c. Lingkungan endometrium kurang sempurna sehingga suplai zat makanan
terganggu d.
Pengaruh teratogenik : radiasi, virus, obat-obatan e.
Kelainan plasenta oksigenasi, plasenta terganggu, gangguan pertumbuhan janin, kematian
f. Penyakit Ibu :Pneumonia akut, thypus abdominalis. Kronis : Toksoplasmosis,
gangguan endokrin, malnutrisi, keracunan obat, pengaruh toksin, gangguan hormonal yang tidak terkendali, misalnya diabetes mellitus, tirotoksikosis,
defisiensi korpus luteum, hipotiroid, kelainan anatomi alat reproduksi : kista ovarium, mioma uteri, faktor psikologis dan stress emosional Maryunani
Yulianingsih, 2009.
2. Faktor Resiko
Faktor resiko adalah keadaan ibu baik berupa faktor biologis maupun non biologis yang biasanya sudah dimiliki ibu sejak sebelum hamil dan dalam
kehamilan mungkin memudahkan timbulnya gangguan lain Depkes, 2006. Beberapa faktor resiko diduga merupakan faktor resiko dari kejadian
abortus yaitu Cunningham et al 2006, Prawirohardjo, 2010. 1
Usia Ibu Usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun merupakan usia resiko untuk
hamil dan melahirkan. Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum
matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja 20 tahun lebih tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-35
tahun. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan
Universitas Sumatera Utara
tekanan stress psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya abortus Manuaba,1998.
Menurut Catanzarite 1999, health categories, 2009, ¶ 3 usia 30 tahun sering kali mengalami kondisi kesehatan yang kronik resiko tinggi. Tentu
saja hal itu akan sangat berpengaruh jika wanita tersebut hamil. Menurut Samsulhadi 2003, health categories, 2009, ¶ 4 semakin lanjut
umur wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin lanjut usia wanita,
maka resiko terjadi abortus makin meningkat karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya resiko kejadian kelainan kromosom.
Menurut Dr.Nyol 2008, health categories, 2009, ¶ 9 semakin tua umur ibu berpengaruh terhadap fungsi ovarium, dimana sel telur yang berkualitas
akan semakin sedikit, yang berakibat abnormalitas kromosom hasil konsepsi yang selanjutnya akan sulit berkembang.
Resiko terjadinya abortus spontan meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah paritas, usia ibu, jarak persalinan dengan kehamilan
berikutnya. Abortus meningkat sebesar 12 pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar 26 pada usia lebih dari 40 tahun. Insiden
terjadinya abortus meningkat jika jarak persalinan dengan kehamilan berikutnya 3 bulan Cunningham et al, 2006.
Menurut Prawirohardjo 2010 risiko ibu terkena aneoploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosomtrisomi
akan meningkat setelah usia 35 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati 2003, dalam Firman 2011
di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan bahwa terdapat hubungan
Universitas Sumatera Utara
bermakna p=0,004 antara usia ibu dengan kejadian abortus serta ibu dengan kelompok usia 20 dan 35 tahun memiliki resiko 1,9 kali lebih besar
dibanding kelompok usia 20-35 tahun. Penelitian lainnya oleh Nurjaya, Muliaty dan Saniah 2006 di RSIA Siti
Fatimah Makassar tahun 2006 menyatakan bahwa ibu hamil dengan usia 20 tahun dan 35 tahun mempunyai resiko abortus 3,808 kali lebih besar
dibanding ibu hamil dengan usia 20-35 tahun, dan terdapat hubungan bermakna usia terhadap kejadian abortus
2 Paritas Ibu
Menurut Wikjasastro 1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 6 setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan kelainan-
kelainan pada uterus, dalam hal ini kehamilan yang berulang-ulang menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang
mempengaruhi sirkulasi nutrisi kejanin dimana jumlah nutrisi akan semakin berkurang dibanding kehamilan sebelumnya.
Menurut Prawirohardjo 1999, dalam Taharuddin, 2012, ¶ 8 paritas 1 dan paritas 3 memiliki kompilikasi persalinan. Kehamilan yang berulang
paritas tinggi akan membuat uterus menjadi renggang, sehingga dapat menyebabkan kelainan letak janin dan plasenta yang akhirnya akan
berpengaruh buruk pada kesehatan janin dan pada proses persalinan. Hal–hal tersebut dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menjadi penyulit dalam
persalinan dan menjadi indikasi dilakukannya operasi caesar. Paritas 2 –3 merupakan paritas paling aman di tinjau dari sudut kesehatan dan kematian
maternal, tetapi ini akan berkurang tingkat keamanannya apabila persalinan
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya telah melalui bedah caesar sehingga masih perlu untuk tetap memperhatikan kondisi kesehatan ibu selama kehamilan dan saat persalinan.
Menurut Mulyati 2003, dalam Firman, 2011 semakin banyak jumlah kelahiran yang dialami seorang ibu semakin tinggi resikonya untuk mengalami
komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Persalinan kedua dan ketiga merupakan persalinan yang aman, sedangkan risiko terjadinya komplikasi
meningkat pada kehamilan, persalinan, dan nifas setelah yang ketiga dan seterusnya. Demikian juga dengan paritas 0 dan lebih dari 4 merupakan
kehamilan risiko tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyati 2003, dalam firman 2011
di Lima Rumah Sakit di Jakarta mendapatkan ibu hamil yang paritasnya 1 dan 3 mempunyai resiko abortus 1,2 kali dibanding ibu hamil yang paritasnya
1-3 kali, tetapi secara statistik tidak bermakna p=0,447. Hasil penelitian lainnya oleh Nurjaya, et al. 2006 di RSIA Siti Fatimah
Makassar menyatakan bahwa ibu hamil yang paritasnya 3 mempunyai resiko abortus 5,534 kali lebih besar dibanding ibu hamil yang paritasnya 3 kali, dan
terdapat hubungan bermakna paritas terhadap kejadian abortus.
C. Patofisiologi