Pengaruh Penyimpanan Dan Pengolahan Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung Dan Produk Olahannya Di Provinsi Di Yogyakarta.

PENGARUH PENYIMPANAN DAN PENGOLAHAN
TERHADAP KANDUNGAN AFLATOKSIN JAGUNG
DAN PRODUK OLAHANNYA DI PROVINSI
YOGYAKARTA

DYAH RATNA WIDYASWARI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penyimpanan
dan Pengolahan Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung dan Produk Olahannya
di Provinsi Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Dyah Ratna Widyaswari
NIM F24100126

ABSTRAK
DYAH RATNA WIDYASWARI. Pengaruh Penyimpanan dan Pengolahan
Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung dan Produk Olahannya di Provinsi DI
Yogyakarta. Dibimbing oleh DIAN HERAWATI dan WINIATI P. RAHAYU.
Jagung merupakan salah satu komoditi yang sering dikonsumsi masyarakat
Indonesia dan salah satu pusat produksi jagung adalah provinsi DI Yogyakarta
(DIY). Jika ditangani dengan baik, jagung dapat terkontaminasi kapang
Aspergillus sp. yang menghasilkan aflatoksin. Analisis kandungan aflatoksin
dengan metode HPLC yang dilakukan di daerah A memberikan hasil bahwa kadar
aflatoksin terdeteksi pada jagung yang dikemas dalam silo dan karung masingmasing 15.98-133.50 ppb dan 33.33-217.51 ppb. Sementara itu, kandungan
aflatoksin untuk jagung yang dikemas karung pada daerah C adalah 4.08-89.08
ppb. Aflatoksin tidak terdeteksi pada sampel marning yang berasal dari daerah A
baik berupa marning mentah maupun matang. Kadar aflatoksin emping mentah

dan emping matang di daerah C masing-masing mencapai 3.39-31.77 ppb dan
ND-25.45 ppb. Kadar aflatoksin emping mentah dan emping matang di daerah D
masing-masing mencapai 3.49-3.85 ppb dan 1.03-3.79 ppb. Analisis terhadap
sampel di daerah B menunjukkan bahwa aflatoksin tidak terdeteksi pada bahan
baku jagung maupun produk emping olahannya. Kadar aflatoksin pada jagung
pipil di DIY dipengaruhi oleh cara penyimpanan. Kadar afatoksin olahan jagung
ditentukan oleh kondisi bahan bakunya.
Kata kunci: aflatoksin, Aspergillus sp., jagung, penyimpanan, pengolahan
ABSTRACT
DYAH RATNA WIDYASWARI. The Effect of Storage and Processing on
Aflatoxin Content in Corn and Its Processes Food in DI Yogyakarta Province.
Supervised by DIAN HERAWATI dan WINIATI P. RAHAYU.
Corn is one of food commodities which is often consumed by Indonesian
people and Yogyakarta province is one of corn production center in Indonesia.
Corn can be contaminated with Aspergillus sp. producing aflatoxin if it is not
handled properly. The aim of this study was to investigate aflatoxin level in corn
in Yogyakarta Province and its processed food using HPLC. Aflatoxin level in
dried corn stored in silo and sack were 15.98-133.50 ppb and 33.33-217.51 ppb
respectively for region A. Meanwhile its level reached 4.08-89.08 ppb for corn
stored in sack from region C. Aflatoxin was not detected either in raw and fried

marning made in region A. Aflatoxin analysis in raw corn chip and fried corn chip
produced in region B also showed that aflatoxin was not detected in these
products. However, aflatoxin level in raw corn chips and fried corn chips
produced in region C were 3.39-31.77 ppb and ND-25.45 ppb; and it reached
3.49-3.85 ppb and 1.03-3.79 ppb respectively for raw corn chips and fried corn
chips produced in region D. Aflatoxin level in corn based products was affected
by its raw corn material and aflatoxin level in corn raw material was determined
by storage condition.
Keyword: aflatoxin, Aspergillus sp., corn, storage, processing

PENGARUH PENYIMPANAN DAN PENGOLAHAN
TERHADAP KANDUNGAN AFLATOKSIN JAGUNG
DAN PRODUK OLAHANNYA DI PROVINSI
YOGYAKARTA

DYAH RATNA WIDYASWARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian

pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang dilaksanakan sejak Juni
hingga Oktober 2014. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dian Herawati
S.TP, M.Si dan Ibu Prof. Dr Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan saran, pengarahan, dan bimbingan selama kuliah, penelitian,
hingga tersusunnya skripsi ini serta dosen penguji atas arahan dan masukannya. .
Terima kasih juga kepada keluarga besar penulis atas doa dan dukungannya,
kepada dosen dan seluruh teknisi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang
telah membantu dan memberikan masukan serta ilmu kepada penulis selama
melaksanakan tugas akhir. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu

(Retno Indriastuti SKM,M.Kes), Bapak (Toto Castro SKM,M.Kes) (alm), Mas
Ditya, Mbak Nanda dan Mbak Yah atas doa, dukungan, kasih sayang, perhatian
dan semangat yang diberikan kepada penulis selama ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih atas dana penelitian yang telah
diberikan oleh Kementerian Pertanian melalui DIPA Tahun Anggaran 2014 Badan
Litbang Pertanian-Kantor Pusat Jakarta No. No. 018-09.1.441970/2014, tanggal 5
Desember 2013 dengan Kode 1809.006.002.011B.5522191 a.n. Prof. Dr Winiati
P. Rahayu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh petani
jagung, pengrajin marning jagung, pengrajin emping dari provinsi DI Yogyakarta
serta SEAMEO BIOTROP atas kerjasamanya selama penulis melaksanakan
penelitian. Teman-teman seperjuangan Mazaya, Tiaranissa, Alfia, Qabul, Aby,
Qori, Andini, Tommy, Adiguna, Bachtiar, Abay, Furry, Rahmalia, Farisa,
Anandya, Ghita dan teman-teman ITP 47 serta HIMITEPA atas dukungan, kerja
sama, semangat serta segala masukan yang diberikan selama penulis
melaksanakan penelitian dan penyusunan tugas akhir. Terima kasih juga kepada
sahabat-sahabat Meta, Doni, Dodi, Putri, Lisa, Febrinita, Astari, Ajeng, Nandya,
Dini, Ineke, Inez, Dita, Binar, Indri, Pipit, Mitha, Dani, Ria, Fitra dan Faisal yang
senantiasa selalu memberi doa, motivasi dan inspirasi kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Terakhir, terima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah

membantu penulis baik secara langsung dan tidak langsung.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih belum
sempurna dan memerlukan saran serta masukan. Penulis berharap tugas akhir ini
memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan memberikan
dampak terhadap perkembangan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang Ilmu
dan Teknologi Pangan.
Bogor, September 2015
Dyah Ratna Widyaswari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODOLOGI PENELITIAN

2

Tempat Penelitian


2

Alat dan Bahan

2

Bahan

2

Alat

2

Metode Penelitian

2

Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara


3

Pengukuran Kadar Air (AOAC 2012)

3

Pengukuran Aktivitas Air (aw)

4

Pengukuran Kadar Aflatoksin (AOAC 2012)

4

Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Penyimpanan Bahan Baku


5
5

Suhu, kelembaban udara, kadar air dan aw bahan

5

Aflatoksin pada Bahan Baku Jagung

7

Pengaruh Pengolahan Jagung Terhadap Kandungan Aflatoksin

11

Produk Pangan Olahan Berbasis Jagung

11


Marning Jagung

11

Emping Jagung

13

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

18

DAFTAR TABEL
1. Gambaran pengambilan sampel bahan baku di daerah Yogyakarta
2. Gambaran pengambilan sampel produk di daerah Yogyakarta
3. Karakteristik kondisi penyimpanan jagung
4. Karakteristik jagung pada setiap penyimpanan
5. Kandungan aflatoksin pada bahan baku
6. Besarnya penurunan aw dan kadar air marning
7. Kandungan aflatoksin pada jagung dan marning olahannya
8. Besarnya penurunan aw dan kadar air emping jagung
9. Kandungan aflatoksin pada jagung dan emping olahannya
10. Besarnya penurunan aflatoksin emping

3
3
5
6
8
12
12
13
14
15

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kondisi tempat penyimpanan karung daerah A
Kondisi tempat penyimpanan silo daerah A
Kondisi tempat penyimpanan karung daerah B
Kondisi tempat penyimpanan karung daerah C
Nilai kadar air dan aw marning di daerah A
Nilai kadar air dan aw emping jagung di daerah B, C dan D

9
10
10
11
12
13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang
cukup banyak ditanam dan dikonsumsi di Indonesia. Konsumsi jagung di
Indonesia mengalami peningkatan sejak sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000
sekitar 9.7 juta ton menjadi 17.6 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik
2010). Selain menjadi bahan pangan, jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pakan dan bahan baku industri, bahkan 50 % penggunaan jagung dimanfaatkan
sebagai bahan pakan (Susanto dan Sirappa 2005). Perkembangan konsumsi
jagung yang cukup pesat di Indonesia menjadikan jagung banyak diolah menjadi
bahan pangan. Jagung merupakan salah satu tanaman yang berisiko
terkontaminasi kapang Aspergillus sp. khususnya Aspergillus flavus yang
menghasilkan aflatoksin yang bersifat karsinogen dan berbahaya bagi manusia
maupun hewan. Cemaran Aspergillus sp. dapat mencemari tanaman jagung saat
masih berada di kebun atau pada saat penyimpanan. Kapang ini merupakan
kapang yang secara alami dapat tumbuh didalam tanah, sehingga bagian tanaman
jagung yang sering terkena Aspergillus sp. ini adalah bagian akar, kemudian
batang, daun, buah jagung dan kemudian merambat kebagian yang lebih dalam
(Somantri 2005).
Menurut BPOM (2009) kadar aflatoksin total maksimum yang boleh
terkandung dalam pangan adalah sebesar 20 ppb dengan kandungan aflatoksin B1
maksimum sebesar 15 ppb. Aflatoksin dapat berbahaya bagi tubuh karena dapat
menyebabkan aflatoksiosis yang dapat menjadi cikal bakal penyakit hepatitis B
dan kanker hati (Paulin et al. 2011). Oleh karena efek yang disebabkannya,
aflatoksin dianggap sebagai mikotoksin yang memiliki daya racun yang tinggi.
Komoditi pangan yang sering terkontaminasi Aspergillus sp. adalah kacang tanah,
jagung dan kedelai. Pertumbuhan kapang ini dapat terjadi saat penanaman
maupun selama penyimpanan (Saini dan Kaur 2012). Pertumbuhan kapang
Aspergillus sp. secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal saat penanganan
pasca panen jagung, antara lain kadar air, suhu penyimpanan, kelembaban relatif
udara, dan lama penyimpanan (FAO 2001). Peningkatan cemaran Aspergillus sp.
dalam bahan pangan seperti jagung biasanya terjadi pada tingkat pengumpul. Hal
tersebut terjadi dikarenakan kondisi penyimpanan yang tidak sesuai sehingga
rawan terhadap perkembangan Aspergillus sp. (Kusumaningrum et al. 2010).
Jagung yang terkontaminasi Aspergillus sp. jumlah kandungan
aflatoksinnya dapat meningkat dengan pesat karena penanganan pasca panen yang
kurang tepat, sehingga tata cara penyimpanan jagung hingga pengolahannya perlu
diperhatikan. Biasanya petani jagung menyimpan jagung yang sudah kering dalam
sebuah silo atau karung yang disimpan di dalam gudang penyimpanan sebelum
didistribusikan atau diolah menjadi bahan pangan. Salah satu daerah yang
memproduksi tanaman jagung beserta olahan bahan pangannya adalah Provinsi DI
Yogyakarta.
Jagung biasanya diolah menjadi marning dan emping jagung, sehingga
kedua olahan pangan jagung tersebut biasa dijadikan makanan khas dari
Yogyakarta disamping dikonsumsi sendiri oleh masyarakatnya atau dijadikan

2
pakan ternak. Marning jagung merupakan makanan jagung olahan yang berupa
biji jagung yang direndam selama satu malam, kemudian direbus, dikeringkan dan
digoreng. Tidak berbeda dengan marning jagung, emping jagung dibuat dengan
menghilangkan kulit ari pada jagung dengan cara direndam, kemudian direbus,
dipipihkan dan digoreng. Kandungan aflatoksin jagung mulai dari penyimpanan
hingga diolah menjadi bahan pangan perlu dimonitor lebih lanjut agar jagung dan
olahan pangannya aman untuk dikonsumsi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar aflatoksin disepanjang
rantai penanganan pasca panen jagung yang dihasilkan Aspergillus sp. dengan
menggunakan metode HPLC. Sampel jagung yang diambil berasal dari bahan
baku jagung setelah panen, selama penyimpanan dalam silo, penyimpanan dalam
karung hingga menjadi produk pangan. Selain itu faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah aflatoksin dalam penanganan jagung dari penyimpanan
hingga pengolahan juga diteliti.

METODOLOGI PENELITIAN
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel pada 5 kecamatan di
Provinsi Yogyakarta. Selanjutnya analisis sampel dilakukan di Laboratorium ITP
dan SEAMEO BIOTROP.
Alat dan Bahan
Bahan
Bahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jagung terdiri dari
jagung basah, jagung kering, marning jagung mentah, marning jagung matang,
emping jagung mentah dan emping jagung matang. Bahan –bahan yang digunakan
untuk menganalisis antara lain NaCl, aquades, metanol 100%, kertas saring
Whatman 41, AflaTest Vicam dan larutan proAnalysis .
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah TFA Digital ThermoHygrometer, aw meter, oven, HPLC Agilent 1260 Infinity Isocratic LC, neraca
analitik, vortex. blender, dan alat-alat gelas yang dibutuhkan.
Metode Penelitian
Pengambilan sampel berupa produk olahan berbasis jagung dilakukan pada
empat daerah di provinsi Yogyakarta yaitu daerah A, daerah B, daerah C dan
daerah D. Sedangkan untuk bahan baku pengambilan sampel hanya dilakukan
pada tiga daerah selain daerah D. Selain pengambilan sampel pada setiap tempat,
dilakukan pula pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan higrometer

3
pada setiap tempat penyimpanan. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air,
kadar aw dan kandungan total aflatoksin pada setiap sampel yang telah
didapatkan.Analisis terhadap marning dan emping dilakukan dengan mengukur
kadar air, nilai aktivitas air (aw) dan kadar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dengan
menggunakan metode HPLC (AOAC 2012).
Tabel 1 Gambaran pengambilan sampel bahan baku di daerah Yogyakarta
Daerah
A

B
C

Bahan Baku
Tempat Penyimpanan
Karung (Pakan)
Silo (Pakan)
Karung (Pangan)
Karung (Pangan)
Karung (Pangan/Pakan)

N
5
3
4
2
3

Tabel 2 Gambaran pengambilan sampel produk di daerah Yogyakarta
Daerah
A
B
C
D

Produk
Jenis Produk
Marning 1 Mentah
Marning 1 Matang
Marning 2 Matang
Emping 1 Mentah
Emping 1 Matang
Emping 2 Mentah
Emping 2 Matang
Emping 3 Mentah
Emping 3 Matang

N
2
2
2
3
2

Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara
Analisis suhu udara ruangan diukur menggunakan alat higrometer. Selain
untuk mengukur suhu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengukur kelembaban
relatif udara ruangan penyimpanan. Cara menggunakannya adalah dengan
meletakkan higrometer di udara terbuka namun tidak terkena sinar matahari.
Pengukuran Kadar Air (AOAC 2012)
Cawan aluminium yang digunakan ditimbang dengan tepat dan dicatat
nilainya (c). Bobot sampel juga ditimbang dengan neraca analitik dan dicatat
sebagai bobot basah sampel (a). Sampel beserta cawan dikeringkan dalam oven
dengan suhu 130 ± 3 ˚C selama 1 jam. Perhitungan 1 jam dimulai pada saat suhu
telah mencapai 130 ˚C. Setelah 1 jam cawan alumunium yang berisi sampel
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Bobot yang
diperoleh kemudian disebut bobot kering sampel+cawan (b). Data yang diperoleh
kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut ini.
� %

=







4
Pengukuran Aktivitas Air (aw)
Aktivitas air jagung diukur dengan menggunakan alat pengukur aktivitas
air yaitu aw meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih dahulu
menggunakan larutan BaCl2.2H2O, kemudian ditutup dan dibiarkan selama
3 menit sampai angka pada skala pembacaan aw meter menjadi 0.9. aw meter
kemudian dibuka dan tempat sampel dibersihkan lalu sampel jagung dimasukan
kedalam wadah, kemudian wadah ditutup. Setelah 3 menit, skala aw dibaca dan
dicatat.
Pengukuran Kadar Aflatoksin (AOAC 2012)
Setiap sampel ditimbang sebanyak 25 g kemudian ditambahkan 5 g NaCl
dan 125 mL metanol 70 % kemudian dihaluskan dengan blender selama 2 menit
dengan kecepatan tinggi. Hasil cairan tersebut kemudian disaring menggunakan
kertas saring Whatman 41 dan hasil filtratnya diambil sebanyak 15 mL. Filtrat
tersebut kemudian ditambahkan dengan 30 mL air aquades dan disaring
menggunakan glass microfibre filter. Filtrat hasil penyaringan diambil sebanyak
15 mL kemudian dimasukkan ke dalam kolom AflaTest yang berisi antibodi
monoklonal yang spesifik terhadap aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 untuk
dipurifikasi. Kemudian kolom dicuci menggunakan 20 mL aquades dan aflatoksin
dielusi dari kolom dengan 1 mL metanol. Filtrat hasil elusi dengan 1 mL metanol
tersebut kemudian ditampung dalam vial kemudian ditambahkan kembali 1 mL
aquades. Filtrat kemudian divortex kemudian diinjeksikan ke HPLC.
Kondisi HPLC yang digunakan adalah sebagi berikut,
Kolom
: Column Poroshell 120 SB C18, 4.6x150 mm, 2.7um
Post Kolom
: Photochemical Reactor Derivatization (PHRED) Merk AUR
Detektor
: Kratos 950 Detektor Fluoresensi
Panjang gelombang : Eksitasi = 365 nm. Emisi = 465 nm
Eluen
: H2O : ACN : MeOH = 60:20:20
Laju alir
: 1.0 mL/min
Sistem elusi
: Isokratik
Volume injeksi
: 20 uL
Suhu Kolom
: 40 0C
Suhu post kolom : 40 0C
Waktu running
: 15 menit
Tekanan
:400-450 bar
Tahapan analisis konsentrasi aflatoksin diawali dengan pembuatan larutan
standar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 yang dibuat masing-masing dengan
konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 ng/mL. Larutan standar disuntikan ke dalam
HPLC sehingga menghasilkan area peak. Selanjutnya kurva standar dibuat dengan
memplot luas area peak terhadap konsentrasi aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.
Konsentrasi aflatoksin dihitung dengan menggunakan rumus :






=

��� −



Keterangan :
Area
: Luas area aflatoksin terukur (ng/mL)
a
: Intersep (LU.s)









5
b
V final
V aliquot
V solvent
W sampel

: Slope (LU.s)/(ng/mL)
: Volume akhir larutan sampel (mL)
: Volume larutan yang dipipet untuk IAC (mL)
: Volume metanol:air untuk ekstraksi (mL)
: Bobot sampel (g)

Analisis Data
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar kondisi tempat dan
bahan baku disetiap daerah, maka dilakukan uji one-way ANOVA dengan
menggunakan SPSS 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Penyimpanan Bahan Baku
Suhu, kelembaban udara, kadar air dan aw bahan
Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis basah
dengan keadaan tanah agak kering. Salah satu daerah di Indonesia yang tepat
untuk penanaman jagung adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jagung
sebelum diolah menjadi produk pangan disimpan dengan berbagai cara yaitu
dikemas dalam karung dan diletakkan dalam sebuah gudang atau disimpan dalam
silo yang berada dalam gudang. Aspergillus sp. merupakan jenis kapang yang
dapat menyerang jagung sejak masih ditanam di sawah dan pada saat perlakuan
pascapanen dari mulai penanganan hingga penyimpanan. Penyimpanan
merupakan salah satu faktor penyebab kontaminasi aflatoksin oleh Aspergillus sp..
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan Aspergillus sp. dalam
menghasilkan aflatoksin antara lain suhu, kelembaban relatif, kadar air, pH dan
aktivitas air (aw) (Schmidt et al. 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Aspergillus sp. dalam
menghasilkan aflatoksin dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal dapat berasal dari kondisi bahan baku seperti kadar air bahan dan
aktivitas air (aw) bahan. Kadar air bahan baku selama penyimpanan berpengaruh
penting terhadap umur biji, kerusakan mekanik dan serangan kapang seperti
Aspergillus sp. Selain itu, faktor eksternal seperti suhu dan kelembaban
merupakan factor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus sp.
dalam menghasilkan aflatoksin. Hasil pengukuran suhu, kelembaban udara tempat
penyimpanan, kadar air dan aw bahan disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3 Karakteristik kondisi penyimpanan jagung
Parameter
Suhu (°C)

Daerah A
(Karung)

Daerah A
(Silo)

Daerah B
(Karung)

31.25 ± 0.21a 32.70 ± 1.70a 30.35 ± 0.07a

Daerah C
(Karung)
33.20 ± 1.51a

Kelembaban (%) 66.50 ± 0.71b 57.00 ± 4.24a 55.00 ± 2.83a 56.33 ± 2.31a
Keterangan : Huruf yang sama di belakang angka pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

6
Tabel 4 Karakteristik jagung pada setiap penyimpanan
Parameter
aw
Kadar air
(% bb)

Karung
(Kering)*
0.77 ± 0.01a

Daerah A
Silo
(Kering)*
0.79 ± 0.01a

Karung
(Basah)**
0.95 ± 0.01b

Daerah B
Karung
(Kering)*
0.72 ± 0.01a

Daerah C
Karung
(Kering)*
0.71 ± 0.05a

12.47 ±0.43a

12.72 ± 0.56a

35.72 ± 0.46b

12.60 ± 0.01a

11.80 ± 0.49a

Keterangan:

Huruf yang sama di belakang angka pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)
*Jagung pipil kering
**Jagung bonggol basah yang sedang dalam proses pengeringan
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa suhu tempat penyimpanan berada
pada kisaran 30.35 – 33.20 °C. Pengujian statistika dengan menggunakan uji One
Way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan suhu yang signifikan
antar jenis tempat penyimpanan jagung di setiap daerah (P>0.05). Menurut
Pratiwi et al. (2015) suhu optimum Aspergillus sp. dalam memproduksi aflatoksin
adalah pada kisaran 20 – 40 °C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa suhu tempat
penyimpanan bahan baku baik yang dikemas dalam karung maupun yang
dikumpulkan dalam silo berada pada kisaran suhu optimum Aspergillus sp. untuk
memproduksi aflatoksin. Menurut Galati et al. (2010) pertumbuhan Aspergillus sp.
dalam tempat penyimpanan dapat meningkat pada kisaran suhu 10 – 30 °C.
Menurut Pratiwi et al. (2015) pada suhu optimum, aflatoksin dapat dihasilkan
dengan masa inkubasi selama 7 hari.
Hasil pengujian One Way ANOVA menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kelembaban udara yang nyata antar tempat penyimpanan jagung
(P