Efisiensi Pemupukan Fosfor Menggunakan Isolat Fma Lokal Di Lahan Pasang Surut Untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai

EFISIENSI PEMUPUKAN FOSFOR MENGGUNAKAN
ISOLAT FMA LOKAL DI LAHAN PASANG SURUT UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI

RIDWAN MUIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

DRAFT DISERTASI
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Efisiensi Pemupukan Fosfor
Menggunakan Isolat FMA Lokal di Lahan Pasang Surut untuk Meningkatkan
Produktivitas Kedelai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus

2016

Ridwan Muis
NRP A262110041

ii

RINGKASAN
RIDWAN MUIS. Efisiensi Pemupukan Fosfor Menggunakan Isolat FMA Lokal di
Lahan Pasang Surut untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai. Dibimbing oleh
MUNIF GHULAMAHDI, MAYA MELATI, PURWONO dan IRDIKA
MANSUR.
Kebutuhan nasional terhadap kedelai terus meningkat, namun produksi dalam
negeri belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi yang kontradiktif ini
terjadi karena laju peningkatan produksi kedelai yang sangat lamban, sedangkan
penyusutan areal tanam terjadi sangat cepat. Oleh karena itu produksi dalam negeri

hanya mampu memenuhi 30 % dari kebutuhan nasional, sehingga peningkatan
produksi harus ditempuh melalui ekstensifikasi. Ekstensifikasi dapat dilakukan
pada lahan pasang surut.
Lahan pasang surut yang didominasi lahan sulfat masam merupakan potensi
besar yang dapat digunakan sebagai perluasan areal tanam pangan berkaitan dengan
pesatnya alih fungsi lahan untuk aktivitas non pertanian seperti pemukiman,
fasilitas sosial dan sebagainya. Potensi ini semakin terbuka lebar, karena baru lebih
kurang 10 % dari 6.6 juta hektar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Lahan
pasang surut ini mengandung senyawa pirit, bila teroksidasi maka kelarutan ion H+,
Fe3+ dan gugus asam sulfat meningkat, sehingga dapat bersifat racun bagi tanaman.
Ketersediaan fosfat rendah karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk
besi fosfat atau aluminium fosfat. Kejenuhan basa rendah, pH tanah rendah dan
kahat unsur hara. Kandungan P total tinggi, karena kecilnya kemampuan tanaman
dalam memanfaatkan unsur P melalui pemupukan, sehingga sebagian besar P
terikat dalam tanah.
Kandungan P total yang tinggi pada lahan pasang surut, diupayakan untuk
dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman dengan menggunakan Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA), sehingga pemupukan P dapat lebih efisien. Fungi mikoriza
arbuskula menghasilkan
asam organik dan enzim fosfatase yang dapat

meningkatkan P terlarut. Bagian yang penting dari sistem mikoriza adalah hifa
eksternal yang berperan dalam penyerapan unsur hara bagi tanaman. Adanya FMA
menyebabkan jarak yang ditempuh oleh hara tanaman untuk berdifusi dari tanah
ke akar dapat diperpendek. Oleh karena itu pemanfaatan FMA pada budidaya
kedelai merupakan tindakan agronomi yang mungkin untuk dilakukan.
Pemanfaatan FMA pada budidaya kedelai di lahan pasang surut dilakukan
melalui serangkaian percobaan. Rangkaian percobaan tersebut adalah: 1) Isolasi
fungi mikoriza arbuskula dari rizosfer tanaman kedelai pada lahan pasang surut, 2)
Keragaman fungi mikoriza arbuskula hasil trapping dengan menggunakan tanaman
inang yang berbeda, 3) Kompatibilitas sumber inokulan fungi mikoriza arbuskula
lokal pada tanaman kedelai dengan budidaya jenuh air dan budidaya konvensional,
4) Uji penggunaan fungi mikoriza arbuskula lokal untuk efisiensi pemupukan fosfor
tanaman kedelai pada budidaya konvensional di lahan pasang surut dan 5) Uji
penggunaan fungi mikoriza arbuskula lokal untuk efisiensi pemupukan fosfor
tanaman kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Percobaan
dilakukan di Kelurahan Simpang Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Provinsi Jambi.
Hasil pengamatan jumlah spora memperlihatkan bahwa jumlah spora yang
diperoleh sebelum trapping (Percobaan 1), lebih rendah dan speciesnya lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah spora dan species yang diperoleh sesudah

trapping (Percobaan 2). Hal ini diduga karena sebelum ditrapping miselium FMA
dalam tanah dan akar kedelai belum berkembang secara maksimal. Setelah

iii
ditrapping maka miselia-miselia di dalam tanah berkembang dengan baik didukung
oleh kondisi lingkungan serta kebutuhan metabolit hara yang cukup sehingga spora
berkembang baik dan keragamannya menjadi meningkat. Jenis spora yang
ditemukan sebelum trapping adalah Glomus fasciculatum dan Glomus
fecundisporum. Setelah trapping adalah: Glomus macrocarpum, Glomus
fasciculatum, Glomus clarum, Glomus fecundisporum, Septoglomus constrictum,
Acaulospora scrobiculata, dan Acaulospora tuberculata. Jenis-jenis FMA yang
berasosiasi dengan tanaman inang Zea mays, Sorghum bicolor, Pueraria javanica,
Glycine max var. Tanggamus, Glycine max var. Anjasmoro, Glycine max var.
Slamet, Glycine max var. Wilis, Glycine max Galur Sibayak Pangrango dan
Glycine max galur Pangrango Godek.
Penelitian kompatibilitas sumber inokulan dengan tanaman kedelai pada dua
cara budidaya (Percobaan 3) menunjukkan bahwa interaksi budidaya jenuh air
dengan FMA yang berasal dari rizosfer tanaman jagung meningkatkan serapan
hara, pertumbuhan dan produksi kedelai. Hal ini dicerminkan oleh infektivitas dan
efektivitas inokulum. Secara tunggal, sumber inokulan dan budidaya jenuh air juga

meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi kedelai. Hasil percobaan
ini menunjukkan kedelai bermikoriza berpotensi untuk meningkatkan produktivitas
kedelai di lahan pasang surut.
Uji penggunaan isolat FMA lokal di lahan pasang surut pada budidaya
konvensional dilakukan menggunakan varietas Anjasmoro dan varietas Tanggamus
dengan taraf dosis P yang berbeda (Percobaan 4). Pemilihan varietas Anjasmoro
karena sudah tersosialisasi dengan baik di kalangan petani, sedangkan varietas
Tanggamus merupakan varietas kedelai yang memiliki daya adaptasi luas di lahan
pasang surut pada berbagai pengujian dan penelitian. Dosis P yang dicobakan
adalah 0, 36, 72 dan 108 kg P2O5 ha-1 untuk melihat pengurangan jumlah pupuk
yang diberikan akibat pemanfaatan FMA lokal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa FMA lokal pada varietas Tanggamus dengan 36 kg P2O5 ha-1 meningkatkan
produktivitas kedelai (17.61 %) dan efisiensi pemupukan P (72%).
Untuk meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut, perlu diuji
adaptasi FMA pada budidaya jenuh air (Percobaan 5). Oleh karena itu percobaan
penggunaan isolat FMA untuk varietas Tanggamus dan Anjasmoro dengan 4 taraf
dosis P juga dilakukan pada budidaya jenuh air. Budidaya jenuh air merupakan
penanaman di atas bedengan dengan memberikan air secara terus menerus dengan
kedalaman air 20 cm dari permukaan bedengan pada kedalaman parit 25 cm,
sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air tetapi tidak tergenang. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pada rata-rata dua varietas, FMA mampu
beradaptasi dengan kondisi jenuh air, sehingga memberikan kontribusi
meningkatkan P tersedia (103.38%), serapan hara P (4.66%), dan produksi kedelai
(38.86%), dibandingkan dengan budidaya konvensional.
Tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan budidaya jenuh air mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dengan produktivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan budidaya konvensional lahan kering, karena mendapatkan lengas dalam
jumlah cukup sepanjang hidupnya serta mengalami penundaan penuaan dan
perpanjangan fase reproduktif. Uji t yang dilakukan untuk membandingkan
beberapa nilai peubah yang sama antara budidaya jenuh air dengan budidaya
konvensional, menunjukkan bahwa produksi kedelai dengan budidaya jenuh air
sebesar 3.43 ton ha-1 sedangkan dengan budidaya konvensional dengan hasil 2.47
ton ha-1.
Kata kunci: budidaya konvensional, budidaya jenuh air, lahan sulfat masam, pirit,
pemerangkapan

iv

SUMMARY
RIDWAN MUIS. Phosphorus Fertilizer Efficiency Using Local Arbuscular

Mycorrhiza Fungi Isolates in Tidal Land to Increase Soybeans Productivity.
Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, MAYA MELATI, PURWONO and
IRDIKA MANSUR.
National needs for soybean continuously increase, but domestic production
has not been able to meet those needs. This contradictory condition occurs because
low rate of soybean production while the decline of planting area occurs very
rapidly. Therefore, domestic production is only able to meet 30% of the national
needs. Increase in soybean production can be reached through land extension, for
example on tidal land.
Tidal swampland has a potency for agriculture because only around 10% of
the 6.6 million hectares has been used for agriculture. However tidal land has a
constraint for plant cultivation because the land constrains pyrite and when
oxidized, the solubility of H+ ions, Fe3+ and sulfuric acid groups increases, wich is
toxic to plants. The availability of phosphate is low because bound by iron or
aluminum in the form of iron phosphate or aluminum phosphate. Other soil
characteristic are low of base saturation, soil pH, and available nutrients. Total P
content is high (from fertilizer), because it is bound in the soil and low capacity of
plant to absorb.
High total P content in tidal land may be used for plant growth through the
use of Arbuscular Mycorrhiza Fungi (AMF) that make P fertilization can be more

efficient. Arbuscular mycorrhiza fungi produce organic acids and phosphatase
enzymes that increase dissolved P. An important part of the hyphae system of AMF
is external mycorrhiza for nutrients absorption. AMF shortened the distance
travelled by plant nutrients to diffuse from soil to roots. Therefore, the use of AMF
is possible in soybean cultivation.
Utilization of AMF in soybean cultivation on tidal land was conducted
through series of experiment, namely: 1) AMF isolation from soybean rhizosphere
on tidal land, 2) Diversity of AMF from trapping by using different host plants, 3)
Compatibility of local AMF source on soybean with saturated soil culture and
conventional cultivation, 4) Test of local AMF for phosphorous fertilizer efficiency
on soybean using conventional cultivation in tidal land and 5) Test of local AMF
for phosphorous fertilizer efficiency on soybean using saturated soil culture in tidal
land. All experiments were conducted in Simpang Village, District of Berbak,
Regency of East Tanjung Jabung, Jambi Province.
Observation on the number of spores and AMF species showed that the
number obtained before trapping (Experiment 1), the number of spores and local
AMF species from soybean rhizosphere were lower than those of after trapping
(Experiment 2). This is presumably because before trapping AMF, mycelium in the
soil and roots of soybeans have not been fully developed. After trapping, mycelia
in the soil developed well supported by environmental conditions and sufficient

nutrient metabolite that makes the spores developed well and and the diversity
increased. The species of AMF before trapping were Glomus fasciculatum and
Glomus fecundisporum. The species after trapping were Glomus macrocarpum,
Glomus fasciculatum, Glomus clarum,Glomus fecundisporum, Septoglomus
constrictum, Acaulospora scrobiculata, and Acaulospora tuberculata. The host

v
plants were Zea mays are Sorghum bicolor, Pueraria javanica, Glycine max var.
Tanggamus, Glycine max var. Anjasmoro, Glycine max var. Slamet, Glycine max
var. Wilis, Glycine max Sibayak Pangrango Strain and Glycine max Pangrango
Godek Strain.
Compatibility experiment with inoculants source treatments and cultivation
technique (Experiment 3) shows that interaction of saturated soil culture with AMF
inoculants source increases nutrient uptake, growth and production of soybean. This
reflects the effectiveness and infectivity of inoculums as result of AMF propagation
from various host plants. Individually, inoculants sources and water-saturated
cultivation is also improves nutrient uptake, growth and production of soybean.
This finding shows that soybean inoculated with AMF can increase soybean
productivity in tidal land.
Test on the use of local AMF isolate in tidal land on conventional cultivation

is performed using Anjasmoro and Tanggamus varieties with different P rates
(Experiment 4). Anjasmoro was selected because it has been known well among
farmers, while Tanggamus have broad adaptability on tidal land. Study of P
reduction due to local AMF inoculation were conducted at various P doses namely
0, 36, 72 and 108 kg P2O5 ha-1. The results showed that local AMF on Tanggamus
treated with 36 kg P2O5 ha-1 was able to increase soybean yield as much as 17.61%
and P fertilizer efficiency 72%.
To increase soybean productivity in tidal land, it is necessary to test AMF
adaptation with saturated soil culture (Experiment 5). Therefore the experiment
with the use of AMF isolates for Tanggamus and Anjasmoro varieties with 4 doses
of P were also performed on saturated soil culture. Saturated soil culture is planting
over the beds saturated with water continuously at depth of 20 cm below the soil
surface of soil beds, the trench depth was 25 cm. Soil under the roots become water
saturated but not flooded. The results showed that AMF is able to adapt to saturated
soil culture conditions, thus increase the available P (103.38%), uptake P (4.66%),
and soybean production (38.86%), compared to those of conventional cultivation.
Soybean under saturated soil culture have faster growth and higher
productivity compared to those of conventional, because of sufficient soil moisture
throughout plants life, delayed aging and prolonged the reproductive phase. T tests
to compare the same variables between saturated soil culture and conventional

cultivation showed that yield of soybean with saturated soil culture was 3.43 tons
ha-1, or higher than with conventional cultivation, namely 2.47 tons ha-1.
Keywords: conventional cultivation, saturated soil culture, acid sulphate soil,
pyrite, trapping.

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

EFISIENSI PEMUPUKAN FOSFOR MENGGUNAKAN
ISOLAT FMA LOKAL DI LAHAN PASANG SURUT UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KEDELAI
EFFICIENCY OF PHOSPHATE FERTILIZATION USING LOCAL AMF
ISOLATE IN THE TIDAL SWAMPLAND TO IMPROVE PRODUCTIVITY
OF SOYBEAN

RIDWAN MUIS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1.
2.

Prof. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS.
Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS.

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
1.
2.

Prof. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS.
Dr. Ir. Dedy Nursyamsi, MS.

ix
Judul Disertasi : Efisiensi Pemupukan Fosfor Menggunakan Isolat FMA Lokal
di Lahan Pasang Surut untuk Meningkatkan Produktivitas
Kedelai
Nama
: Ridwan Muis
NIM
: A262110041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS
Ketua

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Anggota

Dr Ir Purwono, MS
Anggota

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup:
18 Juli 2016

Tanggal Lulus:

Tanggal Sidang Promosi:
16 Agustus 2016

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
karena atas rahmat dan hidayah-nya, disertasi berjudul Efisiensi Pemupukan Fosfor
Menggunakan Isolat FMA Lokal di Lahan Pasang Surut untuk Meningkatkan
Produktivitas Kedelai ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan rangkaian
penelitian yang dimulai dengan Isolasi dan Karakterisasi FMA dari rizosfer
tanaman kedelai lokal, trapping FMA dan kompatibilitas isolat asal sumber
tanaman inang yang berbeda pada budidaya konvensional dan budidaya jenuh air
serta percobaan lapangan untuk meneliti inokulasi FMA, varietas kedelai dan dosis
P di tanah mineral lahan pasang surut tipe C, Kecamatan Berbak Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Penelitian dilaksanakan mulai dari Agustus
2013 sampai September 2014.
Artikel ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini dengan judul:
“Diversity of Arbuscular Mycorrhiza Fungi from Trapping using Different Host
Plant “ telah diterbitkan pada International Journal of Sciences: Basic and Applied
Research (IJSBAR) Vol. 27 No. 2 Hlm 158 – 169 Juni 2016. Artikel ilmiah yang
berjudul: “Kompatibilitas Sumber Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula pada
Kedelai dengan Budidaya jenuh Air dan Budidaya Konvensional” telah submit dan
dalam proses review dalam Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Munif
Ghulamahdi, MS, selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Maya Melati, MS.,
MSc, Dr. Ir. Purwono, MS. dan Dr. Ir. Irdika Mansur MForsSc. selaku anggota
komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan serta perhatian
yang penuh dan pengertian yang sempurna terhadap kekurangan penulis selama
dalam proses bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir. Yadi Setiadi, Ibu
Nurfaiqah, Ibu Susan, dan Ibu Nana di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan
Lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Dr. Ir.
Kartini Karmadibrata dan Mas Idang di Laboratorium Kriptogam LIPI Cibinong,
Dr. Rully di laboratorium Anatomi Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kemenhut, Bogor, serta PPL
Kelurahan Simpang Pak Susanto, Pak Sunarto, Pak Tarji dan petani Kelompok Tani
Mukti Jaya di Kelurahan Simpang yang telah banyak membantu pelaksanaan
penelitian ini.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada isteri dan anak-anak
tercinta yang telah bersabar dalam penantian. Semoga semua pihak yang telah
banyak membantu penulis yang tidak dapat dsebutkan satu persatu diberikan
ganjaran pahal tiada batas oleh Allah Yang Maha Penyayang. Semoga disertasi ini
mampu memberikan kontribusi dalam khazanah pengetahuan. Aamiin.

Bogor, Agustus

2016

Ridwan Muis

xii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian
Novelty

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Lahan Pasang Surut
Fungi Mikoriza arbuskula
Budidaya Jenuh Air pada Kedelai
Peranan P terhadap Pertumbuhan Tanaman

9
9
9
11
16
17

3

ISOLASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI RIZOSFIR
TANAMAN KEDELAI PADA LAHAN PASANG SURUT
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Prosedur Kerja
Pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19
20
20
21
21
21
22
22
22
23
26
26
26

KERAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA HASIL
TRAPPING DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN INANG
YANG BERBEDA
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar belakang

27
27
27
28
28

4

1
1
6
6
6
7
8

xiii

5

6

Tujuan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Prosedur Kerja
Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

30
30
30
30
30
31
31
31
40
40
40

UJI KOMPATIBILITAS SUMBER INOKULAN FUNGI MIKORIZA
ARBUSKULA PADA TANAMAN KEDELAI DENGAN BUDIDAYA
JENUH AIR DAN BUDIDAYA KONVENSIONAL
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Prosedur kerja
Rancangan penelitian
Pengamatan
Analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN
Simpulan

41
41
41
42
42
44
44
44
44
44
45
45
45
45
57
57

UJI PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK
EFISIENSI PEMUPUKAN FOSFOR TANAMAN KEDELAI PADA
BUDIDAYA KONVENSIONAL DI LAHAN PASANG SURUT
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Prosedur Kerja
Rancangan Penelitian
Pengamatan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN

58
58
58
59
59
61
61
61
61
61
62
62
62
63
78

xiv
Simpulan
Saran

78
79

7

UJI PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA UNTUK
EFISIENSI PEMUPUKAN FOSFOR TANAMAN KEDELAI PADA
BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT
80
ABSTRACT
80
ABSTRAK
80
PENDAHULUAN
81
Latar belakang
81
Tujuan
83
BAHAN DAN METODE
83
Tempat dan Waktu
83
Bahan dan Alat
84
Prosedur Kerja
84
Rancangan Penelitian
84
Pengamatan
85
Analisis Data
85
HASIL DAN PEMBAHASAN
85
SIMPULAN DAN SARAN
100
Simpulan
100
Saran
101

8

PEMBAHASAN UMUM

102

9

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

116
116
116

DAFTAR PUSTAKA

117

LAMPIRAN

130

xv

DAFTAR TABEL
3.1
3.2
3.3
4.1
4.2

4.3
4.4
4.5
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
5.14
6.1

Hasil analisis tanah sebelum penelitian
Daftar jenis-jenis FMA yang diisolasi tanah rizosfer kedelai lahan
pasang surut
Jumlah spora dalam 25 gram tanah
Pengaruh jenis tanaman inang terhadap jenis dan kelimpahan spora
FMA 90 hst
Daftar jenis-jenis FMA yang bersimbiosis dengan tanaman inang, hasil
dari isolasi tanah rizosfer kedelai lahan pasang surut dan
pemerangkapan
Kolonisasi akar, bobot inokulum, bobot basah akar dan bobot kering
akar pada trapping FMA dengan tanaman inang yang berbeda
Kadar N akar, P akar, K akar, N tanaman, P tanaman dan K tanaman
pada trapping FMA
Dinamika sporulasi FMA pada 70 hst, 80 hst dan 90 hst pada trapping
FMA dengan menggunakan tanaman inang yang berbeda
Kadar P tanaman kedelai pada berbagai cara budidaya dan inokulan asal
inang yang berbeda
Serapan tanaman kedelai pada berbagai cara budidaya dan inokulan asal
inang yang berbeda
Efisiensi relatif inokulan tanaman kedelai pada berbagai cara budidaya
dan inokulan asal inang yang berbeda
Pengaruh cara budidaya terhadap kadar N, kadar K, serapan N dan
serapan K tanaman kedelai
Pengaruh sumber inokulan FMA terhadap kadar N, kadar K, serapan N
dan serapan K tanaman kedelai
Efisiensi relatif serapan hara P tanaman kedelai pada berbagai cara
budidaya dan inokulan asal inang yang berbeda
Bobot kering brangkasan kedelai pada berbagai cara budidaya dan
inokulan asal inang yang berbeda
Kolonisasi akar kedelai pada berbagai cara budidaya dan inokulan asal
inang yang berbeda
Pengaruh cara budidaya terhadap diameter batang kedelai
Pengaruh sumber inokulan FMA terhadap diameter batang dan jumlah
cabang kedelai
Pengaruh cara budidaya terhadap umur berbunga, umur panen dan
jumlah polong hampa kedelai
Pengaruh sumber inokulan FMA terhadap umur berbunga, jumlah
polong hampa dan bobot 100 biji kedelai
Jumlah polong isi kedelai pada berbagai cara budidaya dan inokulan
asal inang yang berbeda
Bobot kering biji kedelai pada berbagai cara budidaya dan inokulan asal
inang yang berbeda
P tersedia tanah pada inokulasi FMA, beberapa varietas kedelai dan
berbagai dosis P

23
24
25
32

34
34
36
37
46
46
47
48
49
50
50
51
51
52
53
54
54
55
63

xvi
6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
6.9
6.10
6.11
6.12
6.13
6.14
6.15
6.16
6.17
6.18
6.19
6.20
6.21
6.22

7.1
7.2
7.3
7.4
7.5

Serapan P tanaman kedelai pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
Kadar P tanaman kedelai pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
Efisiensi relatif serapan hara P pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
Efisiensi penggunaan pupuk P pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
Serapan N dan efisiensi relatif inokulan kedela pada inokulasi FMA
Kadar N tanaman, serapan N tanaman, serapan K tanaman dan efisiensi
relatif inokulan kedelai pada berbagai varietas kedelai
Kolonisasi akar, diameter batang dan tinggi tanaman kedelai pada
inokulasi FMA
Pengaruh varietas kedelai terhadap kolonsasi akar, tinggi tanaman an
jumlah cabang kedelai
Pengaruh dosis P terhadap kolonisasi akar dan tinggi tanaman kedelai
Tinggi tanaman pada inokulasi FMA dan beberapa varietas kedelai
Pengaruh varietas kedelai terhadap umur berbunga, umur panen, jumlah
polong isi dan jumlah polong hampa kedelai
Pengaruh inokulasi FMA terhadap jumlah polong isi dan jumlah polong
hampa kedelai
Jumlah polong isi kedelai pada inokulasi FMA dan berbagai dosis P
Jumlah polong hampa kedelai pada inokulasi FMA dan beberapa
varietas kedelai
Pengaruh dosis P terhadap jumlah polong isi dan jumah polong hampa
kedelai
Pengaruh inokulasi FMA terhadap bobot 100 biji, bobot biji per petak,
bobot biji per hektar dan efisiensi relatif inokulan kedelai
Pengaruh varietas kedelai terhadap bobot 100 biji, bobot biji per petak,
bobot biji per hektar dan efisiensi relatif inokulan kedelai
Pengaruh dosis P terhadap bobot 100 biji, bobot biji per petak, bobot
biji per hektar dan efisiensi relatif inokulan kedelai
Bobot biji per petak kedelai pada inokulasi FMA dan berbagai dosis P
Bobot biji perhektar kedelai pada inokulasi FMA dan berbagai dosis P
Penentuan dosis optimum pupuk P tanaman kedelai dengan inokulasi
dan tanpa inokulasi FMA pada budidaya konvensional berdasarkan
peubah bobot biji
P tersedia tanah pada inokulasi FMA, berbagai varietas kedelai dan
dosis P
Serapan P tanaman kedelai pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
Kadar P tanaman kedelai pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
Efisiensi relatif inokulan kedelai pada inokulasi FMA, beberapa
varietas kedelai dan berbagai dosis P
Efisiensi relatif serapan hara P tanaman kedelai pada inokulasi FMA,
beberapa varietas kedelai dan berbagai dosis P

64
65
68
69
69
70
71
71
72
73
73
74
74
74
75
75
76
76
77
77

78
86
86
87
88
88

xvii
7.6
7.7
7.8
7.9
7.10
7.11
7.12
7.13
7.14
7.15
7.16
7.17
7.18
7.19
7.20
7.21
7.22
7.23
7.24

8.1

Efisiensi penggunaan pupuk P pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
89
Pengaruh inokulasi FMA terhadap kolonisasi akar dan bobot kering
brangkasan kedelai
90
Tinggi tanaman kedelai pada inokulasi FMA dan berbagai dosis P
91
Pengaruh varietas kedelai terhadap kolonisasi akar dan bobot kering
brangkasan kedelai
91
Pengaruh dosis P terhadap boot kering brangkasan kedelai
91
Diameter batang kedelai pada inokulasi FMA, beberapa varietas
kedelai dan berbagai dosis P
93
Jumlah cabang kedelai pada inokulasi FMA, beberapa varietas kedelai
dan berbagai dosis P
93
Umur berbunga kedelai pada inokulasi FMA dengan beberapa varietas
kedelai
94
Umur panen kedelai pada interaksi inokulasi FMA dengan varietas
kedelai
94
Umur berbunga kedelai pada interaksi varietas kedelai dengan dosis
P
95
Umur panen kedelai pada interaksi varietas kedelai dengan dosis P
95
Umur berbunga dan umur panen kedelai pada interaksi inokulasi FMA
dengan dosis P
95
Jumlah polong isi pada interaksi inokulasi FMA dengan dosis P
96
Jumlah polong hampa pada interaksi inokulasi FMA dengan varietas
kedelai
96
Bobot 100 biji kedelai pada interaksi inokulasi FMA dengan dosis P
97
Bobot biji kedelai per petak kedelai pada interaksi inokulasi FMA
dengan dosis P
97
Pengaruh varietas kedelai terhadap bobot 100 biji, bobot biji per petak
dan bobot biji per hektar kedelai
98
Bobot biji kedelai per hektar pada interaksi inokulasi FMA dengan
dosis P
99
Penentuan dosis optimum pupuk P tanaman kedelai dengan inokulasi
dan tanpa inokulasi FMA pada budidaya jenuh air berdasarkan peubah
bobot biji
99
Uji t student antar peubah budidaya jenuh air dengan budidaya
konvensional
112

xviii

DAFTAR GAMBAR
1.1
1.2
3.1
4.1
4.2

5.1
5.2
5.3
5.4
6.1
6.2

Kerangka pemikiran
Bagan Alir Penelitian
Species FMA a. Glomus fasciculatum dan b. Glomus fecundisporum
Penampang longitodinal akar yang terinfeksi fungi mikoriza
Jenis-jenis FMA yang berasosiasi dengan tanaman inang, hasil dari
isolasi tanah rizosfer kedelai dan pemerangkapan A. Glomus
macrocarpum; B. Glomus fasciculatum; C. Glomus clarum; D. Glomus
fecundisporum; E. Septoglomus constrictum; F. Acaulospora
scrobiculata; G. Acaulospora tuberculata.
Korelasi kadar P kedelai dengan bobot kering brangkasan kedelai
Korelasi kadar P kedelai dengan efisiensi relatif serapan hara P kedelai
Korelasi kadar P kedelai dengan bobot kering biji kedelai
Korelasi kadar P kedelai dengan serapan P kedelai
Efisiensi relatif inokulan kedelai pada berbagai varietas kedelai dengan
inokulasi FMA
Efisiensi relatif inokulan kedelai pada berbagai dosis P dengan inokulasi
FMA

4
5
24
28

35
56
56
56
57
66
66

xix

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.

Rangkuman F hitung Kompatibilitas
Rangkuman F hitung budidaya konvensional
Rangkuman F hitung budidaya jenuh air
Suhu rata-rata (0C) Bulan Mei – September 2014 di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Provinsi Jambi
5. Curah Hujan (mm) Bulan Mei – September 2014 di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Provinsi Jambi
6. Kelembaban rata-rata (%) Bulan Mei – September 2014 di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
7. Trapping fungi mikoriza arbuskula
8. Budidaya Jenuh Air kedelai di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Provinsi Jambi
9. Penerapan budidaya jenuh air pada tanaman kedelai, kerjasama
Kementerian Pertanian Republik Indonesia dengan Institut Pertanian
Bogor di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi Juni –
September 2016 seluas 500 hektar
10. Riwayat Hidup

129
130
131
132
133
134
135
138

143
144

xx

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun, namun peningkatan
kebutuhan tersebut belum diikuti oleh ketersediaan pasokan yang mencukupi dari
produksi kedelai domestik. Data menunjukkan bahwa perkembangan produksi
kedelai di Indonesia selama 3 tahun terakhir menurun tajam dengan laju rata-rata
8.7% (BPS 2013). Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui: (1)
Intensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas dari 1.2 ton/ha saat ini menjadi
lebih dari 2 ton/ha. Peningkatan produktivitas selalu dihadapkan kepada masalah
teknologi budidaya yang diterapkan petani, karakteristik lahan dan kondisi sosial
ekonomi petani.
(2) Ekstensifikasi, untuk meningkatkan perluasan areal
pertanaman yaitu dari 0.6 juta hektar menjadi dua atau tiga kali lipat. Perluasan
areal tanam terhambat oleh kondisi lahan baik karena kesuburan tanah, topografi,
iklim dan adanya persaingan penggunaan lahan untuk komoditas lain, termasuk alih
fungsi lahan. Oleh karena itu perluasan areal tanam diarahkan pada lahan sub
optimal seperti lahan pasang surut.
Pemilihan lahan pasang surut untuk perluasan areal tanam didasarkan pada
kenyataan bahwa lahan pasang surut merupakan areal yang masih minimal
mengalami alih fungsi lahan karena memiliki berbagai keterbatasan baik ekonomi
sosial maupun teknis. Lahan pasang surut juga umumnya terletak jauh di pedalaman
dengan akses transportasi yang jauh dari memadai, sehingga kurang diminati dan
tidak dilirik oleh para investor sebagai basis aktivitas mereka. Ditinjau dari segi
budidaya tanaman, lahan pasang surut merupakan lahan sub optimal, karena
memiliki keterbatasan yang memerlukan penanganan seksama seperti adanya
lapisan pirit, pH rendah, kahat unsur hara, KTK rendah, namun bila mendapat
sentuhan tindak agronomi yang tepat maka produktivitas lahan pasang surut cukup
menjanjikan, karena memiliki ketersediaan air maupun cahaya matahari yang
banyak.
Menurut Sabran et al. (2000), di Indonesia terdapat sekitar 20.1 juta ha lahan
pasang surut, tersebar di 4 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Irian Jaya. Seluas 5.6 juta ha lahan pasang surut tersebut sesuai untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian, sedangkan 2.6 juta ha berpotensi untuk
pengembangan dalam skala besar. Dua juta ha dari lahan pasang surut di Indonesia
tergolong tipologi potensial, 10.0 juta ha tipologi lahan gambut, 6.7 juta ha lahan
sulfat masam sekaligus merupakan yang terbesar di dunia dan 0.4 juta ha lahan
salin. Sebaran tipologi lahan berbeda menurut wilayahnya, setiap lokasi dapat
mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan. Meskipun demikian jarang
sekali semua tipologi dijumpai secara simultan di suatu wilayah. Kedelai pada
umumnya diusahakan di lahan pasang surut tipe C atau D, dengan pola tanam padi
kedelai atau kedelai palawija lain. Menurut Mustofa (2011), potensi lahan sulfat
masam tersebut baru dimanfaatkan sekitar 612.000 hektar. Lahan sulfat masam
merupakan salah satu potensi yang harus terus dikembangkan guna menunjang
swasembada pangan.
Lahan sulfat masam merupakan lahan yang mengandung senyawa pirit
(FeS2), banyak terdapat di daerah rawa, pasang surut maupun lebak. Bila pirit
teroksidasi maka kelarutan ion H+, Fe3+, dan gugus asam sulfat meningkat, sehingga
dapat bersifat racun bagi tanaman. Tingkat kemasaman yang tinggi tersebut

2
menyebabkan kisi-kisi mineral, terlebih mineral liat 2:1 (montmorilonit) goyah
terbongkar dan melepaskan Al3+. Terbongkarnya kisi-kisi mineral liat 2:1 dan
terlepasnya Al3+ ke dalam larutan tanah, diduga dapat menyebabkan terjadinya
perubahan mineral liat (Sudarsono 1996).
Selain itu jika tanah ini dikeringkan atau teroksidasi, maka senyawa pirit akan
membentuk senyawa feri hidroksida Fe(OH)3, sulfat SO42- dan ion hidrogen H+
sehingga tanah menjadi sangat masam. Akibatnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+ dan
Mn2+ bertambah dalam tanah dan dapat bersifat racun bagi tanaman. Ketersediaan
P menjadi berkurang karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk besi
fosfat atau aluminium fosfat. Biasanya bila tanah masam, kejenuhan basa menjadi
rendah, akibatnya terjadi kekahatan unsur hara di dalam tanah (Widjaya-Adhi et al.
1992).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan penyawahan
(penggenangan), akan tetapi kendala lain akan muncul seperti keracunan Fe2+, H2S,
dan asam-asam organik (Madjid 2009). Dinamika ion yang paling menonjol dalam
penggenangan tanah masam adalah kelarutan besi dari ion Fe+3 menjadi Fe+2 yang
berpotensi menyebabkan keracunan pada tanaman padi, yang bila tidak
terkendalikan dapat menurunkan produksi rata-rata 60%. Perubahan bentuk Fe3+
menjadi Fe2+ terjadi karena adanya perubahan suasana oksidatif menjadi reduktif.
Reaksi tersebut melibatkan aktivitas mikroba tanah menstimulasi proses reduksi
Fe3+ menjadi Fe2+, meningkatkan pH, menurunkan Eh, dan terjadi peningkatan
ketersediaan P (Yoshida 1981). Pendekatan yang dapat dilakukan pada lahan
pasang surut adalah budidaya jenuh air.
Hasil analisis tanah-tanah di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan
Tengah serta Sumatera Selatan menunjukkan umumnya status P pada lahan alluvial
bersulfat (pH>3.5) termasuk kriteria sedang (21-40 mg P2O5/100 g) sampai sangat
tinggi (>60 mg P2O5/100 g). Nilai P total yang terendah terdapat pada lahan
terlantar, sedangkan yang tertinggi pada lahan-lahan yang dikelola intensif (dua kali
setahun). Kondisi demikian karena kecilnya kemampuan tanaman dalam
memanfaatkan unsur P dari pupuk yang diberikan, sehingga sebagian besar pupuk
P terikat dalam tanah (Anwar et al. 1995). Menurut Thaher (1996) hanya 5 – 20%
saja yang diserap oleh kedelai dari pupuk fosfat yang diberikan. Kondisi ini
menyebabkan penimbunan P yang sangat tinggi pada tanah-tanah yang dipupuk
pada setiap musim.
Kandungan P total yang tinggi pada lahan pasang surut, diupayakan untuk
dimanfaatkan bagi pertumbuhan tanaman dengan menggunakan FMA, sehingga
pemupukan P dapat lebih efisien. Menurut Abbott dan Robson (1991) melalui
asam organik dan enzim fosfatase yang dihasilkannya, FMA dapat meningkatkan
fosfat terlarut. Fosfat terlarut tersebut dapat masuk ke dalam hifa eksternal FMA.
Bagian yang penting dari sistem mikoriza adalah miselium yang terdapat di luar
akar, berperan dalam penyerapan unsur hara bagi tanaman. Adanya FMA
menyebabkan jarak yang ditempuh oleh hara tanaman untuk berdifusi dari tanah
ke akar dapat diperpendek.
Untuk mengetahui jenis dan jumlah FMA yang terdapat pada tanah rizosfer
kedelai, adalah isolasi FMA. Isolasi dilakukan dengan mengambil propagul FMA
dari dalam tanah, perbanyakan propagul dan karakterisasi species FMA yang
berhasil diperbanyak. Selanjutnya dilakukan trapping dan perbanyakan inokulum
dengan berbagai tanaman sebagai bagian dari produksi inokulum.

3
Isolat FMA yang telah dihasilkan oleh beberapa tanaman dalam proses
trapping diujicobakan pada tanaman kedelai dengan menggunakan budidaya
konvensional dan budidaya jenuh air. Budidaya konvensional adalah budidaya
yang telah dilakukan oleh petani sejak lama dalam budidaya kedelai, sedangkan
budidaya jenuh air merupakan budidaya alternatif yang dapat dikembangkan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman kedelai. Kompatibilitas antara FMA dengan
tanaman inang adalah kemampuan kedua simbion menggunakan fungsi simbiosis
secara penuh. Bagi FMA, fungsi tersebut sebagai satu fungsi menembus akar
tanaman inang dan membentuk arbuskula, tempat bahan-bahan (fosfat dan
karbohidrat) dipertukarkan dan mempengaruhi perkembangbiakan FMA. Tanaman
inang dapat menjalankan fungsi tumbuh dan berkembang secara sempurna (Koide
dan Schreiner 1992).
Petani sudah mulai diperkenalkan dengan FMA komersial dengan berbagai
merek dagang, namun keberhasilannya masih rendah. Kurang berhasilnya
kemampuan FMA komersial tersebut diduga bahwa FMA komersial yang berasal
dari pabrik atau Balai penelitian dengan sumber inokulum bukan berasal dari
daerah setempat sehingga diasumsikan akan memerlukan waktu adaptasi lebih lama
terhadap kondisi lingkungan yang baru. Hal ini sejalan dengan penelitian Sasli
(2013) bahwa FMA yang berasal dari daerah setempat menghasilkan kolonisasi
akar lebih tinggi (67.67%) dibandingkan dengan FMA yang berasal dari rizosfer
nenas (44.33%). Selanjutnya Muis et al. (2016) melaporkan bahwa tanaman inang
menghasilkan jenis FMA yang berbeda.
Pemanfatan FMA lokal dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan biaya
yang murah sehingga mempunyai prospek yang baik. Dampak yang diharapkan
adalah meningkatkan produktivitas kedelai dan berkurangnya ketergantungan
petani terhadap penggunaan pupuk an organik. Pemanfaatan FMA lokal juga
bermaksud untuk mempercepat adaptasi lingkungan, sehingga manfaat yang
diberikannya kepada kedelai lebih maksimal. Pemanfatan FMA yang berada pada
rizosfer kedelai, dimaksudkan untuk lebih mudah beradaptasi dengan inangnya
pada waktu isolat FMA dikembalikan ke lapang budidaya setelah menjalani
propagasi.
Untuk pengembangan kedelai pada lahan yang mempunyai karakter khusus
seperti lahan pasang surut, memerlukan varietas yang mampu beradaptasi pada
kondisi tertentu dan tindakan budidaya yang sesuai. Penemuan varietas yang
mampu beradaptasi dengan kondisi lahan pasang surut di lokasi tertentu, harus
diikuti oleh tindak budidaya yang mampu meningkatkan produktivitas, sekaligus
mampu menekan pengaruh lapisan pirit.
Tindakan budidaya kedelai yang dapat dilakukan dan sesuai dengan kondisi
pasang surut untuk mencapai hal tersebut adalah budidaya jenuh air. Budidaya
jenuh air diharapkan dapat menjadi pilihan yang tepat bagi petani di lahan pasang
surut untuk menggantikan budidaya konvensional yang telah diterapkan selama ini.
Menurut Nathanson et al. (1984) budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang
dikembangkan di semi arid tropis Australia yang dapat meningkatkan hasil kedelai
dibandingkan dengan irigasi konvensional. Budidaya jenuh air mempertahankan
air dalam saluran antar bedengan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia
kematangan. Menurut Raka et al. (1995) budidaya jenuh air akan meningkatkan
komponen hasil dan hasil benih serta memperbaiki keragaan variabel mutu fisik
dan mutu fisiologis benih kedelai.

4
Hal-hal yang telah diuraikan menjadi landasan untuk merangkai seri
penelitian yang didasari oleh kerangka pemikiran yang jelas. Secara skematis,
kerangka pemikiran yang menjadi dasar penelitian ini dapat dijelaskan seperti
Gambar 1.1 berikut.
Lahan pasang surut didominasi lahan sulfat masam:
P total tinggi tetapi P tersedia rendah

Upaya meningkatkan P tersedia dengan menggunakan FMA

Identifikasi, karakterisasi dan trapping FMA lokal

Uji FMA hasil trapping terhadap kedelai pada budidaya
konvensional dan budidaya jenuh air

Uji kompatibilitas FMA lokal dengan varietas kedelai

Uji penggunaan
isolat FMA lokal
terhadap kedelai
pada budidaya
konvensional di
lahan pasang
surut

Uji penggunaan
isolat FMA
lokal terhadap
kedelai pada
budidaya jenuh
air di lahan
pasang surut

P tersedia meningkat, efisiensi penggunaan P dan
produktivitas kedelai meingkat penggunaan isolat
FMA lokal dan budidaya jenuh air

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran

5
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka dilakukan
penelitian tentang efisiensi pemupukan fosfor menggunakan isolat FMA lokal di
lahan pasang surut untuk meningkatkan produktivitas kedelai di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Bagan alir penelitian disajikan pada
Gambar 1.2 berikut.

Percobaan 1
Isolasi FMA dari rizosfer tanaman
kedelai pada lahan pasang surut

Percobaan 2
Keragaman FMA hasil trapping
dengan menggunakan tanaman
inang yang berbeda

Percobaan 3
Kompatibilitas sumber
inokulan FMA pada
tanaman kedelai dengan
budidaya jenuh air dan
budidaya konvensional di
rumah kaca
Percobaan 4
Uji penggunaan FMA untuk
efisiensi pemupukan P
tanaman kedelai pada
budidaya konvensional di
lahan pasang surut








Diperoleh:
keragaman dan jumlah FMA

Diperoleh :
- keragaman dan jumlah
FMA
- Tanaman potensial untuk
trapping FMA

Diperoleh:
Sumber inokulan yang
kompatibel dengan kedelai
pada budidaya jenuh air
dan budidaya konvensional



Percobaan 5
Uji penggunaan FMA
untuk efisiensi
pemupukan P tanaman
kedelai pada
budidaya jenuh air di
lahan pasang surut

Diperoleh:
Peningkatan produktivitas kedelai dan efisiensi
pemupukan P akibat menggunakan isolat FMA

Gambar 1.2 Bagan Alir Penelitian

6
Tujuan Penelitian
Penelitian efisiensi pemupukan fosfor dalam meningkatkan
produktivitas kedelai menggunakan isolat FMA lokal di lahan pasang surut
bertujuan:
1. Menganalisis keragaman isolat FMA asal lahan pasang surut Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
2. Mengevaluasi keragaman dan jumlah FMA serta kemampuan beberapa jenis
tanaman yang digunakan sebagai tanaman inang untuk proses trapping FMA
3. Mengevaluasi kesesuaian beberapa sumber inokulan FMA terhadap tanaman
kedelai pada budidaya konvensional dan budidaya jenuh air
4. Menerapkan pemanfaatan FMA untuk meningkatkan efisiensi pemupukan P
tanaman kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
5. Menerapkan pemanfaatan FMA untuk meningkatkan efisiensi pemupukan P
tanaman kedelai pada budidaya konvensional di lahan pasang surut Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi

Manfaat Penelitian
1.
2.

3.
4.

5.

Diperoleh keragaman isolat FMA asal lahan pasang surut Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Provinsi Jambi
Diperoleh perbedaan kragaman dan jumlah FMA serta kemampuan beberapa
jenis tanaman yang digunakan sebagai tanaman inang untuk proses trapping
FMA
Diperoleh kesesuaian sumber inokulan FMA dengan tanaman kedelai pada
budidaya konvensional dan budidaya jenuh air
Diperoleh peningkatan efisiensi pemupukan P tanaman kedelai akibat
pemanfaatan FMA pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
Diperoleh peningkatan efisiensi pemupukan P tanaman kedelai akibat
pemanfaatan FMA pada budidaya konvensional di lahan pasang surut
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi

Hipotesis
1.
2.

3.
4.

Terdapat keragaman isolat FMA asal lahan pasang surut Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Provinsi Jambi
Terdapat perbedaan keragaman dan jumlah FMA serta kemampuan beberapa
jenis tanaman untuk digunakan sebagai tanaman inang untuk proses trapping
FMA
Terdapat perbedaan kesesuaian sumber inokulan FMA dengan tanaman kedelai
pada budidaya konvensional dan budidaya jenuh air
Terdapat peningkatan efisiensi pemupukan P tanaman kedelai akibat
pemanfaatan FMA pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi

7
5.

Terdapat peningkatan efisiensi pemupukan P tanaman kedelai akibat
pemanfaatan FMA pada budidaya konvensional di lahan pasang surut
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi

Ruang Lingkup Penelitian
Pesatnya peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan penyediaan
kebutuhan bahan pangan juga meningkat. Peningkatan penyediaan bahan pangan
terutama kedelai harus dilakukan melalui peningkatan produksi kedelai.
Permasalahan muncul, ketika upaya peningkatan produksi kedelai dihadapkan pada
keterbatasan lahan, akibat pesatnya alih fungsi lahan. Oleh karena itu,
pengembangan kedelai diarahkan pada lahan sub marjinal yaitu lahan pasang surut.
Lingkungan budidaya di lahan pasang surut berbeda dengan lingkungan
budidaya di lahan kering. Karakteristik lahan yang menjadi masalah dalam
pengembangan pertanian di lahan pasang surut meliputi fluktuasi rejim air,
beragamnya kondisi fisiko-kimia tanah, kemasaman tanah dan air yang sangat
tinggi, kandungan Al, Fe dan H2S tinggi dan ketersediaan unsur hara terutama P
dan K rendah.
Untuk mengembangkan kedelai pada lahan yang mempunyai karakter khusus
seperti lahan pasang surut, diperlukan varietas yang mampu beradaptasi pada
kondisi tertentu dan tindakan budidaya yang sesuai. Beberapa varietas telah dicoba
diadaptasikan pada lahan pasang surut seperti Tanggamus, Wilis, Pangrango,
Panderman, Lawit, Manyapa dan lain-lain, namun untuk memperoleh varietas yang
unggul pada lokasi pasang surut tertentu, masih perlu uji coba lanjutan.
Penemuan varietas yang mampu beradaptasi dengan kondisi lahan pasang
surut di lokasi tertentu, harus diikuti oleh tindak budidaya yang mampu
meningkatkan produktivitas kedelai, sekaligus mampu menekan pengaruh lapisan
pirit. Diantara tindakan budidaya kedelai yang dapat dilakukan dan sesuai dengan
kondisi pasang surut untuk mencapai hal tersebut adalah budidaya jenuh air.
Budidaya jenuh air adalah sistem produksi yang dikembangkan di semi arid tropis
Australia yang dapat meningkatkan hasil kedelai dibandingkan dengan irigasi
konvensional. Budidaya jenuh air mempertahankan air dalam saluran antar
bedengan sejak awal stadia vegetatif hingga stadia kematangan (Nathanson et al.
1984).
Peningkatan pertumbuhan ini sangat erat hubungannya dengan peningkatan
nodulasi dan fiksasi N2 yang besar (Ghulamahdi et al. 2006). Budidaya jenuh air
juga dapat menurunkan aborsi bunga dan polong, tidak mengalami senesen pada
saat masa pengisian polong sehingga akhirnya dapat meningkatkan indeks panen
(Troedson et al. 1983).
Penyediaan P melalui pemupukan, selain relatif mahal, juga sangat berpotensi
mencemari lingkungan. Aplikasi pupuk anorganik serta input an organik lainnya
secara besar-besaran menyebabkan pencemaran sumber-sumber air, yang berarti
penurunan kualitas lingkungan (Pujianto 2001). Salah satu cara yang tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam meningkatkan
penyediaan P bagi tanaman, khususnya kedelai, adalah melalui peningkatan
simbiosis tanaman dengan FMA, karena kemampuan mikroba ini untuk membantu
inangnya dalam penyerapan P, yang merupakan unsur hara yang bersifat immobil
di dalam tanah (Smith dan Read 2008).

8
FMA dapat meningkatkan penyerapan P dari sumber P. Adanya asam
organik dan enzim phosphatase yang dihasilkannya dapat meningkatkan P terlarut.
Fosfat terlarut tersebut dapat masuk ke dalam hifa eksternal FMA. Bagian yang
penrting dari sistem mikoriza adalah miselium yang terdapat di luar akar, berperan
dalam penyerapan unsurhara bagi tanaman. Jarak yang ditempuh oleh hara
tanaman dengan adanya mikoriza berdifusi melalui tanah ke akar dapat diperpendek
(Abbott dan Robson 1991).
Setiadi (2007) menyatakan bahwa FMA yang menginfeksi sistem perakaran
inang akan memproduksi hifa secara intensif. Hifa yang diproduksi secara intensif
ini akan menyebabkan tanaman bermikoriza mampu meningkatkan kapasitasnya
dalam menyerap unsurhara tanaman terutama fosfor dalam keadaan tidak tersedia
menjadi tersedia.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian tentang efisiensi pemupukan fosfor
pada berbagai varietas kedelai pada budidaya jenuh air dan budidaya konvensional
di lahan pasang surut terdiri dari beberapa percobaan yaitu: 1) Isolasi fungi mikoriza
arbuskula dari rizosfer tanaman kedelai pada lahan pasang surut, 2) Keragaman
fungi mikoriza arbuskula hasil trapping dengan menggunakan tanaman inang yang
berbeda, 3) Kompatibilitas sumber inokulan fungi mikoriza arbuskula lokal pada
tanaman kedelai dengan budidaya jenuh air dan budidaya konvensional, 4) Uji
penggunaan fungi mikoriza arbuskula lokal untuk efisiensi pemupukan fosfor
tanaman kedelai pada budidaya konvensional di lahan pasang surut dan 5) Uji
penggunaan fungi mikoriza arbuskula lokal untuk efisiensi pemupukan fosfor
tanaman kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Hasil akhir dari
penelitian ini adalah rekomendasi penggunan FMA yang dapat diaplikasikan di
daerah-daerah yang berkarakteristik lahan pasang surut.

Novelty / Kebaruan Penelitian :
1. Pemanfaatan isolat FMA untuk budidaya kedelai dari rizosfer kedelai.
2. Setiap jenis tanaman/varietas/galur inang memiliki inang spesifik dengan jenis
FMA
3. Jagung sebagai inang terbaik karena memiliki dua species FMA yaitu Glomus
clarum dan Acaulospora tuberculata
4. Inokulan FMA dari rizosfer jagung memberikan infektivitas dan efektivitas
tertinggi pada budidaya konvensional dan budidaya jenuh air di lahan pasang
surut
5. Varietas Tanggamus lebih responsif terhadap inokulasi FMA dibandingkan
dengan varietas Anjasmoro
6. Inokulan FMA dari rizosfer jagung meningkatkan produktivitas kedelai
7. Inokulan FMA dari rizosfer jagung meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
P, pada budidaya konvensional sebesar 72 %, sedangkan pada budidaya jenuh
air sebesar 60 %. Inokulan FMA pada budidaya jenuh air meningkatkan efisiensi
pemupukan P sebesar 15 % dibandingkan dengan budidaya konvensional.
8. Interaksi inokul