MOTIVASI TURKI DALAM JAPAN-TURKEY ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT

(1)

1

MOTIVASI TURKI DALAM

JAPAN-TURKEY ECONOMIC

PARTNERSHIP AGREEMENT

TURKEY’S MOTIVATION IN JAPAN-TURKEY ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT

Oleh:

Muhammad Iqbal Rumodar

20120510314

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(2)

MOTIVASI TURKI DALAM JAPAN TURKEY ECONOMIC PARTNESRSHIP AGREEMENT

TURKEY’S MOTIVATION IN JAPAN-TURKEY ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : Muhammad Iqbal Rumodar

20120510314

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(3)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain.

Dalam Skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain—kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan jelas disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 23 Desember 2016


(4)

MOTTO

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (Q.S Al-Baqarah : 286)


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan

kepada kedua orang tua, Bapak Abdul Kadir Rumodar dan Ibu Markinem. Mohon maaf karena terlambat menyelesaikan tugas ini. Semoga tetap bisa

membanggakan.

Kepada saudara-saudari, kakak Nur Fitriya Rumodar, Fachrina Ramlah Rumodar, Taufieq Ramdani Rumodar, terima kasih sudah banyak membantu.

Kepada cah S.E.L.O, Aisyah, Krisna, Haryadi, Danar, Mirza, Nanda, Ria, Rifka, Iqbal, Anggit, Fiki, Arief, Aik, kalian yang terbaik.

Untuk sahabat-sahabat UMY 2012, Candra, Fadhli, Ninda, Ari, Irfina, Ovi, Bimo, Danar, Betty (Vidya Candra), terima kasih sudah banyak memberika support. Terima Kasih atas doa dan dukungannya, tidak akan pernah saya lupakan kalian semua.


(6)

5

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr Wb

Alhamdulillahirabbil’Alamiin, puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, serta salawat kepada Rasulullah SAW. Setelah perjuangan keras dan panjang yang menyita waktu dan pikiran, dengan segala Syukur kepada Allah SWT, akhirnya penyusunan skripsi berjudul “Motivasi Turki dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement”sebagai persyaratan kelulusan demi mendapat gelar sarjana (S-1) pada jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dapat terselesaikan. Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelsaian skripsi ini :

1. Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT karena ridho dan rahmat-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar dan tanpa ada sesuatu hambatan yang berarti, serta salawat kepada Rasulullah SAW.

2. Bapak Drs. Djumadi M. Anwar., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu baik dalam membimbing skripsi sampai tahap penyelesaian skripsi. 3. Bapak Dr. Surwandono, M.Si selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan

arahan dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Mutia Hariati Hussin, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Nur Azizah selaku kepala jurusan program studi ilmu hubungan

internasional Universitas Muhammadiyah serta Ibu Siti Muslikhati, S.IP, M.Si selaku sekretaris jurusan program studi ilmu hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

6. Seluruh dosen HI UMY yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya selama penulis menggali ilmu di program studi ilmu hubungan internasional.


(7)

6

7. Seluruh pegawai administrasi jurusan HI UMY, Pak Jumari, Pak Waluyo, dan pak Ayub, Pak Nur, yang telah membantu proses administrasi sehingga berjalan lancar.

8. Seluruh anggota keluarga Rumodar yang telah banyak mendukung dan mendoakan sehingga proses penyelesaian berjalan lancar. Mama, Bapak, Kakak, Ina, Opik.

9. Teman-teman HI UMY 2012 yang telah banyak membantu dan menghibur, serta memberi dukungan untuk tetap berjuang menyelesaikan studi penulis. Candra, Fadli, Ari, Ninda, Nanda, Ovi, Irfina, Bimo, Citra, yang telah memberi semangat dan dukungan.

10.Terima kasih kepada seluruh rekan-rekan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis sampai wisuda.

Mengakhiri kata pengantar ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu masukan dan saran dari pembaca. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak serta perkembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Yogyakarta, 26 Desember 2016


(8)

7

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN iv

MOTTO v

HALAMAN PERSEMBAHAN vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR BAGAN xi

BAB I 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Kerangka Berpikir 7

1. Kondisi Politik Dalam Negeri 8

2. Kondisi Ekonomi dan Militer 14

3. Konteks Internasional 15

D. Hipotesa 17

E. Metode Penelitian 18

F. Jangkauan Penelitian 18

G. Tujuan Penelitian 18

H. Sistematika Penulisan 19

BAB II 20

Perubahan Politik dan Ekonomi Turki Sejak Pemerintahan Profil Adalet ve Kalkinma

Partisi AKP 20

A. Profil Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) 20

B. Perubahan dalam Bidang Ekonomi Turki pada Pemerintahan Adalet ve Kalkinma

Partisi 28

C. Perubahan Politik Luar Negeri Turki pada Masa Pemerintahan Adalet ve Kalkinma

Partisi (AKP) 36

BAB III 41

Sejarah Perkembangan Hubungan Republik Turki dan Jepang 41

A. Hubungan Turki dan Jepang di awal abad ke-20 42

B. Era Perang Dunia Kedua 43


(9)

8

D. Hubungan Turki dan Jepang Setelah Tahun 2000 59

BAB IV 64

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemerintah Turki melakukan Perundingan Kerja sama dengan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement 64

A. Kondisi Ekonomi 64

1. Hubungan Perdagangan Turki dan Jepang 67

2. Investasi Turki dan Jepang 70

B. Politik Dalam Negeri 72

1. Aktor yang mempengaruhi dalam kebijakan Turkey-Japan Economic Partnership

Agreement 73

2. Pengambilan Kebijakan untuk Turkey-Japan Economic Partnership Agreement 76

BAB V 83

Kesimpulan 83


(10)

9

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. 1 : Skema determinan yang mempengaruhi tindakan politik luar negeri . 8 Bagan 1. 2 : Grafik ekspor dari Jepang ke Turki dan ekspor dari Turki ke Jepang dari tahun 2009-2015 ... 69 Bagan 1. 3 Investasi Turki dengan Jepang ... 72 Bagan 1. 4 Skema penerapan teori ... 82


(11)

(12)

BAB I

A. Latar Belakang

Kondisi hubungan internasional dewasa ini banyak dipenuhi oleh isu sosial dan budaya, lingkungan, serta isu ekonomi. Isu sosial meliputi pemberantasan perdagangan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, masalah suaka dan pengungsian, masalah pelanggaran hak asasi manusia dan lain sebagainya. Isu pemanasan global, perubahan iklim, dan konservasi hewan langka merupakan masalah yang populer dalam isu lingkungan, karena masalah-masalah tersebut banyak mendapat perhatian dari masyarakat di dunia yang tergabung dalam kelompok-kelompok aktivis peduli lingkungan. Selain itu, dalam Isu-isu ekonomi meliputi masalah ekspor dan impor, upaya negara-negara yang bekerja sama untuk mengurangi hambatan perdagangan atau free trade, masalah ketergantungan dan kesenjangan, foreign direct investment (FDI), dan lain sebagainya yang mampu mempengaruhi politik suatu negara baik itu isu domestik yang politik luar negeri maupun isu internasional yang mampu mempengaruhi politik dalam negeri.

Salah satu isu kontemporer dalam hubungan internasional adalah kerja sama internasional. Negara pada umumnya melakukan hubungan kerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan negaranya, salah satu bidang kerja sama untuk mencapai kesejahteraan dalam negeri adalah dengan menjalin kerja sama ekonomi dengan negara lain. Kerja sama ekonomi antarnegara bisa berupa kerja sama ekonomi di dalam suatu organisasi internasional seperti world trade organization, atau dalam suatu perjanjian antar negara, misal ASEAN-CHINA Free Trade Area(ACFTA) atau European Community, atau kesepakatan bilateral seperti


(13)

perjanjian kerja sama ekonomi (economic partnership) atau perjanjian free trade agreement (FTA) yang sering muncul dewasa ini. Salah satu negara yang melakukan kerja sama bilateral adalah Jepang, yang telah mengadakan perjanjian kerja sama ekonomi dengan Indonesia, Thailand, India, Tiongkok, Swiss, Vietnam, Australia, kemudian dengan beberapa negara lagi yang masih dalam tahap negosiasi seperti dengan Kanada, Korea Selatan, Kolombia, dan Turki. (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015) Hal yang serupa juga dilakukan oleh Republik Turki yang telah menjalin kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara secara bilateral, seperti perjanjian perdagangan bebas Turki dan Lebanon yang tinggal menunggu tahap ratifikasi, dan perjanjian perdagangan bebas Turki dan Suriah yang statusnya saat ini ditunda karena posisi politik luar negeri pemerintah Turki terhadap rezim Suriah. Serta dengan negara-negara seperti Israel, Macedonia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Palestina, Maroko, Tunisia, Mesir, Albania, Georgia, Montenegro, Serbia, Chile, Yordania, Korea Selatan, dan Mauritius. (Morrison, 2014) Selain itu, Turki juga menjalin kerja sama ekonomi dengan Jepang. Perlu diketahui Hubungan bilateral antara Turki dengan Jepang semakin intens sejak dekade terakhir.

Dalam sejarahnya hubungan kedua negara, yaitu Turki dan Jepang) telah ada sejak abad ke 19 yang pada saat itu Turki masih dalam era kesultanan Ustmani dan Jepang masih dalam era Meiji. Pada tahun 1890 Sultan Abdulhamid II Ottoman mengirim sebuah medali dengan kapal yang dipimpin oleh Osman Pasha untuk Kaisar Meiji Jepang. Dalam perjalanan pulang Kapal Ertuğrul yang membawa delegasi Turki terjebak dalam badai dan tenggelam di lepas pantai Jepang, awak kapal yang awalnya terdiri dari 540 orang menjadi hanya 64 yang berhasil


(14)

diselamatkan. (Çolakoğlu, 2014) Di era modern hubungan kedua negara secara resmi dimulai pada tahun 1924, yang pada saat itu Jepang membuka kedutaan besar di Ankara saat Republik Turki baru terbentuk, kemudian Turki membuka kedutaan besar di Tokyo setahun setelahnya. Namun saat perang dunia II pecah Turki memutuskan hubungannya dengan Jepang kemudian menyatakan perang melawan Jepang dan Jerman di tahun 1945. Setelah Perang Dunia II usai, kedua negara kembali membuka kedutaan besar di masing-masing negara pada tahun 1953 dan di tahun 1954 Jepang membuka Konsulat Jenderal di Istanbul. (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015)

Pada tahun 1985 pemerintah Turki dan Turkish Airlines membantu warga Jepang untuk meninggalkan Iran saat terjadi perang Iran-Irak. Kemudian pemerintah di Turki membuat sebuah keputusan untuk mengirim sebuah pesawat Turkish Airlines ke Teheran untuk mengevakuasi sekitar 200 warga Jepang yang berisiko terkena serangan udara yang dilakukan oleh Irak, yang saat itu pemerintah Jepang gagal dalam upaya mengirim pesawat untuk menyelamatkan warga Jepang. Hal ini menyebabkan respons besar di Jepang dan memperkuat citra Turki sebagai salah satu aliansi yang dapat diandalkan Jepang. Selain itu, kedua negara juga saling membantu dalam hal penanggulangan bencana seperti Jepang yang memberikan bantuan darurat ke Turki ketika negara itu dilanda gempa bumi besar di Izmit pada tahun 1999 dan di tahun 2011 Vandan Turki memberikan bantuan ke Jepang saat terjadi gempa Bumi dahsyat pada Maret 2011. (Higashino, 2014)

Sejak dibukanya kedutaan besar di masing-masing negara, hubungan Turki dan Jepang awalnya berfokus dalam melakukan kerja sama di bidang sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, seperti diadakannya pertukaran kesosial-budayaan


(15)

(cultural exchange) di masing-masing negara dan dibukanya Turkish-Japanese foundation culture center di Ankara tahun 1998 oleh Presiden Suleyman Demirel dan Pangeran serta Putri Tomohito dari Mikasa. Kemudian sejak tahun 2000 pejabat negara dari Turki mulai melakukan kunjungan-kunjungan resmi ke Jepang dan begitu pun sebaliknya (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015). Tujuan dari kunjungan-kunjungan tersebut selain untuk memperkuat hubungan kedua negara dibidang sosial-budaya juga untuk membahas mengenai peningkatan kerja sama di bidang ekonomi, yaitu Turki dan Jepang berusaha untuk meningkatkan volume perdagangan kedua negara yang berada pada angka US $4 miliyar, juga meningkatkan investasi asing langsung (foreign direct investment) dari Jepang ke Turki. (Kanan, 2015)

Pada bidang ekonomi pada tahun 1987, Federasi Bisnis Jepang yang disebut dengan Keidanren mengadakan pertemuan dengan Dewan Hubungan Ekonomi Luar Negeri Turki (The Foreign Economic Relations Board) untuk membentuk Japan-Turkey Joint Economic Commitee. Terdiri dari perwakilan pemerintah, sektor swasta dan akademisi, anggota JTC telah bertemu lebih dari dua puluh kali sejak awal organisasi. Mereka telah dicapai beberapa kesepakatan dan beberapa undang-undang.Tujuan dibentuknya komite ini adalah untuk memajukan dan memperkuat hubungan ekonomi antara Turki dengan Jepang. Kemudian pada tahun 1992 Jepang dan Turki menandatangani sebuah perjanjian mengenai promosi timbal balik dan perlindungan investasi, perjanjian ini disebut dengan The Japan-Turkey Agreement on Investment dan pada tahun 1993 perjanjian ini mulai diberlakukan. Tujuan dari ditandatanganinya perjanjian ini adalah untuk memperkuat kerja sama ekonomi bilateral Turki dan Jepang, memberikan


(16)

perlakuan yang saling menguntungkan baik dalam bidang investasi dan aktivitas komersial yang berhubungan dengan investasi maupun dalam perlindungan aset investasi.

Selanjutnya pada tahun 1993 Turki dan Jepang telah menyimpulkan negosiasi perjanjian untuk Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak dengan memperhatikan pada pajak penghasilan. Perjanjian ini ditandatangani oleh Turki dan Jepang pada tahun 1993 dan mulai diberlakukan pada tahun 1994. Perjanjian pajak ganda ini adalah kesepakatan rutin yang tidak membedakan hubungan bilateral antara kedua negara atau karakter hubungan perdagangan mereka dengan negara lain, tetapi tetap merupakan prasyarat untuk hubungan ekonomi yang lebih dekat dan dasar untuk kerja sama strategis bilateral. (Morrison, 2014)

Perundingan dengan Jepang terkait peningkatan kerja sama ekonomi bilateral ini tampaknya semakin serius dengan dimulainya perundingan untuk Japan-Turkey Economic Partnership Agreement (EPA). Negosiasi antara Turki-Jepang tentang EPA telah dimulai sejak Desember 2014. (Kanan, 2015) Dalam perundingannya, Jepang diwakili oleh Suzuki Toshiro (ketua Perdagangan internasional & kerja sama ekonomi) dan beberapa perwakilan dari kementrian lainnya, sedangkan Turki diwakili oleh Murat Yapici (Direktur jenderal bidang Kerja sama Uni Eropa) dan beberapa perwakilan dari kementrian lain. (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015)

Pada perundingan putaran pertama, kedua pihak membahas metode negosiasi dan lingkup negosiasi seperti perdagangan barang dan jasa. Pada putaran kedua, kedua pihak membahas tentang perdagangan barang, investasi, hak


(17)

kekayaan intelektual, perbaikan lingkungan bisnis, belanja pemerintah, Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), hambatan teknis dalam perdagangan (Technical Barriers to Trade), perdagangan elektronik, ketenagakerjaan dan ketentuan umum. Pada perundingan putaran ketiga, kedua pihak membahas mengenai bidang perdagangan barang, perdagangan bidang jasa, investasi, hak atas kekayaan intelektual, peningkatan lingkungan bisnis, belanja pemerintah, perdagangan elektronik, dan aturan-aturan umum, aturan-aturan mengenai asal barang (rule of origin), prosedur bea cukai, persaingan dan penyelesaian sengketa, Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), hambatan teknis dalam perdagangan (Technical Barriers to Trade), (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015). Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) adalah peraturan yang menjamin bahwa perdagangan barang yang dilakukan telah memenuhi standar kesehatan dan tidak mengancam kesehatan manusia, hewan dan, tumbuhan. Standar kesehatan yang ditentukan oleh suatu negara harus berdasarkan penelitian ilmiah dan tidak bersifat diskriminatif. Sedangkan Technical Barriers to Trade adalah kesepakatan yang bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan teknis, standar, dan prosedur pemeriksaan bersifat non-diskriminatif dan tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan. (Morrison, 2014)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis mengangkat rumusan masalah yaitu : Mengapa Turki meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement (EPA) ?


(18)

C. Kerangka Berpikir

Teori Pembuatan Kebijakan Luar Negeri

Menurut C. Plano dan Roy Olton, kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang diputuskan oleh para pembuat keputusan negara untuk menghadapi negara lain atau entitas politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasionalnya yang spesifik, dituangkan dalam kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya, walaupun kepentingan nasional suatu negara pada saat itu ditentukan oleh pihak yang berkuasa pada era tersebut. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, negara-negara maupun aktor lain dari negara tersebut mengadakan berbagai macam kerja sama bilateral, trilateral, regional ataupun multilateral (Perwita & Yani, 2005). Dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri menurut William D. Coplin, mendapat pengaruh dari berbagai pertimbangan tertentu. Menurut William D Coplin dalam membuat kebijakan luar negeri, para pembuat kebijakan dipengaruhi oleh tiga pertimbangan yaitu; pertama, kondisi politik dalam negeri, kedua, kondisi atau kemampuan ekonomi dan militer danketiga, konteks internasional yaitu posisi suatu negara dalam berinteraksi dengan negara lain. (Coplin & Marbun, 2003)


(19)

Penjelasan dari uraian di atas, oleh William D Coplin dibuatkan model sebagai berikut.

1. Kondisi Politik Dalam Negeri

Dalam model tersebut, Coplin lebih berfokus pada pengambil keputusan (decision maker) atau pihak yang berperan utama dalam membuat keputusan dalam berhubungan dengan negara lain. Menurut Coplin, kebijakan luar negeri mendapat pengaruh dari kondisi politik dalam negeri, karena adanya interaksi antara pembuat kebijakan luar negeri dengan aktor atau entitas di dalam negeri yang berupaya mempengaruhi politik luar negeri. Aktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri ini disebut “policy influencer”. (Coplin & Marbun, 2003)

Coplin juga menjelaskan Hubungan antara pengambil keputusan dengan policy influencers terjadi secara timbal balik. Hubungan antara pembuat kebijakan dengan policy influencers disebut dengan “policy influencer system. Pengambil keputusan membutuhkan policy influencers karena mereka merupakan sumber dukungan baginya, dukungan itu berupa kesetiaan angkatan bersenjata, dukungan

Politik dalam negeri

Pengambil Keputusan

Kondisi Ekonomi dan militer

Tindakan Politik Luar Negeri

Konteks Internasional (suatu produk tindakan politik luar

negeri seluruh

negara−pada masa

lampau, sekarang,

masa mendatang−

yang mungkin atau diantisipasi)

Bagan 1. 1 : Skema determinan yang mempengaruhi tindakan politik luar negeri

Sumber : Coplin, W. D., & Marbun, M. (2003). Pengantar Politik internasional : Suatu Telaah Teoritis. Bandung: Sinar Baru Algesindo.


(20)

finansial dari para pengusaha, dukungan rakyat dalam pemilu, atau ketidaksudian rakyat untuk melawan pemerintah. Di sisi lain, policy influencers membutuhkan pengambil keputusan untuk mempermudah jalan tuntutannya diputuskan sebagai suatu kebijakan. Apabila tuntutan policy influencers tidak dipenuhi oleh pengambil keputusan, maka sebagian atau bahkan seluruh dukungan dari policy influencers kepada pengambil keputusan akan hilang. Pengambil keputusan tidak selalu menanggapi tuntutan itu secara positif. Tetapi, para pengambil keputusan akan mengakomodasi sampai batas tertentu untuk bisa mengabaikan tuntutan itu. (Coplin & Marbun, 2003)

Teori William D Coplin tersebut diperkuat oleh pendapat David Easton tentang sistem politik. Menurut Easton, Kondisi Politik Dalam Negeri merupakan

gambaran mengenai “dukungan dan tuntutan” yang datang dari warga negaranya atau oleh Easton disebut dengan input. Input yang berupa tuntutan dan dukungan tersebut akan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan selanjutnya akan membentuk kondisi dalam negeri. Sehingga para pembuat keputusan dapat mengacu pada kondisi dalam negeri, apakah dukungan dan tuntutan dari aktor-aktor di dalam negeri sependapat dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pembuat kebijakan. (Budiardjo, 2003)

Terdapat empat aktor politik dalam negeri yang mempengaruhi para pembuat kebijakan luar negeri (policy influencer) yaitu Birokrat (bureaucratic influencer), Partai (Partisan influencer), Kelompok Kepentingan (Interest influencer), dan Massa atau pendapat masyarakat (Mass influencer). Keempat aktor politik dalam negeri tersebut, yang dikemukakan oleh Coplin, mirip dengan empat kategori milik Gabriel Almond yaitu elit politik yang terdiri dari para pejabat


(21)

terpilih serta anggota partai, elit administratif atau para birokrat, para elit kepentingan, dan elit komunikasi. Yang berbeda dari keduanya adalah kategori partai yang mempengaruhi (Partisan influencer), Coplin membedakan aktor yang mempengaruhi dengan para pembuat kebijakan sehingga pada kategori partai yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, tidak termasuk para pejabat terpilih seperti yang dikemukakan oleh Gabriel Almond. Coplin juga menjelaskan bahwa meskipun perlu dibedakan antara pembuat kebijakan dengan policy influencer, namun terkadang cukup sulit untuk mengadakan perbedaan itu karena sering kali satu pihak memainkan dua peran sekaligus. Yaitu peran sebagai policy influencer dan sebagai pembuat kebijakan, terutama dalam birokrasi politik luar negeri. (Coplin & Marbun, 2003)

a. Birokrat yang Mempengaruhi (bureaucratic influencer)

Birokrat yang mempengaruhi atau bureaucratic influencer merupakan kategori policy influencer yang ada di setiap negara. Birokrat ini sendiri merupakan organisasi-organisasi yang berskala luas sebagai bagian dari lembaga eksekutif yang biasanya tersusun berdasarkan posisi-posisi fungsional dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, politik luar negeri, maupun kesejahteraan sosial. Coplin menggunakan istilah bureaucratic influencer sebagai rujukan terhadap individu-individu dan organisasi-organisasi dalam lembaga eksekutif pemerintah yang berperan dalam membantu para pembuat kebijakan dalam menyusun maupun melaksanakan kebijakan-kebijakan. (Coplin & Marbun, 2003)

Terkadang anggota birokrasi juga memainkan peran sebagai pembuat kebijakan sehingga sulit untuk membuat pembeda antara birokrasi yang bertindak sebagai policy influencer dengan birokrasi sebagai pembuat keputusan. Hal


(22)

tersebutlah yang membuat birokrasi menjadi kelompok yang begitu berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan. Para birokrasi tersebut mempunyai akses langsung kepada para pembuat kebijakan, yaitu mereka menyalurkan informasi kepada para pembuat kebijakan dan kemudian melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan itu, dan dalam banyak kasus para birokrat ini tidak secara terbuka menolak kebijakan-kebijakan yang dibuat. (Coplin & Marbun, 2003)

Kelompok birokrasi bertindak di belakang layar dengan memberikan informasi-informasi untuk mengambil kebijakan dan kemudian digunakan sebagai instrumen untuk melaksanakan kebijakan itu. Pengaruh birokrasi dalam pengambilan kebijakan ditentukan oleh tingkat kepercayaan kelompok birokrasi terhadap pengambil kebijakan, sehingga dukungan dari rakyat tidak begitu diperhitungkan oleh birokrat dalam mempengaruhi kebijakan. (Coplin & Marbun, 2003)

b. Partai yang Mempengaruhi (Partisan influencer)

Partai yang mempengaruhi kebijakan atau Partisan influencer adalah kategori policy influencer yang bertindak untuk menerjemahkan tuntutan publik menjadi tuntutan politis yang kemudian disampaikan kepada para pembuat kebijakan terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Policy influencer kategori ini berupaya untuk mempengaruhi kebijakan dengan cara menekan pihak pihak yang berkuasa di pemerintahan dan dengan menyediakan kader-kader yang mampu berperan dalam pembuatan kebijakan. Partisan influencer juga sering berfungsi sebagai informasi dua arah antara para pembuat kebijakan dengan masyarakat. (Coplin & Marbun, 2003) Namun dalam sebagian kasus, Partisan


(23)

influencer memainkan peran yang terbatas dalam memengaruhi kebijakan luar negeri satu negara. Alasan utamanya adalah karena Partisan influencer lebih cenderung untuk memperhatikan keadaan politik dalam negeri dibandingkan politik luar negeri. isu yang sering diperhatikan oleh partisan influencer biasanya merupakan isu keamanan nasional, imigrasi, dan bantuan luar negeri. meski demikian, pembuat keputusan membutuhkan dukungan dari kelompok ini demi memelihara rezim. (Coplin & Marbun, 2003)

c. Kepentingan yang Mempengaruhi (Interest influencer)

Kelompok kepentingan yang mempengaruhi atau Interest influencer adalah sekelompok orang yang bergabung atas dasar serangkaian kesamaan kepentingan yang cakupan kepentingan tersebut tidak luas sehingga tak sama dengan aktivitas kelompok partai, dan dalam banyak hal kepentingan tersebut bersifat ekonomis. Interest influencer biasanya memainkan peranan yang besar karena banyak organisasi dan kelompok-kelompok informal dari berbagai macam kepentingan, baik ekonomis maupun non-ekonomis, mempunyai sumber finansial yang besar sehingga mampu mempengaruhi para pembuat kebijakan, terutama dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi di negaranya. (Coplin & Marbun, 2003)

Interest influencer menggunakan beberapa cara untuk membentuk dukungan atas kepentingan mereka, biasanya dengan melakukan orasi atau kampanye yang ditujukan baik kepada birokrasi, kelompok partai, maupun kepada pembuat kebijakan. Selain itu, kelompok ini dapat menjanjikan dukung finansial atau mengancam akan menarik dukungan finansialnya. Terkadang kelompok ini membiayai kampanye publik untuk membangun dukungan terhadap


(24)

kepentingannya yang kemudian bisa menekan pengambil kebijakan. (Coplin & Marbun, 2003)

d. Massa yang Mempengaruhi (Mass influencer)

Massa yang mempengaruhi atau Mass influencer yang dimaksudkan oleh Coplin adalah opini publik yang mengacu pada iklim opini yang berkembang dalam masyarakat yang menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan luar negeri. Dalam negara demokrasi, para pembuat kebijakan memerlukan Mass influencer atau massa karena peran mereka dalam pemilihan umum. Para pembuat kebijakan merumuskan berbagai keputusan dengan memperhitungkan dampak yang timbul terhadap opini publik dan di pemilihan umum berikutnya. (Coplin & Marbun, 2003)

Namun Coplin menjelaskan bahwa, dengan memperhitungkan opini publik bukan berarti bahwa para pembuat kebijakan dikendalikan oleh opini massa atau Mass influencer tersebut. Dalam beberapa kasus, para pembuat kebijakan menggunakan peluang untuk memanipulasi opini publik untuk mendukung kebijakan yang mereka buat. Walaupun masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi, tapi jarang dari mereka yang menyaring informasi yang mereka peroleh. Serta, walaupun masyarakat mampu menyaring informasi yang diperoleh, sebagian dari masyarakat tersebut tidak memiliki kemampuan dalam memberikan arahan yang baik kepada para pembuat kebijakan politik luar negeri. Dalam sebagian kasus, opini publik digunakan oleh pas pembuat kebijakan untuk merasionalisasikan atau membenarkan tindakan-tindakan politik luar negeri yang dibuat dan bukan menggunakan opini publik sebagai penentu kebijakan. Pembuat kebijakan membutuhkan dukungan dari mass influencer, terutama pada saat


(25)

menjelang pemilihan umum, sehingga para pembuat kebijakan memperhatikan dampak suatu kebijakan terhadap opini publik dan pada pemilu yang akan datang. (Coplin & Marbun, 2003)

2. Kondisi Ekonomi dan Militer

Dari segi kondisi ekonomi dan militer, menurut Coplin setiap negara patutnya memperhatikan kemampuan dan kondisi ekonomi ataupun militernya agar dapat mewujudkan tujuan dari kebijakan luar negerinya. Dari segi ekonomi, sektor kapasitas produksi barang dan jasa serta kebergantungan suatu negara pada perdagangan dan finansial internasional menjadi aspek yang perlu diperhatikan. (Coplin & Marbun, 2003)

Turki telah berhasil meningkatkan perekonomiannya sejak krisis yang melanda Turki di tahun 2000-2001 dengan melakukan perubahan kebijakan keuangan. Sejak AKP berkuasa di Turki, pemerintah Turki berusaha melaksanakan liberalisasi ekonomi, peningkatan investasi asing. (Alfan, 2015) Setelah diberlakukannya kebijakan yang memfokuskan pada ekspor, aktivitas ekspor menjadi hal yang penting bagi Turki. Sehingga muncul kemajuan terutama di sektor industri pangan, automobile, besi, dan tekstil. (ISPAT, 2014) Dibalik pertumbuhan ekonominya, angka pengangguran di Turki cukup tinggi, menurut laporan dari Turkish Statistics Institute (TurkStat) pengangguran di Turki terus meningkat, di awal tahun 2012 angka pengangguran mencapai 8,2% dari total populasi Turki, dan di akhir tahun 2013 mencapai 9,10%. kenaikan angka pengangguran diikuti dengan penurunan jumlah investasi yang masuk ke Turki. Dari 16,1 Miliar USD (tahun 2011), menjadi 13,2 Miliar USD (tahun 2012), dan turun lagi menjadi 12,4 Miliar USD (tahun 2013). (Today's Zaman, 2015) Berdasarkan paparan di atas, bisa


(26)

dikatakan bahwa perdagangan internasional dan investasi asing merupakan hal yang penting bagi Turki, sehingga pemerintah Turki berusaha untuk meningkatkan perdagangan internasionalnya dan aliran masuk investasi asing ke Turki.

3. Konteks Internasional

Selanjutnya menurut Coplin, faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri adalah konteks internasional. Pada dasarnya para peneliti hubungan internasional percaya bahwa konteks internasional, sering disebut juga sistem internasional, mampu mempengaruhi perilaku suatu negara. Perubahan tatanan dunia pasca Perang Dingin, yaitu saat negara-negara di dunia mulai berfokus pada pembangunan ekonomi negaranya, membawa dampak yang bagi perilaku suatu negara dengan negara lain. (Coplin & Marbun, 2003)

Menurut penjelasan Coplin, ada tiga elemen penting yang berkaitan dengan dampak konteks internasional terhadap politik atau kebijakan luar negeri suatu negara. Ketiga faktor itu adalah faktor geografis, ekonomi, dan politik. Selain itu Coplin juga menjelaskan bahwa konteks internasional suatu negara meliputi lokasi yang ditempati negara tersebut, dalam kaitannya dengan negara-negara lain di dalam sistem tersebut, dan berbagai hubungan ekonomi dan politik yang dimiliki negara tersebut dengan negara lain. (Coplin & Marbun, 2003)

Pada umumnya, faktor geografis yang memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Karena kerja sama regionalisme terjadi akibat faktor geografis yang dimiliki sekelompok negara. Faktor yang tidak kalah penting lainnya adalah faktor hubungan ekonomi. Arus pertukaran barang dan jasa serta arus modal dinilai mampu membuat suatu negara bergantung pada negara lain atau saling bergantung. Kemudian hubungan politik yang dimiliki suatu negara dengan


(27)

negara lain juga turut berperan dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Hubungan politik antarnegara ini yang berperan dalam aliansi antarnegara, serta hubungan perang dan damai. (Coplin & Marbun, 2003)

Di era yang sekarang ini, banyak negara-negara yang menjalin hubungan satu sama lain yang bersifat kerja sama. Kerja sama antarnegara dilakukan untuk mencari solusi dari suatu masalah kolektif maupun untuk meningkatkan kesejahteraan di masing-masing negara. Setidaknya dengan melakukan kerja sama internasional, setiap negara berusaha untuk mencari solusi dari dua tipe masalah. Tipe pertama terkait dengan keadaan di lingkungan internasional yang jika tidak dicari solusinya maka akan memberikan kerugian bagi negara-negara yang terlibat, misalnya masalah imigran gelap, peredaran narkoba, dan perdagangan manusia. Tipe yang kedua yaitu masalah yang membawa konsekuensi secara luas terhadap lingkungan internasional sehingga dianggap sebagai permasalahan yang menjadi tanggung jawab bersama. Isu-isu pada tipe kedua ini sering dibahas dalam forum kerja sama multilateral. (Coplin & Marbun, 2003)

Coplin menjelaskan, terdapat dua anggapan yang mendasari terjadinya kerja sama antarnegara. Yang pertama adalah anggapan bahwa suatu masalah tidak dapat diselesaikan jika tidak dilakukan kerja sama, dengan kata lain perlu ada kerja sama antarnegara untuk menyelesaikan suatu masalah. Anggapan yang kedua adalah bahwa penyatuan sumber daya akan mampu meniadakan kerugian berlebih, akibat dari usaha yang sia-sia, dan mampu meningkatkan efisiensi dari suatu pelaksanaan pekerjaan negara dalam bidang apapun. Terbatasnya sumber daya, seperti tenaga kerja dan pendidik yang terampil, modal, dan bahan mentah, dapat diatasi dengan melakukan kerja sama secara kolektif. Dalam bidang kerja sama


(28)

ekonomi, banyak kerja sama antarnegara yang berusaha memajukan pertumbuhan ekonomi di negaranya masing-masing dengan memperhatikan peningkatan perdagangan, pengaturan pasar, dan stabilitas kondisi finansial internasional. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat selain untuk meningkatkan perdagangan, juga untuk memperbaiki kondisi ekonomi secara umum dengan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. (Coplin & Marbun, 2003) D. Hipotesa

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, penulis munculkan hipotesa dari rumusan masalah “mengapa Turki meningkatkan kerja sama ekonomi dengan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement (EPA)? “ adalah :

1. Karena Turki berusaha meningkatkan perdagangan internasional dan investasi asing dengan Jepang.

2. Karena Turki mendapat pengaruh dari Kementrian Ekonomi Turki untuk meningkatkan kerja sama dalam Economic Partnership Agreemnet.

E. Metode Penelitian

Penulis melengkapi data dengan menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan menghimpun data sekunder yang memuat informasi-informasi yang berkaitan dengan topik penelitian (rumusan masalah), seperti buku-buku, media massa cetak maupun elektronik (online), dan sumber-sumber lain yang tepercaya.

F. Jangkauan Penelitian

Untuk memudahkan penelitian, penulis membatasi jangka waktu antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2013. Namun tidak menutup kemungkinan dalam


(29)

beberapa pembahasan penulis akan menyajikan data di luar jangka waktu penelitian tersebut, yang sekiranya perlu untuk dibahas.

G. Tujuan Penelitian

 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor atau penyebab yang mendorong pemerintah Turki dalam memulai kerja sama ekonomi bilateral dengan Jepang, dengan menggunakan Teori pembuatan kebijakan luar negeri milik William D. Coplin.

 Penelitian ini juga bertujuan untuk menambah bahan bacaan yang berkaitan dengan politik luar negeri Turki dan secara spesifik membahas tentang hubungan Turki dan Jepang dalam Japan-Turkey Economic Partnership Agreement

H. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori yang digunakan, hipotesa, metode penelitian, jangkauan penelitian dan tujuan penelitian.

Bab II : Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang perkembangan ekonomi dan politik Turki sejak pemerintahan AKP, yang akan membahas mengenai profil partai AKP, Inovasi kebijakan-kebijakan dalam hal ekonomi dan politik luar negeri Turki.

Bab III : Pada bab ini akan membahas sejarah dan dinamika perkembangan hubungan bilateral Jepang dan Turki. Bab ini akan dikaji dalam beberapa sub-bab yaitu pada awal abad ke 20, pada masa perang


(30)

Dunia II, pada masa setelah Perang Dunia II, serta pada masa setelah tahun 2000.

Bab VI : Pada bab ini penulis akan menjelaskan sistem pengambilan keputusan di Pemerintahan Turki, selanjutnya akan membahas faktor-faktor yang mendorong pemerintah Turki dalam memulai perjanjian kerja sama ekonomi dengan Jepang.

Bab V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan ringkasan singkat dari uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.


(31)

BAB II

Perubahan Politik dan Ekonomi Turki Sejak Pemerintahan Profil Adalet ve Kalkinma Partisi AKP

A. Profil Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP)

Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) merupakan hasil bentukan dari partai-partai basis Islam terdahulu yang dulunya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki. Partai-partai Islam pada era awal berdirinya Republik Turki mendapat tekanan dari pemerintah dan sulit untuk tampil dalam kancah politik Turki. Namun, sejak tahun 1961 dengan adanya konstitusi baru yang lebih liberal, memberikan sedikit ruang kebebasan untuk berpendapat bagi kelompok keagamaan untuk mengemukakan pendapat. Dalam situasi yang tampaknya lebih bersahabat ini, memberikan kesempatan bagi kelompok Islamis untuk mendirikan partai berorientasi islam di Turki. Partai basis Islam yang dibentuk pada masa itu adalah partai Islam pimpinan Necmettin Erbakan, yaitu Partai Tatanan Nasional (Milli Nizam Partisi, disingkat MNP) yang dibentuk pada tahun 1969. Namun tidak berselang lama, partai tersebut dibubarkan oleh mahkamah konstitusi Turki atas

dasar pertimbangan “menggunakan nilai agama sebagai tujuan politiknya”, yang

dianggap bertentangan dengan ide sekularisme yang dianut oleh Republik Turki. Sehingga elit-elit sekuler Turki menolak untuk memberikan kebebasan berpolitik bagi masyarakat yang terinspirasi dan mendukung nilai-nilai Islam. (Erdogan, 1999)

Militer yang berusaha menegakkan ideologi sekuler yang tercantum dalam konstitusi Republik Turki berpengaruh besar dalam menjaga kestabilan politik


(32)

Turki. Namun partai yang berhaluan Islam tidak dihilangkan melainkan diperbolehkan untuk beraktivitas atau dengan kata lain kelompok-kelompok Islam ditekan aktivitas politiknya oleh pemerintah militer. Hal ini dikarenakan militer berusaha membendung perkembangan paham komunisme di era perang dingin. Partai Islamis baru mendapat pengawasan yang sangat ketat pada saat memanasnya

isu “anti-sekularisme” di Turki tahun 1997 dan sempat dibubarkan pada tahun 1998. (Alfan, 2015)

Aksi militer yang mengambil alih pemerintahan ditandai dengan kudeta 28

Februari 1997 yang sering disebut dengan “Proses Februari 1997 atau kudeta Post modern”, dan dari kudeta Februari 1997 tersebut militer mengajukan memorandum kepada parlemen yang tujuannya untuk memastikan bahwa ideologi sekularisme ditegakkan, negara mengontrol pendidikan Islam, pelarangan penggunaan fasilitas keagamaan untuk maksud politik, dikendalikannya kelompok media yang menentang militer, mantan anggota militer yang pernah menentang sekularisme tidak diizinkan untuk bekerja di birokrasi pemerintahan atau sektor swasta manapun, pencegahan pengaruh ekstrimis ke dalam tubuh militer, perguruan tinggi, peradilan, dan birokrasi, penyelesaian masalah politik di Turki bukan berdasar pada komunitas agama. (Alfan, 2015) Tekanan-tekanan tersebut membuat partai Islam harus dibubarkan serta menghasilkan respon dari para politisi Islamis yang berusaha untuk tetap eksis di kancah perpolitikan Turki.

Setelah partai berorientasi Islam dibubarkan, para aktivis partai (elit Partai) tersebut kemudian membentuk partai Kebaikan (dalam bahasa Turki disebut dengan Fazilet Partisi, FP) tahun 1998 yang di dalamnya terpecah menjadi dua faksi. Faksi pertama adalah mereka yang tetap berpegang teguh pada pemikiran


(33)

politik Erbakan, para tradisionalis, dan faksi kedua adalah mereka yang kontra dengan faksi tradisionalis dan memilih pemikiran politik yang realistis yang dapat menguntungkan, yaitu faksi reformis. (Alfan, 2015) Faksi tradisionalis, yang dipimpin oleh Recai Kutan, lebih mendominasi dalam kepengurusan partai sehingga faksi reformis, yang dipimpin Abdullah Gul, terpinggirkan dari partai ini. Perseteruan antara faksi tradisionalis dan faksi reformis mencapai puncaknya pada pasca-kongres I FP di bulan Mei 2000, saat Abdullah Gul dikalahkan Kutan, kemudian Abdullah Gul dilaporkan ke komisi disiplin partai dengan alasan telah mengadakan pertemuan dengan Deniz Baykal, pemimpin CHP. (Alfan, 2015) Satu tahun kemudian, yakni pada Juni 2001, Fazilet Partisi dibubarkan pemerintah dengan alasan bahwa partai ini anti-sekuler. Kedua faksi dalam FP, faksi tradisionalis dan faksi reformis, memutuskan untuk berpisah dan menempuh jalan politik masing-masing. Faksi tradisionalis yang dipimpin Kutan membentuk Partai Kebahagiaan (Saadet Partisi, SP), sedangkan faksi reformis yang dipimpin Abdullah Gul memilih bergabung dengan Recep Tayyip Erdogan dan membentuk partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi, AKP). (Alfan, 2015)

Setelah dibubarkan, pecahan dari partai Islamis muncul lagi untuk

mengikuti pemilu tahun 2002. Pecahan dari partai Islamis yang “mendadak populer” adalah Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) yang berhasil menang telak pada pemilu 2002. Penyebabnya adalah kandidat-kandidat AKP yang populer di masyarakat dan ideologi partai yang moderat dengan mendukung pasar bebas, demokrasi-konservatif, menekankan nilai-nilai tradisional Turki-religius, pro-Uni Eropa. Selain itu, krisis ekonomi yang dialami Turki pada tahun 2000 membuat


(34)

masyarakat kecewa dengan pemerintahan sekuler karena mereka dinilai tidak bisa mengatasi masalah krisis ekonomi tersebut, sehingga masyarakat beralih pada AKP yang punya figur berprestasi dalam membangun kota Istanbul. (Alfan, 2015)

Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) oleh masyarakat luar dianggap sebagai partai yang berhaluan Islam dan berorientasi pada nilai-nilai ajaran Islam. Anggapan ini muncul di tengah masyarakat luas karena AKP merupakan

“keturunan” dari partai Islam di masa lalu, yang mana para pembentuk partai ini

adalah pengikut dari ide-ide Necmettin Erbakan. Seorang peneliti dari Cambridge University, M. Hakan Yavuz melakukan studi pada partai ini mengatakan bahwa di dalam AKP terdapat dua haluan ideologis yaitu haluan Turki-Islam dan haluan Islam-Turki. Haluan Turki-Islam lebih mendorong persaudaraan politik dan rasa nasionalisme daripada rasa persaudaraan yang berdasar sesama muslim, tapi tetap menganggap bahwa Islam adalah asas yang penting bagi kebudayaan Turki. Sedangkan haluan Islam-Turki lebih mendorong persaudaraan Islam, baru kemudian rasa persaudaraan nasionalisme. Bagi haluan Islam-Turki kebudayaan dan identitas bangsa merupakan cerminan dari nilai-nilai Islam era Dinasti Ustmaniyah, dan haluan ini memiliki keraguan terhadap ideologi kemalisme yang diterapkan di Turki. (Alfan, 2015)

Meskipun banyak yang menganggap bahwa partai ini adalah partai berorientasi Islam, dari pihak partai ini sendiri malah menolak diklasifikasikan sebagai partai berorientasi Islam. Dokumen-dokumen resmi dan pidato-pidato para petinggi partai yang menekankan bahwa Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) adalah partai demokrat-konservatif dan bukan partai Islam. Salah satu contoh pidato kader AKP yang mengkritik media-media yang mengatakan bahwa AKP merupakan


(35)

Partai Islam, ungkapan yang disampaikan oleh Erdoğan yang mengatakan bahwa

AKP bukan partai Islamis melainkan partai demokrat-konservatif. (Taşpınar, 2012) Selain itu, pidato dari Hüseyin Çelik yang dalam pidatonya mengkritik media barat yang dalam mendeskripsikan AKP selalu menggunakan kata-kata “partai Islam”,

“Islamis”, “berbasis Islam” dan sebagainya, Celik juga menekankan dalam

pidatonya bahwa AKP adalah partai Demokrat-Konservatif yang menekankan nilai-nilai moral dan sosial. (Hürriyet Daily News, 2010)

Dengan adanya pernyataan dari para elit-elit Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) yang menyatakan bahwa Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) merupakan partai demokrat-konserfatif yang menjunjung tinggi nilai moral dan sosial, serta bukan merupakan partai berorientasi Islam, tentu terdapat perbedaan dengan

partai-partai “induk” yang dulunya adalah partai-partai tempat para elit AKP berlaga dalam ranah

politik di Turki. Perbedaan-perbedaan tersebut lebih cenderung bersifat transformatif, yaitu Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) menjadi berbeda setelah para elitnya mendapat berbagai pengalaman dalam berpolitik di dalam partai-partai induk yang terdahulu. Partai-partai induk tersebut misalnya adalah Partai Kesejahteraan (PK) atau dalam bahasa Turki disebut Refah Patisi (RP) dan partai Kebaikan (dalam bahasa Turki disebut dengan Fazilet Partisi, FP). (Alfian, 2015)

Menurut Ziya Öniş perbedaan-perbedaan antara Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP), Refah Patisi (RP), dan Fazilet Partisi (FP) terlihat dalam beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut adalah aspek peran ekonomi negara, aspek demokratisasi, Nasionalisme, Nilai keagamaan dan nilai moral, Sentralisasi dan Pemerintahan lokal, Orientasi kebijakan luar negeri, dan gaya berpolitik. (Öniş, 2006)


(36)

Pada Aspek peran ekonomi negara Refah Partisi (RP) sangat menekankan peran negara dalam perekonomian seperti meredistribusikan ekonomi, selain itu pemerintah juga harus memiliki peran aktif dalam memberikan subsidi dalam pembangunan industri. Menurut partai ini, privatisasi tidak ditekankan. Menurut Fazilet Partisi (FP) dalam aspek peran ekonomi negara terdapat beberapa acuan dalam peran negara untuk mendistribusikan perekonomian, lebih menekankan pada persaingan atau kompetisi pasar, dan yakin pada kekuatan pasar dan privatisasi. Sedangkan menurut Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) perekonomian negara harus sejalan dengan nilai-nilai ekonomi liberal, menekankan investasi asing, mendukung privatisasi dan regulasi ekonomi pasar yang tepat, mempertimbangkan keadilan sosial, menyediakan layanan sosial dalam batasan anggaran belanja yang sesuai dengan program IMF. (Öniş, 2006)

Dalam aspek demokratisasi, menurut Refah Partisi (RP) hak-hak individu atau perseorangan tidak dipertimbangkan, partai ini sangat menekankan hak-hak sosial dan adanya kebebasan melakukan praktik-praktik keagamaan. Menurut Fazilet Partisi (FP) hak-hak individu dan hak asasi manusia sangat ditekankan, sebagai bagian dari hak berdemokrasi terutama dalam lingkup menjalankan praktik-praktik keagamaan. Sedangkan menurut Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) konsolidasi demokratik sangat ditekankan dengan adanya perbaikan-perbaikan secara terus-menerus dalam bidang hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga sipil, adanya keterlibatan yang kuat dari masyarakat madani, dan sesekali mempertimbangkan kebebasan beragama. (Öniş, 2006)

Dalam aspek nasionalisme, Refah Partisi (RP) sangat besar rasa nasionalismenya dan menginginkan Turki memiliki peran yang besar sebagai


(37)

pemimpin bagi dunia Islam. Sedangkan Fazilet Partisi (FP) tidak begitu menonjolkan rasa nasionalisme. Dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) sangat kosmopolitan dalam cara berpandang, elemen-elemen nasionalistis agak diredupkan. (Öniş, 2006)

Dari segi agama dan nilai moral, Refah Partisi (RP) sangat kuat dalam menonjolkan nilai keagamaan. Partai ini secara spesifik membuat garis besar rekomendasi-rekomendasi yang secara khusus mengambil referensi dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Hal tersebut yang menjadikan pembeda atau karakteristik utama dari program-program Refah Partisi (RP). Sedangkan Fazilet Partisi (FP) menekankan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai moral meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan referensi dari Islam atau nilai-nilai Islam. Partai ini, Fazilet Partisi (FP), mendorong adanya kebebasan beragama sebagai bagian dari agenda hak-hak individu dan demokratisasi yang lebih luas. Sedangkan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) menggunakan aturan-aturan dari sekularisme sebagai titik dasar-dasar referensi. Prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai moral dianggap sebagai norma sosial yang berkembang secara luas di kalangan masyarakat Turki dan bukan secara spesifik menekankan pada nilai-nilai Islam. Partai ini juga beranggapan bahwa kebebasan beragama merupakan program yang lebih luas dari demokratisasi. (Öniş, 2006)

Dari segi bentuk pemerintahan sentralisasi dan desentralisasi/pemerintah lokal, Refah Partisi (RP) menekankan adanya peran aktif dari pemerintah pusat dan sangat sedikit mengacu pada pemerintahan di bawahnya atau pemerintah lokal. Sedangkan Menurut Fazilet Partisi (FP), perlu diterapkannya desentralisasi dan penyebaran wewenang atau kekuasaan kepada pemerintah lokal. Menurut Adalet


(38)

ve Kalkinma Partisi (AKP), senada dengan Refah Partisi, sangat menekankan pada desentralisasi dan kapasitas pembuatan kebijakan dari pemerintah-pemerintah lokal. (Öniş, 2006)

Dalam aspek orientasi kebijakan luar negeri, Refah Partisi (RP) sangat anti-Barat dan anti-Uni Eropa, serta dengan keras menolak keberadaan Israel dan berusaha menjalin hubungan yang lebih dengan dengan dunia Islam. Sedangkan Fazilet Partisi (FP) lebih tertarik pada kebijakan luar negeri dengan pendekatan yang aktif dan seimbang, menolak sikap-sikap yang anti terhadap barat maupun anti-Uni Eropa, dan tidak secara eksplisit atau terang-terangan merujuk kepada negara-negara muslim. Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) memiliki sikap yang saga berbeda, partai ini (Adalet ve Kalkinma Partisi, AKP) menyatakan sangat pro-Barat dan Pro-Uni Eropa dan memiliki komitmen penuh dan kuat untuk menjadi anggota Uni Eropa, bersikap terbuka dalam menyetujui penyelesaian masalah pada isu-isu luar negeri yang dianggap penting, misalnya kasus Siprus, serta mengikuti pendekatan yang seimbang terhadap negara-negara Timur Tengah. (Öniş, 2006)

Dalam gaya berpolitik partai-partai tersebut juga memiliki ciri khas asing asing. Refah Partisi (RP) memiliki gaya berpolitik yang agresif, asertif atau tegas, dan percaya diri, serta, partai ini sering kali menggunakan retorika-retorika populis. Sedangkan gaya berpolitik Fazilet Partisi (FP) cenderung lebih defensif dan lebih tenang. Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) memiliki gaya berpolitik yang lebih menekankan pada berdialog dan membangun konsensus, cenderung mengatakan

partainya sebagai ‘Demokrat Konservatif’ dan mendefinisikan partainya secara


(39)

B. Perubahan dalam Bidang Ekonomi Turki pada Pemerintahan Adalet ve Kalkinma Partisi

Sebelum Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) menang dalam pemilihan umum tahun 2002, kondisi ekonomi Turki sedang mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi itu disebut sebagai krisis ekonomi terbesar dalam sejarah Republik Turki jika dibandingkan dengan krisis ekonomi lainnya yang pernah melanda Turki. Setidaknya telah terjadi tiga kali krisis ekonomi dalam sejarah Republik Turki yaitu yang pertama pada tahun 1930, 1970, dan tahun 2000. Akibat dari terjadinya gejolak politik yang tidak stabil di Turki pada masa awal pembentukan Republik Turki, perekonomian Turki juga terkena dampaknya. (Onder, 1990) Pemerintah Turki selama awal 1930-an melakukan pemulihan ekonomi dan menyusun doktrin yang dikenal sebagai etatism, yaitu industrialisasi yang dipimpin negara dan menerapkan perekonomian tertutup. Namun perkembangan ekonomi Republik Turki, sejak berdirinya tahun 1923, berjalan lambat dan stagnan pada akhir 1940-an akibat per1940-ang dunia II. (Onder, 1990) Kemudi1940-an Pada tahun 1970 Turki dil1940-anda krisis ekonomi yang pada saat itu pemerintah Turki gagal mengambil tindakan yang memadai untuk menghadapi efek dari kenaikan harga minyak dunia di tahun 1973-1974 yang membuat pemerintah melakukan pinjaman jangka pendek dari kreditur asing, yang berakibat pada kudeta militer di tahun 1971. Dan pada tahun 1979, krisis semakin memuncak, angka pengangguran meningkat, dan perindustrian tidak berproduksi secara maksimal. (Onder, 1990)

Krisis moneter yang pernah melanda berbagai negara mulai tahun 1998, mulai melanda Turki pada tahun 2000-2001. Pemerintah Turki saat itu dipandang tidak berhasil dalam menanggulangi masalah krisis ekonomi dan juga tidak mampu


(40)

mengatasi praktik korupsi di dalam pemerintahan. Pemerintahan sekuler yang dipimpin oleh Ecevit tidak mampu mengeluarkan Turki dari krisis ekonomi pada November 2000 yang kemudian bertambah parah dengan adanya krisis ekonomi pada Februari 2001. (Alfan, 2015) Krisis tersebut merupakan krisis ekonomi terparah dalam sejarah Turki yang ditandai dengan produk nasional bruto (Gross National Product, GNP) menurun sebanyak 9,4%, selain itu pendapatan per kapita anjlok dari 2.986 USD menjadi 2.110 USD per tahun. Krisis ekonomi tersebut juga menyebabkan pengangguran, banyak perusahaan skala kecil menjadi bangkrut, yang menjadikan krisis ekonomi ini dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Turki. (Alfan, 2015) Selain itu, Krisis ekonomi yang terjadi di Turki tahun 2000-2001 juga membawa dampak yang sangat dramatis yang ditandai dengan penurunan ekonomi secara struktural yang tidak dapat dikendalikan, terutama di sektor perbankan umum yang merupakan salah satu pendorong dalam menambah likuiditas dalam sistem ekonomi Turki. Kemudian sektor-sektor yang baru terkena dampak dari krisis ekonomi tahun 2001 ini adalah seluruh lapisan masyarakat Turki, orang-orang kaya maupun orang miskin, orang-orang bersekolah maupun yang tidak sekolah, semuanya merasakan dampak negatif dari krisis tersebut. Terjadi pengangguran yang terus meningkat disertai kebangkrutan yang terjadi secara meluas, terutama bagi sektor usaha kecil-menengah. Sektor perbankan merasakan dampak krisis secara drastis dan harus melakukan pengurangan jumlah yang besar dari karyawannya. Bahkan para konglomerat merasakan terjadinya pengurangan dari penghasilan keuntungan yang didapatkan akibat krisis 2001 ini.


(41)

Krisis ekonomi yang melanda Turki tersebut mulai dapat selesaikan sejak kemenangan AKP. Setelah berhasil memenangkan pemilihan umum di tahun 2002 dan menjadi partai dominan dalam pemerintahan Turki, pemerintahan AKP membuat kebijakan yang sarat dengan nilai-nilai perubahan atau kebijakan reformis yang bertujuan untuk secara signifikan meningkatkan komitmen terhadap upaya pemerintah dalam menjaga kestabilan fiskal untuk jangka panjang dan mereformasi kebijakan politik terkait hubungan dengan Uni Eropa. (Öniş, 2009) Kebijakan-kebijakan yang bersifat reformis ini digagas oleh Uni Eropa dan International Monetary Fund (IMF), pada dasarnya didukung oleh kelompok-kelompok bisnis dari dalam negeri, baik itu konglomerat atau kelompok bisnis berskala besar maupun kelompok bisnis berskala menengah dan kecil. Bagi kelompok-kelompok bisnis ini, adanya kombinasi dalam perubahan politik dan ekonomi mampu membentuk peraturan-peraturan yang berdasarkan pada aturan dasar ekonomi yang mampu mengatasi ketidakseimbangan dan buruknya acuan dalam pembangunan pada era sebelumnya, yaitu kesuksesan perekonomiannya sangat bergantung pada hubungan politik yang bersifat patron-klien dan adanya dukungan dari pemerintah.

(Öniş, 2009)

IMF telah terlibat dengan manajemen ekonomi makro di Turki baik sebelum dan setelah krisis, dan memberikan bantuan keuangan sebesar $ 20,4 miliar, antara 1999 dan 2003. Setelah krisis, Turki menerapkan strategi untuk menaikkan suku bunga dan mempertahankan nilai tukar yang tinggi. Pemerintah Turki kemudian mengikuti kebijakan fiskal kontraksioner, dan berjanji untuk memenuhi tuntutan IMF yang berupa mengurangi subsidi untuk pertanian,


(42)

privatisasi, dan mengurangi peran sektor publik dalam kegiatan ekonomi. (Yeldan & Ünüvar, 2015)

Pertumbuhan yang cepat, didorong oleh arus masuk besar-besaran dari modal keuangan asing, yang terpikat oleh tingkat signifikan pengembalian tinggi yang ditawarkan di dalam negeri. sehingga salah satu fenomena yang paling sering diungkapkan di masa pemerintahan AKP pasca krisis 2001 adalah fenomena munculnya gelombang besar pada sektor investasi swasta baik itu dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang menjadi pendongkrak pemulihan ekonomi Turki paskah krisis 2001. (Yeldan & Ünüvar, 2015) Fenomena ini muncul dikarenakan Turki mampu memenuhi persyaratan anggaran yang ketat dari IMF yang hasilnya berupa turunnya angka inflasi hingga satu digit yang mampu meningkatkan rasa percaya diri dalam kecakapan pemerintah yang berkomitmen pada kestabilan dan perubahan, ditambah dengan jatuhnya tingkat suku bunga riil yang menjadi sebuah pertanda terhadap kepercayaan dari para investor. (Öniş, 2009)

Karakteristik yang mendasari aturan-aturan keuangan pasca krisis Turki sangat bergantung pada pemeliharaan suku bunga yang tinggi dalam mengantisipasi peningkatan arus modal asing ke dalam perekonomian domestik. Ditambah dengan kebijakan fiskal kontraksioner yang menyeluruh, program ini mendapat sumber utama pertumbuhannya pada aliran masuk dana asing. (Yeldan & Ünüvar, 2015) Selain itu, krisis ekonomi yang parah memicu keharusan reformasi pada aturan-aturan keuangan negara, termasuk amandemen dalam UU CBRT (The Central Bank of the Republic of Turkey) pada April 2001, yang kemudian memberikan independensi kepada Bank Sentral. Pada awal masa jabatan di pemerintahan, para aktor ekonomi AKP menggunakan retorika Bank Sentral yang independen ini


(43)

sebagai bagian dari strategi promosi dalam upaya untuk membangun kembali kepercayaan dari investor asing ke negara itu. (Yeldan & Ünüvar, 2015)

Kebijakan-kebijakan yang bersifat reformis dari pemerintahan AKP dalam mengatasi masalah perekonomian pasca krisis 2001 oleh Anakcı diklasifikasikan menjadi dua kelompok kebijakan umum yaitu kebijakan re-Regulation dan kebijakan de-Regulation. Kebijakan re-Regulation antara lain, sebagai berikut :

1. Peningkatan disiplin fiskal peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan anggaran belanja negara, serta memperbaiki administrasi perpajakan.

2. Penguatan otonomi Bank Sentral melalui perlindungan hukum. 3. Meningkatkan otonomi Badan Pengatur dan Pengawas Bank dan

memperketat regulasi perbankan dan sistem keuangan.

4. Memperkuat kedudukan badan pengatur otonom di beberapa daerah ekonomi termasuk Energy dan komunikasi.

5. Transparansi yang jauh lebih besar dalam proses privatisasi. (C,Anakcı, dalam Öniş, 2009)

Sedangkan kebijakan de-Regulation antara lain :

1. Liberalisasi ekonomi yang lebih lanjut seperti penghapusan monopoli negara dalam sektor listrik dan produksi tembakau. 2. Pengurangan tarif pajak perusahaan.

3. Mengurangi hambatan administratif untuk investasi asing langsung (Foreign direct Investment, FDI).


(44)

5. Revitalisasi program pertanian. (C, Anakcı, dalam Öniş, 2009) Sejak AKP menjadi partai yang memerintah Turki kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi mulai terlihat, sebagai hasil dari upaya pemerintahan AKP dalam melakukan perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial politik di Turki. Pemerintahan AKP menganggap bahwa perubahan mampu mengantarkan pada stabilitas yang lebih besar, selain itu Pemerintahan AKP juga menganggap bahwa faktor eksternal seperti dorongan untuk menjadi anggota di Uni Eropa atau tekanan dari International Monetary Fund (IMF), dapat menjadi penentu dalam memicu perubahan dan meningkatkan kesejahteraan. (Öztürk, 2011) Pada tahun 2003, Pemerintahan AKP melaksanakan program stabilitas yang ditawarkan oleh IMF serta mengadopsi kebijakan yang berisi strategi untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa, sebagai pendorong dalam mewujudkan perubahan yang diharapkan. Langkah-langkah tersebut pada akhirnya membuahkan hasil, pada tahun 2002-2007 Turki mengalami kondisi terpanjang dalam pertumbuhan ekonomi yang tidak mengalami gangguan dengan rata-rata persentase sebesar 6-7% tiap tahunnya. (Öztürk, 2011) Kemudian pada tahun 2010, GDP per kapita Turki telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 2002, Majalah Time menyebutkan bahwa sejak AKP pertama berkuasa defisit APBN telah turun menjadi dua pertiga. Dari tahun 2002 sampai 2010, GDP tumbuh dengan tingkat tahunan sebesar 4,8%, lebih besar dari Rusia, Brasil dan Korea Selatan. Pada tahun 2010, GDP Turki tumbuh 8,9%. (Ghosh, 2011) Sehingga, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Turki mampu pulih dengan baik dari krisis ekonomi global tahun 2009 dan perekonomiannya membaik pada tahun 2010 dengan peningkatan lebih dari 7%


(45)

serta nilai ekspor naik lebih dari empat kali lipat dari 32 miliar USD pada tahun 2002 menjadi 132 miliar USD pada 2009. (Migdalovitz, 2011)

Karena pertumbuhan ekonomi Turki yang semakin kuat di bawah pemerintahan AKP yang dipimpin oleh Erdoğan, majalah Newsweek memberi julukan “The Robust Man” kepada Erdoğan. Selain itu, kolom Newsweek menjelaskan bahwa dengan perekonomian Turki yang kuat, kelompok G20 mampu mengungguli G7 di dalam tatanan ekonomi global, karena Turki, Brazil, India dan negara G20 lainnya semakin memainkan peran penting dalam perekonomian global. (Alfan, 2015) Pertumbuhan ekonomi Turki merupakan buah dari kebijakan orientasi ekspor yang diterapkan pada tahun 1980-an yang menjadikan Turki mandiri dan ekspansif dalam bidang perdagangan. Turki masih bergantung pada kerja sama dengan negara-negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Italia. Namun di sisi lain, perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah juga berkembang ketika Turki mulai mengajak negara-negara di Timur Tengah untuk mengadakan kawasan perdagangan bebas (Free Trade area), seperi dengan Yordania, Lebanon, dan Suriah. Sebagai dampak, perdagangan barang dan jasa serta perdagangan energi menjadikan Turki dan negara-negara tetangganya saling terikat. (Alfan, 2015)

Perkembangan ekonomi Turki yang baik setelah krisis ekonomi yang melanda Turki di tahun 2001, merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintahan AKP untuk merealisasikan misi mereka yaitu menjadikan Turki sebagai negara dengan ekonomi yang besar di dunia. Peraturan-peraturan pasca krisis Turki di bawah pemerintahan AKP sedikit banyak mengikuti langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah negara berkembang di berbagai negara, yang bergantung pada


(46)

modal asing dan diharuskan mematuhi syarat untuk mengadopsi atau mengelola kebijakan kontraksioner untuk mendapatkan kepercayaan investor dan kredit internasional. Upaya tersebut hanya berfokus pada memperoleh anggaran yang seimbang, pengeluaran fiskal yang mapan, dan kebijakan moneter yang relatif kontraksioner dengan berkomitmen pada suku bunga riil yang tinggi. (Yeldan & Ünüvar, 2015)

C. Perubahan Politik Luar Negeri Turki pada Masa Pemerintahan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP)

Pergeseran dalam kebijakan Turki terhadap negara tetangganya yang dramatis dan dapat dijelaskan hanya dengan bertumpu pada faktor internasional, regional, dan domestik. Pada faktor internasional dan regional, yang berpengaruh besar dalam perubahan arah kebijakan Turki adalah pecahnya Uni Soviet. Sebagaimana Amerika Serikat dan sekutunya Eropa berusaha untuk mengisi kekosongan kekuasaan politik di kawasan Eurasia. Mereka telah mencoba untuk membuat Turki sebagai model negara yang menggabungkan Islam "moderat" dengan sekularisme region tersebut. (Murinson, 2012)

Di sektor domestik, sebelum AKP berkuasa di Turki, berdasarkan konstitusi 1981, Milli Güvenlik Kurulu (MGK) atau Dewan Keamanan Nasional Turki dibentuk dengan fungsi sebagai badan yang mengkoordinasikan kebijakan. Sementara peran penting dalam pengambilan kebijakan luar negeri secara tradisional dipercayakan kepada militer dan birokrasi negara melalui mekanisme MGK. Reformasi institusional dan konstitusional oleh AKP telah membatasi kekuasaan MGK. Elite baru dan jajarannya telah muncul, dengan sikap yang baru


(47)

terhadap kebijakan luar negeri dan terhadap pemerintahan. Yang lebih penting, partisipasi publik dalam perdebatan kebijakan luar negeri telah berkembang jauh. (Murinson, 2012)

Ide kebijakan luar negeri yang penting dalam pemikiran baru AKP, dibuat oleh Davutoğlu di Stratejik Derinlik pada tahun 2001, dengan mengemukakan konsep "Strategic Depth” untuk memandu kebijakan luar negeri pemerintahan AKP. Asal-usul pendekatan Davutoglu terhadap geopolitik dapat ditelusuri pada pemikiran presiden Özal tentang neo-Ottomanism dan kebijakan luar negeri multi-dimensi dari pemerintah Erbakan di akhir 1990-an. Pembahasan utamanya adalah

bahwa “Strategic Depth” didasarkan pada kedalaman geografis dan historis. Karena Turki sebagai negara yang dulunya memiliki riwayat yang besar dan kaya dengan nilai historis dan memiliki wilayah geografis yang strategis. "Strategic Depth" Ini membekali Turki dengan kesempatan unik dalam ekonomi politik global, yang

menurut Davutoğlu, dapat dihasilkan oleh pendekatan yang lebih proaktif dan

kooperatif dalam kebijakan luar negeri Turki. Inisiatif kebijakan luar negeri Regional ini bertujuan untuk menciptakan ranah nol masalah (zero problem) di sekeliling Turki. (Murinson, 2012)

Menteri Luar Negeri Ahmet Davutoğlu, yang percaya bahwa prioritas utama kebijakan luar negeri Turki adalah untuk melayani kepentingan ekonomi negara. Ahmet Davutoğlu mengemukakan pendekatan kebijakan luar negeri "Zero Problem", yang menekankan ke sama daripada konfrontasi. Dengan kata lain, Turki memandang seluruh dunia sebagai "kawan atau berpotensi menjadi kawan". Alih-alih melihat Rusia, Iran dan negara-negara Arab sebagai ancaman keamanan, Turki memandang mereka sebagai pasar ekspor potensial dan mitra energi. Hubungan


(48)

baik dengan Israel dan dunia Arab memberi posisi tawar yang lebih bagi Turki dari segi diplomatik dan ekonomi. Demikian pula, hubungan persahabatan Turki dengan Iran dan negara-negara Barat memberikan Turki posisi tawar yang lebih kuat dalam negosiasi nuklir. (Habibi, 2016) Asosiasi bisnis utama di Turki berhasil melobi pemerintah untuk meningkatkan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Irak dan wilayah Kurdi. Demikian pula, Federasi Usaha dan Industrialis Turki meyakinkan AKP untuk memperkuat hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Afrika. Sementara itu, Rusia dengan cepat menjadi mitra dagang terbesar kedua Turki setelah Jerman dan pemasok utama gas alam. Volume perdagangan antara Iran dan Turki meningkat dari 1,2 miliar USD pada tahun 2002 menjadi 213 miliar USD pada tahun 2012. (Habibi, 2016)

Davutoğlu juga menyampaikan bahwa visi dan misi dari kebijakan luar

negeri Turki adalah di antaranya, memenuhi seluruh persyaratan untuk menjadi anggota Uni Eropa dan menjadi anggota yang memiliki pengaruh di dalam Uni Eropa di tahun 2023, mengupayakan integrasi regional dalam bidang kerja sama keamanan dan kerja sama ekonomi, berusaha untuk melaksanakan peranan yang lebih berpengaruh dalam menyelesaikan konflik regional, secara aktiva berturut serta dalam semua arena global, memiliki peran penting dalam organisasi internasional dan mampu menjadi bagian dari 10 negara dengan perekonomian terbesar dunia. (Alfan, 2015)

Di bawah AKP, kebijakan luar negeri secara bertahap datang di bawah kontrol sipil, sementara militer dengan cara politik dijauhkan dari proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Partai ini menghindari konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat dan menyatakan upaya untuk menjadi anggota


(49)

Uni Eropa sebagai tujuan utamanya. Amerika Serikat bahkan pernah mencoba untuk menekan negara-negara Eropa untuk mempercepat proses integrasi Turki ke Eropa atas dasar andil Turki dalam kasus Irak. Namun upaya Amerika serikat, gagal dalam meyakinkan para pemimpin Eropa pada pertemuan puncak di Kopenhagen dan keputusan itu ditunda sampai tahun 2004. (Murinson, 2012) Berulang kali kecewa dengan sekutu Barat-nya mendorong Turki untuk mencari jalan alternatif dalam kebijakan luar negeri dan dalam negerinya. Di saat itu Rusia menjadi kandidat yang kuat bagi kebijakan luar negeri Turki, terutama setelah dimulainya pembangunan proyek gas alam Blue Stream pada tahun 2002 yang menandakan perkembangan penting bagi keamanan energi Turki. Turki semakin tergantung pada pasokan gas alam Rusia, dan sektor pariwisatanya, sumber pendapatan yang signifikan bagi perekonomian nasional juga sangat bergantung pada wisatawan Rusia. Selain itu, Rusia telah menjadi pasar yang besar untuk perusahaan konstruksi Turki. (Murinson, 2012)

Selain yang telah di sebutkan sebelumnya, kebijakan luar negeri Turki era pemerintahan AKP juga cenderung aktif di tengah isu-isu dan permasalahan yang melanda masyarakat muslim sehingga politik luar negeri ini sering disebut dengan politik solidaritas muslim (muslim solidarity). Pihak yang terpengaruh dalam kebijakan politik luar negeri ini adalah elit-elit politik yang dekat dengan AKP, dan para pelaku bisnis kelas menengah Anatolian di Turki. (Murinson, 2012) Para pelaku bisnis Anatolian ini memiliki pengaruh yang cukup kuat sebagai pendukung terlaksananya perluasan hubungan ekonomi ke wilayah Timur Tengah. Kepentingan ekonomi kelompok-kelompok ini telah memainkan peran penting dalam upaya pemerintah untuk mempromosikan perdagangan yang lebih besar dan


(50)

kerja sama ekonomi dengan Timur Tengah. Antara tahun 2002 dan 2008, ekspor Turki ke dunia Arab meningkat lima kali, mencapai 25 miliar USD. Dengan peningkatan yang signifikan dalam produksi industri, Turki telah mengupayakan aktivitas perdagangan (Competitive Market) dalam skala besar dengan negara-negara Arab di bidang konstruksi, baja, makanan, dan bahan kimia. Sementara itu, ada kekhawatiran yang berkembang di kalangan elit bisnis Turki bahwa kebijakan "zero problem", jika dihadapkan dengan efek destabilisasi dari "Arab Spring" dapat memberikan dampak negatif yang mempengaruhi perdagangan regional Turki. (Murinson, 2012)

Selama kepemimpinan AKP, pemerintah Turki memilih pendekatan soft power untuk waktu jangka menengah. Tujuan jangka menengah Turki adalah untuk mendapatkan legitimasi domestik dan internasional dengan bergabung dalam Uni Eropa dan memperkuat kelompok negara Developing-8 atau D-8. (Murinson, 2012) Turki juga telah melakukan upaya untuk menjadi penengah dan mediator dari berbagai konflik regional di wilayah Balkan (Kosovo, Bosnia, dan Macedonia), wilayah Kaukasus (Abkhazia, Chechnya, Nagorno-Karabakh, dan Ossetia Selatan), dan wilayah Timur Tengah (konflik Israel-Palestina, negosiasi Suriah-Israel), melalui partisipasinya dalam organisasi antarpemerintah (seperti OSCE, BSEO, dan CEO) dan keanggotaan di NATO serta UN-sponsored Alliance of Civilizations (UNAOC). (Murinson, 2012)


(51)

BAB III

Sejarah Perkembangan Hubungan Republik Turki dan Jepang Jepang merupakan mitra tertua Turki di Asia, dan hubungan antara kedua negara selalu baik dan tidak pernah ada ketegangan. Ketika Jepang mengembangkan perekonomiannya dalam periode pasca perang dunia kedua, dan pada saat yang sama Turki mulai meliberalisasikan perekonomiannya di tahun 1980-an, hubungan ekonomi antara kedua negara berkembang pesat. Pemerintah Turki telah melakukan upaya agar dapat meningkatkan hubungan ekonomi dengan Jepang sejak lama.

Dalam sejarahnya hubungan kedua negara antara Turki dan Jepang telah ada sejak abad ke 19 di mana saat itu Turki masih dalam era kesultanan Ustmani dan Jepang masih dalam era Meiji. Keputusan Menteri Luar negeri Jepang era Meiji, Munenori Terashima, yang mengusulkan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Turki Ustmani pada tahun 1873 dengan mengirim anggota Delegasi Iwakura, Genichiro Fukuchi dan Mokurai Shimaji. Kemudian kedua negara menandatangani Perjanjian Persahabatan Jepang-Turki (Japan-Ottoman Treaty of Friendship) pada tahun 1893. (Akçadağ, 2010) Pada tahun 1890 Sultan Abdulhamid II Ottoman mengirim sebuah medali dengan kapal yang dipimpin oleh Osman Pasha untuk Kaisar Meiji Jepang. Dalam perjalanan pulang Kapal Ertugrul yang membawa delegasi Turki terjebak dalam badai dan tenggelam di lepas pantai Jepang,awak kapal yang awalnya terdiri dari 540 orang menjadi hanya 64 yang berhasil diselamatkan. (Çolakoğlu, 2014) Di era modern, yaitu awal abad ke-20, hubungan kedua negara secara politik dimulai pada tahun 1924 di mana Jepang


(52)

membuka kedutaan besar di Ankara saat Republik Turki baru terbentuk, yang membuat Jepang menjadi salah satu negara yang mengakui berdirinya Republik Turki di awal masa terbentuknya Republik Turki. Kemudian hal yang sama juga dilakukan oleh Republik Turki dengan membuka kedutaan besar di Tokyo setahun setelahnya. Namun saat perang dunia II pecah Turki memutuskan hubungannya dengan Jepang kemudian menyatakan perang melawan Jepang dan Jerman di tahun 1945. Setelah Perang Dunia II berakhir, kedua negara kembali membuka kedutaan besar di masing-masing negara pada tahun 1953 dan di tahun 1954 Jepang membuka Konsulat Jenderal di Istanbul. (Ministry Of Foreign Affair of Japan, 2015)

A. Hubungan Turki dan Jepang di awal abad ke-20

Pada awal abad ke-20, Turki yang sebelumnya berbentuk kesultanan dengan nama kesultanan Ustmaniyah, berubah menjadi negara berbentuk Republik dengan nama Republik Turki. Seperti yang telah diketahui secara umum, Republik Turki dulunya adalah pusat dari pemerintahan Islam yang terakhir dengan nama kesultanan Ustmaniyah yang runtuh pada awal abad ke 20. Keruntuhan itu ditandai dengan berbagai gejolak internal seperti kudeta militer untuk menentang kesultanan dan eksternal seperti perang dunia I dan perang Balkan (1912) yang menyebabkan Turki Ustmani melemah dari sektor kekuatan militer maupun ekonomi. (Alfan, 2015) Kondisi Turki Ustmani yang terpuruk tersebut menyebabkan gerakan nasionalis Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal berusaha untuk mengakhiri pemerintahan Islam di Turki dan Setelah Mustafa Kemal berkuasa, agama Islam sebagai agama resmi dihilangkan dari konstitusi dengan dalih bahwa ajaran Islam tidak selaras dengan modernisasi dan pembangunan sehingga perlu dihilangkan dari


(1)

(15)Cooperation

Both sides confirmed that, where appropriate, a Chapter on Cooperation would

be discussed as a subject of negotiation in the possible Japan-Turkey EPA.

Both sides expressed that the matters concerning the promotion of cooperation

in mutual relations, the facilitation of trade and investment and the settlement of

disputes should also be considered.

Noting that there is no problem in discussing the issues since it has included

Cooperation in its previous FTAs, the Turkish side indicated that the areas to be

considered should be clarified in order to carry out discussion in a smooth

manner.

Chapter 4 Conclusion

The Joint Study Group recognized through a broad and detailed discussion, that

a comprehensive, high-level, and WTO-consistent EPA between Japan and

Turkey, noting the sensitivity of certain products in both Japan and Turkey and

the need to follow-up on the possible effects accrued from the Customs Union,

would contribute to bringing about significant benefits, which would further

strengthen the economic relations between the two countries.

Such an EPA between Japan and Turkey would not only promote the expansion

of trade and investment by eliminating tariffs and improving the investment

environment, but also contribute to the invigoration of business by companies

from both countries, as well as the strengthening of the political and diplomatic

relations between the two countries, which play an important role in the

economy of the respective regions. Therefore, the Joint Study Group

recommends that the Government of Japan and the Government of Turkey

launch a negotiation for an EPA between the two countries.


(2)

Annex List of participants of the Joint Study Group

Participants from Japan

Kansuke NAGAOKA Director, First Middle East Division, Middle Eastern and

African Affairs Bureau, Ministry of Foreign Affairs

Akifumi FUKUOKA First Middle East Division, Middle Eastern and African

Affairs Bureau, Ministry of Foreign Affairs

Tasuku MATSUKI Second Middle East Division, Middle Eastern and African

Affairs Bureau, Ministry of Foreign Affairs

Kenji TOTOKI Director, Middle East and Africa Division, Trade Policy

Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry

Kensuke SAITO Deputy Director, Middle East and Africa Division, Trade

Policy Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry

Toru ITABASHI Assistant Director, Middle East and Africa Division, Trade

Policy Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry

Mai YAMAMOTO Principle Researcher, Middle East and Africa Division, Trade

Policy Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry

Noriko TERANISHI Deputy Director, Economic Partnership Division, Trade

Policy Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry

Yasuyuki TOMIDA Deputy Director, Economic Partnership Division, Trade

Policy Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry

Kei KANAMORI Director, Office of Economic Partnership, Customs and

Tariff Bureau, Ministry of Finance

Masafumi KOBAYASHI Deputy Director, Office of Economic Partnership, Customs

and Tariff Bureau, Ministry of Finance

Kazumasa SHIOYA Director for International Trade Policy Negotiations,

International Economic Affairs Division, International Affairs Department, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries

Fumio SHIRAGA Deputy Director, International Economic Affairs Division,

International Affairs Department, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries

Assistant Director, International Economic Affairs Division,


(3)

Tetsuya KAWASHIMA Fishery Products Trade Office, Fishery Processing Deputy

Director, Industries and Marketing Division, Fisheries

Agency, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries

Yamato ATAGI Deputy Director for International Affairs, Food Safety and

Consumer Policy Division, Food Safety and Consumer

Affairs Bureau, Ministry of Agriculture, Forestry and

Fisheries

Tsuyoshi UCHIDA Deputy Director, Labelling and Standards Division, Food

Safety and Consumer Affairs Bureau, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries

Hajime KATSUMATA Deputy Director, Plant Protection Division, Food Safety and

Consumer Affairs Bureau, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries

Yo TAKAHASHI Second secretary, Embassy of Japan in Turkey

Mitsunori WATANABE Second secretary, Embassy of Japan in Turkey

Kazuyuki KINBARA Director, International Affairs Bureau, Keidanren(Japan

Business Federation)

Reiji TAKEHARA Senior Manager, International Affairs Bureau,

Keidanren(Japan Business Federation)

Mayuko TANAKA Officer, International Affairs Bureau, Keidanren(Japan

Business Federation)

Masashi KURITA Manager, WTO and EPA Office, Agricultural Policy

Department, Central Union of Agricultural Co-operatives(JA-ZENCHU)

Yasuo SATO Executive Director, Japan Tuna Fisheries Co-operative

Association

Kenji OGURI Manager, Japan Tuna Fisheries Co-operative Association

Tadayuki NAGASHIMA Director General, Overseas Research Department,

JETRO(Japan External Trade Organization)

Director for Middle East and Africa Division, Overseas

Shintaro MATOBA Research Department, JETRO(Japan External Trade


(4)

Toshiaki WAKABAYASHI Deputy Director for Middle East and Africa Division,

Overseas Research Department, JETRO(Japan External

Trade Organization)

Nafumi MAKINO Staff for Europe, Russia and CIS Division, Overseas

Research Department, JETRO(Japan External Trade

Organization)

Naohiko YAMAGUCHI Managing Director, JETRO (Japan External Trade

Organization Istanbul office)

Ryosuke USHIDA Director, JETRO (Japan External Trade Organization

Istanbul office)

Hiroshi KATO Lead Coordinating Director, TOYOTA motor manufacturing

turkey inc.


(5)

Participants from Turkey

Murat YAPICI Director General of EU Affairs, Ministry of

Economy

Veysel PARLAK Deputy Director General of EU Affairs, Ministry

of Economy

Ayşe Figen SAFALI Head of Department, General Directorate of

Agreements, Ministry of Economy

Ayşegül ŞAHİNOĞLU YERDEŞ Head of Section, General Directorate of EU

Affairs, Ministry of Economy

Halis KAYA Head of Section, General Directorate of

Exports, Ministry of Economy

Murat ALBAYRAK Head of Section, General Directorate of Imports,

Ministry of Economy

Bilgehan Ramazan CANER Head of Section, General Directorate of

Agreements, Ministry of Economy

Mehmet ERGÜNAL Foreign Trade Expert, General Directorate of

EU Affairs, Ministry of Economy

Burcu İSKENDER DÜ ĞENCİOĞLU Foreign Trade Expert, General Directorate of

Exports, Ministry of Economy

Ayşe Ferdağ TEKİN Foreign Trade Expert, General Directorate of

Exports, Ministry of Economy

Çi ğdem KOŞAN Foreign Trade Expert, General Directorate of

Agreements, Ministry of Economy

Hasan Aslan AKPINAR Foreign Trade Expert, General Directorate of

Incentive Implementation and Foreign

Investment, Ministry of Economy

Beste GÖZCÜ Foreign Trade Expert, General Directorate of

Incentive Implementation and Foreign

Investment, Ministry of Economy

Sarper ŞİMŞEK Foreign Trade Expert, General Directorate of

Product Safety and Inspection , Ministry of Economy

Selin GÖKTEN Foreign Trade Expert, General Directorate of

Economic Research and Assessment,


(6)

Özlem TAYTA Ş ÖZTÜRK Assistant Foreign Trade Expert, General

Directorate of EU Affairs, Ministry of Economy

Assistant Foreign Trade Expert, General

Duygu ERCAN MÖREL Directorate of Economic Research and

Assessment, Ministry of Economy

Rahmet USLU Assistant Foreign Trade Expert General

Directorate of Economic Research and

Assessment, Ministry of Economy

Şeyma AKMAN Assistant Foreign Trade Expert General

Directorate of Imports, Ministry of Economy

Ümit AYDINLIK Assistant Foreign Trade Expert General

Directorate of Imports, Ministry of Economy

Aydın AÇIKEL Head of Department, General Directorate of

EU Accesion Process, Ministry of Foreign

Affairs

Mehtap ATAKAN ÖZKAN EU Expert, Ministry of Customs and Trade

Aydın ŞENTÜRK EU Expert, Ministry of Customs and Trade

Senem ODAMAN KÖSE EU Expert, Ministry of Food, Agriculture and

Livestock

Cihan NAZLI EU Expert, Ministry of Food, Agriculture and

Livestock

Zafer Özgü TET İK Assistant EU Expert, Ministry of Food,

Agriculture and Livestock

Musa DEMİR Chief Commercial Counselor, Turkish Embassy