Pertanian Karet Rakyat Di Desa Simangumban Jae Kecamatan Pahae Jae 1969-1995

DAFTAR INFORMAN
1. Nama

: Abdul Gultom

Umur

: 67 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

2. Nama

: Abdul Panggabean


Umur

: 69 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

3. Nama

: Bisara Silitonga

Umur

: 60 Tahun


Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

4. Nama

: Bonar Simatupang

Umur

: 59 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae


Pekerjaan

: Petani

5. Nama

: Dirman Sitompul

Umur

: 69 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani


64

6. Nama

: Imran Ritonga

Umur

: 68 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

7. Nama


: Jonsikdik Panggabean

Umur

: 60 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

8. Nama

: Kespan Ritonga

Umur


: 45 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Sekretaris Desa

9. Nama

: Lahuddin Sianturi

Umur

: 70 Tahun

Alamat


: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

10. Nama

: Lambok Ritonga

Umur

: 68 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan


: Petani

11. Nama
Umur

: Mahadat Sihombing
: 67 Tahun

65

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

12. Nama


: Majid Ritonga

Umur

: 67 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

13. Nama

: Marsitta Simatupang

Umur


: 73 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

14. Nama

: Marudut Sianturi

Umur

: 70 Tahun

Alamat


: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

15. Nama

: Masnum Siregar

Umur

: 67 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

16. Nama

: Muslim Ritonga

Umur

: 71 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

66

Pekerjaan

17. Nama

: Petani/Pedagang

: Nazaruddin Sitompul

Umur

: 70 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani/Pedagang

18. Nama

: Pantun Ritonga

Umur

: 66 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

19. Nama

: Parasian Sitompul

Umur

: 66 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

20. Nama

: Parlindungan Sihombing

Umur

: 65 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

21. Nama

: Rahman Sianturi

Umur

: 75 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

67

22. Nama

: Sabar Sitompul

Umur

: 70 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

23. Nama

: Sabudin Simanjuntak

Umur

: 66 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

24. Nama

: Sampe Sitompul

Umur

: 68 Tahun

Alamat

: Desa Simangumban Jae

Pekerjaan

: Petani

68

LAMPIRAN
Lampiran 1
Peta wilayah Kecamatan Simangumban (Setelah Kecamatan Pahae Jae mengalami
pemekaran wilayah pada tahun 2003 dan Desa Simangumban Jae merupakan bagian
dari wilayah Kecamatan Simangumban).

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara, Kecamatan Simangumban Dalam Angka
2003.

Lampiran 2
Laporan Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1972

Lampiran 3
Daftar harga Sembilan bahan pokok di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 1968-1971

Sumber: Laporan kepala daerah Kabupaten Tapanuli Utara tahun 1972

Lampiran 4

Pohon Karet Muda
Usia

: Sekitar 3 Tahun

Lokasi

: Karet Rakyat Milik Seorang Penduduk di Desa Simangumban Jae

Diambil

: 07 September 2015

Koleksi

: Penulis

Lampiran 5

Pohon Karet Dewasa Telah Disadap
Usia

: Sekitar 10 Tahun

Lokasi

: Karet Rakyat Milik Seorang Penduduk di Desa Simangumban Jae

Diambil

: 07 September 2015

Koleksi

: Penulis

Lampiran 6

Lahan Karet yang Telah Ditanami Tanaman Kakao
Usia Tanaman Karet Sekitar 40 Tahun
Lokasi

: Karet Rakyat Milik Seorang Penduduk di Desa Simangumban Jae

Diambil

: 07 September 2015

Koleksi

: Penulis

DAFTAR PUSTAKA
BPS Tapanuli Utara, Tapanuli Utara Dalam Angka 1995, Tarutung: BPS Tapanuli
Utara, 1996.
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3,
Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Gootschalk, Louis, Understanding History, Mengerti Sejarah, (Terj) Nugroho
Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.
J. Spillane, James, Komoditi Karet: Peranannya dalam Perekonomian Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Kamaluddin, Rustian, Bunga Rampai Pembangunan Nasional dan Pembangunan
Daerah, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1992.
Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI,
1984.
Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES, 1977.
Mustain, Petani VS Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Pelzer, Karl J, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,
Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: UGM Press,
1999.
Rahmanta, Ekonomi Pertanian, Medan: USU Press, 2014.
Scott, James, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara,
Jakarta: LP3ES, 1994.
Setyamidjaja, Djoehana, Karet: Budidaya dan Pengolahan, Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Silaen, Sarma Juliana, Strategi Pengembangan Bisnis Karet Alam Olahan: PT Adei
Crumb Rubber Industry, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, skripsi, belum
diterbitkan, Bogor: Fukultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2010.
Silitonga, Chrisman dkk, Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994,
Jakarta: PERHEPI, 1995.
Sinaga, M, Mengenal Daerah Tapanuli Utara Dewasa Ini, Laporan Kepala Daerah,
belum diterbitkan, Tarutung, 1972.

62

Soesilowidagdo, Soebakdi, Melaksanakan Repelita, Yogyakarta: Balai Pembinaan
Administrasi UGM, 1969.
Statistik Harga Produsen Sektor Pertanian Di Indonesia: Producer Price Statistics of
Agiculture Sector in Indonesia 1996-2000, Jakarta: BPS, 2005.
Suharso, Pujo, Tanah, Petani, Politik Pedesaan, Solo: Pondok Edukasi, 2002
Sumarno, Edi, Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942), Tesis, belum
diterbitkan, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM, 1998.
Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Dari Federalisme ke Unitarisme:
Studi Tentang Negara Sumatera Timur 1947-1950, Yogyakarta: Yayasan
Untuk Indonesia, 2001.
Suyitro, Sri Widodo, Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi
Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
Tim Penulis Ps, Karet: Strategi Pemasaran tahan 2000, Budidaya dan Pengolahan,
Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1999.

63

BAB III
LATAR BELAKANG MASYARAKAT DI DESA SIMANGUMBAN JAE
BERTANI KARET

3.1 Ketersediaan Lahan
Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya
pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal
ini dapat dibuktikan dari jumlah penduduk yang mengandalkan hidupnya bekerja
pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian. Pada
tahun 1973, sebanyak 65 % dari total penduduk Indonesia masih hidup di sektor
pertanian. Pentingnya pertanian dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor yang berasal
dari pertanian. Pada tahun 1974, sebanyak 22% dari keseluruhan nilai ekspor berasal
dari hasil-hasil pertanian yaitu: karet, kayu, kopi, minyak kelapa sawit, kopra,
tembakau, teh, lada, dan rotan.26
Besarnya peranan pertanian di Indonesia memberi motivasi pedesaan untuk
memiliki lahan pertanian yang dapat dijadikan sumber produksi. Oleh karena itu,
mereka berupaya dengan berbagai cara untuk memiliki lahan pertanian baik yang ada
diwilayah tempat tinggalnya ataupun di luar desanya.27 Dengan memiliki lahan
pertanian, mereka dapat membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Mereka hanya
26
27

Mubyarto, op.cit., hlm. 12.
Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: UGM Press, 1999,

hlm. 136.

23

bekerja di sektor pertanian karena disesuaikan dengan latar belakang pendidikan yang
dimilikinya.
Hal ini juga dilakukan oleh petani di Desa Simangumban Jae Kecamatan
Pahae Jae. Keberadaan lahan sangat bernilai ekonomis bagi petani sebagai sumber
kehidupan.28 Mengenai luas pemilikan lahan yang ada di Desa Simangumban Jae
sangatlah bervariasi. Terdapat warga yang memiliki lahan pertanian yang cukup luas,
sebaliknya terdapat warga yang memiliki lahan yang sangat sempit. Perbedaan atau
variasi itu disebabkan oleh berbagai hal antara lain, dalam hal pemilikan atau
perolehannya dan tingkat perekonomian penduduk yang berbeda-beda.
Ada 2 macam cara perolehan lahan yang sampai saat ini masih berlaku
dikalangan penduduk di Desa Simangumban Jae. Ada warga yang memperoleh tanah
dari warisan orang tuanya, ada juga yang diperoleh dengan cara membeli dari warga
lain. Luas pemilikan lahan yang diperoleh dari warisan antara warga yang satu
dengan warga yang lain juga berbeda, tergantung pada luas tidaknya tanah yang
dimiliki orang tua. Jika orang tua mereka dulunya memiliki lahan yang cukup luas,
maka si anak akan memperoleh warisan lahan yang cukup luas pula. Sebaliknya, jika
orang tuanya memiliki lahan yang tidak luas tentunya mereka akan memperoleh
warisan lahan yang sedikit. Mereka hanya menerima lahan seluas kurang dari satu
hektar.29

28

Mustain, Petani VS Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, hlm. 13.
29
Wawancara, dengan Bisara Silitonga warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.

24

Jika dilihat dari tingkat perekonomiannya, maka warga yang mempunyai
modal besar dengan mudah memperoleh atau menambah lahannya dengan cara
membeli lahan dari warga yang kebetulan akan menjualnya. Hal inilah yang
menyebabkan mereka secara tidak langsung menjadi tuan tanah di tempat tinggalnya.
Sebaliknya bagi warga yang kekurangan modal kadang mereka menjual lahannya
kepada warga yang mempunyai modal besar, sehingga mereka kehilangan lahan
pertaniaanya. Satu panen yang gagal dapat memaksa penduduk untuk menjual seluruh
atau sebagian dari tanahnya. Apabila kegagalan itu meliputi daerah yang luas, mereka
harus menjual dalam suasana panik dan dengan harga yang sangat rendah.30 Tidak
adanya lahan pertanian sebagai sumber produksi menyebabkan petani kesulitan dalam
membiayai hidup keluarga.
Penduduk yang tidak memiliki lahan pertanian akhirnya menjadi penggarap
atau penyewa lahan. Cara sewa yang dimaksud bukanlah dalam pengertian sewa
dalam pengertian umum yaitu membayar dengan uang, akan tetapi dengan cara bagi
hasil pada setiap panen. Sistem bagi hasil di Desa Simangumban Jae dibagi tiga,
yakni dua bagi pekerja atau penyewa dan satu bagi pemilik lahan.
Pemilikan lahan secara warisan belum sepenuhnya menjadi milik mereka,
terutama mereka yang orang tuanya masih hidup. Walaupun mereka sudah memiliki
lahan warisan namun dalam pengolahannya masih dikerjakan bersama-sama dengan
orang tua mereka, demikian juga dengan hasil panennya. Walaupun pemilikan lahan

30

James C. Scott, op .cit., hlm. 21.

25

belum sepenuhnya menjadi haknya, yang penting bagi mereka sudah mengetahui
berapa luas lahan yang dimilikinya. Dengan demikian di antara anggota keluarga
tidak akan terjadi perselisihan dalam hal warisan tanah.31
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Simangumban Jae, luas
lahan yang dimiliki oleh setiap informan dapat digolongkan menjadi lima golongan
menurut luasnya. Kelima golongan tersebut adalah golongan informan yang memiliki
luas lahan 0,1-0.4 hektar, 0,5-0,9 hektar, 1,0-1,9 hektar, 2,0-2,9 hektar, 3,0 hektar ke
atas. Jika dilihat dari jumlah informan yang memiliki luas lahan berdasarkan kelima
golongan tersebut, berturut-turut adalah: 6 orang, 8 orang, 4 orang, 3 orang dan 1
orang (tabel 3.1).
Tabel 3.1
Taksiran Luas Lahan yang Dimiliki Oleh Penduduk Desa Simangumban Jae
Luas Lahan (ha)

Jumlah

0,0

2

8,33

0,1-0,4

6

25,00

0,5-0,9

8

33,33

1,0-1,9

4

16,67

2,0-2,9

3

12,50

3,0 keatas

1

4,17

24

100,00

Jumlah

%

Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan penduduk di Desa Simangumban Jae,
04 September 2015.
31

Wawancara, dengan Bonar Simatupang warga Desa Simangumban Jae, 03 September

2015.

26

Dari tabel tesebut dapat diketahui, bahwa sebagian besar informan yaitu 14
orang (58,33 %) memiliki lahan kurang dari satu hektar. Sementara itu, 2 informan
(8,33 %) tidak memiliki lahan. Berdasarkan hasil wawancara, informan yang tidak
memiliki lahan tersebut disebabkan lahannya sudah dijual kepada pemilik modal.
Alasan mereka menjual lahan karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak, seperti
biaya pendidikan anak. Data luas lahan yang dimiliki oleh setiap informan tersebut
adalah luas lahan yang mereka miliki sekarang di Desa Simangumban Jae.

3.2 Modal
Dalam pengertian ekonomi, modal merupakan barang atau uang yang
bersama-sama faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barangbarang baru yakni dalam hal ini hasil pertanian.32 Modal petani yang berupa barang di
luar tanah adalah alat-alat pertanian, pupuk, bibit, hasil panen yang belum dijual, dan
tanaman yang masih di sawah. Sebagai salah satu faktor produksi, modal sangat
diperlukan dalam usaha pertanian. Tanpa modal usaha tidak bisa dilakukan, paling
tidak modal dibutuhkan untuk pengadaan bibit dan upah tenaga kerja.
Kecukupan modal mempengaruhi ketepatan waktu dan ketepatan takaran
dalam penggunaan masukan. Artinya, keberadaan modal sangat menentukan tingkat
atau jenis teknologi yang diterapkan. Kekurangan modal menyebabkan kurangnya

32

James J. Spillane, op. cit., hlm. 91.

27

masukan yang diberikan sehingga menimbulkan risiko kegagalan atau rendahnya
hasil yang akan diterima.
Penduduk di Desa Simangumban Jae umumnya memperoleh modal dengan
sistem ijon33, walaupun sebagian penduduk dapat memenuhi semua keperluan
modalnya dari kekayaan yang dimilikinya. Petani yang mempunyai modal besar
dapat membantu atau meminjamkan modalnya kepada petani lainnya yang
memerlukan. Sistem ijon ini masih berkembang di Desa Simangumban Jae karena
lembaga kredit seperti BRI (Bank Rakyat Indonesia) sulit membantu petani karena
lahan yang sempit dan kegiatan produksi bercampur dengan konsumsi. Bank
memberikan kredit produksi, petani menggunakannya ke bentuk konsumsi.
Sistem ijon dianggap masyarakat lebih mudah/praktis dari lembaga kredit
yang umumnya berbelit-belit. Kemudian jaminan sistem ijon dapat berupa hasil
tanaman yang belum dipanen, perjanjian tanpa tertulis (cukup dengan saksi hidup),
pendekatan secara kekeluargaan, waktu pencairan yang cepat, dan penggunaan sesuka
petani. Berbeda dengan lembaga kredit seperti bank, dimana jaminannya harus
berupa barang yang bersertifikat, perjanjian harus tertulis dan ditanda tangani,
pencairan cukup lama, dan penggunaan harus jelas atau tertentu.34

33

Ijon merupakan kredit yang diberikan kepada petani, nelayan, atau pengusaha kecil yang
pembayarannya dilakukan dengan hasil panen atau produksi berdasarkan harga jual yang rendah,
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Jakarta: Balai Pustaka,
1999, hlm. 250.
34

Rahmanta, Ekonomi Pertanian, Medan: USU Press, 2014, hlm. 42.

28

Penduduk di Desa Simangumban Jae menilai modal dari sudut keuangan.
Mereka beranggapan bahwa uang merupakan segalanya. Karena dalam melakukan
usaha tani karet semuanya membutuhkan uang, baik dalam perolehan lahan,
penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan. Dalam pertanian karet terdapat
rentang waktu yang cukup lama antara penanaman dengan masa panen, maka dalam
rentang waktu tiga tahun diperlukan biaya dalam pemeliharaannya. Untuk memenuhi
biaya tersebut, bagi petani yang tidak memiliki modal, mereka meminjam kepada
toke karet. Pinjaman ini berupa uang, pupuk, dan peralatan-peralatan dalam pertanian
karet. Proses pembayarannya dilakukan pada saat setelah penjualan hasil panen.
Dimana harga panen karet dipotong tergantung kesepakatan sebelumnya. Dalam
peminjaman ini tidak ada bunga uang, toke karet melakukan peminjaman kepada
petani merupakan suatu strategi agar petani tidak menjual hasil karetnya ke toke karet
yang lain.35
Biaya pokok produksi karet terdiri atas dua bagian yakni biaya sebelum
produksi dan biaya setelah produksi. Biaya sebelum produksi termasuk pembukaan
lahan, penanaman, perawatan (hama dan pengawasan penyakit, pemupukan) dan
pengelolaan. Biaya setelah produksi termasuk penyadapan, perawatan, dan
pengelolaan.36
Dalam pertanian karet besarnya modal yang digunakan sangat bervariasi,
tergantung luas lahan dan jenis bibit yang digunakan. Pada umumnya petani di Desa
35
36

Wawancara, dengan Masnum Siregar warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.
James J. Spillane, op. cit., hlm. 105.

29

Simangumban Jae memanfaatkan bibit yang tumbuh dibawah pohon induknya (bibit
yang tumbuh secara liar), Lain halnya modal yang digunakan untuk pemeliharaan
tanaman karet. Pada proses pemupukan dengan luas lahan satu hektar maka
dibutuhkan satu sat pupuk urea (50 kg). Harga pupuk satu sat yakni 20.550 rupiah
atau 411 rupiah per kilogram.37

3.3 Keuntungan Ekonomi
Dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat
harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.38 Hasil-hasil pertanian tanaman
musiman seperti padi, cabai, kacang-kacangan, dan durian pada musim panen
terdapat harga yang rendah dan pada musim paceklik terdapat harga yang tinggi.
Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus
diadakan setiap hari, setiap minggu atau dalam waktu yang sangat mendesak sebelum
panen tiba. Sebagian petani di Desa Simangumban Jae dapat menyimpan hasil
panennya, kemudian menjualnya jika membutuhkan biaya. Akan tetapi, banyak juga
petani hasil panennya tidak mencukupi keperluan yang besar, seperti pesta
perkawinan dan memperbaiki rumah.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya hal inilah yang menyebabkan
penduduk di Desa Simangumban Jae menanam karet di lahan mereka. Karet
37

Statistik Harga Produsen Sektor Pertanian Di Indonesia: Producer Price Statistics of
Agiculture Sector in Indonesia 1996-2000, Jakarta: BPS, 2005, hlm.130.
38
Mubyarto, op. cit., hlm. 30.

30

dijadikan sebagai tumbuhan komersial penduduk, setiap masyarakat hampir memiliki
karet di lahan pertaniannya. Hasil produksi yang menjanjikan dari segi ekonomi
pertanian, berhasil mendongkrak ekonomi masyarakat. Setelah tanaman karet mulai
disadap, maka mata pencaharian penduduk bersumber dari pertanian karet. Dalam hal
ini petani menyadap karet miliknya sendiri, tetapi terdapat juga penduduk yang harus
menyadap kebun karet milik keluarganya maupun menyadap karet milik orang lain.39
Kemudian alasan penduduk di Desa Simangumban Jae mengkonversi
lahannya dari tanaman kemenyan ke tanaman karet dikarenakan tanaman karet dapat
menghasilkan getah karet setiap minggunya bahkan perhari, pengolahannya yang
relatif mudah, dan dapat dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Sedangkan
tanaman kemenyan merupakan tanaman musiman dan pengerjaanya hanya dilakukan
oleh kaum laki-laki. Dalam satu hari, seorang petani dapat mangguris40 sebanyak 9
pohon. Waktu mangguris hanya 3 bulan dalam setahun yakni bulan Juni, Juli, dan
Agustus sesuai dengan umur daun tanaman kemenyan. Waktu kerja dalam satu bulan
yakni 26 hari, sehingga waktu kerja dalam tiga bulan sebanyak 78 hari. Jadi jumlah
maksimal pohon yang dapat dikerjakan dalam setahun adalah 702 pohon atau lahan
dengan seluas 1,16 hektar. Jika dihitung dari segi pendapatan dengan luas lahan yang
sama yakni setengah hektar lebih menguntungkan tanaman karet daripada tanaman
kemenyan. Kemudian, karena keterbatasan waktu pengerjaan maka lahan tanaman
kemenyan yang dapat dikerjakan maksimalnya seluas 1,16 hektar dalam setahun.

39
40

Wawancara, dengan Sabar Sitompul warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.
Mangguris merupakan istilah penduduk dalam menyebutkan proses pengerjaan kemenyan.

31

Sedangkan lahan tanaman karet yang pengerjaannya dapat dilakukan per hari, luas
lahan yang dapat dikerjakan oleh setiap penduduk dapat lebih luas yakni seluas 2
hektar per minggu. Dengan rincian untuk sekali sadap sebanyak 200 pohon selama
enam hari. Semakin luas lahan karet yang disadap maka pendapatan juga akan
semakin meninggkat.
Perhitungan sederhananya yakni penduduk yang mempunyai lahan setengah
hektar jumlah tanaman kemenyan yang dapat ditanam adalah 300 batang. Getah
tanaman kemenyan ada tiga jenis yakni getah mata kasar, mata halus41, dan tahir.
Untuk menghasilkan 1 kilogram getah mata kasar dibutuhkan 3 batang pohon
kemenyan dan untuk menghasilkan 1 kilogram getah tahir dibutuhkan 6 batang pohon
kemenyan. Jika tanaman kemenyan telah menghasilkan dalam setengah hektar
sebanyak 65,6% atau 197 batang pohon, maka getah kemenyan yang dihasilkan yakni
65,6 kilogram mata kasar dan 32,8 kilogram getah tahir.
Tahun 1970-an harga 1 kilogram getah kemenyan mata kasar yakni 1.200
rupiah dan harga 1 kilogram getah tahir yakni 600 rupiah. Kemudian tahun 1980-an
harga 1 kilogram getah kemenyan mata kasar sebesar 5.000 rupiah dan getah tahir
sebesar 2.500 rupiah. Harga 1 kilogram getah kemenyan mata kasar tahun 1995 di
Desa Simangumban Jae adalah 16.000 rupiah dan harga 1 kilogram getah tahir adalah
8.000 rupiah.42 Jadi penghasilan penduduk dari getah mata kasar yakni 65,6 x 16.000

41

Mata halus diperoleh, apabila getah pohon kemenyan tidak dipanen oleh penduduk dengan
alasan getah kemenyan tersebut kurang maksimal, sehingga getah yang ada akan dipanen tahun
depannya, pada saat mangguris.
42
Wawancara, dengan Pantun Ritonga warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.

32

rupiah sama dengan 1.049.600 rupiah per tahun dan dari getah tahir sebesar 32,8 x
8.000 rupiah sama dengan 262.400 rupiah per tahun. Maka total pendapatan
penduduk per tahun adalah 1.312.000 rupiah per tahun atau 109.333 rupiah per bulan
dan 27.333 rupiah per minggu.
Untuk menghasilkan 1 kilogram karet basah dibutuhkan jumlah karet
sebanyak 15 pohon. Apabila semua tanaman karet telah menghasilkan dalam
setengah hektar yakni 300 pohon, maka akan dihasilkan karet basah sebanyak 20
kilogram untuk sekali sadap. Penduduk di Desa Simangumban Jae melakukan
penyadapan sebanyak 3 kali dalam seminggu, sehingga untuk lahan tanaman karet
telah menghasilkan dalam setengah hektar akan dihasilkan karet basah sebanyak 60
kilogram dalam seminggu dan 2,88 ton karet basah per tahun. Jika dibandingkan
dengan pendapatan yang diterima penduduk yang mempunyai lahan karet seluas
setengah hektar dalam satu minggu dengan jumlah pohon tanaman karet telah
menghasilkan sebanyak 65,6% dari total jumlah pohon karet dalam setengah hektar
yakni sebanyak 197 pohon maka getah karet basah yang dihasilkan adalah 39
kilogram yang diperoleh dari 65,6% x 60 kilogram. Harga 1 kilogram getah karet
tahun 1995 adalah 1.000 rupiah.43 Maka pendapatan penduduk di Desa Simangumban
Jae dalam satu minggu yakni 39.000 rupiah.
Sehubungan dengan perubahan sumber mata pencaharian penduduk Desa
Simangumban Jae tersebut, maka muncul bidang pekerjaan lain seperti tenaga kerja

43

BPS, Tapanuli Utara Dalam Angka 1995

33

penyadap karet, tenaga kerja pengangkut produksi, dan toke karet. Toke karet atau
pedagang karet merupakan orang-orang yang memiliki modal dalam jumlah yang
besar dan memiliki lahan pertanian karet yang cukup luas. Sejak tahun 1980-an di
Desa Simangumban Jae terdapat dua orang toke karet yakni Nazaruddin Sitompul dan
Muslim Ritonga. Sebelumnya penduduk menjual hasil produksinya ke toke karet
yang berasal dari Kecamatan Pahae Jae. Toke karet tersebut datang ke desa-desa di
wilayah Kecamatan Pahae Jae termasuk Desa Simangumban Jae.
Tenaga kerja penyadap merupakan penduduk yang memiliki lahan kurang dari
setengah hektar maupun penduduk yang sama sekali tidak memiliki lahan pertanian.
Mereka diberi upah dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ini dilakukan dengan
sistem tiga banding satu. Artinya dari hasil penjualan getah karet pemilik lahan
memperoleh satu bagian dan penyadap memperoleh tiga bagian. Dalam hal ini semua
biaya pemeliharaan, peralatan untuk penyadapan karet, dan pengangkutan getah karet
ditanggung oleh penyadap karet. Dengan demikian pemilik karet hanya menerima
hasil bersihnya. Tenaga kerja pengangkut produksi merupakan orang-orang
kepercayaan toke karet untuk mengangkat getah karet yang dibeli ke atas truk.
Umumya toke karet membawa truk untuk mengangkut getah karet yang dibeli.
Setelah getah selesai ditimbang, maka buruh-buruh mengangkatnya ke dalam truk.
Tenaga kerja pengangkut produksi tersebut digaji oleh toke karet secara mingguan,
karena getah karet yang dibeli ditimbang dan diangkut sekali dalam seminggu.44

44

Wawancara, dengan Dirman Sitompul warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.

34

BAB IV
PERKEMBANGAN PERTANIAN KARET RAKYAT DI DESA
SIMANGUMBAN JAE 1969-1995

4.1 Penanaman
Penduduk Desa Simangumban Jae menanam karet antara 100 meter hingga 15
km dari pemukiman. Pohon karet ditanam di tanah bekas perladangan yang sudah
ditinggalkan dan dataran tinggi bekas tanaman kemenyan. Lahan ini biasanya kurang
subur, sehingga pertumbuhan karet kurang baik dan getah yang dihasilkan lebih
sedikit. Jenis bibit karet yang ditanam oleh petani di Desa Simangumban Jae adalah
hevea brasiliensis yang dikenal sekitar tahun 1910 di Sumatera Timur.45
Hevea Brasiliensis ini tumbuh baik pada ketinggian sekitar 200 meter di atas
permukaan laut maksimalnya hingga ketinggian 600 meter. Hevea Brasiliensis
memiliki masa siap sadap antara 5 sampai 6 tahun dan mampu beradaptasi terhadap
berbagai jenis tanah, ketinggian, dan iklim. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan
yang mampu memproduksi lateks hingga usia 25 tahun, dan mencapai ketinggian 20
sampai 30 meter. Produksi maksimum lateks dicapai pada usia 15 tahun, akan tetapi
semua masih tergantung pada iklim, jenis tanah, jarak tanam, dan sistem penyadapan.
Kondisi-kondisi ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman karet. Kualitas

45

Edi Sumarno, Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942), Tesis, belum
diterbitkan, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM, 1998, hlm. 75.

35

lateks juga ditentukan oleh ketinggian lahan, suhu udara, curah hujan, dan kecepatan
angin.46
Suhu udara yang baik untuk menghasilkan lateks adalah antara 240 sampai 280
Celsius. Suhu yang lebih rendah dari 240 Celsius berakibat pada lamanya keluar
lateks, sedangkan lebih tinggi dari 280 Celsius membuatnya cepat mengering. Curah
hujan yang cocok untuk tanaman ini adalah antara 1.500 mm sampai 2.000 mm per
tahun. Curah hujan yang lebih rendah dari 1.500 mm dan lebih tinggi dari 2.000 mm
per tahun mengakibatkan berkurangnya produksi lateks.
Keret tumbuh baik pada tanah dengan pH antara 3.0-8.0, pH tanah di bawah
3.0 atau di atas 8.0 menyebabkan pertumbuhan tanaman yang terhambat.47 Syaratsyarat tersebut sudah dimiliki oleh Desa Simangumban Jae, dari iklim, tanah,
ketinggian dan sebagainya yang menjadikan karet dapat tumbuh di Desa
Simangumban Jae.
Pada umumnya penanaman karet di Desa Simangumban Jae dilaksanakan
pada musim penghujan yakni antara bulan Oktober sampai Maret dimana curah hujan
sudah cukup banyak dan hari hujan telah lebih dari 100 hari. Penanaman bibit karet
umumnya dilakukan oleh laki-laki. Sebelum penanaman, lubang tanam sudah harus
siap. Alat yang digunakan untuk membuat lubang tanam adalah cangkul. Pembuatan
lubang tanam dilakukan oleh laki-laki secara berkelompok sama halnya dalam
pembukaan lahan. Hal ini dilakukan oleh petani untuk mengefisiensi waktu.
46
47

Ibid, hlm. 101.
Djoehana Setyamidjaja, Karet: Budidaya dan Pengolahan, Yogyakarta: Kanisius, 1993,

hlm. 36.

36

Petani di Desa Simangumban Jae umumnya memperoleh bibit karet dengan
memanfaatkan bibit yang tumbuh dibawah pohon induknya tanpa memilih bibit
terbaik (bibit karet yang tumbuh secara liar). Akan tetapi sebagian petani melakukan
pembibitan karet dengan cara biji karet terlebih dahulu dikumpulkan. Pengumpulan
biji ini biasanya dilakukan oleh anak-anak pada saat libur sekolah. Kemudian
penyediaan tempat untuk pembibitan yakni mengisi plastik bekas dengan tanah, tetapi
terdapat juga penduduk yang menggunakan polybag. Setelah itu, biji karet ditanam ke
dalam polybag atau plastik bekas lalu disimpan di tempat sejuk.
Lokasi pembibitan tidak jauh dari tempat tinggal petani yakni di sekitar
pekarangan rumah, hal ini bertujuan mempermudah pemeliharaannya. Bagi yang
menggunakan bibit karet yang tumbuh secara liar dilakukan dengan cara bibit karet
dicabut lalu dibawa ke lahan yang akan ditanami. Bibit karet yang diperoleh dari
proses pembibitan sering harus menempuh jarak yang cukup jauh. Sehingga untuk
pengangkutan bibit dilakukan dengan memasukkanya ke dalam ember. Susunan bibit
harus rapat supaya tidak terjadi pergeseran bibit dalam pengangkutan. Apabila lahan
pertanian karet dapat dijangkau dengan menggunakan sepedamotor, maka bibit
diangkut dengan menggunakan alat transportasi tersebut. Akan tetapi, jika lahan
pertanian karet jauh dari jalan raya maka bibit diangkut dengan cara dipikul.48
Penanaman karet oleh penduduk Desa Simangumban Jae dilakukan dengan
cara menanam pohon karet dengan perantaraan tanaman lain, seperti kakao, pohon

48

Wawancara, dengan Abdul Panggabean warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.

37

aren, kemenyan, dan durian. Penggunaan tanaman perantara seperti kemenyan atau
durian

akan

menghambat

pertumbuhan

tanaman

karet.

Penduduk

tetap

mempertahankan cara ini dengan alasan jika harga karet rendah maka penduduk dapat
memanfaatkan hasil tanaman perantara tersebut. Proses penanamannya yakni setelah
lubang tanam disiapkan, bibit yang diperoleh dari hasil pembibitan polybag lebih
dahulu dilepas kantong plastiknya, lalu bibit dimasukkan kedalam lubang tanam dan
ditutupi dengan tanah hasil galian sebelumnya. Selain itu, terdapat juga petani dalam
proses penanamannya menanam langsung biji karet tanpa membibit terlebih dahulu.
Di Desa Simangumban Jae, terdapat beberapa lingkungan tempat penanaman
karet rakyat yakni di sekitar aliran sungai batang toru. Penanaman di lahan seperti ini
umum dilakukan karena tanahnya sangat baik untuk pertumbuhan tanaman karet.
Kemudian tanaman karet juga ditanam di dataran tinggi. Di lingkungan ini, meskipun
pertumbuhan karet cukup baik, tetapi karena temperatur yang rendah, lateks yang
dihasilkan lebih sedikit.49 Penduduk juga menanam karet di lahan bekas tanaman
kemenyan. Lahan ini biasanya kurang subur, sehingga pertumbuhan tanaman karet
kurang baik.
Karet rakyat Desa Simangumban Jae umumnya ditanam dengan jarak rapat
dan tidak beraturan yakni sekitar 1 meter, walaupun beberapa petani menanam karet
dengan jarak yang lebih luas, yakni 3 x 3 meter, dan 3,5 x 3,5 meter. Penggunaan
ukuran yang lebih luas biasanya dilakukan oleh petani yang mempunyai lahan

49

Edi Sumarno, op. cit., hlm. 105.

38

pertanian yang luas. Pengaturan jarak yang tidak menentu ini menyebabkan
perhitungan jumlah pohon karet milik penduduk sulit dilakukan.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara sederhana, setelah karet disadap
sangat jarang dilakukan perawatan oleh penduduk. Perawatan tanaman karet
dilakukan hanya pada saat usia tanaman karet sampai satu tahun yakni dengan
memberikan pupuk urea. Pemakaian obat-obatan lain dalam pertanian tidak pernah
digunakan dalam perawatan pohon karet di Desa Simangumban Jae. Perawatan
tanaman karet setelah usia satu tahun hanya dilakukan dengan membersihkan pohon
karet dari semak-semak yang dianggap mengganggu pertumbuhan tanaman. Salah
satu alasan penduduk di Desa Simangumban Jae tidak menggunakan obat-obatan
pertanian selain pupuk yakni keterbatasan modal.
Seharusnya areal pertanaman karet, baik tanaman belum menghasilkan,
maupun tanaman menghasilkan harus bebas dari gulma50 seperti alang-alang.
Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dimana
pengendalian tersebut dilakukan. Pengendalian gulma di pembibitan berbeda dengan
di areal kebun. Pengendalian gulma di areal pembibitan harus diusahakan selalu
bersih dari gulma. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan menggunakan
cangkul setiap dua minggu sekali. Pengendalian gulma di lahan karet dilakukan
dengan cara penanaman tanaman penutup tanah. Jenis tanaman yang sering

50

Gulma merupakan tumbuhan yang termasuk bangsa rumput dan pengganggu bagi
kehidupan tanaman utama.

39

digunakan adalah Centrosema pubescens dan Calopogonium caeruleum.51 Kemudian
selain pupuk dasar yang telah diberikan pada saat penanaman, program pemupukan
secara berkelanjutan harus dilakukan dengan dosis yang seimbang yakni dua kali
pemberian dalam setahun. Tahap pertama dilakukan pada Januari atau Februari dan
tahap yang kedua dilakukan pada Juli maupun Agustus.
Pemberantasan penyakit tanaman karet juga harus diperhatikan, karena
kerugian yang ditimbulkan tidak hanya berupa kehilangan hasil akibat kerusakan
tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan dalam upaya pengendaliannya. Penyakit
tanaman karet yang umum ditemukan yakni kekeringan alur sadap. Penyakit ini
disebabkan oleh penyadapan yang terlalu sering. Adanya kekeringan alur sadap mulamula ditandai dengan tidak mengalirnya lateks pada sebagian alur sadap. Kemudian
dalam dua minggu keseluruhan alur sadap ini kering tidak mengeluarkan lateks, dan
bagian yang kering akan berubah warnanya menjadi cokelat. Gejala lain yang
ditimbulkan penyakit ini adalah terjadinya pembengkakan atau tonjolan pada batang
tanaman. Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan menghindari penyadapan yang
terlalu sering.

4.2 Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor yang penting dan perlu diperhatikan dalam
proses produksi, tidak hanya dilihat dari ketersediaanya tetapi juga kualitas dan jenis
pekerjaan yang dikuasai. Keterbatasan lahan dan pertambahan penduduk yang besar
51

Tim Penulis Ps, op. cit., hlm. 258-259.

40

menimbulkan sejumlah tenaga kerja menganggur dan tingkat pendapatan yang
rendah.52
Di Desa Simangumban Jae terdapat tiga jenis tenaga kerja yang terlibat dalam
pertanian karet rakyat ini, yakni keluarga seperti ayah, ibu, anak, tenaga kerja upahan
dengan

sistem

bagi

hasil,

masyarakat

setempat

menyebutnya

dengan

mamolapinang,53 dan tenaga kerja gotong-royong untuk pekerjaan tertentu seperti
pembukaan lahan dan penanaman. Tenaga kerja gotong-royong ini mempunyai ciri
tukar-menukar yakni satu hari kerja ditukar dengan satu hari kerja. Akan tetapi, tidak
semua hari kerja yang ditukarkan, terdapat juga tenaga kerja seperti kerabat yang
ingin menyumbangkan tenaganya. Tuan rumah menyiapkan makanan dan minuman
untuk semuanya. Banyak petani mengatakan bahwa mereka melakukan tukarmenukar tenaga kerja dengan tujuan memeriahkan pekerjaan lapangan yang
membosankan.
Di Desa Simangumban Jae, hasil yang didapat akan dibagi tiga, yakni dua
bagi penyadap dan satu bagi pemilik karet. Alasan sistem bagi hasil dibagi tiga yakni
rendahnya jumlah produksi lateks sehingga jika dilakukan sistem bagi dua maka hasil
yang diperoleh tidak akan mencukupi sesuai dengan besarnya upah54 yang ditetapkan

52

Chrisman Silitonga dkk, Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 1969-1994, Jakarta :
PERHEPI, 1995, hlm. 78.
53
Mamolapinang merupakan istilah masyarakat batak toba dalam menyebutkan sistem bagi
hasil pertanian.
54
Upah merupakan tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh tenaga kerja sebagai
imbalan atas jasa yang diberikan, Rustian Kamaluddin, Bunga Rampai Pembangunan Nasional dan
Pembangunan Daerah, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1992, hlm. 77.

41

penduduk Desa Simangumban Jae.55 Penyadapan dilakukan sebanyak 3 kali dalam
seminggu dan perhitungan hasil dilakukan di hari pekan yaitu hari Selasa.
Penggunaan tenaga kerja melalui sistem bagi hasil ini dilakukan jika jumlah pohon
karet yang dimiliki seorang petani tidak mampu dikerjakan oleh tenaga kerja
keluarga, sementara produksi perlu dimaksimalkan. Kondisi ini terutama terjadi pada
saat harga karet sedang tinggi, sehingga setiap pohon karet yang sudah diproduksi
sebisa mungkin akan disadap.
Dalam melakukan penyadapan, seorang penyadap laki-laki mampu menyadap
sebanyak 200 sampai 250 pohon karet.56 Sedangkan penyadap perempuan hanya
mampu menyadap sebanyak 80 sampai 120 pohon karet. Penyadap keluarga
umumnya lebih hati-hati dalam menyadap daripada penyadap upahan. Penyadap
upahan, karena mengejar banyaknya jumlah produksi lateks, selalu menyadap
sebanyak-banyaknya. Akibatnya, penyadapan sering terburu-buru dan melukai
pohon, sehingga pertumbuhan dan produksi lateks semakin berkurang. Untuk tenaga
kerja keluarga laki-laki mampu menyadap sebanyak 200 pohon dan perempuan 80
pohon, sedangkan tenaga kerja upahan dengan sistem bagi hasil mampu menyadap
sebanyak 250 pohon untuk laki-laki dan sebanyak 120 pohon untuk perempuan.
Alat yang digunakan petani di Desa Simangumban Jae sedikit berbeda dengan
alat produksi yang digunakan oleh industri-industri karet yang ada di PTPN ataupun

55

Wawancara, dengan Mahadat Sihombing, warga Desa Simangumban Jae, 04 September

56

Wawancara, dengan Rahman Sianturi warga Desa Simangumban Jae, 04 September 2015.

2015.

42

perkebunan swasta. Alat-alat produksi yang digunakan yakni kapak, parang, cangkul,
pisau sadap, talang lateks, mangkuk, cincin mangkuk, dan ember.
Adapun fungsi dari peralatan yang digunakan yakni:
a. Kapak digunakan untuk memotong dan membersihkan lahan dari pohonpohon besar yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman karet
b. Parang digunakan untuk membersihkan ranting-ranting dan alang-alang
c. Cangkul digunakan untuk membersihkan akar-akar pohon dan membuat
lubang untuk pembibitan
d. Pisau sadap ada dua macam, yaitu pisau sadap atas dan pisau sadap bawah.
Pisau ini harus mempunyai ketajaman yang tinggi. Ketajaman pisau
berpengaruh pada kecepatan menyadap dan kerapian sadapan. Pisau sadap
atas digunakan untuk menyadap kulit karet pada bidang sadap atas, ketinggian
di atas 30 cm. Sedangkan pisau sadap bawah digunakan untuk menyadap kulit
karet pada bidang sadap bawah, ketinggian mulai 130 cm kearah bawah. Pisau
sadap mempunyai tangkai yang panjang untuk mempermudah penyadapan
dari permukaan tanah
e. Talang lateks biasanya terbuat dari seng dengan lebar 2,5 cm dan panjangnya
antara 8-10 cm.57 Pemasangan talang lateks pada pohon karet dengan cara
ditancapkan dari titik atau ujung terendah irisan sadapan. Talang lateks
digunakan untuk mengalirkan cairan getah karet dari irisan sadap ke dalam

57

Tim Penulis Ps, op. cit., hlm. 273.

43

mangkuk. Petani di Desa Simangumban Jae menggunakan dedaunan seperti
daun durian sebagai talang lateks
f. Mangkuk digunakan untuk menampung lateks yang mengalir dari bidang
irisan melalui talang. Petani Karet di Desa Simangumban Jae menggunakan
tempurung kelapa dan jerigen sebagai mangkuk untuk menampung lateks
dengan alasan mudah didapat dan tidak membutuhkan biaya
g. Cincin mangkuk digunakan sebagai tempat meletakkan mangkuk sadap,
bahan yang digunakan adalah kawat dan tali
h. Ember berfungsi sebagai alat penyimpanan lateks yang dikumpulkan dari
mangkuk. Dalam satu ember, getah karet basah yang dapat ditampung kirakira 10 sampai 25 kilogram.

4.3 Produksi
Dalam kegiatan produksi pertanian karet rakyat, penduduk sering mengalami
masalah yakni mahalya biaya sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan yang tidak
diimbangi dengan besarnya harga jual serta rendahnya produksi karet. Kemudian
belum memadainya fasilitas pengolahan hasil pertanian khususnya komoditi karet.
Tanaman karet dapat dipanen atau disadap ketika berusia sekitar 5 sampai 6
tahun, tetapi di Desa Simangumban Jae lebih lama yakni sekitar 7 sampai 8 tahun.
Produksi maksimal tanaman karet dicapai pada usia 15 tahun. Tanaman karet dapat
memproduksi lateks hingga umur 25 sampai 30 tahun tergantung pada iklim, jarak

44

tanam, dan teknik penyadapan.58 Kondisi-kondisi ini dapat berpengaruh pada
pertumbuhan tanaman karet. Kualitas lateks juga ditentukan oleh ketinggian lahan,
suhu udara, curah hujan, dan kecepatan angin.
Lamanya tanaman karet hingga siap sadap di Desa Simangumban Jae ini
terjadi akibat tanaman karet di tanam di lahan bekas kemenyan dan adanya pohon
perantara seperti pohon durian. Pohon durian merupakan jenis tanaman keras,
sehingga dapat memperlambat pertumbuhan tanaman karet. Jika penyadapan karet
dipaksakan pada usia 5 sampai 6 tahun di daerah lahan bekas seperti kemenyan, maka
produksi karet akan mengalami penurunan antara 25% sampai 50%.59
Pada umumnya tanaman karet yang terdapat di Desa Simangumban Jae
berumur di atas 25 tahun, hanya sedikit masyarakat yang melakukan peremajaan
tanaman. Hal ini menyebabkan produksi karet terus menurun setiap tahunnya. Petani
karet di Desa Simangumban Jae tidak melakukan peremajaan tanaman karet karena
keterbatasan modal terutama petani yang mempunyai lahan dibawah satu hektar.
Lamanya tanaman karet hingga siap sadap juga menjadi penghalang petani
melakukan peremajaan karet. Penyadapan dilakukan pagi hari yakni antara pukul
05.30-08.30 WIB untuk menghasilkan lateks yang maksimal.
Penyadapan dilakukan dengan cara mengiris kulit batang. Penyadapan yang
sering dilakukan penduduk di Desa Simangumban Jae sebanyak 3 kali dalam
seminggu dan umumnya pengumpulan getah dilakukan setelah penyadapan yang ke

58
59

Ibid, hlm. 270.
Edi Sumarno, op. cit., hlm. 97.

45

tiga. Tetapi ada juga yang hanya 2 kali dalam seminggu, hal ini disebabkan oleh
faktor cuaca misalnya musim penghujan.
Penyadapan dilakukan dengan mengiris batang tanaman karet dengan dalam
irisan kira-kira 2 mm. Penyadapan dilakukan selang dua hari, dan satu hari untuk
pengumpulan hasil getah karet. Pengumpulan hasil dilakukan jika mangkuk dalam
keadaan menggumpal. Biasanya petani mengumpulkan hasil getah karet setiap hari
senin karena hari selasa diadakan pasar getah pada pagi harinya.
Luas tanaman karet rakyat di Desa Simangumban Jae tahun 1995 adalah 230
hektar. Jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 450
kepala keluarga, sehingga luas tanaman karet untuk satu keluarga rata-rata setengah
hektar dengan jumlah pohon karet 300 pohon. Untuk menghasilkan 1 kg karet basah
dibutuhkan jumlah karet sebanyak 15 pohon.60 Apabila semua tanaman karet telah
menghasilkan dalam setengah hektar, maka akan dihasilkan karet basah sebanyak 20
kilogram untuk sekali sadap. Perhitungan jumlah pohon karet yang telah
menghasilkan dan jumlah pohon karet yang tidak menghasilkan (tabel 4.1).61 Dalam
hal ini penulis mengambil tiga sampel kepala keluarga yang mempunyai luas lahan
yang sama, rata-rata jumlah pohon karet yang sama, tetapi dengan produksi yang
berbeda.

60

Wawancara, dengan Parlindungan Sihombing warga Desa Simangumban Jae, 05
September 2015.
61
Jumlah pohon karet yang tidak menghasilkan merupakan gabungan dari jumlah pohon karet
tidak lagi menghasilkan dan jumlah pohon karet belum menghasilkan (belum siap sadap).

46

Tabel 4.1
Taksiran Jumlah Tanaman Karet Rakyat Desa Simangumban Jae Telah
Menghasilkan dan Jumlah Tanaman Karet Tidak Menghasilkan Tahun 1995
No

Narasumber

Luas Lahan (ha)

Jumlah Pohon

Produksi

Persentase

(Kg/minggu)
1

Marsitta Simatupang

0,5

300

39

65,2%

2

Rahman Sianturi

0,5

300

45

75,3%

3

Sabar Sitompul

0,5

300

34

56,5%

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah pohon tanaman karet
telah menghasilkan di Desa Simangumban Jae sebesar 65,6%. Jumlah ini diperoleh
dari total persentase produksi dari ke tiga narasumber, kemudian dibagi tiga. Jumlah
pohon karet yang telah menghasilkan untuk setengah hektar sebanyak 197 pohon atau
65,6% dari jumlah pohon karet dalam setengah hektar. Jumlah karet basah yang dapat
diproduksi penduduk dalam satu minggu dengan lahan setengah hektar dan tanaman
karet telah menghasilkan sebanyak 65,6% adalah 39 kilogram atau 156 kilogram per
bulan dan 1,87 ton per tahun.

4.4 Pemasaran
Penduduk di Desa Simangumban Jae mengumpulkan lateks empat hari
sampai seminggu untuk dijual.62 Petani karet membawa getah karet dengan cara
memundak dan dijual dalam bentuk slab63. Struktur pemasaran karet di Desa

62

Wawancara, dengan Muslim Ritonga warga Desa Simangumban Jae, 05 September 2015.
Slab merupakan jenis bahan olah karet yang dibekukan dengan menggunakan koagulan,
seperti asam cuka.
63

47

Simangumban Jae adalah penyadap – pedagang pengumpul (toke karet di tingkat
desa) – toke karet di tingkat kecamatan – eksportir (Tebing Tinggi).
Di Desa Simangumban Jae, terdapat dua orang toke yang menampung hasil
getah karet penduduk yakni Muslim Ritonga dan Nazaruddin Sitompul. Sejak tahun
1980-an salah seorang toke karet yakni Nazaruddin Sitompul menjual getah karet
yang telah terkumpul ke Tebing Tinggi tanpa melalui toke karet yang ada di tingkat
kecamatan. Hal ini dilakukan karena jumlah getah karet yang dikumpulkannya
mencukupi, sehingga toke tidak akan merugi walaupun pemasarannya dilakukan ke
daerah yang cukup jauh dan biasanya dilakukan satu kali dalam seminggu yakni hari
senin. Jumlah lateks yang dibawa setiap minggunya sekitar 3 ton dengan
menggunakan truk.
Perusahaan yang menjadi tujuan pemasaran karet rakyat tersebut yakni PT
ADEI Crumb Rubber Industry, yang berada di Jalan Imam Bonjol no 239 Tebing
Tinggi. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1954 dengan nama ADEI Trading
Company Limited dan bergerak dalam bidang industri pengelolaan karet dan
eksportir karet.64 Kemudian pada tanggal 4 Mei 1979 perusahaan ini berubah nama
menjadi PT ADEI Plantation and Industri dan tahun 1997 berubah nama menjadi PT
ADEI Crumb Rubber Industry sampai sekarang.

64

Silaen, Sarma Juliana, Strategi Pengembangan Bisnis Karet Alam Olahan: PT Adei Crumb
Rubber Industry, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, skripsi, belum diterbitkan, Bogor: Fukultas Ekonomi
dan Manajemen IPB, 2010, hlm. 46.

48

Dipilihnya Tebing Tinggi sebagai tempat pemasaran getah karet adalah
masalah harga, walaupun jarak antara Desa Simangumban Jae lebih dekat ke Padang
Sidempuan.65 Jarak antara desa Simangumban Jae dengan Padang Sidempuan adalah
100 km, sedangkan jarak antara Desa Simangumban Jae ke Tebing Tinggi adalah 224
km. Jika dihitung dari besarnya biaya transportasi yang dikeluarkan dengan
banyaknya laba yang diperoleh dari harga getah karet masih lebih menguntungkan
apabila menjualnya ke Tebing Tinggi.
Untuk tahun 1969 harga Karet di Desa Simangumban Jae Kecamatan Pahae
Jae tidak dapat dipastikan, akan tetapi berdasarkan sumber yang didapat penulis
untuk harga getah karet di Kabupaten Tapanuli Utara per satu kilogramnya adalah
100 rupiah (tabel 4.2). Harga ini tergolong cukup tinggi, karena pada saat yang sama
harga beras adalah senilai 47 rupiah per kilogramnya66.
Tabel 4.2
Daftar Harga Hasil Bumi di Kabupaten Tapanuli Utara 1969-1971 (dalam Rp)
NO

Jenis Tanaman

1

Karet/kg

2

Kemenyan/kg

3

Kopi/kg

Tahun
1969

1970

1971

100

90

80

1.100

1.000

1.000

100

100

80

Sumber : Arsip Kantor Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Tapanuli Utara

65

Wawancara, dengan Nazaruddin Sitompul warga Desa Simangumban Jae, 05 September

2015.
66

M, Sinaga, op. cit., hlm. 82.

49

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa harga satu kilogram getah karet
tahun 1969 sama dengan harga dua kilogram beras. Walaupun di tahun 1970 dan
1971 harga karet mengalami penurunan sebesar 10 rupiah, tetapi harga satu kilogram
karet masih lebih mahal dari harga satu kilogram beras.
Rendahya harga karet yang diterima oleh petani sering dituduhkan karena
rendahnya kualitas produksi karet rakyat. Sebaiknya persoalan yang menimpa petani
karet ini tidak hanya dilihat dari sisi rendahnya mutu karet yang dihasilkan petani,
akan tetapi perlu juga dilihat faktor penyebab lainya, seperti hubungan sosial antara
petani dengan pihak lain yang ada di masyarakat.67 Artinya, persoalan rendahnya
harga atau pendapatan yang diterima petani tidak hanya disebabkan oleh persoalan
teknis semata, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan situasi dan kondisi
sosial di masyarakat. Penentuan harga karet di masyarakat sering ditentukan oleh
keterikatan hubungan sosial antara petani kecil, petani besar dengan pedagang atau
toke karet.
Keinginan yang besar dari petani untuk tetap menjaga keeratan hubungan
sosial sering memaksa dan menghilangkan rasionalitas petani dalam berbisnis.
Banyak petani yang lebih mementingkan hubungan sosial dibandingkan dengan
keuntungan semata, walaupun bisnis karet tersebut merupakan penyokong kehidupan
ekonomi keluarganya. Hal seperti ini masih banyak dijumpai di Desa Simangumban

67

Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1984, hlm.

17.

50

Jae, dimana toke karet masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan petani baik
sebagai keluarga atau pemberi pinjaman kepada petani yang tidak memiliki modal.
Hal lain yang juga berperan menentukan tingkat pendapatan atau harga yang
diperoleh petani adalah rantai pemasaran karet. Banyaknya lapisan pedagang yang
terlibat menyebabkan rantai pemasaran karet di Desa Simangumban Jae cukup
panjang. Petani tidak pernah terlibat langsung dalam memasarkan produksi karetnya
kepada pabrik atau pedagang eksportir. Paling tidak, mereka harus melalui dua orang
toke karet yakni toke karet di tingkat desa dan toke karet di tingkat kecamatan.
Ditingkat petani, sebagian petani mencari informasi harga kepada petani lain
yang telah melakukan penjualan atau kepada toke karet lainnya yang bukan
langganannya. Akan tetapi, sebagian besar petani di Desa Simangumban Jae hanya
menerima informasi harga dari toke karet langganannya karena faktor kepercayaan.
Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi petani karena toke karet pada
umumnya memberikan informasi harga yang memberikan keuntungan baginya.

51

BAB V
PENGARUH PERTANIAN KARET RAKYAT TERHADAP
KESEJAHTERAAN PETANI DI DESA SIMANGUMBAN JAE 1969-1995

5.1 Peningkatan Pendapatan
Perkembangan pertanian karet rakyat di Desa Simangumban Jae mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Salah satu pengaruhnya ialah
meningkatnya jumlah pendapatan penduduk sehingga dapat membantu perekonomian
keluarga. Semula para petani hanya memperoleh penghasilan dari penjualan hasil
ladangnya, yakni tanaman kemenyan dan aren yang secara ekonomis belum
menghasilkan uang yang cukup bagi petani. Keadaan itu sedikit berubah sejak
pertanian karet rakyat mulai dikembangkan. Misalnya, para istri yang memperoleh
kesempatan bekerja sebagai penyadap apabila masa panen padi belum tiba, sehingga
hasil yang diperoleh bisa membantu meningkatkan pendapatan keluarga.68
Sejak tahun 1976 pertanian karet menjadi penting secara ekonomis bagi
penduduk Desa Simangumban Jae. Pen