Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi saat ini

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi saat ini

a. Rumusan tindak pidana korupsi dan ruang lingkupnya dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia Kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya menanggulangi tindak pidana korupsi saat ini, sesungguhnya telah mengalami pelbagai perubahan, yang mana perubahan tersebut dilakukan mengingat perkembangan korupsi yang demikian cepat. Bahkan menurut beberapa ahli atau pakar hukum pidana dan kriminologi sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab I dan Bab II korupsi digambarkan sebagai suatu penyakit yang dalam perkembangannya bukan saja merusak atau merugikan keuangan dan perekonomian negara, akan tetapi telah melampaui batas-batas tersebut yakni merusak atau merugikan perekonomian rakyat. Perkembangan korupsi terutama dalam lingkup penyelewengan kekuasaan dan suap telah begitu menguasai setiap sendi kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya setiap masyarakat dihadapkan pada kesulitan-kesulitan manakala berhadapan dengan para pejabat negara yang seharusnya dapat melayani setiap kebutuhan masyarakat tanpa harus membayar pada pejabat-pejabat tersebut. Kondisi-kondisi semacam inilah yang kemudian menyebabkan kebijakan hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana korupsi mengalami perkembangan-perkembangan, yang menggambarkan langkah- langkah ke arah kriminalisasi dan dekriminalisasi. Perubahan-perubahan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, yang disebabkan oleh perkembangan korupsi yang demikian cepat dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dilukiskan pada konsiderans beberapa perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, misalnya sebagai berikut: 1. Konsiderans Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971: a. bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuanganperekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional; b. bahwa Undang-undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti. 2. Konsiderans Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999: a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945; b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi; c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi; 3. Konsiderans Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001: a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa; b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertimbangan mengenai perlunya perumusan tindak pidana korupsi, sebagaimana diungkapkan dalam konsiderans dalam perundang-undangan di atas menunjukkan adanya keprihatinan atas tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional. kemudian perubahan-perubahan mengenai tindak pidana korupsi yang dirumuskan dapat terlihat dari rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai berikut: a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perumusan mengenai tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut, meletakkan korupsi sebagai delik materiel. Konsekuensi dari rumusan tersebut adalah korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu apakah telah merugikan keuangan negara atau tidak. Rumusan dengan model ini mengakibatkan tidak efektifnya penanggulangan tindak pidana korupsi, terutama yang dilakukan oleh para pejabat negara. Ketidakefektifan pemberantasan korupsi dengan melandaskan pada rumusan delik materil tersebut, kemudian melahirkan kebijakan pemberantasan korupsi yang baru yakni dengan merumuskan korupsi sebagai delik formil. Pendirian pembentuk undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi ini juga tampaknya disemangati oleh pergerakan tindak pidana korupsi yang dalam perkembangannya tidak saja merugikan keuangan atau perekonomian negara tapi sudah merusak hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi rakyat. kondisi inilah yang kemudian mengubah arah kebijakan hukum pidana, di mana tindak pidana korupsi yang pada awalnya dirumuskan berdasarkan delik materil diubah menjadi delik formil. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua rumusan tersebut menempatkan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, di mana perbuatan korupsi tetap dipidana sekalipun tidak terjadi kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 bahwa kata “dapat” sebelum frase “merugikan keuangan dan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat beberapa ruang lingkup korupsi, dan menurut Hendarman Supandji ruang lingkup tersebut terbagi dalam 5 lima kelompok yaitu : 1. Kelompok delik yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara. 2. Kelompok delik yang berkaitan dengan suap menyuap dan gratifikasi. 3. Kelompok delik yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan. 4. Kelompok delik yang terkait dengan pemerasan dalam jabatan. 5. Kelompok delik yang terkait dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. 170 Secara rinci Kelompok-kelompok tersebut dapat dilihat dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tahun 2001 Tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut: 1. Kelompok delik dalam hal kerugian keuangan negara : Termasuk kelompok ini adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 dan 3 sebagaimana dijabarkan di atas. 2. Kelompok delik yang berkaitan dengan suap menyuap dan gratifikasi Termasuk kelompok ini adalah sebagai mana dijabarkan dalam : 170 Hendarman Supandji, loc.cit. hlm. 5 Pasal 5 ayat 1 huruf a a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pasal 5 ayat 2 Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf b Pasal 6 ayat 1 a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Pasal 6 ayat 2 Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Pasal 11 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Pasal 12 a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Pasal 12 B Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. 3. Kelompok delik yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan Kelompok delik dalam lingkup penggelapan dalam jabatan, dirumuskan dalam beberapa pasal beriku: Pasal 8 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 10 pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 4. Kelompok delik yang terkait dengan perbuatan pemerasan dalam jabatan Pemerasan dalam jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tindak pidana korupsi, dirumuskan dalam pasal berikut ini: Pasal 12 e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; 5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, Leveransir dan Rekanan Mengenai tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemborongan, Leveransir dan rekanan, di rumuskan dalam Pasal 7 dan Pasal 12, yang menegaskan bahwa: Pasal 7 a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Pasal 7 ayat 2 Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Pasal 12 h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Secara lebih rinci Barda Nawawi Arief merinci ruang lingkup tindak pidana korupsi tersebut sebagai berikut: 171 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: Pasal 1: 1. a. b. c. Barangsiapa: - dengan melawan hukum; - memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan; - yang langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian negara; atau - diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan atau perekonomian negara. Barangsiapa: - dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu badan; - menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; - yang langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara. Barangsiapa: - melakukan kejahatan dalam Pasal 209, 210, Pasal 387, 388, Pasal 415 sampai dengan pasal 420, Pasal 171 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003:97- 106 2. d. . e. 425 dan Pasal 435 KUHP; Barangsiapa: - memberi hadiahjanji; - kepada Pegawai Negeri dalam Pasal 2; - dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi dianggap melekat pada jabatan atau kedudukannya. Barangsiapa: - tanpa alasan yang wajar; - dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji; - yang diberikan kepadanya seperti tersebut dalam Pasal 418, 419, dan Pasal 420 KUHP; - tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat 1 a,b,c,d,e pasal ini. 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 : A. Tindak Pidana Korupsi Bab II, Pasal 2 sampai dengan Pasal 20; 1. Pasal 2 berasal dari Pasal 1sub 1a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: Setiap orang: - yang secara melawan hukum, - melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, - yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. 2. Pasal 3 berasal dari Pasal 1sub 1b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: Setiap orang: - yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, - menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, - yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara 3. Pasal 4 pasal baru: - pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3. 4. Pasal 5 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 209 KUHP. 5. Pasal 6 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 210 KUHP. 6. Pasal 7 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP. 7. Pasal 8 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 415 KUHP. 8. Pasal 9 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 416 KUHP. 9. Pasal 10 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 417 KUHP. 10. Pasal 11 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 418 KUHP. 11. Pasal 12 berasal dari Pasal 1sub 1c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo. Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal, 425 dan Pasal435 KUHP. 12. Pasal 13 berasal dari Pasal 1sub 1d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971: 13. Pasal 14 pasal baru: - pelanggaran ketentuan undang-undang yang secara tegas dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi, berlaku ketentuan dalam undang-undang ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 14. Pasal 15 perluasan dari Pasal 1sub 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yaitu tidak hanya “percobaan’ dan “permufakatan jahat” tetapi juga “perbantuan dipidana sama dengan pelaku Tindak Pidana Korupsi. 15. Pasal 16 pasal baru: - tiap orang di luar wilayah Republik Indonesia; - yang memberi bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya Tindak Pidana Korupsi; - dipidana sama sebagai pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. 16. Pasal 17 sampai dengan Pasal 19: mengatur pidana tambahan. 17. Pasal 20 pasal baru tentang “pertanggungjawaban” korporasi. 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 - Mengubah perumusan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan tidak mengacu pasal-pasal KUHP, tetapi langsung menyebut unsur-unsur delik yang bersangkutan. - Menyisipkanmenambah pasal-pasal baru ke dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999: 1. Pasal 12 A 1 Ketentuan pidana dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 tidak berlaku untuk Tindak Pidana Korupsi yang bernilai kurang dari Rp 5.000.000,00 lima juta rupiah 2 Tindak Pidana Korupsi, yang bernilai kurang dari Rp 5.000.000,00 lima juta rupiah, dipidana maksimum 3 tiga tahun penjara dan denda maksimum Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. 2. Pasal 12 B gratifikasi: 1 Gratifikasi kepada Pegawai NegeriPenyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila: - berhubungan dengan jabatannya, dan - berlawanan dengan kewajibantugasnya dengan ketentuan: a. nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih di mana pembuktian sebagai bukan suap ada pada penerima terdakwa; b. nilainya kurang dari 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, maka pembuktian sebagai suap pada penuntut umum. Ruang lingkup tindak pidana korupsi yang cukup luas, sebagaimana diatur dalam Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pada hakikatnya sudah cukup baik. Namun demikian Undang-undang tersebut, masih terdapat persoalan-persoalan yuridis dalam merumuskan tindak pidana korupsi, di mana persoalan-persoalan tersebut dapat mengakibatkan sulitnya operasionalisasi KUHP sebagai sistem induk dalam menjembatani pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi belum merumuskan batasan-batasan yuridis atau pengertian yuridis mengenai tindak pidana korupsi dalam hal permufakatan jahat, sedangkan permufakatan jahat yang terdapat dalam KUHP Pasal 88 merupakan istilah yang diatur dalam Bab IX yang tidak mungkin dioperasionalkan mengingat Pasal 103 KUHP mensyaratkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana. Demikian juga mengenai istilah “pembantuan” yang merupakan istilah yuridis, belum diatur dalam undang-undang ini. 2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi tidak mencantumkan kualifikasi delik apakah sebagai “pelanggaran” atau “kejahatan” sehingga KUHP tidak dapat dioperasionalkan terhadap tindak pidana korupsi khususnya mengenai delik percobaan, karena dalam KUHP hanya percobaan terhadap kejahatan yang dapat dipidana. Selain persoalan-persoalan yuridis tersebut, sebagaimana diuraikan di atas menurut Barda Nawawi Arief, seharusnya dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi menjadikan tindak pidana pencucian uang tindak pidana setelah korupsi sebagai tindak pidana korupsi. Penegasan Barda Nawawi Arief tersebut terlihat saat merekomendasikan agar tindak pidana pencucian uang dimasukkan sebagai tindak pidana korupsi, yakni dalam Seminar Nasional MENYONGSONG PEMBAHARUAN DAN PEM-BENTUKAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME, Kerja sama FH UNSOED dan BAPPENAS, di Baturraden, Purwokerto, 30 Januari 1999, sewaktu membahas rencana perubahan UU No. 31971 yang kemudian menjadi UU No. 311999, dan dalam Seminar Nasional “Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi Dengan Sistem Pembuktian Terbalik”, FH UNS, Hotel Quality, Surakarta, 10 Juli 2001, sewaktu membahas RUU perubahan UU No. 311999 yang kemudian menjadi No. 202001. Menurutnya bahwa: 172 dalam UU No. 31971 maupun UU No. 311999 hanya ada dua kelompok tindak pidana korupsi, yaitu :kelompok TP-K Tindak pidana Korupsi dan kelompok TP-BDK Tindak Pidana yang Berhubungan Dengan Korupsi. Jadi belum ada kelompok ketiga, yang saya sebut dengan istilah “Tindak Pidana Setelah Korupsi” disingkat “TP-SK”. Ke dalam kelompok ketiga inilah saya usulkan dimasukkannya tindak pidana pencucian uang TPPU – Money Laundering. Berdasarkan pemikiran Barda Nawawi Arief, tersebut maka korupsi tidak hanya dalam hal perbuatan atau kejahatan awal saja, tetapi juga perbuatan yang berkaitan dengan korupsi dan perbuatan lanjutan yaitu perbuatan setelah korupsi itu dilakukan, atau hasil dari perbuatan korupsi. 172 Barda Nawawi Arief, “Pencucian Uang dari Perspektif RUU Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Asset Rocovery” Makalah disampaikan pada Seminar yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Jakarta, 15 Nopember 2007.hlm.6 Mengenai tindak pidana pencucian uang tersebut, secara yuridis telah dirumuskan dalam Pasal 2 Undang- undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan rumusan sebagai berikut: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. perbankan; g. narkotika; h. psikotropika; i. perdagangan budak, wanita dan anak; j. perdagangan senjata gelap; k. penculikan; l. terorisme; m. pencurian; n. penggelapan; o. penipuan, Dalam rumusan tersebut disebutkan bahwa harta kekayaan yang berjumlah minimal Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah atau yang setara yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi dan penyuapan huruf a dan huruf b sebagai perbuatan pencucian uang. Korupsi pada hakikatnya adalah salah satu bentuk kejahatan keuangan. Sebagai kejahatan keuangan interprise Crimes hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus segera mungkin dilakukan pencucian uang. 173 Antara korupsi dan 173 Lihat Yenti Garnasih. “Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Implementasinya suatu Tinjauan Awal”Artikel dalam Jurnal Legislasi Indonesia Depkumham RI No.4 Vol.3 hlm. 135. penyuapan dengan pencucian uang terdapat satu rangkaian kejahatan, di mana korupsi dan penyuapan dapat dikatakan sebagai kejahatan asal predicate offense sedangkan pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan follow up Crime. 174 Kejahatan dan hasil kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai rangkaian korupsi yang sebaiknya dimasukkan dalam tindak pidana korupsi. Bahkan lebih jauh lagi, UNCAC merekomendasikan agar Tindak Pidana Pencucian Uang dimasukkan Ke dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi, sebagaimana tercermin pada Pasal 14 dan Pasal 23 berikut ini: Article 14. Measures to prevent money-laundering Pasal 14. Tindakan-tindakan untuk Mencegah Pencucian Uang 1. Each State Party shall: Setiap Negara Pihak wajib : a Institute a comprehensive domestic regulatory and supervisory regime for banks and non-bank financial institutions, including natural or legal persons that provide formal or informal services for the transmission of money or value and, where appropriate, other bodies particularly susceptible to moneylaundering, within its competence, in order to deter and detect all forms of money-laundering, which regime shall emphasize requirements for customer and, where appropriate, beneficial owner identification, record-keeping and the reporting of suspicious transactions; Membentuk rezim pengaturan dan pengawasan internal yang komprehensif untuk bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan nonbank, termasuk orang-orang pribadi dan badan- badan hukum yang memberikan jasa-jasa resmi atau tidak resmi untuk pengiriman uang atau nilai dan, bilamana tepat, 174 ibid badan-badan lain yang secara khusus rawan terhadap pencucian uang, di dalam kewenangannya, untuk menahan dan mendeteksi semua bentuk pencucian uang, rezim mana wajib menekankan persyaratan-persyaratan bagi nasabah dan, sebagaimana layaknya, identifikasi penerima hak, penyimpanan dokumen dan pelaporan transaksi-transaksi yang mencurigakan; b Without prejudice to article 46 of this Convention, ensure that administrative, regulatory, law enforcement and other authorities dedicated to combating money-laundering including, where appropriate under domestik law, judicial authorities have the ability to cooperate and exchange information at the national and international levels within the conditions prescribed by its domestic law and, to that end, shall consider the establishment of a financial intelligence unit to serve as a national centre for the collection, analysis and dissemination of information regarding potential money-laundering. Tanpa mengabaikan Pasal 46 Konvensi ini, memastikan bahwa badan-badan berwenang di bidang administratif, pengaturan, penegakan hukum, dan lainnya yang ditujukan untuk memberantas pencucian uang termasuk, bilamana tepat berdasarkan hukum nasional, badan-badan peradilan memiliki kemampuan untuk bekerja sama dan menukar informasi apa pun pada tingkat nasional dan internasional dengan syarat- syarat yang ditentukan oleh hukum nasionalnya dan, untuk tujuan itu, wajib mempertimbangkan pembentukan unit intelijen keuangan yang berfungsi sebagai pusat nasional untuk pengumpulan, analisis, dan penyebarluasan informasi mengenai pencucian uang yang mungkin terjadi. 2. States Parties shall consider implementing feasible measures to detect and monitor the movement of cash and appropriate negotiable instrumental across their borders, subject to safeguards to ensure proper use of information and without impeding in any way the movement of legitimate capital. Such measures may include a requirement that individuals and businesses report the cross-border transfer of substantial quantities of cash and appropriate negotiable instruments. Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat guna untuk mendeteksi dan memantau pergerakan uang tunai dan instrumen-instrumen surat berharga yang melintasi perbatasan- perbatasan mereka, tunduk pada pengamanan-pengamanan untuk memastikan penggunaan yang wajar atas informasi dan tanpa menghalangi secara apa pun pergerakan modal yang sah. Tindakan-tindakan tersebut dapat mencakup persyaratan bahwa perorangan dan badan-badan usaha melaporkan transfer lintas perbatasan uang tunai dalam jumlah besar dan instrumen-instrumen surat berharga yang sepantasnya. 3. States Parties shall consider implementing appropriate and feasible measures to require financial institutions, including money remitters: Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang wajar dan tepat untuk mensyaratkan lembaga-lembaga keuangan, termasuk pengirim- pengirim uang : a To include on forms for the electronic transfer of funds and related messages accurate and meaningful information on the originator; Untuk memasukkan ke dalam formulir-formulir untuk transfer elektronik dana-dana dan pesan-pesan terkait, informasi yang cermat dan berharga mengenai asal usulnya; b To maintain such information throughout the payment chain; and Untuk menyimpan informasi tersebut sepanjang rangkaian pembayaran; dan c To apply enhanced scrutiny to transfers of funds that do not contain complete information on the originator. Untuk menerapkan ketelitian yang tinggi atas transfer dana- dana yang tidak mencantumkan informasi yang lengkap tentang asal-usulnya. Article 23. Laundering of proceeds of Crime Pasal 23. Pencucian Hasil-hasil Kejahatan 1. Each State Party shall adopt, in accordance with fundamental principles of its domestic law, such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: Setiap Negara Pihak wajib mengambil, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan pidana, apabila dilakukan dengan sengaja: a i The conversion or transfer of property, knowing that such property is the proceeds of crime, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or of helping any person who is involved in the commission of the predicate offence to evade the legal consequences of his or her action; Konversi atau transfer kekayaan, dengan mengetahui bahwa kekayaan tersebut adalah hasil-hasil kejahatan, untuk maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal kekayaan yang tidak sah atau membantu orang siapa pun yang terlibat dalam pelaksanaan kejahatan asal untuk menghindari konsekuensi hukum dari tindakannya; ii The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement or ownership of or rights with respect to property, knowing that such property is the proceeds of crime; Penyembunyian atau penyamaran sifat, sumber, lokasi, pelepasan, perpindahan atau pemilikan yang sebenarnya dari atau hak-hak yang berkenaan dengan kekayaan, dengan mengetahui bahwa kekayaan tersebut adalah hasil-hasil kejahatan. b Subject to the basic concepts of its legal system: Berdasarkan konsep dasar sistem hukumnya : i The acquisition, possession or use of property, knowing, at the time of receipt, that such property is the proceeds of crime; Perolehan, pemilikan atau penggunaan kekayaan, dengan mengetahui, pada waktu penerimaan bahwa kekayaan tersebut adalah hasil-hasil kejahatan; ii Participation in, association with or conspiracy to commit, attempts to commit and aiding, abetting, facilitating and counselling the commission of any of the offences established in accordance with this article. Ikut serta dalam, berhubungan dengan atau konspirasi untuk melakukan, percobaan untuk melakukan dan membantu, bersekongkol, mempermudah dan menganjurkan pelaksanaan kejahatan-kejahatan apa pun yang dilakukan sesuai dengan Pasal ini. 2. For purposes of implementing or applying paragraph 1 of this article: Untuk maksud melaksanakan atau menerapkan ayat 1 Pasal ini : a Each State Party shall seek to apply paragraph 1 of this article to the widest range of predicate offences; Setiap Negara Pihak wajib berupaya untuk menerapkan ayat 1 Pasal ini dalam arti yang seluas-luasnya dari kejahatan asal; b Each State Party shall include as predicate offences at a minimum a comprehensive range of criminal offences established in accordance with this Convention; Setiap Negara Pihak wajib memasukkan sebagai kejahatan asal sekurang-kurangnya suatu rangkaian komprehensif dari kejahatan- kejahatan pidana yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini; c For the purposes of subparagraph b above, predicate offences shall include offences committed both within and outside the jurisdiction of the State Party in question. However, offences committed outside the jurisdiction of a State Party shall constitute predicate offences only when the relevant conduct is a criminal offence under the domestic law of the State where it is Committee and would be a criminal offence under the domestic law of the State Party implementing or applying this article had it been committed there; Untuk maksud subayat b di atas, kejahatan asal termasuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan baik di dalam dan di luar yurisdiksi Negara Pihak yang bersangkutan. Namun demikian, kejahatan-kejahatan yang dilakukan di luar yurisdiksi suatu Negara Pihak merupakan kejahatan asal hanya apabila tindakan tersebut merupakan kejahatan pidana berdasarkan hukum nasional Negara di mana tindakan tersebut dilakukan dan adalah suatu kejahatan pidana berdasarkan hukum nasional Negara Pihak yang melaksanakan atau menerapkan Pasal ini manakala tindakan tersebut dilakukan di sana; d Each State Party shall furnish copies of its laws that give effect to this article and of any subsequent changes to such laws or a description thereof to the Secretary-General of the United Nations; Setiap Negara Pihak wajib menyerahkan salinan undang- undangnya yang memberlakukan Pasal ini dan perubahan- perubahan selanjutnya pada undang-undang tersebut atau penjelasan daripadanya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa; e If required by fundamental principles of the domestic law of a State Party, it may be provided that the offences set forth in paragraph 1 of this article do not apply to the persons who committed the predicate offence. Apabila disyaratkan oleh prinsip-prinsip dasar hukum nasional suatu Negara Pihak, dapat ditentukan bahwa kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang melakukan kejahatan asal. Penegasan Konvensi UNCAC dalam pasal 14 dan 23 tersebut merupakan isyarat bahwa kebijakan hukum pidana terkait tindak pidana pencucian uang akan lebih efektif jika dimasukkan sebagai tindak pidana korupsi yang merupakan rangkaian komprehensif dari kejahatan comprehensive range of criminal offences. Termasuk di dalamnya, mereka yang turut serta, permufakatan jahat, percobaan, pembantuan, menganjurkan Participation in, association with or conspiracy to commit, attempts to commit and aiding, abetting, facilitating and counselling the commission of any of the offences.

b. Penyebaran rumusan tindak pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Selain persoalan –persoalan yuridis sebagaimana diuraikan di atas, juga terdapat persoalan-persoalan mengenai lingkup tindak pidana korupsi yang tersebar dalam perundang-undangan lain di luar Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Pidana Suap Hakikat dari tindak pidana korupsi adalah suap sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980, dalam undang- undang ini dirumuskan bahwa: Pasal 2 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum. Pasal 3 Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum. Setelah diundangkannya undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, praktis undang-undang tentang tindak pidana mengenai suap tidak dioperasionalkan, karena setiap tindak pidana suap selalu dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Melihat efektitas tersebut seyogyang undang-undang ini dicabut, agar tidak menimbulkan kesan tindak pidana suap sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980, adalah kriminalisasi yang tidak memiliki makna sebagai tindak pidana yang sesungguhnya, atau dengan lain perkataan kriminalisasi suap dalam undang-undang tersebut hanya merupakan kebutuhan politik, bukan pengaturan hukum sebagai jawaban atas kebutuhan hukum bagi masyarakat. 2. Undang-undang tentang perbankan. Rumusan mengenai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan terdapat dalam Pasal 49 ayat 2 yang menyatakan bahwa” Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja : a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank ; Rumusan Pasal 49 ayat 2 huruf a tersebut menyatakan bahwa anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang “ meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya”. Jika ditelaah lebih teliti, rumusan tersebut merupakan rumusan tindak pidana korupsi dalam lingkup suap, atau gratifikasi sebagaimana tercantum dalam undang- undang tindak pidana korupsi. 3. Undang-undang mengenai pajak Rumusan tindak pidana dalam lingkungan perpajakan dituangkan dalam Pasal 36A undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 ditegaskan bahwa “ “Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 36A undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tersebut, menyatakan bahwa: “Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan meningkatkan kemampuan petugas pajak maka terhadap petugas pajak yang menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian negara, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Rumusan sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 36A Undang- undang Nomor 16 Tahun 2000 tersebut, identik dengan rumusan tindak pidana korupsi, di mana unsur yang disebutkan adalah “merugikan negara”, dan unsur “merugikan negara” yang dimaksud dalam rumusan pasal tersebut adalah merugikan negara dalam hal “keuangan atau perekonomian negara”, hal ini didasarkan atas lingkup penanganan pajak adalah bagian dari departemen keuangan atau membidangi keuangan dan perekonomian negara. Seiring perkembangan dan kebutuhan masyarakat, maka undang- undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Pajak tersebut diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Dalam undang-undang ini Pasal 36A mengalami perubahan sebagai berikut: 1 Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. 4 Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. Perubahan dalam Pasal 36A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, hanya menegaskan bahwa hanya ayat 4 yang merupakan tindak pidana korupsi, sehingga berlaku Pasal 12 Undang-undang Nomr 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, di mana dalam undang-undang ini tindakan tersebut merupakan tindak pidana pemerasan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 12 huruf e yang menegaskan bahwa: “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri” Sangat disayangkan bahwa Pasal 36A ayat 1 tidak ditegaskan sebagai tindak pidana korupsi, padahal unsur “kelalaian” atau “kesengajaan” dalam penghitungan pajak dapat mengakibatkan kerugian pada “keuangan atau perekonomian negara”, yang merupakan tindak pidana korupsi. Seyogyanya Pasal 36A ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tersebut tetap mempertahankan rumusan Pasal 36A Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, di mana unsur “merugikan negara” menjadi unsur esensial, hal ini dimaksudkan untuk menghindari multi tafsir terhadap rumusan tersebut, sehingga dapat dihindari pertentangan pemikiran mengenai dapat atau tidaknya diberlakukan sanksi sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, walaupun pada hakikatnya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dapat diberlakukan bagi pelanggaran perpajakan sesuai Pasal 36A ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, di mana Pasal 14 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001, menegaskan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.

B. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi yang Akan Datang

Dokumen yang terkait

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME DENGAN HUKUM PIDANA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 213

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 165

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 211

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI WANG PERBANKAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 197

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK KEDOKTERAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 7 164

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI MELALUI HUKUM PIDANA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 257

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MALPRAKTIK KEDOKTERAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 23

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KONTRIBUSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) bayu cover final

0 0 9

Analisa Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

0 0 8