Sustainable coastal wetland management of downstream citarum area (case study in Coastal Wetland of Muara Gembong – Bekasi Regency)

PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR
DI DAERAH CITARUM HILIR SECARA
BERKELANJUTAN

Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi

DEWI HERMAWATI SETIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang
berjudul: Pengelolaan Lahan Basah Pesisir di Daerah Citarum Hilir Secara
Berkelanjutan (Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi) adalah
karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data
dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, 27 Agustus 2010

Dewi Hermawati Setiani
995216-SPL

ABSTRACT
DEWI HERMAWATI SETIANI. Sustainable Coastal Wetland Management of
Downstream Citarum Area (Case Study in Coastal Wetland of Muara Gembong –
Bekasi Regency). Dissertation under the supervision of DEDI SOEDHARMA,
JACUB RAIS, MANGATAS SITUMORANG, and HEFNI EFFENDI.
Research was undertaken in Muaragembong coastal wetland. Bekasi Regency,
as one of the wetlands in Indonesia, listed in the database of Wetland International
under the JAV09 code, originally with a total area of 10,480 hectares. The objectives
of this research is to assess and evaluate the current physical conditions and resources
of the wetland, and further analysis will be made as to comply with the concept of
sustainable development of wetland implemented by stakeholders.

Temporal and comparative analysis were conducted to obtain information on
land use/land cover change, as well as its related ecosystem dyamics of the wetland.
The following four stages of analysis were respectively categorirized: (a) potency
analysis and wetland ecosystem conditions; (b) wetland sustainability analysis; (c)
zoning plan, and (d) policies of sustainability of wetland development
The result indicated that there was a decrease in mangrove cover from 10,955
ha in 1946 (100%) to 186 ha in 2008 (1,7%),. Consequently, the disappearance of two
species of each of the flora and fauna, Bruguiera sp (Tancang) and Panthera pardus
melas (Macan Tutul Jawa), respectively. The decrease of natural wetland cover to
create man-made wetland, such as rice fields and fishponds might be the reason of the
dissapperance of flora and fauna. This itself is a natural consequence due to the
increase of polulation in 1950s to 2000s, as the prime driver for environmental
change.
The following number of Government’s regulation policies have taken place
to manage the wetland areas. In 1954, it started with a legal entity to support natural
conservation with an area of 10,482 ha. (Minister of Agriculture Executive Order
No.92/Um/1954). In 2005 the status was changed to permanent productive forest
covering 5,170 ha (Minister of Forest Executive Order No.475/Menhut-II/2005). In
2008, a Presidential Executice Order No.64/2008 was issued on integrated spatial
planning of seven areas of Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Punck, and Cianjur, with an

acronym of JABODETABEKPUNCUR. This includes also the Muaragembong
wetland.
Physically, in the last of 62 years, the area of wetland has undergone abrasion
of coastline covering coastal area of 307 ha on the north coast (Tanjung Wetan) and
on the west coast (Muara Legon). The most significant abrasion on the north coast was
due to sand mining by local inhabitants. While coastal accreation of 979 ha was
caused by sedimentation of Ci Tarum (Tarum River) and its tributaries. Satellite
remote sensing using LANDSAT imageries and GIS analysis were used for land
use/landcover change detection.
The management option proposed in this dissertation is to keep the existence
and rehabilitation of the remaining Muaragembong Wetland as natural wetland/natural
conservation. The rest will be considered as non-natural wetlands, such as ponds and
rice field for the livelihood of the local inhabitants.
It is recommended to establish a “Coordinative Board comprising Central and
Local Governments, local community, and related stakeholders, to manage and to
draft strategic plan and to socialize to the community with respect to the importance of
wetland ecosystem for sustainable living of human beings and the environment.
Keywods: wetland, coastal wetland, policy, management, Muaragembong.

RINGKASAN

DEWI HERMAWATI SETIANI. Pengelolaan Lahan Basah Pesisir di Daerah
Citarum Hilir Secara Berkelanjutan (Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong
Kabupaten Bekasi). Disertasi dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, JACUB
RAIS, MANGATAS SITUMORANG, dan HEFNI EFFENDI.
Tanggal 2 februari 1971 di kota Ramsar diadakan Konvensi Ramsar
yang merupakan konvensi untuk lahan basah yang mempunyai kepentingan
internasional terutama sebagai habitat burung air dan berlaku secara formal
sejak tahun 1975. Tujuan konvensi ini adalah konservasi dan pemanfaatan
lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional dan kerjasama internasional
untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia.
Indonesia mengesahkan konvensi Ramsar tersebut berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 48 tahun 1991 dan terbentuknya Komite Lahan Basah
Nasional pada tahun 1994. Komitmen negara anggota konvensi yaitu negara
berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana Tata
Ruang Nasional dan melaporkan perkembangan implementasi komitmennya
terhadap konvensi yang menjadi catatan publik.
Penelitian dilakukan dilahan basah Muaragembong Kabupaten Bekasi,
sebagai daerah konservasi yang tercatat dalam database lahan basah
Internasional (JAV09) dengan luas 10.480 ha (Silvius et al. 1987), yang
merupakan satu dari 718 lahan basah yang telah tercantum dalam database

Ramsar. Tujuan dari penelitian ini adalah, (1) mengevaluasi kondisi dan
potensi lahan basah Muaragembong, menyusun zonasi konservasi kawasan
lahan basah dan merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah secara
berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh stakeholder. Tahapan analisis
adalah; (1) kajian kondisi dan potensi ekosistem lahan basah, (2) meyusun
zonasi kawasan lahan basah, (3) merumuskan kebijakan pengelolaan lahan
basah berkelanjutan.
Kebijakan pertama adalah Keputusan Menteri Pertanian 92/Um/1954
menyatakan bahwa lahan basah Muaragembong merupakan daerah konservasi
alam dengan luas 10.482 Ha. Namun Keputusan Menteri Kehutanan
A.1357/INS.L/1963 tentang tanah negara yang telah digarap rakyat, akan
dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat, mengakibatkan
hutan mangrove berubah menjadi pertanian dan perikanan. Bahkan Peraturan
Pemerintah 25/1999 tentang penetapan status kawasan Muaragembong masih
di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat,
Pemerintah Daerah dan Perhutani, mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan.
Peraturan Daerah 5/2003 tentang Rencana Tata Ruang kawasan Pantai Utara
Kabupaten Bekasi 2003-2013, maka rencana pengembangan Kecamatan
Muaragembong (bagian dari kawasan khusus pantai utara) menjadi Kota Baru
Pantai Makmur. Tahun 2005 diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan

474/Menhut-II/2005 statusnya berubah menjadi hutan produksi dengan luas
5.170 Ha, kemudian Keputusan Presiden 62/2008 menyaratkan supaya
pengembangannya terintegrasi dengan pengembangan wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Bekasi, Puncak, Bogor, Cianjur (JABODETABEKPUNCUR).

Penggarapan tanah telah dilakukan secara turun temurun dan bahkan
ada bidang-bidang tanah yang disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional
(LPP Mangrove 2003). Konflik lainnya adalah status yang belum jelas:
mengenai tanah timbul, jalur hijau hutan lindung, tata batas lahan kehutanan
pada umumnya. Konflik tanah timbul tersebut, diselesaikan dengan ditunjuk
tanah timbul sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 598/Kpts/II/1997 tahun 1997 (Tim Terpadu 2005).
Metode yang digunakan untuk analisis adalah metode komparatif secara
temporal (1946-2008) untuk memperoleh informasi tentang perubahan cakupan
dan dinamika ekosistem lahan basah. Analisis terdiri atas empat tahap, yakni:
(a) kajian potensi dan kondisi ekosistem lahan basah, (b) analisis kesesuaian
lahan basah, (c) analisis rencana zonasi dan (d) kajian tinjauan kebijakan
pengelolaan lahan basah.
Hasil kajian potensi dan kondisi ekosistem lahan basah didapat, telah
hilang satu jenis mangrove yaitu Bruguiera sp. (Tancang) dari lima jenis yang

ada (Rhizophora sp., Avicennia sp., Sonneratia sp., Bruguera sp., dan Nypa
fruticans), serta penurunan luas mangrove dari 10.955 ha (100%) pada tahun
1946 menjadi 186 ha (1,7%) pada tahun 2008; hilang satu jenis mamalia yaitu
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dari tiga jenis mamalia yang ada
(Macan tutul jawa, Kera ekor panjang dan lutung); sedangkan jenis burung dan
reptilia tidak mengalami perubahan jenis. Tahun 1946 – 2008, terjadi akresi
seluas 979 ha (16 ha/tahun) akibat sedimentasi dari Ci Tarum beserta anakanak sungainya dan abrasi seluas 307 ha (5 ha/tahun) yang disebabkan oleh
perubahan penggunaan lahan. Abrasi terjadi di pantai Utara (Tanjung Wetan)
yang merupakan abrasi terbesar dan pantai Barat (Muara Legon dan Muara
Blakan). Namun demikian, lahan basah Muaragembong masih dapat berfungsi
sebagai ekosistem lahan basah berdasarkan kriteria Ramsar dengan
dibuktikannya terdapat jenis flora dan fauna dalam kriteria Ramsar.
Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukan mempunyai potensi
sebagai kawasan mangrove 6.354 ha (47%), tambak 5.370 ha (40%), sawah
802 ha (5%) dan pemukiman 1.035 ha (8%).
Hasil tinjauan kebijakan-kebijakan pengelolaan pada lahan basah
Muaragembong didapat, terdapat kebijakan pemerintah yang berubah-ubah,
yang mengakibatkan menyebabkan perubahan lahan basah alami menjadi lahan
basah non alami. Contohnya adalah Keputusan Menteri Pertanian 92/Um/54
tentang status lahan basah ini sebagai kawasan hutan lindung (10.482 ha),

Keputusan Menteri Kehutanan A.1357/Ins/1963 tentang tanah negara yang
telah digarap rakyat dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada
masyarakat, Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi 5/2003 tentang
Muaragembong sebagai kawasan khusus pantai utara berupa kota Pantai
Makmur; dan Keputusan Menteri Kehutanan 475/Menhut-II/2005 tentang
perubahan kawasan hutan lindung Muaragembong seluas ± 5.170 ha menjadi
kawasan hutan produksi tetap. Serta Peraturan Presiden 54/2008 tentang
penataan ruang Jabodetabekpunjur menjadikan lahan basah ini menjadi zona
non budidaya dan zona budidaya.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas, diusulkan lahan basah alami
(49%) berupa hutan mangrove; dan (2) lahan basah buatan (51%) berupa

ekowisata, hutan produksi, perikanan (tambak), pertanian (sawah), pemukiman,
kantor penelitian, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan.
Disimpulkan; (1) Indonesia mengesahkan konvensi Ramsar (1991), (2)
terbentuk Komite Lahan Basah Nasional (1994), (3) lahan basah
Muaragembong dalam database Wetland International Indonesia (1987), (4)
akresi (16 ha/tahun) dan abrasi (5 ha/tahun), (5) lahan basah buatan sebesar
94% dan alami menjadi 6%, (6) berkurangnya satu jenis fauna (Macan tutul
jawa), (7) diperlukan pengelolaan kolaboratif antara pemerintah daerah dan

masyarakat, (8) dan jika tidak dikelola maka ekosistem hutan mangrove dan
keanekaragaman hayati hutan mangrove akan menurun.
Saran adalah, (1) mengusulkan lahan basah ini menjadi lokasi Ramsar,
(2) mempertahankan lahan basah alami sebagai kawasan perlindungan (49%)
dan lahan basah non alami (51%), (3) melarang penambangan pasir laut
disekitar Tanjung Wetan, (4) merehabilitasi lahan badah ini sebagai
perlindungan terhadap abrasi dan habitat satwa, (5) mengusulkan ekowisata di
pantai barat, (6) pembentukan forum pengelolaan lahan basah, mengalokasi
dana pemerintah untuk kegiatan rehabilitasi dan dilakukanan, (7) melakukan
penelitian lahan basah pada lokasi lain yang terdapat dalam database Ramsar,
(8) mengusulkan penelitian lanjutan terhadap dampak banjir di bagian timur
Kota Jakarta dengan cara penelitian sudetan Ci Tarum yaitu mengalihkan aliran
Ci Tarum ke arah timur (menjauhi Teluk Jakarta) dan (9) penelitian dampak
urbanisasi terhadap lahan basah.
Kata-kata kunci: lahan basah, pesisir, kebijakan, pengelolaan,
Muaragembong

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR
DI DAERAH CITARUM HILIR SECARA
BERKELANJUTAN

Studi Kasus: Lahan Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi

Oleh:
DEWI HERMAWATI SETIANI
995216

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

Penguji Luar Komis Ujian Tertutup :
Dr. Ir. Eddi Supriyono, M.Sc.
Dr. Ir. Ario Damar, M.Sc.

Penguji Luar Komis Ujian Terbuka :
Dr. Soebagio, MM (Kepala Pusdiklat Pemerintahan dan Politik Badiklat Kemdagri).
Dr. Ir. Luky Andrianto, M.Sc (Staf Pengajar Dept. MSP FPIK IPB)

Judul Disertasi

Nama
NIM
Program Studi

: Pengelolaan Lahan Basah Pesisir di Daerah Citarum Hilir
Secara Berkelanjutan (Studi Kasus: Lahan Basah
Muaragembong Kabupaten Bekasi).
: Dewi Hermawati Setiani
: 995216
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc.
Anggota

Dr. Mangatas Situmorang, M.Sc.
Anggota

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil.
Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian : 18 Juni 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.Sc.

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR
Lahan basah pada umumnya merupakan ekosistem yang sangat produktif dan
mempunyai banyak manfaat yang penting, antara lain sebagai sumber dan pemasok
air, pengaturan aliran air, pencegah intrusi air asin, pelindung pantai dan pengendali
abrasi di pantai dan muara, pengendap lumpur, dan sebagainya. Lahan basah
Muaragembong merupakan lahan basah yang mulai mengalami degradasi dan telah
terjadi konflik pemanfaatan dan penggunaan lahan. Masalah konflik tersebut adalah
akibat dari pertambahan penduduk yang menyebabkan berkurangnya fungsi area
perlindungan serta bertambahnya area sebagai daerah pemanfaatan pada lahan basah
Muaragembong. Oleh karena itu pengelolaan lahan basah pesisir dan proses
pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan lahan basah ini makin memainkan
peranan dan menarik untuk dilakukan riset yang komprehensif.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir.
Jacub Rais, M.Sc, Dr. Ir. Mangatas Situmorang, M.Sc dan Dr. Ir. Hefni Effendi,
M.Phil sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, penuh
kesabaran dan memberikan dorongan sampai tersusunnya disertasi ini serta tulus
bersedia menjadi pembimbing dalam memberikan bimbingan, arahan, sumbangan
pemikiran, atas pengayaan materi penelitian ini. Melalui pengetahuan dan
pengalaman merekalah kualitas disertasi ini ditingkatkan.
Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dietriech G.
Bengen, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing terdahulu, Prof. Dr. Ir.
Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi, para pejabat di Kecamatan
Muaragembong, Ir. Rachmadi Danoe Atmadja sebagai atasan langsung terdahulu
yang telah memberikan ijin dan menugaskan untuk mengikuti program studi ini, Ir.
Rachmadi Danoe Atmadja, MM sebagai atasan langsung saat ini yang memberikan
peluang untuk penyelesaian disertasi, Dr. Soebagio, MM yang telah memfasilitasi
pertemuan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, kunjungan lapangan dan
ketersediaan beberapa data sekunder, rekan-rekan almamater program studi SPL dan
teman-teman serta seluruh staf SPL atas bantuannya selama ini.
Dengan penuh kebanggaan menyampaikan terima kasih kepada kedua orang
tua, suami dan kedua anak, yang telah memacu semangat untuk penyelesaian
disertasi ini. Kepada merekalah disertasi ini dipersembahkan. Kepada semua pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sampai
tersusunnya disertasi ini, diucapkan terima kasih.
Kritik dan saran sangat dibutuhkan dalam menyempurnakan disertasi ini.
Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, 27 Agustus 2010

Dewi Hermawati Setiani

RIWAYAT HIDUP
Lahir di Yogyakarta pada tanggal 16 November 1959 sebagai anak kedua dari tiga
bersaudara putra-putri Prof. Oehadijono (alm) dan Sri Zoeraika. Menyelesaikan pendididkan SD
(1971) dan SMP (1974) di Gombong Jawa Tengah, SMA (SMA Negeri I-II) di Semarang (1977).
Menyelesaikan S1 (1984) pada Fakultas Teknik Sipil di Universitas Diponegoro, Semarang.
menyelesaikan Pascasarjana pada jurusan Hydraulic Engineering di International Institut for
Hydraulic and Environmental Engineering, Delft, Belanda (1991) dengan beasiswa dari Pemerintah
Belanda dan jurusan Pemasaran di Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (1997).
Menyelesaikan S3 bidang Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) (2003).
Pendidikan dan pelatihan tambahan baik dalam dan luar negeri diantaranya antara lain,
aplikasi GT-STRUDL untuk PLTA dan Hydro Power Engineering Planning & Evaluation,
BECHTEL di Jakarta dan USA (1988). Training Course on Hydro Power Management di Stockholm,
Sweden dan Findland serta Denmark (1994). Training Course on Community Development di
Thailand (2004). Standardization on Dam Safety di Water Resources Institute (DPMA) (1992),
Bandung. Training Tunneling di Institut Teknologi Bandung (ITB) (1993) dan pelatihan earthquakes
& seismic di Universitas Indonesia (1994).
Mengawali karir, sebagai Staf Ahli Teknik Sipil pada tahun 1985 - 1986 di PLN LMK (Unit
PLN bergerak di Bidang Riset, Pengujian dan Survey) pada Dinas Survey, dengan kegiatan lapangan
terkait penyusunan dokumen study kelayakan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tahun
1986-1988 sebagai Staf Ahli Tenaga Air di Dinas Tenaga Air pada Direktorat Perencanaan PLN Pusat
(1986-1988) yaitu sebuah Unit yang bertanggung jawab terhadap Desain sampai dengan pengadaan
Kontraktor atau Konsultan melalui lelang internasional sesuai dengan guide line dari pemberi loan.
Tahun 1987 World Bank menawarkan bantuan kepada Pemerintah Indonesia untuk membangun
kelompok enjiniring yang kuat di PLN dengan bantuan Bechtel (konsultan) termasuk membangun
sistem dan prosedur sebagaimana layaknya sebuah Konsultan internasional untuk menjamin kwalitas
produk yang dihasilkan dan akuntabilitas dari para pelakunya, sehingga PLN akan memiliki in house
engineer yang akan mengurangi belanja Forex, termasuk penguasaan enjinering kelistrikan yang
masih sedikit di miliki konsultan Nasional maka dibentuk PLN PPE (Pusat Pelayanan Enjiniring)
yang tugasnya adalah melakukan kajian-kajian enjinering untuk seluruh sektor ketenagalistrikan mulai
tahap desain, penyusunan dokumen lelang, membantu evaluasi proposal pada saat lelang dan
melakukan supervisi saat konstruksi. Tahun 1988 - 2001 bekerja di PLN PPE sebagai Team Leader
dan Project Engineering Civil pada beberapa proyek PLTA dan PLTU serta transmisi-150KV,
disamping itu mengajar di Departemen Pertambangan dan Energi dalam bidang peranan Teknik Sipil
pada sektor Ketenagalistrikan. Kemudian dipindahkan ke PLN Pusat sampai dengan saat ini.
Di PLN Pusat mulai tahun 2001 terlibat dalam kegiatan sebagai member dari Team
penyusunan Road Map terkait rencana restrukturisasi sektor ketenagalistrikan oleh Pemerintah
bersama Konsultan Price Water House dan tenaga akhli dari Bank Dunia. Karena permintaan Bank
Dunia dan Departemen keuangan maka PLN melaksanakan EDP (Efficiency Drive Program) sebagai
jawaban dalam menghadapi krisis moneter pada saat itu yang membuat PLN dinyatakan bangkrut
karena besarnya hutang dalam Forex akibat nilai tukar rupiah merosot tajam dan ineffisiensi yang
sangat tinggi di internal PLN.
Sebagai Manager Atas (Level Dua) pada Tahun 2003 – 2006 di PT PLN (Persero) Kantor
Pusat di LKL (Lingkungan dan Keselamatan Ketenagalistrikan, Direktorat Pembangkitan dan Energi
Primer). Tahun 2006 menjadi PH Diputi Direktur LKL dan tahun 2007 - 2009 sebagai Vice President
Corporate Social Responsibility, yang kemudian PLN memberikan komitmen pada PBB (United
Nation) untuk melaksanakan MDGs (Millenium Development Goals) yang juga merupakan komitmen
Pemerintah. Pada tahun 2009 salah satu program CSR PLN mendapatkan penghargaan dari PBB
untuk pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan di Pengalengan (Jawa Barat). Tahun 2010 menjadi
staf akhli Bidang Energy Primer untuk Batubara.
Organisasi profesi antara lain KNI-BB (Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar)
sebagai sekertaris bidang Economic and Financing of Dam Project, Himpunan Ahli Hydraulic
Indonesia (HATHI) sebagai sekretaris komisi sumberdaya air, IKANED (Ikatan Alumni Netherland),
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) sebagai anggota.
Hobi yang disenangi diantaranya adalah membaca, bepergian dan kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Menikah dengan Ir. Budiyanto, M.Sc., dikarunia dua orang putra Rizky, Ricky (alm) dan
seorang putri Tarina.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...............................................................................................

i

DAFTAR TABEL ...................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

iv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

v

1

PENDAHULUAN ........................................................................

1

1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1.6.

Latar Belakang .....................................................................
Identifikasi dan Perumusan Masalah ....................................
Tujuan Penelitian .................................................................
Kegunaan Penelitian ............................................................
Kerangka Berpikir ...............................................................
Kebaruan Penelitian .............................................................

1
4
6
7
7
8

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... .........

10

2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.

10
11
13
17
21
22

2

3

4

Konvensi Ramsar Tentang Lahan Basah ....................... ........
Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah ......................... ..........
Potensi dan Kondisi Ekosistem Lahan Basah ..........................
Pengelolaan Lahan Basah Pesisir ......................... .................
Hasil Penelitian Terdahulu pada Lahan Basah Muaragembong
Analisis kebijakan .................................................................

METODOLOGI PENELITIAN ....................................................

23

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................
3.1.1. Lokasi penelitian ............................................................
3.1.2. Waktu Penelitian .............................................................
3.2. Pendekatan Penelitian ............................ ...............................
3.3. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ........................... ..
3.4. Analisis Data ...................................................... ...................
3.4.1. Kajian kondisi dan potensi lahan basah .. ...................
3.4.2. Analisis kesesuaian lahan ..........................................
3.4.3. Arahan zonasi ............................................................
3.4.4. Penentuan kebijakan pengelolaan ..................................

23
23
25
25
28
29
29
31
35
37

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... ..................

38

4.1. Kondisi Ekosistem Lahan Basah Muaragembong ................ .
4.1.1. Mangrove ..................................................................
4.1.2. Fauna................................. .........................................
4.1.3. Geologi pesisir.................................. ..........................
4.2. Kesesuaian Lahan................................................................ ...

38
38
48
50
59

4.2.1. Kualitas Air ........................... ...................................
4.2.2. Kesesuaian Lahan untuk Mangrove ............. ...............
4.2.3 Kesesuaian Lahan untuk Tambak..............................
4.2.4 Kesesuaian Lahan untuk Sawah ................................
4.2.5 Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman ........................
4.3 Arahan Zonasi .......................................................................
4.4. Dampak Pemanasan Global terhadap Lahan Basah
Muaragembong ......................................................................
4.4.1. Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir
dan Laut ........................................................... ..... 84
4.4.2. Dampak Pemanasan Global Terhadap Lahan Basah
Muaragembong ...........................................................
5

TINJAUAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN
LAHAN BASAH MUARAGEMBONG .................................. ......
5.1.

59
61
65
70
74
77
84

85

86

Tinjauan Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah
Muaragembong ................................................................
Arahan Penzonaan dan Pengelolaan Lahan Basah
Muaragembong ................................................................
5.2.1. Kawasan Konservasi ..................................................
5.2.2. Kawasan Pemanfaatan Umum .................................
Rencana Aksi ................................................................ ....
Kelembagaan Pengelolaan Lahan Basah Muaragembong ...
Usulan Lahan Basah Muaragembong Menjadi Ramsar Site

93
102
103
110
111
115

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................

119

7.1
7.2

Kesimpulan........................................................................
Saran .................................................................................

119
120

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

124

LAMPIRAN ...........................................................................................

135

5.2.

5.3.
5.4.
5.5.
6

86

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Lima belas negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak ......... .

10

2.

Kriteria Ramsar untuk kepentingan internasional .................. .........

14

3.

Jenis dan sumber data yang dikumpulkan .....................................

28

4`.

Kriteria Ramsar pada lahan Muaragembong .................................

29

5.

Kriteria kerusakan mangrove ......................................................... .

30

6.

Kelas kesesuaian pemanfaatan lahan ................................................

33

7.

Kategori kesesuaian menurut skor ....................................................

33

8.

Matriks kesesuaian untuk mangrove ............................................

33

9.

Matriks kesesuaian untuk tambak ..................................................

34

10.

Matriks kesesuaian kawasan pertanian ..........................................

34

11.

Matriks kesesuaian kawasan pemukiman ......................................

34

12.

Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap Ramsar ........

43

13.

Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap RTR 2003 –
2013 ...............................................................................................
44

14.

Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap SK
475/MENHUT-II/2005 ...................................................................
44

15.

Hasil analisis penggunaan lahan tahun 2008 terhadap PP 54/2008

16.

Hasil overlay luas penutupan mangrove (2008) dengan kebijakankebijakan di lahan basah Muaragembong ........................................
44

17.

Luas penggunaan lahan basah untuk mangrove tahun 1946 s/d 2008

45

18.

Perubahan jenis mangrove di lahan basah Muaragembong ..............

47

19.

Keadaan populasi fauna di Muaragembong berdasarkan berbagai
laporan penelitian ..............................................................................
50

20.

Akresi dan Abrasi . .........................................................................

55

21.

Bertambahnya lahan basah akibat sedimentasi dari sungai ..............

57

22.

Perubahan luasan lahan basah hasil analisis .......................... ..........

57

23.

Komposisi material kualitas air pada masing-masing titik contoh
pengamatan di Muaragembong ........................................................
59

24.

Matrik kondisi kawasan mangrove menurut parameter dan total skor
kesesuaian untuk mangrove.... ........................................................
63

25.

Matrik kondisi kawasan tambak menurut parameter dan total skor
kesesuaian untuk tambak ..................................................................
66

44

26.

Kualitas air di perairan Muaragembong................................. ..........

67

27.

Matrik kondisi kawasan tambak menurut parameter dan total skor
kesesuaian untuk sawah.....................................................................
70

28.

Tingkat bahaya erosi ......................................................................

29

Penilaian bahaya banjir / genangan dalam kriteria klasifikasi
kesesuian lahan menurut Puslittanak (1997) ................................. ...
71

30.

Hasil pengklasifikasian lahan basah Muaragembong berdasarkan
kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah. ......................
72

31.

Luas kawasan untuk masing-masing kegiatan pembangunan di
Muaragembong .................................... ...........................................
74

32.

Klasifikasi zona di Indonesia dan zona hasil penelitian di lahan basah
Muaragembong....................... ........................................................
78

33.

Peraturan dan Perundang-undangan dan database Ramsar berkaitan
dengan pengelolaan lahan di Muaragembong lahan basah sampai
dengan tahun 2008 ................................................................................ 90

34.

Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi
saat ini (LANDSAT7 tahun 2008)... ...............................................
91

35.

Kebijakan dan penggunaan lahan basah Muaragembong tahun 1946 –
2008 serta usulan penggunaan lahan basah tahun 2008... ................
92

36.

Perbedaan pemanfaatan Lahan berdasarkan RAMSAR, tata ruang
Pemerintah Daerah Hasil Penelitian..................................................
91

37.

Penggunaan Lahan Basah dari tahun 1946 s/d 2008 ........................

94

38.

Perubahan penggunaan lahan basah.... ............................................

95

39.

Penggunaan lahan basah alami dan lahan basah non alami....... .......

99

40.

Luas
masing-masing
arahan
penggunaan
lahan
basah
Muaragembong... ...........................................................................
100

41.

Jumlah rumah tangga perikanan di Kecamatan Muaragembong
Kabupaten Bekasi tahun 2005 – 2007........................ ......................
106

42.

Produksi Perikanan di Muaragembong 1998 s/d 2007 ........... .........

43.

Luas panen, hasil panen per hektar dan produksi sawah di Kecamatan
Muaragembong tahun 1997 dan tahun 1998......... ...........................
108

44.

Peranan masing-masing pihak pada Forum Pengelola Lahan Basah
Muaragembong skema ABG.............................................................
112

45.

Bagan Alir Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Lahan Basah ini

46.

Kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun 1987 (Silvius
1987) dan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong tahun
2010 berdasarkan hassil penelitian ............... ..................................
118

71

107

114

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu ..........................................................................................

19

2.

Peta lokasi penelitian dan sebaran desa ..........................................

24

3.

Kerangka pendekatan analisis ........................................................

27

4.

Penggunaan lahan tahun 1946 pada lahan basah Muaragembong ...

39

5.

Penggunaan lahan tahun 1998 pada lahan basah Muaragembong ..

40

6.

Penggunaan lahan tahun 2004 pada lahan basah Muaragembong ..

41

7.

Penggunaan lahan tahun 2008 pada lahan basah Muaragembong ..

42

8.

Luas penutupan mangrove kondisi saat tahun 2008 pada kebijakan
yang berlaku di lahan basah Muaragembong ...................................

45

9.

Perubahan luas lahan mangrove (1946 s/d 2008) .............................

45

10.

Jenis mangorve yang ada di lahan basah Muaragembong ................

47

11.

Peta geologi kuarter lembar Batujaya dan Galian, Jawa ................

51

12.

Peta topografi dan batimetri pada lahan basah Muaragembong .... .

52

13.

Pola dan daerah aliran sungai di lahan basah Muaragembong.... .....

54

14.

Luas lahan basah tahun 1946 s/d 2008 ............................................

55

15.

Panorama abrasi di Tanjung Wetan pada tanggal 10 Mei 2006 .......

56

16.

Peta di Tanjung Wetan tahun 1993 dan 2004 ..................................

56

17.

Ilustrasi akresi dan abrasi pada peta tahun 1946 dan 2008 .............

58

18.

Peta titik pengamatan lapangan dan pengambilan contoh kualitas air

60

19.

Peta kelas kesesuaian mangrove pada lahan basah Muaragembong
Kabupaten Bekasi...........................................................................

64

Peta Kelas Kesesuaian Tambak pada Lahan Basah Muaragembong
Kabupaten Bekasi...........................................................................

69

Peta Kelas Kesesuaian Sawah pada Lahan Basah Muaragembong
Kabupaten Bekasi...........................................................................

73

Peta Kelas Kesesuaian Pemukiman pada Lahan Basah
Muaragembong Kabupaten Bekasi .................................................

75

Peta Kelas Kesesuaian Untuk Masing-masing Peruntukan Lahan
Basah Muaragembong Kabupaten Bekasi .......................................

76

24.

Peta Lahan Basah Muaragembong (Ramsar Tahun 1987 dan 2008)

79

25.

Peta Tata Ruang Muaragembong Kabupaten Bekasi Tahun 2003 –
2013 ..............................................................................................

80

20.
21.
22.
23.

26.

Peta Perubahan Fungsi Sebagai Kawasan Hutan Lindung Menjadi
Hutan Produksi Tetap Daerah Ujung Karawang – Muaragembong
Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat (SK 475/Menhut-II/2005) ..

81

Peta struktur dan pola ruang Kecamatan Muaragembong berdasarkan
PP 54 tahun 2008 ...........................................................................

82

28.

Penggunaan Lahan Basah Tahun 2008............................................

83

29.

Perubahan Penggunaan Lahan Basah ...............................................

83

30.

Kawasan lindung hasil overlay kebijakan yang ada dengan kondisi
saat ini (LANDSAT7 2008 .............................................................

91

31.

Lahan basah alami dan lahan basah non alami berdasarkan kebijakan

92

32.

Lahan basah alami dan lahan basah non alami ................................

94

33.

Perubahan penggunaan lahan Muaragembong 1946 s/d 2008..........

95

34.

Langkah-langkah proses zonasi (modifikasi Sitomorang 2009)...... .

97

35.

Langkah penetapan kawasan/zona (Modifikasi Situmorang
2009)............................................................................. ....................

98

27.

36.

Penggunaan Lahan Basah Muaragembong berdasarkan usulan
penelitian........................................................................................
100

37.

Peta Usulan Pemanfaatan Lahan Basah Muaragembong Kabupaten
Bekasi ............................................................................................
101

38.

Silvofishery pola empang parit (Bengen 2003). ...............................

105

39.

Pola silvofishery empang terbuka (Puspita et. al. 2005) ...... ...........

107

40.

Sawah Pasang Surut dengan Sistem Parit .......................................

108

41.

Struktur Forum Pengelola Lahan Basah Muaragembong ...............

113

42.

Prosedur pengambilan keputusan FPLBM .......................................

113

43.

Tahapan monitoring dan evaluasi rencana pengelolaan (Modifikasi
Situmorang 2009)..............................................................................
114

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Ramsar Sites .....................................................................................

136

2.

Lokasi Penelitian ............................................................................

139

3.

Kondisi lahan basah Muaragembong tahun 1949 – 2008.................

143

4.

Jumlah penduduk Muaragembong dilihat dari komposisi kelamin
tahun 1985 sampai dengan 2005 .....................................................
145

5.

Perbedaan berdasarkan luas dan persentasi pemanfaatan lahan
berdasarkan Ramsar, Tata Ruang Pemerintah Daerah Kabupaten
Bekasi dan Hasil Penelitian ................................................................... 146

6.

Lima belas jenis mamalia yang terdapat pada lahan basah Muaragembong . 147

7.

Seratus lima puluh delapan (158) jenis burung yang terdapat pada lahan
basah Muaragembong ...................................................................................... 148

8.

Enam (6) jenis reptilia pada lahan basah Muaragembong ............................... 155

9.

Satu (1) jenis amphibi yang terdapat pada lahan basah Muaragembong ....... 156

10.

Sembilan (9) jenis serangga yang terdapat pada lahan basah
Muaragembong ................................................................................................ 157

11.

Sebelas jenis ikan dilahan basah Muaragembong................................... 158

I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan

lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan
secara langsung seperti sumber air minum dan habitat beraneka ragam makhluk,
tetapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir dan
kekeringan, pengaman garis pantai dari intrusi air laut dan abrasi, penambat
sedimen dari darat dan penjernih air, penyedia unsur hara (KNPELB 2004).
Fungsi habitat, lahan basah sebagai penyedia makanan, air, hasil hutan, tempat
perlindungan bagi ikan, burung, mamalia, dan sebagai tempat pemijahan berbagai
spesies (Tiner 1989). Fungsi hidrologi lahan basah dapat dikaitkan dengan
kuantitas air yang masuk, tinggal, dan keluar di lahan basah. Fungsi kualitas air
mencakup penyerapan sedimen dan pengendali polusi pada lahan basah (Novitzki
et al. 2004).
Luas permukaan bumi yang terdiri dari lahan basah belum diketahui
dengan pasti. Pusat Monitoring Konservasi Dunia memperkirakan sekitar 5.7 juta
km2 atau kira-kira 6% dari permukaan daratan bumi dengan komposisi yaitu 2%
danau, 30% tanah berlumpur, 26% mata air, 20% payau dan 15% dataran
berbanjir (Biro Konvensi Ramsar 1997). Meskipun hanya 6% muka bumi yang
dicakup oleh lahan basah, tetapi menyediakan habitat untuk kira-kira 20% spesies
yang diketahui, dan diyakini bahwa sejumlah besar spesies masih belum
tergambarkan (Nirarita et al. 1996).
Sekitar 38 juta hektar atau 21% dari luas daratan Indonesia merupakan
lahan basah, yang menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan basah terluas di
Asia. Lahan basah tersebut sebagian besar terdapat di daratan rendah alluvial dan
lembah-lembah sungai, muara sungai dan di daerah pesisir di hampir semua pulau
Indonesia. Dari 256 lahan basah di Indonesia baru 127 lahan basah yang
dikonservasi walaupun situs-situs tersebut belum memperoleh status dilindungi
(Wibowo & Suyatno 1996). Inventarisasi dari Wetland Internasional mendata
bahwa di Indonesia terdapat 256 lahan basah (wetland sites) yang tersebar di

2
seluruh kepulauan. Namun baru 56 saja yang telah memenuhi kriteria Ramsar
yang mempunyai arti penting secara internasional (Wibowo et al. 1996).
Lahan basah di Indonesia telah mengalami perubahan dan terancam
kelestariannya baik secara fisik maupun habitat yang terdapat pada lahan basah
tersebut. Perubahan tersebut umumnya terjadi disebabkan oleh karena lahan basah
dianggap sebagai lahan yang tidak berguna. Padahal lahan basah sangat
bermanfaat antara lain adalah sebagai habitat, pengatur fungsi hidrologi, pencegah
bencana alam dan menjaga sistem dan proses-proses alami.
Dalam kurun waktu 1991-1996, setidaknya ada tiga kegiatan penting yang
berkaitan langsung dengan kebijakan pengelolaan lahan basah di Indonesia yaitu:
meratifikasi Konvensi Ramsar, pembentukan Komisi Nasional Lahan Basah, dan
pengukuhan strategi nasional dan rencana aksi pengelolaan lahan basah di
Indonesia. Namun demikian, ketiga hal itu belum mengubah pola pengelolaan
lahan basah. Pengelolaannya masih bersifat sektoral menurut masing-masing
lembaga dan tidak mengacu pada strategi nasional yang telah ditetapkan. Laporan
Wetland Indonesia mengenai kondisi lahan basah di Indonesia menunjukkan
penurunan yang signifikan.
Hingga tahun 1996, diperkirakan Indonesia kehilangan lahan basah sekitar
12 juta ha (WI-IP 2002). Pada tahun 2000, luas lahan basah di Indonesia adalah
42.5 juta ha yang terdiri atas 31.4 juta ha lahan basah alami dan 11.1 juta ha lahan
basah buatan. Data tahun 2002 menunjukkan adanya penyusutan luasnya, yaitu
menjadi 33.8 juta ha yakni 25.0 juta ha lahan basah alami dan 8.8 juta hektar
lahan basah buatan. Sebagai contoh, kondisi lahan basah di Indramayu sebagai
habitat burung air dalam waktu kurang dari 10 tahun terjadi penurunan yang
mencapai 1 juta ekor. Pada tahun 1984-1986 menurun menjadi 300 ribu ekor per
tahun, dan tahun 1987 tinggal 200 ribu ekor (Bratasida 2002).
Convention on wetlands of international importance especially as
waterfowl habitat atau lebih dikenal dengan konvensi Ramsar yang diresmikan
pada tanggal 2 februari 1971 di kota Ramsar Iran dan berlaku secara formal sejak
tahun 1975. Tujuan konvensi ini adalah konservasi dan pemanfaatan lahan basah
secara bijaksana melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk
mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia. Indonesia

3
mengesahkan konvensi Ramsar tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
48 tahun 1991 yaitu mengenai lahan basah dipandang dari kepentingan
internasional khususnya sebagai habitat burung air, dan terbentuknya Komite
Lahan Basah Nasional pada tahun 1994. Komitmen negara anggota konvensi yaitu
negara berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana
Tata Ruang Nasional dan melaporkan perkembangan implementasi komitmennya
terhadap konvensi yang menjadi catatan publik.
Lahan basah Muaragembong telah masuk dalam daftar database Wetland
International Indonesia dengan kode JAV09 merupakan salah satu dari 718 lahan
basah yang telah tercantum dalam database lahan basah Ramsar. Disebutkan
dalam database tersebut bahwa Muaragembong sebagai lahan basah dan cagar
alam seluas 10 481 ha. Penentuan lahan basah Muaragembong ditetapkan
berdasarkan kriteria Ramsar yaitu termasuk lahan basah pasang surut yang khas
atau mewakili dataran rendah (Silvius et al. 1987). Lahan basah ini, mempunyai
pantai yang landai (1 sampai dengan 5 m), berair payau dan salinitas kearah darat
cenderung rendah serta tumbuh hutan mangrove. Hutan mangrove di lahan basah
Muaragembong ini tumbuh di tanah berlumpur, lahan tergenang air secara
berkala, menerima pasokan air tawar dari Ci Tarum.
Lahan basah di Indonesia mengalami kerusakan fisik dan biologis
ekosistem lahan basah, terutama sungai, danau dan rawa, karena eksploitasi dan
pemanfaatan sumberdaya yang tidak seimbang, pencemaran, konversi habitat dan
faktor alam seperti bencana alam (WI-IP 2002). Lahan basah Muaragembong
sebagai salah satu lahan basah di Indonesia telah mulai terkikis baik oleh alam
maupun oleh kegiatan penduduk yang berdatangan. Keberadaan hutan bakau
makin terancam dengan perubahan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten
Bekasi 2003 - 2012 (Rasyad 2004). Dibandingkan ekosistem hutan dataran tinggi,
rasa kepemilikan terhadap lahan basah oleh masyarakat setempat tidak begitu
kuat. Interaksi budaya dan konsep religi masyarakat terhadap hutan dataran tinggi
lebih kuat dibandingkan terhadap ekosistem lahan basah. Pada sejumlah lahan
basah, tidak ditemukan organisasi tani maupun kelembagaan sosial yang terkait
dengan lahan basah (Walhi 2004). Pada lahan basah ini, lembaga perekonomian
yang telah ada pada masyarakat nelayan Muaragembong adalah Koperasi Unit

4
Desa (KUD) dan TPI. Saat ini TPI tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya.
Hasil tangkapan nelayan tak pernah dilelang, namun demikian restribusi terhadap
hasil tangkapan tetap ditarik. Koperasi Unit Desa yang seharusnya dapat menjadi
lembaga penyedia kredit dan berbagai keperluan nelayan juga tidak berjalan
(Panjaitan 1997).
Ditinjau dari regulasi yang ada, pengaturan pada ekosistem lahan basah
masih sangat minim. Namun demikian, pandangan, ikatan batin, dan faktor
pendorong konservasi maupun eksploitasi oleh masyarakat atas lahan basah di
suatu tempat bersifat khas. Perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya sehingga terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan
basah Muaragembong.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan kajian yang mampu
mengakomodasikan segenap kepentingan stakeholder yang terkait dengan
pengelolaan lahan basah Muaragembong dan tetap mengutamakan keberlanjutan
fungsi ekologi dan pemanfaatan. Kelestarian ekologi dapat berjalan apabila
terdapat

kebijakan

pengelolaan

lahan

basah

di Muaragembong

secara

berkelanjutan. Oleh karena itu kajian integratif diperlukan untuk menemukan
solusi optimal pengelolaan lahan basah Muaragembong.

1.2.

Identifikasi dan Perumusan Masalah
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 tentang

penunjukan kawasan hutan lindung seluas 10 482 ha pada lahan basah
Muaragembong dengan status tanah adalah tanah negara. Namun kurangnya
sosialisasi tentang arti dan fungsi lahan basah Muaragembong kepada masyarakat,
maka timbullah berbagai konflik. Bahkan Pemerintah Daerah menganggap lahan
basah ini potensial untuk dikembangkan untuk kepentingan produksi melalui alih
fungsi, misalnya dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor A.1357/INS.L/1963 tentang tanah negara yang digarap rakyat akan
dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat, maka lahan basah
yang semula merupakan hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti
kegiatan pertanian dan perikanan.

5
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25/1999 tentang penetapan
status kawasan Muaragembong masih di Departemen Kehutanan, perlu
peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani,
mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan antara Departemen Kehutanan sebagai
pengelola lahan basah dengan masyarakat mengenai penggunaan lahan basah
untuk area perlindungan dan area pemanfaatan.
Kebijakan Bupati Bekasi tentang Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2003
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2003-2013 dan
Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kawasan
Pantai Utara Kabupaten Bekasi 2003-2013, maka rencana pengembangan
Kecamatan Muaragembong (bagian dari kawasan khusus pantai utara) menjadi
Kota Baru Pantai Makmur dengan kegiatan industri, pergudangan, pemukiman,
pelabuhan, wisata, perdagangan dan jasa, dengan tetap mempertahankan fungsi
hutan.
Penggarapan tanah telah dilakukan secara turun temurun dan bahkan ada
bidang-bidang tanah yang disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (LPP
Mangrove 2003). Konflik lainnya adalah status yang belum jelas: mengenai tanah
timbul, jalur hijau hutan lindung, tata batas lahan kehutanan pada umumnya.
Konflik tanah timbul tersebut, diselesaikan dengan ditunjuk tanah timbul sebagai
kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 598/Kpts/II/1997
tahun 1997 (Tim Terpadu 2005).
Dalam database Wetland International dengan kode JAV09 lahan basah
Muaragembong merupakan cagar alam dengan luas sebesar 10 481 ha (Komite
Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, 2004) atau sama dengan luas
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 (sebagai hutan tetap).
Namun Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/Menhut-II/2005 tahun
2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujung Krawang
(Muaragembong) menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ± 5 170 ha. Dan
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006 tentang pengelolaan
kawasan lindung dinyatakan bahwa kawasan lahan basah ini merupakan kawasan
lindung. Serta Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta,

Bogor,

Depok, Tangerang,

Bekasi,

Puncak,

Cianjur

6
(Jabodetabekpunjur) dengan tujuan antara lain keterpaduan penataan ruang pada
kawasan Jabodetabekpunjur.
Adanya konflik kepentingan yaitu luasnya penggunaan lahan untuk
kegiatan ekonomi karena desakan kebutuhan lahan penduduk setempat serta
lemahnya pembinaan dan pengendalian, lemahnya konsistensi kebijakan
pengelolaan lahan hutan mangrove, kurang tegasnya sikap instansi yang
berwenang (Perhutani dan Pemerintah Daerah) dan perbedaan persepsi diantara
sektor-sektor pe