Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut

KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS
PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG
DI KABUPATEN GARUT

AGUS SUSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

1

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kandungan
Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di
Kabupaten Garut adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2008

Agus Susanto
NIM D 051050091

2

ABSTRACT
AGUS SUSANTO. Contamination of Aflatoxin and Critical Point Analysis in
Corn Postharvest Steps at Garut Regency. Under direction of ERIKA B.
LACONI and RAPHAELLA WIDIASTUTI.
Corn is the major ingredients feedstuff. Feed ration in feedmill industry is
based on corn-soya. Postharvested corn is susceptible to fungal invasion which
able to produce fungal metabolites such as aflatoxin. The objectives of the
research are (1) to get a description aflatoxin contamination in farmer, collecting
sellers and whole sellers (2) to get a description of critical points an aflatoxin
contamination (3) to get a correlation and regression between aflatoxin and
moisture content, ash, organic matter, water activity both in corn kernel and corn

meal.
A total of 57 samples of corn which collected from farmers, collecting
sellers and whole sellers in Garut regency have been investigated for the aflatoxin
contamination and the critical points of its occurrence in postharvested corn.
Sampling was done with purposive sampling method and aflatoxin content was
detected by Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA). Other parameters were
moisture content, ash, organic matter, water activity both in corn kernel and corn
meal.
The results showed that the highest contamination was found in whole
sellers level. The critical points at farmers stage were due to spoilage corn from
field unproper, shelling procedure and sun drying dependence . Critical points at
collecting sellers stage were due to improper storage and sun drying dependence.
Whereas critical point at whole seller stage was due to the improper mixing
practice.
Based on statistical analysis (SPSS 13.0), there was a positive correlation
between percentage of damage kernels and aflatoxin content, coefficient
correlation (r) = 0.552 in farmer level. In collecting sellers, between moisture
content and aflatoxin content were negatively corelated with coefficient
correlation (r) = -0.630 but organic matter and aflatoxin content were positively
corelated with coefficient correlation (r) = 0.662. In whole sellers, there was no

corelation which significan (?: 0.05) between aflatoxin and other parameter.
Keywords : aflatoxin, corn, critical points, postharvest, ELISA.

3

RINGKASAN
AGUS SUSANTO. Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada
Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut. Dibimbing oleh ERIKA B.
LACONI dan RAPHAELLA WIDIASTUTI.
Jagung merupakan bahan baku pakan utama dalam industri pakan maupun
dalam penyusunan ransum pakan. Sampai saat ini industri pakan unggas masih
berbasis corn-soya. Jagung mudah terkontaminasi aflatoksin, suatu metabolit
sekunder dari cendawan Aspergillus flavus, A. parasiticus dan cendawan lainnya.
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang ditemukan pada tahun 1960, setelah
terjadi kematian 100 000 ekor kalkun di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit
hati pada bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat.
Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah bangsa unggas/aves, mamalia
dan ikan. Bangsa unggas yang peka adalah bebek, ayam, kalkun, dan burung
puyuh, sedangkan bangsa mamalia adalah babi muda, babi bunting, anjing,
kucing, sapi dan domba. Aflatoksin dapat menekan sistem kekebalan tubuh

(immunosupresif) pada beberapa hewan, sehingga menyebabkan penurunan
ketahanan tubuh terhadap infeksi, kegagalan vaksinasi, dan mastitis yang
persisten. Mengingat berbagai dampak yang ditimbulkan aflatoksin terhadap
hewan dan juga manusia, International Agency Research on Cancer (IDRC)
menetapkan aflatoksin sebagai bahan karsinogenik Kelas I.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat diskripsi kadar aflatoksin pada
jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, menganalisa
titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin dengan memperhatikan
tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan
organik, persentase biji rusak aktivitas air dalam bentuk biji dan aktivitas air
dalam bentuk giling) dengan variabel terikat (kandungan aflatoksin) dan tingkat
keeratan hubungan antar variabel bebas. Penelitian ini juga membuat persamaan
regresi untuk memprediksi kadar aflatoksin pada jagung dengan menggunakan
variabel bebas yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang signifikan (?: 0.05).
Total sampel yang diuji sebanyak 57 sampel yang berasal dari petani,
pedagang pengumpul dan pedagang besar di Kabupaten Garut. Metode
pengambilan sampel adalah purposive sampling. Sampel diuji kadar air, kadar
abu, aktivitas air dalam bentuk giling, aktivitas air dalam bentuk biji dan
kandungan aflatoksin. Pengujian kadar aflatoksin menggunakan metoda ELISA
(Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Untuk analisis korelasi dan regresi

menggunakan program SPSS versi 13.0.
Kandungan aflatoksin rata-rata di tingkat petani, pedagang pengumpul dan
pedagang besar secara berturut-turut adalah 2.98 ppb, 8.46 ppb dan 36.71 ppb.
Titik kritis di tingkat petani adalah pada proses sortasi, pemipilan dan
pengeringan. Titik kritis di tingkat pedagang pengumpul adalah pada proses
pengeringan dan penyimpanan. Titik kritis di tingkat pedagang besar adalah
praktek mencampur (mixing). Di tingkat pedagang besar tidak ditemukan variabel
bebas yang berkorelasi secara signifikan terhadap kandungan aflatoksin,
sedangkan di tingkat petani dan pedagang pengumpul terdapat variabel bebas
yang berkorelasi secara signifikan dengan kadar aflatoksin. Di tingkat petani,
kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan persentase biji rusak, tetapi tidak

4

memiliki persamaan regresi yang signifikan. Di tingkat pedagang pengumpul,
kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan variabel bahan organik dan berkorelasi
negatif dengan kadar air. Variabel bahan organik memenuhi persamaan regresi
Y = -466.808 + 5.6 X, sedangkan untuk kadar air memenuhi persamaan regresi
Y = 79.34 - 5.033 X pada tingkat kepercayaan 95%. Tidak ada variabel yang
mampu memprediksi kandungan aflatoksin pada semua tingkatan. Jumlah korelasi

antar variabel bebas yang signi fikan di tingkat petani lebih banyak dibandingkan
di tingkat pedagang besar. Di tingkat pedagang besar hanya terdapat korelasi
kadar air dengan bahan organik yang signifikan dan korelasi tersebut juga
ditemukan di tingkat petani dan pedagang besar.

Kata kunci : aflatoksin, jagung, titik kritis, pascapanen, ELISA

5

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


6

KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS
PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG
DI KABUPATEN GARUT

AGUS SUSANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

7


Judul Tesis
Nama

: Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada
Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut
: Agus Susanto

NIM

: D 051050091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Erika B Laconi, MS
Ketua

Dr. Raphaella Widiastuti, BSc
Anggota


Diketahui

Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc

Tanggal Ujian: 6 Pebruari 2008

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Lulus:

2008

8


PRAKATA
Segala puji bagi Allah S.W.T Tuhan semesta alam atas karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan dari bulan Oktober 2006 sampai Mei 2007 ini adalah
Aflatoksin, dengan judul Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada
Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut. Jagung merupakan bahan
baku dalam pembuatan ransum pakan. Dalam proses pengelolaan pascapanennya
mudah terkontaminasi aflatoksin, oleh karena itu kita perlu penelitian aflatoksin di
tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan korelasi kandungan
aflatoksin dengan parameter uji lainnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS dan
Ibu Dr. Raphaella Widiastuti, BSc selaku pembimbing. Disamping itu
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Jenderal Peternakan
Depertemen Pertanian, Ir. Mathur Riyadi, MA yang telah memberikan izin
belajar, Kepala Balai Besar beserta para staf Balai Besar Penelitian Veteriner,
Bogor dan Kepala Balai beserta para staf Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak,
Bekasi yang telah membantu sarana dan prasarana pengujian. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Yayasan Bhakti Tanoto, Jakarta sebagai pihak yang
memberikan beasiswa kepada penulis. Terima kasih pula kepada isteri tercinta

Budi Riyanti dan anak-anakku: Sigit Hananto, Muhammad Asrudin, Subarkah
Hananto, Waskitho Aji Wijoyo dan Dewi Setyowati. Ungkapan terimakasih
kepada Ibu tercinta Tentrem Rahayu dan Bapak Sarbini serta Ibu mertua
Suprihatlanti dan Bapak mertua Sayat Hadiprayitno (alm). Juga terima kasih
kepada teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan atas kehangatan persahabatan dan kerjasamanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Pebruari 2008
Agus Susanto

9

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 1 Pebruari 1971 dari Ibu
Tentrem Rahayu dan ayah Sarbini. Penulis merupakan putera pertama dari tiga
bersaudara.
Tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Wates dan pada tahun yang sama
lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) masuk Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Lulus S1 pada tahun 1995 dan lulus
profesi dokter hewan pada tahun 1997. Setelah lulus bekerja sebagai dokter hewan
mandiri di Pos Kesehatan Hewan (Poskewan) di Kalibawang, Kulon Progo dan
pada tahun 2002 diterima Pegawai Negeri Sipil di Departemen Pertanian dan
ditugaskan di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan
di Bekasi.
Sambil bekerja di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak penulis
mendapatkan izin belajar S2 di Program Studi Ilmu Ternak dengan minat utama
Ilmu Makanan Ternak. Pemilihan program studi ini bertujuan untuk mendukung
tugas pokok dan fungsi dari unit kerja tempat bekerja penulis yaitu melaksanakan
pengawasan dan pengujian mutu pakan ternak.

10

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. H. Nahrowi, M.Sc

11

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......……………………………………………………….........

xi

DAFTAR GAMBAR .. ...……………………………………………………….....

xii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………....

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................….…………………………………………………
Tujuan ..........………………………………………………………………...…
Manfaat ..........………………………………………………………………....

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Aflatoksin .......…………………………………………………………….. …..
Aspergillus spp ....................................................................................................
Penelitian dan Monitoring Aflatoksin di Indonesia .........…………………...….
Pengaruh Aflatoksin pada Hewan dan Manusia .........………………………….
Jagung .........………………………………………………………………..........
Aktivitas Air.........................................................................................................
Alur Penjualan ........……………………………………………………….........
Penyimpanan .........………………………………………………………...........

5
8
8
9
10
11
12
13

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu .........………………………………………………………..
Bahan dan Alat ................…………………………………………………….....
Metode Sampling ........………………………………………………………….
Teknik Pengambilan Sampel .......………………………………………………
Metode Pengujian Elisa .......................................................................................
Metode Pengujian Air ..........................................................................................
Metode Pengujian Abu .........................................................................................
Metode Pengujian Bahan Organik .......................................................................
Metode Pengujian Aktivitas Air ..........................................................................
Metode Pengujian Organoleptik ..........................................................................
Analisis Data.... …………………………………………………………............

14
14
14
15
16
16
17
17
18
18
18

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kuesioner ....................................................................................................
Alur Tataniaga Jagung .........................................................................................
Kadar Air ..............................................................................................................
Aflatoksin .............................................................................................................
Analisis Korelasi dan Regresi ..............................................................................
Variabel Bebas dengan Variabel Kandungan Aflatoksin ....................................
Analisis Regresi ...................................................................................................
Korelasi antar Variabel Bebas .............................................................................
Titik-Titik Kritis ..................................................................................................
Petani ....................................................................................................................
Pedagang Pengumpul ...........................................................................................
Pedagang Besar ....................................................................................................

21
27
29
31
36
36
40
42
44
44
46
48

12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan …………………………………………………………….................
Saran ...............……………………………………………………….................

49
50

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. ......

51

LAMPIRAN …….…………………………………………………………….........

56

13

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin ………................

7

2

Jumlah karung yang diambil sampel .................................................................

15

3

Budidaya jagung oleh petani .............................................................................

22

4

Sistem pembelian pedagang pengumpul dan pedagang besar......... ..................

24

5

Pengelolaan pascapanen di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang
besar ...................................................................................................................

26

6

Harga beli dan harga jual pedagang pengumpul dan pedagang besar ...............

29

7

Sebaran kandungan aflatoksin di petani, pedagang pengumpul dan pedagang
besar....................................................................................................................

32

8

Tingkat pendidikan dan pengenalan istilah aflatoksin .......................................

34

9

Suhu ruang ruang penyimpanan dan aktivitas air jagung di tingkat petani,
pedagang pengumpul dan pedagang besar ........................................................

35

10 Persentase biji rusak hasil pengujian organoleptik ............................................

35

11

Koefisien korelasi dan koefisien signifikans variabel bebas terhadap kadar
aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ...........

12

Koefisien korelasi antar variabel bebas di tingkat petani, pedagang
pengumpul dan pedagang besar ........................................................................

14

37

44

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2, (c)
aflatoksin G1 dan (d) aflatoksin G2 ..............................................................

6

2. Alur pemasaran jagung propinsi Jawa Timur ..............................................

12

3. Pengambilan sampel dalam karung ..............................................................

16

4. Elisa reader yang terhubung dengan personal computer ............................

16

5. Pengabuan dalam tanur ................................................................................

17

6. Alur tataniaga jagung ...................................................................................

27

7. Kadar air jagung di tingkat petani ................................................................

29

8. Kadar air jagung di tingkat pedagang pengumpul .......................................

29

9. Kadar air pada jagung di tingkat pedagang besar .......................................

30

10. Kandungan aflatoksin di tiga tingkatan pengelola pascapanen ....................

31

11. Hubungan kadar air dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang
pengumpul.....................................................................................................

38

12. Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat
pedagang pengumpul ...................................................................................

40

13. Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat
pedagang besar .............................................................................................

44

14. Tempat pengeringan di pintu masuk rumah .................................................

45

15. Kerusakan jagung karena alat pemipil .........................................................

46

16. Penyimpanan jagung di dekat dapur dan kamar mandi ...............................

47

15

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Bentuk kuesioner di tingkat petani ................................................................ 57
2. Bentuk kuesioner di tingkat pedagang pengumpul .......................................... 58
3. Bentuk kuesioner di tingkat pedagang besar.................................................... 59
4. Hasil kuesioner pada tingkat petani ................................................................ 60
5. Hasil kuesioner pada tingkat pedagang pengumpul ........................................ 62
6. Hasil kuesioner pada tingkat pedagang besar ................................................. 64
7. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan
aflatoksin, persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw
dalam giling sampel jagung dari petani .......................................................... 66
8. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan
aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw
dalam giling sampel jagung dari pedagang pengumpul .................................. 67
9. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan
aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw
dalam giling sampel jagung dari pedagang besar ........................................... 68
10. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat petani .......................................... 69
11. Regresi dan Anova di tingkat petani ............................................................... 70
12. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat pedagang pengumpul ................. 72
13. Regresi dan ANOVA variabel bahan organik di tingkat pedagang
pengumpul ....................................................................................................... 73
14. Regresi dan ANOVA variabel kadar air di tingkat pedagang pengumpul ...... 75
15. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat pedagang besar ........................... 77

16

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jagung merupakan sumber energi, dengan kandungan karbohidrat/pati
sebesar 64%. Sampai saat ini industri-industri pakan ternak unggas masih berbasis
corn-soya. Produksi jagung dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan dalam
negeri, sehingga harus mengimpor. Pada periode 1990 – 2001, penggunaaan
jagung impor sebagai bahan baku industri pakan meningkat tajam dengan laju
sekitar 11.81% per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan pabrik pakan
terhadap jagung impor sangat tinggi, sekitar 40.29% dan pada tahun 2000
mencapai 47.04%, sementara 52.96% sisanya berasal dari jagung produksi dalam
negeri (Deptan 2005).
Di Indonesia dan negara-negara penghasil jagung lainnya memiliki
permasalahan

dalam

pengolahan

pascapanen,

karena

jagung

mudah

terkontaminasi oleh cendawan, khususnya Aspergillus flavus, dan A. parasiticus,
yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Aflatoksin selain
terdapat pada jagung juga ditemukan pada kacang tanah, kedelai, beras, kopi dan
komoditas hasil pertanian lainnya. Senyawa aflatoksin dapat menimbulkan
gangguan baik pada hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik,
sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency Research on
Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan karsinogenik kelas I
(Kennedy 2003).
Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah bangsa unggas/aves, mamalia
dan ikan. Bangsa unggas yang peka adalah bebek, ayam, kalkun, dan burung
puyuh, sedangkan bangsa mamalia adalah babi muda, babi bunting, anjing,
kucing, sapi dan domba. Aflatoksin dapat menekan sistem kekebalan tubuh
(immunosupresif) pada beberapa hewan, sehingga menyebabkan penurunan
ketahanan tubuh dari infeksi, kegagalan vaksinasi, dan mastitis yang persisten
(Bodine et al. 1983). Oleh karena itu pengaruh aflatoksin tidak dapat dianggap
remeh, karena menimbulkan kerugian atau kerusakan baik pada ternak maupun
manusia.

17

Ada beberapa tahapan dalam proses pengelolaan jagung sebagai hasil
pertanian mulai dari pemanenan, pemetikan hingga ke pedagang besar. Adapun
tahapan-tahapan tersebut adalah (1) pemetikan, (2) pengeringan di tingkat petani,
(3) pengangkutan ke pedagang pengumpul, (4) penyimpanan dan (5)
pengangkutan di pedagang besar. Oleh karena di setiap tahapan pengelolaan
tersebut berpotensi untuk terkontaminasi oleh aflatoksin, maka perlu diketahui
titik-titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin agar dapat diambil kebijakan
yang tepat untuk mencegah atau menekan kontaminasi aflatoksin. Hal ini juga
diatur pada Codex Alimentarius Commission pada Codex Task Force On Animal
Feeding appendix II bahwa pakan dan bahan baku pakan harus dijaga kestabilan
kondisinya dari kontaminasi oleh hama pengganggu (pest), kimia, fisik atau
mikroorganisme baik pada saat produksi, penanganan, penyimpanan maupun
transportasi (CAC 2003). Pakan yang diterima harus dalam kondisi sesuai standar
kualitasnya.
Di Indonesia, batas maksimal kadar aflatoksin pada pakan telah diatur
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 1995). Batas maksimal kadar
aflatoksin pada ransum ayam ras petelur adalah 50 ppb untuk layer starter/anak
dan layer grower/dewasa dan 60 ppb pada layer/masa bertelur, pada ransum ayam
ras pedaging/broiler starter adalah 50 ppb, dan 60 ppb pada broiler finisher, pada
ransum babi adalah 50 ppb, pada pakan puyuh adalah 40 ppb, pada itik adalah 20
ppb dan pada ransum konsentrat sapi perah dan sapi potong 200 ppb.
Permasalahan yang ditemukan dalam regulasi pakan (pengawasan mutu
pakan) Departemen Pertanian disebabkan oleh batas kadar maksimal aflatoksin
pada pakan belum berlaku wajib, masih bersifat sukarela (volunteer). Oleh karena
itu perlu data diskriptif kandungan aflatoksin di tingkat petani, pedagang
pengumpul dan pedagang besar dan titik kritis peningkatan aflatoksin selama
proses pengelolaan pascapanen dengan mengambil kasus di daerah Kabupaten
Garut yang merupakan daerah pemasok jagung terbesar di Jawa Barat.
Diharapkan data tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan
untuk regulasi aflatoksin pada pakan di Indonesia.
Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air
untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah ke dalam dan ke luar sel.

18

Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Pengurangan aktivitas air
atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas
metabolisme dan membatasi jasad renik. Pengeringan bahan pangan (hasil
pertanian) sampai suatu tingkat kadar air atau aw yang aman untuk disimpan
sangat diperlukan (Syarief et al. 2003). Pertumbuhan cendawan pada komoditas
hasil pertanian selama pengelolaan pascapanen ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain keutuhan biji, kadar air, temperatur, aerasi dan substrat alamiahnya.
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar air secara jelas merupakan faktor dominan
(Lillehoj 1986).
Tujuan
1. Membuat diskripsi ilmiah kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani,
pedagang pengumpul dan pedagang besar.
2. Mempelajari titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin pada
jagung selama pengelolaan pascapanen.
3. Mendapatkan pengetahuan tentang tingkat keeratan hubungan antar
variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak
aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji)
dengan variabel terikat (kandungan aflatoksin) dan tingkat keeratan antar
variabel bebas.
4. Mendapatkan persamaan regresi ganda

untuk memprediksi kadar

aflatoksin pada jagung dengan menggunakan variabel kadar air, kadar abu,
bahan organik, pengamatan organoleptik (persentase biji rusak), aktivitas
air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji.

Manfaat
1. Diperoleh diskripsi kadar aflatoksin dan titik-titik kritis pada alur
pengelolaan pascapanen jagung dapat digunakan oleh para pemangku
kepentingan/stakeholders (petani, pedagang, pengusaha feedmill dan
pemerintah) sebagai

bahan pengetahuan, pertimbangan, pengambilan

keputusan dan tindakan yang tepat untuk mencegah jagung terkontaminasi
aflatoksin.

19

2. Diperoleh data kadar aflatoksin dan parameter lainnya pada jagung yang
dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam pengolahan pascapanen.
3. Jika terdapat tingkat korelasi yang signifikan dan dapat disusun persamaan
regresi antara kandungan aflatoksin dengan kadar air, kadar abu, bahan
organik, nilai aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam
bentuk biji baik secara parsial maupun keseluruhan, maka dapat
diprediksikan kandungan aflatoksin dengan menguji pengamatan kadar air,
kadar abu, bahan organik, dan nilai aktivitas air (aw) dari jagung.

20

TINJAUAN PUSTAKA
Aflatoksin
Aflatoksin adalah salah satu senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh
cendawan Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Secara terminologi aflatoksin,
berasal dari kata A yang diambil dari kata Aspergillus dan fla dari kata flavus dan
kata toksin (toxin) menunjukkan racun, karena pada mulanya racun ini ditemukan
pada cendawan A. flavus. Aflatoksin secara kimiawi termasuk derivat kumarin
dan merupakan toksin yang dihasilkan oleh cendawan (mikotoksin).
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari cendawan tertentu yang
mempunyai kerja toksik terhadap hewan-hewan berderajat tinggi dan manusia
(Schlegel 1994). Menurut Leeson dan Summers (2001), metabolit primer adalah
metabolit yang dihasilkan oleh cendawan untuk pembentukan biomassa dan
membangkitkan energi untuk keperluan metabolisme primer, sedangkan metabolit
sekunder biasanya terbatas pada spesies tertentu (strain tertentu) dan dihasilkan
setelah fase pertumbuhannya stabil dan biasanya bersamaan dengan perubahan
bentuk seperti sporulasi. Metabolit sekunder termasuk pigmen dan senyawa aktif
yang mampu melawan mikroorganisme (antibiotika), tumbuhan (fitotoksin) atau
hewan/manusia (mikotoksin).
Cendawan yang menghasilkan aflatoksin adalah cendawan dari kelas
Ascomycetes (cendawan pipa) seperti A. flavus, A. parasiticus, A. oryzae dan
cendawan lain yang dapat menyerang semua bahan makanan (kacang tanah, padipadian, buah yang mengandung minyak, bahan pakan). A. candidus dan A. flavus
mampu menghasilkan aflatoksin selama penyimpanan biji-bijian karena suhu
pertumbuhannya bisa mencapai 50 ºC sampai 55ºC (Syarief et al. 2003).
Aflatoksin ditemukan pada tahun 1960, setelah terjadi kematian kalkun
sebanyak 100 000 ekor di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit hati pada
bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat. Ilmuwan Inggris
segera melakukan penelitian dan ternyata wabah penyakit tersebut disebabkan
oleh racun dari cendawan A. flavus dan A. parasiticus (Pitt 1989).
Menurut Lillehoj (1986) terdapat 4 jenis aflatoksin utama yaitu aflatoksin
B1, B2, G1 dan G2. Selain empat jenis utama aflatoksin masih ditambah dua

21

metabolit produk dari aflatoksin yakni M1 dan M2. Menurut Mariane (1987),
rumus kimia untuk 4 jenis aflatoksin adalah C17H12O6 (aflatoksin B1), C17H14O6
(aflatoksin B2), C17H12O7, (aflatoksin G1) dan C17H14O7 (aflatoksin G2). Struktur
kimiawi berinduk pada cincin kumarin yang kemudian mengikat inti furan di
dekatnya menjadi bentuk furan tak jenuh sebagai bisfuran, dengan struktur
bangun kimia yang dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1 Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2,
(c) aflatoksin G1 dan (d) aflatoksin G2.
Aflatoksin B1 merupakan senyawa yang berpotensi sebagai hepatotoksin
dan hepatokarsinogen yang mampu menyebabkan tumor pada hati mamalia dan
unggas. Secara epidemiologi, terdapat hubungan antara kontaminasi aflatoksin
pada makanan di Asia dan Afrika dengan meningkatnya kejadian kanker hati pada
manusia (Pitt 1989).

22

Menurut Diener dan Davis (1969), spesies cendawan penghasil aflatoksin
dan jenis aflatoksinnya seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin*
Jenis Aflatoksin
No

*

Cendawan

B1

B2

G1

G2

1

Aspergillus flavus

L

L

L

L

2

A. flavus var. columnaris

-

L

-

-

3

Aspergillus orizae

L

L

L

L

4

Aspergillus parasiticus

L

L

L

L

5

A. parasiticus var. globosus

L

L

L

L

6

Aspergillus niger

L

-

-

-

7

Aspergillus wentii

L

-

-

-

8

Aspergillus rubber

L

-

-

-

9

Aspergillus ostianus

L

-

L

-

10

Aspergillus ocraceus

L

-

-

-

11

Penicillium variabel

L

-

-

-

12

Penicillium citrinum

L

-

-

-

13

Penicillium frequentans

L

-

-

-

14

Rhizopus sp

L

-

L

-

: menghasilkan
- : tidak menghasilkan

Keberadaan kapang toksigenik pada bahan pangan atau pakan tidak secara
otomatis menandakan bahwa mikotoksin juga terdapat pada bahan tersebut. Hal
ini terjadi karena produksi mikotoksin dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien,
faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban (Bahri & Maryam 2004)
Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air
untuk mengangkut zat–zat gizi atau bahan–bahan limbah kedalam dan keluar sel.
Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan
memperlambat aktivitas metabolisme dan membatasi pertumbuhan cendawan
(Syarief et al. 2003 ).

23

Aspergillus spp
A. flavus merupakan cendawan yang bersifat thermotoleran, maka seperti
cendawan atau bakteri lainya yang tahan hidup pada temperatur tinggi dan dalam
kondisi kering. Cendawan dalam musim dingin terdapat dalam tanah dan populasi
meningkat selama musim panas. Cendawan menyebar dibantu dengan angin dan
serangga. Cendawan berkembang dalam klobot dan masuk ke dalam biji jagung.
Kerusakan biji jagung oleh serangga merupakan faktor predisposisi biji terserang
cendawan. Tumbuhan yang stress mudah terserang cendawan. Usaha untuk
mengontrol serangan cendawan dapat menggunakan irigasi untuk mencegah stres
dari tumbuhan dan pengolahan tanah untuk mengurangi inokulasi (Shafey et al.
1999).
Penelitian dan Monitoring Aflatoksin di Indonesia
Data hasil penelitian dan monitoring dari proyek FAO (Food Agricultural
Organisation) “Inter Country Cooperation in Post Harvest Technology and
Quality Control of Grains” yang dilaksanakan pada 13 negara Asia diperoleh data
bahwa rata–rata kadar aflatoksin pada jagung di Sulawesi Utara secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya, walaupun rata-rata aflatoksin di luar
Sulawesi Utara di atas 100 ppb. Jagung merupakan makanan pokok kedua di
beberapa daerah di Indonesia (seperti Sulawesi Selatan, dimana konsumsi per
kapita untuk setiap hari 300–500 gram).
Dalam studi yang membandingkan kandungan aflatoksin di Jawa Timur,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dan menghubungkan dengan sistem
pengeringan dan penyimpanan, ditemukan bahwa Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan memiliki kandungan aflatoksin yang lebih tinggi dibandingkan Jawa
Timur. Sulawesi Utara menduduki peringkat paling tinggi, karena petani
membiarkan jagung secara utuh pada batangnya di ladang untuk dikeringkan
selama satu bulan. Demikian pula di Sulawesi Selatan petani menyimpan jagung
1–2 tahun sebelum dijual, walaupun jagung disimpan masih dalam tongkol.
Waktu yang panjang dalam penyimpanan dapat meningkatkan pembentukan
aflatoksin (Marianne 1987).

24

Pengaruh Aflatoksin pada Hewan dan Manusia
Pengaruh aflatoksin pada hewan sangat bervariasi tergantung dosis,
lamanya terpapar aflatoksin, spesies ternak, jenis ternak dan status ternak. Hewan
akan mati jika mengkonsumsi dalam dosis tinggi dan dalam sublethal dosis akan
menunjukkan keracunan kronis dan dalam dosis rendah menyebabkan kanker
terutama kanker hati pada beberapa spesies hewan. Hewan yang peka terhadap
aflatoksin adalah hewan kelas ikan, aves (bebek, kalkun, ayam, dan burung
puyuh) dan mamalia seperti babi muda, babi bunting, anjing, kucing, sapi, dan
domba (Siriacha 1999). Menurut Loy dan Wright (2003) aflatoksin dalam
konsentrasi toksik dalam jagung apabila dimakan ternak akan menimbulkan gejala
yang bervariasi seperti muntah-muntah, gangguan pertumbuhan, penurunan
kekebalan terhadap infeksi, kegagalan reproduksi, cacat lahir dan kanker.
Aflatoksin bersifat teratogenik dan mutagenik, perubahan teratologi ini
merupakan bentuk yang masih ringan tetapi secara keseluruhan anak ayam yang
mendapatkan perlakuan aflatoksin B1 memperlihatkan kondisi yang lebih lemah
walaupun masih dapat menetas. Pemberian aflatoksin B1 pada telur ayam bertunas
umur 5 hari akan mempengaruhi perkembangan, kehidupan dan daya tetas
embrio. Semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin banyak embrio yang
mati, dimana telur tidak bisa menetas pada pemberian 125 ng. Pemberian
aflatoksin B1 menyebabkan kelainan morfologi embrio berupa kelainan pada kaki,
pertumbuhan terhambat, malabsorbsi kuning telur dan pendarahan pada embrio
(Bahri et al. 2005).
Manusia

terkena

aflatoksin

jika

mengkonsumsi

makanan

yang

terkontaminasi oleh cendawan penghasil aflatoksin. Ugur dan Ilhan (2002)
menyatakan bahwa aflatoksin dapat menimbulkan mutasi genetik dengan cara
merubah struktur DNA pada sel hati, dimana aflatoksin teroksidasi membentuk
epioksid dan akan bereaksi dengan DNA dan terbentuk N7 Guanin. Akibat dari
mutasi gen tersebut menimbulkan efek kronis bagi yang memakan makanan yang
tercemar aflatoksin.
Keracunan aflatoksin berkaitan dengan penyakit kronis pada manusia.
Survey pada manusia di Afrika dan Asia telah dinyatakan adanya hubungan
positip antara estimasi tereksposnya aflatoksin dengan kejadian kanker hati.

25

Primary Liver Cancer (PLC) merupakan penyakit salah satu penyebab kematian
oleh kanker di Asia dan Afrika. Penelitian telah dilakukan di penduduk Republik
Rakyat China/RRC, Thailand, Philiphina, Kenya, Swaziland, Mozambique, dan
Uganda, ditemukan bukti keterlibatan konsumsi aflatoksin terhadap penyebab
PLC. Salah satu variabel pokok dalam penelitian tersebut adalah variabel dari
infeksi virus hepatitis B kronis dimana menyebabkan kanker dipengaruhi oleh
aflatoksin (Siriacha 1999)
Jagung
Jagung dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada awal
abad 16, yang sedang menjelajah dari Amerika melewati Eropa, India, dan China
(Sarono et al. 1999). Jagung berasal dari Meksiko dan menyebar ke utara ke
Kanada dan ke selatan ke Argentina. Nenek moyang jagung adalah Teusinte /Zea
mexicana. Dengan adanya penjelajahan orang Eropa ke benua Amerika jagung
menyebar ke Eropa, Afrika dan Asia (Farnham 2003).
Tanaman jagung termasuk anggota famili Gramineae. Jumlah buah jagung
antara 1–2 buah per batang dan dalam setiap buah jagung dapat ditemukan 300
sampai 1 000 biji jagung. Jagung adalah tanaman musim panas. Paling banyak di
lapangan ditemukan bahwa umur jagung adalah 130–140 hari. Tumbuhan jagung
membutuhkan sinar matahari langsung dan tidak tumbuh dengan baik jika di
bawah naungan (Farnham 2003).
Jagung dipanen dalam keadaan matang, mengandung kadar air 22%–25%
dan dikeringkan secara buatan mencapai 15%–16% untuk disimpan dan dijual
(Stanley 2003). Jagung dalam matang fisiologis masih dalam kadar air tinggi
(diatas 35%), dan terjadi pengeringan jika dibiarkan tetap tinggal di batang, hanya
saja mudah diserang oleh serangga dan cuaca. Keamanan selama penyimpanan
tergantung pada kondisi biji, jenis, kondisi penyimpanan dan iklim. Biji jagung
dapat disimpan lebih dari satu tahun jika kadar air 13% (Watson 2003).
Dharmaputra (1999) meneliti kandungan aflatoksin pada beras, jagung,
kacang tanah, bungkil kedelai, lada hitam, lada putih, biji coklat, kopra dan
tepung kopra yang berasal dari petani, pedagang, pengecer, eksportir dan gudang
Bulog. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar aflatoksin tinggi ditemukan

26

pada jagung dan kacang tanah, kadar aflatoksin relatif rendah pada bungkil
kedelai, aflatoksin tidak selalu ditemukan pada kopra dan tepung kopra dan
aflatoksin tidak ditemukan pada lada hitam dan lada putih.
Aktivitas Air
Aktivitas air (aw ) merupakan kosep fisika-kimia, pertama kali dikenalkan
oleh seorang ahli mikrobiologi, Scott (1957). Aktivitas air merupakan perhitungan
hubungan secara efektif antara kadar air dalam makanan dengan kemampuan
mikroorganisme untuk tumbuh di dalamnya. Aktivitas air dapat dihitung dengan
perbandingan :
aw = p/p0
dimana p : tekanan parsial uap air pada material yang diuji
p0 : tekanan jenuh air dalam kondisi yang sama.
Aktivitas air secara angka sama dengan kelembaban relatif seimbang (equilibrium
relative humidity) dalam bentuk desimal (Pitt dan Hocking 1997).
Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air
untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah kedalam dan keluar sel.
Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Air yang mengalami
kristalisasi dan membentuk es atau air yang terikat secara kimiawi dalam larutan
gula atau garam tidak dapat digunakan oleh jasad renik. Pengurangan aktivitas air
atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas
metabolisme dan mengatasi pertumbuhan. Titik kritis ambang batas toleransi
minimum pertumbuhan cendawan dan khamir adalah pada nilai aw sekitar 0.62
(Syarief et al. 2003).
Faktor ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan adalah
aktivitas air (aw) dan kadar air, suhu, substrat, O2, CO2, interaksi mikrob,
kerusakan mekanis, infestasi serangga, jumlah spora dan lama penyimpanan.
Jumlah air bebas yang dibutuhkan oleh cendawan untuk pertumbuhannya
ditetapkan oleh aktivitas air (aw). Semua cendawan termasuk yang toksigenik
mempunyai aw minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhannya.
Aktivitas air 0.70 merupakan aw minimum pembentukan koloni semua spesies
cendawan dalam penyimpanan (Ominski et al. 1994).

27

Alur Penjualan
Menurut Sarono et al. (1999) alur penjualan jagung di Jawa Timur pada
tahun 1986, digambarkan pada Gambar 2.
PABRIK PAKAN

INDUSTRI TEPUNG
JAGUNG SEBAGAI
BAHAN TAMBAHAN

PETERNAKAN

PEDAGANG BESAR

INDUSTRI
MAKANAN

PENGUMPUL

PEDAGANG LANGSUNG KE PETANI

PETANI
Gambar 2 Alur pemasaran jagung di Provinsi Jawa Timur.
Pedagang membeli jagung dari petani kemudian dijual ke kolektor dan kolektor
menjual ke pedagang besar, kadang kala beberapa kolektor membeli langsung ke
petani. Jagung dibeli masih dalam keadaan tertanam tegak di ladang. Pedagang
maupun kolektor mengestimasi volume produksi jagung di ladang dan membayar
sesuai harga pasar saat itu, biasanya pedagang maupun kolektor menanggung
biaya pemanenan dan petani mendapatkan tugas untuk pengeringan. Pedagang
besar kemudian menjual ke industri makanan, industri pakan, industri tepung
jagung untuk bahan tambahan kopi, dan kadangkala dijual langsung ke peternak.
Di beberapa tempat pedagang maupun kolektor menyediakan benih maupun
pinjaman untuk menjamin bahwa jagungnya akan dijual ke mereka.
Ternak utama yang mengkonsumsi jagung dalam pakannya adalah ternak
unggas, babi dan sapi perah. Industri ternak unggas mulai tumbuh sejak 1975
dengan dibukanya impor bibit unggul dan dibukanya kesempatan investasi baik
PMDN maupun PMA. Berkat kebijakan ini, industri pembibitan dan industri
pakan skala besar mulai bermunculan. Permintaan jagung sangat besar untuk

28

pakan ternak unggas. Konsumsi jagung untuk industri pakan ternak meningkat
dari sekitar 1.1 juta ton pada tahun 1990, menjadi 3.3 juta ton pada tahun 1996
dan meningkat menjadi 7.8 juta ton pada tahun 2000 (Erwidodo et al. 2003).
Pemerintah tidak memiliki program pembelian jagung untuk menstabilkan
harga, tidak seperti pada beras. Pemasaran jagung di biarkan sesuai pasar bebas,
sehingga harga tidak stabil. Kelompok tani lemah dalam kegiatan pemasaran,
sehingga daya pengaruhnya juga lemah (Sarono et al. 1999).
Penyimpanan
Proses penyimpanan merupakan salah satu pemrosesan pasca panen dari
bahan-bahan pertanian. Banyak faktor yang mempengaruhi kerusakan hasil
pertanian pasca panen. Menurut Bala (1997) faktor-faktor tersebut dapat
dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Komposisi kimiawi,
sifat karakteristik biji-bijian hasil pertanian merupakan faktor internal, sedangkan
faktor eksternal masih dapat dibagi menjadi faktor fisik (temperatur dan
kelembaban), kimiawi (kadar oksigen, kadar karbondioksida), biologis (bakteri,
jamur, serangga, hewan pengerat) dan manusia (metode penanganan, sistem
penyimpanan, pengangkutan, desinfeksi dan sebagainya).
Hal yang tidak menguntungkan dalam penyimpanan adalah hilangnya
nutrien atau zat-zat tertentu yang dibutuhkan baik oleh ternak maupun manusia
selama proses penyimpanan. Ada dua variabel penting dalam penyimpanan yaitu
suhu ruang dan kadar air (Bala 1997). Suhu optimum dan waktu memproduksi
aflatoksin oleh A. flavus adalah 25°C dalam waktu 7–9 hari, suhu 30°C dalam
waktu 5–7 hari dan pada suhu 20°C dibutuhkan waktu 11–13 hari. A. parasiticus
memproduksi aflatoksin B1 pada suhu 30°C sampai 35°C, dan memproduksi G1
pada suhu 25°C sampai 30°C. Sebagian besar total aflatoksin diproduksi pada
suhu 25°C sampai 30°C selama masa inkubasi 7–15 hari (Diener & Davis 1969).

29

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di daerah penghasil jagung di Provinsi Jawa Barat
yaitu di Kabupaten Garut dimulai dari Oktober 2006 sampai Mei 2007. Pemilihan
lokasi Kabupaten Garut berdasarkan data bahwa Kabupaten Garut merupakan
Kabupaten penghasil jagung terbesar di Provinsi Jawa Barat dan memiliki nilai
produktivitas paling tinggi (Deptan 2005).
Bahan dan Alat
Bahan kimia yang dipakai adalah metanol dan akuades. Alat yang
digunakan untuk pengujian kadar aflatoksin, kadar air, aktivitas air, kadar abu
dan organoleptik adalah timbangan analitik, vochdoos, oven, aw meter,
multichannel pipet, sentrifuse, tanur, ELISA Kit, Elisa reader dan sebagainya.
Peralatan gelas yang digunakan adalah labu erlemeyer, crusibel, beker glass,
tabung sentrifuse dan lain-lainnya.

Metode Sampling
Metode sampling adalah Purposive Sampling dengan jumlah total sampel
57 sampel dengan komposisi sampel dari petani 19 sampel, pedagang pengumpul
18 sampel dan pedagang besar 20 sampel. Penentuan lokasi pengambilan sampel
untuk tingkat petani dan pedagang pengumpul berdasarkan pada kecamatan
penghasil jagung yang paling banyak, yaitu kecamatan: Banyuresmi, Limbangan,
Malangbong, Cibiuk dan Leuwigoong. Jumlah sampel disesuaikan (proporsional)
dengan jumlah produksi jagung dari kecamatan tersebut. Jumlah sampel untuk
pedagang besar (bandar) diambil 5 pedagang besar di Kecamatan Garut Kota dan
Karangpawitan.

Pengumpulan

data

yang

berkaitan

dengan

pengelolaan

pascapanen seperti pemipilan, pengeringan, penyimpanan dan transportasi.
dilakukan menggunakan kuesioner dengan cara personal interview (lampiran 1, 2
dan 3).

30

Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan metode pengambilan contoh padatan
menurut SNI 19-0428-1998 yang dibedakan untuk sampel dalam hamparan dan
sampel dalam karung/kemasan.
1. Sampel dalam hamparan
Sampel diambil dengan sekop yang bersih dari beberapa sudut dan tengah
sehingga

diperoleh

sampel

primer.

Sampel-sampel

tersebut

selanjutnya

dikomposit, sehingga diperoleh sampel sekunder. Sampel kemudian diratakan
pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel
yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan
dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan,
demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram.
2. Sampel dalam karung/kemasan
Jumlah karung yang diambil sampelnya dari seluruh karung yang ada,
sesuai SNI 19-0428-1998 sebagaimana Tabel 2. Sampel diambil dari beberapa
titik (sudut kanan dan kiri baik atas dan bawah dan bagian tengah) dengan
menggunakan probe, sehingga diperoleh sampel primer. Sampel primer
dikomposit, kemudian sampel diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi
empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut
berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi
empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya
hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram.
Tabel 2 Jumlah karung yang diambil sampel
Jumlah contoh (karung)

Jumlah contoh yang diambil (karung)

s/d 10
11 – 25
26 – 50
51 – 100
100

Semua contoh
5
7
10
Akar pangkat dua dari jumlah contoh

31

Gambar 3 Pengambilan sampel dalam karung.
Metode Pengujian ELISA
Jenis uji ELISA yang digunakan adalah kompetisi langsung (Direct
Competitive), dengan menggunakan Kit aflatoksin (Balitvet). Sampel diekstraksi
dengan metanol 60%, kemudian hasil ekstraksi sampel dicampur dengan konjugat
enzim (Aflatoxin B1-Horse Raddish Peroxidase), kemudian dimasukan ke dalam
plat mikro yang sudah dilapisi antibodi. Selanjutnya konjugat enzym yang tidak
berikatan dengan antibodi dicuci dengan akuades dan enzim yang mengikat
antibodi pada plat mikro dengan penambahan substrat akan membentuk warna.
Dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm intensitas
warna tersebut diukur untuk mengetahui kadar aflatoksin. Semakin tinggi
intensitas cahayanya semakin rendah kadar aflatoksinnya.

Gambar 4 Elisa reader yang terhubung dengan personal computer.
Metode Pengujian Kadar Air
Pengujian kadar air menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992 butir
5). Vochdoos kosong dimasukkan oven pada suhu 105SC selama 1 jam kemudian

32

dinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel jagung yang sudah
digiling dengan berat 2 gram (W) dimasukkan dalam vochdoos, dan dikeringkan
dalam oven pada suhu 105SC selama 3 jam. Sampel dalam vochdoos didinginkan
dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat tetap (W2). Kadar air
ditentukan dengan rumus :

% Kadar air

= (W1 + W) – W2
W

X

100%

Metode Pengujian Kadar Abu
Pengujian kadar abu dengan metode Tanur (SNI 01-2891-1992 butir 6).
Crusibel kosong dimasukkan dalam tanur pada suhu 550SC selama 1 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel ditimbang
dengan bobot 2 gram (W) dimasukkan dalam crusibel kosong dan dibakar selama
45 menit, kemudian dimasukkan dalam tanur pada suhu 550SC selama 4 jam.
Setelah waktu dalam tanur tercapai sampel didinginkan dalam desikator dan
ditimbang (W2). Kadar abu ditentukan dengan rumus :
% Kadar abu = (W2 – W1)
W

X

100%

Gambar 5 Pengabuan dalam tanur.
Metode Pengujian Bahan Organik
Bahan organik diperoleh setelah pengujian kadar air dan kadar abu,
dengan menggunakan perhitungan 100% - (kadar air + kadar abu).

33

Metode Pengujian Aktivitas Air (aw)
Pengukuran aktivitas air menggunakan alat aw meter. Alat dikalibrasi
dengan memasukkan cairan BaCl2 2 H2O dan ditutup dibiarkan selama 3 menit
sampai angka pada skala pembacaan menjadi 0.9. Aw meter dibuka dan sampel
dimasukkan dan alat ditutup ditunggu hingga 3 menit, dan setelah 3 menit skala
aw dibaca dan dicatat, perhatikan skala temperatur dan faktor koreksi. Jika skala
temperatur di atas 20SC, maka pembacaan skala aw ditambahkan sebanyak
kelebihan temperatur dikalikan faktor koreksi sebesar 0.002S, begitu p