atau goreng, yang dicincang halus dengan parutan biji atung, jahe,
bawang, cabe dan air jeruk (Heyne, 1987). Menurut Burkill (1935), biji buah atung
biasa dicampur kedalam makanan untuk obat disentri atau untuk menghilangkan gatal-gatal akibat makan ikan.
Biji atung merupakan obat tradisional untuk menghentikan diare yang daya
kerjanya sangat kuat, dan untuk menghentikan keputihan serta pendarahan pada wanita hamil. Bubur dari biji atung yang setengah tua dioleskan pada tiang-tiang kayu

I

untuk mencegah rayap dan pembubukan kayu serta untuk menambal perahu yang
bocor (Heyne, 1987).
Sebelum penggunaan es balok sebagai pengawet ikan populer dikalangan nelayan Ambon, buah atung biasa digunakan untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan.
Kerusakan ikan dapat diperlambat dan mutu ikan dapat dipertahankan beberapa hari
sampai nelayan kembali ke pelabuhan untuk memasarkan ikan (Moniharapon, 1991).

D. DAYA ANTIMIKROBA BIJI ATUNG
Beberapa penelitian rintisan telah dilakukan untuk mengkaji potensi pemanfaatan biji atung. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa biji atung
memiliki potensi untuk diteliti lebih lanjut sebagai bahan pengawet.
1. Pengawet Pangan dan Produk Pangan
Potensi atung sebagai pengawet pangan telah diteliti oleh Moniharapon
(199 I), Soeherrnan (1997), Saragih (1998) dan Elfi (1999).
a. Pengawetan udang windu
Aplikasi atung sebagai pengawet udang windu (Penaeus monodon Fab) segar
telah dilakukan oleh Moniharapon (1991). Diketahui bahwa penggunaan bubuk biji
atung dapat meningkatkan umur kesegaran udang windu. Penggunaan hancuran biji
atung sebanyak 3-5 % (berat basah) dari berat udang, dapat meningkatkan umur kesegaran udang dari 5 jam (tanpa perlakuan) menjadi 9 - 10 jam pada penyimpanan di
suhu ruang. Jika penambahan bubuk biji atung 5% dikombinasikan dengan penggunaan es, kesegaran udang dapat dipertahankan sampai 2 hari dan jika dikombinasikan
dengan penyimpanan dingin (~OC),dapat mencapai 9 hari. Pada umur simpan tersebut, rupa, tekstur, rasa, pH dan kadar air udang tidak berbeda dengan kontrol.
Selain dapat menahan pertumbuhan mikroba, penggunaan bubuk biji atung
juga mengurangi susut bobot udang selama penyimpanan. Pada penyimpanan 14 jam

di suhu kamar, susut bobot udang windu segar tanpa perlakuan sebesar 4.08%, sementara yang diberi atung 5% sebesar 1.79%.
Masalah yang timbul pada penggunaan atung sebagai pengawet udang segar
ini adalah tertinggalnya bau khas atung pada udang tersebut. Tetapi, bau ini dapat dihilangkan dengan pencucian.
b. Pengawetan ikan segar
Penelitian Saragih (1998) menyimpulkan, bahwa atung dapat memperpanjang
umur simpan ikan mujair (Tilapia mossambica Peters) dan ikan kembung (Rastrelliger sp) segar yang disimpan pada suhu O'C. Aplikasi bubuk atung dengan konsentrasi 5-1596 pada ikan mujair segar, dapat meningkatkan umur simpannya dari 3 hari
menjadi 7 hari. Pada ikan kembung, penambahan bubuk atung sebesar 15% meningkatkan umur simpannya dari 8 hari menjadi 13 hari. Pada akhir penyimpanan, total
koloni mikroba kedua jenis ikan masih dibawah batas kerusakan ikan atau kurang dari 5 x 10' kolonilgram.
Penggunaan pengawet alami untuk meningkatkan umur simpan ikan segar juga telah dilaporkan oleh Rahayu (1999). Didapatkan bahwa umur simpan ikan kembung segar yang disimpan pada suhu 4 ' ~dapat ditingkatkan dari 5 hari menjadi 7
hari dengan perlakuan perendaman ikan didalam larutan garam 5% selama 3 jam dan
dilanjutkan dengan penambahan bubuk lengkuas 2.5% dari berat ikan.
c. Pennawetan ikan vindansz dan ~indang;presto

Pada penyimpanan di suhu ruang, pindang mujair yang ditambahkan bubuk
atau ekstrak air biji atung mempunyai umur simpan yang lebih lama dibandingkan
dengan kontrol (Saragih, 1998; Soeherman, 1997).
Penambahan bubuk biji atung sebesar 5-7.5 % dari berat ikan mujair pada kadar garam 20%, dapat meningkatkan umur simpannya dari 1 hari (tanpa atung) menjadi 3 hari. Pada penyimpanan tiga hari, nilai TPC pindang tanpa atung sebesar
2 . 9 lo8
~ kolonilgram sementara pada pindang yang diberi atung 7.5% sebesar 3 . 9 10'
~
kolonil gram (Soeherman, 1997).

Penggunaan ekstrak air dari biji atung sebanyak 515% dari berat ikan mujair
dan kadar garam 18%, meningkatkan umur simpan pindang mujair dari 4 hari (tanpa
atung) menjadi 5 hari. Pada pindang ikan kembung, umur simpan selama lima hari
dapat dicapai pada penambahan ekstrak sebesar 10-15% dari berat ikan kedalam air
pemasak (Saragih, 1998).
Efek pengawetan pindang kembung dengan menggunakan atung yang dilaporkan oleh Saragih (1998) ini, lebih rendah dari efek pengawetan protamin/K-sorbat
seperti telah dilaporkan Nitibaskara (1997). Menurut Nitibaskara (1997), pindang
dengan penambahan protamin sebesar 2% (penggunaan garam 20%), masih diterima
oleh panelis setelah penyimpanan 4 rninggu di suhu ruang. Produk yang ditambahkan protaminIK-sorbat juga mempunyai nilai organoleptik yang baik.
Pada pindang presto ikan kembung, penggunaan ekstrak etil asetat biji atung
sebesar 1% dari berat ikan dapat memperpanjang umur simpan produk dari 2 hari
menjadi 4 hari (Elfi, 1999).
Bakteri pembusuk yang diisolasi dari ikan pindang oleh Nitibaskara dan Motohiro (1991) bersifat halofilik dan masuk dalam genera Micrococcus, Bacillus, Staphylococcus dan Acinetobacter. Penelitian Moniharapon (1998) melaporkan bahwa

ekstrak atung menghambat bakteri dari genera Micrococcus, Bacillus, Staphylococcus
sementara efektifitas terhadap Acinetobacter tidak diketahui.
Penggunaan bubuk atau ekstrak biji atung pada pembuatan pindang dan pindang presto, juga dapat memperbaiki tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan
kompak (Soeherman, 1997; Saragih, 1998; dan Elfi, 1999).
Kelemahan dari aplikasi bubuk atau ekstrak atung kedalam produk sebelum
proses pemanasan adalah menyebabkan terjadinya sedikit penyimpangan citarasa dari
ikan pindang dan pindang presto yang dihasilkan. Produk sedikit berbau atung dengan rasa yang agak sepat.
2. Kajian Terhadap Daya Antimikroba Biji Atung
Potensi antimikroba biji atung telah dilaporkan oleh Moniharapon et al.,
( 1 997) dan Adawiyah (1998). Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa

biji atung dalam bentuk ekstrak mempunyai daya antimikroba yang kuat dengan
spektrum mikrobial yang luas.
a. Pengaruh umur dan bagian buah terhadap dava antimikroba
Moniharapon et al. (1997), telah mengkaji aktivitas antimikroba dari bagian
buah dan umur buah atung. Didapatkan bahwa bagian biji mempunyai daya antimikroba yang tinggi, sementara bagian kulit buah tidak efektif sebagai antimikroba. Aktifitas antimikroba biji dari buah tua (yang jatuh dari pohon) lebih tinggi (2-5 kali)
dari biji yang berasal dari buah muda.
Aktivitas antimikroba biji menurun dengan meningkatnya umur simpan buah.
Dari hasil uji difusi agar diketahui bahwa aktivitas antimikroba ekstrak dari biji tua
yang telah disimpan selama 4 bulan sedikit lebih rendah dari biji tua segar, tetapi
masih lebih tinggi dari biji muda (Moniharapon et al., 1997).

b. Pennaruh pelarut terhadau dava antimikroba ekstrak
Pelarut merupakan faktor yang sangat berperan dalam proses ekstraksi. Pelarut yang baik mampu melarutkan komponen yang diinginkan dan memiliki viskositas
rendah untuk memudahkan sirkulasi (Heldman dan Singh, 1980). Pemilihan pelarut
untuk memperoleh ekstrak biji atung dengan aktivitas antimikroba yang tinggi telah
dilakukan oleh Moniharapon et al. (1997) dan Adawiyah (1998).
Ekstraksi tunggal dengan kepolaran pelarut yang berbeda telah dilakukan oleh
Adawiyah (1998). Tiga jenis pelarut yang dicobakan adalah heksan, etil asetat, etanol
95% dan air. Nilai polaritas (E) heksan, etil asetat, etanol dan air berturut-turut adalah

0, 0.38, 0.68 dan 0.9 (Moyler, 1995) dan konstanta dielektriknya berturut-turut adalah
2.00, 6.00, 24.3 dan 78.5 debye (Snyder dan Kirkland, 1979). Seleksi ekstrak dilakukan dengan metode difusi agar pada media Nutrient Agar dengan Pseudomonas aeruginosa sebagai bakteri uji
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ekstrak heksan tidak bersifat
antimikroba (diameter penghambatan nol). Ekstrak polar (air dan etanol 95%), juga
sangat lemah daya antimikrobanya, dimana hasil uji difusi agar tidak menunjukkan

suatu areal bening zona penghambatan tetapi hanya zona dengan kerapatan pertumbuhan mikroba uji yang lebih rendah. Indeks pertumbuhan relatif (log N, / log No)
yang diperoleh dengan metode kontak selama 24 jam masih lebih besar dari satu (walaupun masih dibawah nilai kontrol). Ini berarti, ekstrak polar tidak cukup efektif untuk menghambat pertumbuhan, tetapi dapat memperlambat laju pertumbuhan bakteri
uji. Aktivitas antimikroba tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat. Uji difusi
agar menghasilkan zona penghambatan (areal bening) berdiameter 9.1 mm.
Ekstraksi bertingkat dengan 3 tahap ekstraksi dilakukan Adawiyah (1998), dengan 3 jenis pelarut: heksan, etil asetat dan etanol 95%. Perlakuan ini dimaksudkan
agar zat ekstraktif yang belum diketahui sifat-sifatnya dapat diekstrak secara optimal
pada salah satu pelarut yang digunakan (Adawiyah, 1998). Ekstrak yang diperoleh
diuji aktivitas antimikrobanya dengan uji difusi agar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan heksan dimana terjadi penghilangan lemak
dapat menghasilkan ekstrak etil asetat dengan aktivitas antimikroba yang lebih baik
(diameter zona penghambatan meningkat 2-3 kali ekstrak etil asetat tunggal). Sementara itu, ekstrak etanol yang diperoleh dari tahap ekstraksi berikutnya (setelah ekstraksi etil asetat) tidak berbeda dari ekstrak etanol tunggal.

c . Dava antimikroba ekstrak atung
Pengujian yang dilakukan Moniharapon et al (1997) dan Adawiyah (1998)
menunjukkan bahwa ekstrak hasil ekstraksi bertingkat heksan-etil asetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,
Micrococcus luteus dan Enterococcus faecalis; serta bakteri Gram negatif Pseudomonas
aeruginosa, Vibrio cholerae, Eschericia coli B , E. coli C , Salmonella enteritidis dan S.
typhimurium dengan kepekaan berbeda. Pada Tabel 6 dapat dilihat aktivitas antimik-

roba dari ekstrak biji atung.
Dari Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa ekstrak heksan-etil asetat biji atung
bersifat antimikroba dengan spektrum yang luas, karena dapat menghambat bakteri
Gram positif dan Gram negatif. Karena aktivitas antimikroba ekstrak biji atung mem-

Tabel 6. Aktifitas antimikroba dari ekstrak biji atung
Jenis
Ekstrak
Heksan

Heksanetil asetat

Heksanetil asetat
Etil asetat

Keterangan:

Aktivitas antirnikroba
MIC~
4 pengham- UIBa
batan (mm) (mmlg) (pllml)
1015
B. subtilis,
357
E. faecalis,
19,O
6,47
M. luteus,
13,l
4,47
S. aureus
15,9
5,40
E. coli B,
3,13
92
E. coli C ,
3,23
9s
S. enteriditis
15,7
533
B. subtilis,
27,4
14,80
E. faecalis,
23,8
12,90
M. luteus,
14,6
8,83
S. aureus
31,7
17,17
7,5
E. coli B ,
27,4
14,73
E. coli C ,
24,9
13,47
S. enteriditis
24.8
13,20
S. typhimurium,
7,5
P. aeruginosa
7,O
27,4
P. aeruginosa
5,6
4,5
32,O
V. cholerae
65
4,5
24,2
S. typhimurium
4,9
6,O
P. aeruginosa
9,1
7,3
16,l
12,9
V. cholerae
10,8
S. typhimurium
816
- data tidak t