Keragaan Dan Interaksi Genetik × Lingkungan Galur Galur Sorgum Di Dua Lingkungan
KERAGAAN DAN INTERAKSI GENETIK ×
LINGKUNGAN GALUR-GALUR SORGUM DI DUA
LINGKUNGAN
ARINA SANIATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan dan Interaksi
Genetik × Lingkungan Galur-Galur Sorgum di Dua Lingkungan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Arina Saniaty
NIM A253130151
1
RINGKASAN
ARINA SANIATY. Keragaan dan Interaksi Genetik × Lingkungan Galur-Galur
Sorgum di Dua Lingkungan. Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS dan
DESTA WIRNAS.
Sorgum merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
pangan alternatif karena selain sebagai sumber karbohidrat, kandungan protein,
kalsium, dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding jagung dan beras.
Departemen Agronomi dan Hortikultura telah melakukan pemuliaan sorgum
melalui persilangan antar UPCA-S1 (peka Al) dan Numbu (Toleran Al) dan saat
ini diperoleh galur-galur lanjut sorgum yang telah diseleksi secara pedigri di lahan
masam. Galur sorgum hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura
telah diuji pada kondisi lahan masam dan perlu diuji lanjut pada berbagai kondisi
lingkungan untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi hasilnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan karakter
morfologi dan agronomi serta evaluasi pengaruh interaksi genetik × lingkungan
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB.
Penelitian dibagi menjadi dua percobaan yakni: 1) keragaan karakter
morfologi dan agronomi yang dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan
Laboratorium Pemuliaan Tamanan IPB 2) evaluasi pengaruh interaksi genetik ×
lingkungan yang dilakukan di Gowa, Sulawesi Selatan dan Bogor, Jawa Barat.
Materi genetik yang digunakan pada percobaan 1 adalah 16 galur sorgum hasil
pemuliaan IPB dan enam varietas nasional sebagai kontrol. Materi genetik yang
digunakan pada percobaan 2 adalah 16 galur sorgum hasil pemuliaan IPB dan dua
varietas nasional sebagai pembanding.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar galur sorgum
pada seluruh karakter morfologi yang diamati, kecuali karakter antosianin pada
daun dan putik, lebar daun, kemampuan menyerbuk sendiri, dan bentuk biji.
Galur-galur hasil pemuliaan IPB mempunyai tinggi tanaman yang sedang,
diameter batang kecil, panjang malai yang pendek, panjang leher malai sedang,
malai rapat, serta bobot 1000 butir yang sedang.
Hasil evaluasi interaksi genetik × dan lingkungan menunjukkan bahwa
interaksi genotipe dan lingkungan berpengaruh nyata terhadap karakter umur
berbunga, panjang malai, bobot 1000 butir, laju pengisian malai, bobot per petak,
dan produktivitas. Karakter umur berbunga, panjang malai, bobot 1000 butir, laju
pengisian malai, bobot per petak, dan produktivitas dipengaruhi oleh interaksi
genetik × dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Galur UP/N-124-7, UP/N-89-3,
UP/N-151-3, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N-118-3, dan UP/N-1187-7
mampu beradaptasi baik pada lingkungan lahan kering beriklim kering. Galur
UP/N-48-2, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-156-8, UP/N-118-3, dan UP/N-139-1
mampu beradaptasi baik pada lingkungan lahan kering beriklim basah.
Kata kunci: Karakter morfologi, karakter agronomi, interaksi genetik ×
lingkungan kualitatif, produktivitas
2
SUMMARY
ARINA SANIATY. Performance and Genetic × Environment Interaction of
Sorghum Breeding Lines in Two Environments. Supervised by
TRIKOESOEMANINGTYAS and DESTA WIRNAS.
Sorghum is a crop that has potential to be developed as an alternative food
because sorghum is a source of carbohydrate and the content of protein, calcium,
and B group vitamins is higher than rice and corn. Sorghum breeding through
crossing between two parent and select in acid soil has been done by the
Laboratory of Plant Breeding and Genetics, Department of Agronomy and
Horticulture, Bogor Agricultural University. Development of acid soil tolerant
sorghum is an attempt to optimize marginal lands in Indonesia. Sorghum breeding
lines have been tested on acid soil and need a further test on a diverse
environmental conditions to determine the adaptability and yield potential. The
objectives of this study were to obtain information of Morpho-agronomic traits
and evaluation of genetic × environment interaction on sorghum breeding lines.
The study was divided into two experiments: 1) characterization of morphoagronomic traits was conducted at Bogor Agricultural University experimental
field and 2) evaluation of genetic × environment interaction was conducted in
Gowa, South Sulawesi and Bogor, West Java. Genetic material used experiment 1
was 16 IPB sorghum breeding lines and six national varieties as a control. Genetic
material used experiment 2 was 16 IPB sorghum breeding lines and two national
varieties as a check.
The results showed that IPB sorghum breeding lines have variations in
morphological traits between genotypes and check varieties, except in
anthocyanin in leaf and stigma, leaf width, self fertility, and grain shape. IPB
breeding lines has medium plant height, small diameter, short panicle length, and
medium weigth of 1000 seeds.
The results of evaluation genetic × environment interaction showed that
qualitative genetic × environmet interaction was effected panicle length, days
flowering, 1000 grain weigth, grain filling rate, grain yield, and productivity of
sorghum lines. The presence qualitative genetic × environment interaction
changed the rank among lines in two environments.UP/N-124-7, UP/N-89-3,
UP/N-151-3, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N-118-3, and UP/N-1187-7
were well adapted in dryland with dry climate. UP/N-48-2, UP/N-32-8, UP/N-1710, UP/N-156-8, UP/N-118-3, and UP/N-139-1 were well adapted in dryland with
wet climate.
Key words: Agronomic traits, morphological traits, qualitative genetic ×
environment interaction, yield
3
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
4
KERAGAAN DAN INTERAKSI GENETIK ×
LINGKUNGAN GALUR-GALUR SORGUM DI DUA
LINGKUNGAN
ARINA SANIATY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
1
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suwarto, MSi
2
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tesis ini berjudul Keragaan dan Interaksi Genetik × Lingkungan Galur-Galur
Sorgum di Dua Lingkungan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr Ir Trikoemaningtyas, MSc dan Dr. Desta Wirnas, SP MSi selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran baik seputar
akademis, penelitian, maupun motivasi.
2. Dr Ir Suwarto, MSi selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir tesis,
serta dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu dan
pengetahuan yang diberikan selama menempuh pendidikan di IPB.
3. Staf dan pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
IPB atas segala kerjasama dan bantuannya.
4. Ayahanda Mukhtar, ibunda Tien Hartini, dan adinda Alfia Wulan Sariatas
segala do’a, semangat, dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di
IPB
5. Teman-teman Labdik Pemuliaan Tanaman: Siti Nurhidayah SP, Marina
Yuniawti SP, Ranggi Rahimul Insan SP atas bantuan tenaga, sharing
informasi, dan ikatan persahabatan yang erat.
6. Teman-teman PBT 2013, Forum Wacana 2013, dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian pendidikan, penelitian dan penyusunan tesis
ini.
7. Beasiswa Program Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN) atas dukungan materi
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tugas akhir.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.
Bogor, Maret 2016
Arina Saniat
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
Sorgum
3
Pemanfaatan Sorgum
4
Pemuliaan Tanaman Sorgum
6
Interaksi Genetik dan Lingkungan
8
3 KERAGAAN KARAKTER GALUR-GALUR SORGUM HASIL
PEMULIAAN IPB
11
Abstrak
11
Pendahuluan
11
Metode Penelitian
12
Hasil dan Pembahasan
17
Simpulan
4 INTERAKSI GENETIK × LINGKUNGAN GALUR-GALUR
SORGUM HASIL PEMULIAAN IPB DI DUA LINGKUNGAN
Abstrak
32
33
33
Pendahuluan
34
Metode Penelitian
35
Hasil dan Pembahasan
37
Simpulan
48
5 PEMBAHASAN UMUM
49
6 SIMPULAN DAN SARAN
52
DAFTAR PUSTAKA
53
RIWAYAT HIDUP
62
1
DAFTAR TABEL
1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum
2 Keragaan karakter antosianin pada koleoptil, daun, putik, dan sekam
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
3 Keragaan karakter morfologi daun galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
4 Keragaan karakter lebar dan panjang daun galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
5 Keragaan karakter umur berbunga galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
6 Keragaan morfologi bunga galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
7 Keragaan leher dan bentuk malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan
IPB
8 Keragaan morfologi malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
9 Keragaan kemampuan menyerbuk sendiri dan ukuran embrio galurgalur sorgum hasil pemuliaan IPB
10 Keragaan sekam dan biji galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
11 Keragaan biji galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
12 Keragaan tinggi tanaman dan diameter batang galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB
13 Keragaan panjang malai dan bobot 1000 butir galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB
14 Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan genotipe sorgum pada
masing-masing lokasi
15 Analisis ragam gabungan (model campuran)
16 Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB masing-masing lingkungan
17 Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lingkungan
(L), dan interaksi G x L pada karakter agronomi galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB di dua lingkungan
18 Nilai tengah tinggi tanaman dan bobot biji per malai galur-galur
sorgum hasil pemuliaan IPB
19 Nilai tengah umur panen dan periode pengisian biji galur-galur
sorgum hasil pemuliaan IPB
20 Nilai tengah umur berbunga, laju pengisian biji, dan panjang malai
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
21 Nilai tengah bobot 1000 butir, bobot per petak, dan produktivitas
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
22 Data curah hujan selama periode penelitian di Gowa dan Bogor
23 Perubahan peringkat karakter produktivitas galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB di dua lingkungan
13
18
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
36
37
38
38
40
41
42
44
45
47
1
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir penelitian
2 Model skematis interaksi genetik dan lingkungan
3 Keragaan intensitas antosianin pada koleoptil galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
4 Keragaan intensitas antosianin pada sekam galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
5 Karakter warna putik galur sorgum dan varietas pembanding
6 Bentuk malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
7 Keragaan warna biji galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
8 Keragaan tinggi tanaman galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
9 Produktivitas galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB di Gowa dan
Bogor
2
9
19
19
22
25
28
29
47
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sorgum merupakan tanaman pangan penting ke lima di dunia setelah
gandum, padi, jagung, dan barley (Mekbib 2006). Sorgum biasa dikonsumsi
dalam bentuk biji, tepung, dan bubur (Dicko et al. 2006a). Sorgum banyak
dibudidayakan di daerah Asia dan Afrika. Sebanyak 74% sorgum yang
dibudidayakan di Afrika digunakan sebagai makanan pokok (Acquaah 2007).
Tanaman sorgum berpotensi digunakan sebagai bahan pangan karena
mengandung karbohidrat, vitamin B, vitamin A, D, E, dan K serta mengandung
fosfor, kalium, zat besi, dan zinc (Dicko et al. 2006b).
Sorgum dapat dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif karena
memiliki kandungan nutrisi yang baik, namun pemanfaatannya belum banyak
dilakukan (Sirrapa 2003). Salah satu penyebabnya adalah adanya senyawa tanin
pada biji sorgum. Senyawa tanin menyebabkan rasa sepat/pahit dan menurunkan
kemampuan pencernaan protein di dalam tubuh (Duodu et al. 2003; Dykes &
Rooney 2007), namun senyawa tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan seperti
anticarsinogenic, cardiovascular, gastroprotective, anti-ulcerogenic (Dykes &
Rooney 2007; Lekalake et al. 2007).
Sorgum dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri seperti etanol, bir,
sirup, dan modifikasi pati. Produktivitas batang sorgum berkisar antara 54-69
ton/ha dan mampu memproduksi 3000 l/ha etanol (Almondares & Hadi 2009).
Batang sorgum yang sudah diolah menjadi bioetanol juga masih dapat
digunakan sebagai bahan pakan ternak karena masih mengandung nutrisi mikro
dan mineral-mineral (Reddy et al. 2005). Keunggulan lain dari sorgum adalah
daya adaptasi yang baik pada berbagai kondisi lingkungan. Sorgum dapat
ditanam di daerah tropis dan subtropis (Price et al. 2005). Sorgum dapat ditanam
di lahan kering dan mampu tumbuh pada rentang suhu optimum yang relatif
lebar (Harris et al. 2007).
Program pemuliaan tanaman sorgum bertujuan untuk melakukan perbaikan
produktivitas, kualitas biji, dan adaptabilitas di lahan marginal. Departemen
Agronomi dan Hortikultura telah melakukan pemuliaan sorgum melalui
persilangan antar UPCA-S1 (peka Al) X Numbu (toleran Al) dan saat ini
diperoleh galur-galur F8 sorgum yang telah diseleksi di lahan masam.
Pengembangan galur-galur sorgum toleran lahan masam merupakan upaya untuk
mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan marginal di Indonesia. Galur sorgum
hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura telah diuji pada kondisi
lahan masam (Isnaini 2010; Puspitasari 2011) dan perlu diuji lanjut pada
berbagai kondisi lingkungan untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi
hasilnya.
Sorgum berpeluang dikembangkan pada lahan kering, baik pada lahan
kering beriklim basah maupun lahan kering beriklim kering. Varietas sorgum
yang dikembangkan di Indonesia saat ini umumnya ditujukan untuk
dibudidayakan di lahan kering beriklim kering. Varietas sorgum yang adaptif di
lahan kering beriklim basah belum banyak dikembangkan di Indonesia. Tanah di
lahan kering beriklim basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri
khas sebagian besar wilayah Indonesia (Subagio & Aqil 2014).
2
Fenotipe tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan
interaksi genetik × lingkungan. Interaksi genetik × lingkungan merupakan
perbedaan respon genotipe ketika ditanam pada lingkungan yang berbeda
(Romagosa & Fox 1993). Karakter kuantitatif seperti hasil dan komponen hasil
sangat dipengaruhi oleh interaksi genetik × lingkungan (Ghazy et al. 2012).
Hasil penelitian pada tanaman sorgum menunjukkan bahwa interaksi genetik ×
lingkungan berpengaruh nyata pada karakter produktivitas sehingga galur yang
mempunyai produktivitas yang baik pada suatu lokasi belum tentu mempunyai
produktivitas yang baik pada lokasi lainnya (Adugna 2007; Showemimo 2007;
Abubakar & Bubuche 2013). Informasi interaksi genetik × lingkungan
diperlukan untuk membantu pemulia dalam menentukan genotipe stabil pada
lingkungan spesifik atau genotipe stabil pada berbagai lingkungan.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
2.
Mendapatkan informasi mengenai keragaan karakter morfologi dan
agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
Mempelajari interaksi genetik × lingkungan pada galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB yang diuji pada dua lingkungan
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
2.
Terdapat perbedaan karakter morfologi dan agronomi diantara galur- galur
sorgum hasil pemuliaan IPB
Terdapat interaksi genetik × lingkungan galur-galur sorgum hasil pemuliaan
IPB yang diuji pada dua lingkungan
Galur – galur sorgum hasil pemuliaan IPB
IPB
Karakterisasi galur sorgum berdasarkan UPOV
Uji daya hasil di dua lingkungan
Galur-galur sorgum unggul terdeskripsi
Gambar 1. Bagan alir penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman pangan
penting ke lima di dunia setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Mekbib
2006). Sorgum memiliki tiga spesies yaitu Sorghum bicolor (2n=2x=20),
Sorghum propinquun (2n=2x=20), dan Sorghum halepense (2n=4x=40)
(Acquaah 2007). Sorghum bicolor dan Sorghum propinquun memiliki
kromosom yang hampir sama (Price et al. 2005). Tanaman sorgum yang
dibudidayakan hanya jenis Sorghum bicolor yang mempunyai lima ras utama
yakni durra, kafir, guinea, bicolor, dan caudatum. Kelima ras ini mempunyai
perbedaan dalam bentuk malai, ukuran biji, potensi hasil, dan karakteristik
lainnya (Acquaah 2007).
Tanaman sorgum merupakan tanaman monokotil dan mempunyai sistem
perakaran yang terdiri atas akar-akar primer (pada dasar buku pertama pangkal
batang), akar sekunder, dan akar tunjang. Akar primer muncul pertama kali pada
proses perkecambahan benih yang berkembang dari radikula, kemudian
digantikan oleh akar sekunder yang tumbuh pada ruas pertama (Rismunandar
1989). Akar sekunder mempunyai panjang 5-15 cm, berukuran kecil, seragam,
dan hanya sebagian kecil dari sistem perakaran sorgum. Akar sekunder lain
tumbuh pada ruas kedua atau yang lebih dikenal dengan akar permanen. Akar
permanen akan bercabang secara lateral dan masuk ke dalam tanah hingga 1-2 m
untuk menyerap air dan nutrisi. Akar tunjang pada tanaman sorgum terdiri dari
akar koronal (akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar
udara (akar yang tumbuh dipermukaan tanah). Akar tunjang berfungsi seperti
jangkar untuk tanaman sorgum dan berfungsi menyerap air dan unsur hara jika
mencapai tanah. Perakaran tanaman sorgum mampu menopang pertumbuhan
dan menjadikan tanaman sorgum toleran kekeringan (House 1985).
Tinggi tanaman sorgum dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas
batang, panjang tangkai malai, dan panjang malai (House 1985). Perpanjangan
buku tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw1,
Dw2, Dw3, dan Dw4 (House 1985). Batang sorgum berbentuk silinder dan
berbuku-buku. Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling. Batang
sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang diselubungi
oleh lapisan keras. Sorgum dengan batang yang kering mempunyai tulang daun
berwarna coklat, sedangkan batang yang berair mempunyai tulang daun yang
berwarna hijau (Acquaah 2007).
Daun tanaman sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun. Helaian
daun sorgum berbentuk lanselot, lurus, mendatar, berwarna hijau muda hingga
hijau tua dengan permukaan daun yang dilapisi oleh lapisan lilin. Lapisan lilin
pada permukaan daun berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air
dari dalam tanah sehingga toleran terhadap kekeringan (Rismunandar 1989).
Sorgum mempunyai daun bendera yang muncul terakhir sebelum keluar malai.
Daun bendera akan menyelubungi primodia bunga selama proses perkembangan
primodia bunga (fase booting).
Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada
setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga akan mekar mulai dari malai
paling atas hingga ke bawah. Sorgum mempunyai malai dengan ukuran pendek
4
hingga panjang dan berbentuk kompak hingga terbuka (Dicko et al. 2006a).
Bunga sorgum secara utuh terdiri dari atas tangkai malai (peduncle), malai
(panicle), rangkaian bunga (raceme), dan bunga (spikelet) (Andriani & Isnaini
2013).
Sorgum mempunyai biji berbentuk bulat, berukuran 4-8 mm dan
mempunyai warna yang beragam (Acquaach 2007). Biji sorgum tertutup oleh
sekam dengan warna coklat muda, krem, atau putih. Komposisi bagian biji
sorgum terdiri atas kulit luar 8%, lembaga 10%, dan endosperma 82% (Hahn &
Rooney 1985). Kulit luar sorgum terdiri atas hilum dan perikap. Hilum berada
pada bagian dasar biji dan akan berubah menjadi gelap atau hitam pada saat
memasuki fase masak fisiologis. Bagian lembaga biji sorgum terdiri atas bagian
inti embrio, skutelum, calon tunas (plumula), dan calon akar (radikula). Bagian
lembaga mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam linoleat, protein, lisin,
dan polisakarida nonpati (Dicko et al. 2006b). Bagian endosperma biji sorgum
terdiri atas lapisan lapisan endosperman luar, tengah, dan dalam. Endosperma
mempunyai peran penting dalam penyediaan nutrisi bagi tanaman pada awal
pertumbuhan (Dicko et al. 2006b).
Sorgum dapat ditanam di daerah tropis, subtropis, dan mampu tumbuh pada
rentang suhu optimum yang relatif lebar (Price et al. 2005). Sorgum termasuk
kedalam golongan C4 seperti jagung dan tebu sehingga efisien dalam melakukan
fotosintesis, terutama pada lingkungan dengan suhu tinggi dan kekurangan air
(Harris et al. 2007). Sorgum dapat ditanam pada lahan kering dan lahan masam
dengan tingkat kejenuhan Al tinggi (Harris et al. 2007; Human et al. 2010).
Meskipun tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan, tetapi tanaman sorgum
akan lebih mudah terkena cekaman kekeringan pada fase akhir berbunga (Ali et
al. 2011). Cekaman kekeringan pada sorgum mengakibatkan hilangnya air
dalam proeses pembentukan biji, daun prematur, tanaman menjadi senescence,
batang rebah, dan terjadi reduksi ukuran biji (Harris et al. 2007).
Tanaman sorgum yang toleran terhadap cekaman kekeringan memiliki
mekanisme pengendalian ketahanan hijau daun (stay green) (Kassahun et al.
2010). Tanaman sorgum yang mempunyai karakter stay green mampu
menghasilkan klorofil pada daun dan melakukan fotosintesis sehingga dapat
memperlambat senesence meskipun air yang tersedia dalam jumlah yang
terbatas (Kassahun et al. 2010). Karakter stay green disebabkan karena adanya
keseimbangan antara kebutuhan nitrogen (pada biji) dengan asupan nitrogen dari
translokasi dari bagian vegetatif tanaman selama proses pengisian biji.
Senescence pada daun menyebabkan terjadinya degradasi protein dan
terhentinya sintesis asam amino. Hal tersebut mengakibatkan organel
fotosintesis rusak sehingga daun menjadi berwarna kuning (Kassahun et al.
2010).
Pemanfaatan Sorgum
Sorgum merupakan tanaman yang multifungsi yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pangan, pakan, bioetanol, dan industri. Hal tersebut
menyebabkan sorgum sangat potensial untuk dikembangkan karena setiap
bagian dari sorgum dapat dimanfaatkan (Pabendon et al 2013; Susilowati &
Saliem 2013).
5
Sorgum merupakan salah satu makan pokok berbagai negara di Afrika.
Sebagai sumber pangan, sorgum biasanya dikonsumsi dalam bentuk biji, tepung,
dan bubur (Dicko et al. 2006a). Sorgum mempunyai nilai gizi yang tinggi yakni
dalam 100 gram mengandung 83% karbohidrat, 3,5 % lemak, 2,5 % serat dan
10% protein yang artinya lebih tinggi dibandingkan kadar protein beras giling
(6-7%), beras pecah kulit (7-8%), jagung (9%) (Suarni 2004). Sorgum banyak
mengandung vitamin B seperti thiamin, riboflavin, pyridoxine dan liposolube
vitamin A, D, E, dan K dan kaya akan kandungan fosfor, pottasium, zat besi, dan
zinc (Dicko et al. 2006b).
Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan belum dilakukan secara
maksimal, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya senyawa tanin pada
sorgum. Kandungan tanin menyebabkan rasa pahit sehingga sorgum tidak bisa
dikonsumsi secara langsung. Tanin merupakan senyawa fenol yang berperan
sebagai anti nutrisi, namun tanin berfungsi sebagai antioksidan (Dicko et al.
2006b). Senyawa fenol tersebut mengakibatkan rasa pahit pada sorgum
(Lekalake et al. 2007). Tanin pada sorgum dapat melindungi biji dari jamur,
serangga, dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan
secara ekonomis (Puspitasari 2011). Kandungan tanin pada sorgum juga
berpengaruh terhadap proses pencernaan. Kandungan tanin yang tinggi dapat
menurunkan kemampuan pencernaan pati yang mengakibatkan nilai indeks
glikemik menjadi rendah sehingga baik bagi penderita obesitas dan diabetes
(Dicko et al. 2006b). Dykes dan Rooney (2007) menambahkan bahwa
menurunnya daya cerna ini disebabkan karena tanin berikatan dengan protein,
karbohidrat, dan mineral.
Sorgum yang mempunyai nilai fenol dan antioksidan tinggi akan
mempunyai kandungan tanin tinggi pula (Dykes & Rooney 2007). Sorgum
dengan kandungan tanin tinggi akan mempunyai lapisan perikarp yang berwarna
gelap. Dykes dan Rooney (2007) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat
antara perikarp berwarna gelap dengan kandungan fenol dan antioksidan.
Puspitasari (2011) melakukan pengujian tanin terhadap beberapa genotipe
sorgum dengan warna perikarp yang berbeda-beda. Hasil menunjukkan bahwa
belum terlihat adanya pola hubungan antara karakter kualitatif berupa warna
pericarp dengan kandungan tanin. Warna pericap yang gelap (coklat) belum
tentu mempunyai kandungan tanin tinggi begitu pula sebaliknya. Adanya
perbedaan hasil penelitian ini dikarenakan sulitnya untuk menentukan metode
standar untuk pengujian tanin.
Sorgum memiliki kandungan gula pada batang sehingga dapat
difermentasikan menjadi bioetanol. Almondares et al. (2008) menyatakan bahwa
jenis gula yang ada pada batang sorgum meliputi sukrosa dan gula invert seperti
glukosa, fruktosa, maltosa, dan xilosa, sedangkan gula jenis mannosa, galactosa,
dan arabinosa tidak terdapat pada batang sorgum. Hal tersebut menunjukkan
bahwa karbohidrat yang terdapat pada batang sorgum merupakan karbohidrat
yang mudah dikonversi menjadi etanol (Almondares et al. 2008). Kandungan
gula juga terdapat pada biji sorgum juga dapat dikonversi menjadi bioetanol.
Kandungan gula pada biji sorgum meliputi glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa,
dan rafinosa (Almondares & Hadi 2009).
Produktivitas batang sorgum berkisar antara 54-69 ton/ha dan mampu
memproduksi 3000 l/ha etanol (Almondares & Hadi 2009). Gnansounou et al.
6
(2005) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas batang (tinggi 3 m) dan biji
sorgum di China sebesar 52 ton/ha dan 5 ton/ha. Etanol yang dapat diproduksi
dari batang dan biji sorgum sebesar 3500 l/ha dan 1680 l/ha. Batang sorgum
yang sudah diolah menjadi bioetanol masih dapat digunakan sebagai bahan
pakan ternak karena masih mengandung nutrisi mikro dan mineral-mineral
(Reddy et al. 2005). Penggunaan sorgum sebagai bioetanol lebih efektif dan
efisien karena mampu menghasilkan etanol dalam waktu 4 bulan, hasil etanol
yang cukup tinggi, input yang rendah, serta proses pembuatan etanol yang ramah
lingkungan (Reddy et al. 2005).
Pemuliaan Tanaman Sorgum
Program pemuliaan tanaman sorgum bertujuan untuk melakukan perbaikan
terhadap produktivitas maupun kualitas sumber daya genetik sorgum. Tanaman
sorgum untuk pangan mempunyai beberapa kriteria seperti mempunyai
produktivitas tinggi, stabilitas produksi pada kondisi dan lingkungan yang
bervariasi, mempunyai tinggi tanaman pendek sehingga mudah dipanen,
berumur genjah, tahan terhadap cekaman abiotik seperti: tahan kekeringan,
toleran alumunium, tidak sensitif terhadap fotoperiodik, tahan terhadap hama
dan penyakit tanaman, serta kualitas biji yang baik seperti: kandungan nutrisi
pada endosperma dan kandungan tanin yang rendah (Acquaah 2007). Program
pemuliaan tanaman sorgum di Indonesia masih bertujuan untuk membentuk
varietas sorgum yang mempunyai potensi hasil tinggi (Puspitasari 2011). Potensi
hasil biji sorgum ditentukan oleh beberapa komponen hasil yang memiliki
korelasi positif dengan karakter hasil seperti lebar malai, panjang malai, dan
bobot malai (Tesso et al. 2011).
Sorgum juga berpotensi digunakan sebagai bahan baku alternatif biofuel.
Program pemuliaan tanaman sorgum di China, Afrika, dan India sudah ditujukan
untuk memperoleh sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Bahan baku yang
digunakan untuk bioetanol adalah fermentasi biji dan batang sorgum sehingga
pemuliaan dilakukan untuk memperbaiki kualitas biji dan batang. Reddy et al.
(2005) menunjukkan bahwa terdapat beberapa karakter yang mempengaruhi
produksi bioetanol seperti tinggi tanaman, lingkar batang, total padatan terlarut,
batang yang dapat diperas, dan produksi nira. Karakter-karakter tersebut telah
diketahui mempunyai keragaman genetik yang tinggi sehingga berpotensi untuk
dilakukan perbaikan genetik (Reddy et al. 2005).
Program pemuliaan tanaman sorgum untuk bahan pakan ditujukan kepada
perbaikan karakter yang berhubungan dengan daun, biomassa, dan biji.
Pemanfaatan biji sorgum digunakan sebagai bahan campuran ransum pakan
ternak unggas, sedangkan batang dan daun untuk ternak ruminansia. Kandungan
lemak sorgum yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot
ternak. Pemilihan ideotipe sorgum pakan ternak diarahkan untuk mendapatkan
genotipe yang memiliki kandungan lemak tinggi (Isnaini 2010).
Pemuliaan tanaman sorgum juga diarahkan untuk perakitan genotipe yang
mempunyai daya adaptasi luas dan toleransi terhadap lahan marginal dengan
produktivitas tinggi (Isnaini 2010). Strategi untuk meningkatkan produktivitas
sorgum di lingkungan marginal adalah melalui program pemuliaan tanaman
yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi dan adaptasi tanaman
(Sopandie 2006). Salah satu jenis lahan marginal yang terdapat di Indonesia
7
adalah lahan masam yang mempunyai derajat kemasaman (pH) dibawah 5.5.
Kemasaman tanah menyebabkan larutnya beberapa mineral yang bersifat toksik
bagi tanaman seperti Al, Mn, dan Fe. Kondisi pH yang rendah menyebabkan Al
menjadi terlarut membentuk senyawa Al(OH)2+, Al(OH)22+, Al(H2O)3+, dan
Al(H2O)63+ yang berpotensi menjadi toksis bagi tanaman (Samac & Tesfaye
2003; Kochian et al. 2005). Cekaman Al dapat menyebabkan terhambatnya
pembelahan sel akar sehingga akar menjadi lebih pendek dan tereduksinya
percabangan dan rambut akar (Vitorello et al. 2005). Terhambatnya
pertumbuhan akar menyebabkan terganggunya serapan air dan hara yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Agustina (2011) menyatakan bahwa
genotipe sorgum toleran dapat beradaptasi di lahan masam karena memiliki
perakaran yang lebih baik dibandingkan genotipe peka yang ditunjukkan melalui
keragaan bobot kering akar, panjang akar, panjang tajuk, dan bobot kering tajuk.
Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan
sebagai upaya untuk memanfaatkan lahan-lahan masam yang ada di Indonesia.
Varietas sorgum toleran Al telah dikembangkan di beberapa negara (Kochian et
al. 2004). Varietas sorgum toleran lahan masam belum intensif dikembangkan di
Indonesia, oleh karena itu pengembangan varietas sorgum toleran lahan masam
sangat diperlukan (Isnaini 2010).
Sorgum bukan tanaman asli Indonesia sehingga keragaman genetik sorgum
di Indonesia sangat terbatas. Keragaman genetik yang terbatas mengakibatkan
budidaya, penelitian, dan pengembangan sorgum di Indonesia menjadi terbatas.
Umumnya varietas sorgum yang berkembang di Indonesia merupakan hasil
introduksi dari ICRISAT, India, Filipina, dan China. Setelah melalui proses
pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi, galur-galur
introduksi tersebut dilepas sebagai varietas sorgum unggul nasional. Varietas
hasil introduksi tersebut adalah Numbu, Kawali, UPCA S1, Mandau, Keris,
Higari, Badik, Gadam, dan Sangkur (Azrai et al. 2013). Adanya beberapa
varietas unggul nasional tersebut diharapkan dapat meningkatkan keragaman
genetik sehingga perbaikan tanaman sorgum di Indonesai semakin berkembang.
Sorgum merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan tingkat
penyerbukan silang yang bervariasi bergantung pada bentuk malai. Pemuliaan
tanaman menyerbuk sendiri umumnya diarahkan pada pembentukan galur murni
(Chahal & Gosal 2003). Tanaman menyerbuk sendiri ditemukan dalam bentuk
galur-galur yang homozigot. Umumnya populasi yang ditemui adalah populasi
yang homogen homozigot (populasi yang terdiri dari individu-individu
homozigot dengan genotipe yang sama) dan populasi heterogen homozigot
(populasi yang terdiri dari individu-individu homozigot dengan genotipe yang
berbeda). Pembentukan galur murni pada tanaman homozigot akan
menghasilkan genotipe yang homozigot, sedangkan pada tanaman heterozigot
akan menghasilkan genotipe yang homozigot dengan menurunkan tingkat
heterozigositasnya dari generasi ke generasi.
Penyerbukan silang pada sorgum dengan bentuk malai terbuka mencapai
30-60% dan pada malai yang kompak dan tertutup kurang dari 10% (Azrai et al.
2013). Adanya pernyerbukan silang mengakibatkan populasi menjadi tidak
seragam secara genetik sehingga populasi yang beragam perlu dilakukan
pemurnian dengan perakitan galur untuk mendapatkan varietas murni.
Pernyerbukan silang pada sorgum dapat dimanfaatkan untuk perbaikan populasi
8
dan pembentukan hibrida unggul. Adanya sumber daya genetik mandul jantan
pada sorgum menyebabkan pengembangan sorgum saat ini diarahkan untuk
membentuk varietas hibrida.
Interaksi Genetik dan Lingkungan
Pengaruh interaksi dapat dideteksi dari perilaku respon suatu faktor pada
berbagai faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pola dari kondisi tertentu
ke kondisi lain untuk faktor lain maka kedua faktor tersebut berinteraksi. Ketika
pola respon dari suatu faktor tidak berubah pada berbagai kondisi faktor yang
lain, maka kedua faktor tersebut tidak berinteraksi (Mattjik & Sumertajaya
2006). Penampilan tanaman tergantung kepada faktor genetik, lingkungan
dimana tanaman tersebut tumbuh, dan interaksi antara genetik dan lingkungan.
Respon tanaman yang spesifik terhadap lingkungan yang beragam
mengakibatkan adanya interaksi antara genetik dan lingkungan (G × L),
pengaruh interaksi yang besar secara langsung akan mengurangi kontribusi dari
genetik dalam penampilan akhir (Pfeiffer et al. 1995; Baihaki & Wicaksana
2005).
Interaksi genetik dan lingkungan merupakan perbedaan respon dari
genotipe-genotipe yang ditanam dari satu lingkungan ke lingkungan lain (Allard
& Bradsaw 1964; Yang & Baker 1991). Interaksi genetik dan lingkungan
penting untuk diketahui karena dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan
menyulitkan dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian
varietas. Susanto dan Adie (2010) menyatakan bahwa potensi genetik galur
harapan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan berporduksi, tetapi juga
memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada kisaran lingkungan yang luas.
Interaksi genetik × lingkungan digunakan sebagai dasar penetapan wilayah
adaptasi, mengukur peran faktor lingkungan terhadap potensi genetik, dan
menentukan derajat adaptabilitas dan stabilitas galur. Sulaeman (2012)
menambahkan bahwa adanya informasi mengenai stabilitas dan interaksi genetik
× lingkungan sangat penting diketahui dalam menentukan varietas atau galur
yang lebih tepat untuk ditanam di suatu lingkungan. Kedua parameter ini
diperlukan jika varietas yang dievaluasi adalah varietas baru atau galur harapan
yang dihasilkan dari program pemuliaan tanaman.
Hasil-hasil penelitian pada tanaman pangan seperti kedelai, okra, dan
jagung menunjukkan bahwa karakter hasil dipengaruhi oleh interaksi genetik ×
lingkungan (Gurmu et al. 2009; Nwangburuka et al. 2011; Anley et al. 2013;
Cooper et al. 2013). Penelitian mengenai interaksi genetik × lingkungan pada
tanaman sorgum juga menunjukkan hal yang sama (Hausmmann et al. 2001;
Hess et al. 2002; Adugna 2007; Abdalla & Gamar 2011; Ghazy et al. 2012).
Interaksi genetik × lingkungan pada karakter hasil mengakibatkan galur yang
mempunyai daya hasil tertinggi pada suatu lingkungan belum tentu memberikan
daya hasil tertinggi pada lingkungan yang lain (Broccoli & Burak 2004). Adanya
interaksi genetik × lingkungan yang signifikan juga menunjukkan bahwa
terdapat galur-galur yang mempunyai adaptasi spesifik lingkungan tertentu.
Baihaki dan Noladhi (2005) menyatakan bahwa pemulia dapat memanfaatkan
potensi lingkungan spesifik dalam penentuan penerapan wilayah sebaran suatu
varietas unggul baru.
9
Pengaruh faktor genotipe yang lebih besar dibanding pengaruh faktor
interaksi genetik × lingkungan pada suatu karakter mengartikan bahwa karakter
tersebut memiliki keragaan yang lebih stabil pada berbagai lingkungan (Abdalla
& Gamar 2011; Tariq et al. 2012). Rahmah (2011) menyatakan bahwa
penentuan galur ideal dapat dilakukan dengan cara menguji sejumlah galur pada
beberapa lingkungan. Hasil analisis ragam akan menunjukkan besarnya interaksi
genetik dan lingkungan sehingga lebih mudah menentukan galur ideal (Eberhart
& Russel 1966). Rahayu (2013) menambahkan bahwa suatu genotipe akan dapat
tumbuh dan berproduksi sama baiknya di berbagai lingkungan pertumbuhannya
jika tidak terdapat interaksi genetik × lingkungan sehingga varietas atau galur
dapat dinyatakan stabil. Informasi interaksi genetik × lingkungan dengan spasial
yang luas maupun spesifik merupakan hal penting bagi pemulia untuk
menentukan genotipe tanaman yang akan dipilih untuk dilepas atau untuk
mengukur komponen ragam suatu karakter tertentu (Baihaki & Noladhi 2005).
Gambar 2. Model skematis intraksi genetik dan lingkungan; (a) tidak ada
interaksi, (b) interaksi genetik × lingkungan kuantitataif, (c) interaksi
genetik × lingkungan kualitatif. Sumber: Romagosa & Fox (1993)
Lingkungan memiliki efek lebih besar terhadap karakter hasil panen dan
karakter lain yang mempengaruhi hasil panen dari suatu genotype (Ghazy et al.
2012; Khan et al. 2013). Hal ini mengakibatkan genotipe yang berdaya hasil
tinggi yang ditanam pada suatu lingkungan akan memberikan hasil yang berbeda
pada lingkungan yang lain (Afiyata 2013). Kondisi lingkungan dapat
mempengaruhi hampir 80% dari karakter hasil, sedangkan faktor genetik serta
10
interaksi genetik dan lingkungan berpengaruh sangat kecil terhadap karakter
hasil panen (Rao et al. 2011).
Romagosa dan Fox (1993) menggambarkan interaksi genetik dan
lingkungan ke dalam tiga model (Gambar 2). Gambar 2(a) menunjukkan tidak
terdapat interaksi antara galur dengan lingkungan. Tidak adanya interaksi
genotipe dan lingkungan menyebabkan interpretasi bahwa seluruh galur
menunjukkan kestabilan mengikuti indeks rata-rata lingkungan. Gambar 2(b)
menunjukkan interaksi genotipe dan lingkungan meskipun tidak terjadi
perubahan urutan disetiap lingkungan atau disebut pula interaksi genotipe dan
lingkungan kuantitatif. Interaksi genotipe dan lingkungan kuantitatif ini
memudahkan pemulia untuk memilih galur yang akan dilepas, karena pada
setiap lingkungan menunjukkan pola urutan rangking yang sama. Gambar 2(c)
menunjukkan adanya interaksi genotipe dan lingkungan dan terjadi perubahan
urutan rangking pada galur atau disebut pula interaksi genotipe dan lingkungan
kualitatif. Adanya interaksi genotipe dan lingkungan kualitatif dapat
menyulitkan pemulia untuk memilih galur-galur yang akan dilepas.
11
3 KERAGAAN KARAKTER GALUR-GALUR SORGUM HASIL
PEMULIAAN IPB
(Performance of IPB Sorghum Breeding Lines)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi terhadap karakter
morfologi dan agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB. Penelitian ini
dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Pemuliaan IPB
pada bulan Mei sampai Agustus 2014. Bahan genetik yang digunakan adalah 16
galur sorgum generasi F8 dan enam varietas nasional sebagai pembanding.
Karakterisasi karakter morfologi dan agronomi berdasarkan panduan
International Union for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat keragaman karakter morfologi antar galur
kecuali pada karakter antosianin pada daun dan putik, lebar daun, kemampuan
menyerbuk sendiri, dan bentuk biji. Galur-galur hasil pemuliaan IPB mempunyai
tinggi tanaman yang sedang, diameter batang kecil, malai yang pendek dan
rapat, serta bobot 1000 biji yang sedang. Informasi deskripsi galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB dapat digunakan untuk menyusun dokumen pendaftaran
varietas tanaman.
Kata kunci: Karakterisasi, karakter morfologi dan agronomi, UPOV
ABSTRACT
The objective of this study was to obtain information morphological and
agronomic traits on IPB sorghum breeding lines. The experiment was conducted
at IPB experimental field Leuwikopo and Plant breeding laboratory IPB, from
May to August 2014. This experiment used 16 IPB sorghum breeding lines and
six national varieties. The characterization of morphological and agronomic
traits based on International Union for The Protection of New Varieties of
Plants (UPOV). The result showed that there variations in morphological traits
between genotypes and check varieties, except in anthocyanin in leaf and stigma,
leaf width, self fertility, and grain shape. IPB breeding lines have medium plant
height, small stem diameter, short panicle length, dense panicle, and medium
1000 grain weight. Information description of IPB sorghum breeding lines can
be used to prepare a document for registration of plant varieties.
Key words: Characterization, morphological dan agronomic traits, UPOV
Pendahuluan
Sorgum merupakan tanaman serelia yang dapat tumbuh pada berbagai
kondisi lingkungan sehingga berpotensi untuk dikembangkan, khususnya pada
lahan marjinal di Indonesia. Sorgum dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
pakan, dan bahan industri. Keunggulan lainnya adalah sorgum mempunyai daya
adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan, serta lebih tahan terhadap hama
dan penyakit (Andriani & Isnaini 2013).
Tantangan utama pengembangan sorgum adalah semakin terbatasnya lahan
pertanian dan kompetisi dengan komoditas utama seperti jagung dan kedelai.
12
Sorgum belum termasuk komoditas prioritas sehingga pengembangannya belum
luas dan dianggap sebagai komoditas bernilai ekonomi rendah. Oleh karena itu,
pengembangan sorgum diarahkan pada lahan marjinal serta banyak tersebar di
wilayah timur Indonesia (Subagio & Aqil 2014).
Departemen Agronomi dan Hortikultura telah melakukan pemuliaan
sorgum melalui persilangan antar dua tetua dan saat ini diperoleh galur-galur
lanjut sorgum yang telah diseleksi di lahan masam. Galur-galur hasil pemuliaan
tanaman perlu dikarakterisasi untuk mengetahui keragaan karakternya.
Disamping itu, identitas tanaman diperlukan untuk dapat membedakan antara
varietas yang satu dengan varietas lainnya berdasarkan perbedaan karakternya
masing-masing. International Union for The Protection of New Varieties of
Plants (UPOV) memberikan panduan lengkap untuk karakterisasi tanamantanaman komersial (Kusmana & Sofiari 2007). Karakterisasi dilakukan untuk
mendeskripsikan sifat morfologi, agronomi, dan keunikan suatu galur. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakter morfologi dan
agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB.
Metode Penelitian
Bahan Genetik
Bahan genetik yang digunakan adalah galur-galur generasi F8 hasil
persilangan antara UPCA-S1 (peka Al) X Numbu (toleran Al) yang telah
diseleksi dilahan masam, yakni: UP/N-139-5, UP/N-156-8, UP/N-48-2, UP/N39-10, UP/N-151-3, UP/N-89-3, UP/N-166-6, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N82-3, UP/N-118-3, UP/N-139-1, UP/N-159-9, UP/N-32-8, UP/N-118-7, UP/N124-7 dan enam varietas nasional sebagai pembanding yaitu: Numbu, Kawali,
UPCA-S1, Mandau, Samurai 1, dan Pahat.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium
Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB Percobaan
dimulai pada bulan di Mei sampai Agustus 2014.
Metode
Penanaman galur dan varietas sorgum dilakukan dengan jarak tanam 70 cm
x 10 cm. Setiap galur dan varietas pembanding ditanam sebanyak dua baris
dalam satu plot berukuran 12m x 5.5m. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi
pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama penyakit. Pupuk yang
diberikan adalah Urea, SP-18, dan KCl dengan dosis masing-masing sebesar 150
kg/ha, 200 kg/ha, dan 100 kg/ha. Pupuk urea diberikan dua kali yaitu, 2/3 bagian
diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 bagian diaplikasikan pada saat tanaman
berumur tiga minggu. Pemanenan dilakukan jika 80% tanaman dari satu galur
sudah masak sempurna. Hal tersebut diketahui dengan cara mengigit biji
sorgum, jika tidak terdapat cairan atau sudah menjadi tepung, maka sorgum telah
masak sempurna.
13
Pengamatan
Karakter pengamatan mengacu pada panduan dari TG (Technical
guide)/122/4 untuk tanaman sorgum (UPOV 2013). Pengamatan dilakukan
menggunakan skoring untuk setiap karakter dari masing-masing galur dan
varietas pembanding. Karakter-karakter yang diamati meliputi:
Tabel 1. Karakter morfologi dan agronomi sorgum
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
1
Intensitas
Pengamatan pada
Sangat lemah (1), lemah (3),
antosianin
pangkal bawah batang sedang (5), kuat (7), sangat
koleoptil
pada hari ke 14
kuat (9)
2
Intensitas
Pengamatan pada daun Sangat lemah (1), lemah (3),
antosianin
ketiga dari bawah pada sedang (5), kuat (7), sangat
daun
hari ke 15
kuat (9)
3
Intensitas hijau Pengamatan pada daun Sangat lemah (1), lemah (3),
daun
ketiga dari bawah pada sedang (5), kuat (7), sangat
hari ke 45-60
kuat (9)
4
Warna tulang
Pengamatan pada daun Putih (1), putih kekuningan
daun
ketiga dari atas kecuali (2), kuning terang (3),
daun bendera pada
kuning (4), kuning gelap (5),
hari ke 45-60
coklat (6)
Putih
5
Putih
Kuning Kuning Kuning
Coklat
kekuningan
terang
gelap
Gradasi warna Pengamatan pada daun Tidak ada (1), kecil (3),
tulang daun ke ketiga dari atas kecuali sedang (5), besar (7), sangat
helai daun
daun bendera pada
besar (9)
hari ke 45-60
Tidak ada
Kecil
Sedang
Besar
Sangat
besar
14
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
6
Waktu berbunga
Pengamatan pada hari Sangat genjah (85
hari) (9)
7
Intensitas
Pengamatan pada
Sangat lemah (1), lemah
antosianin sekam
malai bagian tengah
(3), sedang (5), kuat (7),
pada hari ke 65-69
sangat kuat (9)
8
Intensitas
Pengamatan pada
Sangat lemah (1), lemah
antosianin putik
malai bagian tengah
(3), sedang (5), kuat (7),
pada hari ke 65-69
sangat kuat (9)
9
Warna putik
Pengamatan pada
Putih (1), kuning terang
malai bagian tengah
(2), kuning (3), kuning
pada hari ke 65-69
gelap (4)
10
Putih
Panjang putik
Kuning terang
Kuning
Pengamatan pada
malai bagian tengah
pada hari ke 65-69
11
Kemampuan
menyerbuk sendiri
12
Kerapatan malai
pada akhir fase
pembungaan
Warna anter kering
13
Malai disungkup
sebelum fase
berbunga, lalu
sungkup dibuka
setelah fase berbunga
selesai. Pengamatan
pada hari ke 65-69.
Pengamatan pada
malai bagian tengah
pada hari ke 65-69
Pengamatan pada
malai bagian tengah
pada hari ke 70-75
Kuning gelap
Sangat pendek (1),
pendek (3), sedang (5),
panjang (7), sangat
panjang (9)
Tidak menyerbuk
sendiri (0%-10%) (1),
sebagian menyerbuk
sendiri (11%-70%) (2),
menyeluruh menyerbuk
sendiri (71%-100%) (3)
Sangat jarang (1), jarang
(3), sedang (5), rapat
(7), sangat rapat (9)
Kuning (1), abu-abu
kemerahan (2), jingga
(3), jingga kemerahan
(4), merah (5), merah
kecoklatan (6)
15
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
14
Tinggi tanaman
Pengamatan pada
Sangat pendek (300
cm) (9)
15
Diameter batang
Pengamatan pada
Kecil (< 2cm) (3),
batang disekitar daun sedang (2-4 cm) (5),
ketiga dari atas pada besar (> 4 cm) (7)
hari ke 75-85
16
Panjang daun
Pengamatan pada
Pendek (< 41 cm) (3),
daun ketiga dari atas sedang (41-60 cm) (5),
kecuali daun bendera panjang (61-80 cm) (7),
pada hari ke 75-85
sangat panjang (>80 cm)
(9)
17
Lebar daun
Pengamatan pada
Sempit (< 4.1 cm) (3),
daun ketiga dari atas sedang (4.1-6.0 cm) (5),
kecuali daun bendera lebar (6.1-8.0 cm) (7),
pada hari ke 75-85
sangat lebar (>8.0 cm)
(9)
18
Panjang malai
Pengamatan pada
Sangat pendek (< 11 cm)
hari ke 75-85
(1), pendek (11-20 cm)
(3), sedang (20-30 cm)
(5), panjang (31-40 cm)
(7), sangat panjang (>40
cm) (9)
19
Panjang leher
Pengamatan pada
Sangat pendek (< 5.1
malai
hari ke 75-85
cm) (1), pendek (5.1-10
cm) (3), sedang (10.1-15
cm) (5), panjang (15.120 cm) (7), sangat
panjang (> 20 cm) (9)
20
Panjang cabang
Pengamatan pada
Pendek (< 5.1 cm) (3),
malai
hari ke 75-85
sedang (5.1 – 10 cm) (5),
panjang (10.1-15 cm)
(7), sangat panjang (>15
cm) (9)
21
Kerapatan malai
Pengamatan pada
Sangat jarang (1), jarang
saat matang
hari ke 92-93
(3), sedang (5), rapat (7),
sangat rapat (9)
22
Bentuk malai
Pengamatan pada
Piramida terbalik (1),
hari ke 92-93
lebar bagian atas (2),
lebar bagian tengah (3),
lebar bagian bawah (4),
piramida (5)
16
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
23
Piramida
Lebar
Lebar bagian
terbalik
bagian atas
tengah
Warna sekam saat Pengamatan pada
matang
hari ke 92-93
24
Panjang sekam
25
Sangat
pendek
Warna biji
26
Bobot 1000 butir
27
Bentuk biji
Pendek
Pengamatan pada
hari ke 92-93
Sedang
Pengamatan pada
hari ke 92-93
Lebar bagian Piramida
bawah
Putih (1), kuning terang
(2), kuning (3), coklat (4),
merah kecoklatan (5),
coklat gelap (6), hitam (7)
Sangat pendek (1),
pendek (3), sedang (5),
panjang (7), sangat
panjang (9)
Panjang
Sangat
panjang
Putih (1), putih keabuabuan (2), putih
kekuningan (3), kuning
(4), jingga (5), jingga
kemerahan (6), coklat (7),
coklat kemerahan (8),
coklat gelap (9)
Sangat rendah (< 16
gram) (1), rendah (16-25
gram) (3), sedang (26-35
gram) (5), tinggi (36-45
gram) (7), sangat tinggi
(>45 gram) (9)
Narrow elliptic (1), broad
elliptic (3), circular (5)
17
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
28
29
30
Narrow e
LINGKUNGAN GALUR-GALUR SORGUM DI DUA
LINGKUNGAN
ARINA SANIATY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan dan Interaksi
Genetik × Lingkungan Galur-Galur Sorgum di Dua Lingkungan adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Arina Saniaty
NIM A253130151
1
RINGKASAN
ARINA SANIATY. Keragaan dan Interaksi Genetik × Lingkungan Galur-Galur
Sorgum di Dua Lingkungan. Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS dan
DESTA WIRNAS.
Sorgum merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
pangan alternatif karena selain sebagai sumber karbohidrat, kandungan protein,
kalsium, dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding jagung dan beras.
Departemen Agronomi dan Hortikultura telah melakukan pemuliaan sorgum
melalui persilangan antar UPCA-S1 (peka Al) dan Numbu (Toleran Al) dan saat
ini diperoleh galur-galur lanjut sorgum yang telah diseleksi secara pedigri di lahan
masam. Galur sorgum hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura
telah diuji pada kondisi lahan masam dan perlu diuji lanjut pada berbagai kondisi
lingkungan untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi hasilnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai keragaan karakter
morfologi dan agronomi serta evaluasi pengaruh interaksi genetik × lingkungan
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB.
Penelitian dibagi menjadi dua percobaan yakni: 1) keragaan karakter
morfologi dan agronomi yang dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan
Laboratorium Pemuliaan Tamanan IPB 2) evaluasi pengaruh interaksi genetik ×
lingkungan yang dilakukan di Gowa, Sulawesi Selatan dan Bogor, Jawa Barat.
Materi genetik yang digunakan pada percobaan 1 adalah 16 galur sorgum hasil
pemuliaan IPB dan enam varietas nasional sebagai kontrol. Materi genetik yang
digunakan pada percobaan 2 adalah 16 galur sorgum hasil pemuliaan IPB dan dua
varietas nasional sebagai pembanding.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar galur sorgum
pada seluruh karakter morfologi yang diamati, kecuali karakter antosianin pada
daun dan putik, lebar daun, kemampuan menyerbuk sendiri, dan bentuk biji.
Galur-galur hasil pemuliaan IPB mempunyai tinggi tanaman yang sedang,
diameter batang kecil, panjang malai yang pendek, panjang leher malai sedang,
malai rapat, serta bobot 1000 butir yang sedang.
Hasil evaluasi interaksi genetik × dan lingkungan menunjukkan bahwa
interaksi genotipe dan lingkungan berpengaruh nyata terhadap karakter umur
berbunga, panjang malai, bobot 1000 butir, laju pengisian malai, bobot per petak,
dan produktivitas. Karakter umur berbunga, panjang malai, bobot 1000 butir, laju
pengisian malai, bobot per petak, dan produktivitas dipengaruhi oleh interaksi
genetik × dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Galur UP/N-124-7, UP/N-89-3,
UP/N-151-3, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N-118-3, dan UP/N-1187-7
mampu beradaptasi baik pada lingkungan lahan kering beriklim kering. Galur
UP/N-48-2, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-156-8, UP/N-118-3, dan UP/N-139-1
mampu beradaptasi baik pada lingkungan lahan kering beriklim basah.
Kata kunci: Karakter morfologi, karakter agronomi, interaksi genetik ×
lingkungan kualitatif, produktivitas
2
SUMMARY
ARINA SANIATY. Performance and Genetic × Environment Interaction of
Sorghum Breeding Lines in Two Environments. Supervised by
TRIKOESOEMANINGTYAS and DESTA WIRNAS.
Sorghum is a crop that has potential to be developed as an alternative food
because sorghum is a source of carbohydrate and the content of protein, calcium,
and B group vitamins is higher than rice and corn. Sorghum breeding through
crossing between two parent and select in acid soil has been done by the
Laboratory of Plant Breeding and Genetics, Department of Agronomy and
Horticulture, Bogor Agricultural University. Development of acid soil tolerant
sorghum is an attempt to optimize marginal lands in Indonesia. Sorghum breeding
lines have been tested on acid soil and need a further test on a diverse
environmental conditions to determine the adaptability and yield potential. The
objectives of this study were to obtain information of Morpho-agronomic traits
and evaluation of genetic × environment interaction on sorghum breeding lines.
The study was divided into two experiments: 1) characterization of morphoagronomic traits was conducted at Bogor Agricultural University experimental
field and 2) evaluation of genetic × environment interaction was conducted in
Gowa, South Sulawesi and Bogor, West Java. Genetic material used experiment 1
was 16 IPB sorghum breeding lines and six national varieties as a control. Genetic
material used experiment 2 was 16 IPB sorghum breeding lines and two national
varieties as a check.
The results showed that IPB sorghum breeding lines have variations in
morphological traits between genotypes and check varieties, except in
anthocyanin in leaf and stigma, leaf width, self fertility, and grain shape. IPB
breeding lines has medium plant height, small diameter, short panicle length, and
medium weigth of 1000 seeds.
The results of evaluation genetic × environment interaction showed that
qualitative genetic × environmet interaction was effected panicle length, days
flowering, 1000 grain weigth, grain filling rate, grain yield, and productivity of
sorghum lines. The presence qualitative genetic × environment interaction
changed the rank among lines in two environments.UP/N-124-7, UP/N-89-3,
UP/N-151-3, UP/N-32-8, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N-118-3, and UP/N-1187-7
were well adapted in dryland with dry climate. UP/N-48-2, UP/N-32-8, UP/N-1710, UP/N-156-8, UP/N-118-3, and UP/N-139-1 were well adapted in dryland with
wet climate.
Key words: Agronomic traits, morphological traits, qualitative genetic ×
environment interaction, yield
3
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
4
KERAGAAN DAN INTERAKSI GENETIK ×
LINGKUNGAN GALUR-GALUR SORGUM DI DUA
LINGKUNGAN
ARINA SANIATY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
1
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suwarto, MSi
2
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tesis ini berjudul Keragaan dan Interaksi Genetik × Lingkungan Galur-Galur
Sorgum di Dua Lingkungan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr Ir Trikoemaningtyas, MSc dan Dr. Desta Wirnas, SP MSi selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran baik seputar
akademis, penelitian, maupun motivasi.
2. Dr Ir Suwarto, MSi selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir tesis,
serta dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu dan
pengetahuan yang diberikan selama menempuh pendidikan di IPB.
3. Staf dan pegawai Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
IPB atas segala kerjasama dan bantuannya.
4. Ayahanda Mukhtar, ibunda Tien Hartini, dan adinda Alfia Wulan Sariatas
segala do’a, semangat, dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di
IPB
5. Teman-teman Labdik Pemuliaan Tanaman: Siti Nurhidayah SP, Marina
Yuniawti SP, Ranggi Rahimul Insan SP atas bantuan tenaga, sharing
informasi, dan ikatan persahabatan yang erat.
6. Teman-teman PBT 2013, Forum Wacana 2013, dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian pendidikan, penelitian dan penyusunan tesis
ini.
7. Beasiswa Program Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN) atas dukungan materi
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tugas akhir.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.
Bogor, Maret 2016
Arina Saniat
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
Sorgum
3
Pemanfaatan Sorgum
4
Pemuliaan Tanaman Sorgum
6
Interaksi Genetik dan Lingkungan
8
3 KERAGAAN KARAKTER GALUR-GALUR SORGUM HASIL
PEMULIAAN IPB
11
Abstrak
11
Pendahuluan
11
Metode Penelitian
12
Hasil dan Pembahasan
17
Simpulan
4 INTERAKSI GENETIK × LINGKUNGAN GALUR-GALUR
SORGUM HASIL PEMULIAAN IPB DI DUA LINGKUNGAN
Abstrak
32
33
33
Pendahuluan
34
Metode Penelitian
35
Hasil dan Pembahasan
37
Simpulan
48
5 PEMBAHASAN UMUM
49
6 SIMPULAN DAN SARAN
52
DAFTAR PUSTAKA
53
RIWAYAT HIDUP
62
1
DAFTAR TABEL
1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum
2 Keragaan karakter antosianin pada koleoptil, daun, putik, dan sekam
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
3 Keragaan karakter morfologi daun galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
4 Keragaan karakter lebar dan panjang daun galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
5 Keragaan karakter umur berbunga galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
6 Keragaan morfologi bunga galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
7 Keragaan leher dan bentuk malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan
IPB
8 Keragaan morfologi malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
9 Keragaan kemampuan menyerbuk sendiri dan ukuran embrio galurgalur sorgum hasil pemuliaan IPB
10 Keragaan sekam dan biji galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
11 Keragaan biji galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
12 Keragaan tinggi tanaman dan diameter batang galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB
13 Keragaan panjang malai dan bobot 1000 butir galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB
14 Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan genotipe sorgum pada
masing-masing lokasi
15 Analisis ragam gabungan (model campuran)
16 Hasil analisis ragam karakter agronomi galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB masing-masing lingkungan
17 Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lingkungan
(L), dan interaksi G x L pada karakter agronomi galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB di dua lingkungan
18 Nilai tengah tinggi tanaman dan bobot biji per malai galur-galur
sorgum hasil pemuliaan IPB
19 Nilai tengah umur panen dan periode pengisian biji galur-galur
sorgum hasil pemuliaan IPB
20 Nilai tengah umur berbunga, laju pengisian biji, dan panjang malai
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
21 Nilai tengah bobot 1000 butir, bobot per petak, dan produktivitas
galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
22 Data curah hujan selama periode penelitian di Gowa dan Bogor
23 Perubahan peringkat karakter produktivitas galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB di dua lingkungan
13
18
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
36
37
38
38
40
41
42
44
45
47
1
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir penelitian
2 Model skematis interaksi genetik dan lingkungan
3 Keragaan intensitas antosianin pada koleoptil galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
4 Keragaan intensitas antosianin pada sekam galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB
5 Karakter warna putik galur sorgum dan varietas pembanding
6 Bentuk malai galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
7 Keragaan warna biji galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
8 Keragaan tinggi tanaman galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
9 Produktivitas galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB di Gowa dan
Bogor
2
9
19
19
22
25
28
29
47
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sorgum merupakan tanaman pangan penting ke lima di dunia setelah
gandum, padi, jagung, dan barley (Mekbib 2006). Sorgum biasa dikonsumsi
dalam bentuk biji, tepung, dan bubur (Dicko et al. 2006a). Sorgum banyak
dibudidayakan di daerah Asia dan Afrika. Sebanyak 74% sorgum yang
dibudidayakan di Afrika digunakan sebagai makanan pokok (Acquaah 2007).
Tanaman sorgum berpotensi digunakan sebagai bahan pangan karena
mengandung karbohidrat, vitamin B, vitamin A, D, E, dan K serta mengandung
fosfor, kalium, zat besi, dan zinc (Dicko et al. 2006b).
Sorgum dapat dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif karena
memiliki kandungan nutrisi yang baik, namun pemanfaatannya belum banyak
dilakukan (Sirrapa 2003). Salah satu penyebabnya adalah adanya senyawa tanin
pada biji sorgum. Senyawa tanin menyebabkan rasa sepat/pahit dan menurunkan
kemampuan pencernaan protein di dalam tubuh (Duodu et al. 2003; Dykes &
Rooney 2007), namun senyawa tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan seperti
anticarsinogenic, cardiovascular, gastroprotective, anti-ulcerogenic (Dykes &
Rooney 2007; Lekalake et al. 2007).
Sorgum dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri seperti etanol, bir,
sirup, dan modifikasi pati. Produktivitas batang sorgum berkisar antara 54-69
ton/ha dan mampu memproduksi 3000 l/ha etanol (Almondares & Hadi 2009).
Batang sorgum yang sudah diolah menjadi bioetanol juga masih dapat
digunakan sebagai bahan pakan ternak karena masih mengandung nutrisi mikro
dan mineral-mineral (Reddy et al. 2005). Keunggulan lain dari sorgum adalah
daya adaptasi yang baik pada berbagai kondisi lingkungan. Sorgum dapat
ditanam di daerah tropis dan subtropis (Price et al. 2005). Sorgum dapat ditanam
di lahan kering dan mampu tumbuh pada rentang suhu optimum yang relatif
lebar (Harris et al. 2007).
Program pemuliaan tanaman sorgum bertujuan untuk melakukan perbaikan
produktivitas, kualitas biji, dan adaptabilitas di lahan marginal. Departemen
Agronomi dan Hortikultura telah melakukan pemuliaan sorgum melalui
persilangan antar UPCA-S1 (peka Al) X Numbu (toleran Al) dan saat ini
diperoleh galur-galur F8 sorgum yang telah diseleksi di lahan masam.
Pengembangan galur-galur sorgum toleran lahan masam merupakan upaya untuk
mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan marginal di Indonesia. Galur sorgum
hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura telah diuji pada kondisi
lahan masam (Isnaini 2010; Puspitasari 2011) dan perlu diuji lanjut pada
berbagai kondisi lingkungan untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi
hasilnya.
Sorgum berpeluang dikembangkan pada lahan kering, baik pada lahan
kering beriklim basah maupun lahan kering beriklim kering. Varietas sorgum
yang dikembangkan di Indonesia saat ini umumnya ditujukan untuk
dibudidayakan di lahan kering beriklim kering. Varietas sorgum yang adaptif di
lahan kering beriklim basah belum banyak dikembangkan di Indonesia. Tanah di
lahan kering beriklim basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri
khas sebagian besar wilayah Indonesia (Subagio & Aqil 2014).
2
Fenotipe tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan
interaksi genetik × lingkungan. Interaksi genetik × lingkungan merupakan
perbedaan respon genotipe ketika ditanam pada lingkungan yang berbeda
(Romagosa & Fox 1993). Karakter kuantitatif seperti hasil dan komponen hasil
sangat dipengaruhi oleh interaksi genetik × lingkungan (Ghazy et al. 2012).
Hasil penelitian pada tanaman sorgum menunjukkan bahwa interaksi genetik ×
lingkungan berpengaruh nyata pada karakter produktivitas sehingga galur yang
mempunyai produktivitas yang baik pada suatu lokasi belum tentu mempunyai
produktivitas yang baik pada lokasi lainnya (Adugna 2007; Showemimo 2007;
Abubakar & Bubuche 2013). Informasi interaksi genetik × lingkungan
diperlukan untuk membantu pemulia dalam menentukan genotipe stabil pada
lingkungan spesifik atau genotipe stabil pada berbagai lingkungan.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
2.
Mendapatkan informasi mengenai keragaan karakter morfologi dan
agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB
Mempelajari interaksi genetik × lingkungan pada galur-galur sorgum hasil
pemuliaan IPB yang diuji pada dua lingkungan
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
2.
Terdapat perbedaan karakter morfologi dan agronomi diantara galur- galur
sorgum hasil pemuliaan IPB
Terdapat interaksi genetik × lingkungan galur-galur sorgum hasil pemuliaan
IPB yang diuji pada dua lingkungan
Galur – galur sorgum hasil pemuliaan IPB
IPB
Karakterisasi galur sorgum berdasarkan UPOV
Uji daya hasil di dua lingkungan
Galur-galur sorgum unggul terdeskripsi
Gambar 1. Bagan alir penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman pangan
penting ke lima di dunia setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Mekbib
2006). Sorgum memiliki tiga spesies yaitu Sorghum bicolor (2n=2x=20),
Sorghum propinquun (2n=2x=20), dan Sorghum halepense (2n=4x=40)
(Acquaah 2007). Sorghum bicolor dan Sorghum propinquun memiliki
kromosom yang hampir sama (Price et al. 2005). Tanaman sorgum yang
dibudidayakan hanya jenis Sorghum bicolor yang mempunyai lima ras utama
yakni durra, kafir, guinea, bicolor, dan caudatum. Kelima ras ini mempunyai
perbedaan dalam bentuk malai, ukuran biji, potensi hasil, dan karakteristik
lainnya (Acquaah 2007).
Tanaman sorgum merupakan tanaman monokotil dan mempunyai sistem
perakaran yang terdiri atas akar-akar primer (pada dasar buku pertama pangkal
batang), akar sekunder, dan akar tunjang. Akar primer muncul pertama kali pada
proses perkecambahan benih yang berkembang dari radikula, kemudian
digantikan oleh akar sekunder yang tumbuh pada ruas pertama (Rismunandar
1989). Akar sekunder mempunyai panjang 5-15 cm, berukuran kecil, seragam,
dan hanya sebagian kecil dari sistem perakaran sorgum. Akar sekunder lain
tumbuh pada ruas kedua atau yang lebih dikenal dengan akar permanen. Akar
permanen akan bercabang secara lateral dan masuk ke dalam tanah hingga 1-2 m
untuk menyerap air dan nutrisi. Akar tunjang pada tanaman sorgum terdiri dari
akar koronal (akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar
udara (akar yang tumbuh dipermukaan tanah). Akar tunjang berfungsi seperti
jangkar untuk tanaman sorgum dan berfungsi menyerap air dan unsur hara jika
mencapai tanah. Perakaran tanaman sorgum mampu menopang pertumbuhan
dan menjadikan tanaman sorgum toleran kekeringan (House 1985).
Tinggi tanaman sorgum dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas
batang, panjang tangkai malai, dan panjang malai (House 1985). Perpanjangan
buku tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw1,
Dw2, Dw3, dan Dw4 (House 1985). Batang sorgum berbentuk silinder dan
berbuku-buku. Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling. Batang
sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang diselubungi
oleh lapisan keras. Sorgum dengan batang yang kering mempunyai tulang daun
berwarna coklat, sedangkan batang yang berair mempunyai tulang daun yang
berwarna hijau (Acquaah 2007).
Daun tanaman sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun. Helaian
daun sorgum berbentuk lanselot, lurus, mendatar, berwarna hijau muda hingga
hijau tua dengan permukaan daun yang dilapisi oleh lapisan lilin. Lapisan lilin
pada permukaan daun berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air
dari dalam tanah sehingga toleran terhadap kekeringan (Rismunandar 1989).
Sorgum mempunyai daun bendera yang muncul terakhir sebelum keluar malai.
Daun bendera akan menyelubungi primodia bunga selama proses perkembangan
primodia bunga (fase booting).
Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada
setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga akan mekar mulai dari malai
paling atas hingga ke bawah. Sorgum mempunyai malai dengan ukuran pendek
4
hingga panjang dan berbentuk kompak hingga terbuka (Dicko et al. 2006a).
Bunga sorgum secara utuh terdiri dari atas tangkai malai (peduncle), malai
(panicle), rangkaian bunga (raceme), dan bunga (spikelet) (Andriani & Isnaini
2013).
Sorgum mempunyai biji berbentuk bulat, berukuran 4-8 mm dan
mempunyai warna yang beragam (Acquaach 2007). Biji sorgum tertutup oleh
sekam dengan warna coklat muda, krem, atau putih. Komposisi bagian biji
sorgum terdiri atas kulit luar 8%, lembaga 10%, dan endosperma 82% (Hahn &
Rooney 1985). Kulit luar sorgum terdiri atas hilum dan perikap. Hilum berada
pada bagian dasar biji dan akan berubah menjadi gelap atau hitam pada saat
memasuki fase masak fisiologis. Bagian lembaga biji sorgum terdiri atas bagian
inti embrio, skutelum, calon tunas (plumula), dan calon akar (radikula). Bagian
lembaga mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam linoleat, protein, lisin,
dan polisakarida nonpati (Dicko et al. 2006b). Bagian endosperma biji sorgum
terdiri atas lapisan lapisan endosperman luar, tengah, dan dalam. Endosperma
mempunyai peran penting dalam penyediaan nutrisi bagi tanaman pada awal
pertumbuhan (Dicko et al. 2006b).
Sorgum dapat ditanam di daerah tropis, subtropis, dan mampu tumbuh pada
rentang suhu optimum yang relatif lebar (Price et al. 2005). Sorgum termasuk
kedalam golongan C4 seperti jagung dan tebu sehingga efisien dalam melakukan
fotosintesis, terutama pada lingkungan dengan suhu tinggi dan kekurangan air
(Harris et al. 2007). Sorgum dapat ditanam pada lahan kering dan lahan masam
dengan tingkat kejenuhan Al tinggi (Harris et al. 2007; Human et al. 2010).
Meskipun tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan, tetapi tanaman sorgum
akan lebih mudah terkena cekaman kekeringan pada fase akhir berbunga (Ali et
al. 2011). Cekaman kekeringan pada sorgum mengakibatkan hilangnya air
dalam proeses pembentukan biji, daun prematur, tanaman menjadi senescence,
batang rebah, dan terjadi reduksi ukuran biji (Harris et al. 2007).
Tanaman sorgum yang toleran terhadap cekaman kekeringan memiliki
mekanisme pengendalian ketahanan hijau daun (stay green) (Kassahun et al.
2010). Tanaman sorgum yang mempunyai karakter stay green mampu
menghasilkan klorofil pada daun dan melakukan fotosintesis sehingga dapat
memperlambat senesence meskipun air yang tersedia dalam jumlah yang
terbatas (Kassahun et al. 2010). Karakter stay green disebabkan karena adanya
keseimbangan antara kebutuhan nitrogen (pada biji) dengan asupan nitrogen dari
translokasi dari bagian vegetatif tanaman selama proses pengisian biji.
Senescence pada daun menyebabkan terjadinya degradasi protein dan
terhentinya sintesis asam amino. Hal tersebut mengakibatkan organel
fotosintesis rusak sehingga daun menjadi berwarna kuning (Kassahun et al.
2010).
Pemanfaatan Sorgum
Sorgum merupakan tanaman yang multifungsi yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pangan, pakan, bioetanol, dan industri. Hal tersebut
menyebabkan sorgum sangat potensial untuk dikembangkan karena setiap
bagian dari sorgum dapat dimanfaatkan (Pabendon et al 2013; Susilowati &
Saliem 2013).
5
Sorgum merupakan salah satu makan pokok berbagai negara di Afrika.
Sebagai sumber pangan, sorgum biasanya dikonsumsi dalam bentuk biji, tepung,
dan bubur (Dicko et al. 2006a). Sorgum mempunyai nilai gizi yang tinggi yakni
dalam 100 gram mengandung 83% karbohidrat, 3,5 % lemak, 2,5 % serat dan
10% protein yang artinya lebih tinggi dibandingkan kadar protein beras giling
(6-7%), beras pecah kulit (7-8%), jagung (9%) (Suarni 2004). Sorgum banyak
mengandung vitamin B seperti thiamin, riboflavin, pyridoxine dan liposolube
vitamin A, D, E, dan K dan kaya akan kandungan fosfor, pottasium, zat besi, dan
zinc (Dicko et al. 2006b).
Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan belum dilakukan secara
maksimal, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya senyawa tanin pada
sorgum. Kandungan tanin menyebabkan rasa pahit sehingga sorgum tidak bisa
dikonsumsi secara langsung. Tanin merupakan senyawa fenol yang berperan
sebagai anti nutrisi, namun tanin berfungsi sebagai antioksidan (Dicko et al.
2006b). Senyawa fenol tersebut mengakibatkan rasa pahit pada sorgum
(Lekalake et al. 2007). Tanin pada sorgum dapat melindungi biji dari jamur,
serangga, dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan
secara ekonomis (Puspitasari 2011). Kandungan tanin pada sorgum juga
berpengaruh terhadap proses pencernaan. Kandungan tanin yang tinggi dapat
menurunkan kemampuan pencernaan pati yang mengakibatkan nilai indeks
glikemik menjadi rendah sehingga baik bagi penderita obesitas dan diabetes
(Dicko et al. 2006b). Dykes dan Rooney (2007) menambahkan bahwa
menurunnya daya cerna ini disebabkan karena tanin berikatan dengan protein,
karbohidrat, dan mineral.
Sorgum yang mempunyai nilai fenol dan antioksidan tinggi akan
mempunyai kandungan tanin tinggi pula (Dykes & Rooney 2007). Sorgum
dengan kandungan tanin tinggi akan mempunyai lapisan perikarp yang berwarna
gelap. Dykes dan Rooney (2007) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat
antara perikarp berwarna gelap dengan kandungan fenol dan antioksidan.
Puspitasari (2011) melakukan pengujian tanin terhadap beberapa genotipe
sorgum dengan warna perikarp yang berbeda-beda. Hasil menunjukkan bahwa
belum terlihat adanya pola hubungan antara karakter kualitatif berupa warna
pericarp dengan kandungan tanin. Warna pericap yang gelap (coklat) belum
tentu mempunyai kandungan tanin tinggi begitu pula sebaliknya. Adanya
perbedaan hasil penelitian ini dikarenakan sulitnya untuk menentukan metode
standar untuk pengujian tanin.
Sorgum memiliki kandungan gula pada batang sehingga dapat
difermentasikan menjadi bioetanol. Almondares et al. (2008) menyatakan bahwa
jenis gula yang ada pada batang sorgum meliputi sukrosa dan gula invert seperti
glukosa, fruktosa, maltosa, dan xilosa, sedangkan gula jenis mannosa, galactosa,
dan arabinosa tidak terdapat pada batang sorgum. Hal tersebut menunjukkan
bahwa karbohidrat yang terdapat pada batang sorgum merupakan karbohidrat
yang mudah dikonversi menjadi etanol (Almondares et al. 2008). Kandungan
gula juga terdapat pada biji sorgum juga dapat dikonversi menjadi bioetanol.
Kandungan gula pada biji sorgum meliputi glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa,
dan rafinosa (Almondares & Hadi 2009).
Produktivitas batang sorgum berkisar antara 54-69 ton/ha dan mampu
memproduksi 3000 l/ha etanol (Almondares & Hadi 2009). Gnansounou et al.
6
(2005) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas batang (tinggi 3 m) dan biji
sorgum di China sebesar 52 ton/ha dan 5 ton/ha. Etanol yang dapat diproduksi
dari batang dan biji sorgum sebesar 3500 l/ha dan 1680 l/ha. Batang sorgum
yang sudah diolah menjadi bioetanol masih dapat digunakan sebagai bahan
pakan ternak karena masih mengandung nutrisi mikro dan mineral-mineral
(Reddy et al. 2005). Penggunaan sorgum sebagai bioetanol lebih efektif dan
efisien karena mampu menghasilkan etanol dalam waktu 4 bulan, hasil etanol
yang cukup tinggi, input yang rendah, serta proses pembuatan etanol yang ramah
lingkungan (Reddy et al. 2005).
Pemuliaan Tanaman Sorgum
Program pemuliaan tanaman sorgum bertujuan untuk melakukan perbaikan
terhadap produktivitas maupun kualitas sumber daya genetik sorgum. Tanaman
sorgum untuk pangan mempunyai beberapa kriteria seperti mempunyai
produktivitas tinggi, stabilitas produksi pada kondisi dan lingkungan yang
bervariasi, mempunyai tinggi tanaman pendek sehingga mudah dipanen,
berumur genjah, tahan terhadap cekaman abiotik seperti: tahan kekeringan,
toleran alumunium, tidak sensitif terhadap fotoperiodik, tahan terhadap hama
dan penyakit tanaman, serta kualitas biji yang baik seperti: kandungan nutrisi
pada endosperma dan kandungan tanin yang rendah (Acquaah 2007). Program
pemuliaan tanaman sorgum di Indonesia masih bertujuan untuk membentuk
varietas sorgum yang mempunyai potensi hasil tinggi (Puspitasari 2011). Potensi
hasil biji sorgum ditentukan oleh beberapa komponen hasil yang memiliki
korelasi positif dengan karakter hasil seperti lebar malai, panjang malai, dan
bobot malai (Tesso et al. 2011).
Sorgum juga berpotensi digunakan sebagai bahan baku alternatif biofuel.
Program pemuliaan tanaman sorgum di China, Afrika, dan India sudah ditujukan
untuk memperoleh sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Bahan baku yang
digunakan untuk bioetanol adalah fermentasi biji dan batang sorgum sehingga
pemuliaan dilakukan untuk memperbaiki kualitas biji dan batang. Reddy et al.
(2005) menunjukkan bahwa terdapat beberapa karakter yang mempengaruhi
produksi bioetanol seperti tinggi tanaman, lingkar batang, total padatan terlarut,
batang yang dapat diperas, dan produksi nira. Karakter-karakter tersebut telah
diketahui mempunyai keragaman genetik yang tinggi sehingga berpotensi untuk
dilakukan perbaikan genetik (Reddy et al. 2005).
Program pemuliaan tanaman sorgum untuk bahan pakan ditujukan kepada
perbaikan karakter yang berhubungan dengan daun, biomassa, dan biji.
Pemanfaatan biji sorgum digunakan sebagai bahan campuran ransum pakan
ternak unggas, sedangkan batang dan daun untuk ternak ruminansia. Kandungan
lemak sorgum yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot
ternak. Pemilihan ideotipe sorgum pakan ternak diarahkan untuk mendapatkan
genotipe yang memiliki kandungan lemak tinggi (Isnaini 2010).
Pemuliaan tanaman sorgum juga diarahkan untuk perakitan genotipe yang
mempunyai daya adaptasi luas dan toleransi terhadap lahan marginal dengan
produktivitas tinggi (Isnaini 2010). Strategi untuk meningkatkan produktivitas
sorgum di lingkungan marginal adalah melalui program pemuliaan tanaman
yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi dan adaptasi tanaman
(Sopandie 2006). Salah satu jenis lahan marginal yang terdapat di Indonesia
7
adalah lahan masam yang mempunyai derajat kemasaman (pH) dibawah 5.5.
Kemasaman tanah menyebabkan larutnya beberapa mineral yang bersifat toksik
bagi tanaman seperti Al, Mn, dan Fe. Kondisi pH yang rendah menyebabkan Al
menjadi terlarut membentuk senyawa Al(OH)2+, Al(OH)22+, Al(H2O)3+, dan
Al(H2O)63+ yang berpotensi menjadi toksis bagi tanaman (Samac & Tesfaye
2003; Kochian et al. 2005). Cekaman Al dapat menyebabkan terhambatnya
pembelahan sel akar sehingga akar menjadi lebih pendek dan tereduksinya
percabangan dan rambut akar (Vitorello et al. 2005). Terhambatnya
pertumbuhan akar menyebabkan terganggunya serapan air dan hara yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Agustina (2011) menyatakan bahwa
genotipe sorgum toleran dapat beradaptasi di lahan masam karena memiliki
perakaran yang lebih baik dibandingkan genotipe peka yang ditunjukkan melalui
keragaan bobot kering akar, panjang akar, panjang tajuk, dan bobot kering tajuk.
Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan
sebagai upaya untuk memanfaatkan lahan-lahan masam yang ada di Indonesia.
Varietas sorgum toleran Al telah dikembangkan di beberapa negara (Kochian et
al. 2004). Varietas sorgum toleran lahan masam belum intensif dikembangkan di
Indonesia, oleh karena itu pengembangan varietas sorgum toleran lahan masam
sangat diperlukan (Isnaini 2010).
Sorgum bukan tanaman asli Indonesia sehingga keragaman genetik sorgum
di Indonesia sangat terbatas. Keragaman genetik yang terbatas mengakibatkan
budidaya, penelitian, dan pengembangan sorgum di Indonesia menjadi terbatas.
Umumnya varietas sorgum yang berkembang di Indonesia merupakan hasil
introduksi dari ICRISAT, India, Filipina, dan China. Setelah melalui proses
pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi, galur-galur
introduksi tersebut dilepas sebagai varietas sorgum unggul nasional. Varietas
hasil introduksi tersebut adalah Numbu, Kawali, UPCA S1, Mandau, Keris,
Higari, Badik, Gadam, dan Sangkur (Azrai et al. 2013). Adanya beberapa
varietas unggul nasional tersebut diharapkan dapat meningkatkan keragaman
genetik sehingga perbaikan tanaman sorgum di Indonesai semakin berkembang.
Sorgum merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan tingkat
penyerbukan silang yang bervariasi bergantung pada bentuk malai. Pemuliaan
tanaman menyerbuk sendiri umumnya diarahkan pada pembentukan galur murni
(Chahal & Gosal 2003). Tanaman menyerbuk sendiri ditemukan dalam bentuk
galur-galur yang homozigot. Umumnya populasi yang ditemui adalah populasi
yang homogen homozigot (populasi yang terdiri dari individu-individu
homozigot dengan genotipe yang sama) dan populasi heterogen homozigot
(populasi yang terdiri dari individu-individu homozigot dengan genotipe yang
berbeda). Pembentukan galur murni pada tanaman homozigot akan
menghasilkan genotipe yang homozigot, sedangkan pada tanaman heterozigot
akan menghasilkan genotipe yang homozigot dengan menurunkan tingkat
heterozigositasnya dari generasi ke generasi.
Penyerbukan silang pada sorgum dengan bentuk malai terbuka mencapai
30-60% dan pada malai yang kompak dan tertutup kurang dari 10% (Azrai et al.
2013). Adanya pernyerbukan silang mengakibatkan populasi menjadi tidak
seragam secara genetik sehingga populasi yang beragam perlu dilakukan
pemurnian dengan perakitan galur untuk mendapatkan varietas murni.
Pernyerbukan silang pada sorgum dapat dimanfaatkan untuk perbaikan populasi
8
dan pembentukan hibrida unggul. Adanya sumber daya genetik mandul jantan
pada sorgum menyebabkan pengembangan sorgum saat ini diarahkan untuk
membentuk varietas hibrida.
Interaksi Genetik dan Lingkungan
Pengaruh interaksi dapat dideteksi dari perilaku respon suatu faktor pada
berbagai faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pola dari kondisi tertentu
ke kondisi lain untuk faktor lain maka kedua faktor tersebut berinteraksi. Ketika
pola respon dari suatu faktor tidak berubah pada berbagai kondisi faktor yang
lain, maka kedua faktor tersebut tidak berinteraksi (Mattjik & Sumertajaya
2006). Penampilan tanaman tergantung kepada faktor genetik, lingkungan
dimana tanaman tersebut tumbuh, dan interaksi antara genetik dan lingkungan.
Respon tanaman yang spesifik terhadap lingkungan yang beragam
mengakibatkan adanya interaksi antara genetik dan lingkungan (G × L),
pengaruh interaksi yang besar secara langsung akan mengurangi kontribusi dari
genetik dalam penampilan akhir (Pfeiffer et al. 1995; Baihaki & Wicaksana
2005).
Interaksi genetik dan lingkungan merupakan perbedaan respon dari
genotipe-genotipe yang ditanam dari satu lingkungan ke lingkungan lain (Allard
& Bradsaw 1964; Yang & Baker 1991). Interaksi genetik dan lingkungan
penting untuk diketahui karena dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan
menyulitkan dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian
varietas. Susanto dan Adie (2010) menyatakan bahwa potensi genetik galur
harapan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan berporduksi, tetapi juga
memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada kisaran lingkungan yang luas.
Interaksi genetik × lingkungan digunakan sebagai dasar penetapan wilayah
adaptasi, mengukur peran faktor lingkungan terhadap potensi genetik, dan
menentukan derajat adaptabilitas dan stabilitas galur. Sulaeman (2012)
menambahkan bahwa adanya informasi mengenai stabilitas dan interaksi genetik
× lingkungan sangat penting diketahui dalam menentukan varietas atau galur
yang lebih tepat untuk ditanam di suatu lingkungan. Kedua parameter ini
diperlukan jika varietas yang dievaluasi adalah varietas baru atau galur harapan
yang dihasilkan dari program pemuliaan tanaman.
Hasil-hasil penelitian pada tanaman pangan seperti kedelai, okra, dan
jagung menunjukkan bahwa karakter hasil dipengaruhi oleh interaksi genetik ×
lingkungan (Gurmu et al. 2009; Nwangburuka et al. 2011; Anley et al. 2013;
Cooper et al. 2013). Penelitian mengenai interaksi genetik × lingkungan pada
tanaman sorgum juga menunjukkan hal yang sama (Hausmmann et al. 2001;
Hess et al. 2002; Adugna 2007; Abdalla & Gamar 2011; Ghazy et al. 2012).
Interaksi genetik × lingkungan pada karakter hasil mengakibatkan galur yang
mempunyai daya hasil tertinggi pada suatu lingkungan belum tentu memberikan
daya hasil tertinggi pada lingkungan yang lain (Broccoli & Burak 2004). Adanya
interaksi genetik × lingkungan yang signifikan juga menunjukkan bahwa
terdapat galur-galur yang mempunyai adaptasi spesifik lingkungan tertentu.
Baihaki dan Noladhi (2005) menyatakan bahwa pemulia dapat memanfaatkan
potensi lingkungan spesifik dalam penentuan penerapan wilayah sebaran suatu
varietas unggul baru.
9
Pengaruh faktor genotipe yang lebih besar dibanding pengaruh faktor
interaksi genetik × lingkungan pada suatu karakter mengartikan bahwa karakter
tersebut memiliki keragaan yang lebih stabil pada berbagai lingkungan (Abdalla
& Gamar 2011; Tariq et al. 2012). Rahmah (2011) menyatakan bahwa
penentuan galur ideal dapat dilakukan dengan cara menguji sejumlah galur pada
beberapa lingkungan. Hasil analisis ragam akan menunjukkan besarnya interaksi
genetik dan lingkungan sehingga lebih mudah menentukan galur ideal (Eberhart
& Russel 1966). Rahayu (2013) menambahkan bahwa suatu genotipe akan dapat
tumbuh dan berproduksi sama baiknya di berbagai lingkungan pertumbuhannya
jika tidak terdapat interaksi genetik × lingkungan sehingga varietas atau galur
dapat dinyatakan stabil. Informasi interaksi genetik × lingkungan dengan spasial
yang luas maupun spesifik merupakan hal penting bagi pemulia untuk
menentukan genotipe tanaman yang akan dipilih untuk dilepas atau untuk
mengukur komponen ragam suatu karakter tertentu (Baihaki & Noladhi 2005).
Gambar 2. Model skematis intraksi genetik dan lingkungan; (a) tidak ada
interaksi, (b) interaksi genetik × lingkungan kuantitataif, (c) interaksi
genetik × lingkungan kualitatif. Sumber: Romagosa & Fox (1993)
Lingkungan memiliki efek lebih besar terhadap karakter hasil panen dan
karakter lain yang mempengaruhi hasil panen dari suatu genotype (Ghazy et al.
2012; Khan et al. 2013). Hal ini mengakibatkan genotipe yang berdaya hasil
tinggi yang ditanam pada suatu lingkungan akan memberikan hasil yang berbeda
pada lingkungan yang lain (Afiyata 2013). Kondisi lingkungan dapat
mempengaruhi hampir 80% dari karakter hasil, sedangkan faktor genetik serta
10
interaksi genetik dan lingkungan berpengaruh sangat kecil terhadap karakter
hasil panen (Rao et al. 2011).
Romagosa dan Fox (1993) menggambarkan interaksi genetik dan
lingkungan ke dalam tiga model (Gambar 2). Gambar 2(a) menunjukkan tidak
terdapat interaksi antara galur dengan lingkungan. Tidak adanya interaksi
genotipe dan lingkungan menyebabkan interpretasi bahwa seluruh galur
menunjukkan kestabilan mengikuti indeks rata-rata lingkungan. Gambar 2(b)
menunjukkan interaksi genotipe dan lingkungan meskipun tidak terjadi
perubahan urutan disetiap lingkungan atau disebut pula interaksi genotipe dan
lingkungan kuantitatif. Interaksi genotipe dan lingkungan kuantitatif ini
memudahkan pemulia untuk memilih galur yang akan dilepas, karena pada
setiap lingkungan menunjukkan pola urutan rangking yang sama. Gambar 2(c)
menunjukkan adanya interaksi genotipe dan lingkungan dan terjadi perubahan
urutan rangking pada galur atau disebut pula interaksi genotipe dan lingkungan
kualitatif. Adanya interaksi genotipe dan lingkungan kualitatif dapat
menyulitkan pemulia untuk memilih galur-galur yang akan dilepas.
11
3 KERAGAAN KARAKTER GALUR-GALUR SORGUM HASIL
PEMULIAAN IPB
(Performance of IPB Sorghum Breeding Lines)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi terhadap karakter
morfologi dan agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB. Penelitian ini
dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Pemuliaan IPB
pada bulan Mei sampai Agustus 2014. Bahan genetik yang digunakan adalah 16
galur sorgum generasi F8 dan enam varietas nasional sebagai pembanding.
Karakterisasi karakter morfologi dan agronomi berdasarkan panduan
International Union for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat keragaman karakter morfologi antar galur
kecuali pada karakter antosianin pada daun dan putik, lebar daun, kemampuan
menyerbuk sendiri, dan bentuk biji. Galur-galur hasil pemuliaan IPB mempunyai
tinggi tanaman yang sedang, diameter batang kecil, malai yang pendek dan
rapat, serta bobot 1000 biji yang sedang. Informasi deskripsi galur-galur sorgum
hasil pemuliaan IPB dapat digunakan untuk menyusun dokumen pendaftaran
varietas tanaman.
Kata kunci: Karakterisasi, karakter morfologi dan agronomi, UPOV
ABSTRACT
The objective of this study was to obtain information morphological and
agronomic traits on IPB sorghum breeding lines. The experiment was conducted
at IPB experimental field Leuwikopo and Plant breeding laboratory IPB, from
May to August 2014. This experiment used 16 IPB sorghum breeding lines and
six national varieties. The characterization of morphological and agronomic
traits based on International Union for The Protection of New Varieties of
Plants (UPOV). The result showed that there variations in morphological traits
between genotypes and check varieties, except in anthocyanin in leaf and stigma,
leaf width, self fertility, and grain shape. IPB breeding lines have medium plant
height, small stem diameter, short panicle length, dense panicle, and medium
1000 grain weight. Information description of IPB sorghum breeding lines can
be used to prepare a document for registration of plant varieties.
Key words: Characterization, morphological dan agronomic traits, UPOV
Pendahuluan
Sorgum merupakan tanaman serelia yang dapat tumbuh pada berbagai
kondisi lingkungan sehingga berpotensi untuk dikembangkan, khususnya pada
lahan marjinal di Indonesia. Sorgum dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
pakan, dan bahan industri. Keunggulan lainnya adalah sorgum mempunyai daya
adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan, serta lebih tahan terhadap hama
dan penyakit (Andriani & Isnaini 2013).
Tantangan utama pengembangan sorgum adalah semakin terbatasnya lahan
pertanian dan kompetisi dengan komoditas utama seperti jagung dan kedelai.
12
Sorgum belum termasuk komoditas prioritas sehingga pengembangannya belum
luas dan dianggap sebagai komoditas bernilai ekonomi rendah. Oleh karena itu,
pengembangan sorgum diarahkan pada lahan marjinal serta banyak tersebar di
wilayah timur Indonesia (Subagio & Aqil 2014).
Departemen Agronomi dan Hortikultura telah melakukan pemuliaan
sorgum melalui persilangan antar dua tetua dan saat ini diperoleh galur-galur
lanjut sorgum yang telah diseleksi di lahan masam. Galur-galur hasil pemuliaan
tanaman perlu dikarakterisasi untuk mengetahui keragaan karakternya.
Disamping itu, identitas tanaman diperlukan untuk dapat membedakan antara
varietas yang satu dengan varietas lainnya berdasarkan perbedaan karakternya
masing-masing. International Union for The Protection of New Varieties of
Plants (UPOV) memberikan panduan lengkap untuk karakterisasi tanamantanaman komersial (Kusmana & Sofiari 2007). Karakterisasi dilakukan untuk
mendeskripsikan sifat morfologi, agronomi, dan keunikan suatu galur. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakter morfologi dan
agronomi galur-galur sorgum hasil pemuliaan IPB.
Metode Penelitian
Bahan Genetik
Bahan genetik yang digunakan adalah galur-galur generasi F8 hasil
persilangan antara UPCA-S1 (peka Al) X Numbu (toleran Al) yang telah
diseleksi dilahan masam, yakni: UP/N-139-5, UP/N-156-8, UP/N-48-2, UP/N39-10, UP/N-151-3, UP/N-89-3, UP/N-166-6, UP/N-17-10, UP/N-4-3, UP/N82-3, UP/N-118-3, UP/N-139-1, UP/N-159-9, UP/N-32-8, UP/N-118-7, UP/N124-7 dan enam varietas nasional sebagai pembanding yaitu: Numbu, Kawali,
UPCA-S1, Mandau, Samurai 1, dan Pahat.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium
Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB Percobaan
dimulai pada bulan di Mei sampai Agustus 2014.
Metode
Penanaman galur dan varietas sorgum dilakukan dengan jarak tanam 70 cm
x 10 cm. Setiap galur dan varietas pembanding ditanam sebanyak dua baris
dalam satu plot berukuran 12m x 5.5m. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi
pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama penyakit. Pupuk yang
diberikan adalah Urea, SP-18, dan KCl dengan dosis masing-masing sebesar 150
kg/ha, 200 kg/ha, dan 100 kg/ha. Pupuk urea diberikan dua kali yaitu, 2/3 bagian
diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 bagian diaplikasikan pada saat tanaman
berumur tiga minggu. Pemanenan dilakukan jika 80% tanaman dari satu galur
sudah masak sempurna. Hal tersebut diketahui dengan cara mengigit biji
sorgum, jika tidak terdapat cairan atau sudah menjadi tepung, maka sorgum telah
masak sempurna.
13
Pengamatan
Karakter pengamatan mengacu pada panduan dari TG (Technical
guide)/122/4 untuk tanaman sorgum (UPOV 2013). Pengamatan dilakukan
menggunakan skoring untuk setiap karakter dari masing-masing galur dan
varietas pembanding. Karakter-karakter yang diamati meliputi:
Tabel 1. Karakter morfologi dan agronomi sorgum
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
1
Intensitas
Pengamatan pada
Sangat lemah (1), lemah (3),
antosianin
pangkal bawah batang sedang (5), kuat (7), sangat
koleoptil
pada hari ke 14
kuat (9)
2
Intensitas
Pengamatan pada daun Sangat lemah (1), lemah (3),
antosianin
ketiga dari bawah pada sedang (5), kuat (7), sangat
daun
hari ke 15
kuat (9)
3
Intensitas hijau Pengamatan pada daun Sangat lemah (1), lemah (3),
daun
ketiga dari bawah pada sedang (5), kuat (7), sangat
hari ke 45-60
kuat (9)
4
Warna tulang
Pengamatan pada daun Putih (1), putih kekuningan
daun
ketiga dari atas kecuali (2), kuning terang (3),
daun bendera pada
kuning (4), kuning gelap (5),
hari ke 45-60
coklat (6)
Putih
5
Putih
Kuning Kuning Kuning
Coklat
kekuningan
terang
gelap
Gradasi warna Pengamatan pada daun Tidak ada (1), kecil (3),
tulang daun ke ketiga dari atas kecuali sedang (5), besar (7), sangat
helai daun
daun bendera pada
besar (9)
hari ke 45-60
Tidak ada
Kecil
Sedang
Besar
Sangat
besar
14
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
6
Waktu berbunga
Pengamatan pada hari Sangat genjah (85
hari) (9)
7
Intensitas
Pengamatan pada
Sangat lemah (1), lemah
antosianin sekam
malai bagian tengah
(3), sedang (5), kuat (7),
pada hari ke 65-69
sangat kuat (9)
8
Intensitas
Pengamatan pada
Sangat lemah (1), lemah
antosianin putik
malai bagian tengah
(3), sedang (5), kuat (7),
pada hari ke 65-69
sangat kuat (9)
9
Warna putik
Pengamatan pada
Putih (1), kuning terang
malai bagian tengah
(2), kuning (3), kuning
pada hari ke 65-69
gelap (4)
10
Putih
Panjang putik
Kuning terang
Kuning
Pengamatan pada
malai bagian tengah
pada hari ke 65-69
11
Kemampuan
menyerbuk sendiri
12
Kerapatan malai
pada akhir fase
pembungaan
Warna anter kering
13
Malai disungkup
sebelum fase
berbunga, lalu
sungkup dibuka
setelah fase berbunga
selesai. Pengamatan
pada hari ke 65-69.
Pengamatan pada
malai bagian tengah
pada hari ke 65-69
Pengamatan pada
malai bagian tengah
pada hari ke 70-75
Kuning gelap
Sangat pendek (1),
pendek (3), sedang (5),
panjang (7), sangat
panjang (9)
Tidak menyerbuk
sendiri (0%-10%) (1),
sebagian menyerbuk
sendiri (11%-70%) (2),
menyeluruh menyerbuk
sendiri (71%-100%) (3)
Sangat jarang (1), jarang
(3), sedang (5), rapat
(7), sangat rapat (9)
Kuning (1), abu-abu
kemerahan (2), jingga
(3), jingga kemerahan
(4), merah (5), merah
kecoklatan (6)
15
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
14
Tinggi tanaman
Pengamatan pada
Sangat pendek (300
cm) (9)
15
Diameter batang
Pengamatan pada
Kecil (< 2cm) (3),
batang disekitar daun sedang (2-4 cm) (5),
ketiga dari atas pada besar (> 4 cm) (7)
hari ke 75-85
16
Panjang daun
Pengamatan pada
Pendek (< 41 cm) (3),
daun ketiga dari atas sedang (41-60 cm) (5),
kecuali daun bendera panjang (61-80 cm) (7),
pada hari ke 75-85
sangat panjang (>80 cm)
(9)
17
Lebar daun
Pengamatan pada
Sempit (< 4.1 cm) (3),
daun ketiga dari atas sedang (4.1-6.0 cm) (5),
kecuali daun bendera lebar (6.1-8.0 cm) (7),
pada hari ke 75-85
sangat lebar (>8.0 cm)
(9)
18
Panjang malai
Pengamatan pada
Sangat pendek (< 11 cm)
hari ke 75-85
(1), pendek (11-20 cm)
(3), sedang (20-30 cm)
(5), panjang (31-40 cm)
(7), sangat panjang (>40
cm) (9)
19
Panjang leher
Pengamatan pada
Sangat pendek (< 5.1
malai
hari ke 75-85
cm) (1), pendek (5.1-10
cm) (3), sedang (10.1-15
cm) (5), panjang (15.120 cm) (7), sangat
panjang (> 20 cm) (9)
20
Panjang cabang
Pengamatan pada
Pendek (< 5.1 cm) (3),
malai
hari ke 75-85
sedang (5.1 – 10 cm) (5),
panjang (10.1-15 cm)
(7), sangat panjang (>15
cm) (9)
21
Kerapatan malai
Pengamatan pada
Sangat jarang (1), jarang
saat matang
hari ke 92-93
(3), sedang (5), rapat (7),
sangat rapat (9)
22
Bentuk malai
Pengamatan pada
Piramida terbalik (1),
hari ke 92-93
lebar bagian atas (2),
lebar bagian tengah (3),
lebar bagian bawah (4),
piramida (5)
16
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
23
Piramida
Lebar
Lebar bagian
terbalik
bagian atas
tengah
Warna sekam saat Pengamatan pada
matang
hari ke 92-93
24
Panjang sekam
25
Sangat
pendek
Warna biji
26
Bobot 1000 butir
27
Bentuk biji
Pendek
Pengamatan pada
hari ke 92-93
Sedang
Pengamatan pada
hari ke 92-93
Lebar bagian Piramida
bawah
Putih (1), kuning terang
(2), kuning (3), coklat (4),
merah kecoklatan (5),
coklat gelap (6), hitam (7)
Sangat pendek (1),
pendek (3), sedang (5),
panjang (7), sangat
panjang (9)
Panjang
Sangat
panjang
Putih (1), putih keabuabuan (2), putih
kekuningan (3), kuning
(4), jingga (5), jingga
kemerahan (6), coklat (7),
coklat kemerahan (8),
coklat gelap (9)
Sangat rendah (< 16
gram) (1), rendah (16-25
gram) (3), sedang (26-35
gram) (5), tinggi (36-45
gram) (7), sangat tinggi
(>45 gram) (9)
Narrow elliptic (1), broad
elliptic (3), circular (5)
17
Tabel 1 Karakter morfologi dan agronomi sorgum (lanjutan)
No Karakter
Metode Pengamatan
Skoring
28
29
30
Narrow e