Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(1)

(2)

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

1 ml MnSO4

1 ml KOH-KI Dikocok Didiamkan

1 ml H2SO4

Dikocok Didiamkan

Diambil sebanyak 100 ml Ditetesi Na2S2O3 0,0125 N

Ditambah 5 tetes amilum

Ditetesi Na2S2O3 0,0125 N

Dihitung volume Na2S2O3

yang terpakai (= DO akhir)

Sampel Air

Sampel dengan endapan putih/cokelat

Larutan Sampel Berwarna Cokelat

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Sampel Berwarna Biru

Sampel Bening


(3)

Lampiran 2. Penentuan Kadar Nitrogen (N) dengan Metode Kjehdahl (Williams, 1984)

Sebanyak 1 gram tepung daun dimasukan kedalam labu destilasi bersama-sama dengan 7,5 ml H2SO4dan batu didih. Labu digoyang-goyangkan agar bahan

tercampur asam secara merata. Kemudian labu dipanaskan dengan nyala api kecil sampai cairan didalamnya berwarna coklat (1/4 jam). Api diperbesar hingga cairan jernih. Labu diangkat dan setelah dingin tambahkan 50 ml aquades, baru kemudian dituangkan 10 ml NaOH 30%.Amoniak yang terbentuk ditampung dalam erlemeyer menjadi 50 ml. Cairan dalam erlemeyer kemudian didestilasi.Tambahkan aquades, baru tuangkan 30 ml NaOH 30% Amoniak yang terbentuk selama destilasi ditampung.

Metode Spektrofotometer

a. Ambil 25 ml contoh amoniak masukan kedalam gelas beker ukuran 100 ml. b. Tambahkan 1 ml phenol solution, kemudian aduk sampai rata.

c. Tambahkan 1 ml Sod Nitroprosside.

d. Tambahkan 2,5 ml Oxidizing Solution, aduk rata.

e. Simpan sampai 1 jam, kemudian tutup dengan alumunium foil.


(4)

Lampiran 3. Penentuan Kadar Karbon (C) denganEkstraksi Destruksi Basah

Ditimbang 2 g daun kering oven, dimasukkan kedalam Erlenmeyer 500 cc. Ditambahkan 5 ml K2CrO7 1 N (menggunakan pipet) kemudian goncang dengan

tangan. Ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat, kemudian digoncang 3-4 menit,

diamkan selama 30 menit. Ditambahkan 100 ml air uling dan 5 ml H3PO4 85%,

NaF 4% 2,5 ml, kemudian ditambahkan 5 tetes diphenylamine, digoncang sampai larutan berwarna biru tua kehijauan kotor. Dititrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2 0,5 N

dari buret hingga berubah warna menjadi hijau terang. Dilakukan kerja lagi (tanpa daun) untuk mendapatkan volume titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,5 N untuk blanko.


(5)

Diambil dengan pipet 5 ml cairan dekstruksi encer dari ekstraksi dekstruksi basah atau cairan dari ekstraksi pengabuan kering dimasukkan kedalam tabung reaksi.Kemudian ditambahkan 10 ml reagen fosfat B biarkan ± 10 menit.Kemudian ukur transmitance (absorbance) pada spectronic dengan 600 nm. Dilakukan pada larutan standar 0-2-4-6-8 dan 10 ppm P, dengan cara mengambil dengan pipet masing-masing 5 ml dan ditambhakan 10 ml reagen fosfat B, dan diukur pada spectronic.


(6)

Pengukuran Suhu Pengukuran pH

Pengukuran Salinitas Hasil Salinitas


(7)

1 2

3 4


(8)

Cara Pengkuran Oksigen Terlarut (DO) Lampiran 6. Alat dan Bahan Penelitian

Jaring Penampung Serasah Kantung Serasah

5 6

7 8


(9)

Tali Plastik pH Meter


(10)

Oven Jarum Suntik


(11)

Jarum Jahit Botol Winkler


(12)

Gunting Toolbox


(13)

Lampiran 7. Proses Pengambilan Produksi Serasah dan Kantung Serasah

Peletakkan Kantung Serasah Pengambilan Kantung Serasah


(14)

Lampiran 8. Data Parameter Fisika Kimia Perairan Stasiun Hari

Ke-

Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Suhu (⁰C) Salinitas (‰) pH DO (mg/l)

I 28 28 6,6 1,8

II 0 32 26 7,6 2

III 28 28 6 1,6

Kisaran 28 - 32 26 - 28 6 - 7,6 1,6 - 2

Rata-rata 29,3 27,3 6,7 1,8

I 31 25 6,7 2

II 15 31 26 6,9 2,2

III 31 25 7,2 2,4

Kisaran 31 25 - 26 6,7 - 7,2 2 - 2,4

Rata-rata 31 25,3 6,9 2,2

I 31 25 7,3 2

II 30 30 24 7,5 2,2

III 30 26 7,1 2

Kisaran 30 - 31 24 - 26 7,1 - 7,5 2 - 2,2

Rata-rata 30,3 25 7,3 2,1

I 30 34 6 2,5

II 45 30 33 6,1 2,5

III 31 31 6,5 2,5

Kisaran 30 - 31 31 - 34 6 - 6,5 2,5

Rata-rata 30,3 32,7 6,2 2,5

I 31 26 6,4 2,5

II 60 31 28 6,3 2,5

III 29 22 6,2 2

Kisaran 29 - 31 22 - 28 6,2 - 6,4 2 - 2,5

Rata-rata 30,3 25,3 6,3 2,3

I 30 24 6,3 2,5

II 75 31 25 6,4 2,2

III 31 27 6,2 2

Kisaran 30 - 31 24 - 27 6,2 - 6,3 2 - 2,5


(15)

Lampiran 9. Makrozoobenthos yang terdapat dalam kantung serasah R. stylosa Makrozoobenthos Stasiun Ulangan Hari Jumlah

Cacing I U1 15 3

Siput, Cacing U2 15 3

Siput, Cacing U3 15 5

Cacing U1 30 1

Cacing U2 30 6

Siput, Cacing U3 30 3

Siput, Cacing U1 45 9

Siput U2 45 5

Siput, Cacing U3 45 8

Siput U1 60 4

Cacing U2 60 7

Cacing U3 60 5

Siput, Cacing U1 75 6

Siput, Cacing U2 75 9

Cacing U3 75 4

Siput, Cacing II U1 15 5

Siput, Cacing U2 15 9

Cacing U3 15 6

Cacing U1 30 8

Cacing U2 30 3

Siput U3 30 3

Siput U1 45 5

Cacing U2 45 1

Siput, Cacing U3 45 5

Siput, Cacing U1 60 8

Siput, Cacing U2 60 6

Cacing U3 60 7

Siput, Cacing U1 75 5

Siput, Cacing U2 75 4

Siput, Cacing U3 75 7

Cacing III U1 15 3

Cacing U2 15 5

Cacing U3 15 9

Siput, Cacing U1 30 12

Cacing U2 30 8

Siput U3 30 11

Siput, Cacing U1 45 6

Cacing U2 45 4


(16)

Makrozoobenthos Stasiun Ulangan Hari Jumlah

Siput, Cacing U1 60 6

Siput, Cacing U2 60 8

Siput, Cacing U3 60 16

Siput U1 75 6

Cacing U2 75 12

Cacing U3 75 16

Lampiran 10. Laju Dekomposisi serasah R. stylosa

Bobot kering (g) dan atau sisa daun R. stylosatiap ulangan dari hari ke- 15 sampai dengan hari ke-75

Stasiun Ulangan Waktu

0 15 30 45 60 75

I

U1 50 23,6 13,4 12,9 7,6 6,8

U2 50 29,4 11,5 11,3 9,4 6,4

U3 50 26,1 15,4 11,7 10,2 6,6

Total 150 79,1 40,3 35,9 27,2 19,8

Rata-rata 50 26,4 13,4 12,0 9,1 6,6

II

U1 50 31,5 20,2 16,4 10,3 7,6

U2 50 30,7 16,8 15,5 11,6 9

U3 50 27,6 12,6 12,4 10,8 8,7

Total 150 89,8 49,6 44,3 32,7 25,3

Rata-rata 50 29,9 16,5 14,8 10,9 8,4


(17)

U2 50 23,1 19,7 17,1 13,3 9,6

U3 50 21,1 17 15,1 11,7 10,6

Total 150 73,6 63,3 55,1 37,4 29,3

Rata-rata 50 24,5 21,1 18,4 12,5 9,8

Laju Dekomposisi serasah R. Stylosa

Stasiun Ulangan Waktu

15 30 45 60 75

I

U1 1,76 1,22 0,82 0,71 0,58

U2 1,37 1,28 0,86 0,68 0,58

U3 1,59 1,15 0,85 0,66 0,58

Total 4,73 3,66 2,54 2,05 1,74

Rata-rata 1,58 1,22 0,85 0,68 0,58

II

U1 1,23 0,99 0,75 0,66 0,57

U2 1,29 1,11 0,77 0,64 0,55

U3 1,49 1,25 0,84 0,65 0,55

Total 4,01 3,35 2,35 1,96 1,66

Rata-rata 1,34 1,12 0,78 0,65 0,55

III

U1 1,37 0,78 0,60 0,63 0,55

U2 1,79 1,01 0,73 0,61 0,54

U3 1,93 1,10 0,78 0,64 0,53

Total 5,09 2,89 2,11 1,88 1,61

Rata-rata 1,70 0,96 0,70 0,63 0,54

Lampiran 10. Lanjutan

Persentase laju dekomposisi dan kecepatan dekomposisi

Stasiun Waktu

15 30 45 60 75

I

52,8 73,2 74,2 84,8 86,4

41,2 77 77,4 81,2 87,2

47,8 69,2 76,6 79,6 86,8

Rata-rata 47,27 73,13 76,07 81,87 86,80

Kec. Dekomposisi 3,15 2,44 1,69 1,36 1,16

II

37 59,6 67,2 79,40 84,8

38,6 66,4 69 76,80 82

44,8 74,8 75,2 78,40 82,6

Rata-rata 40,13 66,93 70,47 78,20 83,13

Kec. Dekomposisi 2,68 2,23 1,57 1,30 1,11

III

41,2 46,8 54,2 75,2 81,8

53,8 60,6 65,8 73,4 80,8

57,8 66 69,8 76,6 78,8


(18)

Kec. Dekomposisi 3,40 1,93 1,41 1,25 1,07

Nilai konstanta laju dekomposisi (k)

Stasiun Waktu Rata-rata

15 30 45 60 75

I 15,57 15,99 11,60 10,36 9,85 12,68

II 12,48 13,46 9,89 9,27 8,68 10,76

III 17,33 10,50 8,12 8,43 7,93 10,46

Lampiran 11. Produksi Serasah Daun R. stylosa

Produksi Serasah Daun R. stylosa

Stasiun Waktu Jumlah Rata-rata Jumlah

15 30 45 60 75 gr/m²/hr gr/m²/75hr

I 26,1 54,8 91,5 86,8 92 351,20 70,24 4,68

II 30,5 80,5 77,4 60,8 86,8 336,00 67,20 4,48


(19)

Lampiran 12. Perhitungan Laju Dekomposisi (Olson, 1963 diacu oleh Mahmudi, dkk., 2008)

X

t

= X

0

e

–kt

Jadi :

ln (X

t

/X

0

) = -kt

Keterangan :

Xt = Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t

X0 = Berat serasah awal

e = Bilangan logaritma natural (2,72) k = Nilai Laju Dekomposisi

t = Periode pengamatan

Hari ke- 15 t = 15

365= 0,041 Stasiun I

X0 = 50 g

Xt = 26,4

t = 0,014 -kt = ln26,4

50 -kt = ln 0,53 -0,041k = - 0,64


(20)

k =−0,64 −0,041

k = 15,57

Stasiun II

X0 = 50 g

Xt = 29,9

t = 0,014 -kt = ln29,9

50 -kt = ln 0,60 -0,041k = - 0,51 k =−0,51

−0,041

k = 12,48

Stasiun III

X0 = 50 g

Xt = 24,5

t = 0,014 -kt = ln24,5

50

-kt = ln 0,49 -0,041k = - 0,71 k =−0,71

0,041

k = 17,33

Hari ke- 30 t = 30

365= 0,082 Stasiun I

X0 = 50 g

Xt = 13,4


(21)

-kt = ln13,4 50 -kt = ln 0,27 -0,082k = - 1,32 k =−1,32

−0,082

k = 15,99

Stasiun II

X0 = 50 g

Xt = 16,5

t = 0,082 -kt = ln16,5

50 -kt = ln 0,33 -0,082k = - 1,11 k =−1,11

−0,082

k = 13,46

Stasiun III

X0 = 50 g

Xt = 21,1

t = 0,082 -kt = ln21,1

50 -kt = ln 0,42 -0,082k = - 0,36 k =−0,36

−0,082

k = 10,56


(22)

t = 45

365= 0,123 Stasiun I

X0 = 50 g

Xt = 12,0

t = 0,123 -kt = ln12,0

50 -kt = ln 0,24 -0,123k = - 1,43 k =−1,43

−0,123

k = 10,36

Stasiun II

X0 = 50 g

Xt = 14,8

t = 0,123 -kt = ln14,8

50 -kt = ln 0,30 -0,123k = - 1,22 k =−1,22

−0,123

k = 9,89

Stasiun III

X0 = 50 g

Xt = 18,4

t = 0,123 -kt = ln18,4

50 -kt = ln 0,37 -0,123k = - 1,00


(23)

k =−1,00 −0,123

k = 8,12

Hari ke- 60 t = 60

365= 0,164

Stasiun I

X0 = 50 g

Xt = 9,1

t = 0,164 -kt = ln9,1

50 -kt = ln 0,18 -0,164k = - 1,70 k =−1,70

−0,164

k = 10,36

Stasiun II

X0 = 50 g

Xt = 10,9

t = 0,164 -kt = ln10,9

50 -kt = ln 0,22 -0,164k = - 1,52 k =−1,52

−0,164

k = 9,27

Stasiun III


(24)

Xt = 12,5

t = 0,164 -kt = ln12,5

50 -kt = ln 0,25 -0,164k = - 1,39 k =−1,39

−0,164

k = 8,43

Hari ke- 75 t = 75

365= 0,205 Stasiun I

X0 = 50 g

Xt = 6,6

t = 0,205 -kt = ln6,6

50 -kt = ln 0,13 -0,205k = - 2,02 k =−2,02

−0,205

k = 9,85

Stasiun II

X0 = 50 g

Xt = 8,4

t = 0,205 -kt = ln8,4

50 -kt = ln 0,17 -0,205k = - 1,78 k =−1,78


(25)

k = 8,68

Stasiun III

X0 = 50 g

Xt = 9,8

t = 0,205

-kt = ln9,8 50 -kt = ln 0,20 -0,205k = - 1,63 k =−1,63

−0,205


(26)

Lampiran 13. Hasil Analisis Kandungan Unsur Hara C, N, dan P pada Serasah Daun R. stylosa

Stasiun Hari ke-

Parameter Analisis

N-total P C-organik

% % %

I

0 0,78 0,13 16,34

15 0,39 0,1 16,71

60 1,18 0,09 11,03

75 0,98 0,09 10,37

II

0 0,98 0,09 16,54

15 0,39 0,09 16,53

60 0,98 0,09 10,65

75 1,18 0,1 10,75

III

0 0,59 0,14 17,64

15 0,39 0,11 16,53

60 0,98 0,1 18,46

75 1,18 0,08 10,46

Rasio C/N

Stasiun Waktu

15 60 75

I 42,85 9,35 10,58

II 42,38 10,87 9,11

III 42,38 18,84 8,86

Rata-rata 42,54 13,02 9,52


(27)

DAFTAR PUSTAKA

Aida, G. R., Y. Wardiatno., A. Fahrudin dan M. M. Kamal. 2014. Produksi Serasah Mangrove di Pesisir Tangerang, Banten (Litterfall Production of Mangrove in Tangerang Coastal Area, Banten). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 19 (2): 91 97.

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. The IUCN Wetlands Programme. Bangkok, Thailand.

Amir, A. 2006. Hubungan Komposisi Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos dengan Parameter Oseanografi di Perairan Pesisir Kabupaten Pangkep. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan FIKP. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Andrianto, F., A. Bintoro dan S. B. Yuwano. 2015. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove (Rhizophora sp.) di Desa Durian dan Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari. 3 (1) : 9-20.

Apdhan, D., A. Mulyani dan Zulkifli. 2013. Produksi dan Kandungan Karbon Serta Laju Dekomposisi Serasah Xylocarpus sp di Perairan Sungai Mesjid Dumai, Riau. Hal 1-11.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaat. Kanisius, Yogyakarta. Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Daratan. USU

press, Medan.

Boonruang, P. 1984. The rate of degradation of mangrove leaves, Rhizhophora apiculata bl and Avicennia marina (forsk) vierh at Phuket Island, Western Peninsula of Thailand. In Soepadmo, E., A.N. Rao and D.J. Macintosh. 1984. Proceedings of The Asian Symposium on Mangrove Environment Research and Management. University ofMalaya and UNESCO. Kuala Lumpur. 200-208 p.

Budiman, A. dan S. A. P. Dwiono. 1986. Ekologi Moluska Hutan Mangrove di Jailolo, Halmahera: Suatu Studi Perbandingan. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove di Depansar, Bali: 121-128.

Dewi, N. 2009. Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina pada Berbagai Tingkat Salinitas. [Skripsi].Universitas Sumatera Utara, Medan.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


(28)

Galaxy, H., A. Pratomo dan Apdillah. 2014. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove di Pulau Los Kota Tanjungpinang. Hal : 1-14. Greenway, M. 1994. Litter Accesion and Acumulation in Melaleuca

quinquenervia (Cav.) S. T Blake Wetland in South- eastern Queensland Aust. J. Mar. Freshwater. 45: 1509-1519.

Gultom, I. M. 2009. Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora mucronata pada Berbagai Tingkat Salinitas. [Skripsi].Universitas Sumatera Utara, Medan. Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Handayani,T. 2004. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove Rhizophora mucronata

Lamk di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu Jakarta. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Iman, A. N. 2014. Kesesuaian Lahan untuk Perencanaan Rehabilitasi Mangrove dengan Pendekatan Analisis Elevasi di Kuri Caddi, Kabupaten Maros. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Indriani, Y. 2008. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Api-Api (Avicennia marina Forssk.Vierh) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Provinsin Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kawaroe, M., D.G. Bengen, M. Eidman dan M. Boer. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Laut. 3(3):13-26.

Ketaren, S. N. 2014. Komposisi Serasah dan Lumpur sebagai Media Tanam Bibit

Rhizophora apiculata di Secanang Belawan. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Kordi K, M. G. H. 2011. Marikultur Prinsip dan Praktik Budidaya Laut. Lily Publisher, Yogyakarta.

Lekatompessy, S. T. A dan A. Tutuhatunewa. 2010. Kajian Konstruksi Model Peredam Gelombang Dengan Menggunakan Mangrove di Pesisir Lateri – Kota Ambon. Arika. 4(1): 52-60.

Lestarina, M P. 2011. Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mahmudi, M., K. Soewardi., C. Kusmana., H. Hardjomidjojo dan A. Damar. 2008. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Kontribusinya terhadap Nutrien di Hutan Mangrove Reboisasi. Jurnal Penelitian Perikanan. 11 (1): 19-25.


(29)

Murni, F., Yunasfi dan Desrita. 2015. Laju Dekomposisi Serasah Daun

Rhizophora apiculata dan Analisis Unsur Hara C, N dan P di Pantai Serambi Deli Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Aquacoastmarine. 7 (2): 1-11.

Naibaho, R. F. Yunasfi dan A. Suryanti.2015.Laju Dekomposisi Serasah Daun

Avicennia marina dan Kontribusinya terhadap Nutrisi di Perairan Pantai Serambi Deli Kecamatan Pantai Labu. Jurnal Aquacoastmarine. 7 (2): 1-14.

Noer, A. H. 2009. Model Dinamik Rantai Makanan pada Ekosistem Mangrove di Laguna Tasilaha. Jurnal Media Litbang Sulteng. 2 (2): 110-120.

Nontji , A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.

Noor, R. Y., M. Khazali dan N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetland International Indonesia Programe,Bogor. Nugraha, W. A. 2010. Produksi Serasah (Guguran Daun) pada Berbagai Jenis

Mangrove di Bangkalan. Jurnal Kelautan. 3 (1): 66-69.

Nybakken. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta. Prabudi, T. 2013. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora stylosa pada Berbagai

Tingkat Salinitas. [Skripsi].Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sa’ban, M. Ramli dan W. Nurgaya. 2013. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dengan Kelimpahan Plankton di Perairan Mangrove Teluk Moramo. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3(12): 132-146.

Siarudin, M dan E. Rachman. 2008. Biomassa Lantai dan Jatuhan Serasah di Kawasan Mangrove Blanakan , Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. 5 (4): 329-335. Soenardjo, N. 1999.Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan

Hubungannya dengan Struktur Komunitas Mangrove di Kaliuntu Kab. Rembang Jawa Tengah. [Tesis] Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Talib, M. F. 2008. Struktur dan Pola zonasi (Sebaran) Mangrove serta Makrozoobenthos yang Berkonsistensi di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Thaher, E. 2013. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora Mucronata

denganAplikasi Fungi Aspergillus sp. pada Berbagai Tingkat Salinitas. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan.


(30)

Ulqodry, Z. T. 2008. Produktivitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Tanjung Apiapi Sumatera Selatan. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wibisana, B. T. 2004. Produksi Dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Berau Provinsi Kalimanatan Timur. [Skripsi]. Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo, Jakarta.

Wulan dan P. D. K. Praswati. 2011. Penentuan rasio optimum C:N:P Sebagai Nutrisi pada Proses Biodegradasi Benzena-Toluena dan Scale Up Kolom Bioregenerator. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Depok.

Zamroni, Y dan I. S. Rohyani.2008.Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat.Biodiversitas. 9(4): 284-287.


(31)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2016. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Analisis unsur hara C, N dan K dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Area lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Deskripsi Area

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara


(32)

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantung serasah (litter bag) ukuran 30 x 40 cm yang terbuat dari nylon, jaring (litter trap) berukuran 1 x 1 m, tali rafia, timbangan analitik, oven, jarum, benang, amplop, kantung plastik, jarum suntik, pH meter, refraktometer, botol Winkler, thermometer, tisu, alat tulis, kamera digital dan kertas HVS.

Bahan yang digunakan adalah serasah daun R. stylosa yang diambil dari kawasan lokasi penelitian, air, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum dan

akuades.

Prosedur Penelitian

Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel

Penentuan stasiun dilakukan dengan metode purposive sampling. Dimana dalam penentuan stasiun terdapat 3 stasiun berdasarkan ketersediaan jenis mangrove R. stylosa dari tepi pantai sampai daratan.

Stasiun I

Stasiun I secara geografis memiliki koordinat 4⁰8'35"LU dan 98⁰14'38"BT. Stasiun ini didominasi mangrove jenis R. apiculata dan R. stylosa. Area ini berada didekat lahan area penanaman mangrove oleh mahasiswa manajemen sumberdaya perairan tahun 2011. Stasiun I dapat dilihat pada Gambar 5.


(33)

Gambar 5. Stasiun I

Stasiun II

Stasiun II secara geografis memiliki koordinat 4⁰8'42"LU dan 98⁰14'42"BT. Stasiun II memiliki mangrove R. apiculata yang jumlahnya cukup banyak dan stasiun ini didominasi oleh mangrove jenis R. apiculata dan R. stylosa. Stasiun II dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Stasiun II Stasiun III


(34)

Stasiun III secara geografis memiliki koordinat 4⁰8'44"LU dan 98⁰14'39"BT. Stasiun ini memiliki ketersediaan mangrove yang cukup banyak memiliki kerapatan yang tinggi dan didominasi oleh jenis R. apiculata, A. marina

dan R. stylosa. Stasiun III ini memiliki kondisi tanah yang berlumpur. Stasiun III dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Stasiun III

Pengambilan Sampel Daun Serasah R. stylosa Produksi Serasah Mangrove

Metode umum yang digunakan untuk menangkap guguran serasah di hutan mangrove dalam waktu tertentu (linerfall) adalah dengan littertrap (jaring penangkap serasah). Littertrap berupa jaring penampung berukuran 1 m x 1 m, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring sekitar 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat. Littertrap diletakkan di antara vegetasi mangrove terdekat dengan ketinggian sekitar 1 – 1,5 m di atas garis pasang tertinggi. Pada setiap stasiun dipasang 5 jaring penampung. Pengukuran produktivitas serasah


(35)

dilaksanakan bersamaan dengan mulai dilakukannya penelitian laju dekomposisi selama 3 bulan dengan selang waktu pengambilan selama 15 hari.

Serasah yang sudah dikumpulkan, diambil serasah daun saja yang akan ditimbang. Serasah tersebut ditimbang beratnya lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering serasah. Pengukuran berat kering serasah dilaksanakan dengan cara mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 80°C selama 1x24 jam atau hingga beratnya konstan. Desain dan ilustrasi pemasangan perangkap serasah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Desain dan Ilustrasi Pemasangan Perangkap pada Saat Penelitian (Aida dkk, 2014)

Laju Dekomposisi Serasah Mangrove

Pengambilan serasah daun mangrove dilakukan dengan cara mengambil langsung serasah yang sudah jatuh secara alami di lantai hutan mangrove. Setiap stasiun disiapkan 18 kantung serasah dimana dalam setiap kantung berisi serasah daun seberat 50 g. Setelah daun dimasukkan, kantung serasah dijahit kemudian diberi lubang pada kedua sisi kantung kanan dan kiri agar kantung dapat


(36)

dihubungkan dengan tali rafia. Kemudian kantung serasah diikatkan pada akar mangrove dengan erat agar saat pasang kantung serasah tidak terlepas.

Pengukuran laju dekomposisi dilakukan dengan mengambil litterbag dari masing-masing lokasi pengamatan pada 0, 15, 30, 45, 60, dan 75 hari. Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari litterbag dikeluarkan dan ditiriskan, untuk selanjutnya diukur berat basahnya. Kemudian serasah tersebut selanjutnya dikeringkan didalam oven pada suhu 80°C hingga beratnya konstan, lalu diukur berat keringnya. Laju dekomposisi serasah dihitungdari penyusutan bobot serasah yang didekomposisikan dalam satu satuan waktu.

Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Perairan

Pengukuran parameter Fisika kimia perairan dilakukan sebanyak 6 kali dengan interval waktu 2 minggu selama 3 bulan. Dapat dilihat pada Tabel 2. Prosedur kerja pengukuran DO dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2.Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter Satuan Alat Tempat Analisis

Fisika Suhu Salinitas 0 C ppt Termometer Refraktometer In Situ In Situ Kimia DO pH Karbon Nitrogen Fosfat Mg/l - % % % Metode Winkler pH Meter

Ekstraksi Destruksi Basah Metode Kjelldahl Ekstraksi Destruksi Basah

In Situ In Situ Ex Situ Ex Situ Ex Situ


(37)

Analisis Data

Produksi Serasah Daun Mangrove R. stylosa

Serasah mangrove yang jatuh ke jaring nylon berukuran 1 X 1 m2 kemudian dimasukkan ke kantong plastik. Pisahkan komponen daun, ranting, dan bunga-buah. Kemudian di timbang dengan ketelitian timbangan 0,01 gram. Hasil dari pengukuran dihitung dengan satuan gram/m2/ hari.

Berat basah serasah diperoleh setelah ditimbang sebelum dioven. Berat kering serasah diperoleh setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C sampai mencapai berat konstan. Analisis produksi serasah dilakukan menggunakan persamaan Hamidy, dkk (2002) diacu oleh Apdhan, dkk (2013).

Berat kering = (gbk/m²/75hari atau gbk/m²/hari)

Keterangan:

gbk = gram berat kering

m²/60hari = meter kuadrat per 75 hari m²/hari = meter kuadrat per hari

Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove R. stylosa

Perhitungan persentase laju dekomposisi serasah daun pada R. stylosa

menggunakan rumus Boonruang (1984), yaitu:

=

��−����

x

100%

Keterangan:

Y = Persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi (%) BA = Berat kering awal penimbangan (gram)


(38)

Pendugaan nilai laju dekomposisi serasah dilakukan menurut persamaan berikut (Olson, 1963 diacu oleh Mahmudi, dkk., 2008) :

X

t

= X

0

e

–kt

Jadi :

ln (X

t

/X

0

) = -kt

Keterangan :

Xt = Berat serasah setelah periode pengamatan ke-t

X0 = Berat serasah awal

e = Bilangan logaritma natural (2,72) k = Nilai Laju Dekompos isi


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Parameter Fisika - Kimia Perairan

Parameter fisika – kimia perairan yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (DO). Hasil pengukuran parameter fisika – kimia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika – Kimia Perairan

Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata

Fisika

Suhu (⁰C) 28 - 31 30,2 30 - 32 30,8 28 - 31 30 Salinitas

(‰) 24 - 34 27 24 - 33 27 22 - 31 26,5

Kimia

pH 6 - 7,3 6,6 6,1 - 7,6 6,8 6 - 7,2 6,5

DO (mg/l) 1,8 - 2,5 2,2 2 - 2,5 2,3 1,6 - 2,5 2,1 Berdasarkan tabel diatas diperoleh suhu normal pada perairan berkisar antara 29⁰C – 30⁰C. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 32⁰C dengan nilai rataan sebesar 30,8⁰C dan suhu terendah terdapat pada stasiun I dan stasiun II sebesar 28⁰C.

Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksornkoae, 1993). Hasil nilai kisaran salinitas antar stasiun adalah 22 – 34 ‰. Salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 34 ‰ dan nilai salinitas terendah terdapat pada stasiun III juga sebesar 22 ‰.

pH perairan pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 6 – 7,6. Nilai tersebut menunjukkan nilai basa yang normal untuk permukaan perairan


(40)

Indonesia. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 7,6 dan nilai pH terendah terdapat pada stasiun I dan III sebesar 6.

Hasil nilai kisaran kandungan oksigen terlarut (DO) antar stasiun adalah 1,6 – 2,5 mg/l. Nilai DO tertinggi sebesar 2,5 mg/l namun jika dilihat dari nilai rataan tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai rataan 2,3 mg/l dan nilai DO terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai rataan sebesar 2,1 mg/l.

Makrozoobenthos

Makrozoobenthos termasuk dekomposer awal yang berperan dalam mencacah sisa-sisa daun yang kemudian dikeluarkan kembali menjadi kotoran kemudian dilanjutkan oleh bakteri ataupun fungi yang merubah bahan organik menjadi protein dan karbohidrat. Tabel 4 menunjukkan beberapa jenis makrozoobenthos yang terdapat pada kantung serasah daun R. stylosa.

Tabel 4. Beberapa jenis makrozoobenthos yang terdapat pada kantung serasah daun R. stylosa.

Kelas Ordo Genus

Gastropoda Mesogastropoda Telescopium

Tubellaria Macrostomida Microstonum

Jenis makrozoobenthos yang terdapat pada kantung serasah dapat dilihat pada Gambar 9 dan jumlah makrozoobenthos yang diperoleh dapat dilihat pada Lampiran 9. Menunjukkan bahwa makrobenthos sangat berperan dalam proses pendekomposisian serasah daun R. stylosa.


(41)

Gambar 9. (a) Siput (Littoraria scabra) dan (b) Cacing (Lumbricus terrestris)

Produksi Serasah Daun R. Stylosa

Produksi serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif dari pohon mangrove R. stylosa disebabkan oleh faktor ketuaan, kematian, serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin). Produksi serasah selama 75 hari dapat dilihat pada Gambar 10 dan data mentah dapat dilihat pada Lampiran 11.

Gambar 10. Perbandingan produksi serasah tiap stasiun

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa nilai produksi tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 70,24 gr/m2/hari dan nilai produksi serasah daun R. stylosa

terendah terdapat pada stasiun III sebesar 54,98 gr/m2/hari.

70,24 67,2 54,98 0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3

P rod uks i Se ras ah ( gr /m 2/h ar i) Stasiun Pengamatan b a


(42)

Laju Dekomposisi

Sisa serasah daun R. Stylosa yang mengalami pendekomposisian atau penurunan bobot basah secara fisiknya menunjukkan sisa-sisa cercahan serasah daun R. Stylosa yang semakin lama semakin berubah bentuk menjadi partikel-partikel halus selama periode pengamatan hari ke- 15 sampai hari ke- 75 (Gambar 11).

Gambar 11. Bentuk serasah daun mangrove R. Stylosa yang mengalami proses dekomposisi selama 75 hari dalam periode 15 – 75 hari. (a) 15 hari; (b) 30 hari; (c) 45 hari; (d) 60 hari; (e) 75 hari.

b a

c d


(43)

Serasah daun R. stylosa yang mengalami pendekomposisian selama 75 hari dengan periode pengamatan selama 15 hari sekali mengalami perubahan bobot kering. Penyusutan bobot kering dari serasah daun itu sendiri bervariasi setiap periode pengamatan (15 hari). Pada (Gambar 12) dapat dilihat perubahan penyusutan dari serasah daun R. stylosa, dimana semakin lama waktu pengamatan maka semakin besar pula persentase (%) penyusutan serasah daun R. stylosa

tersebut (Lampiran 10).

Gambar 12. Rata-rata sisa serasah daun mangrove R. stylosa selama periode pengamatan 75 hari.

Rata-rata sisa dekomposisi serasah dapat dilihat dari grafik diatas, dimana penurunan bobot kering/sisa serasah yang terbesar atau penurunan bobot sangat drastis pada awal pengamatan di hari ke- 15 terlihat pada stasiun III yaitu sebesar 24,5 g dengan penyusutan sebesar 25,5 g dan persentase laju dekomposisi sebesar 50,93 %. Sedangkan penyusutan bobot pada stasiun I dan stasiun II sebesar 26,4 g dan 29,9 g dalam waktu pengamatan ke- 15 hari, dengan penyusutan 23,6 g dan 20,1 g dengan persentase laju dekomposisi sebesar 47,27 % dan 40,13 %.

50 26,4 13,4 12,0 9,1 6,6 50 29,9 16,5 14,8 10,9 8,4 50 24,5 21,1 18,4 12,5 9,8 0 10 20 30 40 50 60

0 15 30 45 60 75

S is a D ek om p os is i S er as ah ( gr am )

Periode Pengamatan (hari)

Stasiun I Stasiun II Stasiun III


(44)

Berdasarkan dari penyusutan bobot atau sisa serasah daun R. stylosa diatas dapat diketahui rata-rata laju dekomposisi serasah secara berkala dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun R. stylosa secara berkala Waktu

15 30 45 60 75 Rata-rata

Stasiun

I 1,58 1,22 0,85 0,68 0,58 0,98

II 1,34 1,12 0,78 0,65 0,55 0,89

III 1,70 0,96 0,70 0,63 0,54 0,91

Rata-rata 1,54 1,10 0,78 0,65 0,56 0,93

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa laju dekomposisi serasah daun R. stylosa yang tertinggi terjadi pada awal pendekomposisian ke- 15 hari dan selanjutnya menurun seiring dengan pertambahan waktu pengamatan sampai akhir pendekomposisian ke- 75 hari. Laju dekomposisi tertinggi pada awal pengamatan ke- 15 hari sebesar 1,54 g/hari dan laju dekomposisi terendah terjadi pada akhir pengamatan sebesar 0,56 g/hari.

Grafik dibawah ini menunjukkan nilai konstanta rata-rata laju dekomposisi serasah daun R. stylosa dari setiap stasiun pengamatan (Gambar 13).

Gambar 13. Nilai konstanta rata-rata laju dekomposisi (k) serasah daun R. stylosa 12,68 10,76 10,46 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

I II III

L aj u D e k om p os is i (k ) Stasiun Pengamatan


(45)

Hasil pengukuran rata-rata nilai konstanta laju dekomposisi (k) serasah pada masing-masing stasiun berturut-turut sebesar 12,68, 10,76, dan 10,46 dari bobot awal pengamatan ke- 15 sampai periode waktu pengamatan ke- 75 hari. Nilai konstanta laju dekomposisi tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 12,68 dan terendah pada stasiun III sebesar 10,46.

Kandungan Unsur Hara (C, N, dan P)

Laju dekomposisi serasah terjadi dari hari ke- 15 sampai hari ke- 75. Serasah daun R. stylosa mengandung unsur hara karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P).

Kandungan unsur hara nitrogen (N) mengalami penurunan pada awal proses dekomposisi yaitu pada hari ke- 15 kemudian mengalami peningkatan pada hari ke- 60 dan ke- 75. Kandungan unsur hara nitrogen (N) pada serasah daun R. stylosa dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Kandungan unsur hara N serasah daun R. stylosa yang telah mengalami proses dekomposisi

0, 78 0, 98 0, 59 0, 39 0, 39 0, 39 1, 18 0, 98 0, 98 0, 98 1, 18 1, 18 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

I II III

N itr oge n (% ) Stasiun Pengamatan 0 15 60 75


(46)

Serasah daun R. stylosa memiliki kandungan karbon (C) yang tinggi dibandingkan dengan unsur N dan P. Jika dilihat (Gambar 15) nilai kandungan unsur hara C bervariasi setiap pengamatan. Kandungan unsur hara C tertinggi terjadi pada stasiun III sebesar 18,46 % dan terendah terjadi pada stasiun I sebesar 10,37 %.

Gambar 15. Kandungan unsur hara C serasah daun R. stylosa yang telah mengalami proses dekomposisi

Kandungan unsur hara fosfor pada serasah daun R. stylosa menurun selama proses dekomposisi. Namun pada stasiun II kandungan unsur P meningkat dari awal pendekomposisian sampai akhir pendekomposisian. Unsur P juga berperan dalam proses metabolisme tanaman, unsur P merupakan salah satu unsur hara essensial. Kandungan unsur hara tertinggi pada awal pendekomposisian terjadi pada stasiun III sebesar 0,11 % dan nilai terendah juga terdapat pada stasiun III sebesar 0,08 % pada akhir pendekomposisian hari ke- 75. Kandungan unsur P dapat dilihat pada Gambar 16.

16, 34 16, 54 17, 64 16, 53 16, 71 16, 53 11, 03 10, 65 18, 46 10, 37 10, 75 10, 46 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

I II III

K a rb on (% ) Stasiun Pengamatan 0 15 60 75


(47)

Gambar 16. Kandungan unsur hara P serasah daun R. stylosa yang telah mengalami proses dekomposisi

Serasah R. stylosa memiliki rasio C/N yang termasuk tinggi. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 42,85 dan nilai terendah terdapat pada stasiun III sebesar 8,86. Rasio C/N R. stylosa dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Rasio C/N

0, 13 0, 09 0, 14 0 ,1 0, 09 0, 11 0, 09 0,

09 0,1

0,

09 0,1

0, 08 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16

I II III

F os for (% ) Stasiun Pengamatan 0 15 60 75

42,85 42,38 42,38

9,35 10,87 18,84 10,58 9,11 8,86 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00

I II III

Ra si o C/ N Stasiun Pengamatan 15 60 75


(48)

Pembahasan

Parameter Fisika - Kimia Perairan

Hasil pengukuran suhu selama penelitian ditemukan perbedaan suhu di setiap stasiun namun tidak memperlihatkan variasi yang berbeda. Kisaran suhu yang didapat saat pengamatan antara 28⁰C – 32⁰C. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 32⁰C. Hal ini disebabkan oleh pengukuran suhu yang dilakukan pada saat siang hari. Faktor lain yang menyebabkan suhu pada stasiun II tinggi dikarenakan wilayah pengamatan merupakan daerah yang terbuka sehingga intensitas cahaya matahari yang diterima tinggi. Nilai suhu terendah terdapat pada stasiun I dan stasiun II sebesar 28⁰C. Rendahnya suhu diakibatkan karena pada saat pengukuran bertepatan saat hujan turun yang mengakibatkan suhu pada perairan tersebut rendah. Hal ini sesuai dengan Talib (2008) fluktuasi suhu air dan udara yang terjadi antar masing-masing stasiun tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan waktu pengukuran di setiap stasiun yang berhubungan dengan intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan perairan, kondisi cuaca, ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan, dan banyak sedikitnya volume air yang tergenang menyebabkan terjadinya fluktuasi suhu air dan udara antara masing-masing stasiun.

Nilai salinitas yang didapat saat pengukuran berkisar 22‰ - 34‰. Rata-rata salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I dan stasiun II sebesar 27 ‰, nilai salinitas tersebut didapat saat pengamatan kondisi tingkat hujan rendah. Sedangkan nilai rata-rata salinitas terendah terdapat pada stasiun III sebesar 26,5 ‰. Variasi salinitas tersebut diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang berubah setiap periode pengamatan. Salinitas rendah diakibatkan karena adanya masukan


(49)

air tawar atau hujan saat dilakukan pengamatan. Hal ini sesuai dengan Nybakken (1992), salinitas lebih bervariasi khususnya pada perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan terbuka atau laut dalam, kecuali didaerah dekat sungai besar yang mengeluarkan sejumlah besar air tawar, salinitas tidak banyak berubah sehingga dapat menimbulkan perbedaan ekologis. Dimana kisaran salinitas ini masih berada dalam kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme plankton.

Nilai pH yang didapat pada saat penelitian memiliki kisaran 6 – 7,6. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai rata-rata sebesar 6,8. Sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai rata-rata 6,5. Tingginya kadar pH disebabkan karena daerah masih dipengaruhi oleh daratan sehingga aktivitas mikroorganisme sangat optimal dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun III. Handayani (2004) nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain salinitas, aktivitas fotosintesis, aktivitas biologi, suhu kandungan oksigen dan adanya kation serta anion dalam perairan.

Kadar oksigen terlarut perairan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang ada di perairan itu sendiri. Nilai DO yang didapat saat penelitian bervariasi setiap stasiunnya berkisar 1,6 mg/l – 2,5mg/l. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai rata-rata sebesar 2,3 mg/l dan nilai DO terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai rata-rata sebesar 2,1 mg/l. Rendahnya kadar oksigen terlarut pada stasiun III disebabkan karna tingginya aktivitas mikroorganisme sangat optimal. Menurut Murni (2015) faktor lain yang menyebabkan rendahnya DO pada stasiun pengamatan adalah karena tingginya aktivitas organisme dan mikroorganisme dalam proses pendekomposisian bahan organik. Lekatompessy


(50)

dan Tutuhatunewa (2010) beberapa faktor yang dapat menyebabkan kandungan DO di perairan menurun antara lain naiknya suhu perairan, mekanisme respirasi (terutama pada malam hari) dan adanya lapisan minyak diatas permukaan air. Ketaren (2014) tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari.

Makrozoobenthos

Makrozoobenthos merupakan dekomposer awal yang berperan dalam mencacah sisa-sisa daun mangrove yang berada pada lantai hutan yang kemudian dikeluarkan kembali menjadi kotoran lalu dimanfaatkan kembali oleh bakteri ataupun fungi yang merubah bahan organik menjadi protein dan karbohidrat. Hal ini sesuai dengan Nontji (1993), sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem ialah melalui luruhan (serasah) yang gugur berjatuhan ke dalam air. Serasah tersebut akan dimanfaatkan oleh makrozoobentos sebagai sumber energi yang selanjutnya akan diuraikan lagi oleh mikrofauna menjadi zat hara yang membantu pertumbuhan mangrove.

Setiap pengamatan jenis makrozoobenthos yang ditemukan dalam kantung serasah umumnya dari genus Telescopium dan genus Microstonum. Kedua jenis makrozoobenthos merupakan jenis yang sering ditemukan dalam hutan mangrove. Hal ini sesuai dengan Budiman (1991) diacu oleh Amir (2006) jenis-jenis Moluska asli penghuni hutan mangrove adalah semua jenis Moluska yang seluruh


(51)

atau sebagian besar waktu hidup dewasanya dihabiskan di hutan mangrove. Daerah sebarannya dari bagian tengah sampai ke bagian belakang hutan, misalnya: Cerithidae cingulata, C. obtusa, Telescopium telescopium, Nerita violacea, N. planospira, Cassidula mustellina, C. quadrasi, Ellopium aurisjudae,

Auriculastra subula, Laemodonta siamensis, Chicoreus capunicus, Tellina staurella dan Polymesoda coaxans.

Jenis makrozoobenthos yang ditemukan dalam kantung serasah salah satunya adalah Littoraria scabra. L. scabra ini ditemukan disetiap stasiun pengamatan, dimana peletakkan kantung serasah di ketiga stasiun berada di akar pohon mangrove dan teduh. Hal ini sesuai dengan Budiman (1991), jenis L. scabra hidup di batang, cabang, akar dan daun pohon mangrove, mampu bertahan hidup dan hanya memperoleh air dari percikan-percikan air pasang. Penyebaran L. scabra di hutan mangrove dipengaruhi beberapa faktor seperti keteduhan dan tipe vegetasi. Mereka dapat merayap naik dan mengantung hanya dengan bantuan lendirnya yang kental serta dijumpai pada sebagian besar vegetasi.

Produksi Serasah

Nilai produksi tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 70,24 gr/m2/75hari dan nilai produksi serasah daun R. stylosa terendah terdapat pada stasiun III sebesar 54,98 gr/m2/75hari dengan rata-rata pengguguran daun 4,68 gr/m2/hari dan 3,67 gr/m2/hari (Lampiran 11). Tingginya produksi serasah pada stasiun I dipengaruhi oleh kondisi dari mangrove tersebut, dimana mangrove pada lokasi tersebut masih tergolong muda dibandingkan mangrove yang berada pada stasiun II dan stasiun III. Hal ini sesuai dengan Soenardjo (1999) semakin tua tumbuhan


(52)

maka produksi serasahnya semakin menurun, begitu pula sebaliknya. Selain faktor-faktor tersebut morfologi daun diduga juga mempengaruhi produksi serasah.

Pada penelitian ini produksi dari pohon mangrove yang dihitung beratnya hanya daun. Hal ini disebabkan karena daun merupakan komponen yang paling tinggi jumlah gugurannya dibanding komponen lainnya. Hal ini sesuai dengan Hogarth (1999) diacu oleh Ulqodry (2008) tingginya kontribusi serasah daun dibandingkan organ lain karena secara biologis proses pembentukan daun lebih cepat dibandingkan organ reproduksi serta ranting dan cabang. Pembentukannya juga lebih kontiniu. Selain itu juga lebih mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan hujan.

Berkaitan dengan salinitas, daun mangrove juga memegang peranan penting didalam adaptasi mangrove terhadap kadar salinitas yang tinggi yakni dengan adanya sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, untuk selanjutnya digugurkan. Salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I dan stasiun II yaitu 27 ‰ dan produksi tertinggi terdapat pada stasiun yang sama. Hal ini sesuai dengan Indriani (2008) salinitas merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi serasah. Salinitas tertinggi didapat pada stasiun I dan II yaitu 30 ‰. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa stasiun ini sering terkena genangan pasang air laut yang memberikan pengaruh sangat besar dengan produksi serasah (34,701 dan 34,528g/m2/minggu). Salinitas terendah terdapat pada stasiun III sebesar 27‰. Produksi serasah yang dihasilkan 34,023 g/m2/minggu.


(53)

Produksi serasah daun mangrove berupa guguran daun memiliki jumlah yang bervariasi di setiap periode pengamatannya mulai hari ke- 15 sampai hari ke- 75. Perbedaan berat dari guguran daun tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah setiap pengamatannya. Kecepatan angin adalah salah satu faktor dalam proses pengguguran daun, saat penelitian dari bulan Maret – Mei kecepatan angin pada daerah langkat berkisar 10 – 20 km/jam. Hal ini sesuai dengan Wibisana (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi serasah. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi serasah tinggi pula.

Laju Dekomposisi

Hasil penimbangan bobot serasah setelah 15 hari pertama terjadi penurunan bobot yang signifikan dibandingkan dengan penurunan bobot setelah 30 hari sampai 75 hari. Penyusutan bobot pada stasiun I sampai stasiun III secara berturut-turut yaitu sebesar 23,6 gr, 20,1 gr dan 25,5 gr. Dapat disimpulkan bahwa persentase penyusutan serasah lebih besar terjadi pada 15 hari pertama. Hal senada dikemukakan oleh Lestarina (2011) menjelaskan bahwa aktifitas enzim selulotik fungi (fangal cellulolic enzym) yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi.

Penurunan bobot kering/sisa serasah yang terbesar atau sangat drastis pada awal pengamatan di hari ke- 15 terlihat pada stasiun III yaitu sebesar 24,5 g dengan penyusutan sebesar 25,5 g dan persentase laju dekomposisi sebesar 50,93 %. Sedangkan penyusutan bobot pada stasiun I dan stasiun II sebesar 26,4 g dan 29,9 g dalam waktu pengamatan ke- 15 hari, dengan penyusutan 23,6 g dan 20,1


(54)

g dengan persentase laju dekomposisi sebesar 47,27 % dan 40,13 %. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh dari faktor lingkungan seperti parameter fisika dan kimia yang bervariasi setiap harinya. Menurut Indriani (2008) faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah faktor lingkungan perairan (temperatur, salinitas dan pH) dan faktor lingkungan substrat (fraksi substrat dan mikroorganisme substrat/dekomposer) serta menurut Soenardjo (1999) jenis serasah daun dan pengaruh arus pasang juga berpengaruh terhadap proses dekomposisi.

Kecepatan dekomposisi pada setiap stasiun pengamatan mengalami penurunan di setiap periode pengamatannya. Semakin lama periode pengamatan maka semakin rendah pula kecepatan dekomposisi dari serasah itu sendiri (Lampiran 10). Dimulai dari hari ke- 15 pertama kecepatan dekomposisi pada stasiun I sampai stasiun III secara berturut-turut 3,15 %, 2,68 % dan 3,40 % dan kecepatan dekomposisi pada hari ke- 75 secara berturut-turut 1,16 %, 1,11 % dan 1,07 %. Hali ini sesuai dengan Apdhan dkk (2013) laju dekomposisi tertinggi terjadi pada tahap awal, hal ini diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan organik dan anorganik yang mudah larut (pelindihan) dan juga hadirnya mikroorganisme yang berperan dalamp erombakan beberapa zat yang terkandung dalam daun mangrove. Semakin lama waktu proses, semakin turun kecepatan per harinya.

Nilai konstanta rata-rata laju dekomposisi serasah daun R. stylosa

memiliki nilai perbedaan yang tidak terlalu signifikan disetiap stasiunnya. Nilai konstanta berturut-turut 12,68, 10,76, dan 10,46. Nilai ini menunjukkan laju dekomposisi setiap stasiun tinggi dengan kisaran suhu saat pengamatan berkisar


(55)

30 ⁰C. Menurut Soenardjo (1999) batasan temperatur optimum untuk bakteri berkisar 27⁰C -36 ⁰C, yang sangat berpengaruh bagi penguraian serasah mangrove dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme.

Rata-rata laju dekomposisi pada ke- 15 hari tertinggi terjadi pada stasiun III sebesar 1,70 gr/hari dibandingkan dengan stasiun I dan II (Lampiran 10) namun dengan bertambahnya waktu pengamatan (30 - 75 hari) rata-rata laju dekomposisi tertinggi terjadi pada stasiun I. Nilai laju dekomposisi yang tinggi menunjukkan bahwa proses pendekomposisi pada serasah lebih cepat. Menurut Prabudi (2013), kecepatan terdekomposisi mungkin berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kandungan Unsur Hara (C, N, dan P) Nitrogen (N)

Nilai kandungan unsur N pada serasah daun R. Stylosa (Lampiran 13) pada stasiun II dan stasiun III semakin meningkat seiring bertambahnya waktu pengamatan berbeda dengan kandungan unsur P yang berada pada stasiun I. Nilai kandungan tertinggi sebesar 1,18 % dan terendah sebesar 0,39 %. Faktor yang menyebabkan semakin tingginya kandungan N pada stasiun II dan stasiun III disebabkan penggenangan pasang surut yang relatif lama dibandingkan pada stasiun I. Hal ini sesuai dengan Handayani (2004) bahwa kandungan unsur hara N yang mengalami peningkatan diduga karena unsur hara N berperan dalam proses adaptasi terhadap salinitas tinggi dari lingkungannya serta penggenangan pasang surut yang relatif lama sehingga dengan bertambahnya waktu dekomposisi dan


(56)

lama penggenangan, maka akan memberikan sumbangan kandungan unsur hara N yang semakin meningkat.

Karbon (C)

Nilai kandungan unsur hara C bervariasi setiap pengamatan. Kandungan unsur hara C tertinggi terjadi pada stasiun III sebesar 18,46 % dan terendah terjadi pada stasiun I sebesar 10,37 %. Umumnya semakin bertambahnya waktu pengamatan maka semakin menurun kandungan unsur C pada serasah. Menurut Greenway (1994) menyatakan bahwa kadar unsur hara C akan menurun seiring dengan pengurangan ukuran partikel serasah, sedangkan unsur hara N dan P mengalami peningkatan.

Rasio C/N

Penurunan nilai C/N pada stasiun I dari 42,65 menjadi 9,35 (hari ke- 60) atau terjadi penurunan sebesar 33,50 %. Sedangkan pada stasiun III penurunan nilai C/N dari 42,38 menjadi 18,84 (hari ke- 60) atau terjadi penurunan sebesar 23,55%. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun I mengalami penurunan lebih banyak daripada stasiun III yang mengindikasikan proses dekomposisi pada stasiun I berlangsung lebih cepat. Menurut Rindyastuti (2010) diacu oleh Andrianto, dkk (2015), menerangkan bahwa besarnya nilai awal dan penurunannya akan berkorelasi dengan cepat dan lambatnya proses dekomposisi karena semakin rendah nilai C/N, semakin baik kandungan unsur hara N disebabkan oleh kemampuan bakteri nitrogen pada serasah daun untuk melakukan fiksasi nitrogen. Wulan, dkk (2011) menyatakan rasio C:N yang tinggi (kandungan unsur N yang


(57)

relatif rendah) akan menyebabkan proses degradasi berlangsung lebih lambat karena nitrogen akan menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor).

Fosfor (P)

Kandungan unsur P pada serasah (Lampiran 13) memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai kandungan unsur N. Kandungan unsur P tertinggi pada awal dekomposisi terdapat pada stasiun III sebesar 0,11 % dan terendah sebesar 0,08 %. Semakin lama waktu pengamatan maka semakin menurun kandungan unsur P pada serasah, namun berbeda pada stasiun II semakin lama waktu pengamatan maka kandungan unsur P semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan salinitas pada stasiun tersebut. Menurut Effendi (2003) di perairan, bentuk unsur fosfor berubah secara teru menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang sedikit daripada kadar nitrogen karena sumber fosfor relatif sedikit dibandingkan dengan kadar nitrogen di perairan. Akan tetapi fosfor pada tingkat salinitas 20 – 30 ppt mengalami peningkatan kadar fosfor.


(58)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Nilai produksi tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 70,24 gr/m2/75hari dan nilai produksi serasah daun R. stylosa terendah terdapat pada stasiun III sebesar 54,98 gr/m2/75hari dengan rata-rata pengguguran daun R. stylosa

pada stasiun I, II dan III berturut-turut 4,68 gr/m2/hari, 4,48 gr/m2/hari dan 3,67 gr/m2/hari.

2. Laju dekomposisi serasah daun R. stylosa tertinggi terjadi pada pengamatan hari ke- 15 pertama sebesar 1,54 gr/hari sedangkan terendah terjadi pada akhir pengamatan ke- 75 hari sebesar 0,56 gr/hari dengan nilai konstanta laju dekomposisi (k) yang didapat pada stasiun I, II, III berturut-turut sebesar 12,68; 10,76; dan 10,46.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu perlunya pengamatan mengenai produksi dan laju dekomposisi serasah ditingkat salinitas yang berbeda serta pengamatan bakteri atau fungi yang berperan dalam proses laju dekomposisi serasah daun R. stylosa.


(59)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Mangrove

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.Untuk menghindari kekeliruan perlu dipertegas bahwa istilah bakau hendaknya digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu yakni dari marga Rhizophora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini.Karena di hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada maka istilah hutan mangrove lebih popular digunakan untuk pada tipe hutan ini.Segala tumbuhan dalam hutan ini saling berinteraksi dengan lingkungannya baik yang bersifat biotik maupun abiotik. Seluruh sistem yang bergantung ini membentuk apa yang dikenal sebagai ekosistem mangrove (Nontji, 1987 diacu oleh Kordi K, 2011).

Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut, terutama perikanan pantai sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan salah satu alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut. Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi (Kawaroe, dkk., 2001).

Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan. Secara umum merupakan sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya berbagai flora


(60)

dan fauna. Mulai dari perkembangan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan dan hewan-hewan laut kecil lainnya. Pada gilirannya akan menjadi makanan hewan yang lebih besar dan akhirnya menjadi mangsa predator besar termasuk pemanfaatan oleh manusia(Talib, 2008).

Mengingat hutan bakau terletak di daerah intertidal, maka sebagian areal lantai hutan ada yang selamanya tergenang air, sebagian lain tergenang penuh hanya pada waktu air pasang, sedangkan pada waktu air surut meninggalkan genangan air di beberapa tempat berbentuk seperti ‘kolam air’, sisanya berupa tanah berlumpur dan ada yang bertanah keras. Mengingat di tempat tersebut terdapat sumber unsur hara terlarut yang diduga berbentuk sebagai ikatan fosfat, nitrogen organik dan karbon terlarut. Substansi nutrien tersebut berasal dari daun-daun yang gugur dan mengalami perengkahan alami (Wibisono, 2005).

Kegiatan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan hutan mangrove secara ideal diupayakan terintegrasi dengan kepentingan ekologis, pembangunan, dan hak masyarakat sekitar. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove sehingga dapat meningkatkan tanggung jawab dan peran serta dalam perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya secara lestari. Salah satu peranan mangrove dalam usaha perikanan tambak adalah sebagai pemasok bahan organik, selain sebagai tempat penyedia bibit. Serasah mangrove yang jatuh diuraikan oleh mikroorganisme kemudian masuk ke rantai makanan, sehingga dapat menyediakan nutrien bagi organisme yang hidup di perairan sekitarnya (Siarudin dan Rachman, 2008).


(61)

Keberadaan hutan mangrove sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai sumber nutrien bagi berbagai organisme laut. Perubahan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari alam maupun dari aktivitas manusia seperti adanya peningkatan penebangan hutan Mangrove yang dapat menimbulkan penurunan nilai kuantitatif hutan mangrove melampaui batas normal yang tidak dapat ditoleransi oleh organisme hidup dalam ekosistemnya (Noer, 2009).

Zonasi Mangrove

Hutan mangrove dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu; zonasi yang terdekat dengan laut, akan didominasi oleh

Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lunak dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp tumbuh pada substrat yang agak keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak; zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica; ke arah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh Rhyzophora mucronata dan

Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon yang dapat tumbuh setinggi 35 - 40 m. Pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum; hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang dijumpai tanpa jenis pohon lainnya; hutan mangrove di belakang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza (Talib, 2008).


(62)

Menurut Bengen (2001) diacu oleh Iman (2014), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia :

a. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora

spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Gambar 2. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004)

Kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga didalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien daripada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau


(63)

asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai. Faktor-faktor lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuh-tumbuhan mangrove muda serta predasi terseleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan berpengaruh terhadap penzonaan (Talib, 2008).

Taksonomi dan Morfologi Rhizophora stylosa

Menurut Noor, dkk (2006) taksonomi R. stylosa adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales

Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora

Spesies : Rhizophora stylosa Griff.

Rhizophora stylosa dapat tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10 m. Permukaan batang berwarna abu-abu kehitaman, bercelah halus. Daun permukaan atas halus mengkilap, ujung meruncing, dengan duri, bentuk lonjong dengan lebar bagian tengah, ukuran panjang 8-12 cm, permukaan bawah tulang daun berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata. Karangan bunga: terletak di ketiakdaun, bercabang 2-3 kali, masing-masing cabang 4-16 bunga tunggal, kelopak 4, berwarna kuning gading, mahkota 4, berwarna keputihan, benag sari 8, tangkai putik jelas (stilus), panjang 0,4-0,6 cm. Buah: mirip dengan bentuk jambu air, warna coklat, ukuran 1,5-2 cm, hipokotil berdiameter 2-2,5 cm, permukaan halus, panjang dapat mencapai 30 cm. Akar: tunjang. Habitat: tanah basa, sedikit


(64)

berlumpur, berpasir. Penyebaran di Indonesia didapati mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua (Sudarmadji, 2004). Morfologi R. stylosa dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. (a) Pohon R. stylosa (b) Daun dan Bunga R. stylosa (c) Buah R. stylosa

(Noor, dkk., 2006).

Serasah Mangrove

Hutan mangrove menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi udang, kepiting, ikan, zooplankton, invertebrata kecil dan hewan pemakan bahan-bahan hasil pelapukan lainnya. Bahan-bahan hasil pelapukan mangrove berasal dari organ pohon mangrove yaitu daun, bunga, cabang, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai hutan yang disebut serasah. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut (Naibaho dkk., 2015).

Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah dan menyediakan makanan bagi konsumen serta mempunyai kontribusi penting bagi rantai makanan di wilayah pesisir melalui daun yang mati dan gugur, guguran daun diartikan sebagai penurunan bobot yang disebabkan oleh beberapa

c b


(65)

parameter fisika-kimia yang disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, embun/kelembaban, dan ketersediaan nutrient. Ada beberapa jenis dari serasah mangrove. Lebih dari setengah jumlah serasah terdiri dari daun dan biasanya daun yang telah tua (berwarna kuning) (Sa’ban dkk., 2013).

Serasah vegetasi mangrove yang telah terurai melalui proses dekomposisi, sebagian akan diserap oleh mangrove itu sendiri dan sebagian lainnya menjadi tambahan masukan bahan organik bagi ekosistem mangrove di sekitarnya. Manfaat akumulasi bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan mangrove antara lain memperkaya hara pada ekosistem mangrove, sebagai daerah asuhan dan pembesaran (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan perlindungan bagi aneka biota perairan. Selain itu, akumulasi bahan organik juga mampu mereduksi potensi subsidensi permukaan lahan hutan mangrove. Bahan organik yang tersedia di kawasan tersebut berasal dari bagian-bagian pohon, terutama yang berupa daun (Wibisana, 2004 diacu oleh Andrianto dkk., 2015).

Serasah tumbuhan tidak homogen, tetapi tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan. Dari waktu ke waktu jatuhan serasah pun tidak seragam. Bahkan di hutan yang selalu basah pun, puncaknya sering kali terjadi pada periode terbasah dari tahun itu. Sebaliknya, pohon-pohon tropika meranggas akan merontokkan daun pada musim kering (Kartawinata, dkk., 1991).

Produksi dan Dekomposisi Serasah

Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove


(66)

dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Apabila serasah di hutan mangrove ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa lainnya, akan diperoleh informasi penting dalam produksi, dekomposisi, dan siklus nutrisi ekosistem hutan mangrove (Zamroni dan Rohyani, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi serasah dan laju dekomposisi serasah adalah jenis tumbuhan, umur tumbuhan, iklim dan karakteristik lingkungan. Banyaknya jenis mangrove dalam komunitas, akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit. Demikian pula laju dekomposisi serasah sebagai bahan organik tergantung pada jumlah dan jenis serasah, serta kondisi lingkungan (Indriani, 2008).

Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi, dan hewan tanah lainnya) atau sering juga disebut mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang bersal dari hewan maupun tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo dkk., 1991 diacu oleh Gultom, 2009).

Salah satu proses yang terjadi pada ekosistem Mangrove yang memberikan kontribusi paling besar terhadap kesuburan perairan adalah proses dekomposisi atau penghancuran serasah mangrove. Penghancuran serasah merupakan bagian dari tahap proses dekomposisi, yang dapat menghasilkan bahan organik yang penting dalam rantai makanan, memberikan kesuburan dan produktivitas perairan disekitarnya (Galaxy, dkk., 2014).


(67)

Perubahan secara fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah disebut sebagai proses dekomposisi (pembusukan atau pelapukan) atau kadang-kadang disebut mineralisasi. Hasil proses dekomposisi sangat membantu tersedianya zat-zat organik tanah yang merupakan hara bagi tanaman. Apabila residu tanaman dan hewan dimasukkan ke dalam tanah atau dikumpulkan sebagai kompos, di bawah kondisi yang lembab dan serasi yang menguntungkan atau baik, maka bahan-bahan tersebut akan diserang oleh sejumlah besar mikroorganisme yang beragam, antara lain bakteri, cendawan, protozoa, cacing dan larva serangga (Mulyani dkk., 1991 diacu oleh Dewi, 2009).

Hutan Mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat tinggi, tetapi hanya kurang lebih 10% dari produksinya dapat langsung dimakan oleh herbivora, sisanya masuk ke dalam ekosistem dalam bentuk detritus. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagian detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun. Mangrove yang gugur sepanjang tahun, dan melalui aktivitas mikroba dekomposer dan hewan hewan pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel partikel halus (Mahmudi, dkk.,2008 diacu oleh Galaxy, dkk., 2014).

Telah diketahui pula bahwa dalam proses dekomposisi dihasilkan pula berbagai zat kimia yang mempunyai efek positif sebagai zat perangsang pertumbuhan, dan yang mempunyai efek negatif sebagai penghambat pertumbuhan. Zat kimia ini disebut hormon lingkungan. Dengan demikian, banyak produk dekomposisi, berfungsi bukan hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga sebagai pengatur kimiawi (Resosoedarmo, dkk., 1988).


(68)

Pada penelitian Nugraha (2010) menyatakan bahwa tingginya laju guguran daun mangrove jenis Rhizopora sp. menjelaskan berkorelasi dengan keberadaan mangrove jenis ini sebagai merupakan mangrove yang paling banyakditemui. Guguran daun Rhizopora sp. yang banyak juga kemungkinan disebabkan juga oleh bentukdan besar daun maupun buahnya. Daun dan buah yang besar pada Rhizopora membuat laju serasahnya menjadi sangat cepat. Guguran daun yang banyak menyebabkan banyaknya unsur hara di lokasi tersebut, sehingga membuat lokasi tempat Rhizopora itu tumbuh dengan subur.

Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan R. stylosa

Ekosistem mangrove di wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan wilayah tersebut. Faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan mangrove adalah sebagai berikut :

1. Suhu

Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan.Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 100C (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Barus, 2004).


(69)

2. Salinitas

Perkembangan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan jenis makrobentos yang membantu dalam proses dekomposisi serasah R. stylosa. Adanya masukan air sungai atau hujan akan menurunkan kadar salinitas, yang akan mengakibatkan kematian beberapa jenis makrobentos tersebut. Kehidupan beberapa makrobentos tergantung pada rendahnya salinitas. Aktivitas makroorganisme yang tahan terhadap salinitas yang tinggi dan mikroorganisme membantu dalam proses pendekomposisian bahan organik dalam tanah. Kadar salinitas jenis tegakan Rhizophora spp berkisaran antara 32 pp-36 ppt, pada saat keadaan air laut tidak pasang/surut (Arief, 2003).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Gultom, 2009).

3. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH tanah dikawasan mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh dikawasan tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6 - 6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (Arief, 2003).

4. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah parameter kualitas air yang merupakan unsur kunci untuk menentukan keseimbangan dan kemantapan kehidupan dalam air.


(70)

Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh adanya senyawa organik yang berlebihan. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh parameter lain : suhu, salinitas, bahan organik dan kecerahan. Peningkatan suhu, salinitas, dan bahan organik terlarut menurunkan konsentrasi oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut di perairan dapat juga dijadikan indikator pencemaran. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menggunakan bahan organik di perairan (Wibisana, 2004).

Unsur Hara yang Terkandung dalam Serasah Daun R. stylosa

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove menurut Thaher (2013), terdiri dari hara anorganik dan organik.Anorganik : P, K, Ca, Mg, Na. Organik : fitoplankton, bakteri, alga. Sedangkan kandungan unsur hara yang terdapat di dalam daun-daun berbagai jenis mangrove terdiri atas karbon, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium.

Tabel 1. Kandungan hara yang terkandung didalam serasah mangrove

No. Jenis

Daun Karbon Nitrogen Fosfor Kalium Kalsium Magnesium 1. Rhizophora 50.83 0.83 0.025 0.35 0.75 0.86

2. Ceriops 49.78 0.38 0.006 0.42 0.74 1.07

3. Avicennia 47.93 0.35 0.086 0.81 0.30 0.49 4. Sonneratia 1.42 0.12 1.30 0.98 0.27 0.45

Karbon (C)

Lautan mengandung karbon lima puluh kali lebih banyak daripada karbon di atmosfer. Perpindahan karbon dari atmosfer ke laut terjadi terjadi melalui proses difusi. Karbon yang terdapat di atmosfer dan perairan diubah menjadi karbon organik melalui proses fotosintesis, kemudian masuk kembali ke atmosfer


(71)

melalui proses respirasi dan dekomposisi yang merupakan proses biologis makhluk hidup (Efendi, 2003).

Nitrogen

Unsur N di dalam tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik sisa-sisa tanaman maupun binatang. Pemupukan (terutama urea dan ammonium nitrat) dan air hujan. Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan terhadap tanaman tergantung pada laju proses dekomposisi (Hanafiah, 2003).

Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan atmosfer bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil. Meskipun ditemukan dalam jumlah yang yang melimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan secara langsung. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3,

NH4 dan NO3 (Efendi, 2003).

Fosfor (P)

Menurut Efendi (2003), bahwa unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut. Fosfor membentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat larut dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik. Fosfor yang terdapat dalam air laut umumnya berasal dari dekomposisi organisme yang sudah mati.


(72)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam yang khas pada daerah pantai tropik dan mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai seperti penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut.

Mangrove diketahui berperan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai, tegakan mangrove juga dapat melindungi pemukiman, bangunan, lahan pertanian dari angin kencang dan intrusi air laut.Menurut Davies dan Claridge (1993) diacu oleh Noor, dkk (2006) akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan subtrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus. Lingkungan mangrove dapat menyediakan perlindungan dan sumber makanan berupa bahan-bahan organik bagi organisme di kawasan pesisir.

Produksi serasah hutan mangrove di Indonesia diduga sekitar 40,40 sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora sp. produksi serasah bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Hutan mangrove melalui


(73)

produktifitas serasah di Indonesia sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun (Sa’ban, dkk., 2013).

Serasah vegetasi mangrove yang telah terurai melalui proses dekomposisi, sebagian akan diserap oleh mangrove itu sendiri dan sebagian lainnya menjadi tambahan masukan bahan organik bagi ekosistem mangrove di sekitarnya. Manfaat akumulasi bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan mangrove antara lain memperkaya hara pada ekosistem mangrove, sebagai daerah asuhan dan pembesaran (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan perlindungan bagi aneka biota perairan. Selain itu, akumulasi bahan organik juga mampu mereduksi potensi subsidensi permukaan lahan hutan mangrove. Bahan organik yang tersedia di kawasan tersebut berasal dari bagian-bagian pohon, terutama yang berupa daun (Andrianto,dkk., 2015).

Menyadari pentingnya peran ekosistem hutan mangrove khususnya bagi flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove maka perlu dilakukan penelitian tentang produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove yang terletak di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara guna untuk mengetahui seberapa besar bahan organik dan unsur hara yang terdapat pada kawasan mangrove tersebut.

Perumusan Masalah

Lahan hutan mangrove yang berada di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tergolong alami. Hal ini yang didasarkan dalam


(74)

pertimbangan bahwa data produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove

Rhizophora mucronata merupakan serasah yang paling dominan terdapat di daerah tersebut. Sedikitnya informasi tentang produksi dan laju dekomposisi serasah ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak perduli akan manfaat serasah daun mangrove Rhizophora stylosa yang berhubungan dengan kandungan unsur hara di pesisir. Hal inilah yang mendasari diperlukan adanya kajian mengenai produksi dan laju dekomposisi serasah daun mangrove di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seberapa besar produksi serasah daun mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ?

2. Bagaimana laju dekomposisi serasah daun mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui besar produksi serasah daun R. stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengukur laju dekomposisi serasah daun R. stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.


(75)

Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk menentukan tingkat kesuburan suatu perairan di kawasan ekosistem pesisir.

2. Digunakan sebagai informasi awal untuk mempelajari siklus akumulasi unsur hara pada ekosistem pesisir.

Kerangka Pemikiran

Ekosistem mangrove merupakan daerah penyedia unsur hara tebesar di Pulau Sembilan. Ekosistem mangrove memegang peranan penting sebagai daerah penangkapan dan pertambakan ikan ataupun krustase. Serasah mangrove berupa daun akan terdekomposisi oleh dekomposer menjadi partikel-partikel detritus yang menghasilkan unsur hara dan bahan organik yang digunakan sebagai sumber nutrisi bagi vegetasi mangrove. Skema kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Ekosistem Mangrove

Rhizophora stylosa

Serasah daun

Rhizophora stylosa

Terdekomposisi Produksi


(1)

Terima kasih kepada Yolanda Rizwany, Nurul Andrifa Nasution, M Ridho Santoso, Rudi Hasonangan Siregar, Saleha Bako dan seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2012 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang manajemen sumberdaya perairan.

Medan, Juli 2016


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Kerangka Pemikiran... 4

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove ... 5

Zonasi Mangrove ... 7

Taksonomi dan Morfologi Rhizopora stylosa ... 9

Serasah Mangrove ... 10

Produksi dan Dekomposisi Serasah ... 11

Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan R. stylosa ... 14

Unsur Hara yang Terkandung dalam Serasah R. stylosa... 16

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 18

Deskripsi Area ... 18

Alat dan Bahan ... 19

Prosedur Penelitian ... 19

Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel ... 19

Pengambilan Sampel Daun Serasah R. stylosa ... 21

Produksi Serasah Mangrove ... 21

Laju Dekomposisi Serasah Mangrove ... 22

Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Perairan ... 23

Analisis Data ... 24

Produksi Serasah Daun Mangrove R. stylosa ... 24

Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove R. stylosa ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Parameter Fisika-Kimia Perairan... 26


(3)

Laju Dekomposisi Serasah Daun R. stylosa ... 29

Kandungan Unsur Hara (C, N, dan P) ... 32

Pembahasan Parameter Fisika-Kimia Perairan... 34

Makrozoobenthos ... 36

Produksi Serasah Daun R. stylosa ... 38

Laju Dekomposisi Serasah Daun R. stylosa ... 39

Kandungan Unsur Hara (C, N, dan P) Nitrogen (N) ... 42

Karbon (C) ... 42

Rasio C/N ... 43

Fosfor (P) ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... 45 DAFTAR PUSTAKA


(4)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

2. Pola Zonasi Mangrove ... 8

3. (a) Pohon R. stylosa (b) Daun dan Bunga R. stylosa (c) Buah R. stylosa ... 10

4. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara ... 18

5. Stasiun I ... 20

6. Stasiun II ... 20

7. Stasiun III ... 21

8. Desain dan Ilustrasi Pemasangan Perangkap Pada Saat Penelitian ... 22

9. (a) Siput (Littoraria scabra) (b) Cacing (Lumbricus terretris) ... 28

10. Perbandingan Produksi Serasah Tiap Stasiun ... 28

11. Bentuk Sersah Daun Mangrove R. stylosa yang Mengalami Proses Dekomposisi Selama 75 Hari dalam Periode 15-75 hari (a) 15 hari (b) 30 hari (c) 45 hari (d) 60 hari (e) 75 hari ... 29

12. Rata-Rata Sisa Serasah Daun Mangrove R. stylosa selama Periode Pengamatan 75 Hari ... 30

13. Nilai Konstanta Rata-rata Laju Dekomposisi (k) Serasah Daun Mangrove R. Stylosa ... 31

14. Kandungan unsur hara N serasah daun R. stylosa yang telah mengalami proses dekomposisi ... 32\

15. Kandungan unsur hara C serasah daun R. stylosa yang telah mengalami proses dekomposisi ... 33

16. Kandungan unsur hara P serasah daun R. stylosa yang telah mengalami proses dekomposisi ... 34


(5)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman 1. Kandungan Hara yang Terkandung di dalam Serasah Mangrove ... 16 2. Parameter Fisika Kimia Perairan ... 23 3. Hasil Pengamatan Fisika-Kimia Perairan ... 26 4. Beberapa Jenis Makrozoobenthos yang terdapat pada Kantung

Serasah Daun R. stylosa ... 27 5. Rata-rata Laju Dekomposisi Serasah Daun R. stylosa Secara


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan

Oksigen (DO) ... 46

2. Penentuan Kadar Nitrogen (N) dengan Metode Kjeldahl ... 47

3. Penentuan Kadar Karbon (C) dengan Ekstraksi Destruksi Basah ... 48

4. Penentuan Kadar Fosfat (P) dengan Ekstraksi Destruksi Basah... 49

5. Pengukuran Fisika Kimia Perairan ... 50

6. Alat dan Bahan Penelitian ... 52

7. Proses Pengambilan Produksi Serasah dan Kantung Serasah ... 55

8. Data Parameter Fisika Kimia Perairan ... 56

9. Makrozoobentos yang terdapat dalam Kantung Serasah R. Stylosa ... 57

10. Laju Dekomposisi Serasah Daun R. stylosa ... 59

11. Produksi Serasah Daun R. stylosa ... 61

12. Perhitungan Laju Dekomposisi (Olson, 1963 diacu oleh Mahmudi, dkk,2008) ... 62

13. Hasil Analisis Kandungan Unsur Hara C, N, dan P pada Serasah Daun R. Stylosa ... 74


Dokumen yang terkait

Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 7 80

Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 13

Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 2

Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 13

Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

5 7 4

Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Rhizophora stylosa di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

0 0 26

Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 14

Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 1 4