LAPORAN ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN PA

LAPORAN PRAKTIKUM IV

ANALISIS JENIS DAN KANDUNGAN AFLATOKSIN PADA
KACANG TANAH

Miladiarsi

: G351140101

Alfan Cahyadi

: G351140171

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

1

PENDAHULUAN
Latar belakang

Kacang tanah (Arachis hypogaea) adalah komoditas pertanian yang
bernilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber protein dalam
pola pangan penduduk Indonesia. Selain itu, konsumsi kacang tanah menempati
urutan ketiga setelah jagung dan kedelai. Kacang tanah memiliki potensi besar
sebagai produk pangan ekspor dan kini menjadi sumber pendapatan penting bagi
petani. Kebutuhan kacang tanah untuk konsumsi tahun 2004 sebesar 181.387 ton
(Kasno 2010) dan pada tahun 2013 produksi kacang tanah mencapai 1,20 juta ton
biji kering (BPS 2013).
Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah disebabkan serangan galur
tertentu cendawan Aspergillus flavus akibat dari banyaknya biji rusak,
pengeringan yang kurang baik sehingga kadar air kacang tanah meningkat.
Tingginya kadar air akan meningkatkan serangan cendawan. Faktor pendukung
pertumbuhan cendawan antara lain kadar air dan kualitas fisik biji (biji utuh, biji
keriput, dan biji rusak) dipengaruhi oleh cara pemanenan dan penanganan
pascapanen (Dharmaputra et al. 2013).
Kacang tanah sebagai bahan pangan memiliki substrat yang baik untuk
pertumbuhan cendawan Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Galur tertentu dari
kedua spesies cendawan tersebut mampu menghasilkan metabolit sekunder
berupa aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Berbagai aflatoksin
yang dihasilkan oleh kedua spesies cendawan tersebut adalah B 1, B2, G1, dan G2.

Dari semua jenis-jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B 1 merupakan mikotoksin
yang paling beracun karena bersifat karsinogenik, hepatoksik, dan mutagenik
bagi manusia, mamalia, dan unggas. Penyakit yang diakibatkan aflatoksin pada
manusia adalah kanker hati yang sering berakhir dengan kematian. Cendawan
tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah kacangkacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya (Pitt dan
Hocking 2009).

2

Laporan mengenai kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di Indonesia
sudah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kacang tanah dalam bentuk polong
segar, polong kering, biji serta berbagai produk olahan sederhana seperti kacang
rebus, kacang garing, bungkil, oncom dan olahan modern seperti kacang atom,
kacang mentega, pasta kacang umumnya telah terkontaminasi aflatoksin B 1
dengan kandungan di luar batas aman (Dharmaputra et al. 1989).
Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kontaminasi mikotoksin pada
suatu komoditas diperlukan metode deteksi yang akurat. Hasil analisis yang cepat
dan akurat akan sangat membantu dalam upaya pengendalian kontamiasi
mikotoksin, baik yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat maupun dalam
penentuan kebijakan atau regulasi dari pemerintah. Berbagai metode deteksi

dapat digunakan untuk analisis mikotoksin terutama aflatoksin. TLC (Thin Layer
Chromatography atau Kromatografi Lapis Tipis) merupakan metode yang telah
lama digunakan untuk pemisahan dan deteksi berbagai senyawa seperti halnya
mikotoksin, hal ini karena metode ini mudah dilakukan, relatif murah, dan sangat
berguna untuk pengujian kualitatif dan semikuantitatif. TLC juga digunakan
untuk deteksi komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan baku pangan
dan pakan ternak (Maryam 2007)
Tujuan
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan kandungan
aflatoksin pada biji kacang tanah.
BAHAN DAN METODE
Analisis jenis dan kandungan aflatoksin dilakukan berdasarkan Bainton et
al. (1980) dan AOAC (2005).
Pembuatan Pasta Biji Kacang Tanah
Sampel kacang tanah diperoleh dari berbagai pengecer di kota Bogor,
Sampel kacang tanah yang dianalisis sebanyak 1.100 g, ditambah 1500 mL
akuades dan 22 g NaCl dicampur, kemudian digiling menggunakan blender
selama 3 menit. Sampel sebanyak 200 g yang telah digilng dikemas di dalam
kantung plastik dan disimpan di dalam freezer sebagai “retain sample”.


3

Ekstraksi Aflatoksin
Pasta kacang sebanyak 130 g ditempatkan di dalam labu Erlenmeyer 250
mL, kemudian ditambahkan 50 mL larutan garam 2.2%, 150 mL metanol dan 100
mL n-heksana. Campuran tersebut diaduk menggunakan pengaduk magnet
selama 30 menit, kemudian dibiarkan selama 30 menit untuk mendapatkan
pemisahan yang baik. Fase metanol yang dihasilkan dari pengendapan dipipet
sebanyak 25 mL dan dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 mL, kemudian
diekstraksi menggunakan 25 mL kloroform. Fraksi kloroform (lapisan bawah)
yang dihasilkan dari proses ekstraksi, dikumpulkan dalam botol 100 mL dan
diuapkan sampai hampir kering. Residu yang diperoleh dipindahkan ke dalam
botol (vial) menggunakan kloroform dan diuapkan kembali. Sebelum
diidentifikasi, sampel hasil penguapan dilarutkan kembali menggunakan 500 μL
kloroform secara kuantitatif.
Persiapan dan Penyimpanan Larutan Standar Aflatoksin
Masing-masing 1 mg aflatoksin standar B1, B2, G1, dan G2 (dari SigmaAldirch) dalam kontainer aslinya dilarutkan secara kuantitatif menggunakan 1
mL metanol. Konsentrasi larutan standar ini adalah 1000 μg/mL (SS-1 = 1000
ppm). Larutan stok standar dibagi ke dalam 10 botol (vial) kaca masing-masing
100 μL dan didapatkan larutan stok standar aflatoksin 1000 ppm. Larutan standar

aflatoksin tidak dibenarkan disimpan dalam larutan metanol. Jika larutan stok
ingin disimpan dalam waktu lama, larutan metanol diuapkan sampai kering
terlebih dahulu, kemudian dilarutkan kembali menggunakan 10 mL pelarut
benzena : asetonitril (98:2), sehingga diperoleh larutan SS-2 dengan konsentrasi
10 ppm. Pada pengujian sehari-hari dibuat larutan working standar (WS-1
maupun WS-2) dan dibuat larutan campuran antara keempat jenis aflatoksin
tersebut, kemudian larutan standar dan larutan working standar disimpan di
dalam freezer. Sebelum digunakan, larutan stok standar dibiarkan pada
temperatur kamar sampai larutan standar mencair.
Identifikasi Aflatoksin
Bejana kromatografi yang berisi eluen kloroform : aseton (9:1) disiapkan,
kemudian larutan sampel 10 μL dibercakkan pada lempeng kromatografi
menggunakan mycrosyringe 10 μL. Pada lempeng yang sama dibercakkan pula

4

larutan standar aflatoksin B1 1 μL sampai dengan 10 μL. Konsentrasi aflatoksin
standar yang digunakan adalah 2-4 ppm. Lempeng kromatografi tersebut
dimasukkan ke dalam bejana yang berisi eluen, kemudian dielusi dari bawah ke
atas sampai pelarut mencapai batas, setelah itu lempeng kromatografi dikeringkan

menggunakan pengering rambut (hair dryer) dan diamati di bawah lampu UV
dengan panjang gelombang 366 nm. Uji kualitatif dilakukan dengan
membandingkan waktu tambat (Rf) bercak sampel dan standar, sedangkan uji
kuantitatif dilakukan dengan membandingkan intensitas perpendaran bercak
sampel dan standar.
Perhitungan Kandungan Aflatoksin
Kandungan aflatoksin (μg/kg) dihitung menggunakan rumus:

S

Kandungan aflatoksin (μg/kg) = S x Y x V x fp
WxZ
= volume aflatoksin standar (μL) yang memberikan perpendaran setara
dengan Z μL sampel

Y

= konsentrasi aflatoksin standar dalam μg/mL

Z


= volume ekstrak sampel (μL) yang dibutuhkan untuk memberikan
perpendaran setara dengan S μL standar aflatoksin

W = berat sampel yang diekstrak (g)
V

= volume pelarut (μL) yang dibutuhkan untuk melarutkan ekstrak sampel

Fp = faktor pengenceran 150/25.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis mikotoksin pada kacang tanah pada praktikum kali ini
menggunakan metode kromatografi lapis tipis karena metode ini lebih mudah
digunakan. Kromatografi adalah suatu metode pemisahan yang berdasarkan pada
perbedaan migrasi komponen-komponen antara dua fasa, yaitu fasa diam dan fasa
gerak. Secara teori pemisahan kromatografi yang paling baik akan diperoleh, jika
fasa diamnya mempunyai luas sebesar-besarnya, sehingga terjadi keseimbangan
yang baik antar fasa. Kemudian untuk fasa geraknya adalah yang mampu
bergerak dengan cepat sehingga terjadi difusi sekecil-kecilnya (Poole dan Poole
1994).


5

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode untuk mendeteksi
keberadaan aflatoksin dalam kacang tanah berdasarkan perbedaan warna biru
atau hijau yang dihasilkan setelah penotolan dan dilihat di bawah lampu UV pada
gelombang tertentu (Poole dan Poole 1994). Perbedaan warna yang dihasilkan
menentukan jenis aflatoksin, pada suatu sampel. Warna biru menunjukkan bahwa
sampel mengandung aflatoksin B sedangkan warna hijau menujukkan sampel
mengandung aflatoksin G. Hasil yang diperoleh pada praktikum menunjukkan
bahwa kacang tanah terdeteksi mengandung aflatoksin B1 berdasarkan warna
perpendaran biru yang terlihat pada pengamatan dibawah sinar UV dengan
perpendaran standar aflatoksin B1 urutan ke 8 (Gambar 1).

1

2 3 4 5 6 7 8 9 10

Aflatoksin B2


A B

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Aflatoksin B1

Gambar 1 Profil kromatogram lapis tipis (KLT) sampel A dan B dan standar aflatoksin
B1 dan B2 di bawah lampu UV 366 nm. Sampel menunjukkan kesamaan
warna perpendaran dengan sampel aflatoksin B1 urutan no 8.

Aflatoksin yang terdapat pada sampel merupakan jenis aflatoksin tipe B 1
karena perpendaran sampel menunjukkan kesamaan dengan pola perpendaran
sampel aflatoksin B1 (Gambar 1). Untuk pembercakan sampel sebanyak 10 μL,
setelah dikonversi menggunakan perhitungan berdasarkan rumus (Lampiran)
didapatkan kandungan aflatoksin pada sampel B sebesar 74.95 ppb. Berdasarkan
Food and Agriculture Organization (FAO), batasan maksimum aflatoksin pada
semua produk makanan yaitu 30 part per billion (ppb). Kandungan aflatoksin B1
di Indonesia ditemukan mulai dari kacang segar, polong kering, biji, dan berbagai
macam produk olahan dalam batas rata-rata atau membahayakan kesehatan
manusia sebagaimana yang disyaratkan oleh FAO (Zahari et al. 1991).

Sedangkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada

6

kacang tanah dan produk olahannya masing-masing 15 ppb dan 20 ppb (SNI
2009)
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kacang tanah
tersebut tidak layak untuk dikomsumsi karena melebihi batas minimum
kandungan aflatoksin yang ditentukan yaitu 74.95 ppb sehingga dapat
membahayakan kesehatan. Bahan baku kacang tanah yang terkontaminasi dengan
AFB1 sulit untuk dihilangkan, karena sifatnya yang tahan panas (titik cair 268269 C). Pemanasan sampai 150 C hanya mengurangi konsentrasi aflatoksin
33-75%, sedangkan proses pengolahan, seperti penyangraian, penggorengan, dan
fermentasi hanya dapat mengurangi kandungan aflatoksin 73-87% (Rahmianna
dan Ginting 2005).
KESIMPULAN
Sampel kacang tanah yang digunakan memiliki kandungan aflatoksin
yang melebihi batas minimum yang ditentukan yaitu sebesar 74.95 ppb sehingga
sampel kacang tanah tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat bersifat toksik
bagi tubuh.


DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Natural Toxin. Di
dalam: Horwitz W, editor. Official Methods of Analysis of AOAC
International. Edisi ke 18. Vol II Bab 49. Gaithersburg: AOAC.
Bainton S, Coker RD, Jones BD, Morlet EM, Naglerand MJ, Turner RL. 1980.
Mycotoxin Training Manual. London (GB): Tropical Product Institute.
Hlm 18-22.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi kacang hijau dan kacang tanah turun
signifikan. Jakarta(ID): Indonesia
Dharmaputra OS,. Tjitrosomo HSS, Susilo H, Sulaswati. 1989. Aspergillus flavus
and aflatoxin in peanut collected from three markets in Bogor, West Java,
Indonesia. Proc. Of the Twelfth ASEAN Seminar on Grain Postharvest
Technology in Surabaya, 29−31 August, 1989. p. 111.

7

Dharmaputra OS. 2002. Review on aflatoxin in indonesian food- and feedstuffs
and their products. Biotropia (19):26 – 46.
Dharmaputra OS, Ambarwati S, Retnowati I, Windyarani A. 2013. Kualitas
Fisik, Populasi Aspergillus flavus, dan Kandungan Aflatoksin B 1 pada
Biji Kacang Tanah Mentah. J Fitopatol Indones.9(4):99-106.
FAO. 1997. Worldwide Regulations for Mycotoxins 1995 - A Compendium.
FAO Food and Nutrition Paper. No. 64. Rome.
Kasno A. 2010. Varietas kacang tanah tahan Aspergillus flavus sebagai
komponen esensial dalam pencegahan kontaminasi aflatoksin. Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian. 3(4):260-273.
Kasno A. 2009. Pencegahan Infeksi A. flavus dan Kontaminasi Aflatoksin pada
Kacang Tanah. J Iptek Tanaman Pangan. 4 (2):194-201.
Maryam R. 2007. Metode deteksi mikotoksin. J Mikol Ked Indon. 7(1-2):12-24.
Pitt JI, Hocking, AD. 2009. Fungi and Food Spoilage, 3rd edn. London (GB):
Springer.
Poole CF, Poole SK. 1994. Instrumental Thin-Layer Chromatography. J
Analytical Chemistry. 66( 1):27-37.
Rahmianna AA, Ginting E. 2005. Kacang tanah: Sumber pangan sehat dan
menyehatkan. Sinar Tani Badan Litbang Pertanian. 42(3449):1-8.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 7385:2009. 2009. Batas Maksimum
Kandungan Mikotoksin
dalam
Pangan.
Jakarta
(ID): Badan
Standardisasi Nasional.
Zahari P, Bahri S, Maryam R. 1991. Mycotoxin contamination of peanut after
harvest in Sukabumi, West Java, Indonesia. p. 220. In Champ et al. (Eds).
Proceeding of an International Conference. held at Bangkok. Thailand:
23-26 April 1991.

LAMPIRAN
Kandungan aflatoksin dihitung sebagai (μL/kg) dengan rumus sebagai
berikut:
Kandungan aflatoksin (μg/kg) = S x Y x V x fp
WxZ
S

= volume aflatoksin standar (μL) yang memberikan perpendaran setara
dengan Z μL sampel

Y

= konsentrasi aflatoksin standar dalam μg/mL

Z

= volume ekstrak sampel (μL) yang dibutuhkan untuk memberikan
perpendaran setara dengan S μL standar aflatoksin

W = berat sampel yang diekstrak (g)

8

V

= volume pelarut (μL) yang dibutuhkan untuk melarutkan ekstrak sampel

Fp = faktor pengenceran 150/25
Kandungan aflatoksin (μg/kg) = S x Y x V x fp
WxZ
= 8 µL x 2.03 ppm x 1.000 µL x
6
130.0128 x 10 µL
= 74. 95 ppb

9