Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung

(1)

SKRIPSI

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI F24104001

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SKRIPSI

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI F24104001

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Aldilla Sari Utami. F24104001. Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung. Di bawah bimbingan Harsi D.Kusumaningrum.

ABSTRAK

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Ketersediaan merupakan salah satu faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi pengaruh terhadap kesukaan. Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra penanaman jagung memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan berbasis jagung. Faktor ketersediaan ini akan dikaji hubungannya dengan tingkat konsumsi penduduk dan dijadikan perbandingan terhadap tingkat konsumsi produk jagung di kota Bogor sebagai daerah sub-urban. Upaya pemberdayaan jagung sebagai bentuk diversifikasi pangan harus diimbangi dengan upaya peningkatan keamanan pangan. Di Indonesia, kadar aflatoksin pada jagung telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI yakni sebesar 20 ppb untuk jenis aflatoksin B1.

Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik survey dengan alat bantu kuesioner. Pengambilan sampel responden dilakukan secara purposive sampling technique. Survey dilakukan pada 2 lokasi yakni Bojonegoro sebagai daerah sentra produksi jagung dan Bogor sebagai daerah sub urban dengan jumlah responden dari masing-masing lokasi sebanyak 50 orang. Analisis aflatoksin dilakukan dengan metode Thin Layer Chromatography (TLC) terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.

Hasil kuesioner pada butir tingkat kesukaan menunjukkan bahwa sebesar 28% responden di kota Bojonegoro menyukai produk jagung sedangkan 60% responden bersikap netral. Responden di kota Bogor yang menyukai produk jagung adalah sebesar 42% dan sebanyak 50% responden bersikap netral. Akses responden Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung tidak berbeda nyata untuk lokasi pasar, warung, minimarket dan supermarket. Hasil kuesioner pada responden Bogor menunjukkan bahwa responden di lokasi ini lebih memilih warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat membeli dibandingkan pasar (24% dan supermarket (22%).

Rata-rata frekuensi konsumsi jagung di daerah Bojonegoro lebih tinggi dibandingkan rata-rata frekuensi konsumsi jagung di kota Bogor. Sebanyak lebih dari 50% responden (62%) di Bojonegoro mengonsumsi produk jagung minimal sekali dalam seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden Bogor belum tentu mengonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Responden di Bojonegoro yang memiliki tingkat frekuensi konsumsi lebih tinggi ternyata lebih banyak memilih snack marning jagung (76%) diikuti popcorn siap makan (70%). Hal menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di kota Bogor. Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk pangan tradisional berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan lainnya.


(4)

Domisili responden tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan responden tetapi berpengaruh terhadap frekuensi konsumsi produk jagung. Hal ini terkait erat dengan adanya pengalaman makan di masa kecil serta faktor ketersediaan akan produk jagung. Responden yang menyukai produk jagung belum tentu memiliki frekuensi konsumsi yang tinggi pula dimana hasil yang didapatkan menunjukkan korelasi yang sangat lemah antara faktor kesukaan dan frekuensi. Begitupun halnya dengan porsi konsumsi produk jagung, semakin tinggi frekuensi konsumsi tidak mempengaruhi besarnya porsi konsumsi respoden.

Analisis aflatoksin dilakukan pada 3 kategori sampel, yakni jagung pipil, produk intermediate, dan produk akhir. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin, sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar melebihi batas yang ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Aflatoksin juga sudah ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih < 20 ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel jagung pipil dan produk intermediate.


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI F24104001

Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1987 di Palembang

Tanggal lulus : Juni 2008

Menyetujui, Bogor, Mei 2008

Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum

Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, 26 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Dr. H. M. Hatta Dahlan, M.Eng dan Hj. Erwana Dewi, M.Eng. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Kartika II-3 Palembang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Palembang hingga tahun 2001. Penulis menamatkn pendidikan menengah atas di SMUN 1 Palembang pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) pada tahun 2004.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus HIMITEPA masa bakti 2006-2007 sebagai staf Divisi Profesi dan Internal, anggota Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Bendahara OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMUSI, staf FORCES masa bakti 2005-2006, serta Koordinator Reporter pada Majalah Emulsi. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan, diantaranya Bendahara LCTIP XIV 2006, Koordinator Sie Konsumsi Baur 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan

penelitian dengan judul “Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung” di bawah bimbingan Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum.


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak Pelita V, pemerintah menetapkan untuk lebih menggalakkan penganekaragaman pangan melalui pengembangan tanaman pangan non padi guna memenuhi kebutuhan pangan nasional. Salah satu tanaman pangan non padi yang mendapat prioritas untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung (Zea mays L.) di Indonesia merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi. Konsumsi jagung sebagai pangan mengalami peningkatan dari 2,21 juta ton pada tahun 1970 menjadi 6,09 juta ton pada tahun 1998, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 3,70% per tahunnya. Pertumbuhan ini juga didorong oleh terjadinya pertumbuhan populasi sebesar 2,09% dan konsumsi per kapita yang meningkat rata-rata 1,52% setiap tahunnya. Bahkan, tingkat konsumsi pada tahun 1999-2004 terus mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga mencapai lebih dari 2 juta ton.

Upaya perbaikan tingkat konsumsi jagung perlu dilakukan sebagai bentuk diversifikasi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi jagung perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga, perbaikan yang dilakukan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Upaya ini tentunya harus diimbangi dengan jaminan keamanan pangan terhadap produk jagung itu sendiri. Kontaminan yang sering ditemukan pada jagung dan produk olahannya adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan.

Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan United Nation Development Program (UNDP) pada Conference on Mycotoxins di Nairobi, Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan toksin asal kapang akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relevan dan


(8)

potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang. Masalah mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-kembang segala jenis kapang, termasuk Aspergillus flavus sebagai penghasil utama aflatoksin. Faktor- faktor lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan cara penanganan, pengelolaan dan penyimpanan hasil komoditi pertanian pasca panen dari berbagai jenis bahan makanan masih sering dilakukan secara tradisional dan kurang higienis.

Meningkatnya penggunaan jagung sebagai bahan baku pada beberapa produk pangan akan menjadi beresiko apabila terdapat kandungan aflatoksin di dalamnya, karena aflatoksin sendiri mempunyai sifat tidak rusak terhadap pemanasan. Sehingga, beberapa produk olahan jagung yang telah melewati proses pemanasan pun tidak luput dari bahaya aflatoksin. Di Indonesia, Setdal Bimas mempersyaratkan kandungan aflatoksin maksimal 40 ppb untuk jagung, sedangkan Departemen Kesehatan mengusulkan 20 ppb untuk jagung dan kacang-kacangan beserta produknya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan aflatoksin yang masih terdapat dalam beberapa produk olahan jagung di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memperoleh data konsumsi jagung dari 2 jenis kelompok masyarakat, yakni kelompok konsumen yang bermukim di sentra penanaman jagung dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban. Selain itu juga dilakukan analisis aflatoksin dengan tujuan mengetahui kandungan aflatoksin yang terdapat pada produk pangan berbasis jagung yang beredar di pasaran yang sering menjadi konsumsi masyarakat.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah :

1. Memberikan gambaran mengenai aspek konsumsi produk pangan berbasis jagung serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya


(9)

sehingga dapat dijadikan landasan dalam upaya peningkatan konsumsi jagung sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan

2. Memberikan data mengenai kandungan aflatoksin pada beberapa produk berbasis jagung, dimulai dari sampel jagung pipil tingkat petani, produk

intermediate hingga produk akhir sehingga dapat dijadikan gambaran mengenai titik kecenderungan dimulainya kontaminasi aflatoksin.


(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Produk Olahan Jagung

Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Pada jagung ketan, sebagian besar atau seluruh patinya merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak berpengaruh pada kandungan gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan sebagai bahan pangan. Komposisi kimia butir jagung, tepung jagung dan maizena dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Butir Jagung, Tepung dan Pati Jagung

Komposisi Jagung pipil Tepung Jagung Pati

Jagung

Putih Kuning Putih Kuning

Kalori (cal) Protein (gr) Lemak (gr) Hidrat arang (gr) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (%) 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 0.0 0.38 0.0 12.0 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 0.0 0.38 0.0 12.0 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 343 0.3 0.0 85.0 20.0 30.0 1.5 0.0 0.0 0.0 4.0 Sumber : Hubeis, 1984

Jagung merupakan sumber karbohidrat sesudah padi. Selain itu juga digunakan sebagai sayuran (baby corn dan jagung manis), sebagai makanan ringan (pop corn) dan dan makanan ternak atau sayuran (waxy-corn atau pulut). Klobot keringnya dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan, misalnya wajid Cililin. Pada jenis jagung opaque yang mengandung tryptophan dan lysine, dimanfaatkan sebagai sumber makanan untuk meningkatkan gizi.

Jagung manis tidak mampu memproduksi pati sehingga bijinya terasa lebih manis ketika masih muda. Jenis jagung manis dan baby corn yang biasa digunakan sebagai sayuran banyak menjadi konsumsi rumah tangga sehari-hari. Para ibu rumah tangga biasa mendapatkan pasokan jagung ini dari pasar setempat


(11)

ataupun warung-warung sayur yang berada di sekitar lingkungannya. Jagung manis yang digunakan sebagai sayuran ini akan mengalami pengolahan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.

Penggunaan jagung sebagai makanan ringan biasanya terdapat dalam bentuk popcorn atau yang sering disebut berondong jagung. Berondong jagung ini berasal dari jagung yang telah mengalami proses pemipilan dan kemudian diproses hingga mengembang. Produk ini biasanya diproduksi oleh industri-industri kecil rumah tangga maupun pada stand-stand kios makanan yang langsung mengolah berondong jagung tersebut di hadapan konsumen. Kios-kios ini biasa berlokasi di tempat-tempat umum seperti bioskop ataupun pameran-pameran. Popcorn berasal dari jagung jenis flint corn yang sudah populer sejak dahulu. Volume pengembangan menjadi parameter kualitas popcorn yang paling utama (White dan Johnson, 2003).

Selain itu, jagung juga banyak digunakan oleh industri pangan sebagai bahan baku snack dalam bentuk lain seperti halnya tortilla, keripik jagung, opak jagung dan lain sebagainya yang biasa diproduksi oleh industri-industri pangan dan banyak beredar di kalangan masyarakat. Produk-produk ini telah mengalami proses pengolahan tertentu yang kemudian dikemas dan dipasarkan ke konsumen. Jenis snack seperti inilah yang kemungkinan cukup sering dijangkau oleh masyarakat karena banyak beredar di minimarket maupun warung-warung kecil setempat. Snack yang terbuat dari jagung relatif lebih murah dan lebih mudah proses pengolahannya daripada snack kentang.

Tortilla termasuk pengolahan sekunder dari jagung. Jenis produk tortilla dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti corn chips, taco shells, toscados, nachos, table tortilla dan sebagainya. Tortilla dapat dibuat dari jagung putih atau kuning. Proses pembuatan tortilla merupakan pemasakan alkali. Produk akhir berbentuk pipih dan merupakan hasil pemanggangan. Berdasarkan ukuran partikel dan adonannya, tortilla dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) Table Tortilla, memiliki partikel halus, produk akhir berbentuk pipih dan mengembang selama proses pemanggangan ; (2) Tacos/tostados, memiliki partikel yang lebih besar, produk akhir berbentuk U yang diisi dengan keju, kacang goreng, daging giling,


(12)

krim asam, selada, tomat atau lada. Produk yang banyak berbedar di Indonesia adalah jenis snack berupa tortilla chips.

Selain tortilla, dikenal pula jenis snack keripik jagung yang hampir mirip dengan tortilla. Snack ini dibuat dari tepung jagung yang diproses hingga menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Perbedaan utama keripik jagung dengan tortilla adalah tidak terdapatnya proses nixtamalisasi (pemasakan alkali) dalam proses pengolahan keripik jagung, yakni proses pemasakan alkali (Wikipedia, 2007).

Pembentukan cornflakes dari jagung dapat dilakukan dengan cara ekstrusi, pembentukan serpihan (flaking) dan pengirisan (shredding) atau puffing. Prinsip pembentukan cornflakes adalah pemasakan untuk menggelatinisasi pati dan kemudian pembentukan dan pencetakan adonan atau partikel yg sudah dimasak menjadi serpihan (flake, pemotongan/pengirisan, granula atau kollet) (White dan Johnson, 2003). Citarasa, aroma, tekstur produk timbul karena proses pemanggangan. Citarasa juga dapat terbentuk dengan penambahan flavor, buah-buahan, ataupun kacang.

Jagung goreng disebut juga jagung marning yang dibuat melalui proses penggorengan (pemasakan di dalam minyak panas). Produk ini dapat dibuat pada berbagai tingkat kerenyahan. Biasanya konsumen lebih menyukai jagung goreng yang kerenyahannya seperti kerupuk. Garam, bawang merah, bawang putih dan merica dicampurkan ke jagung goreng sebagai bumbu (Kemal, 2001).

Selain itu, hasil pengolahan primer jagung seperti pati dan tepung jagung juga banyak beredar di masyarakat. Jagung merupakan tanaman penghasil pati utama di dunia. Jagung memiliki kandungan pati tertinggi dibandingkan tanaman serealia lainnya. Pati jagung dapat diperoleh dengan cara mengekstraknya dari biji jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada beberapa tempat terutama pada endosperm sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah sebesar 8,2% dan tip cap sebesar 5,3%. Pati jagung adalah hasil utama penggilingan basah yang melalui tahapan pembersihan, perendaman (steeping), penggilingan, pemisahan dengan ayakan, sentrifugasi dan pencucian (Deptan, 2006).


(13)

Industri pengolahan pati jagung mempunyai prospek cukup cerah karena banyak industri turunan lainnya yang memanfaatkan pati jagung sebagai bahan bakunya, baik industri pangan maupun non-pangan. Pada industri pangan, pati jagung banyak berfungsi sebagai zat pengental dan zat pengisi dalam bahan mkanan atau produk-produk kalengan, sedangkan industri-industri non pangan yang menggunakan pati jagung antara lain industri kertas, industri perekat, industri kosmetik, dan sebagainya (Azmi, 2004).

Tepung jagung merupakan hasil penggilingan kering yang melalui tahap penghancuran, pengayakan dan penghembusan. Tepung jagung ini memiliki ukuran partikel lebih kecil dari 0.191 mm (White dan Johnson, 2003). Tepung jagung banyak digunakan pada industri sereal sarapan dan snack. Selain itu, tepung jagung ini juga digunakan sebagai bahan pengikat pada produk olahan daging.

Hal ini menunjukkan bahwa jagung memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman, bahkan digunakan pula pada industri kimia dan farmasi, pakan ternak, serta industri lainnya (Gambar 1)


(14)

Gambar 1. Produk-Produk yang Dapat Dihasilkan dari Jagung (Dharmaputra, 1997)

B. Keadaan Konsumsi Jagung di Indonesia

Salah satu komoditas pertanian yang mempunyai posisi sangat strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah komoditas jagung. Penggunaan jagung sebagai bahan makanan pokok masyarakat dari tahun ke tahun terus meningkat, meskipun pertumbuhannya menurun seiring dengan keberhasilan swasembada beras (Imron, 2007).

Secara kuantitatif, penggunaan jagung untuk konsumsi langsung hingga tahun 2004 telah mencapai 4.299 juta ton/tahun, industri pangan 2.638/tahun. Namun, dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, konsumsi jagung secara langsung mengalami penurunan yang disebabkan keberadaan jagung

jagung

grits minyak

pati

Dekstrin Gula

Homini

Industri makanan

Industri tekstil, farmasi, dll

Industri kimia dan farmasi Asam organik

Bahan kimia lain etanol

Maizena

Industri makanan


(15)

sebagai bahan makanan merupakan barang inferior sehingga ketika pendapatan masyarakat meningkat, maka konsumsinya menurun. Konsumsi langsung jagung pada tahun 2004 hanya memiliki pangsa sebesar 37.01% dari total penggunaan jagung di Indonesia.

Penggunaan jagung untuk bahan baku industri makanan dan industri olahan lainnya telah mencapai 2.638.000 ton/tahun Sejak tahun 2000, jumlah jagung yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan telah meningkat menjadi 2.340 juta ton atau 21.85% dari keseluruhan kebutuhan jagung di Indonesia dan secara berangsur-angsur meningkat menjadi 2.64 juta ton atau 22.71 % pada tahun 2004. Oleh sebab itu, potensi usaha yang ditimbulkan oleh komoditas jagung untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan olahan lainnya tidak dapat diabaikan begitu saja.

Tabel2. Penggunaan Jagung di Indonesia Tahun 1980-2004

Tahun Konsumsi Industri pangan Industri pakan Total

(000) ton (%) (000) ton (%) (000) ton (%) (000) ton 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 3 705 5703 4657 4567 4478 4388 4299 93.99 86.44 43.48 41.76 40.11 38.53 37.01 0 499 2340 2415 2489 2564 2638 0 7.56 21.85 22.08 22.29 22.51 22.71 237 396 3713 3955 4197 4438 4680 6.01 6.00 34.67 36.16 37.59 38.96 40.29 3942 6598 10 710 10 937 11 164 11 390 11 617

Rata-rata 4478 40.18 2489 22.29 4.197 37.53 11 164

R (%/thn) -1.98 -3.95 3.04 0.97 5.96 3.83 2.05

*rata-rata dan pertumbuhan untuk periode 2000-2004 Sumber : Seperti dikutip oleh Imron, 2007

Konsumsi jagung secara umum dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu konsumsi langsung, untuk bahan baku industri pakan ternak, bahan baku industri makanan dan untuk kebutuhan lain seperti bibit, hilang tercecer dan lain-lain. Penggunaan jagung untuk konsumsi langsung atau makanan pokok masyarakat dari tahun ke tahun terus meningkat meskipun pertumbuhannya semakin menurun seiring dengan keberhasilan swasembada beras. Secara mikro,


(16)

konsumsi jagung sebagai bahan makanan pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh masyarakat desa dibanding masyarakat kota (Imron, 2007).

C. Survey Konsumsi Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok (kebutuhan dasar) manusia untuk hidup sehat (Harper,dkk, 1985). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu seperti dikutip oleh Suhardjo (1989).

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh faktor fisiologi, psikologi, preferensi dan pengetahuan tentang makanan. Faktor sosial yang memegang peranan penting dalam konsumsi pangan. Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), penilaian konsumsi pangan dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan melalui survey secara kuantitatif maupun kualitatif. Survey secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi, sedangkan survey secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan.

Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan makannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Oleh karena itu, survey konsumsi pangan dapat menghasilkan data atau informasi yang bersifat kualitatif atau kuantitatif atau kedua-duanya (Suhardjo et al., 1988).

Survei konsumsi pangan yang dirancang dengan benar akan dapat dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun program-program dalam bidang ekonomi, pertanian, sosial dan pembangunan secar keseluruhan (Suhardjo, et al., 1988). Pada penelitian ini, survey konsumsi pangan dilakukan secara kualitatif. Pada survey secara kualitatif, data yang dikumpulkan menitikberatkan pada kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang atau masyarakat.


(17)

D. Kebiasaan Makan dan Pola Konsumsi Makanan Tradisonal

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi, 1989). Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan merupakan suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makan atau makanan seperti frekuensi pangan seseorang, pola makan yang digunakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi pangan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (suka/tidak) dan cara pemilihan makanan yang hendak dimakan.

Kebiasaan makan merupakan cara-cara individu atau kelompok masyarakat dalam memilih, mengonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada latar belakang sosial budaya tempat dia atau mereka hidup (den Hertog dan van Staveren, 1983).

Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi pangan (Khumaidi, 1989). Kebiasaan makan seseorang atau keluarga sangat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi karena kebiasaan makan tersebut bersifat menyatu dengan perilaku konsumsi. Keragaan pada pangan lokal dari studi mengenai kebiasaan pangan pada 11 golongan etnik yang dominan di Indonesia yaitu suku-suku : Jawa, Madura, Batak, Aceh, Mandailing, Minangkabau, Banjar, Bugis, Kaili, Manado, Seram dan Sikka, pada penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan dan pinggiran kota masih tergantung pada komoditi pangan yang dibudidayakan sendiri atau yang tersedia dalam lingkungan alam setempat, sedangkan penduduk yang tinggal di perkotaan menggantungkan sumber pangan pada setempat (Roestamsjah dkk, 1989). Terdapat 2 faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yakni faktor ekstrinsik (lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan agama, dan lingkungan ekonomi) serta faktor intrinsik (emosional, jasmani, dan penilaian terhadap mutu makanan).

Kebiasaan makan jagung ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia. Dengan kondisi agroekologi lahan yang kering, masyarakat NTT mempertahankan hidupnya dengan mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok utama (Hosang, 2006). Akan tetapi, hasil produksi jagung di Nusa


(18)

Tenggara Timur (NTT) menjadi semakin menurun beberapa tahun terakhir akibat dari menurunnya etos kerja masyarakat. Pergeseran nilai dan kebudayaan masyarakat yang melihat beras sebagai komoditas utama, juga menjadi faktor utama penyebab menurunnya produktivitas tanaman itu (Anonim, 2007). Di Madura, makanan pokok masyarakat semula adalah jagung. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini, ada pergeseran pola konsumsi dari nonberas ke beras. akibat gencarnya penyuluhan tentang swasembada beras. Hal ini mampu mengubah pola pikir masyarakat yang sebelumnya tidak mengonsumsi beras menjadi pengonsumsi beras (Siagian, 2003). Meskipun begitu, sebagian masyarakat Madura masih ada yang tetap mengonsumsi jagung hingga saat ini.

Susanto et al. (1992) mengemukakan bahwa pola konsumsi makanan tradisional sebagai bagian dari kebisaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor di luar sistem sosial keluarga seperti iklan-iklan beragam makanan dan minuman

“modern”, meningkatnya alokasi waktu yang digunakan anggota keluarga untuk

melakukan kegiatan di luar rumah dan kecenderungan perubahan pola pikir yang mengarah pada segi kepraktisan dan efisiensi dalm pemilihan pangan sehari-hari serta berkembangnya kuantitas pedagang makanan dn minuman kaki lima yang relatif pesat.

Program penganekaragaman pangan perlu dilakukan melalui proses identifikasi makanan tradisional yang meliputi tidak hanya kebiasaan dan kesukaan konsumen tetapi juga produsen termasuk usaha tani yang beraneka ragam, pengelola dan pedagang (Susanto, 1993).

Menurut Winarno (1993), makanan tradisional merupakan makanan yang berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan sesuai dengan tradisi daerah setempat. Pernyataan ini dipertegas oleh Suhardjo (1989) yang mengemukakan bahwa makanan tradisional secara harfiah artinya adalah adanya hubungan antara pangan dengan tradisi kelompok penduduk atau masyarakat di suatu daerah tertentu.

E. Preferensi Terhadap Makanan

Preferensi terhadap makanan sangat dipengaruhi oleh sikap erat hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak atau menerima terhadap


(19)

makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu apa yang dipelajari dan apa yang dilihat misalnya melalui berbagai iklan di media massa.

Menurut Suhardjo (1989), kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna dan bentuk makanan akan mempengaruhi nafsu makan seseorang. Dickins yang dikutip oleh Sanjur (1982) menegaskan bahwa preferensi makanan sebagian besar ditentukan sejak dini.

Selera makan merupakan faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang terhdap makanan. Menurut Harper et al (1985), selera makan terdiri dari sekumpulan citarasa yang dapat merangsang seseorang untuk mengkonsumsi makanan. Rosegrant et al. seperti dikutip oleh Adiwirman (1992) mengungkapkan bahwa masyarakat di pedesaan memiliki pola konsumsi jagung yang berbeda dengan masyarakat di perkotaan. Masyarakat desa memiliki preferensi yang lebih tinggi untuk menggunakan jagung sebagai makanan pokok pengganti beras maupun campuran beras, sedangkan masyarakat kota lebih senang mengkonsumsi jagung sebagai makanan selingan.

Suryana (1991) mengungkapkan bahwa di Jawa Timur, baik di pedesaan maupun perkotaan, konsumsi jagung segar (jagung basah dengan kulit) meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa jagung segar menunjukkan karakteristik sebagai komoditas normal, bukan inferior. Jagung segar ini biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan yang dijajakan dan dikonsumsi di tempat rekreasi.

Masyarakat kota Bogor lebih memilih mengkonsumsi jagung sebagai makanan selingan atau jajanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chapman (1984), makanan jajanan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bogor. Sebesar 25% anggaran belanja untuk makanan pada semua tingkat pendapatan dikeluarkan untuk membeli makanan jajanan.

F. Aspergillus flavus sp.

Aspergillus flavus termasuk dalam divisi Thallophita, sub divisi Deuteromycotine, kelas fungi imperfecti, ordo Moniciales, famili Moniliceae dan


(20)

genus Aspergillus. Warna spesifik dari koloni ini adalah hijau kekuningan dengan diameter umumnya 3-6 μm (Fassatiova, 1986).

Gambar 2. Aspergillus flavus

Aspergillus flavus sp.adalah suatu spesies cendawan yang galur-galurnya pada kondisi lingkungan tertentu dapat menghasilkan aflatoksin. Toksin tersebut dapat menyebabkan kanker hati baik pada manusia maupun hewan piaraan (Butler dalam Dharmaputra et al., 1994).

Menurut Christensen dan Kauffman (1969), Aspergillus flavus umumnya terdapat di tanah, khususnya tanah-tanah garapan untuk tanaman pangan, dan juga umum terdapat pada semua bahan yang telah rusak seperti biji-bijian yang kadar airnya memungkinkan untuk pertumbuhan Aspergillus flavus.

Menurut Shank (1970) dan Parpia (1971) dalam Samson et al., (1981),

Aspergillus flavus sering menyerang berbagai hasil pertanian yang dikeringkan, terutama bila pengeringan bahan berlangsung lambat, sedangkan makanan segar seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak menunjukkan kandungan aflatoksin yang positif.

Aspergillus flavus sp. dapat menimbulkan kerugian ekonomi dalam industri dan dapat juga menimbulkan masalah kesehatan yaitu menghasilkan aflatoksin yang mempunyai efek racun (toksigenik), mutagenik, teratogenik, dan karsinogenik (Makfoeld, 1993).

Kemampuan kapang untuk membentuk dan menimbun aflatoksin tergantung beberapa faktor yaitu potensial genetik kapang,


(21)

persyaratan-persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak antara kapang dengan substrat (Jay, 1996).

Adanya pertumbuhan Aspergillus flavus pada beberapa bahan pangan menunjukkan kemungkinan terjadinya pencemaran aflatoksin pada bahan pangan tersebut. Suatu penelitian melaporkan bahwa dari 1390 isolat Aspergillus flavus di berbagai negara, 803 di antaranya (kurang lebih 60%) menghasilkan aflatoksin (Diener dan Davis, 1969).

Hesseltine et al. dalam Kusbiantoro (1984) melaporkan bahwa jagung, gandum dan beras yang diinokulasikan dengan tiga isolat Aspergillus flavus

menghasilkan aflatoksin lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum dan kacang kedelai pada kultur tetap maupun bergoyang. Aspergillus flavus juga menghasilkan aflatoksin jenis lain bila ditumbuhkan dalam media asam. Aflatoksin tersebut mempunyai warna fluoresensi biru dan hijau dengan kepolaran lebih besar dan daya racun lebih kecil.

G. Aflatoksin

Penelitian aflatoksin dimulai ketika pada tahun 1960 terjadi wabah penyakit pada ternak unggas dan ikan. Wabah ini menyebabkan kematian 100.000 anak ayam kalkun secara mendadak di Inggris. Oleh karena pada waktu itu faktor penyebbnya belum diketahui, wabah tersebut dikenal dengan nama Turkey X disease. Wabah ini diikuti dengan kematian 14.000 anak bebek dan 9 anak sapi. Hasil penelitian selanjutnya memperlihatkan bahwa wabah tersebut disebabkan oleh toksin yang dihasilkan kapang Aspergillus yang tumbuh pada kacang tanah sebagai campuran pakan unggas yang diimpor dari negara Brasil, selanjutnya toksin tersebut diberi nama aflatoksin (Makfoeld, 1993).

Aflatoksin merupakan produk metabolisme sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Heathcote, 1984). Produksi aflatoksin dimulai pada hari kedua setelah inkubasi dan mencapai maksimum sekitar hari ketujuh. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi aflatoksin adalah tingkat aerasi karena produksi aflatoksin adalah proses aerobik, tingkat gas atmosfir, suhu, RH, dan kelembaban atmosfir.


(22)

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang berbentuk turunan poliketida. Aflatoksin mempunyai titik cair relatif tinggi, tidak rusak terhadap pemanasan, tetapi dapat rusak oleh oksidator kuat. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik dan mudah untuk dikristalkan kembali. Aflatoksin tereduksi oleh O2 sehingga dapat menurunkan kadar aflatoksin dari 5% menjadi 1% (Bogley,

1997).

Terdapat beberapa jenis aflatoksin yang telah diisolasi secara terpisah, tetapi hanya enam yang diamati secara mendalam karena sifat toksisitasnya dan banyak ditemukn dalam produk-produk alami yaitu B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Pemberian nama aflatoksin sesuai dengan fluoresensinya pada lempeng kromatografi dengan silika gel yang disinari dengan ultraviolet pada panjng gelombang 365 nm. Jika fuoresensinya biru maka diberi kode B dari kata Blue, dan jika fuoresensinya hijau diberi kode G dari kata Green (Betina, 1989).

Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang mempunyai pengaruh biologis terhadap makhluk hidup yang mengkonsumsinya. Aflatoksin dapat menyebabkan toksigenik, mutagenik, teratogenik dan karsinogenik (Makfoeld, 1993).

Gambar 3. Struktur Kimia Beberapa Jenis Aflatoksin (www.dailyscience.com)


(23)

Aktivitas biologis atau sifat racun aflatoksin berhubungan dengan struktur kimianya. Aflatoksin B1 merupakan toksin yang paling berbahaya dan paling banyak dihasilkan, diikuti dengan aflatoksin G1, B2, G2, M1 dan M2. Efek aflatoksin pada manusia dan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti spesies yang terkena aflatoksin, umur dan jenis kelamin, dosis yang termakan, status gizi, lamanya aflatoksin terpapar dan jenis makanan (Krausz, 2001).

Pembentukan senyawa aflatoksin oleh A. flavus pada substrat alami dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya oleh jenis kapang, jenis substrat, kelembaban dan kadar air, suhu dan waktu inkubasi, tingkat kematangan substrat, kerusakan substrat, kadar oksigen dan karbondioksida, serta interaksi mikrobial.

Jenis aflatoksin yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus berbeda-beda. Beberapa isolat Aspergillus flavus hanya memproduksi senyawa aflatoksin B, beberapa lagi hanya afltoksin G, tetapi sebagian besar memproduksi kedua jenis aflatoksin B dan G. Tidak semua galur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus menghasilkan aflatoksin (Heathcote, 1984).

Menurut Jay (1996), aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu antara 7.5 – 40o C dengan suhu optimum 24-280 C. Aflatoksin tidak dapat dihasilkan pad Aw 0.83 akan tetapi pertumbuhan Aspergillus flavus dapat terjadi pada Aw yang lebih rendah dari 0.83. Bullerman et al. (1984) menunjukkan bahwa batas Aw yang dapat membentuk aflatoksin oleh Aspergillus flavus antara 0.83 – 0.87 tetapi pertumbuhan kapng pada Aw yang lebih rendah dari 0.83.

Aflatoksin bersifat sangat stabil. Beberapa cara perlakuan tidak sepenuhnya mengurangi toksisitasnya. Usaha pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : menghindari pertumbuhan mikroba pada bahan pangan (seperti yang umum dilakukan pada mikroba) antara lain dengan menurunkan kelembaban hingga di bawah 80% sehingga didapat Aw sekitar 0.65-0.70 dimana kapang akan terhambat pertumbuhannya (Jay, 1996).

Beberapa cara telah dicoba untuk menghilangkan aflatoksin dari bahan pangan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Heathcote (1984), metode fisik meliputi radiasi, pemanasan dan ekstraksi aflatoksin dari bahan pangan. Metode kimia meliputi perlakuan dengan asam, basa, oksidator dan


(24)

dengan bisulfit. Metode biologi dilakukan dengan cara menghambat pertumbuhan sel penghasil aflatoksin oleh mikroba lain.

Tidak seperti racun yang dihasilkan bakteri, racun yang dihasilkan kapang relatif stabil terhadap pemanasan (Tabel 2). Racun botulinin dapat diinaktifkan pada suhu 85 0C selama 30 menit (Winarno, 1997) sedangkan aflatoksin jauh lebih stabil terhadap suhu yang tinggi.

Tabel 3. Beberapa Sifat Fisik Aflatoksin B1 dan Aflatoksin B2

Aflatoksin RM BM Titik Cair (oC)

B1 B2

C17H12O6

C17H14O6

312 314

268-269 286-289

Penambahan zat-zat kimia seperti dimetil amina, amonia, natrium hidroksida, hidrogen peroksida dan ozon dapat mendeaktivasi aflatoksin. Cara ini hanya berlaku terhadap aflatoksin B1 dan G1 tetapi tidak terhadap aflatoksin lainnya. Dan dalam hal ini tidak mudah dilakukan pada bahan-bahan yang dikonsumsi manusia (Murni, 1993). Biji jagung yang terkontaminasi Aspergillus flavus akan mengalami perubahan warna seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Biji Jagung yang Terkontaminasi Aspergillus flavus

Sumber :www.agnet.org/images/library/pt2003012f1.jpg

Masyarakat Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk terpapar oleh aflatoksin karena cukup banyak komoditi-komoditi pangan yang populer bagi masyarakat sebenarnya merupakan sumber substrat bagi aflatoksin (Situngkir, 2005).

Prevalensi kejadian aflatoksin di Indonesia cukup beragam. Hal ini disebabkan perbedaan aplikasi teknologi penanganan pasca panen yang diterapkan


(25)

pada masing-masing daerah. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Balitsereal mengkaji proses pascapanen jagung di provinsi Gorontalo dan kaitannya dengan cemaran Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin. Hasil penelitian menyebutkan bahwa produk biji jagung dari petani sampai pedagang pengumpul/pengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb – 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi (>72,0 ppb) ditemukan pada tingkat pedagang pengumpul/pengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat pengering pada saat berlangsungnya penelitian.

Mengingat efeknya pada kesehatan, suatu badan yang bertanggungjawab terhadap keamanan makanan, obat dan kosmetik, yaitu Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan kadar baku tertinggi aflatoksin yang diizinkan pada makanan yaitu sebesar 20 ppb (Shanhan dan Brown, 2001). Di Indonesia sendiri, kadar aflatoksin pada jagung telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI seperti tercantum pada Tabel 4

Tabel 4. Batas Maksimum Aflatoksin pada Produk Olahan Jagung (BPOM RI)

No Jenis Pangan Batas Aflatoksin

Jenis (ppb) Total 1.

2.

3. 4.

Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak : - Minyak jagung

Sereal dan Produk Sereal Termasuk Tepung dan Pati dari Akar-Akaran dan Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan dan Polong-Polongan:

- Biji jagung - Tepung jagung - Pati jagung

- Makanan Cereal ( Corn flakes)

Makanan Ringan Siap Makan: - Pop corn

Lain-Lain:

-Pangan Olahan Lain yang Mengandung Jagung B1 B1 B1 B1 B1 B1 B1 20 20 20 20 20 20 20 35 35 35 35 35 35 35

H. Metode Analisis Aflatoksin

Beberapa metode analitik untuk deteksi dan analisis kuantitatif dari residu mikotoksin di makanan maupun pakan sangat penting dilakukan untuk


(26)

memastikan bahwa suatu komoditi aman dikonsumsi hewan maupun manusia. Secara kimia, analisis aflatoksin dilakukan menggunakan metode Thin layer chromatography (TLC) dan High performance liquid cromatography (HPLC). TLC banyak digunakan sebagai teknik separasi yang mengkombinasikan metode analisis kualitatif maupun kuantitatif. Limit deteksinya berada pada kisaran microgram dan nanogram. Pada metode TLC, digunakan pelat yang umum dipakai adalah silika gel. Tahap elusi dapat dilakukan secara monodimensional ataupun bidimensional. Jenis pelarut yang digunakan untuk elusi tergantung pada jenis pelat yang digunakan. Pelarut yang banyak digunakan adalah etanol, kloroform ataupun aseton. Deteksi yang paling umum digunakan adalah menggunakan UV ataupun fluoresens karena teknik ini memungkinkan dilakukan kuantifikasi residu mikotoksin (Cazes, 2005). TLC merupakan metode yang paling umum dilakukan saat ini karena memberikan beberapa keuntungan, seperti cukup singkatnya waktu analisis yang diperlukan, teknik yang sederhana untuk dilakukan serta memiliki kesensitivitasan yang cukup tinggi.

Secara biokimia, analisis aflatoksin dapat dilakukan menggunakan uji biologis seperti immunoassays. Akan tetapi, uji ini jarang sekali dilakukan oleh para pengawas pangan. Teknik immunoassay yang sedang dikembangkan adalah radio immunoassay (RIA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Limit deteksinya berada pada kisaran pikogram hingga nanogram. Selain itu, terdapat aplikasi metode yang lebih canggih dikenal dengan teknik kromatografi afinitas antibodi. Penggunaan kolom tunggal yang terdiri dari antibodi anit-aflatoksin yang secara kovalen berikatan dengan matriks gel (agarosa) dalam

cartridge plastik telah diperkenalkan. Cara ini pernah diaplikasikan pada jenis aflatoksin M1 yang ditemukan di susu. Limit deteksinya diperkirakan sekitar 0.05 µg/ l , sepuluh kali lebih rendah daripada level yang disarankan FDA (Nielsen, 1998).


(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Survey Konsumsi Jagung

Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik survey dengan alat bantu kuesioner. Jumlah responden yang digunakan adalah 100 orang. Responden dibagi menjadi 2 kelompok besar konsumen jagung, yakni kelompok konsumen yang bermukim di sentra penanaman jagung (Bojonegoro) dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban (Bogor). Pengambilan sampel responden dilakukan secara purposive sampling technique atau suatu penarikan sampel non-random dengan dasar sampling availability.

Ukuran contoh responden ditentukan menggunakan persamaan :

Dalam hal ini : p adalah proporsi popuasi yang akan diukur, n = besar contoh yang ditarik, Z = nilai tabel Z yang sesuai dengan besarnya α yang digunakan, dan E besarnya ketelitian yang diinginkan.

Dalam penentuan besarnya ukuran contoh responden yang harus ditarik digunakan besar proporsi responden yang mengonsumsi jagung terhadap populasi konsumen jagung di Bogor dan Bojonegoro adalah p = 5% atau p = 0.05; dan (1-p) = 0.95. Dengan menggunakan presisi sebesar 5% besarnya sampel responden yang akan ditarik berdasarkan persamaan adalah sebesar :

(1.96)2 (0.05) (1-0.05)

n = = 72

(0.05)2

Survey yang dilakukan di penelitian ini menggunakan ukuran contoh 100 orang responden yang berarti lebih besar dari seharusnya, yakni 72 orang. Hal ini untuk mengantisipasi adanya responden yang tidak menjawab pada pertanyaan tertentu.

Penelitian didasarkan pada tahapan penelitian validitas metodologi penelitian survey (Singarimbun dan Effendi, 1995). Tahapan tersebut digambarkan pada flow chart Gambar 5.

Z2 (p) (1-p) n =


(28)

Penentuan sampel, teknik dan cara pengambilan

Pembuatan kuesioner

Ujicoba kuesioner

Pengumpulan data

Tabulasi data

Analisis Data

Pembuatan laporan

Gambar 5. Skema Tahapan Penelitian Survei

Kuesioner yang telah disusun diujicoba terlebih dahulu sebelum diajukan pada responden yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki desain kuesioner yang telah dibuat serta memberi kesempatan kepada responden untuk memberikan saran dalam pembuatan kuesioner. Contoh kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 2.

Untuk mengetahui kelayakan kuesioner dilakukan uji validitas dan realibilitas terhadap 24 kuesioner yang telah diisi sebagai sampel. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi berdasarkan metode One shot

(pengukuran satu kali) yaitu memasukkan data yang diperoleh dari kuesioner ke program SPSS versi 12 for windows.

Pembuatan kuesioner didasarkan pada tujuan penelitian. Pertanyaan yang disusun merupakan kombinasi dari pernyataan tertutup dan pertanyaan terbuka. Jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner meliputi data identitas responden, tingkat kesukaan akan produk berbasis jagung, cara memperoleh produk olahan jagung, frekuensi makan dan jenis-jenis produk jagung yang biasa dikonsumsi.


(29)

Data identitas responden meliputi nama, umur dan jenis kelamin. Pada

butir tingkat kesukaan, responden diminta memilih tingkat kesukaan ”suka”, ”netral”, hingga ”tidak suka” terhadap produk berbasis jagung. Pengolahan

dilakukan menggunakan uji Duncan untuk melihat adanya perbedaan yang nyata atau tidak terhadap kesukaan responden di kedua lokasi. Selanjutnya, pada butir akses untuk mendapatkan produk berbasis jagung, responden diberikan pilihan

’warung’, ’pasar’, ’minimarket’ dan ’supermarket’. Pengolahan juga dilakukan

menggunakan uji Duncan untuk melihat kecenderungan responden di kedua lokasi dalam memilih tempat membeli produk olahan jagung. Frekuensi makan merupakan butir pertanyaan kuesioner yang digunakan untuk mengetahui seberapa sering responden mengkonsumsi produk berbasis jagung dalam seminggu. Selanjutnya, kuesioner menampilkan 10 jenis produk jagung yang beredar di pasaran. Responden diminta memilih produk jagung yang biasa dikonsumsi dan diberikan tingkatan frekuensi secara kualitatif, mulai dari

”jarang”, ”kadang-kadang” hingga ”sering”.

Selain itu, pengolahan data juga menggunakan uji korelasi Spearman, Pearson Product dan Chi-Square untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara masing-masing variabel yang diuji. Variabel-variabel yang diuji adalah hubungan antara lokasi domisili responden dengan tingkat kesukaan terhadap produk jagung, hubungan antara lokasi domisili responden dengan frekuensi konsumsi, hubungan antara tingkat kesukaan dengan frekuensi konsumsi dan hubungan antara frekuensi dan porsi konsumsi produk jagung. Hasil analisis korelasi ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi produk jagung responden.

B. Analisis Aflatoksin Menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) 1. Prinsip Analisis

Metode analisis aflatoksin yang digunakan diadopsi dari metode Tropical Product Institute (TPI) tahun 1980. Aflatoksin dalam contoh diekstrak memakai asetonitril dan dihilangkan lemaknya memakai n-heksana. Pemurnian dilakukan memakai diklorometana dan dehidrasi dilakukan memakai sodium sulfat anhidrat.


(30)

Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan cara elusi 1 (satu) dimensi pada TLC

plate.

2. Ekstraksi Aflatoksin (TPI, 1980)

Sampel jagung ditimbang sebanyak 25 gram ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 50 ml setonitril, 10 ml larutan KCl 4% dan 1 ml larutan HCl 5 M. Campuran ini dikocok menggunakan mechanical shaker selama 30 menit. Setelah itu disaring menggunakan kertas saring Whatman No.1.

Larutan sampel yang sudah disaring dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 ml. Selanjutnya ditambah 25 ml akuadest. Bagian ini diekstraksi menggunakan 50 ml n-heksana. Setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah (fraksi asetonitril) dikumpulkan dalam botol 100 ml. Diulangi dengan menambahkan kembali 50 ml n-heksana.

Fraksi asetonitril yang telah bebas lemak ini dimasukkan kembali ke dalam labu kocok 250 ml, ditambahkan 25 ml aquadest, setelah itu ditambahkan 50 ml diklorometana. Dikocok 1 menit, kemudian fraksi asetonitril dan diklorometana dikumpulkan dalam botol bersih. Ekstraksi dengan 50 ml diklorometana diulangi sekali lagi, setelah itu didehidrasi menggunakan 5 gram Na2SO4 anhidrat.

Cairan hasil ekstraksi diuapkan sampai hampir kering, kemudian residu yang diperoleh dipindahkan ke dalam vial memakai kloroform, setelah itu diuapkan kembali. Sebelum identifikasi, contoh hasil penguapan dilarutkan kembali menggunakan 500 µL kloroform secara kuantitatif.

3. Pembuatan Deret Standar dan Pembercakkan Contoh

Disiapkan bejana kromatografi berisi eluen kloroform aseton 9:1. Pada lempeng kromatografi ukuran 10 x 20 cm, dibuat garis menggunakan pensil yang mengindikasikan batas bawah (1.5 cm dari tepi bawah) dan batas atas (1.5 cm dari tepi atas). Dibuat juga titik-titik yang menunjukkan tempat pembercakkan larutan standar maupun contoh, masing-masing titik berjarak 1-1.5 cm.

Sebanyak 1 µL sampai dengan 8 µL larutan working standard B1 konsentrasi 4 ppm dibercakkan pada lempeng kromatografi menggunakan


(31)

microsyringe 10 µL. Pada lempeng yang sama dibercakkan pula 5 µL dan 10 µL larutan contoh. Lempeng kromatografi tersebut dimasukkan ke dalam bejana yang berisi eluen, lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas atas. Setelah dikeringkan memakai dryer, diamati menggunakan UV viewing cabinet

pada panjang gelombang 366 nm.

4. Identifikasi Aflatoksin

Uji kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu tambat (Rf) bercak contoh dengan standar sedangkan uji kuantitatif dilakukan dengan membandingkan intensitas perpendaran bercak contoh dan standar.

Kandungan aflatoksin dihitung sebagai (µg/kg) dengan perhitungan sebagai berikut :

Kandungan aflatoksin (ppb) =

Keterangan :

S : Volume aflatoksin standar yang intensitas perpendarannya setara dengan z

μl sampel

Y : Konsentrasi aflatoksin standar dalam μg/ml

Z : Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran

setara dengan S μl standar aflatoksin

V : Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak akhir (μl) W : Volume sampel (ml)

Fp: Faktor pengenceran

S x Y x V x fp Z x W


(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengujian Kuesioner

a. Uji Reliabilitas

Uji coba kuesioner responden dilakukan kepada 24 responden yang terbiasa mengkonsumsi produk jagung. Data hasil pengisian kuesioner diolah dan dicari hubungan korelasi antar variable yang diperoleh dari pengolahan menggunakan SPSS versi 12 for windows. Sebanyak 13 variable yang berhubungan dengan aspek konsumsi produk jagung dihitung korelasi dan matriks reliabilitasnya. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5. Korelasi antar variable berupa nilai korelasi (r dari Pearson) ini dihitung menggunakan metode one shot (pengukuran hanya sekali).

Secara statistik, angka yang diperoleh dibandingkan dengan angka r table untuk α = 0.05. Nilai r table pada n-2 = 22 adalah 0.27. Oleh karena r hitung yang diperlihatkan pada Tabel 5 sebagian besar lebih besar dari 0.27 maka pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner dapat dianggap reliabel.

Tabel 5. Nilai koefisien korelasi (r) variable pada kuesioner Item -Total Statis tics

20.3750 27.201 .060 .818

20.5833 27.645 -.058 .838

20.7083 24.650 .420 .795

20.7917 22.433 .752 .767

20.5417 24.346 .296 .809

20.3750 21.984 .642 .773

21.0000 23.826 .554 .785

20.3750 20.940 .650 .770

20.1250 22.549 .504 .787

21.1250 24.027 .614 .783

21.1250 23.853 .647 .780

20.3750 22.071 .546 .783

V A R00001 V A R00002 V A R00003 V A R00004 V A R00005 V A R00006 V A R00008 V A R00007 V A R00010 V A R00011 V A R00012 V A R00013

Scale Mean if Item Deleted

Scale V arianc e if Item Deleted

Correc ted Item-Total Correlation

Cronbach's A lpha if Item


(33)

b. Uji Validitas

Pengukuran validitas dilakukan dengan memeriksa nilai α Cronbach dari korelasi antar variabel (Reliability Coefficients) atas item variable yang diperlihatkan matriks nilai korelasinya pada Tabel. Nilai untuk responden adalah sebesar :

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), standar untuk uji validitas dapat dikatakan valid adalah 0.75. Dengan nilai Alpha Cronbach yang diperoleh dari pengolahan menggunakan SPSS versi 12 for windows lebih besar dari 0.75 maka pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dianggap valid.

B. Profil Responden

Deskripsi profil responden diperoleh berdasarkan penyebaran kuesioner yang dilakukan pada 2 lokasi survei. Profil responden meliputi jenis kelamin, usia, dan status pekerjaan.

a. Jenis Kelamin

Dari total 50 responden yang berlokasi di Bojonegoro, 30% dari jumlah responden ( 14 orang) adalah wanita dan 70 % (33 orang) adalah pria. Di Bogor, 90 % dari jumlah responden (37 orang) adalah wanita dan 10 % (4 orang) adalah pria. Sebaran frekuensi jenis kelamin responden konsumen secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.

Reliability Statis tics

.806 12

Cronbac h's


(34)

Gambar 6. Frekuensi Jenis Kelamin Responden

b. Usia

Berdasarkan usia responden yang berlokasi di Bojonegoro, 88 % (42 orang) responden berusia 15-25 tahun dan 12% responden berusia di atas 25 tahun. Tabel frekuensi usia repsonden konsumen selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi Umur Responden

Kategori usia Responden

Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

15-25 tahun 42 88 43 100

26-35 tahun 3 6 - -

36-45 tahun 2 4 - -

>45 tahun 1 2 - -

Total 48 100 43 100

Tidak menjawab 2 - 7 -

c. Status Pekerjaan

Dari total 50 responden di Bojonegoro, sebagian besar responden (54%) berstatus sebagai mahasiswa, sedangkan sebanyak 50 responden yang berlokasi di Bogor, total keseluruhan responden yakni 100% (50 orang) adalah mahasiswa. Sebaran frekuensi status pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 7.

30%

70%

wanita pria

90% 10%

wanita pria


(35)

Tabel 7. Frekuensi Status Pekerjaan Responden Kategori status

pekerjaan

Responden Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

Pelajar 17 35 - -

Mahasiswa 26 54 43 100

Wiraswasta 5 10 - -

Total 48 100 43 100

Tidak menjawab 2 - 7 -

C. Aspek Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung

a. Kesukaan Terhadap Produk Pangan Berbasis Jagung

Kesukaan terhadap suatu makanan akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo, 1989). Kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : (1)Karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan) ; (2) Karakteristik pangan itu sendiri (rasa, harga, penampakan); dan (3) Karakteristik lingkungan (musim, pekerjaan, tingkat social dalam masyarakat) (Sanjur, 1982). Selain itu, keterikatan yang kuat terhadap pola makan (kebiasaan) biasanya terbentuk ketika masyarakat menyukai makanan tersebut seperti dikutip oleh Khumaidi (1989).

Penilaian perilaku konsumsi responden di 2 lokasi survei, yakni Bojonegoro dan Bogor berdasarkan tingkat kesukaan terhadap produk jagung dapat dilihat pada Tabel 8

Tabel 8. Frekuensi Tingkat Kesukaan Responden Terhadap Produk jagung

No Tingkat Kesukaan Terhadap Produk

Jagung

Responden Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

1. Suka 14a 28 21a 42

2. Netral 30b 60 25a 50

3. Tidak Suka 4a 8 - -

Total 48 96 46 92

Tidak menjawab 2 - 4 -

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.


(36)

Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 60% responden yang berada di Bojonegoro bersikap netral terhadap produk jagung dan hanya 28% responden yang menyukai produk jagung. Sedangkan di Bogor, persentase responden yang menyukai produk jagung lebih banyak dibandingkan responden di Bojonegoro. Sebanyak 42% menyukai produk jagung dan 50% lainnya bersikap netral.

Data ini menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh responden di kedua lokasi. Adanya dominasi sikap netral responden Bojonegoro dapat dijadikan motivasi bagi industri pangan untuk menghasilkan produk olahan jagung yang lebih menarik. Hasil pengolahan produk jagung yang lebih variatif dan berkualitas nantinya akan dapat meningkatkan kesukaan responden. Hal serupa juga dapat ditujukan bagi kelompok responden di Bogor. Bogor sebagai daerah sub-urban menuntut warganya untuk mengikuti gaya hidup modern. Hal ini memicu munculnya produk-produk pangan baru yang berupaya memenuhi tuntutan akan gaya hidup tersebut. Responden Bogor yang hanya bersikap netral terhadap produk jagung akan bertambah kesukaannya jika produk-produk jagung yang ditawarkan dapat bersaing dengan produk-produk lain yang memenuhi tuntutan gaya hidup modern.

Sejalan dengan penelitian ini, penelitian lain yang pernah dilakukan kepada mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi angkatan tahun 1999-2001 sebanyak 100 orang memberikan hasil kajian mengenai perilaku konsumen terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Berdasarkan kajian tersebut, seluruh responden diketahui mengenal jagung. Hal ini disebabkan jagung merupakan bahan pangan yang sudah tersebar hampir di seluruh wilayah tanah air dan sudah banyak dikonsumsi sebagi pangan pokok maupun sebagai pangan olahan dalam bentuk yang beragam seperti sereal instan untuk sarapan, snack atau makanan selingan (Juniawati, 2003). Berdasarkan penelitian tersebut juga diketahui bahwa responden mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi yang mewakili responden Bogor umumnya menyukai produk jagung. Hal ini terlihat dari banyaknya responden yang mengonsumsi jagung pada 1 minggu yang lalu saat kajian dilakukan menunjukkan bahwa jagung merupakan bahan


(37)

pangan yang sering dikonsumsi. Waktu terakhir mengonsumsi pangan asal jagung dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Waktu Terakhir Mengonsumsi Pangan Asal Jagung (n=100) (Juniawati, 2003)

b. Tempat Memperoleh Produk Pangan Berbasis Jagung

Akses responden di Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung tersebar hampir merata di pasar, warung, minimarket dan supermarket. Data kuesioner menunjukkan bahwa banyaknya responden Bojonegoro yang memilih pasar, warung, minimarket maupun supermarket tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk olahan jagung terdistribusi secara merata di lokasi-lokasi tersebut. Ketersediaan yang merata ini menunjang akses konsumen dalam hal kemudahan mendapatkan produk. Hal ini nantinya dapat dilihat berdampak pada frekuensi konsumsi produk olahan jagung responden di Bojonegoro.

Sumarwan di dalam Nadeak (2004) mengungkapkan bahwa adanya keinginan membeli produk akan mendorong konsumen untuk mencari toko atau pusat perbelanjaan tempat untuk membeli produk tersebut. Konsumen akan memilah-milah dan membandingkan karakteristik toko yang sesuai dengan keinginannya. Pasar swalayan atau supermarket merupakan konsep pasar modern yang cepat berkembang di Indonesia dan mendapat respon yang baik dari konsumen. Pasar swalayan memiliki konsep dengan operasi yang relatif lebih besar, berbiaya rendah, memiliki margin yang rendah, serta volume yang tinggi. Swalayan dirancang untuk memenuhi semua kebutuhan

51

12

4 4

23

0 10 20 30 40 50 60

(%)

1 minggu lalu

2 minggu lalu

3 minggu lalu

4 minggu lalu

>4 minggu lalu


(38)

konsumen. Dari hasil survey mengenai sifat dan kualitas keragaman barang di Superindo, sebanyak 33% responden mengatakan sangat penting dan 61% lainnya menyatakan penting (Nadeak, 2004).

Hasil kuesioner pada responden Bogor menunjukkan bahwa responden di lokasi ini lebih memilih warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat membeli dibandingkan pasar (24%) dan supermarket (22%). Kondisi ini cukup menarik karena responden di Bogor, yang dikenal sebagai daerah sub urban, tentunya lebih familiar dengan keberadaan supermarket. Akan tetapi, responden di daerah ini justru lebih memilih warung dan minimarket. Bila diamati lebih lanjut, tidak ada perbedaan jenis produk olahan jagung yang ditawarkan di keempat lokasi tersebut. Hal ini diasumsikan terkait dengan kemudahan responden untuk menjangkau lokasi warung dan minimarket di Bogor. Responden Bogor yang 100% berstatus sebagai mahasiswa yang berdomisili di Dramaga lebih memilih lokasi mendapatkan produk olahan jagung di tempat-tempat yang lebih mudah dijangkau tanpa harus melakukan perjalanan yang cukup jauh. Lokasi suatu toko sangat ditentukan oleh letaknya yang strategis, kemudahan dalam menjangkau toko dengan berbagai sarana transportasi dan keadaan jalan yang lancar (Purba, 2006). Dalam pemilihan lokasi, toko harus strategis supaya mudah dicapai oleh para konsumen. Menurut Purba (2006), keputusan dimana pembelian akan dilakukan tergantung pada pengetahuan tentang pembelian yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kepentingan konsumen mengenai lokasi dan sarana untuk menuju Matahari Bandar Lampung, sebanyak 94% menyatakan penting dan sangat penting.

Selain itu, citra toko merupakan realitas yang diandalkan oleh konsumen sewaktu membuat pilihan dimana mereka memutuskan tempat untuk berbelanja (Setiadi dalam Nadeak, 2004). Minimarket yang berada di daerah Dramaga memiliki citra yang baik sebagai tempat strategis untuk mencari produk-produk yang dibutuhkan oleh para mahasiswa. Konsumen sering mengembangkan citra toko didasarkan pada iklan, kelengkapan di dalam toko, pendapat teman dan kerabat dan juga pengalaman belanja (Nadeak, 2004)


(39)

Data sebaran frekuensi pilihan tempat mengakses produk olahan jagung oleh responden di kedua lokasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8

Gambar 8. Grafik Sebaran Tempat Memperoleh Produk

c. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung

Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan emosional dengan yang memberi makan pada saat anak-anak. Biasanya jenis makanan yang telah terbiasa disukai sejak masa anak-anak akan berlanjut menjadi makanan kesukaan pada usia dewasa (Khumaidi, 1989). Selain itu, kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan ( Suhardjo et al., 1988).

Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra penanaman jagung memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan berbasis jagung. Penduduk di sekitar daerah tersebut biasa mengkonsumsi produk olahan jagung ini sebagai camilan. Terbentuknya kebudayaan mengkonsumsi jagung ini mungkin memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap frekuensi konsumsi produk jagung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suryana

2224 24 44

22

32 32

22

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

%

pasar warung minim

arke t

superm arket

tempat memperoleh

responden Bojonegoro responden Bogor


(40)

(1991), kabupaten Bojonegoro termasuk ke dalam kelompok daerah tingkat konsumsi jagung tinggi. Bila dihubungkan dengan keragaan tingkat produksi, ternyata daerah tingkat konsumsi tinggi ini berimpit dengan kabupaten yang diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi dimana Bojonegoro merupakan salah satu sentra produksi jagung di Indonesia. Perbandingan antara rata-rata frekuensi konsumsi jagung per minggu dari responden di Bojonegoro dan responden di kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 . Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung Selama Periode 5 Tahun Terakhir

No Rata-Rata Frekuensi Konsumsi

Responden Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

1. <1 kali/minggu 16a 32 35a 70

2. 1 kali/minggu 16a 32 7b 14

3. 2 kali/minggu 12ab 24 1b 2

4. 3 kali/minggu 3b 6 2b 4

Tidak menjawab 3 6 5 10

Total 50 100 50 100

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Ada hubungan penilaian konsumen terhadap makanan dengan frekuensi yaitu penilaian yang positif diikuti dengan frekuensi yang semakin sering. Menurut Suhardjo (1989), hal ini disebabkan makanan-makanan yang disajikan dan diterima menjadi kesukaan dan kebiasaan makan konsumen remaja menjadikan seseorang mempunyai emosional yang kuat terhadap loyalitas dan kepekaan terhadap makanan tersebut yang ditunjukkan dari frekuensi mengonsumsinya. Lewin (1943) dalam Suhardjo (1989), sebagian besar orang lebih suka makan apa yang mereka sukai daripada menyukai apa yang mereka makan.

Meskipun responden di Bogor yang menyukai produk jagung lebih banyak dibandingkan responden di Bojonegoro, frekuensi konsumsi per minggu terhadap produk jagung di Bojonegoro ternyata lebih tinggi dibandingkan


(41)

dengan frekuensi konsumsi di Bogor. Sebanyak lebih dari 50% responden (62%) di Bojonegoro mengkonsumsi produk jagung minimal sekali dalam seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden di Bogor belum tentu mengkonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari literatur disebutkan bahwa ketersediaan dan harga merupakan faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi pengaruh terhadap kesukaan (Meiselman dan Macfie, 1996).

d. Perkiraan Porsi Konsumsi Produk Olahan Jagung Oleh Responden

Pada butir kuesioner, responden mengisi rata-rata porsi konsumsi produk olahan jagung dalam 1 kali konsumsi. Porsi dibedakan berdasarkan jenis kemasan seperti kemasan plastik dan kemasan kaleng. Selain itu, jenis ukuran kemasan juga dibedakan berdasarkan ukuran besar, kecil ataupun porsi konsumsi setiap menyantap sereal sarapan cornflakes. Perhitungan perkiraan porsi konsumsi dilakukan hanya terhadap produk yang sering dan kadang-kadang dikonsumsi responden. Hasil perhitungan perkiraan porsi konsumsi produk jagung responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 10

Tabel 10. Perkiraan Rata-Rata Porsi Konsumsi Produk Jagung Lokasi Tingkatan Frekuensi Rata – Rata Porsi

Konsumsi (gram)

Bojonegoro Kadang-kadang 78.03

Sering 85.37

Rata-Rata Total 81.7

Bogor Kadang-kadang 80.41

Sering 65.09

Rata-Rata Total 72.75

Berdasarkan Tabel 10, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Hasil ini dapat didukung oleh hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Fachrina (2005) mengenai pola konsumsi pangan pada rumah tangga miskin di pedesaan dan perkotaan di lima propinsi pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Bogor yang dapat diwakili oleh rumah tangga miskin perkotaan di Jawa Barat memiliki tingkat konsumsi per kapita yang lebih rendah dibandingkan rumh


(42)

tangga miskin di wilayah perkotaan Jawa Timur. Hasil penelitian ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 11

Tabel 11. Konsumsi pangan pokok pada rumah tangga Miskin Berdasarkan Propinsi dan Wilayah (g/kapita/hari)

Jenis Pangan Propinsi

DKI Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur

Kota Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa

Beras 205.1 256.8 306.2 227.1 209.4 208.3 199.1 224.7 212.7

Jagung * 0.1 1.4 0.5 0.2 25.9 0.0 8.6 7.4 25.6

Ubi Jalar 3.4 5.5 8.4 3.2 9.8 5.1 3.3 6.9 4.1

Ubi kayu 8.7 15.3 21.5 17.3 34.3 23.6 20.6 17.8 25.5

Tepung terigu

0.9 1.4 0.8 1.6 1.9 1.5 1.1 0.3 0.4

Mie ** 5.8 2.7 1.5 3.0 1.6 4.1 3.6 1.6 1.2

* jagung pipilan

** mie basah dan mie kering

Selain itu juga, penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Situmorang (2005) mengungkapkan bahwa bila dibandingkan antara masing-masing komoditi, jagung masih jarang atau tidak pernah dikonsumsi oleh kebanyakan responden bila dibandingkan dengan beras yang rata-rata konsumsi per minggunya mencapai 21 kali, serta roti dan mie yang dikonsumsi sebanyak 2 kali per minggu.

e. Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung di Pasaran

Produk-produk olahan jagung yang beredar di pasaran cukup beragam. Meningkatnya keberadaan teknologi pengolahan pangan memicu diproduksinya produk-produk pangan sebagai hasil inovasi. Beragamnya produk pangan yang dihasilkan membuat produk olahan jagung kini tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk makanan tradisional tetapi juga sebagai makanan dalam kemasan (camilan).

Salah satu butir dalam kuesioner yang diajukan kepada responden dapat dijadikan gambaran mengenai preferensi konsumen terhadap jenis-jenis produk


(43)

%

Jenis produk

Jenis produk %

olahan jagung yang beredar di pasaran. Data preferensi responden di kedua lokasi survei secara lengkap disajikan pada Gambar 9a dan Gambar 9b

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 9a. Grafik Preferensi Responden di Bojonegoro

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 9b. Grafik Preferensi Responden di Bogor Keterangan :

1 = tortilla 6 = keripik jagung

2 = corn flakes 7 = snack marning 3 = snack jagung puff 8 = sup krim jagung 4 = popcorn siap makan 9 = sup krim jagung kaleng 5 = popcorn siap masak 10 = pangan tradisional

Bar menunjukkan persentase responden (n-100) yang memilih produk tertentu dari 10 jenis produk olahan jagung yang ditampilkan pada kuesioner. Berdasarkan grafik, responden di daerah Bojonegoro paling banyak memilih snack marning (76%). Snack marning ini merupakan produk olahan jagung yang


(44)

dikonsumsi sebagai camilan. Selanjutnya, sebanyak 70% responden Bojonegoro memilih popcorn siap makan. Hal ini dapat dijadikan gambaran bahwa produk camilan lebih banyak disukai oleh konsumen. Sehingga, upaya peningkatan konsumsi jagung nantinya diaarankan untuk lebih diarahkan kepada jenis produk-produk camilan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rosegrant et al. (1987) yang mengungkapkan bahwa konsumsi jagung di daerah perkotaan bisanya sebagai makanan selingan. Snack termasuk makanan jajanan. Pada umumnya, konsumen lebih memperhatikan makanan jajanan dari segi rasa yang enak dan murah (Guhardja dalam Setiawan, 2006).

Hal menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di kota Bogor. Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk pangan tradisional berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan lainnya. Makanan yang berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan sesuai dengan tradisi daerah setempat disebut makanan tradisional (Winarno, 1993).

Bogor sebagai daerah sub-urban tentunya dibanjiri dengan produk-produk pangan modern baik produk impor maupun hasil produksi industri dalam negeri. Produk-produk ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di daerah perkotaan. Keberadaan produk pangan tradisional seringkali dijadikan sebagai

bentuk ”penyegaran” terhadap kejenuhan akan produk-produk pangan modern. Selain itu, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan daerah yang tidak hanya dihuni oleh penduduk asli Bogor sendiri, tetapi juga oleh penduduk pendatang dari daerah lain. Keberadaan penduduk pendatang ini juga diasumsikan memberikan pengaruh terhadap preferensi konsumsi produk pangan tradisional.

Sejalan dengan hal tersebut, hasil survey konsumsi makanan tradisional Sunda yang dilakukan Yasminia (2003) menyebutkan bahwa sumber informasi yang membuat responden tertarik mengonsumsi makanan tradisional Sunda adalah paling banyak didapat dari responden yaitu keluarga sebanyak 158 orang (79%), teman sebanyak 56 orang (28%), majalah sebanyak 36 orang (18%), iklan sebanyak 21 orang (10.5%), brosur atau leaflet sebanyak 11 orang (5.5%), lainnya yaitu pedagang makanan Sunda (4%) dan koran (3%). Hasil survey secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 10.


(45)

Gambar 10. Persentase Responden Remaja Berdasarkan Sumber Informasi yang Membuat Tertarik Mengonsumsi Makanan Tradisional Sunda (Yasminia, 2003)

Bila dilakukan perbandingan pemilihan antara makanan tradisional dengan

makanan ”modern”, Yasminia (2003) juga mendapatkan hasil survey yang menunjukkan bahwa responden paling banyak memilih makanan tradisional Sunda sebanyak 155 orang (77.5%) dan sedangkan yang memilih makanan fastfood sebanyak 45 orang (22.5%).

Menurut Dewi (2004), konsumen di perkotaan cenderung lebih mudah terpengaruh oleh : (a) Budaya makan di luar rumah baik jajanan maupun makan di lingkungan bekerja atau sekolah ;(b) Jenis-jenis makanan bergengsi dan menyenangkan ; dan (c) Aspek kepraktisan dan kecepatan pelayanan, sedangkan konsumsi di wilayah pengembangan industri akan lebih mempertimbangkan aspek kepraktisan dan efisiensi dalam pemilihan makanan.

Bila dikaitkan dengan data tempat mengakses produk olahan jagung seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, responden Bogor lebih memilih warung dan minimarket sebagai tempat membeli. Hal ini dapat menjadi gambaran bahwa akses untuk mendapatkan produk tradisional tidak hanya terbatas pada pasar saja. Produk pangan tradisional ini sudah mulai terdistribusi di warung, minimarket hingga supermarket.

Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan, sehingga preferensi ini akan berpengaruh

79

28

18

10.5

5.5 4 3

0 10 20 30 40 50 60 70 80

%

keluarga teman majalah iklan

brosur/leafl et

pdgg mk

nn Sunda kora n


(46)

terhadap konsumsi pangan (Setyawan, 2006). Kotler di dalam Setyawan (2006) mengungkapkan bahwa preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk yang ada.Preferensi terhadap makanan sangat dipengaruhi oleh sikap erat hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak atau menerima terhadap makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu apa yang dipelajari dan apa yang dilihat misalnya melalui berbagai iklan di media massa.

Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan (Khumaidi, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman mengonsumsi produk akan sangat berdampak pada keputusan untuk mengonsumsi pada masa selanjutnya. Pada butir kuesioner, responden diminta untuk memilih jenis produk olahan jagung yang biasa dikonsumsi. Pilihan berkisar di antara 10 produk olahan jagung yang banyak beredar di pasaran. Responden yang tidak memilih salah satu produk diasumsikan tidak pernah mengonsumsi produk tersebut. Kesepuluh produk dikategorikan menjadi produk pangan tradisional, cemilan tradisional, cemilan dalam kemasan, dan produk instan. Hasil tabulasi data perbandingan preferensi responden untuk masing-masing kategori produk olahan jagung dapat dilihat pada Tabel 12.


(1)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI F24104001

Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1987 di Palembang

Tanggal lulus : Juni 2008

Menyetujui, Bogor, Mei 2008

Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen ITP


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, 26 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Dr. H. M. Hatta Dahlan, M.Eng dan Hj. Erwana Dewi, M.Eng. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Kartika II-3 Palembang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Palembang hingga tahun 2001. Penulis menamatkn pendidikan menengah atas di SMUN 1 Palembang pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) pada tahun 2004.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus HIMITEPA masa bakti 2006-2007 sebagai staf Divisi Profesi dan Internal, anggota Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Bendahara OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMUSI, staf FORCES masa bakti 2005-2006, serta Koordinator Reporter pada Majalah Emulsi. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan, diantaranya Bendahara LCTIP XIV 2006, Koordinator Sie Konsumsi Baur 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung” di bawah bimbingan Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak Pelita V, pemerintah menetapkan untuk lebih menggalakkan penganekaragaman pangan melalui pengembangan tanaman pangan non padi guna memenuhi kebutuhan pangan nasional. Salah satu tanaman pangan non padi yang mendapat prioritas untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung (Zea mays L.) di Indonesia merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi. Konsumsi jagung sebagai pangan mengalami peningkatan dari 2,21 juta ton pada tahun 1970 menjadi 6,09 juta ton pada tahun 1998, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 3,70% per tahunnya. Pertumbuhan ini juga didorong oleh terjadinya pertumbuhan populasi sebesar 2,09% dan konsumsi per kapita yang meningkat rata-rata 1,52% setiap tahunnya. Bahkan, tingkat konsumsi pada tahun 1999-2004 terus mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga mencapai lebih dari 2 juta ton.

Upaya perbaikan tingkat konsumsi jagung perlu dilakukan sebagai bentuk diversifikasi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi jagung perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga, perbaikan yang dilakukan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Upaya ini tentunya harus diimbangi dengan jaminan keamanan pangan terhadap produk jagung itu sendiri. Kontaminan yang sering ditemukan pada jagung dan produk olahannya adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan.

Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan United Nation Development Program (UNDP) pada Conference on Mycotoxins di Nairobi, Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan toksin asal kapang akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relevan dan


(4)

potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang. Masalah mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-kembang segala jenis kapang, termasuk Aspergillus flavus sebagai penghasil utama aflatoksin. Faktor- faktor lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan cara penanganan, pengelolaan dan penyimpanan hasil komoditi pertanian pasca panen dari berbagai jenis bahan makanan masih sering dilakukan secara tradisional dan kurang higienis.

Meningkatnya penggunaan jagung sebagai bahan baku pada beberapa produk pangan akan menjadi beresiko apabila terdapat kandungan aflatoksin di dalamnya, karena aflatoksin sendiri mempunyai sifat tidak rusak terhadap pemanasan. Sehingga, beberapa produk olahan jagung yang telah melewati proses pemanasan pun tidak luput dari bahaya aflatoksin. Di Indonesia, Setdal Bimas mempersyaratkan kandungan aflatoksin maksimal 40 ppb untuk jagung, sedangkan Departemen Kesehatan mengusulkan 20 ppb untuk jagung dan kacang-kacangan beserta produknya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan aflatoksin yang masih terdapat dalam beberapa produk olahan jagung di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memperoleh data konsumsi jagung dari 2 jenis kelompok masyarakat, yakni kelompok konsumen yang bermukim di sentra penanaman jagung dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban. Selain itu juga dilakukan analisis aflatoksin dengan tujuan mengetahui kandungan aflatoksin yang terdapat pada produk pangan berbasis jagung yang beredar di pasaran yang sering menjadi konsumsi masyarakat.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah :

1. Memberikan gambaran mengenai aspek konsumsi produk pangan berbasis jagung serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya


(5)

sehingga dapat dijadikan landasan dalam upaya peningkatan konsumsi jagung sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan

2. Memberikan data mengenai kandungan aflatoksin pada beberapa produk berbasis jagung, dimulai dari sampel jagung pipil tingkat petani, produk intermediate hingga produk akhir sehingga dapat dijadikan gambaran mengenai titik kecenderungan dimulainya kontaminasi aflatoksin.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Produk Olahan Jagung

Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Pada jagung ketan, sebagian besar atau seluruh patinya merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak berpengaruh pada kandungan gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan sebagai bahan pangan. Komposisi kimia butir jagung, tepung jagung dan maizena dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Butir Jagung, Tepung dan Pati Jagung Komposisi Jagung pipil Tepung Jagung Pati

Jagung Putih Kuning Putih Kuning

Kalori (cal) Protein (gr) Lemak (gr) Hidrat arang (gr) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (%) 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 0.0 0.38 0.0 12.0 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 0.0 0.38 0.0 12.0 355 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 343 0.3 0.0 85.0 20.0 30.0 1.5 0.0 0.0 0.0 4.0 Sumber : Hubeis, 1984

Jagung merupakan sumber karbohidrat sesudah padi. Selain itu juga digunakan sebagai sayuran (baby corn dan jagung manis), sebagai makanan ringan (pop corn) dan dan makanan ternak atau sayuran (waxy-corn atau pulut). Klobot keringnya dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan, misalnya wajid Cililin. Pada jenis jagung opaque yang mengandung tryptophan dan lysine, dimanfaatkan sebagai sumber makanan untuk meningkatkan gizi.

Jagung manis tidak mampu memproduksi pati sehingga bijinya terasa lebih manis ketika masih muda. Jenis jagung manis dan baby corn yang biasa digunakan sebagai sayuran banyak menjadi konsumsi rumah tangga sehari-hari. Para ibu rumah tangga biasa mendapatkan pasokan jagung ini dari pasar setempat