Pengaruh Pemupukan Abu Jerami terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut

PENGARUH PEMUPUKAN ABU JERAMI TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

Oleh
Indra Dharmaswara
A24070081

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN

INDRA DHARMASWARA. Pengaruh Pemupukan Abu Jerami terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai di Lahan Rawa Pasang Surut
(dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI).
Penelitian dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemupukan abu jerami
terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut. Penelitian
ini juga untuk menganalisis usaha tani budidaya kedelai yang menggunakan abu

jerami sebagai pupuk di lahan rawa pasang surut. Penelitian dilakukan di Desa
Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera
Selatan, dari bulan Juni sampai bulan Oktober 2011.
Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
dengan 3 ulangan dan satu faktor yaitu dosis abu jerami. Penelitian menggunakan
4 perlakuan dosis abu jerami yaitu tanpa abu (kontrol), 1 ton/ha, 2 ton/ha, dan
3 ton/ha dengan perlakuan pembanding 100 kg KCl/ha, 2 ton Kapur/ha, serta
campuran dari 100 kg KCl/ha dan 2 ton Kapur/ha. Tiap ulangan terdiri dari 7
petak yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 21 unit satuan percobaan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, apabila berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
kesalahan 5%.
Setiap petak percobaan memiliki ukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar
petak percobaan 30 cm, saluran memiliki kedalaman 25 cm dan lebar 30 cm.
Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman hingga panen dengan kedalaman
muka air 15 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Setiap petak percobaan
diberikan pupuk sebanyak 200 kg SP-36/ha. Kedelai diberikan pupuk daun N
pada 3, 4, 5, dan 6 MST dengan konsentrasi 10 g Urea/l air dengan menggunakan
volume semprot 400 l air/ha.
Berdasarkan analisis, abu jerami yang digunakan memiliki pH sebesar

10.60. Unsur hara yang terkandung pada abu jerami terdiri dari unsur hara makro
dan unsur hara mikro yaitu C, N, P΍Oΐ, Mg, Ca, K, Na, S, Mn, Cu, dan Zn.
Unsur K memiliki kandungan yang lebih tinggi dibanding unsur hara lainnya

dalam abu jerami yang dianalisis yaitu 3.79 g/100 g. Analisis ragam menunjukkan
dosis abu jerami tidak berbeda nyata pada tinggi tanaman, jumlah cabang, buku
produktif, buku tidak produktif, dan bobot 100 biji tetapi berbeda nyata pada
jumlah polong isi, polong isi/buku produktif, bobot biji per m2 dan produksi biji.
Dosis abu jerami 1 ton/ha mempengaruhi peningkatan komponen produksi pada
saat panen diduga berasal dari akumulasi perbaikan peningkatan komponen
pertumbuhan (vegetatif) walaupun berdasarkan analisis statistik menunjukkan
tidak berpengaruh nyata.
Hasil analisis regresi pada dosis abu jerami menunjukkan persamaan
sebagai berikut : Y = -0.384x2 + 0.985x + 3.791. Berdasarkan persamaan tersebut
diperoleh dosis abu jerami optimum yaitu 1.3 ton/ha dengan produktivitas
4.42 ton/ha. Analisis usaha tani menunjukkan dengan pemberian dosis abu jerami
sebanyak 1.3 ton/ha memberikan keuntungan tertinggi yaitu Rp. 18 338 500
dengan nilai B/C rasio sebesar 3.24. Pengujian perlakuan yang dilakukan di lahan
petani dengan dosis abu jerami 1 ton/ha dicampur dengan 2 ton kapur/ha
memberikan keuntungan sebesar Rp 13 778 500 dengan nilai B/C rasio

sebesar 2.47.

PENGARUH PEMUPUKAN ABU JERAMI
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI
DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

INDRA DHARMASWARA
A24070081

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

LEMBAR PENGESAHAN


Judul : PENGARUH PEMUPUKAN ABU JERAMI TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI DI
LAHAN RAWA PASANG SURUT
Nama : INDRA DHARMASWARA
NIM

: A24070081

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS
NIP 19590505 198503 1 004

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB

Dr Ir Agus Purwito, MSc. Agr

NIP 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 20 Agustus 1989.
Penulis merupakan anak ketiga dari pasangan Bapak Achjar Rughiar Adhalim dan
Ibu Nafsiah.
Penulis memulai jenjang pendidikan dari taman kanak-kanak pada tahun
1995 di TK Kusuma Jaya Bogor. Sekolah dasar pada tahun 1995 di SD Negeri
Panaragan Kidul 2 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama
penulis meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya di SLTP Negeri 6 Bogor
selama tiga tahun dari 2001 sampai dengan 2004. Selanjutnya penulis meneruskan
pendidikan ke jenjang tingkat atas di SMA KORNITA IPB Bogor dan lulus pada
tahun 2007.
Tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) pada Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH),
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis
aktif mengikuti kegiatan yang ada di IPB khususnya Departemen. Tahun 2009
penulis menjadi peserta dalam kegiatan Go Field, bergabung dalam kepanitiaan di

Departemen, dan menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Budidaya
Tanaman pada tahun ajaran 2011/2012.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemupukan Abu Jerami
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Di Lahan Rawa Pasang Surut”.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan masukan, arahan, dan saran untuk pelaksanaan penelitian.
2. Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS, dan Dr Ir Herdhata Agusta selaku dosen penguji.
3. Bapak dan Mamah, adik dan kakak saya beserta seluruh keluarga besar saya
yang selalu mendukung dalam segala aktivitas penulis.
4. Keluarga Besar Pak Suadji, Pak Marno, Pak Min, dan Pak Muh yang sedia
membantu selama penelitian di Palembang.
5. Mery Purnamasarie, SKPm yang telah sedia mendampingi, membantu dan
memberikan dukungan baik moril maupun fasilitas demi kelancaran penelitian
ini.

6. Ibu Ilona Noya, Ima, Ricki Susilo, Irfan, Lisa, Prama, dan Rara yang telah
menyumbangkan pemikiran dan membantu kelancaran dalam penelitian ini.
7. Teman-teman AGH 44 yang telah memberikan motivasi dan masukan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk penulis dan pembaca. Kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Februari 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................


vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................

viii

PENDAHULUAN .......................................................................................

1

Latar Belakang .................................................................................
Tujuan ..............................................................................................
Hipotesis...........................................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................


3

Kedelai .............................................................................................
Budidaya Jenuh Air ..........................................................................
Tanggap Varietas Terhadap Budidaya Jenuh Air ............................
Lahan Pasang Surut ..........................................................................
Kalium ..............................................................................................
Kalsium ............................................................................................
Abu ...................................................................................................

3
5
5
7
9
11
12

BAHAN DAN METODE ............................................................................


14

Waktu dan Tempat ...........................................................................
Alat dan Bahan .................................................................................
Metode Penelitian.............................................................................
Pelaksanaan Penelitian .....................................................................

14
14
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................

19

Kondisi Umum .................................................................................
Hasil .................................................................................................
Pembahasan ......................................................................................
Analisis Usaha Tani .........................................................................


19
22
25
32

PENUTUP ....................................................................................................

33

Kesimpulan ......................................................................................
Saran .................................................................................................

33
33

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

34

LAMPIRAN .................................................................................................

39

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Data Analisis Abu jerami ................................................................

22

2. Dosis Abu jerami terhadap Tinggi Tanaman, dan Jumlah Daun

Tanaman Kedelai .............................................................................

23

3. Dosis Abu Jerami terhadap Bobot Bintil Akar, Akar, Batang,

dan Daun Kedelai pada Umur 8 MST ..............................................

23

4. Dosis Abu Jerami terhadap Komponen Pertumbuhan Saat Panen.

24

5. Dosis Abu Jerami terhadap Komponen Produksi Saat Panen. ........

24

6. Hasil Analisis Usaha Tani ...............................................................

32

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Pompa Sawah Irigasi Model GX120T1 .........................................

14

2. Ukuran Saluran Drainase dan Kedalaman Tinggi Muka
Air 15 cm .......................................................................................

16

3. Lahan Belum Diolah ......................................................................

16

4. Lahan Sudah Diolah .......................................................................

16

5. Contoh Denah Panen dalam 1 Petak Percobaan ............................

17

6. Saluran Primer................................................................................

20

7. Saluran Sekunder ...........................................................................

20

8. Saluran Tersier ...............................................................................

20

9. Saluran Kuarter .............................................................................

20

10. Kedelai Berumur 7 HST.................................................................

21

11. Kedelai Berumur 21 HST...............................................................

21

12. Belalang Hijau ................................................................................

21

13. Ulat Grayak ....................................................................................

21

14. Abu Jerami .....................................................................................

22

15. Hubungan pH Tanah terhadap Ketersediaan Unsur Hara ..............

27

16. Hubungan Dosis Abu Jerami terhadap Produktivitas Kedelai .......

29

17. Hubungan Dosis Abu Jerami terhadap Polong Isi Kedelai .............

30

18. Kondisi Curah Hujan di Lokasi Penelitian......................................

30

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Deskripsi varietas ............................................................................

40

2. Data Suhu Udara ( C) Daerah Penelitian ........................................

41

3. Data Lembab Nisbi Daerah Penelitian (%) .....................................

42

4. Data Lama Penyinaran (%) Daerah Penelitian................................

43

5. Analisis Tanah Sebelum Penanaman ..............................................

44

6. Denah Penelitian .............................................................................

45

7. Analisis Usaha Tani (Kontrol) ........................................................

46

8. Analisis Usaha Tani (Dosis Abu Jerami 1.3 ton/ha) .......................

47

9. Analisis Usaha Tani (Dosis Abu Jerami 1 ton/ha dan 2 ton

Kapur/ha ).........................................................................................

48

10. Analisis Usaha Tani (Dosis Pupuk KCl 100 kg/ha) .........................

49

11. Analisis Usaha Tani (Dosis Pupuk KCl 100 kg/ha dan Dosis

Kapur 2 ton/ha) ................................................................................

50

12. Analisis Usaha Tani (Dosis Kapur 2 ton/ha) ...................................

51

13. Kedelai Berumur 11 MST ................................................................

52

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama di Indonesia
(Marwoto dan Suharsono, 2008). Menurut BPS (2011) produksi kedelai tahun
2010 sebanyak 908.11 ribu ton, sementara kebutuhan kedelai sekitar 2.4 juta ton.
Selama ini kekurangan kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dengan
mengimpor dari negara penghasil kedelai. Menurut Metrotvnews (2011) impor
kedelai selama 2010 sebanyak 1.7 juta ton atau senilai 840 juta dolar AS,
utamanya dari Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Kanada dan Thailand.
Menurut Wardah (2011) Indonesia mengimpor kedelai hingga 70% dari
kebutuhan kedelai nasional.
Humairil dan Khairullah (2000) menyatakan bahwa luas lahan pasang
surut di Indonesia mencapai 20.15 juta ha, dan 9.4 juta ha sesuai untuk
kegiatan pertanian, hanya sekitar 3.59 juta ha yang dimanfaatkan. Menurut
Sabran et al. (2000) kendala yang dihadapi pada lahan pasang surut adalah
kemasaman tanah. Pada tanah sulfat masam, drainase yang berlebihan
menciptakan kondisi aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan
melepaskan asam alumunium yang merupakan racun bagi tanaman, dan dapat
memfiksasi P membentuk senyawa yang mengendap. Akibatnya ketersediaan P
dalam tanah menjadi rendah.
Kedelai tergolong pada tanaman yang tidak tahan kekeringan dan
kelebihan air (Fagi dan Budi, 1986). Tanaman kedelai untuk dapat tumbuh dan
berproduksi tinggi memerlukan air yang cukup. Tanpa air tanaman tidak dapat
menyerap unsur hara dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tanaman
sebagai pemacu pertumbuhan. Distribusi curah hujan yang memandai dan merata
setiap bulan, sangat membantu pertumbuhan tanaman (Adisarwanto, 2001).
Ghulamahdi et al. (1999) menyatakan bahwa kondisi jenuh air meningkatkan
bobot kering bintil sebesar 411. 76 %, dan meningkatkan penyerapan hara daun N,
P, dan K masing-masing sebesar 310.71 %, 272.03 %, dan 452.28 %
dibandingkan kondisi kering pada umur 8 minggu. Kandungan etilen akar pada

2

tanaman kedelai berumur panjang lebih tinggi dibandingkan kedelai berumur
pendek.
Harga pupuk yang relatif mahal menjadi salah satu kendala dalam
peningkatan hasil kedelai saat ini. Pemanenan hasil padi menyisakan berbagai
bagian dari tanaman yang tidak digunakan kembali. Salah satu contoh dari bagian
hasil panen padi adalah jerami. Jerami padi ini dapat dibakar dan menghasilkan
abu jerami. Penggunaan abu jerami merupakan alternatif yang cukup baik untuk
mengatasi masalah tersebut. Menurut hasil penelitian Sudadi dan Atmaka (2000)
abu jerami padi selain berperan untuk meningkatkan pH juga mampu menambah
unsur hara yang mudah tersedia bagi tanaman.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini:
1. Mempelajari pengaruh pemupukan abu jerami terhadap pertumbuhan
dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut.
2. Menganalisis usaha tani dari budidaya kedelai yang menggunakan abu
jerami sebagai pupuk di lahan rawa pasang surut.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat dosis abu jerami yang optimum
terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai.

TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai
Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan
merupakan jenis tanaman semusim (Ristek, 2010). Menurut Adisarwanto (2006)
klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Rosales

Familia

: Leguminosae

Genus

: Glycine

Spesies

: Glycine max (L.) Merill
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua macam yaitu tipe

determinate dan indeterminate, selain itu terdapat jenis yang lain yaitu semi
determinate atau semi indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini
didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Tipe determinate memiliki
pertumbuhan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai
berbunga. Pertumbuhan batang tipe indeterminate yang dicirikan pucuk batang
tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga.
Disamping itu, ada varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe batang mirip
keduanya (semi determinate atau semi indeterminate) (Adisarwanto, 2005).
Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik. Pertumbuhan akar
tunggang lurus masuk ke dalam tanahh dan mempunyai banyak akar cabang.
Bintil-bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum terdapat pada akar-akar
cabang kedelai yang mempunyai kemampuan mengikat zat lemas bebas (N2) dari
udara yang kemudian dipergunakan untuk menyuburkan tanah (Firmanto, 2011).
Tanaman kedelai memiliki dua bentuk daun, yaitu bulat (oval) dan lancip
(lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik.
Umumnya daun mempunyai bulu dengan warna cerah dan jumlahnya bervariasi.
Panjang bulu bisa mencapai 1 mm dan lebar 0.0025 mm. Lebat-tipisnya bulu pada
daun kedelai berkait dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap serangan

4

jenis hama tertentu (misalnya hama penggerek batang). Contoh varietas yang
berbulu lebat yaitu IAC 100, sedangkan varietas yang berbulu jarang yaitu Wilis,
Dieng, Anjasmoro, dan Mahameru (Adisarwanto, 2006).
Bunga muncul umumnya pada umur antara lima sampai tujuh minggu.
Bunga pertama yang terbentuk umumnya pada buku kelima, keenam, atau pada
buku yang lebih tinggi. Setiap kuncup bunga dapat tumbuh menjadi polong, hanya
berkisar 20 - 80 % (Adisarwanto, 2005).
Kedelai dapat dipanen sekitar umur 75 - 110 hari, tergantung pada varietas
dan ketinggian tempat. Ciri-ciri kedelai siap panen, antara lain daun tua atau
berwarna kuning, buah mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklatan
dan retak-retak atau polong sudah kelihatan tua, batang berwarna kuning agak
coklat (Deptan, 2010).
Tanaman kedelai cocok ditanam di daerah tropis dan subtropis.
Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab.
Curah hujan 100 - 400 mm/bulan dan pertumbuhan optimal pada curah hujan
100 - 200 mm/bulan. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai 21 - 340 C, suhu
optimum 23 - 270C. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu
sekitar 300C (Ristek, 2010).
Toleransi keasaman tanah untuk syarat tumbuh kedelai yaitu pH 5.8 - 7.0.
Pada pH kurang dari 5.5 akan menghambat pertumbuhan karena keracunan
alumunium. Selain itu juga akan menghambat bakteri bintil dan proses nitrifikasi
(proses oksidasi amoniak menjadi nitrit atau proses pembusukan) (Ristek, 2010).
Ketinggian tempat varietas kedelai berbiji kecil, cocok ditanam di lahan
dengan ketinggian 0.5 - 300 m dpl. Pada varietas kedelai berbiji besar cocok
ditanam di lahan ketinggian 300 - 500 m dpl (Ristek, 2010).
Kedelai (Glycine max Merr) varietas “Tanggamus” termasuk varietas
unggul nasional. Varietas ini dilepas pada tahun 2001 dengan sebagai pemulianya
yaitu Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie, Heru Kuswantoro, dan Purwantoro.
Potensi hasil dari Tanggamus yaitu 1.22 ton/ha namun hasil rata-ratanya dapat
mencapai 1.5 ton/ha. Tipe tumbuh dari varietas ini determinate, warna hipokotil
ungu, bentuk daun lanceolate. Jumlah cabang rata-rata kedelai Tanggamus
sebanyak 3 - 4 dengan jumlah polong/tanaman 47. Ukuran biji termasuk sedang

5

dengan bobot 100 biji 11 g (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, 2005).

Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air adalah cara penanaman di atas bedengan dengan
memberikan pengairan terus menerus di dalam parit, sehingga tanah di bawah
perakaran menjadi jenuh air, namun tidak menggenang (Purwaningrahayu et al.,
2004). Budidaya jenuh air dilakukan dengan cara pengairan yang terus menerus
sejak tanaman berumur dua minggu sampai polong mencapai masak fisiologis.
Tinggi air di saluran dipertahankan kurang lebih 5 cm di bawah permukaan tanah
untuk membuat petak penanaman jenuh air (Ghulamahdi dan Aziz, 1992).
Budidaya jenuh air diselenggarakan dengan membuat kondisi bedengan
jenuh air secara terus menerus sejak 2 MST sampai masak fisiologis. Caranya
adalah dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan
dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum 15 cm di bawah permukaan
tanah (Mulatsih et al., 2000). Menurut Hunter et al. (1980) kerusakan tanaman
kedelai akibat kelebihan air tidak akan terjadi jika permukaan air tanah
dipertahankan tetap. Kedelai akan menyesuaikan diri pada lingkungan tanah yang
jenuh air, yakni budidaya jenuh air, sehingga perkembangan dan pertumbuhan
tanaman yang normal akan terbentuk kembali.
Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman
dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik.
Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik menggunakan sistem
surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi (Ghulamahdi,
1999).
Tanggap Varietas Terhadap Budidaya Jenuh Air
Menurut Savitri et al. (2002) berdasarkan ukuran biji yang berhubungan
dengan daya toleransi varietas terhadap kondisi budidaya basah atau penjenuhan,
bahwa kedelai berukuran besar lebih toleran terhadap penjenuhan dibandingkan
dengan kedelai berukuran biji sedang dan kecil.

6

Dalam keadaan kelebihan air, selain kandungan N dalam jaringan tanaman
menurun, pasokan oksigen untuk respirasi akar menurun dan terbentuk senyawasenyawa racun di daerah perakaran (Crawford, 1978). Adanya senyawa racun
dapat mengganggu serapan dan fiksasi N oleh akar dan bintil akar. Akibatnya
tanaman kekurangan N terutama pada daun. Bila pasokan N dari tanah berkurang
dalam keadaan kelebihan air, terjadi redistribusi nitrogen dari daun tua ke daun
muda (Drew dan Siswono, 1979). Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan
kacang-kacangan lainnya, kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat
dan cepat memperbaiki pertumbuhannya setelah kelebihan air berkurang
(Stanley et al., 1980).
Pertumbuhan kedelai setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar
dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air, selanjutnya daun menjadi
hijau dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya jenuh air dibandingkan
pada budidaya biasa (Avivi, 1995).
Budidaya jenuh air dapat meningkatkan panjang akar, bobot kering bintil
akar, luas daun, laju transpirasi, lebar bukaan stomata daun, kandungan air nisbi
daun, laju asimilasi bersih, dan laju pertumbuhan nisbi tanaman. Budidaya jenuh
air memiliki bobot kering total tanaman, jumlah polong isi, hasil biji, indeks
panen, dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada varietas berumur sedang
dibanding varietas berumur genjah. Peningkatan hasil biji kedelai dengan
penerapan teknologi budidaya jenuh air atau budidaya basah berkisar antara
85 – 229 % (Purwaningrahayu et al., 2004).
Bobot kering bintil akar pertanaman pada budidaya jenuh air di media
dengan tinggi muka air 15, 10, dan 5 cm lebih tinggi daripada di media kontrol
(pola tanam dilahan kering tanpa stress air). Bobot kering bintil akar tertinggi
diperoleh dari tanaman di media dengan tinggi muka air 15 cm tanpa di pupuk
nitrogen sedangkan bobot biji per tanaman tertinggi diperoleh dari tanaman yang
ditumbuhkan di media dengan tinggi muka air 15 cm dan dipupuk nitrogen
(Suwarto et al., 1994).
Pertumbuhan bintil akar aktif pada budidaya jenuh air berlangsung lebih
lama daripada budidaya biasa. Pada budidaya biasa pertumbuhan bintil akar aktif
mencapai maksimum pada umur 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada

7

budidaya jenuh air masih tetap meningkat sampai umur 9 MST (Ghulamahdi,
1990).
Adaptabilitas kedelai di lahan basah tidak berhubungan dengan tipe
pertumbuhan tanaman, tetapi dapat dipengaruhi oleh umur tanaman. Varietasvarietas yang berpotensi produksi tinggi di lahan basah dicirikan oleh adanya
korelasi positif jumlah polong dengan jumlah bintil akar dan laju tumbuh relatif
tanaman serta jumlah bintil akar dengan laju tumbuh relatif dan indeks luas daun
(Nurlianti et al., 2003).

Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang terbentuk dari endapan marin dan
fluviomarin dan dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit.
Lapisan tanah ini kemudian dijadikan dasar dalam pengelompokan lahan. Lahan
sulfat masam bersulfida dangkal memiliki lapisan pirit < 50 cm, sehingga tidak
sesuai untuk tanaman palawija, sedangkan lahan sulfat masam bersulfida dalam
memiliiki kedalaman lapisan pirit > 50 cm, sehingga relatif aman dan sesuai untuk
budidaya kedelai (Rachman et al., 1985).
Menurut Humairil dan Khairullah (2000) luas lahan pasang surut di
Indonesia mencapai 20.15 juta ha, dan 9.4 juta ha sesuai untuk kegiatan pertanian,
hanya sekitar 3.59 juta ha yang dimanfaatkan, sedangkan Sabran et al. (2000)
menyatakan bahwa sekitar 5.6 juta ha lahan pasang surut sesuai untuk kegiatan
pertanian dan dari luasan tersebut 2.6 juta ha berpotensi untuk pengembangan
skala besar.
Menurut

Balai

Penelitian

dan

Pengembangan

Pertanian

(2007),

berdasarkan tipologi lahan pasang surut dapat dibedakan ke dalam empat tipe:
1. Lahan potensial

: lahan yang mempunyai kedalaman pirit (lapisan

beracun) pada kedalaman 50 cm di atas permukaan tanah, luasannya
diperkirakan sekitar 10 %.
2. Lahan sulfat masam : lahan yang mempunyai lapisan pirit pada
kedalaman 0 - 50 cm diatas permukaan tanah, luasannya sekitar 33 %.
3. Lahan gambut

: lahan yang mengandung lapisan gambut dengan

kedalaman yang sangat bervariasi, luasannya sekitar 55 % dan

8

4. Lapisan salin

: lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga

mengandung garam dengan konsentrasi yang tinggi, terutama pada musim
kemarau, luasannya sekitar 2 %.
Adhi et al. (1997) menjelaskan bahwa lahan pasang surut dibagi menjadi
beberapa golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu:
1. Tipe A : lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama
maupun bulan mati), maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan
separuh).
2. Tipe B : lahan terluapi oleh pasang besar saja.
3. Tipe C : lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil,
namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.
4. Tipe D : lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil,
namun permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.
Lahan pasang surut memiliki reaksi tanah yang masam sebagai hasil dari
proses oksidasi lapisan sulfide (pirit). Budidaya kedelai di pasang surut yang
masam akan menghadapi kemungkinan keracunan Al, kahat hara N, P, dan K
serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang
hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi, walaupun kadar bahan organik cukup
tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan orgaik
terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia karena
diikat oleh Al, dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap.
Ketersediaan hara K rendah mengalami pencucian setelah terdesak dari
komplek jerapan. Drainase buruk diakibatkan oleh permukaan air tanah
yang diangkat, sehingga diperlukan saluran drainase yang lebih intensif
(Rachman et al., 1985).
Lahan pasang surut pada kondisi kering biasanya akan terjadi proses
oksidasi lapisan pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam, kelarutan unsur
beracun (Al, Fe, Mn) meningkat dan miskin hara. Kondisi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, produksi menjadi rendah dan tidak
menguntungkan bagi petani. Akibatnya petani tidak lagi mengusahakan lahan
tersebut dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Jika air cukup tersedia, maka petak
sawah akan digenangi air dan dapat menghambat oksidasi lapisan pirit. Selain itu

9

gerakan air pasang surut dan besarnya curah hujan akan mempercepat proses
pencucian unsur beracun seperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari petakan sawah, karena
itu pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan pertumbuhan dan produksi
tanaman (Alwi dan Nazemi, 2003).
Menurut Sabran et al. (2000) kedelai pada umumnya diusahakan di dalam
pasang surut tipe C (tidak terluapi oleh pasang besar) dengan pola tanam padikedelai atau kedelai palawija lain. Petani transmigrasi memperkenalkan sistem
surjan yang memungkinkan untuk mengusahakan kedelai pada lahan pasang surut
tipe B (terluapi oleh pasang besar).
Kendala usahatani kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air.
Tanaman kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genangan air
yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran.
Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan
tanaman. Selain itu genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi
oksigen sehingga respirasi biji terganggu, karena itu kedelai tidak bisa ditanam di
lahan pasang surut yang tergenang (Sabran et al., 2000).

Kalium
Kalium (K) merupakan hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium
mempunyai valensi satu dan diserap dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong
unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan tanaman,
maupun dalam xylem dan floem. Umumnya bila penyerapan K tinggi
menyebabkan penyerapan unsur Ca, Mg, Na turun. Unsur yang mempunyai
pengaruh saling berlawanan dan satu sama lain berusaha saling mengusir disebut
antagonis (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Kekurangan unsur hara Kalium
menyebabkan pertumbuhan terhambat, batang kurang kuat, dan mudah patah, biji
buah menjadi kisut, daun mengerut/keriting timbul bercak-bercak merah coklat
lalu kering dan mati (Kurniawan, 2010).
Kalium cukup dalam tanah banyak hubungannya dalam pertumbuhan
tanaman yang pada umumnya kuat dan lebat. Kalium menambah ketahanan
tanaman terhadap penyakit tertentu dan meningkatkan sistem perakaran, kalium
cenderung menghalangi efek rebah (lodging) tanaman dan melawan efek buruk

10

yang disebabkan oleh terlalu banyaknya nitrogen. Kalium bekerja berlawanan
dengan pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor. Secara garis besar
kalium memberikan efek keseimbangan, baik pada nitrogen maupun pada fosfor
dan karena itu penting terutama dalam pupuk campuran (Rukmi, 2009).
Kalium penting untuk perkembangan klorofil, meskipun ia tidak (seperti
magnesium)

memasuki

susunan

molekulnya.

Daun

tanaman

menderita

kekurangan kalium, tepinya menjadi kering dan berwarna coklat sedang
permukaannya mengalami khlorotik tidak teratur di sekitar tepi daun. Akibat dari
kerusakan ini fotosintesis sangat terganggu dan sintesis boleh dikatakan menjadi
terhenti (Soegiman, 1982).
Jumlah jenis pupuk yang khusus mengandung kalium relatif sedikit.
Umumnya unsur kalium sudah dicampur dengan pupuk atau unsur lain menjadi
pupuk majemuk. Beberapa jenis pupuk Kalium (K):
a. Pupuk KCl (Kalium Klorida)
Kalium klorida (KCl) merupakan salah satu jenis pupuk kalium yang juga
termasuk pupuk tunggal. Kalium satu-satunya kation monovalen yang esensial
bagi tanaman. Peran utama kalium ialah sebagai aktivator berbagai enzim. Pupuk
Kalium (KCl) berfungsi mengurangi efek negatif dari pupuk N, memperkuat
batang tanaman, serta meningkatkan pembentukan hijau dan karbohidrat pada
buah dan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Kekurangan hara kalium
menyebabkan tanaman kerdil, lemah (tidak tegak), dan fotosintesis terganggu
yang pada akhirnya mengurangi produksi. Kelebihan kalium dapat menyebabkan
daun cepat menua sebagai akibat kadar Magnesium daun dapat menurun
(Tani Muda, 2010). Secara teoritis, pupuk ini memiliki kadar K2O dapat mencapai
60 - 62 %, tetapi dalam kenyataan pupuk KCl yang diperdagangkan hanya
memiliki kadar K2O sekitar 50 % (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
b. Pupuk ZK (Zwavelzuur Kalium)
Rumus kimianya adalah K SO . Pupuk ini banyak digunakan baik untuk
perkebunan maupun petani kecil. Pupuk buatan atau serbuk digunakan sebagai
sumber hara kalium dan belerang yang juga disebut sebagai pupuk ZK. Syarat
mutu pupuk kalium sulfat yaitu mengandung K2O minimal 50 %, kadar belerang
(S) minimal 17 %, asam bebas sebagai (H2SO4) minimal 2.5 %, klorida (Cl)

11

maksial 2.5 % dan kadar air (H2O) maksimal 1% (Badan Standardisasi Nasional,
2005).
c. Pupuk KNO (Kalium Nitrat)
Pupuk ini selain mengandung unsur K, juga mengandung unsur N. Pupuk
ini memiliki kadar K O cukup tinggi (44 %) dan kadar N sekitar (13 %). Pupuk
ini kurang penting dan tidak banyak digunakan. Tanaman yang banyak
menggunakan pupuk ini adalah tanaman tembakau dan kapas (Rosmarkam dan
Yuwono, 2002).

Kalsium
Unsur Kalsium (Ca) yang diperlukan oleh tanaman tinggi dalam jumlah
relatif banyak dan diserap dalam bentuk ion Ca²+. Kalsium terutama terdapat
dalam daun dan mengendap berupa kristal kalsium oksalat. Kalsium memiliki
peranan yang erat dalam pertumbuhan apikal dan pembentukan bunga. Ca juga
berfungsi dalam pembelahan sel, pengaturan permeabilitas sel serta pengaturan
tata air dalam sel bersama unsur K, perkecambahan biji, perkembangan benang
sari, perkembangan bintil akar rhizobium. Kekurangan Ca menyebabkan kuncup
tidak dapat membuka, sehingga tetap menggulung terutama untuk tanaman
kacang-kacangan, ketela, bawang, kentang, dan lain-lain. Kekurangan Ca pada
tanaman menyebabkan gejala pada ujung akar atau ujung tanaman (karena Ca
bersifat immobil) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Jenis Pupuk Kalsium:
a. Kalsium Nitrat
Kalsium Nitrat memiliki rumus kimia Ca(NO ) . Pupuk ini merupakan
pupuk kalsium yang banyak digunakan untuk tanah asam. Pupuk ini memiliki
kadar CaO sekitar 32 %, Ca sekitar 20 %, dan N sekitar 21 % (Rosmarkam dan
Yuwono, 2002).
b. Amonium Nitrat-Kapur
Amonium Nitrat-Kapur memiliki rumus kimia NH NO .CaO. Pupuk ini
merupakan campuran amonium dan kapur. Pupuk ini memiliki kadan Ca rendah,
yakni berkisar 8.2 % dan kadar CaO berkisar 12 %, sedangkan kandungan kadar
N lebih tinggi daripada kadar Ca, yaitu 18 % (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

12

c. Gips (Gipsum)
Gips dapat digunakan sebagai sumber Ca dan sudah sejak lama digunakan
untuk pemupukan tanaman karena kelarutannya rendah, maka gips berpengaruh
cukup lama untuk beberapa tanaman berikutnya. Pupuk ini digunakan untuk
mengusir unsur Na dalam kompleks jerapan tanah atau mengurangi nilai SAR
(Sodium Adsoption Ratio) tanah (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
d. Dolomit
Dolomit memiliki rumus kimia CaCO .MgCO mengandung hara Ca dan
Mg. Pupuk ini dianggap pupuk netral walaupun sering sedikit menaikkan pH
tanah (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Abu
Mineralisasi sekam padi akan melepaskan hara secara lambat dan kontinyu
sehingga hara akan tersedia dalam jangka waktu yang panjang. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Soepardi et al. (1982) diperoleh data bahwa sekam padi
mengandung 0.46 % N-total, 0.04 % P, 0.37 % K, 0.26 % Ca, 0.05 % Mg, dan
17.80 % Si. Abu sekam mengandung 0.30 % N, 0.13 % P, 0.88 % K, 0.28 % Ca,
0.02 % Mg, dan 87.28 % Si. Sutanto (2002) menyatakan bahwa sekam padi
memiliki kandungan lengas 9.02 %, protein jenuh 3.27 %, lemak 1.18 %,
karbohidrat 33.71 %, serat jenuh 35.68 %, dan abu 17.71 %.
Kombinasi 5 ton pupuk kandang dengan 2 ton abu sekam/ha dapat
meningkatkan hasil biji kedelai tertinggi, dan abu sekam padi dengan dosis
2 ton/ha mempunyai pengaruh yang sama dengan KCl dosis 150 kg/ha. Hasil
wawancara dengan petani menunjukkan bahwa sumber K yang murah adalah
abu sekam padi yang berasal dari pembakaran batu bata merah (Sudaryono, 2002).
Hasil penelitian Rianawati (2007) menunjukkan bahwa perlakuan residu
abu sekam mampu menurunkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit.
Hal ini diduga karena adanya kandungan unsur silikat yang salah satu fungsinya
untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit melalui
pengerasan jaringan, di dalam abu sekam padi menurut Soepardi (1983) sebesar
87.82 %. Pengembalian sekam padi ke tanah yang berkadar Si tinggi dapat
mengurangi intensitas serangan hama dan keparahan penyakit.

13

Rata-rata kandungan unsur hara yang terkandung dalam jerami di
Indonesia adalah 0.4 % N, 0.02 % P, 1.4 % K dan 5.6 % Si. Pemanenan padi
5 ton/ha akan menghasilkan jerami sebanyak 7.5 ton yang mengandung 45 kg N,
10 kg P, 125 kg K, 10 kg S, 350 kg Si, 30 kg Ca 10 kg Mg (Maspary, 2010).
Adiningsih (1984) melaporkan bahwa penggunaan kompos jerami
sebanyak 5 ton/ha selama 4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar
170 kg K, 160 kg Mg, dan 200 kg Si. Hal ini disebabkan karena sekitar 80 %
kalium yang diserap tanaman berada dalam jerami (Rochayati et al., 1991),
sehingga menurut Sharma dan Mittra (1991) penggunaan jerami sebagai sumber
kalium cenderung lebih efektif.
Pemberian abu jerami padi dengan takaran 54 gram per tanaman pada
tanaman ubi jalar merupakan takaran abu jerami yang terbaik untuk pertumbuhan
dan hasil umbi tanaman ubi jalar. Berdasarkan penelitian ini dianjurkan untuk
melakukan pemberian abu jerami padi sebagai sumber hara kalium untuk
menaikkan produksi umbi tanaman ubi jalar dengan takaran 54 gram per tanaman
(Djalil et al., 2004).
Pengaruh interaksi antara cara penggunaan dan dosis abu mempunyai
pengaruh yang lebih besar terhadap variabel pertumbuhan dan hasil tanaman
dibanding faktor tersebut secara tunggal. Ini berarti bahwa pengaruh abu tersebut
bergantung kepada jumlah yang diberikan dan bagaimana cara pemberiannya
(Sudadi dan Atmaka, 2000).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan Juni sampai bulan
Oktober 2011.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu ajir, peralatan tanam, alat
ukur, pompa sawah irigasi model GX120T1 (Gambar 1), selang dengan ukuran
diameter 2 inci (5.08 cm) dan timbangan digital. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini benih kedelai varietas Tanggamus, abu jerami, dan insektisida, dan
kapur dolomit. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, pupuk KCl, dan pupuk
SP-36.

Gambar 1. Pompa Sawah Irigasi model GX120T1
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
dengan 3 ulangan dan satu faktor yaitu dosis abu jerami. Penelitian menggunakan
4 perlakuan dosis abu jerami yaitu tanpa pemupukan (kontrol), 1 000 kg/ha,
2 000 kg/ha, dan 3 000 kg/ha dengan perlakuan pembanding 100 kg KCl/ha,
2 000 kg Kapur/ha, serta campuran antara 100 kg KCl/ha dan 2 000 kg Kapur/ha.
Tiap ulangan terdiri dari 7 petak yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat
21 unit satuan percobaan. Tiap petak diambil 5 tanaman contoh sehingga
terdapat 105 tanaman contoh yang akan diamati pada setiap petak. Jarak tanam

15

yang digunakan yaitu 20 cm x 25 cm dengan jumlah benih per lubang tanam
yaitu 2 benih.
Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij = µ + αi + βj + εij
Keterangan :
Yij

: nilai pengamatan pada perlakuan ke - i, dan kelompok ke - j

µ

: nilai rata-rata umum

αi

: pengaruh perlakuan pemupukan ke - i

βj

: pengaruh ulangan k ke - j

εij

: pengaruh galat percobaan pemupukan taraf ke - i, dan ulangan ke - k

i

: dosis abu jerami (P0 - P3) dan dosis pemupukan sebagai pembanding
(P4 - P6) ke - i (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7).

j

: kelompok (1, 2,3)
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, dengan uji lanjut Duncan

Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5 % (Gomez dan Gomez,
2007).
Pelaksanaan Penelitian
Lahan yang belum diolah ditumbuhi oleh gulma (Gambar 3). Pengolahan
lahan dilakukan dengan cara membuat saluran sehingga terbentuk bedengan dan
digenangi air sehingga kondisi bedengan selalu basah (Gambar 4). Setiap petak
percobaan memiliki ukuran 2 m x 2 m dengan jarak antar petak percobaan 30 cm,
saluran memiliki kedalaman 25 cm dan lebar 30 cm (Lampiran 6). Pemberian air
irigasi dilakukan sejak penanaman hingga panen dengan kedalaman muka air
15 cm di bawah permukaan tanah (DPT) (Gambar 2). Sumber air berasal dari
saluran sekunder maupun saluran tersier yang terpengaruh oleh pasang yang
dialiri melalui saluran drainase. Kelebihan air hujan dibuang melalui saluran
pembuangan agar kondisi tanah tidak terlalu jenuh.

16

Gambar 2. Ukuran Saluran Drainase dan Kedalaman Tinggi Muka Air 15 cm
Pemberian perlakuan dilakukan pada satu minggu sebelum penanaman
yaitu pada saat pengolahan tanah. Setiap petak percobaan diberikan pupuk
sebanyak 200 kg SP-36/ha. Penanaman dilakukan satu minggu setelah pengolahan
lahan. Setiap lubang tanam diberikan 3 benih kedelai dengan kedalaman lubang
1 - 2 cm. Insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53 % diberikan pada saat
benih ditanam sebanyak 15 g/kg benih untuk mengatasi lalat bibit. Penjarangan
dilakukan pada 2 Minggu Setelah Tanam (MST) untuk menghindari kompetisi
antar tanaman dalam menyerap unsur hara dan radiasi matahari menjadi
2 benih/lubang tanam (populasi tanaman 400 000 tanaman/ha). Kedelai diberikan
pupuk daun N pada 3, 4, 5, dan 6 MST dengan konsentrasi 10 g Urea/l air dengan
menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Gambar 3. Lahan Belum Diolah

Gambar 4. Lahan Sudah Diolah

Pengendalian terhadap gulma dilakukan secara manual pada 8 MST karena
telah mengganggu kondisi tanaman. Pengendalian hama dilakukan dengan
menggunakan pestisida berbahan aktif Cypermethrin 113 g/l, Klorantraniliprol
50 g/l, Fipronil 50 g/l dan BPMC 500 g/l. Pengairan dalam saluran dipertahankan
ketinggiannya sejak penanaman hingga panen.

17

Kriteria tanaman yang telah siap dipanen adalah pada saat kira-kira 90 %
dari populasi tanaman sudah luruh daunnya, warna polong sudah berubah dari
hijau berwarna kuning kecoklatan, polong dan biji sudah berkembang penuh,
kriteria penentuan saat panen seperti itu merupakan cara yang paling mudah untuk
menentukan saat masak fisiologis benih kedelai yang tepat. Panen dilakukan pada
tanaman kedelai di dalam ubinan dengan ukuran 1 m x 1 m (Gambar 5).

Gambar 5. Contoh Denah Panen dalam 1 Petak Percobaan
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 5 tanaman contoh di 21 unit satuan percobaan.
a. Pengamatan vegetatif
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai dengan titik tumbuh,
akan dilakukan pada 4, 8 MST, dan Saat Panen.
Jumlah daun telah terbentuk secara sempurna (terbuka), dilakukan pada 4 ,
dan 8 MST.
Bobot bintil akar, akar, batang dan daun umur 8 MST
b. Analisis hara tanah sebelum tanam.
c. Analisis abu jerami.

18

d. Pengamatan Komponen Produksi (saat panen)
1. Tinggi tanaman yang dipanen
Pengukuran dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman contoh tiap petak
percobaan.
2. Jumlah cabang per tanaman
Penghitungan dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman contoh tiap petak
percobaan.
3. Jumlah buku produktif dan tidak produktif per tanaman
Penghitungan dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman contoh tiap petak
percobaan.
4. Jumlah polong isi per tanaman
5. Jumlah polong hampa per tanaman
6. Bobot biji kering/m²(g)
Dilakukan dengan cara menimbang seluruh biji hasil panen pada setiap
petak percobaan.
7. Bobot kering 100 biji (g)
8. Produksi biji (ton/ha)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum
Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan dari bulan Juni sampai
Oktober 2011. Menurut Banyuasin (2010) wilayah Kabupaten Banyuasin sebagian
besar merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai
Musi dan Sungai Banyuasin. Wilayahnya pada umumnya berupa lahan basah yang
terpengaruh pasang surut, sehingga sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan
untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut.
Berdasarkan alat Global Positioning System (GPS) lokasi penelitian berada pada
ketinggian 28 meter di atas permukaan laut dengan letak lintang selatan 2 39’32”
dan bujur timur 104 43’618” merupakan wilayah pasang surut tipe luapan C.
Berdasarkan data klimatologi dari bulan Mei hingga bulan September 2011,
suhu di daerah penelitian penelitian berkisar antara 25.1 - 29.4 C (Lampiran 2),
kelembaban udara 62 – 90 % (Lampiran 3), dan lama penyinaran 0 – 100 %
(Lampiran 4).
Lahan pasang surut memiliki beberapa jaringan drainase. Lokasi penelitian
terdapat saluran primer (Gambar 6), saluran sekunder (Gambar 7), saluran tersier
(Gambar 8), dan saluran kuarter (Gambar 9). Semua saluran ini bermuara dari
sungai Musi. Air dari saluran ini terkena pengaruh pasang dari laut sehingga
terdapat kation dan anion dalam air yang didominasi oleh Na dan Cl. Hasil
penelitian Sahuri (2010) menyatakan kandungan kation dan anion dalam air yang
didominasi oleh Na dan Cl, namun daya hantar listrik rendah 0.488 mmhos/cm.
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman kedelai yang sangat sesuai (S1) memiliki salinitas kurang dari
2.5 mmhos/cm.
Hasil analisis tanah sebelum penanaman menunjukkan tanah bersifat
masam yaitu pH H O 4.94. Kandungan bahan organik tanah tergolong tinggi
dengan C/N sebesar 23 %. Tekstur tanah di lokasi penelitian tergolong liat dengan
kandungan pasir 1 %, debu 38 %, dan liat 61 %. Nilai Kapasitas Tukar Kation

20

(KTK) sebesar 25.33 cmol/kg dan Kejenuhan Basa (KB) sebesar 66 % tergolong
tinggi. Kadar pirit (FeS ) di lokasi penelitian 140 ppm dengan Al 0.84 cmol/kg
(Lampiran 5).

Gambar 6. Saluran Primer

Gambar 7. Saluran Sekunder

Gambar 8. Saluran Tersier

Gambar 9. Saluran Kuarter

Kecambah kedelai mulai muncul ke permukaan pada umur 5 hari setelah
tanam (HST) dan tumbuh rata pada umur 7 HST (Gambar 10). Serangan ulat
grayak (Gambar 13) dan belalang (Gambar 12) mulai terlihat pada umur 10 HST,
oleh karena itu dilakukan penyemprotan insektisida. Penyemprotan insektisida ini
dapat mengurangi serangan dari ulat dan belalang tersebut. Penjarangan dan
transplanting dilakukan pada umur 14 HST untuk mengurangi persaingan antar
tanaman dalam menyerap unsur hara dan radiasi matahari.

21

Gambar 10. Kedelai Berumur 7 HST

Gambar 11. Kedelai Berumur 21 HST

Gambar 12. Belalang Hijau

Gambar 13. Ulat grayak

Daun trifoliat pertama terbentuk sempurna pada umur 14 HST. Tanaman
kedelai mulai kuning warna daunnya pada umur 21 HST (Gambar 11). Menurut
Ghulamahdi (1999) hal ini karena kedelai beraklimatisasi dan selanjutnya
tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Menurut Puspitasari (2011) pada tahap
aklimatisasi banyak akar tanaman yang mati akibat kondisi jenuh. Kemudian
tanaman memperbaiki pertumbuhannya dengan membentuk akar dan bintil akar
yang baru. Penyemprotan N melalui daun dilakukan pada umur 21 HST. Gejala
penguningan daun mulai berangsur berkurang pada umur 30 HST, semua daun
sudah mulai hijau kembali.
Tanaman kedelai mulai terlihat berbunga pada umur 35 HST. Polong
mulai muncul pada umur 50 HST dan polong mulai mengisi sekitar umur 9 MST.
Umur 10 MST daun sudah mulai rontok hal ini diduga translokasi hara ke fase
pengisian polong sehingga pada saat itu air masih tetap diperlukan. Umur 11 MST
polong pada tanaman kedelai sudai terlihat terisi (Lampiran 13). Umur 13 MST
daun sudah seluruhnya rontok dan warna polong sebagian besar sudah coklat.
Kedelai dipanen pada umur 13 MST.

22

Hasil
Perlakuan yang digunakan adalah abu jerami yaitu jerami padi hasil panen
padi dibakar yang selanjutnya untuk dijadikan abu. Abu jerami yang digunakan
berwarna hitam (Gambar 14). Berdasarkan analisis, abu jerami yang digunakan
memiliki pH sebesar 10.60. Unsur hara yang terkandung pada abu jerami terdiri
dari unsur hara makro dan unsur hara mikro yaitu C, N, P΍Oΐ, Mg, Ca, K, Na, S,
Mn, Cu, dan Zn. Unsur K memiliki kandungan yang lebih tinggi dibanding unsur
hara lainnya dalam abu jerami yang dianalisis yaitu 3.79 g/100 g (Tabel 1).

Gambar 14. Abu jerami
Tabel 1. Data Analisis Abu jerami
No.
1
2
3
4

Peubah Analisis
pH H΍O
Wakley & Black
C
Kjedahl
N
Eks. Total (HNO Ύ + HClOΏ)
P΍Oΐ
Ca
Mg
K
Na
S
Fe
Mn
Cu
Zn

Hasil Analisis
10.60
1.37%
0.22%
0.54 g/100g
1.04 g/100g
0.61 g/100g
3.79 g/100g
0.07 g/100g
0.53 g/100g
1418 ppm
5.31 ppm
87.24 ppm

23

Tabel 2. Dosis Abu jerami terhadap Tinggi Tanaman, dan Jumlah Daun
Tanaman Kedelai

Perlakuan
Dosis Abu Jerami
P0
P1
P2
P3
Pembanding
P4
P5
P6

Peubah Analisis
Tinggi Tanaman
Jumlah Daun
13 MST
4 MST
8 MST
4 MST
8 MST
(Saat Panen)
20.50
21.25
20.46
22.35

59.26
60.88
59.20
58.93

76.32
75.93
74.60
74.52

6.6
6.8
6.5
6.2

12.1
14.0
15.2
12.6

21.33
21.51
20.64

61.13
63.01
62.41

74.27
76.58
76.43

6.8
6.7
6.3

13.4
13.1
12.7

Keterangan : P0 (tanpa abu sebagai kontrol), P1 (1 ton/ha), P2 (2 ton/ha), P3 (3 ton/ha),
P4 (100 kg KCl/ha), P5 ( 2 ton Kapur/ha), P6 (100 kg KCl/ha dan 2 ton Kapur/ha)

Tabel 3. Dosis Abu Jerami terhadap Bobot Bintil Akar, Akar, Batang,
dan Daun Kedelai pada Umur 8 MST
Perlakuan
Dosis Abu Jerami
P0
P1
P2
P3
Pembanding
P4
P5
P6

Bobot Bintil
Akar (g)

Peubah Analisis
Bobot Akar Bobot Batang Bobot Daun
(g)
(g)
(g)

0.63
1.47
1.02
0.74

0.87
1.09
1.22
1.55

2.30
7.18
4.99
7.53

4.11
9.16
5.91
9.15

1.01
1.33
1.12

1.24
1.30
1.63

6.84
6.71
5.32

8.59
8.67
7.62

Keterangan : P0 (tanpa abu sebagai kontrol), P1 (1 ton/ha), P2 (2 ton/ha), P3 (3 ton/ha),
P4 (100 kg KCl/ha), P5 ( 2 ton Kapur/ha), P6 (100 kg KCl/ha dan 2 ton Kapur/ha)

Analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh dosis pemupuka