Pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak, Curcuma xanthorriza Roxb) pada berbagai masa tanam dan perlakuan budidaya tanam

1

POLA AKUMULASI KURKUMINOID RIMPANG INDUK
TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb) PADA
BERBAGAI MASA TANAM DAN PERLAKUAN
BUDIDAYA TANAM

M AGUNG ZAIM ADZKIYA

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITU T PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

2

ABSTRAK
M AGUNG ZAIM ADZKIYA. Pola Akumulasi Kurkuminoid Rimpang Induk
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam dan Perlakuan
Budidaya Tanam. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PK dan LATIFAH K

DARUSMAN
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) merupakan salah satu tumbuhan obat
suku Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan dipakai sebagai obat di Indonesia (Sidik
et al 1992). Kurkuminoid merupakan hasil metabolit sekunder yang berkhasiat
menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan
trigliserida darah, dan antibakteri. Penanaman temulawak dengan perlakuan budidaya
dan masa tanam yang berbeda bertujuan untuk mengetahui pola akumulasi kurkuminiod
rimpang induk temulawak.
Tanaman temula wak berumur 6 bulan dipanen dan dianalisis kandungan
kurkuminoid setiap bulannya sampai umur tanaman 10 bulan setelah penanaman.
Perlakuan pemupukan dibedakan menjadi 4 jenis yaitu PSB, BALITRO, BPTO, dan
LOKAL. Masing-masing perlakuan memiliki komposisi pupuk dan waktu pemberian
pupuk yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan kandungan kurkuminoid yang didapat
pada pengukuran kandungan kurkuminoid adalah peningkatan kandungan kurkuminoid
pada setiap bulannya. Kandungan kurkuminoid tertinggi dicapai oleh perlakuan
budidaya PSB yang dipanen pada bulan kesembilan yaitu sebesar 0.23 gram/rumpun
dan terendah pada perlakuan BALITRO pada bulan keenam sebesar 0.05 gram/rumpun.
Waktu aplikasi dan komposisi pemupukan tidak dapat dicerminkan dengan kadar
kurkumin. Hasil uji statistik kadar kurkumin pada berbagai komposisi pemupukan dan
waktu penanaman tidak berbeda nyata dengan masa tanam sampai bulan kedelapan dan

berbeda nyata pada bulan kesembilan. Sehingga kadar kurkumin tidak dapat
dicerminkan oleh waktu aplikasi dan komposisi pemupukan.

3

ABSTRACT
M AGUNG ZAIM ADZKIYA. Pattern acumulations curcuminoid mains rhizome
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) in planting period and cultivation. Under the
direction of EDY DJAUHARI PK and LATIFAH K DARUSMAN
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) representing one of plant medicine the
family Zingiberaceae which is a lot of growing and wearied as drug in Indonesia (Sidik
et al 1992). Curcuminoid represent the result of secondary metabolism which can
neutralize the poison, eliminating to feel the pain in bone joint, degrading rate of
cholesterol and triglyceride blood, and antibacteria l. Cultivation Temulawak with the
treatment and a period of planting different is to know the pattern accumulate the
curcuminoid rhizome of mains temulawak.
Temulawak plant at 6th month harvested and analyzed content curcuminoid every
month to 10th month after cultivation. Fertilization treatment differentiated to become 4
type that is PSB, BALITRO, BPTO, and LOKAL. Each treatment own the composition
fertilize and different manure gift time. Result of analysis show the content curcuminoid

got obstetrical measurement of curcuminoid is the make-up of content curcuminoid in
each its month. Highest content curcuminoid reached by treatme nt of cultivation PSB
harvested at ninth month that is equal to 0.23 weight/ rhizome and the lowest of
treatment BALITRO in sixth month equal to 0.05 weight/rhizome. Time of application
and fertilization composition cannot be mirrored with the rate curcuminoid. Result
statistical test rate curcuminoid at various composition of fertilization and cultivation
time do not differ the reality with a period of planting until eight month and differ the
reality in ninth month. So that rate curcuminoid cannot be mirrored by time of
application and fertilization composition.

4

POLA AKUMULASI KURKUMINOID RIMPANG INDUK
TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb) PADA
BERBAGAI MASA TANAM DAN PERLAKUAN
BUDIDAYA TANAM

M AGUNG ZAIM ADZKIYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

5

Judul Skripsi : Pola Akumulasi Kurkuminoid Rimpang Induk Temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam dan Perlakuan
Budidaya Tanam
Nama
: M Agung Zaim Adzkiya
NIM
: G44101055


Disetujui
Komisi Pembimbing

Drs. Edy Djauhari P.K., M.Si.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman
Anggota

Diketahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999

Tanggal Lulus :

6

Sesungguhnya shalatku, ibadatku,

hidupku, dan matiku hanyalah untuk AL L AH ,
Tuhan semesta alam

K arya ilmiah ini saya persembahkan untuk
almamaterku dan keluargaku

7

PRAKATA
Tiada kata terindah selain Alhamdulillahirobil’alamin sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW, dan juga kepada keluarga dan para sahabatnya.
Karya ilmiah yang berjudul Pola Akumulasi Kurkuminoid Rimpang Induk
Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam dan Perlakuan
Budidaya Tanam disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis di Desa
Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Ambarawa, Jawa Tengah dan dilanjutkan
analisis kimia di Laboraturium Pusat Studi Biofarmaka, Taman Kencana, Bogor dari
bulan September 2004 sampai November 2005.
Terima kasih penulis sampaikan untuk Bapak Drs Edy Djauhari PK,M.Si dan

Ibu Prof. Dr. Ir Latifah K Darusman selaku dosen pembimbing atas saran dan
perhatiannya selama penelitian sampai karya ilmiah ini selesai. Terima kasih kepada
Mbak Salina, Mas Fajar, Waras, Om Eman, anton, dan Pak Arya atas semua bantuan
yang diberikan selama penelitian ini berlangsung. Kepada staf Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka, staf Laboratorium dan tata usaha Biokimia dan juga para petani yang telah
membantu penalitian ini penulis juga mengucapkan terima kasih atas semua bantuan
yang diberikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, Arivia, Om Pof dan
seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang kepada penulis.
Kepada semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu penulis ucapkam terima
kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Januari 2006

M Agung Zaim Adzkiya

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Genteng Banyuwangi pada tanggal 22 Juli 1982 dari Ayah
Drs Dardiri dan Ibu Enny Sutatiningsih. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara.
Tahun 1988 penulis lulus dari TK ABA 9 Genteng, kemudian masuk SD Negeri
Genteng I dan lulus pada tahun 1994, selanjutnya masuk SMP Negeri I Genteng tahun
1994 dan lulus tahun 1997, dan masuk SMU Negeri I Genteng tahun 1997 dan lulus
tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Teknologi Sepuluh
November Surabaya. Akan tetapi satu tahun berikutnya penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor pada program studi Biokimia, Departemen Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (UMPTN).
Selama mengik uti kegiatan perkuliahan penulis aktif menjadi asisten praktikum
untuk mata kuliah Biologi Dasar, Kimia Dasar I, Kimia Dasar II, Kimia Organik TPB,
Kimia Organik II, Aplikasi Komputer, Kimia Bahan Alam, Biokimia dan terakhir
penulis dipercaya menjadi penanggung jawab praktikum untuk mata kuliah Kimia TPB.
Selain itu penulis juga aktif menjadi pengurus sekaligus manajer Laboratorium
Komputer Departemen Kimia dan juga aktif menjadi tutor pada berbagai program
pelatihan komputer untuk dosen maupun mahasiswa di Departemen Kimia.

9


PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Akumulasi Kurkuminoid
Rimpang Induk Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam
dan Perlakuan Budidaya Tanam adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.

Bogor, Januari 2006
M Agung Zaim Adzkiya
NIM G44101055

10

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
PENDAHULUAN ...............................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak.................................................................................................
Pupuk .........................................................................................................
Komposisi Kimia Temulawak....................................................................
Biosintesis Kurkuminoid............................................................................
Analisis Kuantitatif kurkuminoid ...............................................................

1
2
3
4
5

METODE PANELITIAN
Waktu dan Tepat Penelitian .......................................................................

Alat dan Bahan...........................................................................................
Metode ........................................................................................................

5
5
5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi umum ............................................................................................
Penentuan kadar kurkuminoid ....................................................................

7
8

SIMPULAN DAN SARAN................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 10
LAMPIRAN ........................................................................................................ 12

11

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Struktur kurkuminoid ....................................................................................

4

2

Biosintesis kurkuminoid ................................................................................

5

3

Grafik hubungan tinggi tanaman dengan masa tanam ..................................

7

4

Grafik hubungan diameter batang dengan masa tanam.................................

7

5

Grafik hubungan biomassa rimpang induk dengan masa tanam ...................

8

6

Persen rerata kadar air rimpang induk temulawak.......................................

8

7

Konsentrasi kurkuminoid rimpang induk basah temulawak.........................

8

8

Produktivitas kurkuminoid rimpang induk temulawak.................................

8

9

Regresi linier standar kurkuminoid ............................................................... 15

12

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Skema persiapan lahan................................................................................... 13
2 Skema penanaman temulawak....................................................................... 13
3 Skema pemupukan......................................................................................... 13
4 Skema pemeliharaan ...................................................................................... 14
5 Skema pemanenan.......................................................................................... 14
6 Preparasi bahan baku ..................................................................................... 15
7

Penentuan kadar kurkuminoid ....................................................................... 15

8 Rekapitulasi data pertumbuhan tanaman temulawak..................................... 16
9 Regresi linier standar kurkuminoid ................................................................ 16
10 Rekapitulasi data rimpang induk temulawak................................................. 17
11 Analisis sidik ragam biomassa rimpang induk temulawak............................ 17
12 Analisis sidik ragam kadar air rimpang temulawak....................................... 18
13 Analisis sidik ragam kandungan kurkuminoid temulawak............................ 18

13

PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan obat suku Zingiberaceae
yang banyak tumbuh dan dipakai sebagai obat di Indonesia (Sidik et al 1992). Temulawak diketahui
memiliki banyak manfaat antara lain sebagai antihepatitis, antikarsinogenik, antimikroba, antioksidan,
antihiperlipidemia, antiviral, antiinflamasi,
dan detoksifikasi (WHO 1999) . Selain itu, temulawak
merupakan sumber bahan pangan, pewarna, bahan baku industri seperti kosmetika), maupun dibuat
makanan atau minuman segar (Dalimarta 2000)
Tanaman menghasilkan metabolit yang berasal dari metabolisme primer dan metabolisme sekunder
selama pertumbuhan. Hasil metabolisme primer adalah senyawa-senyawa yang digunakan untuk
pertumbuhan seperti karbohidrat, lemak, da n protein. Senyawa-senyawa tersebut berada dalam jumlah
yang besar pada tanaman mengingat fungsinya yang pokok bagi tumbuhan. Senyawa-senyawa yang
termasuk hasil dari metabolit sekunder adalah kelompok senyawa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid.
Senyawa-s enyawa inilah yang digunakan oleh manusia sebagai obat. Metabolit tersebut tidak digunakan
bagi pertumbuhan tanaman, akan tetapi salah satu fungsinya yaitu sebagai pertahanan terhadap
mikroorganisme patogen dan juga terhadap herbivora maupun omnivora (H eldt 1997). Berdasarkan
fungsinya ini maka metabolit sekunder biasanya banyak dihasilkan tanaman pada saat kondisi lingkungan
pertumbuhannya tidak optimal (kondisi tanaman tercekam) atau pada saat ada ancaman yang mengancam
pertumbuhannya.
Komponen utama yang berkhasiat sebagai obat dalam rimpang temulawak adalah kurkuminoid dan
minyak atsiri yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman ini. Kurkuminoid memberikan
warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis (Suwiyah 1991). Zat ini berkhasiat
menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah,
antibakteri, dan sebagai antioksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya.
Sedangkan minyak atsiri pada temulawak berkhasiat sebagai cholagogum, yaitu bahan yang dapat
merangsang pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai penambah nafsu makan dan anti
spasmodicum, yaitu menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot (Liang et al 1985).
Menurut Sidik et al (1995) prod uksi rimpang dipengaruhi oleh tempat tumbuh. Pada dataran rendah
(240 meter di atas permukaan laut) produksi rimpang segar lebih tinggi. Kadar pati di dataran rendah
juga lebih tinggi dan kadar tersebut makin berkurang pada dataran tinggi. Sebaliknya kadar minyak atsiri
tertinggi diperoleh pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut.
Pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh iklim, media tanam, dan ketinggian tempat. Dengan
kondisi penanaman dan pemupukan yang berbeda sangat dimungkinkan akan menghasilkan senyawa
kurkuminoid dalam jumlah yang berbeda pula.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola akumulasi kurkuminoid pada tanaman temulawak
dengan taraf perlakuan budidaya dan berbagai masa tanam yaitu 6, 7, 8, 9, dan 10 bulan setelah
penanaman. Hipotesis penelitian ini adalah ketersediaan nutrisi atau pupuk di dalam tanah dan masa
tanam akan mempengaruhi pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak. Manfaat penelitian
ini adalah untuk memperoleh budidaya tanam temulawak yang efektif dan efi sien.

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb)
Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di Indonesia
temulawak dikenal dengan berbagai nama daerah, misalnya temulawak (Sumatra), koneng gede, temu
raya, temu besar, aci koneng, koneng tegel, temulawak (Jawa), temulobak (Madura), tommo (Bali),
tommon (Sulawesi Selatan) atau Ternate dengan nama karbaga (Dalimartha 2000).
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari sinar
matahari. Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu dan jati.
Meskipun demikian temulawak juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan.
Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah beriklim tropis. Suhu
udara yang baik untuk budidaya tanaman ini antara 19-30° (Afifah & Tim Lentera 2003). Tanaman ini
memerlukan curah hujan tahunan antara 1.500-4.000 mm/tahun. Temulawak dapat tumbuh di dataran
rendah dan tinggi, sampai ketinggian 750 meter di atas permukaan laut, bahkan Sudarman dan Harsono
(1980) menyatakan bahwa temulawak dapat tumbuh hingga ketinggian 1800 meter di atas permukaan

14

laut. Dengan perakaran yang dangkal, temulawak cepat menguruskan lapisan tanah atas. Walaupun
temulawak tidak terlalu memilih jenis tanah untuk tempat hidupnya, namun temulawak akan tumbuh
sangat baik pada tanah yang subur dan gembur (Djakamiharja 1985; Wahid 1985).
Temulawak merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi hingga lebih dari 1 m
tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan
bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai dengan bentuk bundar
memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang
daun 31-84 cm dan lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm. Daun termasuk tipe
daun sempurna, artinya tersusun dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun. Perbungaan lat eral,
tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9-23 cm dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung
banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih
berbulu, panjang 8-13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian
bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau
merah, panjang 1.25-2 cm dan lebar 1 cm (Sidik et al 1995).
Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah. Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang atau
umbi tinggal. Rimpang temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma
dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri dari rimpang induk (empu) dan rimpang
anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau coklat
kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga kecoklatan (Afifah & Tim Lentera 2003).
Dari rimpang induk ini keluar rimpang kedua yang lebih kecil. Arah pertumbuhannya kesamping,
berwarna lebih muda dengan bentuk yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan
tumbuh lebih dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan
rasanya pahit agak pedas (Afifah & Tim Lentera 2003).
Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan
tanah dengan kedalaman 5-8 cm (Wahid & Soediarto 1985). Pemanenan dilakukan dengan cara
membongkar rimpang dengan menggunakan garpu atau cangkul. Tanda tibanya panen adalah jika bagi anbagian tumbuhan yang ada di atas tanah sudah mulai mengering dan mati. Umur panen biasanya di atas 9
bulan (Wahid 1985).
Pupuk
Pupuk didefinisikan sebagai meterial yang ditambahkan ke dalam tanah atau tajuk tanaman dengan
tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara (Novizan 2002). Menurut Sarief (1986) pupuk adalah
setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah
unsur hara yang diperlukan tanaman. Pengertian lain dari pupuk adalah suatu bahan yang di berikan
sehingga dapat mengubah keadaan fisik, kimiawi, dan hayati tanah sehingga sesuai dengan tuntutan
tanaman.
Pemupukan adalah setiap usaha yang bertujuan untuk menambah persediaan unsur -unsur hara yang
dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan produksi dan mutu tanaman (Sarief 1986). Menurut
Poerwowidodo (1999) pemupukan adalah suatu tindakan menambah sejumlah unsur hara yang
dibutuhkan tanaman ke dalam tubuh tanah atau tanaman, karena keadaan unsur hara ditempat tumbuhnya
tidak mampu merangsang pertumbu han tanaman dengan memadai.
Novizan (2002) menjelaskan bahwa pupuk digolongkan menjadi dua jenis yaitu pupuk organik dan
pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari sisa-sisa makhluk hidup dan diolah
melalui proses pembusukan oleh bakteri pengurai maupun mikroorganisme pengurai lainnya. Pupuk
organik memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, tetapi dalam jumlah yang rendah. Sesuai namanya,
kandungan bahan organik pupuk ini termasuk tinggi. Pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat oleh
pabrik dengan cara meramu berbagai bahan kimia sehingga dapat memiliki persentase kandungan hara
yang tinggi. Pupuk anorganik banyak beredar dipasaran diantaranya pupuk urea yang sangat luas
penggunaanya pada bidang pertanian dan juga pupuk SP-36 dan KCl yang kurang luas penggunaanya.
Penambahan pupuk urea yang tersusun dari unsur Nitrogen sangat bagus untuk tanaman. Pupuk urea
di dalam tanah akan terurai menjadi nitrat (NO3-) setelah itu tanaman akan mengubah menjadi ion
amonium (NH4+ ). Amonium bersifat toksik dalam tanaman karena dapat menghambat pembentukan ATP
di kloroplas dan mitokondria, sehingga tanaman akan dengan cepat mengubah amonium menjadi bahan
organik berupa gugus amina dalam bentuk senyawa glutamin . Senyawa ini dapat membentuk glutamat,
aspartat dan asam amino yang lain (Heldt 1997). Asam amino sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam
berbagai keperluan antara lain untuk pembentukan protein, enzim, basa nitrogen dan zat-zat yang
berhubungan dengan senyawa nitrogen.

15

Pup uk SP-36 merupakan pupuk yang mengandung fosfor. Fosfor merupakan bagian esensial dari
gula fosfat yang berperan dalam nukleotida seperti RNA dan DNA, disamping itu fosfor merupakan
bagian dari fosfolipid membran dan berperan pula dalam metabolisme energi karena keberadaanya dalam
ATP, ADP, AMP, dan Pi. Bentuk fosfor diserap tanaman dalam bentuk H2 PO4¯ Diangkut ke seluruh
bagian tanaman melalui xilem tetap dalam bentuk H2P O4¯ . Interakasi yang antara Pi dengan adenosin
akan membentuk ATP, ADP, dan AMP (Heldt 1997). Hidrolisis bent uk tersebut akan memberikan energi
yang dapat digunakan tanaman untuk pertumbuhannya.
Penambahan unsur N dan P yang merupakan unsur hara makro untuk tumbuhan akan meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Jika tanaman semakin sedikit menyerap N dan P makan juml ah asam amino dan
energi yang dapat digunakan oleh tanaman untuk melakukan pertumbuhan akan terbatas. Sedangkan
penambahan pupuk kandang sangat baik untuk memperbaiki struktur tanah dan kesetimbangan hara
tanah. Penelitian yang dilakukan oleh Sutanto dan Utami (1995) pada lahan kritis dengan memanfaatan
beberapa jenis kompos untuk tanaman kacang tanah dan jagung ternyata diperoleh hasil yang lebih baik
daripada menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Komposisi Kimia Temulawak
Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan
baku obat dapat dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak
astiri (Sidik et al 1992).
Fraksi pati dalam rimpang temulawak merupakan fraksi dalam jumlah terbesar, berbentuk bubuk
warna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid, memiliki bentuk bulat sampai lonjong dengan
salah satu ujungnya persegi. Pati temulawak dapat dikembangkan sebagai sumber karbohidrat yang
digunakan untuk bahan makanan atau campuran bahan makanan (Dalimartha 2000) . Kadar pati dalam
rimpang temulawak bervariasi antara 48-54 % tergantung pada ketinggian tempat tumbuh, makin tinggi
tempat tumbuh, makin rendah kadar patinya (Sidik et al 1995). Suwiah (1991) menguraikan komposisi
rimpang temulawak seperti Tabel 1.
Fraksi kurkuminoid (C25 H3 2O3) merupakan komponen yang memberi warna kuning berbentuk serbuk
dengan rasa pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam glasial, alkohol hidroksida, memiliki aroma yang
khas, dan tidak bersifat toksik. Kurkuminoid rimpang temulawak terdiri dari desmetoksikurkumin dan
kurkumin (Gambar 1) . Hal ini berbeda dengan kandungan kurkuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma
domestica Vahl.) selain mengandung kedua komponen di atas, masih terdapat satu komponen lain yaitu
bisdemetoksikurkumin. Sifat menarik dari bisdesmetoksikurkumin ini adalah aktivitas kerjanya terhadap
sekresi empedu yang antagonis dengan kurkumin dan desmetoksikurkumin. Memperhatikan hal tersebut,
penggunaan rimpang temulawak sebagai sumber kurkuminoid lebih menguntungkan dibandingkan
dengan rimpang kunyit (tidak mengandung bisdesmetoksikurkumin) walaupun kandungan kurkuminoid
pada rimpang temulawak lebih rendah dari rimpang kunyit. Kandungan kurkuminoid dalam rimpang
temulawak kering berkisar 3.16 % sedangkan kandungan kurkuminoid rimpang kunyit sebesar 6.9 %.
Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak
Komponen
Besaran (%)
Pati
27,62
Lemak
5,38
Kurkumin
1,93
Serat kasar
6,89
Abu
3,96
Protein
6,44
Minyak atsiri
10,96
Sumber: Suwiah (1991). Berdasarkan rimpang kering dengan kadar air 10 %
OCH 3

O CH 3
OH

HO

O

OH

a

16

H

OCH3
OH

HO

O

OH

b
Keterangan:
a. Kurkumin
b. Desmetoksikurkumin
Gambar 1. Sruktur kurkuminoid
Temulawak merupakan salah satu tumbuhan yang rimpangnya mengandung minyak astiri dalam
kadar yang cukup besar yaitu berkisar antara 3-12 %. Kandungan minyak astirinya merupakan yang
paling tinggi diantara jenis Curcuma sp (Herman 1985). Minyak astiri berupa cairan berwarna kuning
atau kuning jingga, dan berbau aromatik tajam. Oei Ban Liang (1985) dengan menggunakan metode
kromatografi gas mendeteksi 31 komponen yang terkandung dalam temulawak. Beberapa di antaranya
merupakan komponen khas minyak astiri temulawak, yaitu isofuranogermaken, alloaromadendren,
trisiklin, germaken, dan xanthorrizhol. Minyak atsiri dari rimpang temulawak banyak digunakan sebagai
obat-obatan tradisional adalah xanthorrizol yang merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak.
Xanthorrizol ini secara efisien dapat menghambat infeksi pada gigi dan penyakit kulit. Dapat
dimanfaatkan pada berbagai produk misalnya digunakan sebagai agen antibakteri, pasta gigi, sabun,
pembersih mulut, permen karet, dan kosmetik yang memerlukan aktifitas antibakter i.
Biosintesis Kurkuminoid
Kurkuminoid merupakan senyawa golongan flavonoid apabila ditinjau dari struktur dasarnya.
Kurkuminoid merupakan turunan senyawa dari heptanoid dan ternyata senyawa yang paling sederhana
menunjukkan pola (3)5 oksigenasi pada rantai heptana dan 1,2 (6,7) ikatan tidak jenuh pada rantai yang
sama. Dari Pola tersebut menggambarkan bahwa biosintesis kurkumin melibatkan serangkaian reaksi
biokimiawi melalui jalur fenilpropanoid. Jalur ini merupakan jalur yang umum untuk pembentukan
senyawa-senyaw a metabolit sekunder khususnya flavonoid. Pra zat biosintesis flavonoid dihasilkan dari
jalur sikimat dan asam mevalonat (Markham 1988). Pra zat tersebut adalah asam amino fenilalanin.
Ketersediaan fenilalanin sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa nitrogen, air dan
karbondioksida sebagai senyawa pembangun asam amino. Air dan karbondioksida dapat langsung
diambil dari udara melewati daun maupun akar tanah tanpa mengalami perubahan struktur. Nitrogen tidak
dapat langsung diambil di udara dan harus melewati serangkaian proses fiksasi nitrogen dengan bantuan
beberapa bakteri yang bersimbiosis dengan akar tanaman tertentu. Jalur lain yang dapat dilakukan
tumbuhan yaitu menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat yang terdapat pada tanah. Kemudian diubah
menjadi NH 4+ di kloroplas dan diubah menjadi asam amino. Asam amino fenilalanin dibentuk melalui
lintasan sikimat (shikimate pathway ) yang merupakan prekursor yang luas digunakan oleh tumbuhan
bukan hanya sebagai pembangun asam amino bergugus aromatik saja tetapi juga sebagai prekursor untuk
lintasan fenilpropanoid seperti flavonoid dan lignin (Heldt 1997).
Menurut Rougley (1973) dan Manito (1981) jalur biosintesis fenilpropanoid pada suatu saat akan
mengalami percabangan ke arah jalur pembentukan lignin dan ke arah jalur pembentukan flavonoid.
Perbedaan kedua jalur tersebut terletak pada tahap substitusi cincin aromatis. Pada jalur lignin gugus
hidroksil akan diapit oleh gugus alkil. Sedangkan pada jalur flavonoid gugus hidroksil terletak
berdampingan dengan gugus alkil. Percabangan ini terjadi setelah pembentukan asam p-hidroksil kumarat
akibat adanya kerja berbeda dari dua macam isoenzim 4-kumarat CoA ligase, yaitu isoenzim 4-kumarat
CoA ligase-1 yang berperan pada jalur pembentukan lignin, dan isoenzim 4-kumarat CoA ligase-2 yang
berperan pada jalur pembentukan flavonoid (Gambar 2)
Analisis Kuantitatif Kurkuminoid
Analisis kurkuminoid dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu spektroskopi sinar tampak, titrasi
volumetrik, dan kromatografi. Metode spektroskopi sinar tampak dilakukan dengan dengan
menggunakaan
berbagai
pelarut
beberapa
diantaranya
adalah
asam

COOH

COOH

COOH

NH2
Fenilalanin

HO

Asam Sinamat

OCH3
HO

COOH

HO

H3 CO

COOH

HO
S.CoA

HO
Asam Ferulat

Asam Kafeat

O

COOH

H2 CoSCoA
OCH3

OCH3

HO

OCH3

OH
HO

O

COOH

O
O

OCH3

OCH3

HO

OH

O

OH

Gambar 2 Biosintesis kurkuminoid menurut Rougley (1973) dan Manito (1981)

18

asetat, aseton, etanol, metanol, etilasetat, dan tetrahirofuran. T etrahidrofuran digunakan sebagai
pengekstrak kurkuminoid yang paling baik jika dibandingkan dengan etanol, aseton, dan etilasetat. Hal ini
didasarkan penelitian oleh Batubara I et al (2004) yang melakukan pemisahan ekstrak temulawak
menggunakan kromatografi lapis tipis. Ekstrak tetrahidrofuran memunculkan 5 noda pada plat
kromatografi lapis tipis yang berarti memiliki jenis zat yang lebih banyak dibandingkan ekstrak etilasetat
yang hanya berjumlah 4 noda. Selain itu intensitas warna kurkuminoid terbentuk pada pelat kromatografi
lapis tipis pada ekstrak THF .

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2004 sampai bulan Oktober 2005 bertempat di Desa
Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dan dilanjutkan analisis kimia di
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Taman Kencana, Bogor.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, garpu, clurit, scrop, alat -alat kaca
(gelas piala, gelas ukur, pipet mohr, pipet volumetrik, pip et tetes, erlenmeyer, labutakar), eksikator,
evaporator, pisau pemotong, pemanas, alat ekstraksi, pengaduk, kontrol suhu, gilingan, dan
spektrofotometer.
Bahan-bahan yang digunakan adalah benih temulawak, pupuk kandang, pupuk SP-36, pupuk KCl,
pupuk urea, rimpang temulawak, metanol, tetrahidrofuran (THF), standar kurkuminoid, aquades, dan
bahan-bahan analisis lainnya.

Metode Penanaman
Teknik pelaksanaan Penanaman
Persiapan lahan. Persiapan lahan dilakukan meliputi pengolahan tanah, pembuatan guludan dan
pemeriksaan pengairan. Pengolahan lahan dilakukan dengan cara mencangkul dengan kedalaman 30 cm
sampai gembur. Kemudian pembuatan guludan dilakukan dengan memperkirakan jarak tanam yaitu
antara 40 -60 cm x 50-75 cm.
Penanaman temulawak. Persiapan penanaman temulawak diawali dengan persemaian bibit
temulawak. Bibit temulawak dibagi menjadi 4 jenis sesuai dengan perlakuan pemupukan yaitu BPTO,
Pusat Studi Biofarmaka (PSB), BALITRO, dan LOKAL. Pada semua perlakuan kecuali LOKAL
dilakukan persemaian bibit ± 3 minggu sebelum siap tanam. Sedangkan untuk LOKAL, bibit langsung
ditanam di lahan tanpa ada persemaian. Penanaman dilakukan dengan menanam 1 stek (2-3 tunas) pada
setiap lubang dan diberi mulsa jerami. Kemudian dilakukan penyulaman setelah umur 2 bulan setelah
tanam (BST) untuk semua perlakuan kecuali LOKAL.
Pemupukan. Pemupukan dibagi menjadi 2 bagian yaitu pemupukan dasar dan pemupukan susulan.
Pemupukan dasar dilakukan pada saat sebelum penanaman. Komposisi pemupukan berbeda untuk setiap
perlakuan. Pada perlakuan BPTO pemberian pupuk meliputi pupuk kandang 15 ton/ha dan SP -36 180
kg/ha, PSB pemberian pupuk meliputi pupuk kandang 15 ton/ha, SP -36 250 kg/ha, dan urea 70 kg/ha,
BALITRO pemberian pupuk meliputi pupuk kandang 15 ton/ha, SP -36 200 kg/ha dan KCl 200kg/ha, dan
untuk lokal pemberian pupuk hanya pupuk kandang 7 ton/ha. Pemupukan susulan dilakukan bervariasi
yaitu perlakuan BPTO diberikan pada umur 2 dan 4 BST meliputi urea 250 kg/ha dan KCl 150 kg/ha,
perlakuan P SB diberikan pada umur 4 BST meliputi urea 70 kg/ha, perlakuan BALITRO diberikan pada
umur 1, 2, dan 3 BST meliputi urea 70 kg/ha, dan LOKAL tidak dilakukan pemberian pupuk susulan
(lampiran 3).
Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi penyiangan, pembumbunan, pengguludan, dan pengendalian
organisme patogen tanaman. Penyiangan dilakukan setiap bulan mulai 1 bulan setelah tanam.

19

Pembumbunan dilakukan setiap bulan sejak 3 bulan setelah tanam. Pengguludan dilakukan khusus untuk
perlakuan PSB setiap bulan sejak 2 bulan setelah tanam.
Pemanenan. P emanenan dilakukan setelah temulawak berumur 6, 7, 8, 9, dan 10 bulan setelah tanan.
Pemanenan dilakukan dengan memperhatikan standar cara pemanenan temulawak. Pemanenan
dilakukan dengan cara penggalian rimpang temulawak dan diusahakan tidak melukai rimpang temulawak.
Pemilihan tanaman yang akan dipanen dilakukan dengan metode pengambilan acak.
Metode Analisis Temulawak
Preparasi Bahan Baku
Preparasi bahan baku dilakukan dengan cara rimpang temulawak yang sudah dipanen dilakukan
beberapa tahap preparasi awal meliputi pencucian dan penyortiran basah yaitu untuk memisahkan
rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa tanaman, dan gulma. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
setelah pencucian selesai, sampel ditempatkan dalam wadah yang bersih dan kering. Kemudian dilakukan
penimbangan bobot basah temulawak.
Perajangan rimpang dilakukan melintang dengan ketebalan 5 mm menggunakan pisau stainless steel.
Hasil rajangan ini dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °C sampai berbobot konstan. Rimpang kering ini
dihaluskan dengan menggunakan penggilingan dan disaring dengan ukuran 20-80 mesh.
Penentuan kadar Air
Botol timbang dikeringkan pada suhu 105 °C selama 30 menit lalu didinginkan di dalam eksikator
dan kemudian ditimbang. Sebanyak ± 3 g sampel ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105
°C sampai diperoleh bobot yang tetap. Setelah itu didinginkan dan ditimbang dengan neraca analitik,
pekerjaan tersebut dilakukan rangkap tiga. Kadar air dihitung dengan persamaan
Kadar air = (a-b)/a x 100%
a = bobot bahan sebelum dikeringkan
b = bobot bahan setelah dikeringkan
Analisis kurkuminoid
Preparasi standar kurkuminoid. Standar kurkuminoid dibuat dengan cara melarutkan standar
kurkumin dengan konsentarsi 1000 ppm dan kemudian dilakukan pengenceran hingga didapatkan
konsentarsi 1, 2.5, 5, 7.5, dan 10 ppm. Setelah itu dilakukan pengukuran serapan menggunakan
spektrofotometer denagn panjang gelombang 420 nm.
Penentuan kadar kurkuminoid temulawak. Sebanyak 0.3 g sampel kurkuminoid ditimbang,
kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Setelah itu ditambahkan tetrahidrofuran (THF) sampai
tanda batas dan disimpan selama 24 jam pada suhu kamar. Campuran dikocok secara periodik. Setelah 24
jam penyimpanan dilakukan supernatan temulawak diambil dan diencerkan hingga 100 kali dengan
volume 10 ml . Kemudian dikocok sampai larut sempurna dan larutan tersebut diukur serapannya pada
panjang gelombang 420 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi umum
Kegiatan di lapang dilaksanakan di kebun terbuka di Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah. Penanganan lahan dilakukan dengan cara pengolahan lahan, pengguludan, dan
pemeriksaan pengairan. Kemudian dilakukan penanaman dengan terlebih dahulu dilakukan persemaian.
Penyulaman dilakukan setelah 2 bulan setelah tanam.
Tinggi tanaman diukur mulai dari ujung pangkal bawah tanaman sampai dengan ujung daun
tertinggi. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa tinggi tanaman temulawak dengan perlakuan PSB
memiliki pertumbuhan yang terus meningkat sampai pad a masa akhir pengukuran. Untuk perlakuan
BALITRO dan BPTO memiliki kecenderungan peningkatan tinggi tanaman sampai bulan keempat, untuk
bulan kelima dan keenam memiliki kecenderungan konstan (Lampiran 8). Sedangkan untuk perlakuan

20

LOKAL memiliki kecenderungan meningkat sampai bulan kelima dan pada bulan keenam memiliki
kecenderungan menurun (G ambar 3). Perlakuan PSB memiliki pertumbuhan pesat pada bulan kelima
apabila dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu 234.56 cm.

Tinggi tanaman (cm)

250.00
200.00
BALITRO

150.00

BPTO
PSB

100.00

LOKAL
50.00
0.00
2

3

4

5

6

Bulan setelah tanam

Gambar 3 Grafik hubungan t inggi tanaman dengan masa tanam.
Pertumbuhan pesat dikarenakan pada bulan keempat perlakuan PSB ditambahkan pupuk susulan
sehingga mampu menaikkan tinggi tanaman. Perlakauan BPTO pada bulan kelima tidak mengalami
peningkatan tinggi tanaman meskipun dilakukan pemupukan susulan. Hal ini dikarenakan mungkin
penambahan pupuk susulan melebihi daya serap tanaman sehingga tidak dapat diserap dengan baik oleh
tanaman.
Diameter tanaman diukur pada bulan kedua sampai dengan bulan keenam. Dari hasil pengukuran
didapatkan kecenderungan peningkatan diameter tanaman sampai pada bulan keempat sedangkan pada
bulan kelima dan keenam memiliki kecenderungan penurunan (G ambar 4). Pemupukan susulan yang
dilakukan pada perlakuan BPTO dan PSB pada bulan keempat tidak berpengaruh pada diameter tanaman
karena pada satu bulan setelah pemupukan atau bulan kelima terjadi penurunan diameter tanaman. Hal ini
terjadi karena pada bulan kelima daun terluar telah mengalami kekeringan sehingga tidak dilakukan
pengukuran pada daun yang telah kering .
Pertambahan tinggi dan diameter tanaman terjadi akibat adanya pembelahan dan perpanjangan sel-sel
jaringan meristematik pada titik tumbuh batang. Pembelahan sel memerlukan karbohidrat sebagai sumber
60.00

Diameter batang

50.00
40.00

BALITRO
BPTO

30.00

PSB

20.00

LOKAL

10.00
0.00
2

3

4

5

6

Bulan setelah tanam

energi yang cukup untuk membentuk dinding
G ambar 4 Grafik hubungan diameter batang dengan masa tanam.
sel dan protoplasma. Kecepatan pembelahan sel bergantung pada ketersediaan karbohidrat yang
dihasilkan dari fotosintesis (Harjadi, 1979; Edmond et al., 1983). Hal ini akan berpengaruh pada
biomass a rimpang temulawak. Dari hasil penimbangan biomassa rimpang induk temulawak perlakuan
BALITRO memiliki suatu kecenderungan lebih tinggi daripada perlakuan yang lain sampai pada 9 bulan
setelah tanam dan pada bulan 10 setelah tanam terjadi penurunan biomassa rimpang (Gambar 5).
Sedangkan untuk perlakuan LOKAL memiliki biomassa rimpang induk temulawak paling rendah apabila
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Setelah dilakukan uji statistik didapatkan hasil biomassa
rimpang induk temulawak tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pemupukan yang berarti pemberian
pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap biomassa rimpang induk temulawak (Lampiran 11).
Setelah itu dilakukan penimbangan bobot basah rimpang temulawak dan dilakukan pengeringan
menggunakan oven lampu listrik dengan temperatur 60 °C. Hal ini dilakukan agar minyak atsiri
temulawak tidak menguap bersama dengan air pada saat pengeringan ini. Pemilihan metode pengeringan
menggunakan lampu listrik ini didasarkan pada sifat fotosensitif senyawa kurkumin terhadap cahaya
matahari atau dengan kata lain struktur kurkumin akan terdegradasi apabila terkena cahaya matahari

21

(Tonnesen dan K arlsen 1985). Lama pengeringan menggunakan oven lampu listrik ini memakan waktu 23 hari.
Setelah rimpang temulawak kering (simplisia).dilakukan penyimpanan dengan menggunakan
kantong plastik kedap udara agar tidak terjadi perubahan kadar air maupun sifat bahan apabila disimpan
dalam waktu yang lama.
Kadar air pada bulan ke 6 berkisar antara 87.86 % sampai dengan 89.39 % dan mengalami
penurunan setiap bulannya (Gambar 6). Nilai kadar air terendah pada bulan ke 10 sebesar 73.53 % pada
Bobot(gram/rumpun)

300
250
BALITRO

200

BPTO

150

PSB

100

LOKAL

50
0
6

7

8

9

10

Bulan setelah tanam

% kadar air

Gambar 5 Grafik hubungan biomassa rimpang dengan masa tanam.
90.00
88.00
86.00
84.00
82.00
80.00
78.00
76.00
74.00
72.00
70.00

BALITRO
BPTO
PSB
LOKAL

6

7

8

9

10

Bulan setelah tanam

Gambar 6 Persen rerata kadar air rimpang temulawak.
perlakuan LOKAL dan ter besar pada perlakuan PSB sebesar 73.88 % (Lampiran 10).
Setelah dilakukan pengujian statistik didapatkan hasil analisis kadar air setiap bulan tidak berbeda
nyata terhadap perlakuan pemupukan yang berarti pemberian pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap
kadar air rimpang temulawak (Lampiran 12). Nilai kadar air yang mengalami penurunan ini seiring
dengan berkurangnya jumlah air yang diserap oleh tanaman temulawak dikarenakan musim kemarau
yang datang pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober pada saat pemanenan dilakukan.
Penentuan kadar kurkuminoid
Analisis kadar kurkuminoid dilaksanakan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 420 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang maksimum yang
diserap oleh kurkuminoid. Pengukuran sampel rimpang temulawak dilakukan pengenceran 100 kali dari
konsentasi semula karena absorbansi dari sampel tidak masuk dalam jarak ( range ) dari standar antara 1
sampai dengan 10 ppm. Konsentrasi kurkuminoid sampel rimpang temulawak didapatkan dengan cara
menghitung menggunakan kurva standar (Lampiran 9) .
Setelah dilakukan konversi terhadap bobot basah didapatkan hasil kandungan kurkuminoid rimpang
induk temulawak. Konversi terhadap bobot basah ini bertujuan untuk mengetahui kandungan
kurkumi noid rimpang induk pada saat basah atau belum dikeringkan. Kandungan terbesar kurkuminoid
pada bulan kesembilan untuk perlakuan PSB (0.23 gram/rumpun), LOKAL (0.22 gram/rumpun) , dan
BALITRO (0.21 gram/rumpun. Sedangkan untuk perlakuan BPTO pada bulan kesepuluh masih
mengalami kecenderungan peningkatan kandungan kurkuminoid. Produktivitas kurkuminoid merupakan
kemapuan tanaman temulawak dalam memproduksi kurkuminoid. Produktivitas terbesar dicapai pada
perlakuan BALITRO (0.57 gram/rumpun) pada bulan kesembi lan dan terkecil pada bulan keenam pada
perlakuan LOKAL (0.07 gram/rumpun .
Bulan keenam merupakan bulan pertama masa panen temulawak. Pada bulan ini batang dan daun
tanaman temulawak terlihat hijau tanpa ada tanda -tanda kekeringan. Dari pengamatan yang dilakukan
terhadap rimpang induk temulawak perlakuan BALITRO memiliki keunggulan dibandingkan dengan
perlakuan yang lain. Kelebihan ini berupa biomassa rimpang induk paling tinggi diantara semua
perlakuan. (lampiran 9). Biomassa rimpang induk yang tinggi tidak berpengaruh terhadap kandungan
kurkuminoid. Kandungan kurkuminoid
terbesar terdapat pada perlakuan
PSB sebesar 0.10

22

gram/rumpun, kemudian BPTO 0.0 9 gram/rumpun, LOKAL 0.06 gram/rumpun, dan terkecil pada
BALITRO sebesar 0.05 gram/rumpun(Gambar 7) . Apabila dihitung berdasarkan produktivitas rimpang
induk terhadap kurkuminoid setiap rumpun, perlakuan PSB memiliki produktivitas yang paling tinggi
jika dibandingkan dengan perlakuan lain (G ambar 8). Setelah dilakukan uji statistik didapatkan hasil tidak
berbeda nyata sehingga perlakuan pemupukan pada bulan ini tidak berpengaruh terhadap kandungan
kurkuminoid.
Pada bulan ketujuh terjadi kecenderungan peningkatan kandungan kurkuminoid rimpang temulawak
kecuali pada perlakuan PSB terjadi penurunan kandungan kurkuminoid. Kecenderungan ini juga terjadi
pada produktivitas kurkuminoid. Produktivitas kurkuminoid tiap rumpun meningkat untuk perlakuan
BPTO (0.26 gram/rumpun), BALITRO (0.21 gram/rumpun), dan LOKAL (0.21 gram/rumpun) akan
tetapi menurun untuk perlakuan PSB (0.18 gram/rumpun). Pada bulan ini perlakuan PSB, BALITRO, dan
BPTO telah mengalami kekeringan pada bagian tanaman yang berada di atas tanah,
konsentrasi (gram/rumpun

0.2500
0.2000
BALITRO
0.1500

BPTO
PSB

0.1000

LOKAL
0.0500
0.0000
6

7

8

9

10

Bulan setelah tanam

kurkumin (gram/rumpun)

Gambar 7. Konsentrasi kurkuminoid rimpang induk basah temulawak.
0.7000
0.6000
0.5000

BALITRO
BPTO
PSB
LOKAL

0.4000
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
6

7

8

9

10

Bulan setelah tanam

Gambar 8 Produktivitas kurkuminoid rimpang induk temulawak.
sedangkan pada LOKAL tidak mengalami kekeringan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penambahan
pupuk yang menyebabkan pertumbuhan tanaman dipercepat dan berakibat masa tanam yang semakin
singkat.
Pada kedelapan bagian atas tanaman telah mengalami kekeringan dan mati sehingga menyulitkan
dalam pengambilan sampel. Pada bulan ini terjadi peningkatan kandungan kurkuminoid dibandingkan
dengan bulan ketujuh maupun keenam yang mungkin diakibatkan oleh berkurangnya jumlah air yang
diserap oleh tanaman meskipun tidak ada pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi terdapat kecenderungan
yang berbeda untuk produktivitas kurkuminoid. Produktivitas kurkuminoid bulan ini mengalami
penurunan untuk perlaku an BPTO, PSB, dan LOKAL sedangkan untuk BALITRO terus mengalami
kecenderungan peningkatan sebesar 0.27 gram/rumpun menjadi 0.57 gram/rumpun. Hal ini terjadi karena
pada bulan ini biomassa rimpang induk temulawak juga mengalami penurunan yang berakibat pada
penurunan produktivitas kurkuminoid.
Pada bulan kesembilan tidak terlihat penampakan bagian atas tanaman temulawak yang disebabkan
telah matinya tanaman temulawak dan membusuknya batang dan daun. Tetapi pada bul an ini terjadi
peningkatan kadar kurkuminoid pada semua perlakuan yang bervariasi antara 0.07 gram/rumpun sampai
dengan 0.11 gram/rumpun. Hal ini disebabkan karena pada bulan ini kadar air menurun drastis apabila
dibandingkan pada bulan sebelumnya yang memungkinkan sintesis kurkuminoid terjadi pada saat
tanaman temulawak mengalami kekurangan air mengingat kurkuminoid merupakan senyawa hasil
metabilit sekunder. Pada bulan ini produktivitas kurkuminoid tiap rumpun juga mengalami peningkatan
setelah pada bulan kedelapan mengalami penurunan. Perlakuan BALITRO memiliki produktivitas
tertinggi sebesar 0.57 gram/rumpun dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Akan tetapi apabila dilihat
dari penggunaan pupuk perlakuan ini banyak menggunakan pupuk sehingga kurang efektif. Hal yang
sama juga terjadi pada produktivitas BPTO yang lebih rendah dari pada LOKAL. Naiknya kandungan
maupun produktivitas kurkuminoid ini merupakan puncak dari peningkatan keduanya karena pada bulan

23

kesepuluh kandungan maupun produktivitas kurkuminoid mengalami penurunan kecuali pada perlakuan
BPTO yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat.
Waktu aplikasi dan komposisi pemupukan tidak dapat dicerminkan dengan kadar kurkuminoid secara
keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari kandungan kurkuminoid yang hampir sama dengan perlakuan
kontrol atau LOKAL. Uji statistik memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap bulan
kecuali bulan kesembilan. Sehingga memperkuat dugaan bahwa metabolit sekunder hanya diproduksi
pada saat tumbuhan terdesak atau lingkungan tumbuh tidak menguntungkan (Heldt 1997).
Ketersediaan pupuk denga n terus menerus dijaga keberadaanya juga tidak dapat meningkatkan
kandungan kurkuminoid pada bulan-bulan awal pemanenan. Pada bulan awal pemanenan yaitu bulan
keenam dan ketujuh perlakuan BALITRO yang memiliki kandungan kurkuminoid rendah dan sebaliknya
tanpa adanya pemupukan atau dengan pemupukan standar terjadi kenaikan akumulasi kurkuminoid yang
terjadi pada perlakuan pemupukan LOKAL.

SIMPULAN DAN SARAN
Komposisi dan waktu aplikasi pemupukan tidak mempengaruhi kadar kurkuminoid yang signifikan.
Sedangkan masa tanam akan berpengaruh signifikan terhadap kandungan kurkuminoid temulawak.
Perlakuan budidaya yang baik untuk memperoleh produktivitas terbesar adalah perlakuan budidaya
BALITRO, sedangkan umur panen yang baik adalah pada umur 9 bulan setelah tanam.
Sebagai saran perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh pemupukan secara
parsial pada masing-masing pupuk anorganik dan distribusi kurkuminoid pada rimpang temulawak.

DAFTAR PUSTAKA
Afifah E, Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Anang SF R. 1992. Pengaruh Curcuma Komplek Plus terhadap kerusakan hati mencit yang diinduksi
dengan karbon tetraklorida [skripsi]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Padjadaran.
Batubara I, Yusnira, Darusman KL. 2004. Penentuan kadar kurkuminoid pada temulawak menggunakan
metode spektroskopi dan kromatografi cair kinerja tinggi. Di dalam: Seminar Nasional Hasil
Penelitian MIPA 2004; Semarang: FMIPA Universitas Diponegoro. Hlm 57-60
Dalimarta S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Trubus agriwidya.
Darwis SN, Hiyah S, Madjo Indo ABD.1991. Tumbuhan Obat Famili Z ingeberaceae. Bogor: Pusat
Pengembangan Tanaman Industri.
Iswadi Y. 2004. Studi pengaruh dosis pupuk kandang ayam dan larutan NaCl terhadap pertumbuhan,
hasil, dan kualitas tanaman seledri (Apium graveolens .L.) yang ditanam dengan teknik vertikultur.
Bogor: Budidaya P ertanian. Institut Pertanian Bogor.
Harjadi SS. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..
Heldt HW. 1997. Plant Biochemistry and Molecular Biology. New York: Oxford University Pers.
Herman AS. 1985. Drying and Storage of Agricultural Corps. Conneccicut: Avi Publishing.
Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik; penerjemah; Saptoraharjo. Jakarta: UI-Press.
Liang OB, Widjaja Y, Puspa S. 1985. Beberapa aspek isolasi, identifikasi, dan penggunaan komponenkomponen Curcuma xanthorriza Roxb dan Curcuma domestika Val. Di dalam: Symposium Nasional
Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran.
Mannito P. 1981. Biosintesis of Natural Product, New York: John Wiley and Sons.
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB.

24

Montgomery CD. 1995. Data Analysis of Experiment, 3th ed. New York: John Willey and sons.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. J