Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data bobot lahir kelahiran pertama

Lampiran 2. Data bobot sapih kelahiran pertama

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3. Data bobot lahir kelahiran kedua

Lampiran 4. Data bobot sapih kelahiran kedua

Lampiran 5. Data tetua kelinci New Zealand White

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 6. Data Tetua Kelinci Lokal

Lampiran 7. Analisis Ragam Heritabilitas Bobot Lahir
Source
Between sires

Progeny Within Sires

df
3
109

ss
820,65
10015,10

ms
273,55
91,88

Hertitabilitas (H2) = 0,26

Lampiran 8. Analisis Ragam Heritabilitas Bobot Sapih
Source
Between sires
Progeny Within Sires


df
3
109

ss
262137,78
1260088,35

ms
87379,26
11560,44

Hertitabilitas (H2) = 0,75

Lampiran 9. Analisis Ragam Heritabilitas Litter Size
Source
Between sires
Progeny Within Sires


df
3
28

ss
1,09
56,88

ms
0,36
2,03

Hertitabilitas (H2) = -0,46

Lampiran 10. Analisis Ragam Ripitabilitas Bobot Lahir
Source
Correction term
Individuals
Measurement


df
1
15
97

ss
255669,25
2859,24
7976,51

ms
190,62
82,23

Ripitabilitas (r2) = 0,17

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 11. Analisis Ragam Ripitabilitas Bobot Sapih
Source

Correction term
Individuals
Measurement

Df
1
15
97

ss
22744109,9
695851,27
826374,85

ms
46390,085
8519,328

Ripitabilitas (r2) = 0,40


Lampiran 12. Analisis Ragam Ripitabilitas Litter Size
Source
Correction term
Individuals
Measurement

df
1
15
16

ss
399,03
37,469
20,5

ms
2,4979
1,2813


Ripitabilitas (r2) = 0,32

Lampiran 13. Efek Heterosis
Jantan

Betina

Rata-rata
BL Induk

Rata-rata
BL Anak

% heterosis

NZ2J
NZ2J
NZ2J
NZ2J
L2J

L2J
L2J
L2J

L2B
L5B
L6B
L8B
NZ3B
NZ4B
NZ5B
NZ7B

57
53
55.5
50.5
54
49.5
52.5

53

58.17
44.86
53.89
50.43
47.83
49.00
48.80
35.00

2.05
-15.36
-2.90
-0.14
-11.42
-1.01
-7.05
-33.96


-4.09

-13.36

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 14. Format Data Pengamatan Jumlah Anak Kelinci Jantan dan Betina
No

Perkawinan

Jumlah
Jantan
Anak

Betina

Keterangan

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 15. Format Data Pengamatan Bobot Lahir Kelinci
Jumlah
Perkawinan
Anak

Bobot Lahir (gr)
1

2

3

4

5

6

7

8

Total
Bobot
Lahir

Rataan
Bobot
Lahir

Note :

1
2
3
4
5
6
7
8

= Tanda di Kepala
= Tanda di Kuping Kanan
= Tanda di Kuping Kiri
= Tanda di Badan
= Tanda di Punggung
= Tanda di Kaki Belakang Kanan
= Tanda di Kaki Depan Kiri
= Tanda di ekor

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 16. Format Data Bobot Sapih Kelinci
Jumlah
Perkawinan
Anak

Bobot Sapih (gr)
1

2

3

4

5

6

7

8

Total
Bobot
Sapih

Rataan
Bobot
Sapih

Note :

1
2
3
4
5
6
7
8

= Tanda di Kepala
= Tanda di Kuping Kanan
= Tanda di Kuping Kiri
= Tanda di Badan
= Tanda di Punggung
= Tanda di Kaki Belakang Kanan
= Tanda di Kaki Depan Kiri
= Tanda di ekor

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 17. Format Data Pengamatan Perkawinan Kelinci
Perkawinan
No Tanggal Kawin I

Perkawinan
Waktu Tanggal Kawin II

Betina

Jantan

Waktu
Betina

Jantan

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 18. Foto Penelitian

NZ1J

NZ2J

NZ1B

NZ2B

NZ3B

NZ4B

Universitas Sumatera Utara

NZ5B

NZ6B

NZ7B

NZ8B

L1J

L2J

L1B

L2B

Universitas Sumatera Utara

L3B

L4B

L5B

L6B

L7B

L8B

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Adjisoedarmo, S., B. Purnomo, A. Marmono E., S. Haryati, D. Purwantini dan A.
Sudewo A.T. 1985. Perormans produksi dan reproduksi kelinci Lokal
(Bukan Ras). Pros. Sem, Peternakan dan Forum peternak unggas dan aneka
ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Becker. 1984. Manual of Quantitative Genetics. Washington, Academic
Enterprises. Pullman.
Bourdon, R. M.1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall, Inc, New
Jersey.
Brahmantiyo, B. 2008. Kajian Potensi Genetik Ternak Kelinci (Orytolagus
Cunniculus) di Bogor, Jawa Barat dan Magelang, Jawa Tengah. IPB Press,
Bogor.

Brahmantiyo, B. dan Y. C. Raharjo. 2005. Pengembangan Pembibitan Kelinci di
Pedesaan dalam menunjang Potensi dan Prospek Agribisnis Kelinci. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Brahmantiyo, B. dan Y. C. Raharjo. 2011. Peningkatan Produktivitas Kelinci Rex,
satin dan Persilanggannya Melalui Seleksi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Brahmantiyo, B., Y. C. Raharjo dan L. H. Prasetyo. 2013. Peningkatan Bobot
Badan Umur 10 Minggu Kelinci Pedaging FZ-3 Melalui Seleksi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Brahmantiyo, B., Y. C. Raharjo, N. D. Savitri dan M. Duldjaman. 2009.
Karakteristik Reproduksi Kelinci Rex, Satin dan Reza. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Cassady, P. J., L. D. Yung dan K. A. Leymaster. 2002. Heterosis and
Rekombinant Effects on Pig Reproductive Traits. J. Anim. Sci. 20(9): 23032315.
Cheeke P. R., N. M. Paton., S. D. Lukefahr & J. L. McNitt. 1987. Rabbit
Production. 6th Edition. The Interstate Printers and Publisher Inc. Danvile,
Illinois. USA.
Edey, T.N. 1983. Tropical Sheep and Goat Produc-tion. Australia University
International. Canberra.

Universitas Sumatera Utara

Egena, S. S. A., G. N. Akpa, I. C. Alemede and A. Aremu. 2012. Genetic and
Non-Genetic Factors Affecting Litter Sizeand Birth Weight of Rabbit in
Minna, Niger State, Nigeria. J. Animal Production, 14(3): 160-166.
Falconer, D. S. dan T. F. C. Mackay. 1989. Introduction to Quantitative Genetics.
Longman Inc, New York.
Falconer, R. D. and F. C. M. Trudy. 1996. Introduction to Quantitative Genetics
Longman, Malaysia.
Farrel, D. J. & Y. C. Raharjo. 1984. Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil
Daging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Hamdan. 2010. Pendugaan Komponen Ragam dan Parameter Genetik Beberapa
Sifat Produksi Puyuh pada Seleksi Jangka Panjang. USU Press, Medan.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi PemuliabiakanTernak di Lapangan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Harper, M.J.K., 1963. Ovulation in the Rabbit. The Time of Follicular Rupture
and Expulsion of the Egg in Relating to Injection of Luteinizing Hormone.
Journal of Endocrinology 26: 307-316.
Harris I. 1994. The Laboratory Rabbit. Anzccart Facts Sheet. Anzccart News. Vol
7(4);1-8.
http://www.accessadelaide.com/ANZCCART/Publications/FS_Rabbit.Pdf.
(6 Juni 2006).
Herman, R. 2000. Produksi Kelinci dan Marmut, Anatomi dan Fisiologi Alat
Pencernaan serta Kebutuhan. Edisi Ketiga. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kadarwati. 2006. Pengaruh Akar Gingseng (Wild gingseng) dalam Ransum
Mencit (Mus Musculus) Terhadap Jumlah Anak dan PertumbuhanAnak dari
Lahir Sampai dengan Sapih. Skripsi. IPB Press, Bogor.
Karnaen. 2008. Estimation of Genetic Parameters, Genetic and Phenotypic
Correlation on Madura Cattle. Jatinangor.
Kartadisastra. 1994. Kelinci Unggul. Kanisius, Yogyakarta.
Khalil, M. H., E. A. Afifi, Y. M. K. Youssef dan A. F. Khadir. 1995. Heterosis,
Maternal and Direct Genetic Effects for Litter Performance and
Reproductive Intervals in Rabbit Crosses. Ministry of Agriculture, Egypt.
Khalil, M. H., J. B. Owen and E. A. Afifi. 1986. A Revies of Phenotypic and
Genetic Parameters Associated with Meat Production Traits in Rabbit.
Animal Breeding abstract. 54(9): 725-749.

Universitas Sumatera Utara

Kunianto, E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Larzul, C., G. Florence, C. Sylvie and Rochambeau H. D. 2004. Divergent
Selection on 63-day Body Weight in the Rabbit: Response on Growth,
Carcass and Muscle Traits.Genet. Sel. Evol. 37(2005)105-122.
Lasley, J. F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. Department of Animal
Husbandry. University of Missouri. Prentice-Hall, Inc., New Jersey.
Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier, d Rochambeau H. 1986. The Rabbit. Food and
Agriculture Organization of the United Nations, Italy.
Lukefahr, S. D., H. B. Odi, J. K. A. Atakora.1996. Mass Selection for 70-Day
Body Weight in Rabbit. J. anim Sci. 74: 1481-1489.
Majalah Flona. 2009. Buku Pintar Memelihara Kelinci & Rodensia. Gramedia,
Jakarta.
Martojo H. 1992. Peningkatan Mutu Geneti Ternak. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Perguruan Tinggi. Pusat antar
Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Negara, N. M. 2014. Seleksi Induk Kambing Peranakan Etawah Berdasarkan
Nilai Indeks Produktivitas Induk pada Bobot SApih di Desa Dadapan
Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Tanggamus. Universitas Lampung,
Lampung.
Noor, R. R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ouyed, A. dan J. M. Brun. 2008. Heterosis, Direct and Maternal Additive Effects
on Rabbit Growth and Carcass Characteristics. 9th World Rabbit Congress,
Italy.
Prihandini, P.W.,L.Hakim dan V.M.A. Nurgiartiningsih. 2011.Seleksi Pejantan
Berdasarkan Nilai Pemuliaan Pada Sapi Peranakan Ongole di Loka
Penelitian Sapi Potong Grati-Pasuruan. Jurnal Ternak Tropika Vol 12 No.1
hal 97-107.
Raharjo Y. C., Sumanto L., Sastrodiharjo S., Dharsana R., Pasek I. W. dan
Purnama D. 1995 Pola Usaha Pemeliharaan Kelinci Rex dalam Sistem
“PIR” (Bapak Angkat) pada Agroklimat Dataran Tinggi Lahan Kering.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, hlm. 115-136.
Raharjo, Y. C. 1994. Potential and prospect of an integrated Rex rabbit farming in
supporting an export oriented agribusiness. Agency for Agricultural
Research and Development Ministry of Agriculture. LARD Journal.
16(4):69-80.

Universitas Sumatera Utara

Rastogi, R. K., S.D. Lukehfahr dan F.B. Lauckner. 2000. Maternal Heritabilitiy
and Repeatibility for Lietter Traits in Rabbit in a Humid Tropical
Environment. Livestock Production Science 67 (2000): 123-128.
www.elsevier.com/locate/livprodsci.
Sartika, T. 2005. Strategi Pemuliaan Sebagai Alternatif Peningkatan Produktivitas
Kelinci Pedaging. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Sartika, T., Y.C. Rahardjo, A. Habibie, D. Purnama dan I.W.P. Sumadia, 1995.
Kebutuhan Energi dan Protein pada Induk Kelinci Fase Gestasi dan
Laktasi. Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.
Sarwono, B. 2007. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Setyawan, W. 1982. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Bobot Lahir dan
Pertumbuhan Periode Menyusu serta Estimasi Nilai Heritabilitas Bobot
Lahir dan Bobot Sapih Kelinci (Oryctolagus cuniculus). IPB Press, Bogor.
Sundasesan, D. 1975. Livestock Breeding in India. Vikas Publisher House PVT
Ltd. Delhi, India.
Sutiyono, B., Soedarsono, S. Johari dan Y. S. Ondho. 2011. Efek Heterosis
Berbagai Penampilan Tiktok Jantan dan Betina. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Warwick, E. J. dan J. E. Legates. 1979. Breeding and Improvement of Farm
Animals. (7th ed.). Mc graw-Hill Book Co, New York.
Warwick, E. J., J. M. Astuti, W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak.
Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Warwick. E. J., J. M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak.
Cetakan ke-5. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Wikipedia. 2007. New Zealand White Rabbit https://en.wikipedia.org/wiki/
New_Zealand_white_rabbit (26 Desember 2015).
Xu, Z. C. and J. Zhu. 1999. An approach for predicting heterosis based on an
addictive, dominance and additive x additive model with environment
interaction. J. Heresity. 82: 510-517.

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan Dusun Kelinci pada bulan Juli
2014 sampai Maret 2015. Lokasi Dusun Kelinci berada di Jl. Stasiun No. 68
Kelurahan Kedai Durian Kecamatan Medan Johor.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Materi penelitian ini adalah anak kelinci sebanyak 113 ekor anak yang
berasal dari perkawinan 4 ekor jantan dan 16 ekor betina (2 jantan New Zealand
White, 8 betina New Zealand White, 2 jantan Lokal dan 8 betina Lokal) 2 kali
kelahiran.

Alat
Kandang

individu yang terbuat dari kawat dan kayu untuk indukan

berukuran panjang 75 cm, lebar 60 cm dan tinggi 40 cm sebanyak 20 unit,
kandang anak sebelum lepas sapih berupa kotak beranak dengan ukuran panjang
40 cm, lebar 30 cm dan tinggi 25 cm sebanyak 20 unit, nipple kelinci sebanyak 20
unit, tempat pakan terbuat dari plat seng sebanyak 20 unit, kamera, timbangan
digital dengan skala 1 gr–5000 gr , buku dan alat tulis.

Universitas Sumatera Utara

Metode Penelitian
Mekanisme dan Teknis Pemeliharaan Kelinci
Kandang dan peralatan disiapkan sebelum kelinci masuk kedalam kandang
agar mencegah dari hama dan bibit penyakit. Ternak kelinci yang akan digunakan
sebagai objek penelitian melalui beberapa syarat sebagai berikut : ternak kelinci
dalam keadaan sehat, lincah, tidak cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan
lincah, ekor melengkung ke atas lurus merapat ke bagian luar mengikuti tulang
punggung, telinga lurus ke atas dan telinga tidak terasa dingin, mata jernih dan
bulu mengkilat. Kelinci diadaptasikan selama dua minggu dengan tujuan
menstabilkan kondisi kelinci dengan lingkungan barunya. Setelah kondisi kelinci
stabil dimulai program perkawinan dengan format NZWa x NZWb, NZWa x
Lokalb, Lokala x NZWb dan Lokala x lokalb. Perkawinan dilakukan pada pagi dan
sore hari pukul 06.00 WIB dan 18.00 WIB dengan cara indukan dibawa kedalam
kandang pejantan dan dibiarkan hingga terjadi perkawinan, setelah itu dipisahkan.
Penimbangan anak kelinci dilakukan secara berkala yaitu bobot lahir
kelahiran pertama, bobot sapih kelahiran pertama, bobot lahir kelahiran kedua dan
bobot sapih kelahiran kedua. Pakan diberikan dua kali, yaitu pada pagi hari pukul
08.30 WIB pemberian pelet dan sore hari pada pukul 17.00 pemberian hijauan.
Air minum diberikan secara adlibitum dan air minum diganti setiap pagi dengan
membersihkan dahulu sisa air minum sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

Parameter Penelitian
1.

Sifat Kuantitatif
Sifat Kuantitatif dicirikan dengan sesuatu yang dapat diukur atau

ditimbang, fenotipe sifat kuantitatif dipengaruhi banyak pasangan gen,
penampilan sifat kuantitatif dipengaruhi lingkungan. Sifat kuantitatif yang akan
diamati pada penelitian ini adalah litter size, bobot lahir dan bobot sapih anakan
kelinci.
Litter size merupakan jumlah anakan kelinci dalam satu kelahiran dari satu
indukan. Bobot lahir kelinci adalah bobot badan seekor kelinci pada umur 1 hari.
Bobot ini ditimbang setelah ternak dilahirkan oleh induknya. Bobot sapih kelinci
adalah bobot badan seekor kelinci pada umur 6 minggu. Bobot ini ditimbang
ketika ternak tersebut dipisahkan dari induknya setelah periode menyusui selesai.

2.

Heritabilitas
Pendugaan nilai heritabilitas menggunakan metode rancangan tersarang

(nested design) un-balanced dengan metode matematika sebagai berikut:
Yij = μ+αi + βij + εij
Keterangan:
Yij
μ
αi
βij
εij

= respon anak ke-k dari induk ke-j dan pejantan ke-i
= rataan umum
= pengaruh pejantan ke-i
= pengaruh betina ke-j yang dikawinkan dengan pejantan ke-i
= galat

Nilai pendugaan heritabilitas dihitung dengan rumus sebagai berikut :
2

h S=

4σ2s
(σ2s + σ2d + σ2w)

Universitas Sumatera Utara

h2D =

4σ2d
(σ2s + σ2d + σ2w)

Keterangan:
h2S
h2D
σ2 s
σ2 d
σ2 w
3.

= Heritabilitas pejantan
= Heritabilitas induk
= Ragam antar pejantan
= Ragam antar induk
= Ragam antar anak dalam pejantan.

Ripitabilitas

Sedangkan perhitungan ripitabilitas menggunakan model sebagai berikut
(Becker,1984). :
Ykm= μ + αk + ekm
Keterangan:
μ = rataan umum
αk = pengaruh individu ke-k
ekm = pengaruh lingkungan
Tabel 2. Sidik Ragam untuk Menduga Nilai Ripitabilitas Suatu Sifat Berdasarkan
Pola Tersarang atau Hieraechial
Sumber Keragaman
Antara Individu
Galat
Keterangan:

db
n-1
n(m-1)

JK
JKW
JKE

KT
KTW
KTE

Komponen Ragam
σ2E+k1σ2W
σ2 E

db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah; W = individu;
E = catatan per individu; n= jumlah individu; σ2W = komponen ragam antar
individu; σ2E = komponen ragam antar catatan dalam individu

Pendugaan ripitabilitas dihitung dengan rumus (Becker, 1984):
σ2 W
R=

σ2W + σ2E

dengan σ2E = MSE dan σ2W =

MSW + MSW
k1

keterangan:
R
σ2W
σ2E

= ripitabilitas
= ragam sifat yang diamati
= ragam individu yang diamati

Universitas Sumatera Utara

MSW = kuadrat tengah sifat yang diamati
MSE = kuadrat tengah individu yang diamati
K1
= jumlah pencatatan atau ulangan
4.

Efek Heterosis

Rumus pengujian nilai efek heterosis adalah :
H (%) =

F1 - MPH
x
MPH

100%

Keterangan :
F1
MPH

= Nilai Hibrida yang dihasilkan
= Nilai tengah kedua tetua

Korelasi
Model statistik :
Yijk = µ + αi + βij + eik
Yijk
µ
αi
βij
eik

= Nilai

pengukuran pada anak ke-k dari betina (induk) ke-j yang dikawini
pejantan ke-i
= Rataan umum
= Pengaruh pejantan ke-i
= Pengaruh induk ke-j yang kawin dengan pejantan ke-i
= Pengaruh lingkungan dan simpangan genetik yang tidak terkontrol

Tabel 3. Sidik Ragam untuk Menduga Nilai Korelasi Suatu Sifat Berdasarkan
Pola Tersarang atau Hieraechial
Sumber Keragaman

db

JK

HKR

Komponen Ragam
CovW + k2
Antar pejantan
S-1
JKs HKRS CovD + k3
CovS
CovW + k1
Antar induk dalam pejantan D-S
JKd HKRD
CovD
Antar anak dalam induk
n.. -D JKw HKRW CovW
Koefisien k1= k2 = jumlah anak per induk, k3 = jumlah anak per pejantan
4Covs
korelasi genetik ( rg) =
4σ2s(x) . 4σ2s(Y)

Universitas Sumatera Utara

Analisis Data
Analisis terhadap sifat kuantitatif (litter size, bobot lahir dan bobot sapih)
efek heterosis, korelasi, heritabilitas dan ripitabilitas dilakukan dengan bantuan
program pengolah data.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Lahir
Bobot lahir adalah bobot saat dilahirkan atau bobot hasil penimbangan
dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Hardjosubroto, 1994).
Tabel 4. Rataan Bobot Lahir Kelinci
Bobot Lahir
NZa x NZb
La x Lb
NZa x Lb
La x NZb

N
26
30
29
28

x ± sb
45,85 ± 8,91
47,70 ± 8,01
51,76 ±10,13
44,68 ±11,05

NZ = New Zealand White, L = Lokal, a = Jantan, b = Betina

Rataan bobot lahir kelinci NZa x NZb, La x Lb, NZa x Lb dan La x NZb
yang didapat pada penelitian ini berturut-turut sebesar 45,85±8,91; 47,70±8,01;
51,76±10,13 dan 44,68±11,05. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil
penelitian Khalil et al. (1995), rataan bobot lahir kelinci NZ(buck) x NZ(doe),
BR(buck) x BR(doe), NZ(buck) x BR(doe) dan BR(buck) x NZ(v) berturut sebesar
52±1,5; 49±1,9; 53±1,9 dan 53±2,1.

Lebih tinggi dibandingkan hasil yang

dilaporkan oleh Egena et al. (2012), pada kelinci CH(buck) x CH(dam), NZ(doe)
x NZ(doe), CH(buck) x NZ(doe) dan NZ(buck) x CH(doe) berturut-turut sebesar
41,18±3,39; 40,65±5,30; 39,07±7,09 dan 39,61±3,45. Brahmantiyo dkk. (2009),
mengemukakan bahwa jumlah anak yang tinggi menghasilkan bobot individu
lebih rendah. Akan tetapi hasil pada penelitian ini berbanding terbalik dengan
pendapat tersebut. Indikasi yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah
maternal (induk) disetiap ternak yang berbeda. Hal ini sesuai dengan peryataan
Edey (1986), yang menyatakan bobot lahir dan pertumbuhan sebelum sapih masih
dipengaruhi oleh faktor maternal (induk).

Universitas Sumatera Utara

Bobot Sapih
Bobot sapih adalah bobot pada saat dipisahkan dari induknya. Bobot sapih
merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan
kemampuan anak untuk mendapatkan air susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994).
Tabel 5. Rataan Bobot Sapih Kelinci
Bobot Sapih
NZa x NZb
La x Lb
NZa x Lb
La x NZb

N
26
30
29
28

x ± sb
473,15 ± 88,72
391,63 ± 71,54
514,17 ± 102,81
419,07 ± 151,41

NZ = New Zealand White, L = Lokal, a = Jantan, b = Betina

Rataan bobot sapih kelinci NZa x NZb, La x Lb, NZa x Lb dan La x NZb
yang

didapat

pada

penelitian

ini

berturut-turut

sebesar

473,15±88,72;

391,63±71,54; 514,17±102,81 dan 419,07±151,41. Hasil ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan Khalil et al. (1995), rataan bobot
sapih kelinci NZ(buck) x NZ(doe), BR(buck) x BR(doe), NZ(buck) x BR(doe) dan
BR(buck) x NZ(doe) berturut sebesar 404±10; 401±12; 418±13 dan 426±15.
Perbedaan ini mungkin disebabkan karena terbatasnya kemampuan induk untuk
mencukupi kebutuhan susu yang diperlukan anaknya selama periode menyusu.
Besar litter size yang tinggi, sehingga anak tidak dapat menerima susu secara
optimal sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan normal, sehingga pertumbuhan
terganggu (Setyawan, 1982). Hal ini diperkuat dengan peryataan Bourdon (1997),
yang menyatakan bobot sapih merupakan sifat yang dipengaruhi komponen
genetik induk (maternal genetic effect) yaitu pengaruh gen yang mempengaruhi
kondisi lingkungan pada induk yang pada akhirnya mempengaruhi performans
individu, pengaruh maternal genetik anatara lain adalah produksi susu induk dan
tingkah laku menyusui.

Universitas Sumatera Utara

Efek Heterosis
Heterosis adalah rataan keunggulan keturunan dibandingkan dengan rataan
kedua kelompok tetuanya sebagai akibat dari perbedaan frekuensi gen diantara
tetuanya dan adanya efek dominan dan atau epistasis (Falconer dan Mackay,
1996). Menurut Xu dan Zhu (1999) dan Sutiyono dkk (2011), menyatakan
heterosis terjadi akibat adanya interaksi dari pertemuan diantara gen-gen aditif
maupun perpaduan aktivitas gen pada suatu lingkungan yang mendukung atau
lingkungan yang cocok.
Tabel 6. Efek Heterosis
Variabel
Bobot Lahir
Bobot Sapih

% Heterosis
NZa x Lb
-4,09
-8,26

La x NZb
-13,36
-18,35

NZ = New Zealand White, L= Lokal, a = Jantan, b = Betina

Nilai dugaan efek heterosis bobot lahir dan bobot sapih NZa x Lb; bobot
lahir dan bobot sapih La x NZb pada penelitian ini berturut-turut sebesar -4,09 dan
-8,26 ; -13,36 dan -18,35. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang
dilaporkan Khalil et al. (1995) heterosis bobot lahir dan sapih berturut-turut
sebesar 2,5 dan 19,1 pada kelinci persilangan New Zealand White x Baladi Red.
Persilangan kelinci New Zealand White x Californian menghasilkan efek heterosis
berat hidup 35 hari dan 63 hari sebesar 36 dan 60 (Ouyed dan Brun, 2008). Efek
heterosis suatu karakter dapat juga negatif, yang disebabkan oleh perpaduan gen
yang menimbulkan suatu sifat menjadi lebih rendah dari rata-rata penampilan
kedua tetuanya. Efek heterosis yang negatif pada persilangan antar spesies lebih
tampak pada karakter reproduksi (Cassady et al., 2002; Sutiyono dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Estimasi Nilai Heritabilitas
Heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari
keragaman total suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Pengetahuan
tentang besarnya heritabilitas penting dalam mengembangkan seleksi dan rencana
perkawinan untuk memperbaiki ternak (Warwick et al., 1990). Heritabilitas
merupakan rasio yang menunjukkan persentase keunggulan tetua yang rata-rata
diwariskan kepada anaknya (Warwick et al., 1995).
Tabel 7. Nilai Dugaan Heritabilitas Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size
Sifat Produksi
Bobot Lahir
Bobot Sapih
Litter Size

Jumlah Pejantan
(ekor)
4
4
4

Jumlah Anak
(ekor)
113
113
113

Nilai Heritabilitas
(h2)
0,26
0,75
-0,46

Hasil analisis statistik menunjukkan nilai heritabilitas kelinci sifat bobot
lahir sebesar 0,26 (tabel 7). Hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Khalil et al. (1986) dan Brahmantiyo dan Raharjo (2011), yang
melaporkan dugaan heritabilitas bobot lahir sebesar 0,124 pada kelinci New
Zealand White, 0,12 pada kelinci Bouscat dan 0,40 pada kelinci Giza White.
Adanya perbedaan ini sesuai dengan pendapat Khalil et al. (1986) dan
Brahmantiyo dan Raharjo (2011), bahwa adanya perbedaan nilai dugaan
heritabilitas disebabkan oleh (a) metode analisis yang digunakan untuk menduga;
(b) ekspresi genetik setiap bangsa di dalam populasi yang berbeda; (c) jumlah data
yang digunakan; dan (d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada
setiap data.
Nilai heritabilitas sifat bobot sapih pada penelitian ini sebesar 0,75
(Tabel 7). Hal ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Brahmantiyo

Universitas Sumatera Utara

dan Raharjo (2011), yang melaporkan dugaan nilai heritabilitas bobot sapih
kelinci RR, SS dan RS berturut turut sebesar 0,93 ; 0,82 dan 0,98. Dugaan
heritabilitas penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dugaan heritabilitas bobot
sapih kelinci FZ-3 (Flemish Giant 37,5% dan Reza 62,5%) sebesar 0,36
(Lukefahr, 1996; Brahmantiyo dkk, 2013). Khalil et al. (1986) dan Brahmantiyo
dan Raharjo (2011), melaporkan nilai dugaan heritabilitas bobot sapih umur 42
hari kelinci New Zealand White sebesar 0,14; kelinci Bouscat sebesar 0,29 dan
kelinci Giza White sebesar 0,62. Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi
antar populasi dan bangsa. Perbedaan variasi tersebut dapat disebabkan oleh
perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam
lingkungan), metode dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer dan
Mackay, 1989; Hamdan, 2010). Warwick et al. (1990), menyatakan bahwa
diperlukan jumlah sampel minimal 500 sampel agar nilai heritabilitas yang
diperoleh handal.
Nilai heritabilitas litter size pada penelitian ini sebesar -0,46 (Tabel 7).
Nilai heritabilitas litter size mempunyai nilai minus meskipun secara teoritis nilai
heritabilitas tidak lebih dari satu. Nilai heritabilitas negatif atau lebih dari satu
secara biologis tidak mungkin. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh
keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga
kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat
menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan selektif,
kesalahan dalam pengambilan sampel (warwick et al., 1995).
Estimasi Nilai Ripitabilitas

Universitas Sumatera Utara

Ripitabilitas merupakan dari ragam total suatu populasi yang disebabkan
oleh perbedaan-perbedaan antara individu yang bersifat permanen (warwick et al.,
1990). Menurut Sundasesan (1975), jika nilai ripitabilitasnya tinggi, maka ternak
dapat dipertahankan atau dikeluarkan dari peternakan berdasarkan catatan pertama
pengamatan, namun jika ripitabilitasnya rendah diperlukan pengamatan lebih dari
satu kali pada karakter yang sama sebelum menentukan kehidupan produksi
ternak yang bersangkutan.
Tabel 8. Nilai Dugaan Ripitabilitas Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size
Sifat Produksi
Bobot Lahir
Bobot Sapih
Litter Size

Jumlah Betina
(ekor)
16
16
16

Jumlah Anak
(ekor)
113
113
113

Nilai Ripitabilitas
(r2)
0,17
0,4
0,3

Ripitabilitas bobot lahir, bobot sapih dan litter size pada penelitian ini
berturut-turut 0,17; 0,4 dan 0,3. Rastogi et al. (2000) dan Brahmantiyo dan
Raharjo (2005), melaporkan penelitian terhadap kelinci yang dikembangbiakkan
di lingkungan tropis lembab memperoleh nilai dugaan ripitabilitas sifat jumlah
anak lahir, lahir hidup, jumlah anak umur 21 hari, 28 hari dan 84 hari berturutturut sebesar 0,30; 0,32; 0,26; 0,25 dan 0,19. Bobot anak umur 21 hari, 28 hari
dan 84 hari

nilai dugaan ripitabilitasnya adalah 0,18; 0,19 dan 0,09. Pada

penelitian yang menggunakan kelinci New Zealand White dan Chinchilla nilai
dugaan ripitabilitas Jumlah sekelahiran, jumlah anak sekelahiran hidup dan bobot
anak sekalahiran hidup berturut-turut sebesar 0,26; 0,17 dan 0,25 (Egena et al.,
2012). Falconer dan Trudy (1996) dan Negara (2014), menyatakan bahwa nilai
ripitabilitas juga tidak bersifat tetap, melainkan bervariasi antara 0,0 sampai 1,0
dan besarnya tergantung pada besarnya ragam genetik dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

Korelasi Genetik
Terdapat 3 pengertian korelasi, yaitu korelasi fenotipik (rp), korelasi
genotipik (rg) dan korelasi lingkungan (re), maka pembahasan yang paling
penting adalah korelasi genetik (Kurnianto, 2009). Karnaen (2008) menyatakan
bahwa korelasi genetik adalah korelasi dari pengaruh aditif atau nilai pemuliaan
sifat kuantitatif, sedangkan korelasi fenotipik merupakan korelasi total dari semua
sifat yang dimiliki ternak. Faktor yang diwariskan tetua kepada keturunannya
adalah faktor genetik, bukan faktor lingkungan. Korelasi genetik sangat penting
jika dua sifat berkorelasi secara genetik, maka seleksi untuk suatu sifat akan
menyebabkan perubahan pada sifat lain (Kurnianto, 2009).
Tabel 9. Korelasi Sifat Bobot Lahir Terhadap Bobot Sapih pada Kelinci
Sifat
Bobot Lahir – Bobot Sapih

N
113

Nilai Korelasi Genetik
0,52

Pada penelitian ini didapatkan nilai korelasi antara bobot lahir dengan
bobot sapih sebesar 0,52. Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
hasil penelitian yang dilaporkan oleh Lukefahr et al. (1996) dan Larzul et al.
(2000), melaporkan korelasi genetik antara berat sapih

umur 70 hari hanya

sedang sebesar 0,58. Lasley (1978), menyatakan bahwa korelasi yang memiliki
nilai positif sangat berguna dalam program perbaikan genetik melalui seleksi,
dengan peningkatan produksi satu sifat melalui seleksi akan meningkatkan sifat
lain yang berkorelasi.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Efek heterosis minus menunjukkan bahwa performans bobot badan anak
tidak lebih baik dari rata-rata tetuanya. Nilai heritabilitas digolongkan kedalam
kategori rendah untuk sifat bobot lahir, kategori tinggi untuk sifat bobot sapih dan
minus pada litter size, atas hasil tersebut maka sifat bobot sapih dapat digunakan
sebagai kriteria dalam penyusunan program seleksi. Nilai ripitabilitas sifat bobot
lahir termasuk dalam kategori rendah, sifat bobot sapih dikategorikan tinggi dan
litter size termasuk kategori sedang. Korelasi genetik termasuk kedalam kategori
sedang menunjukkan antar sifat cukup efektif dalam hubungan keterkaitannya.

Saran
Disarankan dalam melakukan program penyeleksian pada kelinci New
Zealand White, Lokal dan persilangan lebih baik menggunakan sifat bobot sapih
dikarenakan sifat bobot sapi menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi serta
dalam penggunaan data yang lebih banyak agar hasil penelitian lebih akurat.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Ternak Kelinci
Kingdom: Animalia, Famili: Leporidae, Subfamili: Leporine, Ordo:
Lagomorpha, Genus: 1.Lepus (22 species)=Genuine Hare, 2.Orictolagus (1
species)=O. Cuniculus/European Rabbit, 3.Sylvilagus (22 species)=Cotton Tail
Rabbit, 4.Pronolagus (22 species)= Red Hare, 5.Bunolagus (1 species)=Bushman
Hare, 6.Pentalagus (1 species)=Riu-Kiu Rabbit, 7.Caprolagus (1 species)=Bristle
Rabbit, 8.Poelagus (1 species)=African Rabbit, 9.Nesolagus (1 species)=Sumatera
Rabbit, 10.Romerolagus (1 species)=Volcano Rabbit dan 11.Brachylagus
(1 species)=Dwarf Rabbit (Kartadisastra, 2012).

Biologis Kelinci
Kromosom kelinci berjumlah 44 buah, umur hidupnya (life span) 5-10
tahun dengan umur produktif 2-3 tahun dan memiliki kemampuan beranak 10 kali
per tahun. Bobot lahir kelinci antara 30-100 g/ekor (rataan 50-70 g/ekor), bobot
dewasa 5-10 kg/ekor (Harris, 1994). Menurut Cheeke et al. (1987), kelinci
memiliki kemampuan biologis yang menonjol terletak pada sistem reproduksi dan
sistem pencernaannya, yaitu (1) umur empat bulan kelinci sudah dapat mencapai
dewasa kelamin dan dapat dikawinkan, (2) setiap pejantan dapat dikawinkan
dengan 8-10 betina dengan tingkat keberhasilan pembuahan 95%, (3) lama
bunting kelinci rata-rata 31-32 hari, (4) rataan jumlah anak per kelahiran 6-7 ekor
dengan tingkat keselamatan 85-95% dan (5) anak kelinci disapih oleh induknya

Universitas Sumatera Utara

rata-rata pada umur 6-8 minggu, serta (6) segera setelah melahirkan, induk kelinci
dapat dikawinkan.
Tabel 1. Performans Produksi Kelinci New Zealand White dan Lokal
(Raharjo,1994)
Peubah
Laju Kebuntingan (%)
Periode Kebuntinga (hari)
Interval Beranak (hari)
Bobot Induk Saat Beranak (kg)
LS Saat Lahir (ekor)
LS Saat Sapih (ekor)
Bobot Sapih (g)
Mortalitas, lahir-Sapih (%)

NZW1
86,0
38,8
8,5
6,1
410*
28,0

NZW2
89,9
31,6
37,8
3,1
9,1
7,2
550
16,9

Lokal3
2,3
6,3
5,9
510**
15,1

Sumber : 1Partridge (1988) Inggris; 2Raharjo et al. (1986), Oregon, USA; 3Sartika dan Diwyanto
(1986), Bogor, Indonesia
Keterangan : LS = litter size; *sapih umur 25 hari; **sapih umur 35 hari;

Bangsa Kelinci
Dalam The New Rabbit Handbook ditulis, kelinci (Orytolagus cuniculus
forma domestica) dan terwelu (Lepus europaeua) berasal dari Eropa. Kemudian
menyebar ke seluruh dunia, termasuk Asia. Kelinci adalah anggota ordo
logomorpha. Sampai awal abad ke-20, ordo ini dimasukkan superfamili dalam
ordo Rodentia, keluarga pengerat. Karena ada perbedaan nyata antara Rodentia
dan Lagomorpha, mereka dipisah dalam ordo sendiri (Flona, 2009).

New Zealand White
Ras ini merupakan kelinci albino, tidak mempunyai bulu yang
mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal dan agak kasar kalau
diraba, mata merah. Aslinya dari New Zealand sehingga disebut New Zealand
White. Keunggulan kelinci ini, pertumbuhannya cepat, karena itu cocok
diternakkan sebagai penghasil daging komersial dan kelinci percobaan di

Universitas Sumatera Utara

laboratorium (Sarwono, 2007). Lebas et al. (1986), menerangkan bahwa bobot
dewasa 4,1-5,0 kg. umur kawin pertama 144 hari, rataan litter size lahir 8.5 ekor,
litter size hidup 8,0 ekor dan litter size sapih 6,5 ekor. Kelinci New Zealand White
terkenal dengan mothering abilitynya yang baik, produksi susunya juga baik
(Lukefahr et al., 1983; Sartika, 2005). Serta merupakan ternak prolifik.
Keunggulan lain dari kelinci New Zealand White adalah kelinci yang
umum dipergunakan dalam penelitian sebagai hewan percobaan untuk penelitian
biomedis (Cheeke et al., 1987; Brahmantiyo, 2008). Menurut Wikipedia (2015),
kelinci NZW menampilkan respon yang sama sebagaimana manusia pada
penyakit dan pengobatannya. Ditambahkan, reaksi ini menjadikan kelinci NZW
selalu dipergunakan di laboratorium pharmasi pada rumah sakit umum di Amerika
Serikat, pusat penelitian kanker dan rumah sakit universitas.

Lokal
Kelinci lokal Indonesia bertubuh kecil, bobot dewasa hanya mencapai 1,82,3 kg. warna bulu tidak spesifik, berwarna hitam, coklat, putih, abu-abu polos
atau berkombinasi diantara warna tersebut (Adjisoedarmo et al., 1985; Sartika,
2005). Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai
jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis
New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh
yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci–kelinci lokal ini memiliki laju
pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci
lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit

Universitas Sumatera Utara

dan

mempunyai

toleransi

terhadap

panas

serta

berbadan

besar

(Farrel dan Raharjo, 1984).
Herman (2000), menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap
panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal
telah beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas
dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal
diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan pun
mempunyai kualitas yang cukup baik.

Cross Breeding (kawin silang)
Perkawinan silang adalah perkawinan ternak-ternak dari bangsa yang
berbeda (Warwick et al., 1990). Teknisnya Crossbreeding ini hanya berlaku untuk
persilangan pertama pada breed asli, tetapi secara umum berlaku juga untuk
sistem crisscrossing dari dua jenis atau rotasi persilangan dari tiga atau lebih bibit
dan untuk menyilangkan pejantan murni dari satu ras untuk menaikkan tingkatan
betina dari ras yang yang lain (Warwick dan Legates, 1979).

Sifat Kuantitatif
Sifat Kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur dalam skala tertentu.
Beberapa sifat kuantitatif yang sangat penting karakteristiknya adalah fertilitas
pertumbuhan dan efisiensi pakan, produksi susu, kepadatan fur, ketahanan
terhadap penyakit dan kualitas karkas (Cheeke et al., 1987; Brahmantiyo dan
Raharjo, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Adanya variasi bobot badan dari berbagai penelitian bahkan pada lokasi
yang sama dapat disebabkan oleh faktor waktu, lokasi dan jumlah ternak yang
berbeda (Prihandini et al., 2011). Diterangkan Lebas et al. (1986), bahwa
pengaruh lingkungan yang mempengaruhi sifat kuantitatif antara lain iklim,
habitat, kelembaban, aliran udara, peralatan pemeliharaan, teknik pemuliabiakan,
pemberian pakan dan faktor manusia (peternak).

Bobot Lahir
Bobot lahir adalah bobot saat dilahirkan atau bobot hasil penimbangan
dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Hardjosubroto, 1994). Khalil et al.
(1995), menyatakan bahwa rataan bobot lahir kelinci NZ(buck) x NZ(doe),
BR(buck) x BR(doe), NZ(buck) x BR(doe) dan BR(buck) x NZ(v) berturut sebesar
52±1,5; 49±1,9; 53±1,9 dan 53±2,1.

Lebih tinggi dibandingkan hasil yang

dilaporkan oleh Egena et al. (2012), pada kelinci CH(buck) x CH(dam), NZ(doe)
x NZ(doe), CH(buck) x NZ(doe) dan NZ(buck) x CH(doe) berturut-turut sebesar
41,18±3,39; 40,65±5,30; 39,07±7,09 dan 39,61±3,45.
Brahmantiyo dkk (2009), mengemukakan bahwa jumlah anak yang tinggi
menghasilkan bobot individu lebih rendah. Edey (1986), menyatakan bahwa
bobot lahir dan pertumbuhan sebelum sapih masih dipengaruhi oleh faktor
maternal (induk).

Universitas Sumatera Utara

Bobot Sapih
Bobot sapih adalah bobot pada saat dipisahkan dari induknya. Bobot sapih
merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan
kemampuan anak untuk mendapatkan air susu dan tumbuh (Hardjosubroto, 1994).
Khalil et al. (1995), rataan bobot sapih kelinci NZ(buck) x NZ(doe), BR(buck) x
BR(doe), NZ(buck) x BR(doe) dan BR(buck) x NZ(doe) berturut sebesar 404±10;
401±12; 418±13 dan 426±15. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena
terbatasnya kemampuan induk untuk mencukupi kebutuhan susu yang diperlukan
anaknya selama periode menyusu. Besar litter size yang tinggi, sehingga anak
tidak dapat menerima susu secara optimal sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan
normal, sehingga pertumbuhan terganggu (Setyawan, 1982).
Tinggi rendahnya bobot sapih disebabkan karena terbatasnya kemampuan
induk untuk mencukupi kebutuhan susu yang diperlukan anaknya selama periode
menyusu. Besar litter size yang tinggi, sehingga anak tidak dapat menerima susu
secara optimal sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan normal, sehingga
pertumbuhan terganggu (Setyawan, 1982). Hal ini diperkuat dengan peryataan
Bourdon (1997), yang menyatakan bobot sapih merupakan sifat yang dipengaruhi
komponen genetik induk (maternal genetic effect) yaitu pengaruh gen yang
mempengaruhi kondisi lingkungan pada induk yang pada akhirnya mempengaruhi
performans individu, pengaruh maternal genetik antara lain adalah produksi susu
induk dan tingkah laku menyusui.

Universitas Sumatera Utara

Litter Size
Jumlah litter size tergantung pada jumlah sel telur yang diovulasikan dan
dibuahi oleh sperma serta tumbuh dan berkembang normal sampai dilahirkan
(Sartika dkk., 1995). Harper (1963), menyatakan bahwa sel telur dilepaskan
secara bertahap selama ovulasi berlangsung. Semakin banyak jumlah sel telur
diovulasikan, jumlah sel telur yang dibuahi akan semakin banyak sehingga jumlah
anak sekelahiran akan meningkat pula.
Kadarwati (2006), menyebutkan bahwa besarnya anak per kelahiran
dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur induk, musim kelahiran, dan kondisi
lingkungan. Faktor-faktor lingkungan sangat mempengaruhi jumlah kelahiran
antara lain musim kawin, jumlah sel telur yang dihasilkan serta tingkat kematian
embrio yang sangat berpengaruh terhadap jumlah anak per kelahiran.

Heterosis
Hetero-genetik adalah pertemuan antara berbagai gen yang mengontrol
bermacam-macam sifat dalam menumbuhkan karakter, baik karakter kualitatif
maupun kuantitatif. Menurut Xu dan Zhu (1999) dan Sutiyono dkk (2011),
menyatakan heterosis terjadi akibat adanya interaksi dari pertemuan diantara gengen aditif maupun perpaduan aktifitas gen pada suatu lingkungan yang
mendukung atau lingkungan yang cocok.
Beberapa teori menjelaskan tentang heterosis, yaitu teori dominan
menyebutkan bahwa galur tetua adalah dominan yang homosigot pada beberapa
lokus yang berbeda, sedangkan teori over-dominan menjelaskan bahwa individu

Universitas Sumatera Utara

heterosigot lebih unggul daripada individu homosigot. Kemudian teori epistasis
menyebutkan bahwa heterosis merupakan perwujudan dari segala bentuk interaksi
antar lokus. Peningkatan performa pertumbuhan pada hasil persilangan berkisar 010% dan untuk sifat-sifat fertilitas berkisar antara 5-25% (Noor, 2000).
Hasil dari penelitian Khalil et al. (1995), heterosis bobot lahir dan sapih
berturut-turut sebesar 2,5 dan 19,1 pada kelinci persilangan New Zealand White x
Baladi Red. Persilangan kelinci New Zealand White x Californian menghasilkan
efek heterosis berat hidup 35 hari dan 63 hari sebesar 36 dan 60 (Ouyed dan Brun,
2008). Efek heterosis suatu karakter dapat juga negatif, yang disebabkan oleh
perpaduan gen yang menimbulkan suatu sifat menjadi lebih rendah dari rata-rata
penampilan kedua tetuanya. Efek heterosis yang negatif pada persilangan antar
spesies lebih tampak pada karakter reproduksi (Cassady et al., 2002; Sutiyono
dkk, 2011).

Parameter Genetik
Keragaman dan mutu genetik sifat-sifat yang merupakan potensi genetik
individu-individu dalam suatu populasi akan tercermin pada nilai parameter
genetiknya meliputi nilai heritabilitas, ripitabilitas dan korelasi genetik
(Hardjosubroto, 1994).

Heritabilitas
Heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari
keragaman total suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Pengetahuan
tentang besarnya heritabilitas penting dalam mengembangkan seleksi dan rencana
perkawinan untuk memperbaiki ternak (Warwick et al., 1990). Heritabilitas

Universitas Sumatera Utara

merupakan rasio yang menunjukkan persentase keunggulan tetua yang rata-rata
diwariskan kepada anaknya (Warwick et al., 1995).
Noor (2000) menyatakan bahwa, ada dua macam heritabilitas, yaitu
heritabilitas dalam arti luas yang merupakan rasio antar keragaman genetik
dengan keragaman fenotipik yang melibatkan pengaruh gen aditif dan non aditif.
Heritabilitas dalam arti sempit merupakan rasio antara keragaman aditif dan
keragaman fenotip yang dalam hal ini aksi gen non aditif (dominan dan epistasis).
Secara teori, nilai heritabilitas dapat berkisar antara 0 hingga 1, tetapi angka
ekstrim ini jarang diperoleh untuk sifat-sifat kuantitatif ternak. Heritabilitas yang
bernilai nol maka hal tersebut berarti semua keragaman disebabkan oleh pengaruh
lingkungan, dan sebaliknya, jika heritabilitas bernilai satu, maka semua
keragaman disebabkan oleh keturunan (Warwick et al., 1990).
Pada penelitian Khalil et al. (1986) dan Brahmantiyo dan Raharjo (2011),
dugaan heritabilitas bobot lahir sebesar 0,124 pada kelinci New Zealand White,
0,12 pada kelinci Bouscat dan 0,40 pada kelinci Giza White. Adanya perbedaan
ini sesuai dengan pendapat Khalil et al. (1986) dan Brahmantiyo dan Raharjo
(2011), bahwa adanya perbedaan nilai dugaan heritabilitas disebabkan oleh
(a) metode analisis yang digunakan untuk menduga; (b) ekspresi genetik setiap
bangsa di dalam populasi yang berbeda; (c) jumlah data yang digunakan; dan
(d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada setiap data.
Nilai dugaan heritabilitas bobot sapih kelinci RR, SS dan RS berturut turut
sebesar 0,93; 0,82 dan 0,98 (Brahmantiyo dan Raharjo, 2011). Dugaan
heritabilitas penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dugaan heritabilitas bobot
sapih kelinci FZ-3 (Flemish Giant 37,5% dan Reza 62,5%) sebesar 0,36

Universitas Sumatera Utara

(Lukefahr, 1996; Brahmantiyo dkk, 2013). Khalil et al. (1986) dan Brahmantiyo
dan Raharjo (2011), melaporkan nilai dugaan heritabilitas bobot sapih umur 42
hari kelinci New Zealand White sebesar 0,14; kelinci Bouscat sebesar 0,29 dan
kelinci Giza White sebesar 0,62. Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi
antar populasi dan bangsa. Perbedaan variasi tersebut dapat disebabkan oleh
perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam
lingkungan), metode dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer dan
Mackay, 1989; Hamdan, 2010). Warwick et al. (1990), menyatakan bahwa
diperlukan jumlah sampel minimal 500 sampel agar nilai heritabilitas yang
diperoleh handal.
Martojo (1992), menyatakan bahwa heritabilitas bukan suatu konstanta,
karena itu nilainya dipengaruhi oleh besar komponen ragam aditif, ragam genetik,
dan lingkungan. Sifat reproduksi dan daya hidup pada umumnya mempunyai nilai
heritabilitas yang rendah, sedangkan sifat-sifat pertumbuhan dan perdagingan
mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Nilai heritabilitas negatif atau lebih dari satu
secara biologis tidak mungkin. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh
keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga
kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat
menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan selektif,
kesalahan dalam pengambilan sampel (warwick et al., 1995).

Ripitabilitas
Ripitabilitas merupakan bagian dari ragam total suatu populasi yang
disebabkan oleh perbedaan-perbedaan antara individu yang bersifat permanen

Universitas Sumatera Utara

(Warwick et al., 1990). Ragam ripitabilitas disebabkan oleh perubahan fisiologi
dan fluktuasi lingkungan yang bersifat sementara. Menurut Sundasesan (1975),
jika nilai ripitabilitasnya tinggi, maka ternak dapat dipertahankan atau dikeluarkan
dari peternakan berdasarkan catatan pertama pengamatan, namun jika
ripitabilitasnya rendah diperlukan pengamatan lebih dari satu kali pada karakter
yang sama sebelum menentukan kehidupan produksi ternak yang bersangkutan.
(Martojo, 1992).
Ripitabilitas adalah konsep yang erat hubungannya dengan heritabilitas
dan berguna untuk sifat-sifat yang muncul beberapa kali dalam hidupnya.
Ripitabilitas dinyatakan juga sebagai batas atas nilai heritabilitas, karena nilainya
paling sedikit sebesar nilai heritabiltas atau dapat jauh lebih besar tergantung dari
besarnya faktor-faktor itu (Warwick et al., 1990). Rastogi et al. (2000) dan
Brahmantiyo dan Raharjo (2005), melaporkan penelitian terhadap kelinci yang
dikembangbiakan di lingkungan tropis lembab memperoleh nilai dugaan
ripitabilitas sifat jumlah anak lahir, lahir hidup, jumlah anak umur 21 hari, 28 hari
dan 84 hari berturut-turut sebesar 0,30; 0,32; 0,26; 0,25 dan 0,19 serta Bobot
anak umur 21 hari, 28 hari dan 84 hari nilai dugaan ripitabilitasnya adalah 0,18;
0,19 dan 0,09. pada penelitian yang menggunakan kelinci New Zealand White dan
Chinchilla nilai dugaan ripitabilitas jumlah sekelahiran, jumlah anak sekelahiran
hidup dan bobot anak sekalahiran hidup berturut-turut sebesar 0,26; 0,17 dan 0,25
(Egena et al., 2012). Falconer dan Trudy (1996) dan Negara (2014), menyatakan
bahwa nilai ripitabilitas juga tidak bersifat tetap, melainkan bervariasi antara 0,0
sampai 1,0 dan besarnya tergantung pada besarnya ragam genetik dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

Korelasi
Terdapat 3 pengertian korelasi, yaitu korelasi fenotipik (rp), korelasi
genotipik (rg) dan korelasi lingkungan (re), maka pembahasan yang paling
penting adalah korelasi genetik (Kurnianto, 2009). Karnaen (2008) menyatakan
bahwa korelasi genetik adalah korelasi dari pengaruh aditif atau nilai pemuliaan
sifat kuantitatif, sedangkan korelasi fenotipik merupakan korelasi total dari semua
sifat yang dimiliki ternak. Faktor yang diwariskan tetua kepada keturunannya
adalah faktor genetik, bukan faktor lingkungan. Korelasi genetik sangat penting
jika dua sifat berkorelasi secara genetik, maka seleksi untuk suatu sifat akan
menyebabkan perubahan pada sifat lain (Kurnianto, 2009).
Lukefahr et al. (1996) dan Larzul et al. (2000) melaporkan korelasi
genetik antara berat sapih

umur 70 hari hanya sedang sebesar 0,58. Lasley

(1978), menyatakan bahwa korelasi yang memiliki nilai positif sangat berguna
dalam program perbaikan genetik melalui seleksi, dengan peningkatan produksi
satu sifat melalui seleksi akan meningkatkan sifat lain yang berkorelasi.

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan kelinci saat ini ditinjau dari segi produksi adalah mutu bibit
yang kurang memadai dan berakibat pada menurunnya produktivitas dan mutu
produk, mortalitas anak lepas sapih yang tinggi dan harga pakan yang tinggi untuk
suatu pemeliharaan intensif (Raharjo et al., 1995). Untuk keberhasilan
pengembangan yang lebih baik, perlu pula dilakukan peningkatan mutu genetik
ternaknya. Untuk meningkatkan mutu genetik ternak kelinci salah satu cara yang
dapat dilakukan yaitu dengan mengadakan seleksi. Akan tetapi pelaksanaan
seleksi tidak dapat terlepas dari perhitungan nilai ekonomisnya. Nilai ekonomis
dari kegiatan seleksi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang
mempengaruhi yaitu daya pewarisan sifat (heritabilitas) dari sifat yang hendak
diseleksi. Pewarisan sifat pada semua ternak dipengaruhi keadaan lingkungan
tempat ternak hidup serta faktor genetik ternak yang bersangkutan.
Nilai heritabilitas dapat digunakan sebagai indikator untuk memperkirakan
keekonomisan suatu kegiatan seleksi, dengan memperkirakan waktu yang
diperlukan untuk mencapai tujuan seleksi yang dikehendaki. Pada suatu sifat
dengan nilai heritabilitas tinggi, seleksi akan lebih efektif dibandingkan seleksi
untuk sifat dengan nilai heritabilitas yang rendah, dan pada sifat dengan nilai
heritabilitas tinggi, seleksi dapat didasarkan atas fenotip individu.
Bila nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih rendah, berarti program
pemuliaan yang lebih efektif adalah melalui sistem persilangan. Faktor-faktor
lingkungan harus mendapat perhatian didalam pengembangan ternak kelinci,

Universitas Sumatera Utara

terutama faktor lingkungan yang mungkin akan menghambat pertumbuhan
kelinci, seperti angin, suhu, makanan dan kelembaban udara.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui litter size, bobot lahir dan
bobot sapih dalam 2 (dua) kelahiran, menduga parameter genetik terhadap litter
size, bobot lahir dan bobot sapih serta untuk menduga korelasi antara bobot lahir
dengan bobot sapih dari kelinci New Zealand White, Lokal dan persilangan.

Kegunaan Penelitian
Sebagai informasi dasar strategi pemuliaan guna meningkatkan mutu
genetik kelinci khususnya di Sumatera Utara serta menjadi bahan rujukan yang
bermanfaat bagi masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

AHMAD AWALUDDIN, 2016: Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat
Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal
dan Persila

Dokumen yang terkait

Pengaruh Frekuensi Perkawinan Dan Sex Ratio Terhadap Litter Size, Bobot Lahir, Mortalitas Selama Menyusui Dan Bobot Sapih Pada Kelinci Persilangan

2 28 69

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

4 43 59

Hubungan antara Bobot Badan Induk dengan Litter Size, Bobot Lahir dan Mortalitas Anak Kelinci New Zealand White - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 12

Hubungan antara Bobot Badan Induk dengan Litter Size, Bobot Lahir dan Mortalitas Anak Kelinci New Zealand White - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 3

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

0 0 11

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

0 0 2

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

0 0 2

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

0 0 12

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

0 1 4

Pendugaan Parameter Genetik dan Korelasi Sifat Bobot Lahir, Bobot Sapih dan Litter Size pada Kelinci New Zealand White, Lokal dan Persilangan

0 0 14