Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG pada Rusa Timor (Cervus timorensis)

RESPONS ESTRUS HASIL SINKRONISASI
MENGGUNAKAN HORMON PROGESTERON
DAN KOMBINASINYA DENGAN PMSG PADA RUSA
TIMOR (Cervus timorensis)

SUPARMIN FATHAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Respons Estrus
Hasil Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan
PMSG pada Rusa Timor (Cervus timorensis) adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2006

Suparmin Fathan
NRP B 051040011

ABSTRAK

SUPARMIN FATHAN. Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan
Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG pada Rusa Timor
(Cervus timorensis). Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF sebagai
ketua komisi pembimbing dan AMROZI sebagai anggota.
Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan salah satu satwa yang dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu komoditas baru selain ternak lain yang telah di
domestikasi sebelumnya. Upaya pengembangbiakan rusa di luar habitatnya
(penangkaran) tanpa introduksi teknologi reproduksi masih kurang memuaskan.
Sinkronisasi estrus merupakan hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi
reproduksi (Inseminasi Buatan) pada rusa betina, diantaranya dengan
menggunakan hormon progesteron (CIDR-G) dan PMSG.
Penelitian ini dilaksanakan di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta

sejak Januari sampai Juli 2006 dengan tujuan untuk menentukan metode
sinkronisasi estrus yang tepat pada rusa betina, pola tingkah laku reproduksi
pada rusa betina estrus yang diberi hormon progesteron dan kombinasinya
dengan PMSG serta efisiensi penggunaan pemberian hormon progesteron dan
kombinasinya dengan PMSG.
Materi penelitian menggunakan 6 ekor rusa yang berumur 2 - 4 tahun
dengan tiga perlakuan dan dua ulangan. Perlakuan pertama adalah pemberian
hormon progesteron selama 14 hari, perlakuan kedua pemberian hormon
progesteron 14 hari dikombinasikan dengan PMSG 150 IU dan perlakuan ketiga
dikombinasikan dengan PMSG 300 IU yang diberikan dua hari sebelum hormon
progesteron dilepas dan dilanjutkan dengan pengamatan respons estrus selama 4
hari berturut turut (06.00 – 18.00) setelah hormon progesteron dilepas. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), untuk
mengetahui perbedaan nilai tengah perlakuan dilakukan uji Duncan pada a = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron atau
kombinasinya dengan PMSG 150 diperoleh rataan onset estrus 24 jam, persentase
estrus 100%, lama estrus 30 jam yang berbeda nyata secara statistik (P < 0,05),
sedangkan intensitas estrus dengan skor dua (kategori sedang). Perlakuan hormon
progesteron dan kombinasinya dengan PMSG 300 IU diperoleh rataan onset
estrus 22 jam, persentase estrus 100%, lama estrus 34 jam yang berbeda nyata

secara statistik (P < 0,05) dan intensitas estrus dengan skor tiga (kategori tinggi).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kombinasi pemberian hormon
progesteron dengan kombinasi PMSG 300 IU memberikan respons estrus (onset,
lama, persentase dan intensitas) yang lebih baik daripada perlakuan hormon
progesteron secara tunggal maupun kombinasinya dengan PMSG 150 IU.
Kata kunci : Sinkronisasi estrus, hormon progesteron, PMSG, rusa timor

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya

RESPONS ESTRUS HASIL SINKRONISASI
MENGGUNAKAN HORMON PROGESTERON
DAN KOMBINASINYA DENGAN PMSG PADA RUSA TIMOR
(Cervus timorensis)

Oleh


SUPARMIN FATHAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis

: Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan
Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan
PMSG pada Rusa Timor (Cervus timorensis)

Nama


: Suparmin Fathan

NRP

: B 051040011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S.
Ketua

Dr. drh. Amrozi
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 30 Agustus 2006

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini
dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW atas keteladanannya. Judul dari penelitian yang dilaksanakan
pada bulan Januari sampai dengan Juli 2006 ini adalah Respons Estrus Hasil
Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan
PMSG pada Rusa Timor (Cervus tomorensis).
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.
drh. Tuty Laswardi Yusuf, MS. sebagai ketua komisi pembimbing dan Ketua
Program Studi Biologi Reproduksi Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr. drh.

Amrozi sebagai anggota komisi dan Bapak Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere,
M.Sc. (Alm) atas arahan dan bimbingan serta diskusi-diskusi yang sangat
berharga. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada seluruh Civitas
Akademika Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, keluarga besar
Fathan-Dalu dan Akantu-Palilati, Bapak Hi. Usman D. Dalu, BA. sekeluarga dan
keluarga Bapak Udin Palilati serta seluruh staf Taman Margasatwa Ragunan
(TMR) Jakarta atas semua fasilitas yang diberikan selama studi dan penelitian.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman seangkatan BRP2004: Wito Prawigit, A.Md.Vet., S.Pt., Heppi Iromo, S.Pi., M.Si., Syafriadi Idris,
S.Pi. dan Nurbariyah, S.Si. juga kepada rekan-rekan staf pengajar Jurusan
Teknologi Peternakan Universitas Negeri Gorontalo yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada
Ayahanda Umar Fathan dan Ibunda Hapisah Dalu yang dengan penuh kasih
sayang tanpa pamrih membimbing dan berdoa untuk keselamatan anak-anaknya
serta Kakanda Hasni Zulaiha U. Fathan (alm) sekeluarga, Djoni Umar Fathan
sekeluarga, Toniyanto Fathan sekeluarga dan Syarifudin Fathan, Ponakanku
tersayang Nunung, Acel, Wahyu, Firdaus, Tomy, Fitri, Riki, Rika, Rifa, Rike dan
Chyntia yang kadang terabaikan selama ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.


Tak lupa juga penulis meghaturkan terima kasih kepada Ayahanda Dahlan
Akantu (alm) dan Ibunda Ruiyah Palilati, saudara-saudara iparku Sudarman
Akantu sekeluarga, Norma Dahlan Akantu sekeluarga, Mastin Akantu, Alyun
Akantu sekeluarga dan Syarif Dahlan Akantu sekeluarga atas motivasi dan doa
yang tulus kepada penulis.
Dengan penuh haru dan bangga penulis persembahkan tulisan ini kepada
isteri tercinta Almun Dahlan Akantu dan anak-anakku yang tersaya ng Nurrohmah
Syahbana Fathan dan Ikhlasul Amal Fathan yang begitu berarti dalam suksesnya
studi penulis yang kadang tersisikan dan terabaikan kebahagiaan mereka hanya
karena jauhnya tempat penulis untuk studi, juga kepada orang-orang yang selalu
memberikan perhatian dan kasih sayang sehingga penulis bisa menyelesaikan
studi dengan baik.

Bogor, Agustus 2006

Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabila Kabupaten Gorontalo pada tanggal 3 April
1971 dari Ayah Umar Fathan dan Ibu Hapisah Dalu. Penulis merupakan putra

ketiga dari lima bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di Sekolah Dasar Negeri III
Tamboo Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo lulus tahun 1983. Lulus pada
Sekolah Menengah Pertama Negeri Bongoime Kecamatan Kabila Kabupaten
Gorontalo pada tahun 1986 dan pada tahun 1989 penulis menyelesaikan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri Kabila Kabupaten Gorontalo. Pada
tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah melalui jalur Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN), lulus tahun 1996. Pada tahun 2004 penulis diterima di
Program Studi Biologi Reproduksi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari BPPS Dirjen Dikti
Departemen Pendidikan Nasional.
Sejak tahun 2000-2002 penulis bekerja sebagai staf pengajar (tenaga
honorer) dan tahun 2002 diangkat sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Teknologi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo dan aktif dalam
berbaga i kegiatan akademik serta kerjasama dengan Pemerintah Provinsi
Gorontalo maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengembangan peternakan.
Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Almun Dahlan Akantu dan telah

dikaruniai dua orang anak, masing- masing Nurrohmah Syahbana Fathan dan
Ikhlasul Amal Fathan.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL..........................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR......................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................

xiii

PENDAHULUAN...........................................................................................
Latar Belakang...................................................................................
Kerangka Pemikiran..........................................................................

Tujuan Penelitian...............................................................................
Manfaat Pene litian.............................................................................
Hipotesis............................................................................................

1
1
3
4
4
5

TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
Ciri-ciri Rusa Timor (Cervus timorensis)..........................................
Tingkah Laku Seksual.......................................................................
Siklus Estrus pada Betina..................................................................
Siklus Estrus dan Profil Hormon Reproduksi pada Rusa Betina.......
Gelombang Folikel............................................................................
Sinkronisasi Estrus.............................................................................
Sinkronisasi Estrus dengan Hormon Progesteron dan PMSG...........

6
6
7
8
14
19
20
21

BAHAN DAN METODE...............................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian............................................................
Materi Penelitian................................................................................
Metode Penelitian..............................................................................
Kegiatan Penelitian................................................................
Perlakuan...............................................................................
Pengamatan Estrus.................................................................
Peubah yang Diamati.............................................................
Analisis Statistik................................................................................

28
28
27
30
31
31
33
33
34

HASIL DAN PEM BAHASAN......................................................................
Kondisi Lokasi dan Rusa Penelitian..................................................
Pengaruh Pemberian Hormon Progesteron (CIDR-G) dan
Kombinasinya dengan PMSG............................................................
Respons Timbulnya Estrus....................................................
Lama Estrus dan Intensitas Estrus.........................................

35
35

SIMPULAN DAN SARAN............................................................................
Simpulan...........................................................................................
Saran..................................................................................................

47
47
47

37
37
43

ix

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

49

LAMPIRAN....................................................................................................

56

x

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Perlakuan pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG.......................................................................................................

32

2

Tanda-tanda estrus pada rusa percobaan.................................................

33

3

Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG terhadap persentase estrus............................................................

39

Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG terhadap onset (timbulnya) estrus.................................................

40

Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG terhadap lama estrus.....................................................................

43

Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG terhadap intensitas estrus..............................................................

45

4
5

6

xi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Kandang dan rusa betina penelitian........................................................

28

2

Denah kandang penelitian........................................................................

29

3

A. CIDR-G (Agriculture Devition, CHH Plastic products Ltd,
Hamilton)........................................................................................... 30
B. PMSG (Laboratorios Hipra, S.A., Spain)......................................... 30

4

Bagan prosedur kerja penelitian...............................................................

32

5

Rataan onset (timbulnya ) estrus pada setiap perlakuan...........................

41

6

Rataan lama estrus pada setiap perlakuan................................................

44

xii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Jadual penelitian di lokasi Taman Margasatwa Ragunan (TMR)
Jakarta....................................................................................................... 57

2

Respons intensitas estrus setelah perlakuan.............................................

3

Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari
berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon
progesteron 14 hari................................................................................... 60

4

Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari
berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon
progesteron 14 hari + PMSG 150 IU (H-2).............................................. 64

5

Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari
berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon
progesteron 14 hari + PMSG 300 IU (H-2).............................................. 68

6

Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk persentase estrus...................

72

7

Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk onset (timbulnya) estrus.......

73

8

Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk lama estrus............................

74

9

Keadaan lokasi dan rusa timor penelitian................................................

75

10 Pemasangan hormon progesteron (CIDR-G) pada rusa timor.................

77

59

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rusa termasuk satwa ruminansia yang memiliki banyak anak jenis (subspesies) yaitu sebesar 196, 42 jenis (spesies) yang berasal dari bangsa (ordo)
Artiodacthyla, suku (family) Cervidae serta anggota 17 marga (genus). Suatu
jumlah yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai suatu komoditas baru di
dunia peternakan. Sebenarnya jenis rusa asli di Indonesia hanya empat, yaitu rusa
sambar (Cervus unicolor), rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis
kuhlii) dan muncak (Muntiacus muntjak). Namun sejak pra kemerdekaan (sekitar
tahun 1814) telah didatangkan satu jenis rusa dari India, yaitu rusa totol (Axis
axis) yang berkembang pesat dan penyebarannya hanya terbatas dihalaman Istana
kepresidenan Bogor. Rusa yang penyebarannya paling luas di pulau-pulau di
Indonesia dan bahkan di luar negeri adalah jenis rusa timor.
Rusa merupakan salah satu satwa liar yang dilindungi

oleh undang-

undang terhadap perburuan dan pemanfaatannya. Namun hal ini dapat
dimungkinkan dengan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistimnya, menyebutkan bahwa
pemanfaatan satwa liar Indonesia dimungkinkan dilakukan baik dalam bentuk; (a)
pengkajian, penelitian dan pengembangan; (b) penangkaran; (c) perburuan; (d)
perdagangan; (e) peragaan; (f) pertukaran; (g) budidaya tanaman obat-obatan dan
(h) pemeliharaan untuk kesenangan (Pasal 36 ayat 1). Aturan teknis untuk
pelaksanaan pemanfaatan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Menurut aturan teknis
ini pemanfaatan satwa liar bertujuan agar dapat didayagunakan secara lestari
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat 1).
Rusa mulai didomestikasi untuk tujuan penghasil daging bagi masyarakat
telah dilakukan secara meluas, baik daratan Eropa, Pasifik hingga Asia (Kyle
1994). Penge mbangan rusa sebagai komoditas baru ini dimulai sejak tahun 1970an dan telah berkembang pesat pada tahun 1980-an. Rusa timor sebagai rusa asli
Indonesia justru telah dikembangkan secara besar-besaran sebagai salah satu
hewan ternak di Mauritius, Kaledonia Baru, Australia dan Malaysia. Oleh sebab

1

itu diperlukan langkah- langkah strategis untuk pengembangannya di Indonesia
sebagai komoditas penghasil daging.
Salah satu keunggulan rusa timor dibanding dengan ternak ruminansia lain
adalah kemampuannya menghasilkan karkas dengan persentase yang relatif lebih
tinggi, yaitu antara 56 sampai 63%, ketebalan lemak 8 - 18 mm, imbangan daging
dan tulang 4,7 : 1,0 (Semiadi dan Nugraha 2004). Sedangkan produk
sampingannya dapat bersumber dari tanduk muda (velvet antler) dan kulit. Dari
kedua produk yang dihasilkan ternyata dapat memberi kontribusi yang cukup
besar bagi pendapatan peternak di Australia. Harga setiap kg karkas sebesar $ 4,4
dan valvet dapat mencapai $ 100 serta kulit $ 50 (Arifin 2005).
Di Indonesia khususnya di Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu
daerah yang melakukan perburuan setiap tahunnya tidak kurang dari 5000 ekor
rusa sambar, dan produksi ini menghasilkan sekitar 412.500 kg karkas (Semiadi
2002). Melihat potensi rusa, Dirjen Produksi Peternakan saat ini tengah berupaya
mengadopsi metode pemeliharan rusa yang telah dikembangkan di luar negeri
untuk dimodifikasi pada kondisi Indonesia. Oleh karena itu perlu dipelajari proses
pengembangbiakan rusa di luar habitatnya melalui teknologi reproduksi, yang
juga bermanfaat sebagai salah satu upaya untuk konservasi dan mencegah
kepunahan maupun untuk meningkatkan pemanfaatan rusa sebagai ternak harapan
sumber protein.
Upaya pengembangbiakan rusa di luar habitatnya (penangkaran) tanpa
introduksi teknologi reproduksi masih kurang memuaskan. Disisi lain untuk
penerapan teknologi reproduksi diperlukan data dasar sifat fisiologis dan pola
reproduksi yang akurat. Sementara itu dasar-dasar sifat fisiologis dan pola
reproduksi pada rusa timor (Cervus timorensis) di daerah tropis masih kurang
tersedia. Untuk memahami pola reproduksi pada rusa, cukup banyak hal yang
berbeda dengan pola atau standar reproduksi ternak lainnya seperti kambing,
domba, sapi

dan kuda. Sebagai contoh, jantan produktif untuk reproduksi

berkaitan erat dengan siklus pertumbuhan ranggah kerasnya, sehingga ada saat
terbaik untuk dapat dilakukan perkawinan ataupun seleksi untuk koleksi semen.
Pada rusa betina, siklus berahi secara akurat belum diperoleh, sementara pada

2

masing- masing daerah mempunyai masa kelahiran yang spesifik (Semiadi et al.
1994; Semiadi 1998).
Hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB)
pada rusa betina adalah proses sinkronisasi estrus dengan menggunakan hormon
sintetik dalam suatu Controlled Internal Drug Release-Goat (CIDR-G), Pregnant
Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Penggunaan hormon progesteron (CIDR-G)
dimaksudkan untuk memacu sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan
aktivitas ovarium dengan menghambat lonjakan LH (Luteinizing Hormone) dari
hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif. PMSG adalah hormon
eksogenus yang sengaja diberikan dengan tujuan untuk memperoleh sel telur
dalam jumlah yang banyak yang daya kerjanya seperti hormon FSH (Follicle
Stimulating Hormone) serta dapat mencegah terjadinya sel telur yang atresi (Cahil
1982; Jillella 1982; Hogan et al. 1986 dalam Margawati dan Mulyaningsih 1996).
Tujuan utama dari semua metode ini adalah untuk mengkondisikan semua
betina yang akan diinseminasi berada dalam satu status fisiologi reproduksi yang
seragam, yaitu berahi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka telah dilakukan
penelitian

mengenai

penggunaan

hormon

progesteron

(CIDR-G)

dan

kombinasinya dengan PMSG guna memperoleh suatu kondisi dimana sekelompok
rusa betina berada dalam keadaan berahi dan siap untuk diinseminasi.
Kerangka Pemikiran
Perkembangbiakan rusa secara cepat dan masal dapat dilakukan dengan
metode sinkronisasi estrus pada sekelompok ternak betina untuk dapat
diinseminasi secara serempak pada waktu yang hampir bersamaan. Penyerentakan
berahi pada hewan betina dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan waktu dan
tenaga dalam pelaksanaan program inseminasi buatan. Makin banyak betina yang
dapat diinseminasi pada suatu saat secara serempak, makin meningkatkan suatu
proses produksi yang efisien dalam waktu yang relatif singkat.
Penggunaan hormon progesteron secara intravaginal dimaksudkan untuk
memacu sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan sementara aktivitas
ovarium dengan menghambat lonjakan LH dari hipofisis anterior melalui
mekanisme umpan balik ne gatif. CIDR-G yang mengandung 0,3 gram

3

progesteron selama masa implantasi intravaginalnya, akan beredar di dalam
sistem sirkulasi darah dan akan menghambat lonjakan LH untuk mencegah
terjadinya ovulasi. Setelah hormon progesteron dilepas dari implantasinya di
dalam vagina, maka hambatan tersebut akan hilang dari gonadotropin dan akan
terjadi lonjakan LH dan estrogen. Dengan demikian hewan- hewan perlakuan akan
memperlihatkan tanda-tanda berahi secara bersamaan beberapa hari kemudian.
PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) yang disuntikkan secara
intramuskuler (im) memiliki aktivitas biolo gis yang menyerupai FSH dan LH,
namun lebih dominan peranan FSH- nya. PMSG atau equine Chorionic
Gonadotropin (eCG) adalah hormon FSH dan LH eksogenus yang akan
memperjelas pengaruh FSH dan LH endogen dalam penyerentakan berahi bila
diberikan sebelum hormo n progesteron dilepas. Hal ini

akan mempengaruhi

aktivitas ovarium dengan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan folikel,
sehingga pemberian dalam jumlah yang cukup bersama dengan progesteron
diharapkan akan lebih meningkatkan pertumbuhan dan perkembanga n gelombang
folikel dan ovulasi pada rusa timor.
Pendekatan aspek biologi reproduksi yang dapat dilakukan melalui
penelitian ini adalah pengkajian tingkah laku estrus pada rusa betina setelah
pemberian hormon progesteron secara tunggal dan kombinasinya dengan PMSG
untuk kesiapannya diinseminasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk :
1. Menentukan metode sinkronisasi estrus yang lebih baik pada rusa betina.
2. Mempelajari pola tingkah laku estrus pada rusa betina yang diberi hormon
progesteron (CIDR-G) dan kombinasinya dengan PMSG.
3. Membandingkan efisiensi penggunaan pemberian hormon progesteron dan
kombinasinya dengan PMSG.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah
untuk:

4

1. Memberikan informasi tentang metode sinkronisasi estrus yang lebih baik dan
efektif dalam mempengaruhi/menimbulkan respon estrus dari rusa timor
(Cervus timorensis) yang diberi perlakuan hormon progesteron dan
kombinasinya dengan PMSG.
2. Mendapatkan data dasar untuk penelitian dan kerangka kerja lebih lanjut
dalam rangka pengembangan rusa timor sebagai komoditas ternak baru serta
pengembangan teknologi reproduksi itu sendiri.
Hipotesis
1. Pemberian hormon progesteron tunggal secara intravaginal dapat menggertak
pemunculan estrus pada rusa timor.
2. Kombinasi hormon progesteron dengan dosis PMSG yang semakin tinggi
akan lebih meningkatkan keberhasilan dan intensitas estrus daripada
pemberiannya secara tunggal.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Ciri-ciri Rusa Timor (Cervus timorensis)
Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan rusa tropis kedua terbesar
setelah rusa sambar. Dibandingkan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor
memiliki banyak keunikan yaitu sebagai kelompok rusa yang mempunyai banyak
anak jenis, sebagai rusa dengan nama daerah yang cukup beragam dan sebagai
rusa yang paling tersebar luas di luar negeri. Berat badan rusa timor berkisar
antara 40 - 120 kg, tergantung pada anak jenisnya (Semiadi dan Nugraha 2004).
Rusa timor mempunyai ciri-ciri fisik berupa warna kulit coklat kemerah- merahan
sampai coklat gelap (Drew et al. 1982), lebih lanjut dijelaskan bahwa berat badan
dewasa rusa timor mencapai 60 kg sampai 100 kg, panjang badan berkisar 1,95 2,10 meter dan tinggi badan 1,00 - 1,10 meter. Jantan mempunyai ranggah,
dengan panjang maksimum 0,87 meter, yang berkembang sesuai dengan
pertambahan umur. Ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dan kakinya
lebih kecil daripada jantan.
Sedangkan menurut Syarif (1974) rusa timor mempunyai ciri-ciri berbadan
ramping, berwarna coklat kemerah-merahan sampai coklat gelap, dengan bobot
badan rata-rata 45 - 60 kg. Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau
padang rumput dan hidup pada daerah sampai ketinggian 2600 meter di atas
permukaan laut (der Zo n 1979). Pada jenis yang besar (Cervus Timorensis russa)
tinggi badan mencapai 110 cm, panjang tubuh dan kepala 190 - 210 cm, dengan
bobot badan dapat mencapai 140 kg (Hardjosentono 1978).
Rusa timor termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari memiliki daya
adaptasi yang tinggi serta dapat hidup di hutan-hutan yang lebat. Umumnya hidup
menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam kelompok-kelompok yang
terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya. Sebagai
herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan antara lain:
buah-buahan, singkong, kulit pisang, jagung, berbagai jenis rumput, dan lain- lain.

6

Tingkah Laku Seksual
Pada umumnya rusa mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan
baru sehingga sangat memungkinkan untuk didomestikasi. Pernyataan ini
tentunya harus didukung dengan penelitian yang mengkaji kemampuan secara
fisiologis. Tentunya menjadi suatu pemikiran apabila kemampuan adaptasi tidak
diikuti dengan kemampuan reproduksi yang menjadi sala h satu tujuan dari suatu
peternakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di negara sub tropik pada
rusa-rusa tropik yang ditranslokasi, bahwa rusa tropik mempunyai kemampuan
reproduksi yang cukup baik. Asumsi yang muncul dari penelitian yang ada di
daerah tropik mengacu pada kondisi sub tropik yaitu aktivitas reproduksi
berkaitan dengan tahap ranggah keras.
Hafez (1993) mendefinisikan tingkah laku seksual (sexual behaviour)
adalah beberapa variasi pola tingkah laku diawali dengan percumbuan, daya tarik
dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina
sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan
Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa tingkah laku seksual tidak hanya
menyangkut koitus saat gamet jantan ditransfer ke betina tetapi juga bagaimana
membawa jantan dan betina tersebut untuk bertemu dan melakukan percumbuan
serta menentukan perkawinan pada waktu fertil yang optimal. Tingkah laku
seksual yang sinkron antara jantan dan betina terjadi akibat adanya hormon
gonadal dalam darah pada level tertentu, dan dibantu oleh aktivitas susunan syaraf
pusat sehingga tingkah laku merupakan indikator respon otak terhadap stimulasi
humoral.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa suksesnya proses
reproduksi pada mamalia jantan tergantung kepada seleksi intraseksual dan
berhubungan erat dengan kemampua n jantan untuk menjadi pemimpin yang
ditandai dengan kekuatan (strength), ukuran badan serta adanya ranggah.
Penampakan tingkah laku reproduksi pada rusa jantan terjadi pada awal tahap
ranggah keras diinisiasi dengan tingkah laku rutting, yaitu periode terjadinya
libido sebagai tanda dimulainya aktivitas musim kawin yang sangat khas pada
rusa jantan untuk menentukan daerah teritorial dan harem (betina yang akan
dikawini).

7

Tingkah laku lain adalah dengan membentuk mahkota. Ranggah
merupakan pertanda dominasi seekor rusa jantan dalam suatu kelompok. Sifat
jantan yang akan mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada
tingkat dominasi jantan (agresivitas), daya tarik antara jantan dan betina yang
sedang estrus, tahapan interaksi tingkah laku (kesiapan untuk mating) dan reaksi
jantan untuk menaiki betina (Anonimous 1995). Sebaliknya pada betina pemilihan
pasangan dan kemampuan melahirkan tergantung pada latihan fisik. Tingkah laku
seksual pada betina terjadi secara periodik dan hanya muncul pada periode
tertentu dalam kehidupannya. Tingkah laku ini terjadi akibat konsentrasi hormon
gonadal di dalam plasma darah sampai tingkat yang kritis. Sekresi hormon ini
dipengaruhi oleh lingkungan seperti cahaya, nutrisi, bau khas dari pasangan,
rangsangan dari perabaan, rangsangan sosial dan temperatur (Becker et al. 1992).
Takandjandji dan Sinaga (1997) menyatakan bahwa, tingkah laku
reproduksi lainnya pada rusa timor yang muncul mencakup : melenguh (roaring)
dengan suara keras pada waktu-waktu tertentu pada pagi/sore hari, ciri-ciri lain
adalah berkubang (berendam dalam lumpur), berjalan tegak dengan kepala
mendatar, menyeringai (flehmen) kearah betina yang sedang estrus, mengikuti
jejak betina dan menciumi urine.

Siklus Estrus pada Betina
Periode estrus merupakan bagian dari siklus yang ditandai dengan
keinginan ternak betina untuk menerima pejantan guna melakukan aktivitas
kopulasi (Toelihere 1985), dimana dalam periode ini juga ternak betina
menghasilkan sel telur atau ovum yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat
kaitannya dengan sistem hormonal
kejadian

fisiologik

pada

hewan

Estrus dan siklus estrus merupakan suatu
betina

yang

dimanifestasikan

dengan

memperlihatkan keinginan kawin. Interval antara awal timbulnya satu periode
estrus ke awal periode estrus berikutnya pada hewan yang tidak bunting dan
normal disebut siklus estrus (Toelihere 1985). Hormon pada hewan betina selalu
dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan pada jantan, courtship dan terjadinya
kopulasi.

8

Penelitian pada hewan laboratorium yang diberi estrogen ternyata
meningkatkan keinginan seksual untuk mendekati jantan dan merangsang
penampakan seksual yang dikenal dengan proceptive behaviour. Pada betina,
proceptive behaviour ditandai dengan pendekatan, orientasi dan lari menjauh dari
pejantan. Selain menimbulkan tingkah laku proceptiv pada betina, estrogen juga
akan menyebabkan betina menjadi lebih menarik untuk jantan, seperti
menimbulkan bau-bauan yang khas estrus, suara dan perubahan fisik. Pada betina,
tingkah laku percumbuan tidak hanya menerima jantan secara seksual tapi juga
menghasilkan bau khas, suara dan stimulasi fisik yang menandakan betina
tersebut dalam kondisi estrus.
Becker et al. (1992) membagi tingkah laku reproduksi menjadi dua, yaitu
tingkah laku pra kopulasi dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku pra kopulasi
penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku
percumbuan. Tingkah laku kopulasi biasanya ditandai dengan postur badan yang
khas untuk penerimaan jantan. Bentuk badan yang siap untuk kopulasi disebut
lordosis (membentuk lengkungan di bagian punggung).
Tingkah laku percumbuan ditandai dengan seleksi untuk mendapatkan
pasangan. Diferensiasi seks pada gamet (sel telur dan sel sperma) berhubungan
dengan strategi reproduksi. Sebagai contoh betina yang berovulasi pada suatu
periode (siklus) reproduksi, sebaliknya pada jantan relatif konstan dalam
memproduksi

sel

sperma.

Sebagai

konsekuens inya

betina

mempunyai

keterbatasan dalam waktu kawin dibandingkan dengan jantan.
Tingkah laku kopulasi ditandai dengan penerimaan jantan secara seksual.
Penampilan yang tampak adalah lordosis. Lordosis ditandai dengan tidak
bergeraknya tubuh betina, posis i membungkuk dengan kaki depan direndahkan,
kemudian badan membentuk lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor
yang panjang kopulasi biasanya ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu
sisinya. Pada spesies tertentu lordosis dapat juga terjadi akibat stimulasi manual
pada punggung betina. Berbeda dengan Becker et al. (1992); Katz dan McDonald
(1982) yang membagi tingkah laku seksual pada betina menjadi tiga bagian, yaitu
atraktif, tingkah laku proceptiv (menerima dicumbu) dan receptivity (penerimaan
koitus).

9

Secara umum, siklus estrus dibagi menjadi empat fase. Keempat fase ini
juga dapat digolongkan kedalam dua fase yaitu folikuler estrogenik (proesterus
dan estrus) serta metestrus atau progestational (estrus dan diestrus). Fase estrus
atau periode seksual (D0 ) diikuti dengan fase metestrus atau pasca ovulasi (D1-4 ),
fase diestrus (D5-18 ) yang sesuai dengan fase luteal dan fase proestrus (D18-21 ) yang
merupakan periode sebelum estrus (Toelihere 1997).
Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pertumbuhan
folikel oleh FSH dari hipofisis anterior (Salisbury dan Bagnara 1985; McDonald
1989). Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol
yang lebih banyak. Menurut Elmer et al. (1981), cairan folikel menyebabkan
ukuran ovum meningkat.

Produksi estrogen yang tinggi menyebabkan

perkembangan uterus, vagina, oviduk dan folikel- folikel meningkat, serta
meningkatkan suplai darah kedalam saluran alat kelamin (Elmer et al. 1981;
Salisbury dan Bagnara 1985). Pada akhir proses proestrus, estrus dimulai
(McDonald 1989). Fase ini merupakan aktivitas penerimaan seksual pada betina
(Elmer et al. 1981), dan lama pelayanan bervariasi (McDonald 1989).
Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa estrus ternak ditandai sebagai
periode dimana betina akan menerima dan diam untuk dikawini. Kejadian estrus
dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam menerangkan fisiologi kelamin dan
dapat digunakan sebagai titik permulaan dari suatu siklus berahi. Estrus pada
betina adalah fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi.
Ovulasi terjadi pada fase ini, CL (Corpus Luteum) mulai terbentuk pada saat LH
(Luteinizing Hormone) dari hipofisis anterior meningkat dan FSH menurun. Jika
hewan betina menolak untuk kopulasi meskipun tanda-tanda estrus terlihat dengan
jelas, maka penolakan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih
dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat.
Proses ovulasi merupakan suatu proses pelepasan sel telur dari folikel
yang matang atau folikel de Graaf. Menurut Frandson (1992) akibat pecahnya
dinding folikel maka cairan folikel dan ovum akan terlepas dan masuk ke dalam
rongga peritonial di daerah infundibulum tuba Fallopii. Ovum bersama sel-sel
kumulusnya akan terlontar keluar bersama dengan cairan fo likel. Ovulasi yang
terjadi pada ternak betina merupakan kejadian siklik dengan waktu interval

10

kejadian yang teratur kecuali ternak tersebut mengalami kebuntingan atau sedang
mengalami ketidaknormalan atau ketidakseimbangan hormonal serta sebab-sebab
patologik lainnya.
Metestrus adalah fase setelah ovulasi, dimana CL mulai berfungsi
(McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH (Luteotropic
Hormone) atau prolaktin dari hipofisis anterior. Metestrus ditandai oleh
terhentinya estrus yang sekonyong-konyong. Rongga folikel segera berangsur
mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina
melepaskan sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dan Bagnara
1985). Lamanya fase ini tergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior
mengsekresikan LTH (Elmer et al. 1981).
Diestrus adalah periode terakhir dari siklus estrus. Corpus luteum
berkembang dengan sempurna, dan pengaruh hormon progesteron tampak pada
dinding uterus (Salisbury dan Bagnara 1985). Perkembangan otot uterus dan
ukuran kelenjar terus meningkat. Kelenjar uterus mensekresikan cairan yang
kental untuk ketersediaan makanan bagi zigot (McDonald 1989). Jika terjadi
kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dan CL tetap
utuh. Kehidupan CL selama kebuntingan dipertahankan oleh LTH yang
disekresikan oleh plasenta.
Hafez (1993) menjelaskan bahwa secara morfologik proses ovulasi dapat
dijelaskan akibat menipisnya dinding folikel karena semakin bertambahnya cairan
folikel sehingga tidak terjadi vaskularisasi pada bagian yang semakin menipis dan
dinding folikel pada bagian tersebut pecah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh cairan
antrum folikel untuk menyusup masuk menggantikan tempat rupturnya sel-sel
granulosa. Akibat tekanan yang makin kuat, dinding folikel pecah sehingga cairan
antrum bersama ovum akan terlontar ke luar dan peristiwa ini disebut ovulasi.
Secara hormonal, ovulasi diawali dengan pelepasan LH oleh hipofisis anterior
yang mengakibatkan pembentukan PGF 2a (Prostaglandin F2a ) dan PGE2 oleh
stratum granulosum folikel de Graaf.
Selanjutnya PGE2 akan merangsang plasminogen aktivator dan PGF 2a .
menyebabkan peretakan lisosom pada apeks epitel. Terjadinya kedua faktor
tersebut diperkuat dengan adanya teka halogenase dan oedema pada folikel dan

11

menyebabkan terbentuknya stigma. PGF 2a menyebabkan konstriksi ovarium dan
folikel sehingga mengakibatkan pecahnya folikel dan terlontarnya oosit keluar
folikel (Toelihere 1985). Setelah proses ovulasi terbentuk CL pada bekas folikel
yang telah pecah dan mulai mensekresikan progesteron. CL terbentuk dari
diferensiasi sel-sel folikel preovulatoris setelah lonjakan pelepasan LH (Davis et
al. 1996). Selanjutnya Fortune (1993) menyatakan bahwa pada fase luteal inipun
tetap terjadi pertumbuhan folikel yang dapat mencapai folikel de Graaf akan tetapi
pertumbuhan folikel pada fase ini berlangsung lambat sehingga ukuran maksimal
seperti layaknya folikel de Graaf lambat tercapai.
Menurut Hafez (1993) terjadinya siklus estrus pada ternak merupakan
proses

interaksi

antara

hipotalamus

melalui

(Gonadotrophin

Releasing

Hormone/Gn-RHnya), hipofisis (dengan FSH dan LH), ovarium (estrogen,
progesteron dan inhibin) dan uterus (PGF 2a ). Interaksi kerja antara keempat organ
tersebut sangat erat kaitannya dengan hormon-hormon yang diproduksinya.
Hormon- hormon tersebut akan saling memberikan umpan balik, baik umpan balik
positif (positive feed-back mechanism) maupun negatif (negative feed-back
mechanism).
Perkembangan

organ-organ

reproduksi

termasuk

ovarium

sangat

dipengaruhi oleh sekresi GnRH dari hipotalamus. GnRH bertanggung jawab
dalam merangsang sekresi FSH dan LH dari hipofisis anterior. FSH sangat
diperlukan untuk perkembangan folikel pada ovarium melalui pertumbuhan selsel granulosa. Lo njakan sekresi FSH terjadi pada saat menjelang pertumbuhan dan
perkembangan suatu gelombang folikel, selanjutnya menurun kembali ke level
basal setelah folikel pada gelombang tersebut memasuki tahap seleksi. Pernyataan
ini dilandasi oleh hasil penelitian Gordon (1994) yang menyatakan bahwa
peningkatan sekresi FSH hanya terjadi pada saat menjelang pertumbuhan
gelombang folikel, dan 16 jam setelah terjadi pertumbunan folikel hormon
tersebut akan kembali pada konsentrasi basal. Di samping berperan dalam
pertumbuhan folikel, FSH juga selalu bekerja sinergik dengan estrogen untuk
merangsang peningkatan sensitivitas reseptor estrogen sehingga akan terjadi
rangsangan terhadap proliferasi sel-sel granulosa, peningkatan cAMP dan

12

merangsang reseptor LH menjelang terjadinya lonjakan sekresi LH untuk proses
ovulasi.
Mekanisme kerja FSH pada ovarium menurut McDonald (1989) diawali
dengan mengaktifkan reseptornya sendiri dan reseptor LH pada sel-sel granulosa.
FSH akan berikatan dengan reseptornya dan mengaktifkan enzim adenilatsiklase
sehingga terjadi peningkatan cAMP intraseluler. Peningkatan cAMP dapat
mengaktifkan proteinkinase yang akan berperan dalam merangsang sintesis
hormon steroid. Efek kerja cAMP diatur oleh fosfoprotein melalui perantaraan
reaksi fosforilase-defosforilase protein. Efek cAMP yang dikendalikan melalui
reaksi tersebut adalah proses sekresi, metabolisme protein dan lemak, induksi
enzim, pengangkutan ion dan pengaturan pertumbuhan dan pematangan serta
replikasi sel.
Hipofisis dapat pula menghasilkan LH disamping FSH, yang dapat
dikendalikan oleh hormon progesteron dan estrogen. Frekuensi pulsa LH
meningkat pada saat terjadi penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan
estrogen. Hormon estrogen berperan pula dalam merangsang ternak untuk
memperlihatkan atau mengekspresikan tingkah laku kawin pada ternak betina
sehingga ternak jantan atau inseminator dapat mengetahui gejala-gejala estrus dan
waktu kawin atau inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Antara LH
dan hormon estrogen terdapat mekanisme kerja yang saling merangsang. Sekresi
LH yang meningkat akibat penurunan kadar progesteron akan merangsang sekresi
estrogen melalui peningkatan pema tangan folikel de Graaf sebagai sumber
estrogen endogen. Selanjutnya estrogen dapat menimbulkan lonjakan sekresi LH
yang diperlukan untuk ovulasi dan mengawali pembentukan sel-sel luteal.
Setelah ovulasi, sel-sel theca interna dan sel-sel granulosa di bawah
pengaruh LH akan berkembang menjadi corpus luteum sebagai sumber hormon
progesteron (Toelihere 1985). Progesteron berperan mempersiapkan lingkungan
uterus untuk implantasi dan pemeliharaan kebuntingan melalui peningkatan
sekresi endometrium dan menghambat kontraksi miometrium. Konsentrasi
hormon progesteron sangat ditentukan oleh ukuran corpus luteum dan jumlah atau
kepadatan sel-sel luteal yang membentuk corpus luteum tersebut. Pada ternak
yang tidak bunting setelah dikawinkan atau diinseminasi, CL akan beregresi

13

(Elmer et al. 1981). Regresi CL (luteolisis) terjadi karena rangsangan bahan
luteolitik yang disekresikan oleh hipofisis anterior atau uterus tidak bunting yaitu
PGF 2a . Corpus luteum akan mengalami regresi atau lisis pada hari ke-17 sampai
hari ke-20 siklus estrus yang berakibat pada menurunnya konsentrasi progesteron.
Progesteron memainkan perana n utama dalam pengaturan respon
kekebalan uterus dimana induksi progesteron menghasilkan uterine milk protein
(UTMP) atau protein susu uterus yang menghambat aktivitas limfosit di dalam
uterus (Hansen 1997). Disamping itu progesteron mempunyai fungsi yang cukup
penting yaitu bekerja secara sinergis dengan estrogen untuk merangsang sekresi
alveoli dan pertumbuhan kelenjar mammae (McDonald 1989).
Siklus Estrus dan Profil Hormon Reproduksi pada Rusa Betina
Siklus estrus pada rusa betina seperti pada ruminansia lainnya selalu
dihubungkan dengan waktu pubertas. Pubertas pada rusa lebih berhubungan
dengan berat badan daripada umur. Sebagai contoh, rusa betina dapat kawin dan
bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Semiadi (1998) menyatakan bahwa
umur pubertas pada rusa betina dicapai pada umur 18 bulan, sedangkan
Takandjandji (1997) menyatakan pada umur antara 15 sampai 18 bulan rusa
betina akan mengalami pubertas dengan masa reproduksi aktif sampai 12 tahun.
Rusa timor sendiri akan mencapai pubertas pada umur 7 hingga 9 bulan dengan
awal waktu bereproduksi secara optimal pada umur 17 sampai 18 bulan.
Indikator seekor rusa betina estrus adalah ketika terlihat ada rusa jantan
yang mencoba mendekatinya pada jarak 10 sampai 15 meter dan mulai terlihat
keduanya beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi
betina tersebut dengan kelakuan yang makin agresif. Kelakuan ini biasanya
berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Betina estrus
juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut
terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang
berbau khas, kaki dan pantat digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu
diikuti pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urine betina tersebut. Seluruh
kelakuan estrus itu berlangsung lebih dari 24 jam, bahkan pada kasus yang
ekstrim mencapai 4 hari.

14

Sampai saat ini informasi panjang siklus estrus untuk rusa-rusa di
Indonesia masih sangat terbatas. Panjang siklus estrus pada rusa tropik berkisar
antara 10 dan 23 hari, yang paling pendek adalah pada rusa timor (10 - 18 hari)
dan paling panjang pada rusa totol antara 12 sampai 23 hari (Semiadi 1995).
Penelitian mengenai profil hormon reproduksi pada rusa tropik masih sangatlah
terbatas. Namun profil hormon ini selalu berhubungan erat dengan siklus musim,
berat badan, jumlah pakan yang diserap, tingkat metabolisme dan musim kawin.
Adam et al. (1985) telah mencoba mempelajari profil hormon progesteron
pada rusa merah betina selama musim kawin, bunting dan tidak estrus. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi hormon progesteron di dalam
plasma perifer pada tingkat basal selama masa laktasi dan tidak estrus bermusim
adalah < 1ng/ml, dan meningkat dengan cepat pada awal musim kawin, mencapai
lebih dari 1 ng/ml. Diduga pula bahwa ovulasi pertama terjadi pada hari dimana
konsentrasi progesteron meningkat di atas 1 ng/ml dan tetap dipertahankan selama
beberapa hari. Rata-rata lama siklus dari ovulasi pertama ke ovula si kedua adalah
21 ± 1,3 hari dengan puncak progesteron yang dicapai 4,5 ± 0,43 ng/ml sesudah
14,0 ± 0,8 hari. Indikator dimulainya periode estrus dan ovulasi kedua adalah
dengan menurunnya konsentrasi progesteron plasma di bawah 1 ng/ml (artinya
ovulasi dianggap

telah terjadi pada saat progesteron plasma rendah).

Progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan
kelenjar adrenal. Progesteron diangkut melalui peredaran darah karena ikatannya
dengan globulin dan pengaturan sekresi progesteron kemungkinan karena
rangsangan

LH

(Toelihere

1985).

Progesteron

mempunyai

peranan

mempersiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan
melalui peningkatan sekresi kelenjar endometrium dan menghambat motilitas
miometrium. Selain itu progesteron menghambat sel-sel limfosit yang dapat
menolak jaringan dan merupakan immuno supresif alami yang mencegah
penolakan maternal terhadap fetus (Hansen dan Liu 1996).
Pada ternak sapi, kadar progesteron tergantung pada ukuran besar CL atau
jumlah CL yang terdapat di dalam ovarium. Level progesteron sangat rendah (0,5
ng/ml) pada saat estrus dan menjadi 1 ng/ml pada hari ke-3 dan ke-4 siklus. Level
puncak menjadi 7 - 8 ng/ml pada hari ke-7 dan bertahan sampai hari ke-14 atau

15

selama fase luteal. Pada hewan yang tidak bunting level ini akan menurun secara
cepat setelah hari ke-16 sampai level basal akibat regresinya CL oleh PGF 2a yang
secara bertahap diproduksi uterus selama fase luteal. Level basal progesteron
dalam peredaran darah lebih rendah dari 1 ng/ml. Setelah perkembangan CL pada
awal fase luteal siklus, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml
dan selama kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml
atau lebih. Tingginya konsentrasi progesteron plasma pada fase luteal siklus dapat
menekan pelepasan LH yang berhubungan dengan pematangan folikel dominan.
Jika folikel dominan matang mencapai ukuran lebih besar dari 9 mm, sementara
konsentrasi progesteron plasma di atas 4 ng/ml, maka folikel dominan berangsurangsur hilang (atresia) dan terbentuk folikel baru. Ketika konsentrasi progesteron
plasma turun ke level sub- luteal (kurang dari 2 ng/ml), LH meningkat dan cukup
untuk memelihara pematangan folikel dominan, folikel dominan tetap bertahan
tanpa ovulasi (Anonimous 1996).
Stabenfeldt dan Edqvis (1997) menyatakan bahwa ukuran CL telah
mencapai maksimum pada hari ke-7 sampai hari ke-9 dengan ukuran 2,5 cm
bahkan sampai 3 cm. Toelihere (1985) menyatakan bahwa CL biasanya berukuran
1,9 sampai 3,2 cm dan CL kebuntingan serta CL matang pada setiap siklus estrus
berukuran berat 3 sampai 9 gram atau rata-rata 5 sampai 6 gram. CL dapat
bertahan pada ovarium 8 sampai 14 hari jika tidak terjadi kebuntingan, sedangkan
bila terjadi kebuntingan CL tetap berfungsi sampai akhir masa kebuntingan
(McDonald 1989).
Jika ovum tidak dibuahi, hewan tidak bunting, proses perkembangan
folikel, ovulasi dan pembentukan CL akan terjadi secara teratur. Umur CL
dibatasi oleh uterus yang pada hari- hari terakhir siklus pada hewan tidak bunting
memproduksi PGF 2a secara pulsasi kedalam versa uterus, lalu ditransfer ke arteri
ovari melalui mekanisme perembesan langsung. Di bawah pengaruh PGF 2a , CL
mengalami regresi dan produksi progesteron terhenti. Selain itu, PGF 2a akan
mengalami perubahan kimiawi dan fisik yang akan berakibat langsung dalam
pengurangan sintesis steroid yang berakhir dengan terjadinya luteolisis dan akan
mulai siklus estrus baru.

16

Stanbenfeldt dan Edqvist (1997) menyatakan bahwa PGF 2a sangat cepat
mengalami degradasi dan hancur menjadi metabolitnya. Oleh karena itu kadar
PGF 2a di dalam plasma darah diukur berdasarkan metabolitnya yaitu 13.14
dihidro-15 keto. Kerja PGF 2a endogen ini dapat ditiru dengan pemberian PGF 2a
eksogenus pada ternak selama pertengahan siklus baik secara intramuskuler
maupun intrauterin. Pemberian PGF 2a pada fase luteal dimana terdapat CL yang
aktif akan memperpendek siklus estrus.
Estrogen mempunyai banyak fungsi. Fungsi