HUBUNGAN PEMBERIAN Lactobacillus reuteri TERHADAP HITUNG LIMFOSIT DARAH TEPI PADA MENCIT BalbC MODEL SEPSIS

(1)

HUBUNGAN PEMBERIAN Lactobacillus reuteri TERHADAP

HITUNG LIMFOSIT DARAH TEPI PADA

MENCIT Balb/C MODEL SEPSIS

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ANITA PUSPITA SARI G 0006003

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Pemberian Lactobacillus reuteri terhadap Hitung Limfosit Darah Tepi pada Mencit Balb/C Model Sepsis

Anita Puspita Sari, G0006003, Tahun 2009

Telah disetujui untuk dipresentasikan dan disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Senin, Tanggal 16 Nopember, Tahun 2009

Surakarta, ……….

Pembimbing Utama

Nama : R.P. Andri Putranto, dr., M.Si NIP : 19630525 199603 1 001

Pembimbing Pendamping

Nama : Sarsono, Drs., M.Si NIP : 19581127 196801 1 001

Penguji Utama

Nama : Diding. H. Prasetyo, dr., M.Si NIP : 19680429 199903 1 001

Anggota Penguji

Nama : Ipop Syarifah, Dra., Msi. NIP : 19560328 198503 2 001

...

...

...

...

Ketua Tim Skripsi

Sri Wahjono, dr., M. Kes. DAFK

NIP: 19450824 197310 1 001

Dekan FK UNS

Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 16 Nopember 2009

Anita Puspita Sari NIM G0006003

ABSTRAK

Anita Puspita S., G0006003, 2010. Hubungan Pemberian Lactobacillus reuteri

terhadap Hitung Limfosit Darah Tepi pada Mencit Balb/C Model Sepsis, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Apoptosis sel limfosit berperan utama dalam patogenesis sepsis. Lactobacillus

reuteri adalah probiotik yang dapat menghambat apoptosis sel limfosit. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian Lactobacillus reuteri terhadap hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C model sepsis. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratoris dengan post test only control

group design. Hewan uji menggunakan 27 ekor Mencit Balb/C jantan dibagi

dalam 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok sepsis, kelompok

sepsis+Lactobacillus reuteri. Model sepsis diinokulasi pada hari 1-7. Pada hari ke 8 mencit dikorbankan dan diambil darahnya melalui sinus orbitalis untuk dihitung limfositnya dengan pewarnaan Wright dan Giemsa. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan One Way ANOVA menggunakan program SPSS for

Windows Release 15.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hitung limfosit setiap 100 sel leukosit darah tepi masing-masing kelompok adalah kelompok kontrol 82 sel, kelompok sepsis 80,7 sel, dan kelompok sepsis+L. reuteri 79,8 sel (p>0,05).


(4)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan pemberian

Lactobacillus reuteri dengan jumlah limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C

model sepsis.

Kata kunci : Lactobacillus reuteri, sepsis, limfosit

ABSTRACT

Anita Puspita S., G0006003, 2010. The Correlation of Lactobacillus reuteri with

the Lymphocyte Count at Peripheral Blood in Sepsis Balb/C Mice, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Lymphocyte apoptosis plays a central role in the pathophysiology of sepsis. Lactobacillus reuteri is a probiotic that can inhibited lymphocyte apoptosis. This experiment was aimed to get the information of correlation of

Lactobacillus reuteri with the lymphocyte count at peripheral blood circulation in

sepsis condition.

This was a pure experiment with post test only control group design. We used 27 male Balb/C Mice that were divided in 3 groups; control group, sepsis group, and sepsis+Lactobacillus reuteri group. The sepsis model was inoculated on day 1-7. On day 8 blood samples of subjects were taken from sinus orbitalis for

lymphocyte counting with Wright and Giemsa staining. Statistical analysis of the data was performed with SPSS for Windows Release 15.

The data showed that lymphocyte rate of 100 pheripheral blood leukocyte of control group 82 cells, sepsis group 80,7 cells, and sepsis+lactobacillus reuteri group 79,8 cells (p>0,05).

From this experiments we concluded that there was no correlation between

Lactobacillus reuteri with lymphocyte count at peripheral blood circulation in

sepsis Balb/C Mice.


(5)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin, atas izin Allah Ta’ala semata, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ‘Hubungan Pemberian Lactobacillus reuteri terhadap Hitung Limfosit Darah Tepi pada Mencit Balb/C Model Sepsis’

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidakk lepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Sri Wahjono, dr., M.Kes. DAFK, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. RP. Andri Putranto, dr., M.Si., selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi. 4. Sarsono, Drs., M.Si., selaku pembimbing pendamping atas segala bimbingan,

arahan, dan waktu yang telah beliau luangkan bagi penulis.

5. Diding HP., dr., M.Si., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan saran, bimbingan, nasihat untuk menyempurnakan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

6. Ipop Syarifah, Dra., M.Si., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasihat untuk memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 7. Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, para

dosen beserta segenap staf.

8. Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, para dosen beserta segenap staf.

9. Tim Skripsi, Perpustakaan FK UNS yang banyak membantu dalam penyelesaian skripsi dan sebagai salah satu tempat mencari referensi.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, 16 Nopember 2009 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah. ... 1

B. Perumusan Masalah... 2

C.Tujuan Penelitan... 3

D.Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI.. ... 4

A. Tinjauan Pustaka.. ... 4

B. Kerangka Pemikiran ... 15

C. Hipotesis ... 16

BAB III. METODE PENELITIAN... 17

A. Jenis Penelitian ... 17

B. Lokasi Penelitian ... 17

C. Subjek Penelitian... 17

D. Teknik Sampling ... 17

E. Variabel Penelitian ... 18

F. Skala Variabel ... 18

G. Definisi Operasional... 18

H. Rancangan Penelitian ... 20

I. Alat dan Bahan ... 20


(7)

K. Analisis Data... 23

BAB IV. HASIL PENELITIAN... 24

A. Data Hasil Penelitian ... 24

B. Analisis Data ... 25

BAB V. PEMBAHASAN... 27

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 30

A. Simpulan ... 30

B. Saran 30 Daftar Pustaka Lampiran DAFTAR TABEL Tabel 4.1. Hitung limfosit setiap 100 sel leukosit darah tepi Mencit Balb/C setelah perlakuan ………....24


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran limfosit pada sel darah normal………..9

Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran………..15

Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian………20

Gambar 3.2 Alur Penelitian………..22

Gambar 4.1 Gambaran limfosit kelompok kontrol...24

Gambar 4.2 Gambaran limfosit kelompok sepsis...25

Gambar 4.3 Gambaran limfosit kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri...25

Gambar 4.4 Histogram rata-rata hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C setelah perlakuan ...26

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance Lampiran 2. Jadwal Penelitian

Lampiran 3. Tabel Hasil Hitung Limfosit setiap 100 Sel Leukosit Darah

Tepi Mencit pada Masing-Masing Kelompok.

Lampiran 4. Hasil Uji One Way ANOVA

Lampiran 5. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian Lampiran 6. Foto Kegiatan Peenalitian


(9)

Lampiran 7. Tabel Konversi Dosis Hewan dan Manusia

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang dapat menyebabkan kerusakan organ (Shixin Qin et al., 2006). Patofisiologi sepsis sangat kompleks, sebagai akibat dari interaksi antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi (Kristine et al., 2007) yang dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi dengan sitokin anti-inflamasi (Elena et al., 2006).

Proses patologik yang utama pada sepsis adalah apoptosis dari sel-sel efektor imunologi termasuk limfosit dan sel dendrit maupun apoptosis saluran pencernaan. Hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan dalam respon imun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pencegahan apoptosis akan meningkatkan kelangsungan hidup penderita sepsis (Chang et al., 2007).

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif dengan presentase 60–70 % (Guntur, 2006). Produk yang berperan penting dalam peristiwa sepsis adalah Lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri Gram negatif (Jimmy et al., 2006).

Staphylococci, Pneumococci, Streptococci, dan bakteri Gram positif lainnya


(10)

kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis walaupun jarang (Guntur, 2006).

Pengobatan sepsis Gram negatif didasarkan pada pemberian antimikroba yang adekuat dan support disfungsi organ (Oscar et al., 2006). Salah satu upaya yang belakangan banyak dicoba dan diteliti untuk mengatasi permasalahan sepsis adalah dengan pemberian preparat probiotik. Probiotik bermanfaat untuk kesehatan sebagai imunomodulator pada sistem imun (Galdeano et al., 2007) dan imunonutrisi pada penderita penyakit kritis seperti sepsis (Calder, 2003). Lactobacillus reuteri merupakan salah satu jenis probiotik tunggal yang banyak digunakan sebagai suplemen untuk meningkatkan kesehatan pencernaan manusia (Nana et al., 2004).

Lactobacillus reuteri kini dicoba digunakan sebagai imunonutrisi pada

pasien-pasien yang kritis, termasuk diantaranya sepsis, sebagai immunomodulation (Calder, 2003). Akan tetapi, sampai saat ini manfaat penggunaan L. reuteri sebagai bentuk imunonutrisi dalam bidang medis secara formal belum sepenuhnya dipahami karena belum diketahui bahan aktif dan mekanisme kerjanya, termasuk penggunaan pada pasien-pasien kritis yang masih diperdebatkan (Brown dan Valiere, 2004).


(11)

“ Adakah hubungan pemberian Lactobacillus reuteri terhadap hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C model sepsis?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan pemberian Lactobacillus reuteri terhadap hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C model sepsis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberi masukan dalam ilmu pengetahuan khususnya bidang imunopatobiologi molekuler probiotik (L. reuteri)

ѕebagai terapi adjuvant pada kasus sepsis.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut dan kajian ilmiah sehubungan dengan khasiat

Lactobacillus reuteri sebagai terapi adjuvant pada kasus sepsis dalam


(12)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Sepsis

Sepsis adalah suatu sindroma klinik sebagai manifestasi proses inflamasi imunologik yang terjadi karena adanya respon tubuh (imunitas) yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme, ditandai dengan takipnea (frekuensi respirasi lebih dari 20 kali/menit), takikardia (frekuensi jantung lebih dari 100 kali/menit), hipertermia (temperatur axilar tubuh lebih dari 1010 F / 38.30C) atau hipotermia (temperatur axilar tubuh kurang dari 96.10F / 35.60C), leukositosis (> 12.000/mm3), leukopenia (< 4000/mm3) dengan atau tanpa ditemukannya bakteri dalam darah (Edwin et al., 2003; Guntur, 2008).

Sepsis disebabkan oleh bakteri Gram negatif, bakteri Gram positif, jamur, virus, dan parasit (Edwin et al., 2003; James et al., 2005). Faktor yang paling berperan penting terhadap sepsis adalah Lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dan dinyatakan sebagai


(13)

penyebab sepsis terbanyak. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan septikemia. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah Lipopolisakarida (LPS) terutama kandungan lipid A dalam LPS tersebut. LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri Gram negatif (Guntur, 2006). LPS bersifat stabil terhadap panas, mempunyai berat molekul antara 3000 dan 5000 (lipooligosakarida) sampai beberapa juta (lipopolisakarida). Dalam aliran darah LPS akan terikat pada protein yang bersirkulasi kemudian berinteraksi dengan reseptor makrofag, limfosit, dan monosit serta sel lain pada sistem retikuloendotelial. Hal ini akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan pengaktifan jalur komplemen dan koagulasi. Runtutan peristiwa tersebut dapat diamati secara klinis sebagai demam, leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi intravaskuler hingga kematian karena disfungsi organ (Brooks et al., 2003).

Patofisiologi sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi, dan jalur koagulasi (Kristine et

al., 2007) yang dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara

sitokin proinflamasi (seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), Interferon-γ (IFNγ), interleukin-1β (IL-1β), dan IL-6) dengan sitokin anti-inflamasi (seperti IL-1ra, IL-4 dan IL-10) (Elena et al., 2006). Overproduksi sitokin


(14)

inflamasi menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan metabolik menyebabkan nekrosis jaringan, MOF, serta kematian (Elena et

al., 2006; Javier et al., 2005; Arul, 2001).

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu : IFN- γ, IL-2, dan M-CSF (Macrophage Colony

Stimulating Factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6,

dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan sitokin proinflamasi lainnya sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α . Pada beberapa kajian ditemukan bahwa TNF-α dan IL-2 dapat merusakkan endotel pembuluh darah. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial yaitu menyebabkan neutrofil beradhesi dengan endotel yang akan menyebabkan dinding endotel lisis. Kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (Vasculer leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel (Guntur,2006).

Beberapa marker pada sepsis yaitu C-reactive protein (CRP), yang telah digunakan sebagai marker pada infeksi, Procalcitonin (PCT), yang merupakan marker yang sensitif dan spesifik pada sepsis, dan LBP (Shahin et al., 2006). Rekomendasi yang utama dalam diagnostik sepsis


(15)

adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult

Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) (Guntur, 2006).

Pengobatan sepsis Gram negatif didasarkan pada pemberian antimikroba yang adekuat dan support disfungsi organ (Oscar et al., 2006). Pengobatan supportive standard untuk sepsis terdiri dari support ventilasi, resusitasi volume darah yang adekuat dan aplikasi obat vasoaktif, dengan tujuan memelihara pengiriman oksigen yang adekuat ke seluruh organ dan usus (Jürgen et al., 2006).

2. Lactobacillus reuteri

Taksonomi Lactobacillus reuteri Kingdom : Bacteria

Division : Firmicutes Class : Bacili

Ordo : Lactobacillales Family : Lactobacillaceae Genus : Lactobacillus Species : L. reuteri

(Molin et al., 1993)

Lactobacillus reuteri merupakan bakteri heterofermentatif yang

hidup di saluran pencernaan manusia dan hewan serta diyakini merupakan salah satu spesies Lactobacillus yang benar berasal dari manusia (Nana et


(16)

al.,2004). L. reuteri pertama kali ditemukan pada tahun 1980an dan

beberapa strainnya digunakan sebagai probiotik (Casas et al., 1997). Probiotik adalah kultur tunggal atau campuran mikroorganisme nonpatogenik hidup merupakan imunonutrisi yang memberikan manfaat pada kesehatan host-nya (Brown dan Valiere, 2004; Calder, 2003). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Agrikultur Pangan Dunia (FAO), probiotik secara umum ditargetkan untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dan kesehatan saluran cerna dengan jumlah 106-108 koloni/ml bakteri hidup (Galdeano et al., 2007). Probiotik merupakan imunonutrisi yang berfungsi sebagai immunomodulation atau sebagai immunomodulating agent pada sistem imun (Galdeano et al., 2007; Taylor et al., 2007), mempunyai pengaruh langsung pada fungsi imun mukosa terutama mukosa usus, melalui modulasi sintetis IgA (Jan et

al., 2004), mengurangi inflamasi lokal maupun sistemik melalui

perubahan keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi dengan menurunkan produk sitokin proinflamasi, meningkatkan fungsi barrier imunologik intestinal serta pembentukan mukus (Galdeano et al., 2007), menstabilkan mikroekologi usus, mencegah kolonisasi kuman enterik patogen secara efektif dan sebagai imunonutrisi pada beberapa penderita penyakit kritis seperti sepsis (Calder, 2003).


(17)

Cara kerja probiotik nampaknya dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kondisi immunocompromised pada pasien sepsis. Karena proses patologik yang utama pada sepsis adalah apoptosis dari sel-sel efektor imunologi, termasuk limfosit dan sel dendrit maupun apoptosis saluran pencernaan. Apoptosis tersebut akan berakibat pada penurunan hitung sel limfosit, sehingga terjadi kondisi immunocompromised pada pasien sepsis. Dengan keadaan tersebut maka pada pasien sepsis tidak mampu mengeliminasi infeksi. Dari hasil penelitian menunjukkkan bahwa pencegahan apoptosis akan meningkatkan kelangsungan hidup penderita sepsis (Chang et al., 2007).

3. Limfosit

Limfosit adalah leukosit mononuklear dalam darah perifer, nonfagositik, ditemukan di dalam darah, limfe, dan jaringan limfoid (Dorlan, 2002). Limfosit mencakup sekitar 20 – 30 % leukosit darah (Victor, 2003). Dalam sirkulasi jumlah leukosit berkisar 5000 sampai 10.000 permilimeter darah (Guyton and Hall, 1997). Besar limfosit bervariasi, yang berada di darah terdapat limfosit kecil berukuran 5 – 10 microns atau limfosit medium dengan ukuran 10 – 18 micron. Sedangkan limfosit besar biasanya ditemukan di luar sirkulasi, sebagian besar di organ limfoid (Thomas, 2003).


(18)

Limfosit memiliki inti relatif besar, berbentuk bulat dengan sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, dan anak inti baru terlihat dengan mikroskop elektron (Zukesti, 2003). Inti sel terpulas gelap mengisi hampir seluruh sitoplasma dan sitoplasmanya tampak sebagai daerah basofilik di sekitar inti. Sitoplasma limfosit agranular, namun dapat mengandung sedikit granul azurofilik (Victor, 2003)

Gambar 2.1: Gambaran limfosit di antara eritrosit

pada sel darah normal (Thomas,2003)

Limfosit merupakan komponen esensial pada sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam sistem imun adaptif. Adapun sistem imun secara garis besar dapat dibagi dua yaitu respon imun garis pertama atau imunitas bawaan diperankan oleh sel-sel fagositer dan barrier nonspesifik lainnya serta respon imun tahap selanjutnya yang spesifik (adaptif) (Abbas

and Litchman, 2005). Sebagian besar imunitas merupakan imunitas adaptif

yang tidak timbul sampai tubuh pertama kali diserang oleh bakteri yang menyebabkan penyakit atau toksin (Guyton and Hall, 1997).


(19)

Infeksi mikroorganisme akan memicu respon pertahanan nonspesifik seperti sel NK (Natural Killer) dan makrofag. Akan tetapi imunitas nonspesifik yang inadekuat ataupun juga kemampuan mikroorganisme penginfeksi untuk resisten dan menghindar melalui bermacam mekanisme seperti mengubah polaritas antigenik sehingga tidak mampu dikenali sel imun atau dengan mensekresikan substansi yang menonaktifkan pertahanan garis pertama akan mengaktifkan respon imun spesifik yang diperankan oleh limfosit melalui perantara sel penyaji (APC). Antigen presenting cell (APC) tersebut akan menangkap mikroorganisme dan membawanya ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid mikroorganisme penginfeksi tersebut akan dipresentasikan kepada limfosit native yang mengakibatkan limfosit tersebut memperbanyak diri, baik melalui sekresi IL-15 oleh sel APC atau juga dengan IL-2 yang diproduksi dirinya sendiri sebagai respon agen yang dipresentasi APC. Limfosit-limfosit ini selanjutnya akan berdiferensiasi ke dalam subset-subset khusus sehingga dapat berfungsi sebagai sel efektor dalam menghadapi mikroorganisme penginfeksi atupun juga sebagai sel memori yang menyimpan respon spesifik terhadap agen penginfeksi tersebut jika terjadi infeksi ulang. Sel-sel limfosit yang telah berdiferensiasi selanjutnya akan memasuki sirkulasi darah yang menyebabkan kenaikan jumlah limfosit (limfositosis). Selanjutnya limfosit akan menuju jaringan perifer untuk mengeliminasi mikroorganisme dengan berbagai mekanisme


(20)

termasuk dengan mensekresikan mediator-mediator proinflamasi seperti TNF dan limfotoksin yang akan menyebabkan leukosit datang ke bagian infeksi tersebut dan terjadi inflamasi (Abbas and Litchman, 2005).

Respon imun adaptif sendiri dapat dibagi dalam dua jalur utama yaitu respon imun humoral yang diperankan limfosit B dengan hadirnya antibodi, dan respon imun seluler oleh limfosit T yang memiliki reseptor spesifik untuk mengenal antigen asing. Pada kejadian infeksi respon imun humoral berperan untuk menetralkan dan mengeliminasi mikroorganisme ekstrasel dan toksinnya, tetapi respon imun humoral ini tidak efektif melawan mikroorganisme yang mampu hidup dan bereplikasi intrasel. Disinilah peran respon imun seluler dalam melengkapi respon imun humoral yaitu dengan mengenali mikroorganisme intrasel tersebut melalui reseptor permukaannya dan kemudian mengeliminasinya (Abbas and Litchman, 2005).

Pembagian jenis limfosit antara lain : a. Limfosit B

Bertanggung jawab dalam sintesis antibodi yang memberikan imunitas humoral dan dikenal juga dengan nama imunoglobulin. Sel plasma, yang merupakan sel khusus turunan sel B, mensintesis dan mensekresikan imunoglobulin ke dalam plasma sebagai respon


(21)

terhadap pajanan berbagai macam antigen (Guyton and Hall, 1997; Robert et al., 2003).

Imunoglobulin merupakan globulin plasma dengan berat molekul antara 160.000 dan 970.000, biasanya merupakan sekitar 20% dari seluruh protein plasma. Imunoglobulin terdiri atas kombinasi rantai polipeptida ringan dan berat, sebagian besar merupakan kombinasi dua rantai berat dan dua rantai ringan. Setiap imunoglobulin spesifik untuk antigen tertentu karena struktur uniknya yang tersusun atas asam-asam amino yang dapat berubah dari kedua asam amino ringan dan berat (Guyton and Hall, 1997).

Terdapat lima golongan umum imunoglobulin, masing-masing diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD, IgE. Ig singkatan dari imunoglobulin. Dua golongan imunoglobulin terpenting adalah IgG yang merupakan antibodi bivalen dan kira-kira 75% dari seluruh antibodi pada orang normal, dan IgE yang merupakan antibodi dalam jumlah kecil, khususnya terlibat dalam peristiwa alergi. IgM juga penting sebab golongan ini merupakan antibodi pertama yang terbentuk sewaktu terjadi respon imun primer (Guyton and Hall, 1997; Robert et al., 2003).

Sedang imunoglobulin yang berperan penting dalam imunitas mukosa adalah IgA (Abbas and Litchman, 2005). IgA merupakan pertahanan garis depan terhadap bakteri dan virus (Stryer, 2000). IgA


(22)

diproduksi di jaringan limfoid mukosa dan disekresikan melalui epitel mukosa ke dalam lumen. IgA akan mengikat mikroba dan toksin yang terdapat dilumen dan menetralisasinya melalui hambatan jalur masuk ke host (Abbas and Litchman, 2005).

Imunoglobulin bekerja terutama melalui dua cara untuk mempertahankan tubuh terhadap agen penyebab penyakit:

1) Menyerang secara langsung agen penyebab penyakit tersebut 2) Mengaktifkan sistem komplemen yang kemudian dengan

serangkaian proses merusak penyebab penyakit tersebut (Guyton

and Hall, 1997).

b. Limfosit T

Limfosit T bertanggung jawab dalam pembentukan limfosit teraktivasi dalam jumlah besar yang secara khusus dirancang untuk menghancurkan benda asing (Guyton and Hall, 1997). Limfosit ini berperan dalam imunitas seluler serta memodulasi responsivitas imun (Ronald et al., 2000). Terdapat tiga kelompok utama sel T:

1) Sel T Pembantu/ T helper (Th)

Berperan sebagai pengatur utama bagi seluruh fungsi imun dengan membentuk serangkaian mediator protein yang disebut limfokin, yang bekerja pada sel-sel lain dari sistem imun dan pada


(23)

sel sumsum tulang. Limfokin penting yang disekresikan oleh sel-sel T pembantu antara lain IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IFN-γ dan GM-CSF, faktor perangsang koloni monosit-granulosit (Guyton

and Hall, 1997).

Sel T pembantu akan mengeliminasi agen asing melalui aktivasi sel-sel fagositer seperti makrofag dan menyekresikan mediator inflamasi (Abbas and Litchman, 2005).

2) Sel T Sitotoksik (Tc)

Merupakan sel penyerang langsung yang mampu membunuh mikroorganisme dan pada suatu saat, bahkan membunuh sel-sel tubuh sendiri melalui sebuah mekanisme sekresi protein pembentuk lubang pada membran sel yang diserang yang disebut perforin. Selain itu sel T sitotoksik juga melepaskan substansi sitotoksiknya secara langsung ke dalam sel yang diserang. Hal ini menyebabkan gangguan keseimbangan sehingga dengan segera sel yang diserang membengkak dan larut (Guyton

and Hall, 1997; Abbas and Litchman, 2005).

3) Sel T Supresor (Ts)

Merupakan sel T yang mempunyai kemampuan menekan fungsi sel T sitotoksik dan sel T pembantu. Fungsi supresor ini


(24)

menyebabkan pengaturan aktivitas sel-sel lain dan menjaganya agar tidak berlebihan dan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yang disebut toleransi imun. Dengan alasan inilah, maka sel-sel supresor, bersama dengan sel T pembantu, digolongkan sebagai sel T

regulator (Guyton and Hall, 1997).

B. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Berpikir Konseptual

Gambar 2.1: Skema Kerangka Pemikiran 2. Kerangka Berpikir Teoritis

Peningkatan proliferasi sel limfosit Penekanan system imun

(apoptosis limfosit)

SIRS

Hiperinflamasi Produksi Sitokin pro-inflamasi berlebihan Mikroorganisme penginfeksi

Cecal Inoculum

Peningkatan limfosit perifer

Keterangan :

merangsang menghambat


(25)

Masuknya polimikroba yang berasal dari material cecal inoculum ke dalam tubuh akan menginduksi pembentukan sitokin proinflamasi, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi dengan anti inflamasi. Produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan menyebabkan hiperinflamasi seperti aktivasi SIRS pada organ terutama pada paru, ginjal, hati, usus, dan organ lainnya. Proses patologik utama adalah apoptosis sel yang akan menekan sistem imun. Disfungsi saluran pencernaan (usus) ini mengakibatkan hilangnya pertahanan mukosa, peningkatan permeabilitas yang kemudian lebih lanjut akan meningkatkan inflamasi usus.

Lactobacillus reuteri melalui proses immunomodulation memiliki

kemampuan sebagai penghambat kompetitif dari polimikroba sehingga mengurangi induksi sitokin proinflamasi yang berlebihan. Dengan adanya keseimbangan sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi menyebabkan terhambatnya apoptosis sel limfosit sehingga mampu meningkatkan imunitas tubuh.

C. Hipotesis

Ada hubungan pemberian Lactobacillus reuteri terhadap hitung limfosit darah tepi Mencit Balb/C model sepsis.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik, dengan post test only

control group design. B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah Mencit Balb/C jantan dengan berat badan 15-23 gram, dan berumur 4-6 minggu. Mencit Balb/C diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan Universitas Setia Budi (USB), Surakarta. Bahan makanan mencit yang digunakan adalah pelet.

D. Teknik Sampling

Untuk pengambilan sampel digunakan teknik simple random sampling. Penentuan besar sampel dengan menggunakan rumus Federer (Purawisastra, 2001), yaitu :

Dimana (t) adalah kelompok perlakuan, dan (n) adalah jumlah sampel perkelompok perlakuan. Dengan rumus tersebut diperoleh besar sampel :

(t – 1) (n – 1) > 15 (3 – 1) (n – 1) > 15 2 (n – 1) > 15


(27)

n > 8,5

Jadi dapat ditentukan jumlah sampel perkelompok adalah 9 ekor mencit dan jumlah keseluruhan sampel ada 27 ekor Mencit Balb/C.

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Lactobacillus reuteri 2. Variabel terikat : hitung limfosit darah tepi 3. Variabel luar :

a. Dapat Dapat dikendalikan : makanan, stres, genetik, umur, berat badan tikus.

b. Tidak dapat dikendalikan : variasi kepekaan Mencit Balb/C terhadap suatu zat.

F. Skala Variabel

1. Lactobacillus reuteri : Skala nominal 2. Hitung limfosit darah tepi : Skala rasio

G. Definisi Operasional

1. Pembuatan sepsis pada mencit

Mencit dibuat sepsis dengan paparan Cecal inoculum (CI). Cecal

inoculum dibuat baru setiap hari dari mencit donor yang dikorbankan

dengan mensuspensikan 200 mg material cecal pada 5 mL dextrose water 5% (D5W) steril (Ren et al., 2002). Pada mencit diinjeksikan cecal

inoculum 4 mg/mencit secara intraperitoneal (Brahmbhatt et al., 2005;


(28)

2. Pemberian Lactobacillus reuteri

Lactobacillus reuteri yang digunakan adalah L. reuteri ATCC

55730...108 CFU yang diproduksi oleh Farmasierra Manufacturing S.L. Madrid, Spanyol. dosis setara dengan 1 tablet/hari pada manusia, yaitu dengan faktor konversi dosis manusia ke mencit adalah 0,0026 (Suhardjono, 1995).

3. Hitung Limfosit

Limfosit adalah sel mononukleus yang sferis, garis tengah 6-8um, dan merupakan 20-30% leukosit darah. Limfosit memiliki inti relatif besar, berbentuk bulat dengan sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, dan anak inti baru terlihat dengan mikroskop elektron. Sitoplasmanya sangat sedikit, sedikit basofilik dan mengandung granula-granula azurofilik (Zukesti, 2003).

Darah mencit diambil dari sinus orbitalis dengan menggunakan tabung hematokrit. Darah tersebut ditampung dalam tabung EDTA, kemudian dilakukan hitung jumlah sel limfosit secara manual menggunakan hapusan darah dengan metode pan-optic stainning “Wright

Giemsa”. Hapusan darah dicat secara Wright dan sebagai pengganti buffer dipakai cat Giemsa yang telah diencerkan dengan larutan


(29)

cahaya dengan perbesaran 400x. Jumlah sel limfosit masing-masing sampel dihitung setiap 100 sel leukosit (Gandasoebrata, 2001).

H. Rancangan Penelitian

Keterangan :

X : Jumlah mencit yang digunakan K : Kelompok kontrol negatif

S : Kelompok sepsis (pemberian Cecal inoculum 4 mg/mencit/i.p) R : Kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri (pemberian Cecal

inoculum 4 mg/mencit/i.p dan Lactobacillus reuteri 0,1 ml/mencit/oral)

L : Hitung limfosit kelompok kontrol negatif Ls : Hitung limfosit kelompok sepsis

Lr : Hitung limfosit kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri

I. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat penelitian

a. Kandang hewan percobaan (Ukuran 30 cm x 20 cm x 10 cm) b. Timbangan Metler Toledo

c. Spuit injeksi 3 ml dan 5 ml d. Spuit tuberkulin 1ml e. Sonde 5 ml

f. Tabung ukur 10 ml dan 100 ml

Gambar 3.1 :Skema Rancangan Penelitian

Hitung jumlah limfosit semua kelompok dibandingkan dengan Uji ANOVA dilanjutkan dengan Post Hoc Test L

K

X S

R

Ls Lr


(30)

g. Beaker glass 100 ml h. Toples pastik mencit i. Mikroskop cahaya Olympus j. Minor set

k. Pinset

l. Objek glass Gruond edges m. Pengaduk kaca

2. Bahan penelitian a. Lactobacillus reuteri b. Aquades

c. Dextrose water 5% (D5W) steril d. Hewan uji (27 ekor Mencit Balb/C) e. Makanan standar hewan uji

f. Alkohol 70% g. Pewarna Wright h. Pewarna Giemsa

i. Darah tepi mencit diambil dari sinus orbitalis

J. Alur Penelitian

1. Sebelum perlakuan

a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian dilakukan selama kurang lebih 1 minggu.


(31)

b. Hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok. Masing masing kelompok terdiri dari 9 ekor mencit.

2. Pemberian perlakuan

Sejak hari ke-1 sampai dengan hari ke-7. Kelompok K, S, dan R diberi diet standar.

Masing-masing kelompok diberi perlakuan yang berbeda 3. Setelah perlakuan

Mencit diambil darahnya pada hari ke-8 dari sinus orbitalis, kemudian dilakukan penghitungan jumlah sel limfosit darah tepi secara manual dengan hapusan darah.

Alur penelitian secara umum :

Hitung jumlah sel limfosit darah tepi Hari ke - 8

mencit diambil darahnya

HARI KE 1 - 7 + Lactobacillus

reuteri HARI KE 1 - 7 Injeksi CI 4 mg/mencit

(intraperitonial) HARI KE 1 - 7

injeksi CI 4 mg/mencit (intraperitonial) DIET STANDAR Kelompok S Mencit 9 ekor Kelompok R Mencit 9 ekor MENCIT 27 EKOR

Kelompok K

Mencit 9 ekor


(32)

Ganbar 3.2 : Alur Penelitian

K. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan Post Hoc Test.

Uji ANOVA adalah uji membandingkan perbedaan mean pada lebih dari dua kelompok. Post Hoc Test membandingkan kelompok mean antara dua kelompok (Eko, 2001) .

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Setelah dilakukan pemeriksaan hitung limfosit dengan metode hapusan, didapatkan rata-rata hitung limfosit setiap 100 sel leukosit darah tepi pada masing-masing kelompok perlakuan seperti yang tertera pada tabel 4.1.


(33)

Gambar 4.2. Gambaran limfosit kelompok Sepsis dengan

pengecatan Wright-Giemsa perbesaran 400x Panah hitam menunjukkan limfosit

Gambar 4.1. Gambaran limfosit kelompok Kontrol dengan

pengecatan Wright-Giemsa perbesaran 400x Panah hitam menunjukkan limfosit

Tabel 4.1. Hitung limfosit setiap 100 sel leukosit darah tepi Mencit Balb/C

setelah perlakuan

Kelompok Rata-rata ± Standar Deviasi Kontrol (K) 82 ± 5,29

Sepsis (S) 80,7 ± 3,08 Sepsis + Lactobacillus reuteri (R) 79,8 ± 2,79

Pengamatan mikroskopis limfosit masing – masing kelompok dapat dilihat sebagai berikut :


(34)

B. Analisis Data

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hitung limfosit setiap 100 sel leukosit darah tepi dari kelompok kontrol 82 sel, kelompok sepsis 80,7 sel, dan kelompok sepsis+L. reuteri 79,8 sel.

Analisis statistik terhadap data hasil penelitian di atas dilakukan dengan One way ANOVA menggunakan program SPSS for Windows

Release 15.

Dari perhitungan statistik secara One way ANOVA terhadap rata-rata hitung limfosit antar kelompok perlakuan didapatkan p>0,05. Hal ini berarti rata-rata hitung limfosit antara kelompok kontrol, sepsis, dan kelompok

Gambar 4.3. Gambaran limfosit kelompok sepsis+L. reuteri

dengan pengecatan Wright-Giemsa, perbesaran 400x Panah hitam menunjukkan limfosit


(35)

sepsis+L. Reuteri secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, sehingga tidak dilanjutkan Post Hoc Test (LSD).

Gambar 4.4. Histogram rata-rata hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C

setelah perlakuan

BAB V PEMBAHASAN

Dari penelitian ini diperoleh rata-rata hitung limfosit darah tepi dari kelompok sepsis yang lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Hal ini membuktikan bahwa cecal inoculum mampu menyebabkan sepsis fase lanjut/hipodinamik, dimana pada keadaan tersebut terjadi penurunan sistem imun salah satunya karena apotosis limfosit. Hal ini sesuai dengan Chopra and Sharma (2007) yang dalam laporannya menyebutkan bahwa pada pemeriksaan kelompok sepsis hari ke-3 dan ke-7 ditemukan peningkatan ekspresi cytosolic active

K = kontrol S = Sepsis


(36)

caspase-3 yang merupakan jalur apoptosis sel serta peningkatan yang signifikan

dari rasio antara Bax dan BCl2 yang menunjukkan peningkatan apoptosis sel

(mitochondrial dependent apoptosis).

Apoptosis sel ini dapat diinduksi antara lain oleh sitokin (TNF-α, IL-1, dan IL-6), Fas ligand (FasL), radikal bebas oksigen, nitric oxide (NO). Mediator-mediator tersebut akan menyebabkan apoptosis sel dendritic, Gut associated

lymphoid tissue (GALT) dan limfosit. Dari penelitian Elena (2006) dan Javier

(2005) disebutkan bahwa overproduksi sitokin inflamasi yang menyebabkan apoptosis sel limfosit tersebut akan mensupresi sistem imun yang dapat mengakibatkan nekrosis jaringan, multiple organ failure, hingga kematian

Pemberian Lactobacillus reuteri pada keadaan sepsis akan menghambat induksi dari nuclear factor κ-B (NFκ-B) sehingga akan menghambat sinyal dan transkripsi sitokin proinflamasi, khemokin, adhesion dan faktor koagulasi. Menurut Galdeano (2007) dengan menurunkan produksi sitokin proinflamasi tersebut, L. reuteri dapat menghambat apoptosis sel limfosit pada Mencit Balb/C yang diinduksi dengan cecal inoculum. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Calder (2003) yang menyatakan bahwa Lactobacillus reuteri dapat digunakan sebagai immunomodulation yang dapat menghambat apoptosis sel imun, termasuk sel limfosit.

Akan tetapi dari penelitian ini didapatkan rata-rata hitung limfosit darah tepi kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri menunjukkan angka yang lebih rendah dari kelompok sepsis maupun dari kelompok kontrol. Pemberian L. reuteri


(37)

pada kelompok sepsis tidak terbukti dapat menurunkan apoptosis sel limfosit pada Mencit Balb/C yang diinduksi dengan cecal inoculum. Hal ini mungkin terjadi karena penghambatan apoptosis sel limfosit oleh L. reuteri secara kuantitas masih lebih rendah dari apoptosis sel limfosit yang terjadi. Sehingga walaupun tidak nampak peningkatan jumlah sel limfosit pada mencit kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri, bukan berarti tidak terjadi penghambatan apoptosis sel limfosit sama sekali. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis stasistik yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara rata-rata hitung limfosit darah tepi kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri dengan kelompok sepsis dan kelompok kontrol.

Pada penelitian ini secara kuantitas jumlah sel limfosit darah tepi kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri menunjukkan angka yang lebih rendah dari kelompok sepsis. Akan tetapi secara kualitas kemungkinan sel limfosit pada mencit kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri lebih baik dari kelompok sepsis. Hal ini dibuktikan dari penelitian Mirantika (2009) dengan obyek penelitian yang sama didapatkan bahwa pemberian L. reuteri pada mencit model sepsis dapat menurunkan derajat inflamasi usus secara bermakna. Sel limfosit di mukosa usus mencit tersebut dapat menghambat polimikroba secara kompetitif dan mencegah kolonisasi kuman enterik patogen secara efektif sehingga menginduksi terbentuknya Ig A sekretori. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Diding (2009) yang menyatakan bahwa pada kelompok sepsis+Lactobacillus


(38)

reuteri yang sama dengan penelitian ini terjadi peningkatan kadar Ig A serum

secara bermakna.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan pemberian Lactobacillus reuteri terhadap hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C model sepsis.

B. Saran

Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dengan metode dan parameter biomolekuler sehingga dapat lebih diketahui lebih mendalam tentang pengaruh pemberian Lactobacillus reuteri pada sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K. dan Lichtman, A. H., 2005. Cellular and Moleculer

Immunology. Elsevier Science, USA, pp : 264,433-451.

Arul MC., et al. 2001. Molecular Signatures of Sepsis Multiorgan Gene Expression Profiles of Systemic Inflammation. Am J Pathol. October; 159(4): 1199–1209.

Brahmbhatt S., Gupta A., Sharma AC. 2005. Bigendothelin-1 (1-21) Fragment during Early Sepsis Modulates tau, p38-MAPK Phosphorylation and


(39)

Nitric Oxide Synthase Activation. Molecular and Cellular Biochemistry. 271:225–237

Brooks G.F, Butel J, Morse A.S. 2003. Medical Microbiology Singapore: Mc Graw Hill Company, p: 217.

Brown AC and Valiere A. 2004. Probiotics and Medical Nutrition Therapy. Nutr

Clin Care, 7(2): 56-68.

Calder PC. 2003. Immunonutrition. In: David J W Knight. Increased mortality is associated with immunonutrition in sepsis. BMJ. July ;327:117-8.

Casas IA, Dobrogosz WJ.1997. Lactobacillus reuteri: An overview of a new probiotic for humans and animals. Microecol Therap; 25: 221–31.

Chang KC., et al. 2007. Multiple triggers of cell death in sepsis: death receptor and mitochondrialmediated apoptosis. FASEB J. 21, 708–719.

Chopra M. and Sharma AC. 2007. Distinct cardiodynamic and molecular characteristics during early and late stages of sepsis-induced myocardial dysfunction. Life Sci. July 4; 81(4): 306–316.

Diding HP, 2009. Analisis Lactobacillus reuteri terhadap Survival Rate, Inflamasi

Intestinal dan Ig A pada Mencit Balb/C Model Sepsis. Dibiayai DIPA

PNBP Fakultas Kedokteran 2009.

Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta:EGC, p : 1265.

Edwin SVA., Theo JCVB., and Johan K. 2003. Receptors, Mediators, and Mechanisms Involved in Bacterial Sepsis and Septic Shock. Clin

Microbiol Rev. July; 16(3): 379–414.

Eko Budiarto. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:EGC,p:226

Elena GR., Alejo C., Gema R., and Mario D. 2006. Corstatin, a new anti-inflammatory peptide with therapeutic effect on lethal endotoxemia. J Exp

Med. March; 20393): 563-571.

Galdeano MC., et al. 2007. Mechanism of Immunomodulation Induced by Probiotic Bacteria. Am J Clinical and Vaccine Immunology. 14:485-492. Gandasoebrata, R. 2001. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta:Dian


(40)

Guntur H, A.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi IV.In:Sudoyo et

al.(Eds).Penyakit Tropk Dan Infeksi:Sepsis.Jakarta:Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,pp:1840-1843.

Guntur HA. 2008. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan

Penatalaksanaan). Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Guyton and Hall. 1997. “Resistensi Tubuh terhadap infeksi: Leukosit, Granulosit, Sistem Makrofag-monosit, dan Inflamasi”. Dalam : Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran Edisi 9. Penerbit EGC, Jakarta,pp: 556-566.

James MJ., Naeem AA., and Edward A. 2005. Year in review in Critical Care, 2004: sepsis and multi-organ failure. Crit Care. 9(4): 409–413.

Jan W., et al. 2004. NF-κB- and AP-1-Mediated Induction of Human Beta Defensin-2 in Intestinal Epithelial Cells by Escherichia coli Nissle 1917: a Novel Effect of a Probiotic Bacterium. Infect Immun. October; 72(10): 5750–5758.

Javier C., et al. 2005. Role of Lipopolysaccharide and Cecal Ligation and Puncture on Blood Coagulation and Inflammation in Sensitive and Resistant Mice Models. Am J Pathol. April; 166(4): 1089–1098.

Jimmy F. P. et al. 2006. Apolipoprotein CI stimulates the response to lipopolysaccharide and reduces mortality in Gram-negative sepsis. FASEB

J. 20:E1560–E1569.

Jürgen B., et al. 2006. Effects of dopexamine on the intestinal microvascular blood flow and leucocyte activation in a sepsis model in rats. Crit

Care.10(4): R117.

Kristine M J., et al. 2007. Common TNF-α, IL-1β, PAI-1, uPA, CD14 and TRL4 polymorphism are not associated with disease severity or outcome from Gram negative sepsis. BMC Infect Dis. 7: 108.

Mirantika E. 2009. Hubungan Pemberian Lactobacillus reuteri dengan Derajat Inflamasi Ususpada Mencit Balb/C Model Sepsis Paparan Cecal

inoculums. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Molin G, Jeppsson B, Johansson M-L. 1993. Numerical taxonomy of

Lactobacillus reuteri associated to healthy and diseased mucosa of the


(41)

Nana Valeur, et al. 2004. Colonization and Immunomodulation by Lactobacillus reuteri ATCC 55730 in the Human Gastrointestinal Tract. Applied and

Environmental Microbiology, 70:1176-1181

Oscar C., et al. 2006. LL-37 Protects Rats against Lethal Sepsis Caused by Gram-Negative Bacteria. Antimicrob Agents Chemother. May; 50(5): 1672– 1679.

Purawisastra S. 2001. Penelitian Pengaruh Isolat Galaktomanan Kelapa terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Serum Kelinci. http://digilab.ekologi.litbang.depkes.go.id/office.php?m=bookmark&id=jk pkbppk-gdl-grey-2001-suryana-108-galaktomanan. (2 Februari 2009).

Ren J., Ren BH., Sharma AC. 2002. Sepsis-Induced Depressed Contractile Function of Isolated Ventricular Myocytes Is Due to Altered Calcium Transient Properties. Shock:Volume 18(3)September pp 285-288.

Robert J Boyle, Roy M Robins-Browne, and Mimi LK Tang. 2006. Probiotic use in clinical practice: what are the risks?. AmJ Clinical Nutrition, 83:1256– 64.

Ronald, SA ,Mcpherson.A.R. 2000. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan

Laboratorium edisi sebelas. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, p

:58.

Shahin G., Ole GK., Court P., and Svend SP. 2006. Procalcitonin, lipopolysaccharide-binding protein, interleukin-6 and C-reactive protein in community-acquired infections and sepsis: a prospective study. Critical

care, 10:R53

Shixin Qin, et al. 2006. Role of HMGB1 in apoptosis-mediated sepsis lethality. JEM. 203:1637-1642

Suhardjono, D., 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal:207.

Stryer, L. 2000. Biokimia.Vol 1. Penerbit EGC, Jakarta,p:375.

Taylor AL, Dunstan JA and Prescott SL. 2007. Probiotic Supplementation for the First 6 Months of Life Fails to Reduce the Risk of Atopic Dermatitis and Increases the Risk of Allergen Sensitization in High-Risk Children: A Randomized Controlled Trial. Journal of Allergy and Clinical


(42)

Thomas J., 2003. Formed Elements of Blood.

http://www.education.vetmed.vt.edu/.../Labs/Lab6/Lab6.htm.(18 Maret 2009)

Victor P. Eroschenko. 2003. Atlas Histologi di fiore dengan korelasi fungsional

Ed.9. Jakarta: EGC. Hal: 62-65.

Zukesti Effendi. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Tubuh.USU Digital Library.


(1)

pada kelompok sepsis tidak terbukti dapat menurunkan apoptosis sel limfosit pada Mencit Balb/C yang diinduksi dengan cecal inoculum. Hal ini mungkin terjadi karena penghambatan apoptosis sel limfosit oleh L. reuteri secara kuantitas masih lebih rendah dari apoptosis sel limfosit yang terjadi. Sehingga walaupun tidak nampak peningkatan jumlah sel limfosit pada mencit kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri, bukan berarti tidak terjadi penghambatan apoptosis sel limfosit sama sekali. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil analisis stasistik yang tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara rata-rata hitung limfosit darah tepi kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri dengan kelompok sepsis dan kelompok kontrol.

Pada penelitian ini secara kuantitas jumlah sel limfosit darah tepi kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri menunjukkan angka yang lebih rendah dari kelompok sepsis. Akan tetapi secara kualitas kemungkinan sel limfosit pada mencit kelompok sepsis+Lactobacillus reuteri lebih baik dari kelompok sepsis. Hal ini dibuktikan dari penelitian Mirantika (2009) dengan obyek penelitian yang sama didapatkan bahwa pemberian L. reuteri pada mencit model sepsis dapat menurunkan derajat inflamasi usus secara bermakna. Sel limfosit di mukosa usus mencit tersebut dapat menghambat polimikroba secara kompetitif dan mencegah kolonisasi kuman enterik patogen secara efektif sehingga menginduksi terbentuknya Ig A sekretori. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Diding (2009) yang menyatakan bahwa pada kelompok sepsis+Lactobacillus


(2)

reuteri yang sama dengan penelitian ini terjadi peningkatan kadar Ig A serum secara bermakna.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan pemberian Lactobacillus reuteri terhadap hitung limfosit darah tepi pada Mencit Balb/C model sepsis.

B. Saran

Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dengan metode dan parameter biomolekuler sehingga dapat lebih diketahui lebih mendalam tentang pengaruh pemberian Lactobacillus reuteri pada sepsis.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K. dan Lichtman, A. H., 2005. Cellular and Moleculer Immunology. Elsevier Science, USA, pp : 264,433-451.

Arul MC., et al. 2001. Molecular Signatures of Sepsis Multiorgan Gene Expression Profiles of Systemic Inflammation. Am J Pathol. October; 159(4): 1199–1209.

Brahmbhatt S., Gupta A., Sharma AC. 2005. Bigendothelin-1 (1-21) Fragment during Early Sepsis Modulates tau, p38-MAPK Phosphorylation and


(3)

Nitric Oxide Synthase Activation. Molecular and Cellular Biochemistry. 271:225–237

Brooks G.F, Butel J, Morse A.S. 2003. Medical Microbiology Singapore: Mc Graw Hill Company, p: 217.

Brown AC and Valiere A. 2004. Probiotics and Medical Nutrition Therapy. Nutr Clin Care, 7(2): 56-68.

Calder PC. 2003. Immunonutrition. In: David J W Knight. Increased mortality is associated with immunonutrition in sepsis. BMJ. July ;327:117-8.

Casas IA, Dobrogosz WJ.1997. Lactobacillus reuteri: An overview of a new probiotic for humans and animals. Microecol Therap; 25: 221–31.

Chang KC., et al. 2007. Multiple triggers of cell death in sepsis: death receptor and mitochondrialmediated apoptosis. FASEB J. 21, 708–719.

Chopra M. and Sharma AC. 2007. Distinct cardiodynamic and molecular characteristics during early and late stages of sepsis-induced myocardial dysfunction. Life Sci. July 4; 81(4): 306–316.

Diding HP, 2009. Analisis Lactobacillus reuteri terhadap Survival Rate, Inflamasi Intestinal dan Ig A pada Mencit Balb/C Model Sepsis. Dibiayai DIPA PNBP Fakultas Kedokteran 2009.

Dorland, W.A. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta:EGC, p : 1265.

Edwin SVA., Theo JCVB., and Johan K. 2003. Receptors, Mediators, and Mechanisms Involved in Bacterial Sepsis and Septic Shock. Clin Microbiol Rev. July; 16(3): 379–414.

Eko Budiarto. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:EGC,p:226

Elena GR., Alejo C., Gema R., and Mario D. 2006. Corstatin, a new anti-inflammatory peptide with therapeutic effect on lethal endotoxemia. J Exp Med. March; 20393): 563-571.

Galdeano MC., et al. 2007. Mechanism of Immunomodulation Induced by Probiotic Bacteria. Am J Clinical and Vaccine Immunology. 14:485-492. Gandasoebrata, R. 2001. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta:Dian


(4)

Guntur H, A.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi IV.In:Sudoyo et al.(Eds).Penyakit Tropk Dan Infeksi:Sepsis.Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,pp:1840-1843.

Guntur HA. 2008. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan). Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Guyton and Hall. 1997. “Resistensi Tubuh terhadap infeksi: Leukosit, Granulosit, Sistem Makrofag-monosit, dan Inflamasi”. Dalam : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit EGC, Jakarta,pp: 556-566.

James MJ., Naeem AA., and Edward A. 2005. Year in review in Critical Care, 2004: sepsis and multi-organ failure. Crit Care. 9(4): 409–413.

Jan W., et al. 2004. NF-κB- and AP-1-Mediated Induction of Human Beta Defensin-2 in Intestinal Epithelial Cells by Escherichia coli Nissle 1917: a Novel Effect of a Probiotic Bacterium. Infect Immun. October; 72(10): 5750–5758.

Javier C., et al. 2005. Role of Lipopolysaccharide and Cecal Ligation and Puncture on Blood Coagulation and Inflammation in Sensitive and Resistant Mice Models. Am J Pathol. April; 166(4): 1089–1098.

Jimmy F. P. et al. 2006. Apolipoprotein CI stimulates the response to lipopolysaccharide and reduces mortality in Gram-negative sepsis. FASEB J. 20:E1560–E1569.

Jürgen B., et al. 2006. Effects of dopexamine on the intestinal microvascular blood flow and leucocyte activation in a sepsis model in rats. Crit Care.10(4): R117.

Kristine M J., et al. 2007. Common TNF-α, IL-1β, PAI-1, uPA, CD14 and TRL4 polymorphism are not associated with disease severity or outcome from Gram negative sepsis. BMC Infect Dis. 7: 108.

Mirantika E. 2009. Hubungan Pemberian Lactobacillus reuteri dengan Derajat Inflamasi Ususpada Mencit Balb/C Model Sepsis Paparan Cecal inoculums. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Molin G, Jeppsson B, Johansson M-L. 1993. Numerical taxonomy of

Lactobacillus reuteri associated to healthy and diseased mucosa of the human intestines. J Appl Microbiology, 74: 314–23.


(5)

Nana Valeur, et al. 2004. Colonization and Immunomodulation by Lactobacillus reuteri ATCC 55730 in the Human Gastrointestinal Tract. Applied and Environmental Microbiology, 70:1176-1181

Oscar C., et al. 2006. LL-37 Protects Rats against Lethal Sepsis Caused by Gram-Negative Bacteria. Antimicrob Agents Chemother. May; 50(5): 1672– 1679.

Purawisastra S. 2001. Penelitian Pengaruh Isolat Galaktomanan Kelapa terhadap

Penurunan Kadar Kolesterol Serum Kelinci.

http://digilab.ekologi.litbang.depkes.go.id/office.php?m=bookmark&id=jk pkbppk-gdl-grey-2001-suryana-108-galaktomanan. (2 Februari 2009).

Ren J., Ren BH., Sharma AC. 2002. Sepsis-Induced Depressed Contractile Function of Isolated Ventricular Myocytes Is Due to Altered Calcium Transient Properties. Shock:Volume 18(3)September pp 285-288.

Robert J Boyle, Roy M Robins-Browne, and Mimi LK Tang. 2006. Probiotic use in clinical practice: what are the risks?. AmJ Clinical Nutrition, 83:1256– 64.

Ronald, SA ,Mcpherson.A.R. 2000. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium edisi sebelas. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, p :58.

Shahin G., Ole GK., Court P., and Svend SP. 2006. Procalcitonin, lipopolysaccharide-binding protein, interleukin-6 and C-reactive protein in community-acquired infections and sepsis: a prospective study. Critical care, 10:R53

Shixin Qin, et al. 2006. Role of HMGB1 in apoptosis-mediated sepsis lethality. JEM. 203:1637-1642

Suhardjono, D., 1995. Percobaan Hewan Laboratorium. Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal:207.

Stryer, L. 2000. Biokimia.Vol 1. Penerbit EGC, Jakarta,p:375.

Taylor AL, Dunstan JA and Prescott SL. 2007. Probiotic Supplementation for the First 6 Months of Life Fails to Reduce the Risk of Atopic Dermatitis and Increases the Risk of Allergen Sensitization in High-Risk Children: A Randomized Controlled Trial. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 119: 184-191.


(6)

Thomas J., 2003. Formed Elements of Blood. http://www.education.vetmed.vt.edu/.../Labs/Lab6/Lab6.htm.(18 Maret 2009)

Victor P. Eroschenko. 2003. Atlas Histologi di fiore dengan korelasi fungsional Ed.9. Jakarta: EGC. Hal: 62-65.

Zukesti Effendi. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Tubuh.USU Digital Library.