Inseminasi Buatan dan Diagnosa Kebuntingan melalui Teknik Ultrasonografi dan Analisa Metabolit Hormon Progesteron pada Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi

INSEMINASI BUATAN DAN DIAGNOSA KEBUNTINGAN
MELALUI TEKNIK ULTRASONOGRAFI DAN
ANALISA METABOLIT HORMON PROGESTERON
PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis) HASIL SINKRONISASI

WITO PRAWIGIT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis Inseminasi Buatan dan
Diagnosa Kebuntingan melalui Teknik Ultrasonografi dan Analisa Metabolit
Hormon Progesteron pada Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi
adalah benar merupakan hasil penelitian saya sendiri dengan atas arahan komisi
pembimbing. Data dan sumber informasi yang digunakan dalam tesis ini telah
dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis serta dapat diperiksa kebenarannya. Tesis ini belum pernah diajukan dalam

bentuk apapun untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi sejenis
di Perguruan Tinggi lain.

Bogor,

Januari 2007

Wito Prawigit
NRP B 051040041

ABSTRAK
WITO PRAWIGIT. Inseminasi Buatan dan Diagnosa Kebuntingan melalui
Teknik Ultrasonografi dan Analisa Metabolit Hormon Progesteron pada
Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi. Dibimbing oleh:
TUTY LASWARDI YUSUF sebagai ketua, MOZES R. TOELIHERE (Alm)
dan AMROZI sebagai anggota Komisi Pembimbing.
Rusa timor (Cervus timorensis) adalah satwa yang dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu komoditas ternak baru. Keberadaan dan populasi rusa pada
berbagai tempat di Indonesia sangat bervariasi. Bahkan dari beberapa laporan
menyatakan populasi rusa dari waktu ke waktu menurun karena perburuan yang

dilakukan masyarakat.
Upaya pengembangbiakan rusa di luar habitatnya adalah dengan introduksi
teknologi inseminasi buatan (IB) menggunakan semen beku pada betina hasil
sinkronisasi. Di Indonesia standar keberhasilan IB pada spesies rusa belum ada.
Keberhasilan IB pada spesies kelompok cervidae masih rendah karena sedikitnya
informasi siklus reproduksi, waktu ovulasi dan manipulasi estrus pada rusa betina.
Hal ini berkaitan dengan waktu optimum inseminasi untuk keberhasilan
kebuntingan pada IB pertama.
Penelitian ini dilaksanakan di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta selama
satu tahun. Materi penelitian menggunakan enam ekor rusa percobaan berumur dua
sampai tiga tahun dengan dua perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan I adalah
waktu IB 24 jam (W1; n=3) dan perlakuan II dengan waktu IB 30 jam (W2; n=3)
setelah onset estrus. Kedua perlakuan IB tersebut menggunakan semen beku
dengan motilitas pasca thawing antara 30-40 %, dosis IB yang dipakai 150 juta
spermatozoa motil per straw.
Hasil pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG), dari kelompok rusa
perlakuan waktu IB 30 jam yang berintensitas sedang, menghasilkan satu ekor
bunting (33,33 %) jika dibandingkan dengan kelompok rusa waktu IB 24 jam
setelah onset estrus yang tidak menghasilkan kebuntingan. Dari hasil pemeriksaan
dengan USG, selanjutnya dilakuan analisa metabolit hormon progesteron (P4)

dengan pemgambilan contoh feses sebanyak 12 sampel dari enam ekor rusa. Hasil
uji immunoreaksi progesteron (iP4) menunjukkan tiga ekor rusa dinyatakan
bunting, yaitu satu ekor rusa bunting hasil IB dengan konsentrasi iP4 rata-rata
106,75±14,2 ng/ml dan dua ekor rusa bunting oleh jantan, masing-masing dengan
konsentrasi iP4 antara 53,13±13,25 ng/ml dan 42,5±5 ng/ml.
Hasil analisa iP4 yang diuji oleh Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta
menunjukkan metode yang dapat dilakukan untuk diagnosa kebuntingan secara non
invasif pada rusa timor dalam mendukung hasil pemeriksaaan dengan
menggunakan USG. Namun validasi independen harus dilakukan sebelum
diaplikasikan untuk kegiatan rutin.
Kata kunci: Inseminasi buatan, sinkronisasi estrus, diagnosa kebuntingan dan
rusa timor

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya

INSEMINASI BUATAN DAN DIAGNOSA KEBUNTINGAN

MELALUI TEKNIK ULTRASONOGRAFI DAN
ANALISA METABOLIT HORMON PROGESTERON
PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis) HASIL SINKRONISASI

Oleh

WITO PRAWIGIT

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Biologi Reproduksi
Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis


: Inseminasi Buatan dan Diagnosa Kebuntingan melalui Teknik
Ultrasonografi dan Analisa Metabolit Hormon Progesteron
pada Rusa Timor (Cervus timorensis) Hasil Sinkronisasi

Nama

: Wito Prawigit

NRP

: B 051040041

Disetujui :
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S.
Ketua

Dr. drh. Amrozi
Anggota


Diketahui

Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S.

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 31 Januari 2007

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Penulis mengucapkan segala puji dan syukur hanya untuk Allah Maha
Pencipta Alam Semesta dan semoga salawat dan salam dianugerahkan kepada

Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah

berkat Rahmat Allah SWT,

penulis

mendapat kesempatan untuk mengikuti Program Magister Sains di Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor dan telah menyelesaikan pendidikan, penelitian dan
penulisan tesis.
Tesis ini berisikan hasil penelitian tentang rangkaian kegiatan pelaksanaan
IB menggunakan semen beku. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan meliputi
rancangan pembuatan kandang percobaan, seleksi rusa berdasarkan status
reproduksi, adaptasi rusa terhadap lingkungan pemeliharaan dan pengamatan gejala
estrus alamiah. Berikutnya adalah pengamatan gejala estrus hasil sinkronisasi,
pelaksanaan IB dan pemeriksaan kebuntingan melaui teknik USG yang diperkuat
dengan analisa metabolit hormon progesteron.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang
terhormat Ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S sebagai ketua komisi pembimbing, yang
terhormat Bapak Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, M.Sc. (Alm) dan yang
terhormat Bapak Dr. drh. Amrozi sebagai anggota komisi pembimbing atas segala

arahan dan bimbingannya dari mulai persiapan, pelaksanaan penelitian sampai
dengan penulisan tesis sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan penulis dalam
berbagai hal yang terpapar dalam tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Pimpinan
Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, Program Studi Biologi Reproduksi SPs-IPB,
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP-FKH-IPB) pada Laboratorium
Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong Bogor dan Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta beserta staf atas
kesempatan dan segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan dan menyelesaikan penelitian serta kepada yang terhormat Kepala
Kantor Taman Margasatwa Ragunan Jakarta beserta staf yang telah memberikan
bantuan penelitian berupa hewan rusa timor percobaan dan fasilitas-fasilitas
pendukung lainnya sehingga penelitian berjalan sesuai jadwal.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak
Gubernur Jawa Barat, Sekretariat Daerah dan Kepala Biro Kepegawaian Provinsi
Jawa Barat, yang telah memberikan bantuan Beasiswa selama penulis sekolah pada
Program Pascasarjana IPB Bogor serta Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Barat yang telah memberikan izin Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dan kepada
yang terhormat Kepala Tata Usaha, para Kepala Bagian (Kepegawaian, Keuangan

dan Umum), para Kepala Sub Dinas (Perbibitan, Program, Pengembangan
Peternakan, Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner) serta para
Kepala Seksi beserta stafnya yang telah memberikan dukungan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman Sekolah
Pascasarjana di Program Studi Biologi Reproduksi pada Fakultas Kedokteran
Hewan IPB Bogor yang seangkatan 2004,

angkatan 2002,

angkatan 2003,

angkatan 2005 dan angkatan 2006 serta berbagai pihak yang penulis tidak dapat
sebutkan satu per satu atas bantuannya selama penelitian dan penyelesaian tesis.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih penulis memberikan karya tesis ini
kepada istri tercinta beserta putri-putriKu dan Ibu Risnawati S.Pd serta kakak
Toni Tjahyono B.Sc dan adik-adik serta keponakan atas semua rasa cinta,
bimbingan dan bantuan materi serta dorongan moril sehingga penulis dapat
menyelesaikan proses Pendidikan Pascasarjana IPB Bogor ini.
Akhir kata penulis berharap dari hasil penelitian ini dapat dikembangan
ilmu pengetahuan menjadi karya nyata dimasa mendatang dalam upaya

menciptakan satwa rusa sebagai komoditas ternak baru (budidaya) dengan sistem
perbibitan melalui sentuhan teknologi reproduksi (IB) pada aset Dinas Peternakan
Provinsi Jawa Barat khususya dan umumnya pada peternakan rusa eksitu
(penangkaran) maupun rusa milik masyarakat.

Bogor, Januari 2007

Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon Kota Udang Jawa Barat pada tanggal 12
Februari 1969 adalah putra kelima dari delapan bersaudara, ayah bernama Tirdja
(alm) dan ibu Suriyah (almh).
Pada tahun 1976 penulis masuk SDN Centre Tersana Baru Babakan
Cirebon dan lulus tahun 1982. Kemudian lulus SMPN I Ciledug Babakan Cirebon
tahun 1985. Selanjutnya lulus dari Sekolah Pertanian Pembangunan Sekolah
Peternakan Menengah Atas (SPP-SNAKMA) Cikole Lembang Bandung pada
tahun 1988.
Pada tanggal satu Desember 1989, penulis mulai bekerja sebagai tenaga
honorer di Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT)

Cikole Lembang pada Dinas Peternakan Propinsi DT I Jawa Barat dan diangkat
menjadi pegawai tetap (PNS) tahun 1994. Atas permintaan Kepala Sekolah, selama
bekerja di BPT–HMT Cikole penulis dari tahun 1994 menjadi staf pengajar SPPSNAKMA Cikole sampai Tahun Ajaran 2002.
Disamping bekerja, penulis melanjutkan ke program Diploma III pada
Akademi Medis Veteriner Puragabaya (AMVP) Bandung pada tahun 1990 atas
seizin Kepala BPT-HMT Cikole dan lulus tahun 1993. Dengan Surat Izin dari
Gubernur KDH Tk I Jawa Barat tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan lagi
ke tingkat Sarjana pada Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas
Bandung Raya (UNBAR) Bandung dan lulus tahun 1998.
Selain itu, pada periode tahun 1997-2002, penulis melalui SK Kepala Dinas
Peternakan Provinsi DT I Jawa Barat ditunjuk dalam Tim Counterpart (mitra kerja)
pada proyek Peningkatan Teknologi Sapi Perah kerjasama Japan International
Cooperation Agency (JICA) Jepang di Indonesia. Dalam proyek kerjasama JICA
Jepang-Indonesia, penulis diberi kesempatan mengikuti pelatihan Managemen
Kesehatan Reproduksi Sapi Perah di Jepang pada tahun 1998 selama 3 bulan (JuniSeptember). Masih dalam proses kerjasama JICA Jepang sedang berjalan, penulis
dipindah-tugaskan pada bulan April tahun 2001 dari UPTD BPPT Sapi Perah
Cikole ke UPTD BPPT Sapi Perah Bunikasih Cianjur.

Disela-sela pekerjaan, penulis menikah dengan Rine Emilia, A.Md.Pt pada
hari Senin, tanggal

sembilan Oktober tahun 2000 di Bandung. Empat tahun

kemudian, pada hari Rabu (wage) tanggal satu Agustus tahun 2001 dikaruniai
seorang putri bernama Thea Sagusti Praemiwigitlia dan pada hari Senin (pahing),
tanggal lima Januari tahun 2004 dikaruniai lagi seorang putri bernama

Rosalie

Yanurula Praemiwigitlia.
Pada tanggal dua Juli tahun 2002 (sesuai kebutuhan organisasi), penulis
melalui Surat Tugas dari Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
dimutasikan dari UPTD BPPT Sapi Perah Bunikasih Cianjur ke Sub Dinas
Perbibitan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat sampai dengan sekarang.
Kemudian pada bulan Oktober tahun 2003, penulis diberangkatkan ke Australia
yang ditunjuk sebagai Tim Selektor Bibit Sapi Potong Impor di Australia.
Selanjutnya pada tahun 2004, penulis mendapat kesempatan mengikuti seleksi
Program Tugas Belajar Unggulan Pemerintah Daerah Jawa Barat dengan pilihan
Sekolah Pascasarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor dan melalui
Surat Keputusan Gubernur Jawa barat Nomor 826.1/Kep.1169.A, penulis
ditetapkan sebagai Mahasiswa Tugas Belajar, tanggal 11 Oktober tahun 2004.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................

xiv

PENDAHULUAN......................................................................................
Latar Belakang ..............................................................................
Kerangka Pemikiran......................................................................
Tujuan Penelitian ..........................................................................
Kegunaan Penelitian .....................................................................
Hipotesis .......................................................................................

1
1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA............................................................................
Ciri dan Keunggulan Rusa Timor (Cervus timorensis).................
Anatomi Organ Reproduksi..........................................................
Organ Reproduksi Rusa jantan.........................................
Organ Reproduksi Rusa Betina.........................................
Pubertas.........................................................................................
Tingkah Laku Seksual.......................................................
Siklus Estrus pada Betina..............................................................
Periode Siklus Estrus........................................................
Sinkronisasi Estrus........................................................................
Intensitas Estrus.................................................................
Inseminasi Buatan ........................................................................
Diagnosa Kebuntingan..................................................................
Gelombang Ultrasonik............................................................
Pemeriksaan dengan Probe...............................................
Pemeriksaan Organ Reproduksi Betina ...........................
Pemeriksaan Ovarium ......................................................
Pemeriksaan Uterus...........................................................
Metabolit Hormon Progesteron...............................................

5
5
7
7
9
10
12
13
14
16
17
19
21
22
24
24
25
26
26

MATERI DAN METODE........................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................
Materi Penelitian...........................................................................
Hewan Percobaan.............................................................
Alat dan Bahan ................................................................
Pakan Rusa Percobaan......................................................
Metode Penelitian.........................................................................
Adaptasi Rusa Calon Percobaan ......................................
Perlakuan Sinkronisasi ....................................................
Pelaksanaan Inseminasi Buatan........................................
Diagnosa Kebuntingan......................................................

31
31
31
31
32
33
33
35
35
36
38
x

Peubah yang Diamati .......................................................

39

HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................

40

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
Simpulan ......................................................................................
Saran ............................................................................................

53
53
53

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

54

LAMPIRAN ..............................................................................................

61

xi

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya .................................

6

2

Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada beberapa
rusa tropis dan temperat .....................................................................

14

Lama kebuntingan dan calving interval pada rusa tropis dan
temperat ..............................................................................................

22

4

Gejala-gejala estrus sebagai parameter pada rusa betina ....................

35

5

Parameter gejala estrus pada rusa betina, dibagi ke dalam tiga
kriteria intensitas (rendah, sedang dan tinggi) ...................................

36

Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG terhadap onset estrus ...............................................................

42

Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan
PMSG terhadap lama estrus ...............................................................

43

8

Lama dan intensitas estrus setelah perlakuan .....................................

44

9

Inseminasi berdasarkan waktu IB dan kriteria intensitas estrus .........

44

10 Hasil pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya setelah IB......

46

11 Deteksi estrus dan gambaran hasil USG pada rusa 60 hari setelah
IB .........................................................................................................

47

12 Hasil analisa metabolit hormon progesteron pada rusa percobaan
tidak estrus dan rusa betina estrus .......................................................

49

13 Satu ekor bunting hasil pemeriksaan dengan USG, didukung dengan
analisa metabolit P4 .............................................................................

50

3

6
7

xii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Organ reproduksi rusa timor jantan .....................................................

8

2

Organ kelamin betina utuh ..................................................................

10

3 Model sistem refleksi pulsa (probe) ....................................................

24

4

Kandang kelompok percobaan untuk perlakuan proses adaptasi,
sinkronisasi dan pelaksanaan IB..........................................................

31

Adaptasi rusa betina percobaan dalam lingkungan kandang
kelompok.............................................................................................

32

Alat inseminasi yang digunakan dalam pelaksanaan IB rusa
Percobaan............................................................................................

33

7

Alur kegiatan pelaksanaan IB rusa timor ...........................................

34

8

Jadwal kegiatan pelaksanaan IB 24 jam (n=3) dan 30 jam (n=3)
hasil sinkronisasi berdasarkan onset estrus dan diagnosa
kebuntingan dengan teknik USG dan analisa metabolit hormon
progesteron..........................................................................................

37

(A) Probe yang digunakan diagnosa kebuntingan dengan cara
trans abdominal dan (B) alat USG (Aloka SSB 500).........................

38

10 Memasang CIDR-G pada rusa perlakuan menggunakan aplikator
dalam kandang jepit............................................................................

41

11 Hasil pemeriksaan dengan USG umur kebuntingan 60 hari
terdeteksi adanya cairan amnion dalam uterus...................................

47

5

6

9

xiii

LAMPIRAN
Halaman
1

Jadwal kegiatan pelaksanaan IB di Taman Margasatwa Ragunan
Jakarta Selama 12 bulan dari Desember 2005 sampai dengan
Desember 2006...................................................................................

61

Adaptasi rusa betina percobaan dalam lingkungan kandang
Kelompok............................................................................................

62

Pengamatan gejala estrus dari mulai CIDR-G dicabut sampai awal
muncul estrus (onset) dan lama berlangsung gejala estrus
sampai gejala estrus tidak tampak lagi (hilang) pada rusa timor
hasil sinkronisasi................................................................................

63

Inventarisasi gejala estrus yang ditampakkan oleh enam ekor
rusa betina perlakuan selama tiga hari berturut - turut dari jam
06.00 - 18.00 wib...............................................................................

64

Prosedur pelaksanaan IB, waktu 24 jam dan 30 jam setelah
onset estrus .......................................................................................

67

6

Hasil pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan USG..........

68

7

Hasil uji iP4 pada rusa percobaan tidak estrus dan rusa betina estrus
sebagai pembanding level progesteron ……………………………..

71

Hasil perhitungan konsentrasi hormon progesteron feses kering
dalam satuan ng/ml dikonversikan menjadi µg/g pada rusa tidak
estrus dan rusa estrus sebagai pembanding level P4...........................

72

2

3

4

5

8

xiv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan dan populasi rusa pada berbagai tempat di Indonesia sangat
bervariasi. Dari beberapa laporan menyatakan bahwa populasi rusa dari waktu ke
waktu terus menunjukkan tren menurun. Hal ini disebabkan karena masih banyak
dijumpai masyarakat melakukan perburuan untuk memanfaatkan dagingnya.
Disamping itu, disebabkan oleh kerusakan hutan yang mempersempit habitat
utama rusa.
Pengembangbiakan rusa di luar habitatnya yang dilakukan melalui
teknologi reproduksi disamping sebagai salah satu upaya untuk konservasi
mencegah kepunahan juga untuk meningkatkan pemanfaatan rusa sebagai ternak
harapan sumber protein hewani. Teknologi reproduksi yang praktis dan paling
populer diterapkan pada beberapa komoditas hewan domestik adalah inseminasi
buatan (IB). Penelitian mengenai penerapan teknologi reproduksi, khususnya IB
rusa di Indonesia masih dilakukan. Pada skala terbatas di Kalimantan Timur telah
diuji

coba

penerapannya

sebagai

proyek

percontohan

peternakan

rusa

(Semiadi 2002). Demikian juga penelitian mengenai prosesing semen untuk
ketersediaan semen beku guna kepentingan IB pada rusa belum banyak dilakukan.
Di Indonesia standar keberhasilan IB pada spesies rusa (cervidae) belum
ada, karena selain rusa merupakan komoditas ternak baru, juga masih sedikitnya
informasi tentang sifat fisiologis dan pola reproduksinya. Keberhasilan IB pada
spesies kelompok cervidae masih rendah karena informasi mengenai siklus
reproduksi, waktu ovulasi dan manipulasi estrus pada rusa betina belum memadai.
Selain itu belum diperoleh metode yang aman untuk koleksi semen, metode
penyimpanan semen, deposisi semen dan ketepatan waktu inseminasi pada saluran
organ reproduksi betina masih dikembangkan.
Dalam pelaksanaan IB diperlukan waktu optimum kawin yang dapat
ditentukan dari gejala estrus dan perkiraan waktu ovulasi. Untuk memperkirakan
waktu ovulasi pada rusa dilakukan dengan mengadopsi waktu ovulasi pada domba
(Plotka 1980), yaitu 14 jam setelah puncak luteinizing hormone (LH). Sementara
puncak LH

terjadi bersamaan dengan terjadinya puncak estrogen, sehingga
1

pelaksanaan waktu IB pada rusa dapat dilakukan 48 jam setelah pencabutan
implan CIDR-G (Controlled Internal Drug Release Goat).
Hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi IB pada rusa betina adalah
proses sinkronisasi estrus dengan menggunakan CIDR-G dan Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG).

Penggunaan CIDR-G dimaksudkan untuk

sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan menghambat pengeluaran LH
dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif. Keserentakkan
estrus dapat dicapai dengan memasukkan CIDR-G ke dalam vagina selama
14 hari. Dua hari sebelum pencabutan CIDR-G,

dilakukan penyuntikkan

intramuskuler dengan PMSG untuk menstimulir terjadinya folikulogenesis dan
pematangan folikel. PMSG memiliki aktivitas biologis menyerupai FSH (Follicle
Stimulating Hormone) dan LH, namun lebih dominan peranan FSH-nya.
Pemberian PMSG dimaksudkan untuk memperjelas pengaruh FSH dan LH
endogen dalam penyerentakan estrus apabila diberikan sebelum CIDR-G dicabut.
Penerapan teknologi IB pada rusa telah banyak dilaporkan dengan
berbagai metode, yaitu metode intravaginal, intraservikal dan intrauterin.
Inseminasi intraservikal dilakukan dengan menggunakan bantuan alat spekulum
untuk memudahkan melihat dan mengarahkan gun IB ke arah cervix. IB secara
intraservikal atau intrauterin menggunakan semen cair atau semen beku diperoleh
angka konsepsi kurang dari 30 % (Drajat 1997).
Pemeriksaan kebuntingan dini dapat dilakukan melalui teknik USG pada
umur kebuntingan kurang lebih tiga minggu. Pemeriksaan kebuntingan dapat juga
dilakukan uji hormon progesteron atau metabolitnya dalam feses, plasma darah
atau urin. Dalam mendiagnosa kebuntingan teknik USG pernah dilakukan pada
rusa fallow, rusa merah dan rusa totol dengan tingkat keberhasilan yang cukup
baik. Untuk memperkuat diagnosa dengan USG tersebut analisa metabolit hormon
progesteron (P4) dalam feses atau urin dapat dilakukan. Konsentrasi P4 kurang
dari 20 ng/ml dinyatakan tidak bunting, sedangkan lebih dari 20 ng/ml
menunjukkan kebuntingan (Anonimous 1996). Hamasaki et al. (2001) melaporkan
bahwa pada pertengahan dan akhir periode kebuntingan pada rusa sika (Cervus
nippon) dengan analisa feses steroid diperoleh konsentrasi progesteron meningkat
secara signifikan pada rusa bunting dibanding rusa tidak bunting.
2

Kerangka Pemikiran
Suatu keberhasilan dalam pelaksanaan IB pada rusa bergantung pada
intensitas estrus dan gejala estrus yang dapat dilihat dari luar. Selain itu adanya
gejala diam dinaiki oleh sesama betina merupakan gejala yang dapat diandalkan
untuk penentuan waktu IB. Namun demikian seringkali tidak ditemukan gejala
estrus yang optimal. Pemberian CIDR-G secara intravaginal dimaksudkan untuk
mensinkronisasi estrus antar betina perlakuan dan meningkatkan intensitas estrus
melalui mekanisme umpan balik negatif terhadap LH dari hipofisis anterior.
Pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan CIDR-G untuk memperkuat FSH
dan LH endogen, sehingga pada saat dilepas akan terjadi lonjakan LH. Dengan
demikian rusa-rusa betina perlakuan akan menampakkan gejaja-gejala estrus
secara bersamaan beberapa hari kemudian dan diharapkan mempunyai intensitas
estrus yang optimal. Disamping itu keberhasilan pelaksanaan IB, juga bergantung
pada proses adaptasi rusa terhadap lingkungan pemeliharaan.
Pemeriksaan kebuntingan setelah IB dapat dilakukan dengan teknik USG,
yaitu pada umur kebuntingan kurang lebih satu bulan dengan melihat keberadaan
cairan amnion dan fetusnya di dalam uterus. Selain itu diagnosa kebuntingan
dapat dilakukan dengan pengukuran konsentrasi metabolit hormon P4 pada umur
kebuntingan 120 hari setelah IB.
Analisa metabolit hormon P4 dari contoh feses lebih dipilih karena lebih
praktis dibandingkan dengan dari contoh urin. Untuk lebih pasti, maka
pengambilan feses dapat dilakukan pada perkiraan umur kebuntingan 120 hari
(trimester kedua) karena mudah dalam pendeteksian konsentrasi progesteron.
Garrott et al. (1998) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa untuk mendapatkan
hasil yang akurat dicoba membuat koleksi sampel untuk mendiagnosa kebuntingan,
yaitu dengan mengumpulkan 153 feses secara acak dari kijang betina dewasa di
Yellowstore National Park (Wyoming, USA) dan dari kijang tangkapan di Starkey
Research Facility (La Grande, Oregon, USA). Diperoleh hasil dari penelitiannya
dengan uji radio immunoassay (RIA) menunjukkan, bahwa rata-rata kurang lebih
50 progestagen (P4) meningkat secara signifikan pada kijang yang bunting
(2,96±1,49 µ/g) dibandingkan dengan kijang yang tidak bunting (0,43±0,26 µ/g).

3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk :
1.

Mendapatkan informasi bagaimana IB dilaksanakan pada rusa dengan
penentuan waktu IB yang lebih tepat.

2.

Mengetahui keberhasilan kebuntingan melalui gambaran USG dan analisa
metabolit hormon progesteron dari feces.
Kegunaan Penelitian

1.

Mendapatkan standar pelaksanaan IB pada rusa.

2.

Mendapatkan gambaran besarnya konsentrasi metabolit hormon progesteron
dari feses sebagai patokan hasil kebuntingan dibandingkan dengan yang
bersiklus atau tidak bunting.
Hipotesis

1. Intensitas estrus yang tinggi akan menghasilkan kebuntingan lebih baik
dibandingkan dengan intensitas estrus sedang.
2. Diperolehnya perbedaan persentase hasil kebuntingan oleh IB pertama
berdasarkan pelayanan waktu IB 24 jam dan 30 jam setelah onset estrus.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Ciri dan Keunggulan Rusa Timor
Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus, yaitu rusa timor

(Cervus

timorensis) dan rusa sambar (Cervus unicolor) dan satu dari genus Axis, yaitu rusa
bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik (asli) dan rusa totol (Axis axis) sebagai
jenis eksotik yang didatangkan dari Srilangka dan India (Sudirman 1986). Selain itu
ada satu jenis satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu
kijang (Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae
(Drajat 1994).
Ciri-ciri rusa timor adalah kulit berwarna coklat kemerah-merahan, rusa
jantan berwarna lebih gelap dan bulunya lebih kasar. Pada umumnya rusa betina
berwarna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap. Bobot badan rusa jantan dewasa
antara 60 kg dan 100 kg, panjang badan berkisar 1,95–2,10 m, tinggi badan
1,00–1,10 m dan tinggi tumit 0,29–0,35 m. Panjang tengkorak jantan 0,320–0,350
m dan betina 0,290–0,320 m. Panjang ranggah jantan dapat mencapai 0,87 m dan
ranggah bercabang sesuai dengan pertambahan umur. Drew et al. (1982)
melaporkan ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dengan ukuran kaki
lebih kecil, sedangkan Syarif (1974) menyatakan rusa timor betina mempunyai ciri
berbadan ramping dengan warna coklat keabu-abuan sampai coklat gelap, dengan
bobot badan rata-rata 45-60 kg.
Rusa secara umum tergolong hewan poliestrus bermusim, yaitu dalam satu
musim kawin dapat menunjukkan beberapa kali gejala estrus. Hanya dalam musim
kawin, rusa betina bersedia untuk kawin. Pola kawin bermusim ini terutama dikenal
pada rusa-rusa yang hidup pada lingkungan temperat atau sub tropis, karena aktivitas
reproduksinya berkaitan erat dengan fotoperioditas. Untuk rusa-rusa asal daerah
tropis, hasil penelitian awal menunjukkan aktivitas reproduksinya cenderung tidak
berhubungan dengan keadaan fotoperioditas (Semiadi 1993; Wilson 1984), sehingga
dapat dinyatakan tidak bermusim. Meskipun demikian, beberapa peneliti
melaporkan rusa sebagai hewan yang mempunyai musim kawin. Untuk rusa timor
di habitat alaminya di Indonesia gejala estrusnya terlihat antara bulan Juli sampai
September. Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi dan dapat hidup di
5

hutan-hutan yang lebat dan termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari.
Umumnya hidup menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam kelompokkelompok yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya.
Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau padang rumput dan hidup
sampai ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (der Zon 1979). Sebagai hewan
herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan; buah-buahan,
singkong, kulit pisang, jagung dan berbagai jenis rumput.
Keunggulan hewan rusa sebagai satwa liar lebih mudah diternakkan
dibandingkan dengan satwa liar lainnya. Menurut Badarina (1995), selain dapat
diternakkan dalam kelompoknya, rusa dapat juga dipelihara bersama ternak
kambing. Teknik beternak kambing ataupun domba, dapat juga digunakan untuk
pemeliharaan ternak rusa. Rusa mudah beradaptasi, menyukai rumput dan hampir
semua jenis daun-daunan. Dibandingkan dengan ternak ruminansia kecil lainnya,
rusa lebih tahan terhadap kekurangan air dan daya tahan rusa terhadap penyakit
sangat tinggi sehingga tingkat kematian sangat rendah.
Rusa sebagai ternak yang diharapkan mampu memproduksi daging dinilai
dari perbandingan berat karkas dan berat hidup. Karkas pada rusa lebih tinggi yaitu
sekitar 56–62 % dibanding dengan karkas sapi, yaitu sekitar 51–55 % dan domba
sekitar 44–50 % (Anderson 1984; Haigh dan Hudson 1993 dalam Subekti 1995;
Semiadi 1998b; Drew 1985; Sarwiyono 2000; dalam Nalley 2006). Selanjutnya
dikatakan Semiadi dan Nugraha (2004) bahwa dari segi kandungan gizi, daging
rusa timor tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan daging sapi, ayam dan itik
(Tabel 1).
Tabel 1 Nilai nutrisi daging segar dan perbandingannya

Rusa timor
Sapi
Ayam
Itik

Protein
(%)
24,5
18,3
18
18,3

Lemak
(%)
0,33
18,9
9
19

Abu
(%)
0,2
0,9
1,1
1,3

Kolesterol
(mg/kg)
74
95
90
70

Kalori/
100 g
545
217
129
-

Sumber: Anonimous 2002 dalam Semiadi dan Nugraha 2004.

Selain keunggulan-keunggulan tersebut di atas, kelebihan yang tidak
dimiliki pada ternak lain adalah kemampuan rusa menghasilkan ranggah velvet
6

(kulit halus pembungkus ranggah) pada awal pertumbuhannya. Ranggah velvet
adalah ranggah muda yang masih diselimuti oleh kulit halus berbulu dan vaskuler
yang fase pertumbuhannya belum memasuki fase klasifikasi (penulangan). Velvet
ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena kegunaannya dalam bidang
pengobatan tradisional. Fase ranggah velvet merupakan setengah dari fase
pertumbuhan ranggah sebelum menjadi keras. Di Cina, velvet telah dimanfaatkan
lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk pengobatan. Satu batang (stick) velvet
mempunyai fungsi yang berbeda antar bagiannya. Bagian atas velvet berguna untuk
bahan pemacu pertumbuhan (promote growth), bagian tengah digunakan untuk
pengobatan arthritis dan osteonyelitis, sedangkan bagian paling bawah digunakan
untuk pengobatan defisiensi kalsium terutama pada orang dewasa (Anonimous
2001 dalam Nalley 2006).
Anatomi Organ Reproduksi
Organ Reproduksi Rusa Jantan
Sebagaimana hewan mamalia pada umumnya, organ reproduksi jantan
mempunyai fungsi utama dalam menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa)
dan hormon kelamin jantan (testoteron). Steward (1983); Pramono (1988) dalam
Nalley (2006) memberikan gambaran tentang anatomi rusa jantan, khususnya pada
rusa merah. Anatomi organ reproduksi rusa jantan terbagi menjadi tiga bagian
utama, yaitu: (1) organ reproduksi primer berupa gonad jantan yang disebut testis,
orchid atau didimos, (2) organ kelamin pelengkap meliputi saluran-saluran kelamin
yang terdiri dari epididymis, duktus vas deferens, ampula vas deferens dan urethra;
kelenjar kelamin pelengkap (asesoris) meliputi; kelenjar prostat, kelenjar
vesikularis dan kelenjar bulbouretralis (cowper) dan (3) organ kelamin luar sebagai
alat kopulasi, yaitu penis dan skrotum sebagai pelindung testes.
Hasil penelitian Nalley (2006) memperlihatkan, bahwa ukuran organ
reproduksi rusa timor jantan relatif hampir sama dengan ukuran organ reproduksi
ternak domestik lainnya seperti domba dan kambing (Gambar 1). Perbedaan ukuran
organ reproduksi terutama pada testesnya, biasanya berhubungan erat dengan
produksi spermatozoa. Semakin besar ukuran testes diharapkan produksi
7

spermatozoa lebih tinggi. Kemiripan ukuran kelenjar kelamin pelengkap pada
domba dan rusa timor juga berhubungan erat dengan volume semen yang dihasilkan
pada umumnya sangat sedikit, karena fungsi dari kelenjar pelengkap adalah
menghasilkan plasma semen (Toelihere 1985) dalam Nalley (2006). Perbedaan
anatomis juga terlihat jelas pada organ reproduksi rusa jantan dengan tidak
terdapatnya lengkungan huruf S (flexura sigmoidea) pada bagian corpus penis yang
merupakan ciri khas ternak ruminansia pada umumnya. Haigh dan Hudson (1993)
dalam Nalley (2006) juga melaporkan tidak ditemukannya lengkungan huruf S pada
saluran reproduksi jantan khas dengan adanya siklus ranggah dan musim kawin.

Sumber: Nalley 2006.

Gambar 1 Organ reproduksi rusa timor jantan
Penis terdiri atas radix, corpus dan glans penis. Pada corpus penis
ruminansia umumnya ditemukan lengkungan berbentuk huruf S sebagai ciri khas
dari tipe penis fibroelastis (Hafez 1993). Pada rusa meskipun termasuk ruminansia,
laporan yang ada menyimpulkan hal yang berbeda. Haigh (1993) melaporkan
corpus penis rusa wapiti tidak memiliki flexura sigmoidea, sementara
Geisert (2005) menyatakan pada rusa merah ditemukan adanya lengkungan
huruf S tersebut.
8

Organ Reproduksi Rusa Betina
Secara umum anatomi organ reproduksi rusa betina mempunyai ukuran
yang hampir sama dengan domba dan kambing, terdiri atas satu pasang gonad
(ovarium), satu pasang tuba fallopii, satu pasang cornua uteri dan satu buah corpus
uteri, serviks, vagina dan vulva (Gambar 2A). Panjang total organ reproduksi rusa
timor mulai dari tuba fallopii sampai vulva antara 427,0 mm sampai 459,7 mm.
Dari hasil penelitian Nalley (2006), diperoleh berat rata-rata ovarium kanan
0,68±0,24 g, sedangkan ovarium bagian kiri mempunyai ukuran yang lebih berat
yaitu 0,94±0,34 g. Data ini menunjukkan bahwa ovarium bagian kiri lebih aktif
dibandingkan ovarium bagian kanan. Ovarium mempunyai fungsi utama sebagai
penghasil sel-sel kelamin betina, yaitu ovum dan sebagai penghasil hormon-hormon
kelamin betina adalah estrogen yang berfungsi menampakkan gejala estrus dan
progesteron dengan fungsi utama memelihara kebuntingan. Saluran reproduksi
betina dimulai dari vulva, vagina (alat kopulasi), serviks (tempat seleksi
spermatozoa dan pelindung uterus dari pengaruh luar), uterus (tempat
berkembangnya fetus) dan tuba fallopii (tempat terjadinya fertilisasi).
Tuba fallopii bagian kiri lebih panjang dibandingkan tuba fallopii bagian
kanan. Panjang tuba fallopii rusa timor bagian kanan adalah 15,57±1,00 cm,
sedangkan bagian kiri mempunyai panjang 16,67±2,48 cm. Saluran ini mempunyai
peranan penting dalam reproduksi, yaitu sebagai tempat terjadinya kapasitasi
spermatozoa, fertilisasi dan pembelahan embrio (Gambar 2A).
Uterus merupakan saluran reproduksi utama terbagi atas cornua, corpus dan
serviks (Gambar 2A). Rataan panjang cornua bagian kanan adalah 11,10±0,53 cm,
sedangkan bagian kiri 12,07±1,46 cm. Rataan panjang bagian corpus uteri pada rusa
timor 1,40±0,20. Melihat gambaran dan ukuran corpus uteri dari rusa timor ini jika
dibandingkan dengan ternak sapi, domba, babi dan kuda maka panjangnya mirip
dengan uterus kuda dan termasuk dalam tipe uterus bipartitus (Gambar 5B). Serviks
merupakan bagian leher uterus yang mengandung otot kunci dan terdiri atas
beberapa cincin anuler (Gambar 2B). Serviks rusa timor mempunyai panjang
5,67±1,20 cm dengan diameter luar 1,08±0,10 cm dengan jumlah cincin anuler pada
serviks terdapat 4–5 buah dan panjang vagina pada rusa timor adalah 18,2±0,85 cm
(Gambar 2B).
9

Sumber; Nalley (2006).

A

B

Gambar 2 Organ kelamin betina utuh: (A) ogan kelamin betina yang
dibuka pada daerah uterus dan serviks. (B) Ovarium (a), tuba
Fallopii (b), uterus (c), cincin anuler pada serviks (d) dan
vagina (e) rusa timor, bar = 1cm.
Pada rusa wapiti panjang cornua uteri 5-8 cm dengan corpus uteri kurang
dari 3 cm. Panjang serviks 10-15 cm dengan diameter 1,5-5 cm. Pada rusa merah
panjang cornua uteri dan corpus uteri sama dengan pada rusa wapiti, tetapi serviks
rusa merah lebih pendek, yaitu 5-7 cm dengan diameter yang lebih besar (2,3 cm)
dan jumlah cincin serviks yang ditemukan sama pada rusa wapiti maupun rusa
merah yaitu 4-6 buah (Haigh et al. 1993) dalam Nalley (2006).

Pubertas
Pubertas pada betina ditetapkan sebagai keadaan saat pertama kali
menunjukkan estrus disertai ovulasi. Umur betina pubertas mempunyai variasi yang
lebih luas dari pada berat badan pada saat pubertas, ini berarti bahwa berat badan
lebih berperan terhadap pemunculan pubertas dari pada umur. Hal ini ditunjang
adanya teori yang dikenal sebagai target weight theory, yaitu seekor ternak akan
mencapai pubertas atau aktivitas reproduksi dapat berlangsung secara normal jika
telah mencapai berat badan tertentu. Pubertas pada rusa seperti pada ruminansia
lainnya, lebih berhubungan dengan berat badan dari pada umur. Sebagai contoh,
rusa betina dapat kawin dan bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Pada rusa
betina, pubertas dicapai pada umur 1,5 tahun (Semiadi 1998b), 15 sampai 18 bulan
(Takandjandji 1997) dengan masa reproduksi aktif adalah sampai 12 tahun.
10

Pandangan praktis, bahwa baik betina maupun jantan telah mencapai
pubertas apabila ternak telah mampu melepaskan sel kelamin atau gamet dan
menampakkan tingkah laku seksual secara sempurna yang berlangsung berturutturut. Gejala-gejala ingin kawin (libido) pada rusa timor jantan adalah jika rusa
jantan dewasa selalu mengeluarkan suara dalam interval waktu tertentu terutama
pada waktu pagi dan sore hari sambil berendam di lumpur dan terkadang terjadi
juga pada malam hari. Berjalan dengan mulut mendatar, menegakkan kepala,
berdiri tegak sambil mengarahkan mulutnya ke rusa betina yang estrus, mengikuti
jejak rusa betina sambil membaui bekas urin yang dikeluarkan rusa betina tersebut.
Guinness et al. (1971) dalam Nelley (2006) melaporkan hasil pengamatannya
terhadap lebih dari 120 kejadian selama tiga tahun pada rusa merah, menunjukkan
besarnya variasi kelakuan estrus secara individual yang memungkinkan untuk
menggambarkan ciri-ciri utama kelakuan estrus rusa. Dikemukakan bahwa indikasi
seekor rusa betina estrus ada!ah ketika terlihat ada rusa jantan yang mencoba
mendekatinya pada jarak 10 sampai

15 meter dan mulai terlihat keduanya

beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi betina tersebut
dengan kelakuan makin agresif dan menunjukkan makin tinggi perhatiannya
terhadap betina, menggosokan gigi dan ranggahnya. Kelakuan ini biasa berlangsung
selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Sering terjadi perkelahian
antar pejantan memperebutkan betina estrus.
Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri,
kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih
dari vagina yang berbau khas, pantat dan kaki digerak-gerakkan ke depan dan ke
belakang, selalu diikuti oleh pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urin betina
tersebut. Betina estrus juga sering memperlihatkan kelakuan berdiri di belakang
betina lainnya sambil mencium ekornya. Jika ada dua ekor betina yang estrus
bersamaan, kadang-kadang mereka saling menaiki. Selama masa estrus seekor rusa
betina biasa dinaiki tiga sampai empat kali selama kurang lebih dua jam oleh seekor
pejantan sebelum terjadi ejakulasi, bahkan kadang-kadang seekor rusa betina estrus
bersedia menerima lebih dari satu pejantan. Seluruh kelakuan estrus itu berlangsung
lebih dari 24 jam, bahkan pada kasus yang ekstrim mencapai empat hari.
11

Rusa timor mencapai pubertas pada umur tujuh sampai sembilan bulan
dengan waktu awal bereproduksi secara optimal pada umur 16,5 bulan (17 sampai
18 bulan). Sedangkan rusa sambar mencapai umur pubertas sekitar delapan sampai
sembilan bulan dan menjadi fertil pada umur 12 sampai 14 bulan. Rusa bawean
mencapai pubertas pada umur 12 bulan bahkan ada yang mencapai 24 bulan.
Sementara itu untuk jenis rusa luar negeri yaitu rusa merah, umur pubertas rusa
jantan adalah 9 sampai 15 bulan dan menjadi fertil pada umur 16 bulan, sedangkan
umur dewasa kelamin rusa betina lebih dari 16 bulan (Lincoln 1971; dalam
Nalley 2006). Data umur pubertas jenis-jenis rusa di Indonesia masih sangat
terbatas, sehingga masih memerlukan pengamatan yang lebih intensif.
Tingkah Laku Seksual
Tingkah laku seksual menurut Hafez (1993) adalah beberapa variasi pola
tingkah laku dari percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan
untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya
menghasilkan keturunan. Sedangkan Keveme (1985) dalam Austin dan Short
(1985) menyatakan bahwa pengertian tingkah laku reproduksi sudah semakin
meluas tidak hanya fisiologik dan mekanisme endokrin, tetapi juga strategi dari
ternak untuk melakukan perkawinan pada kondisi alamnya. Tingkah laku seksual
tidak hanya menyangkut pada saat kopulasi dimana gamet jantan dideposisikan ke
saluran reproduksi betina tetapi juga bagaimana membawa hewan jantan dan betina
tersebut untuk bertemu, melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada
waktu yang optimal (Austin dan Short 1985).
Fenomena tingkah laku (behaviour) yang muncul akibat adanya rangsangan
(stimulus) yang dapat berasal dari dalam atau dari luar tubuh (Austine 1985).
Rangsangan dari dalam tubuh, berupa hormon yang dapat mempengaruhi tingkah
laku seksual, sedangkan rangsangan dari luar dapat berupa rangsangan penciuman
(olfactory), pendengaran (auditory), dan penglihatan (visual). Rangsangan
olfactory pada jantan sebagai contoh adanya pheromon yang dilepaskan oleh betina
yang estrus, akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina
(Becker et al. 1992).
12

Tingkah laku seksual pada jantan (libido) dapat dilihat dari keinginan
kawin, sedangkan pada betina dikenal dengan gejala estrus baik dari perubahan
alat kelamin dan tingkah laku estrus. Gejala estrus pada rusa timor betina telah
diteliti oleh Nalley (2006), terdapat tujuh gejala estrus setelah pencabutan implan
CIDR-G, yaitu: (1) tidak menolak saat didekati oleh keeper, (2) sering
mengeluarkan suara, (3) gelisah, (4) vulva terlihat merah, agak bengkak dan
basah, (5) tidak menolak jika punggung dipegang, (6) nafsu makan berkurang dan
(7) tidak menolak pada saat vulva dipegang.
Siklus Estrus pada Betina
Siklus estrus adalah jarak waktu yang terletak diantara dua saat estrus yang
berurutan pada ternak betina. Terdapat perbedaan panjang siklus antara rusa daerah
tropis dan daerah temperat, di mana pada rusa daerah tropis cenderung lebih pendek
dibandingkan dengan di daerah temperat (Semiadi 1995). Sampai saat ini informasi
panjang siklus estrus untuk rusa-rusa di Indonesia masih terbatas, namun untuk
beberapa jenis rusa di daerah remperat telah diketahui sangat bervariasi. Siklus
estrus terpanjang dilaporkan pada rusa Alces alces dapat mencapai 25 sampai 30
hari (Semiadi 1995) (Tabel 2). Siklus estrus paling pendek 9 sampai 12 hari pada
rusa Rein (Dott dan Utsi 1973; Pramono 1988 dalam Nalley 2006). Dari beberapa
penelitian diketahui lama siklus estrus rusa merah adalah 18-19 hari (Jopson et al.
1990; dalam Nalley 2006), Dama dama 24,2±1,3 hari (Asher 1985). Ropstad et al.
(1995) melaporkan rata-rata siklus estrus untuk rusa Rein semidomestik (Rangier
tarandus tarandus) di Norwegia adalah 19,4 hari (13-33 hari). Rusa timor di
Kaledonia Baru 68 % mempunyai panjang siklus estrus 16-18 hari dan 27 % selama
17 hari (Bianchi et al. 1994).
Dari data di bawah ini (Tabel 2), dapat dikemukakan bahwa lama siklus
estrus rusa berkisar antara sembilan hari (siklus pendek) dan 26 hari (siklus
panjang), bervariasi menurut jenis rusa, lingkungan maupun metode pengamatan
yang dilakukan. Sedangkan Guiness et al. (1971) dalam Nalley (2006)
mengemukakan, bahwa lama estrus rusa sering lebih dari 24 jam dan
Fennesy et al. (1985) melaporkan lama estrus rusa 12 sampai 14 jam. Namun
Rukman (1990) dalam pengamatan pada rusa bawean yang disuntik dengan
13

PGF2-alpha menunjukkan lama estrus mencapai lebih dari 24 jam. Perbedaan
lama estrus antara rusa tropis dan rusa temperat cukup lebar (Semiadi 1995).
Pada rusa tropis panjang siklus estrus antara 10 hari dan 23 hari yang paling
pendek pada rusa timor (10-18 hari) dan paling panjang pada rusa totol (12-23 hari)
(Tabel 2) (Semiadi 1995).
Tabel 2 Lama estrus (jam) dan panjang siklus estrus (hari) pada
beberapa rusa temperat dan tropis
Spesies

Lama estrus
(jam)

Panjang siklus estrus
(hari)

Temperat
Alces alces
Cervus elaphus
16-24
Odocoileus hemionus
Odocoileus virginianus 37,5-42,3
Rangiferus taradus
50
Dama dama
-

25-30
17,5-18,3
22-29
28
24
24-26

Tropis
Cervus eldi thamin
Axis axis
Cervus timorensis
Cervus unicolor

12-24
6-25; 48
-

19
12-23
10-18; 20-22
17

Sumber: Semiadi (1995).

Periode Siklus Estrus
Periode siklus estrus, yaitu estrus, metestrus, diestrus dan proestrus yang
berlangsug secara siklik dan berurutan. Kontrol reproduksi secara umum dan
aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam satu siklus estrus khususnya pada ternak
betina melibatkan sistem hormonal. Periode estrus ditetapkan sebagai periode
waktu ternak betina mau menerima pejantan dan akan berdiri diam

dinaiki.

Toelihere (1995) menyatakan periode ini pada ternak betina menghasilkan sel
telur yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat kaitannya dengan sistem
hormonal. Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologik pada
hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin.
Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan
jantan, courtship dan terjadinya kopulasi. Partodihardjo (1992) menyatakan,
bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana akan menerima dan diam
untuk dikawini. Kejadian estrus dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam
14

menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari
satu siklus estrus. Estrus pada betina merupakan fase yang sangat penting yang
ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL (corpus
Luteum) mulai terbentuk pada saat LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis
anterior meningkat dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) menurun. Apabila
hewan betina menolak untuk kopulasi walaupun gejala-gejala estrus terlihat
dengan jelas, maka penolakkan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina
masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat.
Proses ovulasi merupakan suatu proses pelepasan sel telur dari folikel
yang matang (de Graaf). Menurut Frandson (1992) akibat pecahnya dinding
folikel maka cairan folikel dan ovum akan terlepas dan masuk ke dalam rongga
peritonial di daerah infundibulum tuba fallopii. Ovum bersama sel-sel
kumulusnya akan terlontar keluar bersama dengan cairan folikel. Ovulasi yang
terjadi pada ternak betina merupakan kejadian siklik dengan waktu interval
kejadian yang teratur kecuali ternak tersebut mengalami kebuntingan, anestrus
(periode tidak bersiklus), induk pasca melahirkan dan ketidakseimbangan
hormonal.
Metestrus adalah periode awal sejak berakhirnya estrus atau fase setelah
ovulas