Development of Bioremediation Technology by Slurry Bioreactor for Diesel Oil Contaminated Soil

(1)

PENGEMBANGAN TEKNIK BIOREMEDIASI

DENGAN SLURRY BIOREAKTOR UNTUK

TANAH TERCEMAR MINYAK DIESEL

FITRIA RIANY ERIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

i

ABSTRACT

Fitria Riany Eris. Development of Bioremediation Technology by Slurry Bioreactor for Diesel Oil Contaminated Soil. Supervised by Mohammad Yani and Nastiti Siswi Indrasti.

The development of bioremediation technology by slurry bioreactor is utilized for degradating of diesel oil waste since the slurry bioreactor has several advantages compare to the landfarming method. The purposes of the research were (1) To determine the optimum condition of diesel oil bioremediation process in slurry phase by treatment of contaminated level in soil and total solid at laboratory scale (2) To scale up the bioremediation process obtained from the previous stage.

The research was conducted by implementing two treatments namely total solid (10, 15, and 40%) and diesel oil contaminated level in soil (5, 10, and 15%). The consortium of bacteria applied were Pseudomonas pseudomallei (PP), Enterobacter agglomerans (EA), and the consortium of bacteria derived from manure. The respons of diesel oil degradation observed by the Respons Surface Method (RSM).

Slurry bioreactor were used to treat a contaminated soil by diesel oil and results showed total solid, contaminated level in soil, and both interaction were influenced positively towards the bacterial growth and were decreased in Total Petroleum Hydrocarbon/TPH. Laboratory scale were run first used small slurry bioreactor (500 ml) showed that hydrocarbon levels in the contaminated soil by diesel oil were reduced an optimum level up to 85.29% in the combination of 9.09% contaminated level in soil and 32.62% total solid treatment. The optimum condition in laboratory scale was applied for the scale up experiment (16 liter) showed that enhancement of consortium of PPEA bacteria and the consortium of bacteria derived from manure can be reduced hydrocarbon up to 91.6% (from 13964 ppm to 1167 ppm) after 20 days.

Keyword : Bioremediation, Slurry Bioreactor, Diesel Oil, Total Solid and Contaminated Level.


(3)

ii

ABSTRAK

Fitria Riany Eris. Pengembangan Teknik Bioremediasi dengan Slurry Bioreaktor untuk Tanah Tercemar Minyak Diesel. Dibimbing Oleh Mohamad Yani dan Nastiti Siswi Indrasti.

Bioremediasi dengan slurry bioreaktor dapat dimanfaatkan untuk mendegradasi limbah minyak diesel karena memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bioremediasi landfarming. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mencari kondisi optimum proses bioremediasi limbah minyak diesel fase slurry dengan perlakuan tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan; dan (2) Scale up hasil optimum proses bioremediasi limbah minyak bumi fase slurry.

Penelitian ini terdiri dari dua perlakuan yaitu persen padatan (10, 15, dan 40%) dan tingkat cemaran dalam tanah (5, 10 dan 15%). Konsorsium bakteri yang digunakan adalahPseudomonas pseudomallei,Enterobacter agglomerans (PPEA) dan konsorsium bakteri yang berasal dari kotoran hewan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Respon Permukaan (RSM) untuk mengetahui respon degradasi minyak diesel.

Tanah tercemar minyak diesel dapat didegradasi dengan memanfaatkan slurry bioreaktor dan diperoleh hasil pengaruh perlakuan persen padatan, tingkat cemaran dalam tanah dan interaksi keduanya akan memberi pengaruh positif terhadap penurunan persen Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) dan pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian pada skala laboratorium dengan menggunakan slurry bioreaktor 500 ml menunjukkan bahwa hidrokarbon pada limbah minyak diesel dapat terdegradasi secara optimal hingga sebesar 85.29% pada kombinasi perlakuan 9.09% tingkat cemaran dalam tanah dan 32.62% padatan. Perlakuan optimal dari hasil penelitian skala laboratorium yang dikembangkan pada skala 16 liter diperoleh hasil bahwa dengan penambahan konsorsium bakteri PPEA dan kotoran hewan, hidrokarbon dalam limbah minyak diesel mampu terdegradasi hingga 91.6% (dari 13964 ppm menjadi 1167 ppm) selama 20 hari

Kata Kunci: Bioremediasi, slurry bioreaktor, minyak diesel, persen padatan dan tingkat cemaran


(4)

iii

SURAT PERYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa dalam tesis saya yang berjudul:

PENGEMBANGAN TEKNIK BIOREMEDIASI DENGAN SLURRY BIOREAKTOR UNTUK TANAH TERCEMAR MINYAK DIESEL

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbing komisi, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2006

Fitria Riany Eris NRP. F351030261


(5)

iv

©Hak Cipta Fitria Riany Eris, tahun 2006 Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institusi Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya.


(6)

v

PENGEMBANGAN TEKNIK BIOREMEDIASI

DENGAN SLURRY BIOREAKTOR UNTUK

TANAH TERCEMAR MINYAK DIESEL

FITRIA RIANY ERIS

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

vi Judul Tesis : Pengembangan Teknik Bioremediasi dengan Slurry

Bioreaktor untuk Tanah Tercemar Minyak Diesel

Nama : Fitria Riany Eris

Nomor Pokok : F351030261

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc


(8)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 25 Agustus 1979 dari keluarga Bapak Eris Adrisman Latief dan Ibu Rita Anggraini. Penulis adalah sulung dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal dasar dan menengah dilalui penulis di SD Negeri 03 Serang (1985-1991); SMP Negeri 5 Serang (1991-1994); SMU Negeri 1 Serang (1994-1997). Pada tahun 1997 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, melalui jalur ujian USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian dan selesai pada tahun 2001.

Pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS.

Sejak Tahun 2002 hingga saat ini penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten.


(9)

viii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga tesis yang berjudul “Pengembangan Teknik Bioremediasi dengan Slurry Bioreaktor untuk Tanah Tercemar Minyak Diesel” yang merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian akhir dan penyelesaian studi pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dapat terlaksana.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Moh Yani, M.Eng dan Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti sebagai Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan, masukan dan saran sejak dimulainya penelitian hingga dalam menyempurnakan tulisan ini, Dr. Erliza Noor sebagai dosen penguji, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian beserta staf, rekan-rekan TIP angkatan 2003 dan 2004, Rekan-rekan Laboratorium Bioindustri TIN IPB dan semua pihak yang tidak dapat penulis tulis satu persatu.

Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Rektor, Dekan dan rekan-rekan Staf Pengajar Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan pendidikan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Secara khusus penulis mengucapkan rasa terimakasih dan rasa hormat yang mendalam pada kedua orang tua (Papa dan Mama), mertua (Papi dan Mami), kakak (Mas Pin dan Kak Yuri) dan adik-adik (Yoan, Andi, Tri dan Suluh) yang selalu setia mendukung dan mendoakan setiap aktivitas penulis untuk terus maju dan menyelesaikan semua kewajiban dengan sebaik-baiknya. Rasa terimakasih yang tulus kepada suamiku Rinto Wijanarko dan anakku Febrian Abimanyu W. atas segala kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, motivasi, sumbangan pemikiran dalam menyelesaikan studi ini.

Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Mei 2006 Fitria Riany Eris


(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 3

1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

1.5. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Bioremediasi ... 5

2.2. Minyak Diesel ... 7

2.3. Mikroorganisme Pendegradasi Hidrokarbon ... 9

2.4. Biodegradasi Minyak Diesel ... 12

2.5. Slurry Bioreaktor ... 17

III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2. Bahan dan alat ... 19

3.3. Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.4. Pengamatan ... 22

3.5. Rancangan Percobaan ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Penelitian Skala Laboratorium ... 24

4.1.1. Pengaruh Tingkat Cemaran dalam Tanah dan Persen Padatan terhadap Degradasi Hidrokarbon ... 24

4.1.2. Pengaruh Tingkat Cemaran dalam Tanah dan Persen Padatan terhadap Pertumbuhan Populasi Bakteri ... 27


(11)

x Halaman

4.1.3. Pengaruh Persen Padatan dan Tingkat Cemaran

pH ... 30

4.1.4. Pengaruh Persen Padatan dan Tingkat Cemaran Gas ... 31

4.2. Penelitian Scale Up ... 34

4.2.1. Degradasi Hidrokarbon ... 34

4.2.2. Pertumbuhan Bakteri ... 36

4.2.3. Perubahan pH ... 38

4.2.4. Pembentukan Gas ... 39

4.2.5. Perubahan Suhu ... 39

4.3. Pembahasan Komprehensif ... 40

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1. Simpulan ... 42

5.2. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(12)

xi

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Keuntungan dan kerugian bioremediasi ... 5

2. Komposisi limbah minyak diesel pada penguapan 0, 8, dan 14% ... 9

3. Komposisi VOCs minyak diesel pada penguapan 0, 8, dan 14% ... 9

4. Kelompok mikroorganisme pendegradasi senyawa hidrokarbon ... 11

5. Klasifikasi senyawa hidrokarbon ... 17

6. Parameter pengamatan ... 22

7. Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi ... 23

8. Matriks satuan percobaan pada optimasi bioremediasi dalam rancangan komposit fraksional ... 23 9. Beberapa hasil penelitian dengan pemanfaatan teknologi bioremediasi 41


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Bagan kerangka pemikiran penelitian ... 3

2. Hubungan kurva pertumbuhan bakteri dengan total hidrokarbon ... 12

3. Faktor-faktor yang diperlukan untuk bioremediasi ... 14

4. Detail slurry bioreaktor ... 18

5. Bagan alir penelitian skala laboratorium ... 20

6. Bagan alir penelitian scale up ... 20

7. Slurry bioreaktor 500 ml ... 21

8. Desain reaktor 16 liter ... 22

9. Permukaan respon degradasi TPH ... 25

10. Permukaan respon log TPC bakteri ... 27

11. Oksidasi n-alkana melalui oksidasi bertahap gugus metil terakhir... 29

12. Oksidasi n-alkana melalui oksidasi bertahap gugus metil subterminal 29 13. Permukaan respon pH ... 30

14. Permukaan respon gas (a) CH4; (b) CO; (c) CO2; (d) Total C ... 33

15. Perubahan nilai (a) Degradasi TPH; (b) Pertumbuhan Populasi Bakteri; (c) pH Media; (d) Total C dalam Gas; (e) Suhu pada proses biodegradasi minyak diesel... 35

16. Pengamatan visual pada hari ke-0 dan hari ke-20 ... 37


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Persiapan starter ... 48

2. Prosedur pengukuran residu minyak/TPH dengan gravimetri... 49

3. Prosedur analisa kuantitas mikroba (Total Plate Count) ... 50

4. Prosedur analisa pH ... 51

5. Prosedur analisa gas ... 51

6. Prosedur analisa suhu ... 51

7. Data percobaan optimasi degradasi TPH dengan menggunakan Rancangan Respon Permukaan ... 52

8. Hasil analisis degradasi hidrokarbon /TPH ... 53

9. Hasil analisis pertumbuhan populasi bakteri ... 55

10. Hasil analisis perubahan pH media ... 57

11. Hasil analisis gas CH4 ... 59

12. Hasil analisis gas CO ... 61

13. Hasil analisis gas CO2 ... 63

14. Hasil analisis total C ... 65

15. Pengamatan visual terhadap kondisi perlakuan pada penelitian scale Up ... 67


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari manusia atau aktifitasnya akan selalu menghasilkan suatu bahan yang tidak diperlukan yang disebut sebagai buangan atau limbah. Diantara limbah yang dihasilkan oleh manusia seperti pada kegiatan industri dan pertanian adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Penanganan dan pengolahan limbah secara tidak tepat merupakan sebab utama terjadinya pencemaran lingkungan. Keberadaan polutan organik pada lingkungan akan menekan pertumbuhan organisme makro maupun mikro, hal ini disebabkan karena bahan pencemar organik bersangkutan dapat bersifat toksik, mutagenik, teratogenik atau karsinogenik (Fitriana, 1999).

Salah satu beban pencemaran yang menjadi masalah besar terhadap keseimbangan lingkungan adalah limbah yang disebabkan oleh minyak diesel dan limbah lain yang juga merupakan turunan dari minyak bumi. Peningkatan produksi minyak diesel guna mengantisipasi kebutuhan masyarakat yang kian bertambah, memicu laju aktivitas kegiatan perminyakan. Limbah minyak diesel mengandung hidrokarbon yang relatif masih tinggi dan beberapa senyawa lain seperti sulfur, nitrogen, oksigen dan logam-logam termasuk logam berat. Meningkatnya kegiatan produksi minyak diesel menyebabkan semakin banyak limbah yang dihasilkan sehingga diperlukan berbagai upaya untuk memecahkan masalah tersebut.

Usaha untuk mengatasi masalah pencemaran oleh limbah minyak diesel terus dilakukan dan dikembangkan. Metode pengolahan yang umum dilakukan adalah metode fisika, kimia dan biologi. Seringkali ketiga metode tersebut diaplikasikan secara bersama dan berkesinambungan untuk memperoleh hasil pengolahan yang optimal. Salah satu metode pengolahan limbah secara biologis yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang merupakan teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Udiharto, 1996).


(16)

Bioremediasi secara umum dapat didefinisikan sebagai penggunaan sistem pengolahan biologis untuk menghancurkan kontaminan atau mengurangi konsentrasi limbah dengan mengandalkan pada peranan mikroorganisme untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat maupun senyawa organik.

Bioremediasi mempunyai aplikasi yang sangat luas yang seringkali tidak dapat dilakukan oleh metoda fisika ataupun kimia. Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi bioremediasi yang terus dikembangkan hingga saat ini. Slurry bioreaktor memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bioremediasi secara landfarming, diantaranya adalah lebih mudah dalam mengontrol kondisi yang sesuai untuk berlangsungnya bioremediasi, dapat dilakukan baik secara aerobik ataupun anaerobik, desorbsi dari tanah lebih mudah, dan masa inkubasi yang lebih singkat (Admassu dan Korus, 1996)

Dengan memanfaatkan slurry bioreaktor pada teknologi bioremediasi diharapkan dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak diesel karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana polutan (hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO2 dan H2O. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik

bioremediasi yang mampu menanggulangi limbah minyak diesel secara efektif dan efisien.

1.2. Permasalahan

Dengan semakin berkembangnya teknologi, kebutuhan akan produk-produk minyak bumi pun semakin meningkat seperti kebutuhan terhadap minyak diesel. Hal ini selain memberikan dampak positif juga diperoleh dampak negatif, salah satu dampak negatif yang dihasilkan adalah terbentuknya limbah minyak diesel yang dapat mencemari lingkungan. Perlu dilakukan penanggulangan limbah minyak diesel tersebut. Alternatif penanggulangannya adalah dengan menggunakan teknik bioremediasi. Metode ini merupakan upaya penanganan limbah yang ramah lingkungan, efektif, efisien dan ekonomis. Seberapa efektif bioremediasi dalam merombak hidrokarbon dari limbah minyak diesel pada fase slurry merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan.


(17)

1.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran untuk memecahkan permasalahan pencemaran akibat limbah minyak diesel dengan metode bioremediasi digambarkan pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa limbah minyak diesel akibat kegiatan produksi minyak diesel akan mencemari tanah di sekitar lokasi industri. Metode bioremediasi dengan menggunakan reaktor sebagai alternatif pengelolaan limbah minyak diesel pada fase slurry diharapkan dapat mendegradasi hidrokarbon pada limbah dengan baik, sehingga dapat menekan terjadinya pencemaran akibat limbah minyak diesel.

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran penelitian

Sumberdaya minyak diesel

Limbah

Tanah tercemar limbah minyak diesel

Pengelolaan limbah dengan teknik bioremediasi

Degradasi senyawa hidrokarbon tidak maksimal

Pengembangan teknik bioremediasi

Penggunaan bioreaktor dengan mengkombinasikan tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan


(18)

1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah: (1) Menentukan kondisi optimum proses bioremediasi limbah minyak diesel fase slurry dengan perlakuan tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan; dan (2) Scale up dari hasil optimum proses bioremediasi limbah minyak diesel fase slurry.

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Dapat memberikan alternatif pemecahan pengolahan limbah minyak yang lebih baik khususnya bagi dunia industri perminyakan dan lahan/perairan tercemar minyak secara umum; (2) Memberikan manfaat praktis di bidang pengelolaan lingkungan dengan metode bioremediasi limbah minyak diesel bagi penulis; (3) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang bioremediasi limbah minyak diesel; dan (4) Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang mikrobiologi.

1.5. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah:

1. Terdapat interaksi antara tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan pada bioremediasi slurry yang memberikan kondisi optimum pada degradasi hidrokarbon.

2. Kondisi optimum dapat diterapkan pada bioreaktor dengan skala yang lebih besar.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bioremediasi

Istilah bioremediasi digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan mikroorganisme perombak polutan untuk membersihkan lingkungan tercemar. Kemampuan perombakan tersebut berkaitan dengan kehadiran plasmid mikrobial yang mengandung gen-gen penyandi berbagai enzim perombak polutan (Sudrajat, 1996). Menurut Citroreksoko (1996), proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh bakteri dan jamur heterotropik. Mikroorganisme ini memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami (misalnya hidrokarbon minyak bumi) sebagai sumber karbon dan energi. Proses dekomposisi yang terjadi menghasilkan karbon dioksida, metan, air, biomassa mikroba dan hasil sampingan yang lebih sederhana dibanding dengan senyawa awalnya.

Bioremediasi dipilih sebagai teknologi remediasi unggulan karena teknologi ini mempunyai beberapa keuntungan dan dapat menyelesaikan permasalahan pencemaran lingkungan secara murah dan tuntas (Gunalan,1996). Wisnjnuprapto (1996) menjelaskan bahwa dua keuntungan utama teknologi bioremediasi adalah biaya investasi yang rendah dan kemampuannya untuk melaksanakan tugas di lapangan. Namun dalam memilih teknologi bioremediasi tetaplah harus dipertimbangkan faktor kerugiannya. Tabel 1 menampilkan keuntungan dan kerugian aplikasi bioremediasi.

Tabel 1. Keuntungan dan kerugian bioremediasi

Keuntungan Kerugian

♦ Dapat dilaksanakan di lokasi

♦ Penyisihan buangannya permanen

♦ Tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi

♦ Sistem biologi adalah sistem yang murah ♦ Membutuhkan pemantauan yang ekstensif

♦ Masyarakat dapat menerima dengan baik ♦ Membutuhkan lokasi tertentu

♦ Menghapus resiko jangka panjang ♦ Pengotornya bersifat toksik

♦ Perusakan lokasi minimum ♦ Padat ilmiah

♦ Menghapus biaya transportasi dan

kendalanya

♦ Berpotensi menghasilkan produk yang

tidak dikenal

♦ Dapat digabung dengan teknik pengolahan

lain

♦ Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji


(20)

Bioremediasi dapat berlangsung secara alamiah dalam beberapa kasus pencemaran lingkungan, hal ini disebabkan karena mikroorganisme pada lingkungan yang tercemar tersebut telah beradaptasi untuk mendegradasi polutan. Adaptasi ini ditandai dengan peningkatan laju biodegradasi polutan oleh mikroorganisme, tetapi laju bioremediasi alamiah ini tidak cukup untuk melindungi lingkungan dari tingkat pencemaran yang lebih serius, oleh karena itu diperlukan proses bioremediasi yang melibatkan peran serta manusia dan kemajuan teknologi terutama bidang bioteknologi (Bollag dan Bollag, 1992).

Berdasarkan konsep pengembangan perancangan bioremediasi dapat dilakukan secara in situ, ex situ ataupun kombinasinya. Bioremediasi in situ

disebut juga dengan intrinsic bioremediation atau natural attenuatio, pada prinsipnya adalah suatu proses bioremediasi yang hanya mengandalkan kemampuan mikroorganisme indigenous yang telah ada di lingkungan tercemar limbah untuk mendegradasinya. Bioremediasi ex situ disebut juga denganabove ground treatment merupakan proses bioremediasi yang dilakukan dengan cara memindahkan kontaminan ke suatu tempat untuk memberikan beberapa perlakuan. Pemilihan konsep perancangan bioremediasi ditentukan oleh lokasi kontaminan, kondisi hidrogeologi setempat dan kendala-kendala lokasi.

Terdapat dua metode untuk meningkatkan kecepatan biodegradasi dalam bioremediasi yaitu dengan menambahkan nutrien untuk menstimulasi mikroorganisme indigenous (biostimulasi) dan penambahan mikroorganisme

eksogenous (bioaugmentasi) (Walter, 1997). Walaupun mikroorganisme

indigenous tersebar luas di alam, bioaugmentasi tetap dipertimbangkan sebagai strategi potensial dalam proses bioremediasi. Alasan rasional penambahan mikroorganisme eksogenous ialah populasi mikroorganisme indigenous tidak mampu mendegradasi substrat potensial yang terdapat dalam campuran komplek seperti hidrokarbon. Bioaugmentasi dilakukan dengan panambahan mikroorganisme yang telah diketahui dapat mendegradasi kontaminan.


(21)

Bacher dan Herson (1994) dalam Citroreksoko (1996) serta Boopathy (2000) menggolongkan perlakuan teknologi bioremediasi menjadi:

a. Bioaugmentasi

Merupakan perlakuan penambahan bakteri terhadap medium yang terkontaminasi, sering digunakan dalam bioreaktor dan sistemex situ

b. Biofilter

Merupakan perlakuan penggunaan kolom berjalur mikrobial untuk perlakuan terhadap emisi udara

c. Biostimulasi

Merupakan perlakuan stimulasi populasi mikroba asli dalam tanah dan/atau air tanah; dilakukan secarain situ atau ex situ

d. Bioreaktor

Merupakan perlakuan biodegradasi dalam bejana (container) atau reaktor; digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry)

e. Bioventing

Merupakan perlakuan tanah terkontaminasi oleh oksigen terhisap melalui tanah untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas mikroba

f. Pengomposan

Merupakan perlakuan termofilik, aerobik, dimana bahan terkontaminasi dicampur dengan pereaksi yang jumlahnya besar.

g. Landfarming

Merupakan sistem perlakuan fase padat untuk tanah terkontaminasi, dilakukan secarain situ atau dalam suatu ruang terkonstruksi dalam tanah.

2.2. Minyak Diesel

Minyak bumi merupakan suatu senyawa organik yang berasal dari sisa-sisa organisme tumbuhan dan hewan yang tertimbun selama berjuta-juta tahun. Umumnya minyak bumi berupa cairan dan gas yang tepat disebut sebagai minyak mentah dan gas alam. Pada tingkatan yang lebih rendah, minyak bumi berwujud endapan pada ter, pasir dan serpihan (Fitriana, 1999).

Beberapa komponen yang menyusun minyak bumi diketahui bersifat racun terhadap mahluk hidup, tergantung dari struktur dan berat molekulnya. Komponen


(22)

hidrokarbon jenuh yang mempunyai titik didih rendah diketahui dapat menyebabkananastesi dannarkosis pada berbagai hewan tingkat rendah, dan bila terdapat pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian (Fitriana, 1999).

Minyak bumi dan produknya sangat kompleks karena terdiri dari campuran bermacam-macam senyawa yang terdiri dari ribuan senyawa tunggal sehingga menyebabkan sifat fisiknya berbeda-beda. Minyak bumi terdiri dari senyawa hidrokarbon (sekitar 50 - 98% dari total komposisinya) dan senyawa non hidrokarbon (yaitu sulfur, nitrogen, oksigen dan berbagai macam logam berat) dalam berbagai susunan kombinasi. Senyawa hidrokarbon minyak bumi merupakan campuran dari senyawa hidrokarbon cair, gas yang terlarut, dan hidrokarbon padat. Senyawa ini tersusun dari beberapa golongan yaitu senyawa alkana (parafinik), sikloalkana (naftenik), aromatik, dan olifinik (Meyer dan Colwell, 1990)

Merujuk pada Udiharto (1996) mengenai jenis produk minyak bumi dan komposisinya, maka yang digolongkan sebagai minyak diesel adalah produk minyak bumi dengan jumlah rantai karbon antara 12 – 25. Minyak diesel dengan rantai karbon antara 12 – 18 disebut minyak diesel ringan sedangkan untuk rantai karbon yang lebih panjang disebut minyak diesel berat yang juga digunakan sebagai minyak pelumas ringan.

Minyak diesel terdiri atas komponen minyak dan bahan aditif. Komponen minyak dari bahan ini sebagian besar merupakan hidrokarbon yaitu normal alkana atau n-parafin, sikloalkana, olefin, dan campuran aromat dengan olefin. Senyawa hidrokarbon merupakan komponen terbesar dari produk minyak bumi (lebih dari 90%), sedangkan komponen sisanya berupa senyawa non hidrokarbon yaitu senyawa organik yang mengandung belerang, nitrogen, dan oksigen (Udiharto, 1996)

Menurut environmental technology centre, Kanada, minyak diesel mengandung hidrokarbon jenuh, aromatik dan resin. Hidrokarbon jenuh memiliki komposisi terbesar (79%) pada penguapan 14% sedangkan hidrokarbon aromatik sebesar 19% dan sisanya resins sebesar 2%. Komposisi minyak diesel pada berbagai macam penguapan dapat dilihat pada Tabel 2.


(23)

Tabel 2. Komposisi minyak diesel pada penguapan 0, 8, dan 14%

Komposisi (berat %) pada penguapan (berat%) Kelompok

Hidrokarbon 0 8 14

Jenuh 76 75 79

Aromatik 23 23 19

Resins 1 1 2

Asphaltenes 0 0 0

Sumber: www.etcentre.org

Minyak diesel juga mengandung sejumlah VOCs seperti benzena, toluena, ethylbenzena, xylem, dan C3-benzenes. Komposisi terbesar VOCs pada C3-benzenes untuk setiap nilai penguapan dan senyawa ini juga memiliki komposisi terbesar pada total BTEX.

Tabel 3. Komposisi VOCs minyak diesel pada penguapan 0, 8, dan 14%

Komposisi (ppm) pada penguapan (berat%) Volatile Organic

Compounds 0 8 14

Benzena 94 0 0

toluen a 1416 2 1

ethylbenzena 485 7 0

xylen 4855 154 1

C3-benzenes 10943 3328 269

Total BTEX 6850 162 3

Total VOCs 17793 3490 272

Sumber: www.etcentre.org

Minyak diesel mengandung 2000-4000 jenis hidrokarbon yang secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dengan gas kromatografi. Kenyataannya, hanya n-alkana dan beberapa rantai bercabang yang dapat diidentifikasi sebagai senyawa terpisah. Bagaimanapun juga pemisahan dari struktur utama hidrokarbon dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur standar liquid chromatograph.

Komposisi dari minyak diesel terdiri dari isoalkana + sikloalkana 46%, n-alkana 24% dan aromatik 30% (Marchalet al.,2003)

2.3. Mikroorganisme Pendegradasi Hidrokarbon

Dalam kegiatan biodegradasi diperlukan adanya aktivitas biologi. Mikroba merupakan organisme yang potensial digunakan untuk mendegradasi minyak diesel. Telah lama diketahui bahwa beberapa mikroorganisme mampu mendegradasi minyak diesel. Selama kegiatan degradasi tersebut, mikroorganisme akan memanfaatkan karbon dari minyak diesel sebagai sumber energinya.


(24)

Mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon dapat ditemukan di berbagai tempat yaitu lingkungan yang mengandung cukup limbah hidrokarbon. Jenis mikroorganisme yang mendominasi pada lingkungan tersebut terdiri atas beberapa genera, yaitu Alcaligenes, Arthrobacter, Acenitobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonasdan lain-lain (Cookson, 1995). Genera Aspergillus dan Penicillium berhasil diisolasi dari laut dan tanah dan ternyata dapat berperan dalam mendegradasi hidrokarbon.

Atlas dan Bartha (1973) mengemukakan bahwa ada 22 genera bakteri yang dapat menguraikan hidrokarbon minyak mentah, yang mana bakteri tersebut dapat diisolasi dari lingkungan minyak bumi. Bakteri tersebut yaitu dari genera

Pseudomonas, Arthrobacter, Corynobacterium, Mycobacterium dan

Mavobacterium (Wong et al., 1997). Mikroorganisme tersebut menggunakan hidrokarbon sebagai satu-satunya sumber energi dan sumber karbon.

Eksplorasi mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon dapat diperoleh dari beberapa sumber potensial, seperti: ekosistem tanah, tanah gambut,sludge/lumpur

aktif, septic tank, pupuk/kotoran hewan, dan sebagainya. Jenis bakteri lokal

(indigenous bacteria)dianalisis dari sampel limbah cair di salah satu perusahaan minyak bumi telah dapat diisolasi dan diidentifikasi terhadap mikroorganisme yang dominan. Dari 10 jenis mikroorganisme dominan tersebut adalah

Enterobacter agglomerans, Bacillus sp., Clostridium sp., Arthrobacter sp., Shigella sp., Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophyla, dan Citrobacter freundi. Selain itu dapat diidentifikasi pula beberapa bakteri Coliform (E. coli)

dan Salmonela, namun tidak dilakukan identifikasi lanjut. Bakteri yang dapat mendegradasi minyak bumi antara lain Aeromonas hydrophyla, Arthrobacter, Bacillus sp.danPseudomonas aeruginosa(Anonim, 2002).

Eksplorasi mikroorganisme dari berbagai jenis kotoran atau pupuk kandang telah dilakukan dengan menggunakan prosedur isolasi, identifikasi dan pengujian kemampuan isolat bakteri dan kapang terhadap substrat minyak tanah, minyak bumi, minyak goreng, dan minyak diesel, sertasludgeminyak bumi. Dari sekian isolat diperoleh 3 jenis isolat Pseudomonas pseudomallei, P. aeruginosa,

dan Enterobacter agglomerans dan sejumlah kapang yang belum seluruhnya diidentifikasi (Anggraeni, 2003). Suatu penelitian di LEMIGAS menemukan


(25)

suatu kultur campuran yang didominasi oleh Pseudomonas yang mampu mendegradasi minyak bumi dan fenol. Mikroorganisme tersebut diisolasi dari air buangan kilang minyak (Udiharto, 1992). Beberapa kelompok mikroorganisme yang dikenal sebagai pendegradasi senyawa hidrokarbon dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Kelompok mikroorganisme pendegradasi senyawa hidrokarbon

Senyawa Parafinik Senyawa Naftenik Senyawa Aromatik

Pseudomonas Pseudomonas Pseudomonas

Acinetobacter Mycobacterium Achromobacter

Bacillus Achromobacter Nocardia

Arthrobacter Nocardia Flavobacterium

Mycobacterium Acetobacter Corynebacterium

Brevibacterium Alcaligenes Aeromonas

Sumber: Kardena dan Suhardi, 2001

Kemampuan degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti temperatur, nutrisi, dan oksigen (Higgins dan Gilbert, 1978). Suatu studi laboratorium menunjukkan bahwa penambahan fosfat dan nitrat atau amonia akan mempercepat biodegradasi hidrokarbon. Mikroba dalam pertumbuhannya selain membutuhkan karbon juga memerlukan unsur-unsur hara lain seperti nitrogen, fosfor, kalium, magnesium, besi dan sulfur (Wardley, 1983).

Pertumbuhan mikroorganisme secara umum dapat dibagi menjadi empat fase, yakni fase lag (pertumbuhan lambat), fase pertumbuhan logaritmik, fase stasioner dan fase kematian. Keberadaan mikroorganisme ditentukan oleh kemampuan metabolisme tiap-tiap individu serta ketahanan terhadap metabolik toksik. Gambar 2 menunjukkan degradasi senyawa hidrokarbon berhubungan dengan populasi bakteri, pada tahap awal mikroorganisme beradaptasi di lingkungan minyak diesel, kemudian pada saat pertumbuhan sel bakteri berada pada fase pertumbuhan logaritmik maka senyawa hidrokarbon yang ada akan semakin berkurang akibat aktivitas mikroorganisme dan pada saat mikroorganisme tersebut sudah tidak mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon yang ada maka pertumbuhannya akan terus menurun dan akhirnya sel bakteri tersebut akan mati.


(26)

Gambar 2. Hubungan kurva pertumbuhan bakteri dengan total hidrokarbon (MECHEA, 1991).

2.4. Biodegradasi Minyak Diesel

Atlas (1981) menyatakan bahwa degradasi hidrokarbon oleh populasi mikroorganisme merupakan mekanisme utama dalam penanganan minyak mentah. Biodegradasi minyak mentah pada proses alami sangat komplek. Kecepatan menguraikan minyak mentah bergantung kepada komposisi minyak mentah tersebut dan faktor lingkungan.

Komponen minyak diesel yang sebagian besar tersusun atas hidrokarbon digunakan oleh mikroba sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya. Pertumbuhan mikroorganisme terlihat dengan adanya penambahan populasi mikroorganisme. Kemampuan degradasi hidrokarbon minyak diesel oleh mikroorganisme tergantung dari kemampuan adaptasi mikroorganisme tersebut terhadap lingkungannya. Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa degradasi hidrokarbon minyak diesel terjadi bila mikroorganisme menempel di permukaan butiran-butiran minyak karena enzim oksigenase yang dibutuhkan untuk memecah rantai karbon yang sifatnya terikat pada membran sel.

Menurut Environmental Technology Centre, Kanada, minyak diesel mengandung hidrokarbon jenuh, aromatik dan resin. Hidrokarbon jenuh memiliki komponen terbesar (79%) sedangkan hidrokarbon aromatik sebesar 19% dan sisanya resin sebesar 2%. Minyak diesel juga mengandung sejumlah VOCs seperti benzene, toluene, etilbenzena, xilena, dan C3-benzena. Udiharto (1996)


(27)

Komponen minyak dari bahan ini sebagian besar merupakan hidrokarbon yaitu normal alkana atau n-parafin, isoalkana atau isoparafin, sikloalkana atau naftalena, olefin dan campuran aromat dan olefin.

Beberapa senyawa polutan hasil pembakaran minyak diesel adalah hidrokarbon, oksida nitrogen, partikulat, benzene, dan karbon monoksida. Hidrokarbon minyak diesel sebagian besar berupa n-alkana sederhana tidak bercabang, dengan kandungan senyawa poliaromatik kurang dari empat persen. N-alkana dengan jumlah atom karbon 6-12 bisa melarutkan fosfolipida yang menyusun membran sel mikroorganisme, walaupun demikian beberapa mikroorganisme tertentu diketahui dapat memetabolisme senyawa-senyawa toksik tersebut (Johnson, 2000)

Proses penguraian hidrokarbon oleh mikroorganisme dimulai dengan terjadinya perlekatan mikroorganisme pada globula minyak, yang dilanjutkan dengan proses pelarutan hidrokarbon oleh surfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme tersebut. Hidrokarbon yang telah teremulsi ini selanjutnya diserap ke dalam sel dan diurai melalui proses katabolisme. Untuk n-alkana, proses katabolisme ini diawali dengan proses hidroksilasi n-alkana yang menghasilkan alkan-l-o1, yang selanjutnya dioksidasi oleh enzim dehydrogenase dan menghasilkan asam lemak. Jika sistem oksidasi mikroorganisme pengurai hidrokarbon dapat berjalan secara optimal, maka asam lemak yang terbentuk ini akan diurai sempurna menjadi energi, H2O dan CO2 melalui proses -oksidasi

(Godfrey, 1986).

Faktor-faktor yang mendukung proses bioremediasi minyak adalah faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor fisik-kimia adalah komposisi kimia minyak, kondisi fisik minyak, konsentrasi minyak, suhu, oksigen, nutrisi, salinitas, tekanan, air aktivitas, dan pH, sedangkan faktor biologi adalah kemampuan mikroorganisme itu sendiri. Menurut Cookson (1995), bioremediasi membutuhkan faktor-faktor seperti yang terlihat pada Gambar 3.


(28)

Gambar 3. Faktor-faktor yang diperlukan untuk bioremediasi (Cookson, 1995)

a. Tipe dan jumlah hidrokarbon pencemar

Tingkat degradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme berbeda-beda tergantung dengan jenis hidrokarbon. Tingkat biodegradasi hidrokarbon ini semakin menurun dari urutan senyawa hidrokarbon ini yaitu: n-alkana > alkana bercabang > hidrokarbon aromatik yang mempunyai MR kecil > alkana siklik (Leahy dan Colwell, 1990). Kondisi fisik hidrokarbon juga mempengaruhi biodegradasi. Biodegradasi mikrobial dapat diubah berdasarkan tingkat penyebaran bahan pencemar dan keheterogenitasan komposisi (Leahy dan Colwell, 1990), dan dapat dalam bentuk ikatan hidrokarbon-air yang muncul dalam bentuk padatan (Atlas, 1981).

b. Temperatur

Temperatur mempengaruhi kondisi fisik hidrokarbon yang mencemari tanah dan mikroorganisme yang mengkonsumsinya. Pada temperatur yang rendah, viskositas dari minyak meningkat sehingga penguapan rantai pendek alkana terkurangi dan kelarutan air menurun sehingga menunda terjadinya biodegradasi. Temperatur yang semakin tinggi dapat meningkatkan tingkat metabolisme hidrokarbon menjadi maksimum yaitu antara 30 – 40oC. Di atas temperatur ini, aktivitas enzim akan menurun dan toksisitas hidrokarbon pada membran sel akan semakin tinggi (Leahy dan Colwell, 1990).

c. Nutrien

Hidrokarbon merupakan sumber karbon dan energi yang bagus untuk mikroorganisme. Hidrokarbon ini merupakan makanan yang tidak sempurna karena hidrokarbon tidak berisi konsentrasi nutrien lain yang cukup besar

Mikroorganisme Sumber Penerima Energi Elektron Kelembaban pH

Nutrisi Suhu

BIOREMEDIASI Tidak adanya

racun

Organisme Kompetitif Metabolit


(29)

(seperti nitrogen dan fosfor) untuk pertumbuhan mikroorganisme (Prince et al., 2002). Masuknya sumber karbon yang sangat besar akan menyebabkan berkurang secara cepatnya nutrien anorganik (Margesin et al., 1999) yang akan membatasi tingkat biodegradasi, sehingga biostimulasi dapat digunakan untuk memaksimalkan proses bioremediasi (Trinidadeet al., 2002).

d. pH

Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi oleh nilai pH yang terjadi pada lingkungan tersebut. Mayoritas mikroorganisme tanah akan tumbuh dengan subur pada pH antara 6 sampai 8. Ekstrimnya nilai pH pada beberapa tanah dapat memperlambat kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi hidrokarbon (Leahy dan Colwell, 1990).

e. Oksigen

Mikroorganisme pendegradasi minyak bumi umumnya tergolong dalam mikroorganisme aerob, sehingga adanya oksigen sangat penting dalam proses degradasi. Ketersediaan oksigen pada tanah tergantung pada tingkat konsumsi oksigen oleh mikroorganisme, jenis tanah dan keberadaan substrat yang dapat digunakan untuk mengurangi oksigen. Keberadaan oksigen merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon. Kebutuhan akan oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalis enzim oksigenase. Hidrokarbon juga dapat didegradasi secara anaerobik tetapi laju degradasi hidrokarbon tersebut lebih lambat jika di bandingkan dengan hidrokarbon yang didegradasi secara aerobik (Leahy dan Colwell, 1990).

Mikroorganisme dapat memperoleh oksigen dalam bentuk oksigen bebas yang terdapat di udara dan tanah, serta oksigen yang terlarut dalam air. Dalam studi laboratorium, penambahan oksigen dapat dilakukan dengan pengadukan dan aerasi. Pengadukan menyebabkan pecahnya lapisan minyak pada permukaan air sehingga berlangsung suplai oksigen dari udara. Dengan demikian kebutuhan mikroorganisme akan oksigen terpenuhi. Di samping itu, aerasi dan pengadukan menyebabkan terjadinya kontak yang lebih intensif antara mikroorganisme dengan senyawa hidrokarbon pencemar sehingga degradasi oleh mikroorganisme dapat berlangsung lebih cepat.


(30)

f. Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu faktor penting dalam bioremediasi. Kandungan air tanah dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Tanpa air, mikroorganisme tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Mikroorganisme akan hidup aktif di daerah antara minyak dengan air. Selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah (Fletcher, 1991).

Bersihnya proses penguraian hidrokarbon oleh mikroorganisme menyebabkan proses bioremediasi daerah yang tercemar minyak bumi menjadi sangat menarik sebagai pelengkap dari metoda fisik dan kimia. Penerapan bioremediasi ini pertama kali dilakukan oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika untuk mengatasi pencemaran minyak bumi di daerah Alaska, Amerika akibat karamnya kapal Exxon Valdez pada bulan Maret 1989. Pada saat itu, proses remediasi tidak menggunakan mikroorganisme pengurai hidrokarbon, tetapi menggunakan nutrien (sumber nitrogen dan fosfor) untuk merangsang mikroorganisme pengurai hidrokarbon yang ada secara alami untuk melakukan proses penguraian lebih cepat walaupun metoda ini menunjukkan hasil yang baik dan mikroorganisme pengurai hidrokarbon secara alami mungkin ada di daerah yang tercemar, namun proses remediasi sebaiknya tidak hanya bergantung pada mikroorganisme yang tersedia secara alami. Penambahan mikroorganisme pengurai hidrokarbon dan penambahan nutrien atau bahan kimia lain yang dapat mengoptimalkan kondisi kimia lingkungan akan mempercepat proses remediasi (Shaheen, 1992).

Senyawa hidrokarbon minyak bumi berdasarkan kerentanannya agar dapat didegradasi secara biologis dapat diklasifikasikan seperti dalam Tabel 5.


(31)

Tabel 5. Klasifikasi senyawa hidrokarbon

Kerentanan Hidrokarbon

Sangat rentan n dan iso-alkana

Kerentanan tinggi 1-,2-,5- dan 6- cincin sikloalkana, 1- cincin aromatik, dan senyawa

aromatik bersulfur

Agak rentan 3- dan 4- cincin sikloalkana, 2- dan 3- cincin aromatik

Sangat resisten Tetra aromatik, stearin, triterpen dan senyawa aromatik yang

mengandung napten

Resisten tinggi Penta aromatik, aspal dan resin

Sumber: Blackburn dan Hafker (1993)

2.5. Slurry Bioreaktor

Bioreaktor merupakan perlakuan biodegradasi dalam bejana (container) atau reaktor; digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry) (Bacher dan Herson, 1994 dalam Citroreksoko, 1996). Teknik bioremediasi dengan menggunakan bioreaktor merupakan pengembangan bioremediasi secara

ex situ.

Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk fase cairan dan slurry namun juga limbah padat/tanah. Menurut Banerji (1996) fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroorganisme dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai gas atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Selain itu juga dilakukan pengadukan secara mekanik atau pneumatik.

Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair; kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik; mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan berpotensial dalam mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme pengganggu (Banerji, 1996).


(32)

Gambar 4. Detail slurry bioreaktor (Banerji, 1996)

Rake drive gearmotor Impeller drive gearmotor

Impeller

Rake blades Airlift supply Airlifts

Sample and drain valves


(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Desember 2005. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB.

3.2. Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah lapisan top soil yang diambil dari CIFOR (Center for International Forestry Research) kawasan kampus IPB Darmaga Bogor; minyak diesel; surfaktan linear alkilbenzena sulfonat/LAS (0.5% v/v) dan starter (10% v/v) yang terdiri dari konsorsium bakteri Pseudomonas pseudomallei dan Enterobacter agglomerans yang merupakan bakteri non-indigenous yang pada penelitian sebelumnya telah diisolasi (Zaki, 2005) serta konsorsium bakteri yang berasal dari kotoran hewan (Lampiran 1).

Peralatan yang digunakan meliputi: reaktor (reaktor berukuran 500 ml dan 16 liter), peralatan untuk sampling tanah, peralatan untuk isolasi, dan peralatan untuk analisis, peralatan tersebut antara lain ember, cangkul, pH meter, cawan petri, mikro pipet dalam berbagai ukuran, dan lain-lain.

3.3. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dibagi ke dalam 2 tahap, yaitu (1) penelitian bioremediasi pada skala laboratorium untuk menentukan perlakuan terbaik dari proses bioremediasi slurry limbah minyak diesel; dan (2) penelitian scale up dari perlakuan terbaik pada skala laboratorium (Gambar 5 dan 6).

Pengujian sampel dilakukan di beberapa laboratorium uji. Eksperimen dilakukan dengan memberikan berbagai macam perlakuan terhadap variabel yang diteliti dan berdasarkan hasil pengujian sampel tersebut dapat diambil kesimpulan yang korelasional dengan variabel-variabel yang diteliti.


(34)

Gambar 5. Bagan alir penelitian skala laboratorium

Gambar 6. Bagan alir penelitian scale up

Desain penelitian dipaparkan melalui penjelasan di bawah ini:

- Sebelum dilakukan penelitian pada taraf scale up, dilakukan penelitian skala laboratorium pada reaktor 500 ml, dengan menggunakan Erlenmeyer 500 ml (volume kerja 200 ml). Kultivasi dilakukan pada shaker dengan kecepatan agitasi 180 rpm dan suhu ruang (28 – 32 oC) selama 4 hari. Penelitian skala laboratorium dilakukan untuk mendapatkan perlakuan terbaik dalam mendegradasi minyak diesel.

- Terhadap perlakuan terbaik dari hasil Rancangan Respon Permukaan (RSM), dilanjutkan ke tahapan scale up. Tahap scale up dilakukan pada reaktor berukuran 16 liter (volume kerja 8 liter). Fermentasi dilakukan dengan kecepatan agitasi sekitar 100-120 rpm dan suhu ruang (31 – 32oC) selama 20 hari.

Dicampur sesuai perlakuan

Tingkat cemaran minyak dalam tanah (5, 10, 15%) (w/w)

Dicampur sesuai perlakuan % padatan (10, 25, 40%) (w/v)

Tanah Diesel

Air

Konsorsium Mikroba 10% v/v

Proses Bioremediasi

(Erlenmeyer 500 ml, 180 rpm, suhu ruang) Surfaktan LAS

0.5% v/v

Pengamatan / Analisis

Perlakuan terbaik Penelitian skala laboratorium

Proses Bioremediasi

(Slurry Bioreaktor 16 liter, 100-120 rpm, suhu ruang)


(35)

- Teknis pelaksanaan pada kedua tahap penelitian adalah sama, yaitu: tanah dan minyak dicampurkan sesuai dengan perlakuan tingkat cemaran dalam tanah (w/w). Hasil pencampuran ini kemudian ditambahkan air sesuai dengan perlakuan persen padatan (w/v). Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam reaktor. Sebanyak 10% konsorsium bakteri dan 0.5% surfaktan LAS dimasukkan ke dalam reaktor dan dilakukan pengadukan. Pada reaktor 500 ml, pengadukan dilakukan dengan menggunakan shaker (Gambar 7) dan pada reaktor 16 l pengadukan dilakukan dengan memasang agitator dengan kecepatan agitasi antara 100 – 120 rpm pada reaktor (Gambar 8). Pengadukan dilakukan setiap hari untuk mendapatkan proses aerobik berjalan pada seluruh bahan.

- Nilai tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan optimal dalam mendegradasi TPH yang diperoleh dari hasil penelitian skala laboratorium digunakan pada penelitian scale up kemudian diaplikasikan ke dalam 3 buah reaktor, yaitu Reaktor 1 adalah kontrol (tanpa pemberian konsorsium bakteri), dan reaktor 2 dan 3 merupakan ulangan (dengan penambahan konsorsium bakteri). Percobaan dilakukan selama 20 hari dengan selang pengamatan 4 hari.


(36)

Gambar 8. Desain reaktor 16 liter

3.4. Pengamatan

Pada penelitian dengan menggunakan reaktor dilakukan pengambilan sampel untuk TPH, pengujian mikroorganisme, pH, gas, dan suhu. Parameter pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Parameter pengamatan

No Parameter Waktu Pengamatan Keterangan

A. Penelitian Reaktor 500 ml

1 TPH Hari ke-0 dan ke-4 Lampiran 2

2 Pengujian Mikroorganisme/TPC Hari ke-0 dan ke-4 Lampiran 3

3 pH Hari ke-0 dan ke-4 Lampiran 4

4 Gas Hari ke-0 dan ke-4 Lampiran 5

B. Scale Up (Penelitian Reaktor 16 l)

1 TPH Selang 4 hari Lampiran 2

2 Pengujian Mikroorganisme/TPC Selang 4 hari Lampiran 3

3 pH Selang 4 hari Lampiran 4

4 Gas Selang 4 hari Lampiran 5

5 Suhu Selang 4 hari Lampiran 6

3.5. Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan pada slurry minyak diesel terhadap proses bioremediasi serta melakukan optimasi terhadap peubah-peubah tersebut untuk meningkatkan degradasi hidrokarbon minyak diesel. Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon (Respons Surface Method/RSM) dan


(37)

pengolahan data dilakukan menggunakan software SAS Versi 8 dan Statistica v5.0. Masing-masing peubah uji terdiri dari 3 taraf dengan rincian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi

Jenis Perlakuan Nilai rendah

(-1)

Nilai tengah (0)

Nilai tinggi (+1)

Persen Padatan (% v/v) 10 25 40

Tingkat Cemaran dalam tanah (% v/v) 5 10 15

Dalam studi ini digunakan 3 ulangan pada titik pusat sehingga memenuhi model kuadratik (Montgomerry, 1991). Dengan prosedur ini maka diperlukan 11 satuan percobaan. Nilai pusat perlakuan digunakan adalah 10% tingkat cemaran dalam tanah dan 25% padatan. Tabel 8 menunjukkan matriks satuan-satuan percobaan pada optimasi proses bioremediasi dalam unit dan nilai asli.

Dengan dua peubah uji tersebut, maka model kuadratiknya mengambil bentuk persamaan berikut ini

Keterangan :

Y = Respon dari masing-masing perlakuan

x = (x1 : persen padatan (%) ; x2 : tingkat cemaran (%)

r = error

b = koefisien parameter

Tabel 8. Matriks satuan percobaan pada optimasi bioremediasi dalam rancangan komposit fraksional

Kode nilai Nilai asli

No

X1 X2 Persen Padatan (%) Tingkat Cemaran (%)

1 -1 -1 10.00 5.00

2 -1 +1 10.00 15.00

3 +1 -1 40.00 5.00

4 +1 +1 40.00 15.00

5 0 0 25.00 10.00

6 0 0 25.00 10.00

7 0 0 25.00 10.00

8 1.414 0 46.21 10.00

9 -1.414 0 3.79 10.00

10 0 1.414 25.00 17.07

11 0 -1.414 25.00 2.93


(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penelitian Skala Laboratorium

Penelitian skala laboratorium dilakukan selama 4 hari. Pemilihan waktu 4 hari didasarkan pada penelitian Yusup (2004) yang melakukan penelitian terhadap limbah cair minyak diesel, dimana waktu terbaik dalam proses bioremediasi limbah cair minyak bumi adalah 3 hari, oleh karena itu diduga waktu terbaik dalam proses bioremediasi limbah slurry minyak bumi adalah 4 hari.

4.1.1. Pengaruh Tingkat Cemaran dalam Tanah dan Persen Padatan terhadap Degradasi Hidrokarbon

TPH atau Total Petroleum Hydrocarbon merupakan salah satu parameter acuan keberhasilan proses bioremediasi limbah minyak diesel dan limbah lain yang juga merupakan turunan dari minyak bumi yang keberadaannya dalam limbah minyak bumi harus sesuai dengan kreteria nilai akhir yang diperkenankan untuk dibuang ke lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu TPH menjadi parameter dalam penentuan perlakuan terbaik pada penelitian ini.

Matriks satuan-satuan percobaan dalam unit kode dan nilai asli serta nilai degradasi TPH, bakteri, pH, gas CH4, CO, dan CO2 dengan menggunakan

Rancangan Respon Permukaan pada percobaan skala laboratorium ditampilkan pada Lampiran 7.

Pengujian data pengamatan terhadap respon degradasi TPH hasil percobaan skala laboratorium, memberikan persamaan permukaan respon seperti pada Persamaan 1.

Y1 = 33.746 + 1.096PP + 7.412TC – 0.018PP2 – 0.424TC2 + 0.009PP*TC ... (1)

Keterangan:

Y1 = Respon terhadap degradasi TPH

PP = Persen padatan


(39)

Persamaan model di atas memberikan informasi bahwa peningkatan persen padatan, tingkatan cemaran dalam tanah, dan interaksi keduanya akan memberikan pengaruh positif terhadap degradasi TPH, sedangkan peningkatan persen padatan dan tingkat cemaran dalam tanah secara kuadratik akan memberikan pengaruh negatif terhadap degradasi TPH.

Koefisien-koefisen regresi degradasi TPH serta nilai – nilai distribusi

t-student dan peluang nyatanya disajikan pada Lampiran 8. Koefisien regresi tingkat cemaran dalam tanah baik secara linier ataupun kuadratik menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap degradasi TPH (P TC > |t| = 0.0223; P TC*TC > |t| =

0.0081), sedangkan persen padatan baik linier ataupun kuadratik dan interaksi persen padatan dan tingkat cemaran dalam tanah tidak berpengaruh nyata terhadap degradasi TPH.

Hasil uji kesahihan model secara statistik (objective validity) pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa model dugaan yang dikembangkan sesuai dan nyata. Hal ini tampak dari nilai P total model sebesar 0.0457 pada taraf signifikan 0.05. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa model kuadratik secara nyata dapat menjelaskan data yang diperoleh (P total model = 0.0215). Nilai koefisien determenasi (R2) sebesar 84.1% menunjukkan kesesuaian model, dimana sebesar 15.9% dari total keragaman tidak dapat dijelaskan oleh model.


(40)

Berdasarkan persamaan 1, dengan menggunakan software STATISTICA v5.0, diperoleh bentuk permukaan respon pengaruh interaksi kedua faktor terhadap degradasi TPH seperti pada Gambar 9. yang menunjukkan bahwa degradasi TPH mencapai optimum. Degradasi TPH optimum sebesar 85.29% akan diperoleh dari kombinasi perlakuan persen padatan sebesar 32.62 persen dan tingkat cemaran dalam tanah 9.09 persen.

Dalam mengolah slurry limbah minyak diesel dengan menggunakan bioreaktor, ternyata tingkat cemaran dalam tanah sangat mempengaruhi proses degradasi TPH. Peningkatan cemaran menjadi dua kali lipatnya akan menyebabkan senyawa yang bersifat toksik bagi mikroorganisme juga meningkat. Sel mikroorganisme diduga tidak akan kuat menahan sifat toksik dari sebagian komponen hidrokarbon minyak diesel, seperti hidrokarbon rantai pendek (Ctiroreksoko, 1996) dan BTEX (benzen, toluen, etilbenzen, xylen) (Rosenberg dan Ron, 1996).

Tingkat cemaran minyak diesel yang tinggi pada slurry dapat menghambat proses degradasi hidrokarbon, karena minyak akan membentuk lapisan film di permukaan air yang akan menghambat difusi oksigen ke dalam air. Rendahnya kandungan oksigen di dalam air membuat proses insersi molekul oksigen ke dalam struktur rantai karbon terhambat sehingga reaksi degradasi secara keseluruhan pun akan terhambat (Leahy dan Colwell, 1990). Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa biodegradasi hidrokarbon minyak diesel terjadi bila mikroorganisme menempel di permukaan butiran-butiran minyak karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk memecah rantai karbon sifatnya terikat pada membran sel.

Degradasi hidrokarbon pada persen padatan kurang dari 10% dan lebih dari 40% mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena pada persen padatan kurang dari 10% fase perlakuan tidak dapat dikatakan sebagai fase slurry namun berupa fase cair sedangkan persen padatan lebih dari 40 persen sifatnya cenderung kental sehingga sulit untuk dilakukan agitasi menggunakan shaker sehingga kandungan oksigen pada keadaan ini sangat rendah.


(41)

4.1.2. Pengaruh Tingkat Cemaran dalam Tanah dan Persen Padatan terhadap Pertumbuhan Populasi Bakteri

Dalam penelitian ini bakteri yang digunakan selain berasal dari tanah, juga ditambahkan konsorsium bakteri PPEA (Pseudomonas pseudomallei dan

Enterobacter agglomerans) yang telah diisolasi dari penelitian sebelumnya (Zaki, 2005) dan konsorsium bakteri yang berasal dari kotoran hewan (kuda, sapi dan kambing). Koefisien-koefisien regresi Log TPC bakteri serta nilai – nilai distribusit-student dan peluang nyatanya disajikan pada Lampiran 9.

Pengujian data pengamatan terhadap respon pertumbuhan konsorsium bakteri, memberikan persamaan permukaan respon seperti pada Persamaan 2.

Y2 = 4.974 + 0.073PP + 0.300TC – 0.002PP2 – 0.019TC2 + 0.002PP*TC…...(2)

Keterangan:

Y2 = Respon terhadap pertumbuhan konsorsium bakteri (log TPC bakteri)

PP = Persen Padatan

TC = Tingkat Cemaran dalam Tanah

Persamaan di atas memberikan informasi bahwa peningkatan persen padatan dan tingkat cemaran dalam tanah serta interkasi keduanya akan memberikan pengaruhi positif terhadap perubahan log TPC bakteri, sedangkan peningkatan persen padatan dan tingkat cemaran dalam tanah secara kuadratik akan memberikan pengaruh negatif terhadap perubahan log TPC bakteri.


(42)

Berdasarkan Persamaan 2, dengan menggunakan software STATISTICA v5.0, diperoleh bentuk permukaan respon dari Log TPC bakteri seperti pada Gambar 10. yang menunjukkan bahwa permukaan respon Log TPC bakteri mencapai optimum.

Total mikroorganisme yang aktif akan menentukan kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi polutan.Jumlah sel yang memungkinkannya untuk dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yaitu 1 x 106 cfu/g sampai 1 x 108 cfu/g (Trinidade et al., 2002). Starter yang digunakan pada penelitian skala laboratorium diambil pada hari ke 14 dengan jumlah bakteri 6.4 x 106. Sedangkan pertumbuhan bakteri selama penelitian tahap laboratorium berada antara 4.5 x 105 sampai 2.3 x 107 untuk ke-11 perlakuan dalam waktu empat hari penelitian.

Pada saat pertumbuhan bakteri optimal, degradasi TPH pun berlangsung optimal (Gambar 10), hal ini menunjukkan bahwa bakteri mampu mendegradasi hidrokarbon pada slurry limbah minyak bumi dengan baik. Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa konsorsium bakteri yang digunakan mampu memanfaatkan sumber karbon yang berasal dari minyak diesel. Walaupun dalam minyak diesel banyak senyawa yang bersifat toksik seperti hidrokarbon rantai pendek (Ctiroreksoko, 1996) dan BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, xilena) (Rosenberg dan Ron, 1996), konsorsium bakteri yang digunakan terbukti mampu memanfaatkan minyak diesel sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya.

Pada degradasi minyak diesel dimana 90% komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang berperan adalah enzim-enzim oksigenase. Ada dua macam enzim oksigenase yaitu enzim monooksigenase dan dioksigenase. Monooksigenase sangat berperan dalam degradasi hidrokarbon alifatik, sedangkan dioksigenase pada hidrokarbon alisiklik. Kedua enzim ini berfungsi pada tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul oksigen ke dalam struktur hidrokarbon. Pada n-alkana, insersi tersebut bisa terjadi pada gugus metil terminal maupun pada gugus metil subterminal. N-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat. Apabila suatu senyawa organik telah terdegradasi sampai ke bentuk asamnya, reaksi selanjutnya berlangsung melalui


(43)

pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan. Reaksi tersebut merupakan reaksi umum pada metabolisme sel hidup dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson, 1995). Gambar 11 dan 12 memperlihatkan degradsi n-alkana melalui insersi oksigen pada gugus metil terminal dan gugus metil subterminal.

Gambar 11. Oksidasi n-alkana melalui oksidasi bertahap gugus metil terakhir (Cookson, 1995)

Gambar 12. Oksidasi n-alkana melalui oksidasi bertahap gugus metil subterminal (Cookson, 1995)

Karakteristik mikroorganisme yang bisa dimanfaatkan dalam degradasi hidrokarbon yaitu mampu menghasilkan enzim oksigenase yang dapat mengoptimalkan kontak antara mikroorganisme dengan hidrokarbon melalui interaksi hidrofobik antara permukaan sel mikroorganisme dengan hidrokarbon. Dengan demikian sifat hidrofobik dari permukaan sel menjadi kunci sukses penempelan mikroorganisme pada butiran hidrokarbon (Rosenberg dan Ron, 1996)

O=

W-hidroksilasi

CH3-(CH2)n-CH3 CH3-(CH2)n-CH2OH

CH3-(CH2)n-CHO CH3-(CH2)n-COOH

CH3-(CH2)n-CH2-O-C-(CH2)n-CH3

HOCH2-(CH2)n-COOH

HOOC-(CH2)n-COOH -Oksidasi

O=

CH3-(CH2)n- CH2-O-C-(CH2)n- CH3

O=

CH3-(CH2)n- CH2-CH2-CH2-(CH2)n- CH3

-Oksidasi CH3-(CH2)n- CH2-CH-CH2-(CH2)n- CH3

OH

CH3-(CH2)n- CH2-C-CH2-(CH2)n- CH3

CH3-(CH2)n- CH2OH + CH3-(CH2)n-CH2-COOH CH3-(CH2)n-COOH


(44)

4.1.3. Pengaruh Tingkat Cemaran dalam Tanah dan Persen Padatan terhadap Perubahan pH Media

Biodegradasi limbah minyak bumi dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang sangat penting dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan daya kerja bakteri. Salah satu faktor tersebut adalah pH. Koefisien-koefisen regresi pH serta nilai – nilai distribusi t-student dan peluang nyatanya disajikan pada Lampiran 10.

Pengujian data pengamatan terhadap respon pH, memberikan persamaan permukaan respon seperti pada Persamaan 3.

Y3 = 10.069 – 0.149PP – 0.173TC + 0.002PP2 + 0.005TC2 + 0.003PP*TC…...(3)

Keterangan:

Y3 = Respon terhadap pH

PP = Persen Padatan

TC = Tingkat Cemaran dalam Tanah

Gambar 13. Permukaan respon pH

Dari Persamaan 3 dan Gambar 13 tersebut, tampak bahwa peningkatan tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan berpengaruh negatif terhadap perubahan pH, sedangkan persen padatan, tingkat cemaran dalam tanah secara kuadratik dan interaksi keduanya memberi pengaruh positif terhadap perubahan pH. Bakteri dapat tumbuh baik dan optimal karena kondisi lingkungan untuk pertumbuhan bakteri tersebut terpenuhi yaitu pada pH 7-9.


(45)

Tingkat keasaman (pH) nerupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan bakteri, kemampuan bakteri dalam membangun sel, transportasi melalui membran sel dan keseimbangan reaksi katalis (Cookson, 1995). Tingkat keasaman (pH) dapat berubah selama pertumbuhan mikroorganisme. Peningkatan pH dapat terjadi jika adanya proses reduksi nitrat membentuk amonia atau gas nitrogen, sedangkan penurunan pH terjadi bila terbentuknya asam-asam organik sebagai hasil proses fermentasi (Tanner, 1997).

4.1.4. Pengaruh Tingkat Cemaran dalam Tanah dan Persen Padatan terhadap Pembentukan Gas

Dalam melakukan proses biodegradasi, mikroorganisme menghasilkan gas-gas yang bersifat volatil. Dalam penelitian ini gas yang berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2. Koefisien-koefisen regresi gas serta nilai – nilai

distribusi t-student dan peluang nyatanya gas CH4, CO, dan CO2disajikan pada

Lampiran 11, 12, 13, dan koefisien-koefisen regresi gas serta nilai – nilai distribusit-student dan peluang nyata gas dalam formulasi total C disajikan pada lampiran 14.

Pengujian data pengamatan terhadap respon gas CH4, CO, dan CO2,

memberikan persamaan permukaan respon seperti pada Persamaan 4, 5, dan 6 sedangkan pengujian data pengamatan terhadap respon gas dalam bentuk total C, memberikan persamaan permukaan respon seperti pada Persamaan 7.

Y4 = 0.035 – 0.003PP + 0.012TC + 0.00006PP2 –0.0006TC2 – 0.00003PP*TC.(4)

Y5 = 0.420 + 0.004PP – 0.059TC – 0.00003PP2 + 0.003TC2 – 0.0001PP*TC….(5)

Y6 = 1.137 + 0.017PP – 0.149TC – 0.0002PP2 + 0.008TC2 – 0.0007PP*TC...(6)

Y7 = 0.652 + 0.006PP – 0.077TC – 0.00005PP2 + 0.004TC2 – 0.0003PP*TC...(7)

Keterangan:

Y4 = Respon terhadap CH4

Y5 = Respon terhadap CO

Y6 = Respon terhadap CO2

PP = Persen Padatan


(46)

Berdasarkan Persamaan 4, 5, 6 dan 7, dengan menggunakan software STATISTICA v5.0, diperoleh bentuk-bentuk permukaan respon dari perubahan gas seperti pada Gambar 14. Keempat gambar permukaaan respon menunjukkan bahwa permukaan respon bersifatsaddle point.

(a)

(b)


(47)

(d)

Gambar 14. Permukaan respon Gas (a) CH4; (b) CO; (c) CO2; (d) Total C

Pembentukan gas CO2 disebabkan terjadinya proses aerobik didalam

biodegradasi minyak diesel. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri aerob yaitu

Pseudomonas pseudomallei. Menurut Holt et al., (1994) P. Pseudomallei

merupakan bakteri aerobik garam negatif. Mampu menggunakan poli -hydroksi butirat sebagai sumber karbon cadangan. Sel bersifat motil oleh pergerakan flagella. Berbentuk batang, memiliki ukuran lebar 0.5-1.0 m dan panjang 1.5-5.0

m.

Pembentukan gas CH4 dihasilkan oleh bakteriEnterobacter agglomerans. E. agglomerans merupakan bakteri gram negatif, tidak membentuk spora, fakultatif anaerobik, dan chemoorganotrophic. Dalam kondisi aerob E. Agglomerans memiliki kemampuan mempergunakan asam asetat sebagai substratnya, dan asam asetat ini dapat digunakan E. Agglomerans untuk menhasilkan gas CH4 (Cookson, 1995).

Gas CH4 dan CO dihasilkan dari proses anaeob. Proses ini terjadi akibat

semakin berkurangnya oksigen, dimana dengan habisnya oksigen, metaolisme akan dilanjutkan dengan proses denitrifikasi, fermentasi, sulfat reduksi dan metanogenik (Cookson, 1995).


(48)

4.2. Penelitian Scale Up

Setelah mendapatkan nilai tingkat cemaran dalam tanah dan persen padatan optimum pada percobaan masing-masing sebesar 9.09 persen dan 32.61 persen untuk degradasi TPH, percobaan kemudian dilanjutkan pada skala scale up. Pada penelitian tahap laboratorium ataupun scale up tidak dilakukan penentuan lamanya waktu terbaik dalam proses degradasi TPH, oleh karena itu dipilih waktu penelitian selama 20 hari dengan selang pengamatan 4 hari. Penelitian scale up ini merupakan percobaan lanjutan dari penelitian skala laboratorium dimana percobaan terdiri dari dua buah perlakuan yaitu perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri dan perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri.

4.2.1. Degradasi Hidrokarbon

Hasil percobaan scale up terhadap degradasi TPH disajikan pada Gambar 15a. Pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri, TPH mampu terdegradasi sampai 91.6% (dari 13964 ppm menjadi 1167 ppm) hingga hari ke 20, sedangkan TPH perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri tidak menunjukkan penurunan yang berarti. Pada perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri, TPH hanya mampu terdegradasi sebesar 24.4% selama 20 hari. Degradasi yang terjadi pada perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri sebesar 24.4% diduga bukanlah berasal dari aktivitas degradasi oleh bakteri tetapi terjadi karena adanya penguapan dari minyak diesel tersebut.

Perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri menunjukkan hasil penurunan TPH yang baik yang artinya degradasi hidrokarbon berlangsung dengan baik. Minyak diesel dapat dengan mudah didegradasi karena sebagian besar komposisi diesel terdiri atas n-alkana sederhana yang tidak bercabang dengan kandungan senyawa poliaromatik kurang dari 4% (Johnson, 2000). Selain itu Zaki (2005) menjelaskan bahwa kombinasi bakteri PP dan EA sebagai konsorsium bersifat sinergis, dimana sinergis dapat terjadi bila suatu bakteri menghasilkan senyawa antara yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri lain secara kometabolisme. Bakteri PP dan EA cepat dalam mendegradasi hidrokarbon, PP merupakan bakteri yang dapat mendegradasi senyawa


(49)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

0 4 8 12 16 20

Hari Ke-TP H (p pm )

hidrokarbon aromatik (Hadi, 2005) dan EA dapat mendegradasi campuran

benzene, ethylbenzene danxylene (Leeet al., 2002). (a) (b) (c) (d) (e) 0 2 4 6 8 10 12 14

0 4 8 12 16 20

Hari Ke-Log TP C ( cfu/ g) 29 30 31 32 33 34 35

0 4 8 12 16 20

Hari

Ke-Su

hu

(

oC)

Tanpa Penambahan Bakteri Dengan Penambahan Bakteri

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40

0 4 8 12 16 20

Hari Ke-T o ta l C d a la m G a s ( p p m ) 0 2 4 6 8

0 4 8 12 16 20

Hari


(50)

Gambar 15. Perubahan nilai (a) Degradasi TPH; (b) Pertumbuhan Populasi Bakteri; (c) pH Media; (d) Total C dalam Gas; (e) Suhu pada proses biodegradasi minyak diesel

Bila dibandingkan antara kurva TPH dengan penambahan bakteri dan kurva TPC dengan penambahan bakteri (Gambar 15) didapatkan suatu kesimpulan bahwa masa aktif degradasi terjadi pada hari ke nol hingga hari kedelapan. Ini menandakan bahwa bakteri mengalami fase lag, fase log, dan fase stasioner pada hari ke nol sampai hari kedelapan, sedangkan pada hari selanjutnya bakteri mulai mengalami fase kematian yang ditandai dengan menurunnya aktivitas degradasi.

Degradasi TPH yang terjadi antara hari ke 16 hingga ke 20 berlangsung lambat (2.5% TPH terdegradasi), pertumbuhan bakteri pada saat ini sudah pada fase kematian. TPH slurry pada hari ke 16 adalah sebesar 1513.5 ppm (atau TPH pada tanah 4934.01 ppm), hal ini menunjukkan bahwa TPH pada slurry sudah berada pada kreteria nilai akhir TPH yang diperkenankan untuk dibuang ke lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 128 Tahun 2003. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penelitian bisa diselesaikan hingga hari ke 16 dan tidak perlu menunggu sampai hari ke 20.

4.2.2. Pertumbuhan Bakteri

Pertumbuhan bakteri pada penelitian scale up dapat dilihat pada Gambar 15b. Jumlah sel bakteri pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri lebih tinggi dari pada perlakuan tanpa pemberian konsorsium bakteri. Jumlah sel yang tinggi pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri dapat mempercepat laju biodegradasi hidrokarbon minyak bumi.

Hasil pengamatan secara visual juga menunjukkan perbedaan (Gambar 16 dan Lampiran 12). Pada perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri tampak antara minyak, air dan tanah tidak dapat tercampur sempurna pada hari ke-0 dan minyak terikat pada tanah pada hari berikutnya membentuk granul-granul tanah (hari ke-4 sampai hari ke-20). Sedangkan pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri sejak hari ke-0 sampai hari ke-20 slurry terbentuk homogen. Hal ini diduga disebabkan karena adanya peranan bakteri pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri, dimana bakteri mampu memecah fase antara minyak, air dan tanah.


(51)

Keterangan: a0. Perlakuan tanpa penambahan bakteri hari ke-0 a20. Perlakuan tanpa penambahan bakteri hari ke-20 b0. Perlakuan dengan penambahan bakteri hari ke-0 b20. Perlakuan dengan penambahan bakteri hari ke-20

Gambar 16. Pengamatan visual pada hari ke-0 dan hari ke-20

Menurut Rosenberg dan Ron (1998) dua cara biologis yang dilakukan bakteri untuk meningkatkan kontak antara minyak dengan bakteri yaitu melalui mekanisme spesifik adhesi/adsorpsi yang disebabkan oleh interaksi hidrophobik dan mengemulsi minyak. Dalam melakukan adhesi bakteri memiliki lapisan hidrophobik pada bagian permukaan membran luar sel mengandung protein dan lemak yang menyebabkan terjadinya interaksi hidrophobik antar sel dengan minyak.

Pada perlakuan tanpa penambahan bakteri tampak surfaktan LAS menyebabkan minyak menempel pada granul-granul tanah, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan bakteri, minyak diesel yang menempel pada permukaan tanah lama-kelamaan terpecah menjadi butiran-butiran yang lebih kecil sehingga mampu menyatu dengan air membentuk larutan yang homogen

a0 b0


(52)

antara air, minyak dan tanah. Diduga hal ini disebabkan oleh diproduksinya biosurfaktan oleh bakteri.

Hasil identifikasi bakteri pada ketiga reaktor menunjukkan pada reaktor perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri tidak ditemukan bakteri, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri selain konsorsium PPEA terdapat bakteri spesies Klebsiella aerogenes, Pseudomonas putida, Serratia marcescens, Pseudomonas cepaciadan Nocardia sp. yang diduga berasal dari kotoran hewan (Gambar 17). Menurut Leahy dan Colwell (1990), limbah kotoran hewan merupakan sumber isolat lokal yang dapat dimanfaatkan dalam mendegradasi hidrokarbon, karena selain kaya akan spesies bakteri dan kapang, limbah ini juga kaya akan nutrien (terutama N, P, dan K) sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme dapat berlangsung lebih cepat.

Gambar 17. Bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon

4.2.3. Perubahan pH

Perubahan pH yang terjadi pada kondisi optimum (penelitian scale up) ditunjukkan oleh Gambar 15c. Perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri menunjukkan pH yang tidak berubah selama penelitian berlangsung, sedangkan pH perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri mengalami fluktuasi, hal ini akibat adanya pertumbuhan bakteri pada perlakuan tersebut, dimana peningkatan pH disebabkan oleh diproduksinya amonia oleh bakteri sedangkan terjadinya penurunan pH dikarenakan adanya asam-asam organik yang dihasilkan oleh metabolisme sel. Nilai pH pada perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri berada pada kisaran pH normal untuk pertumbuhan bakteri. Menurut Schneider dan Billingsley (1990), mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi pH netral berkisar antara 6-8. Pada pH tersebut zat-zat

Klebsiella sp Pseudomonas sp


(53)

makanan bagi mikroorganisme mudah larut dalam air dan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme menjadi maksimal dalam mendegradasi minyak bumi.

4.2.4. Pembentukan Gas

Hasil penelitian scale up terhadap perubahan gas CH4, CO, CO2 yang

diformulasikan menjadi total C disajikan pada Gambar 15d. Gas-gas terbentuk akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi minyak diesel. Senyawa hasil degradasi dikeluarkan dalam bentuk energi, gas CO2, CO dan CH4 serta dalam

bentukvolatile organic carbon.

Pembentukan gas CO2 terjadi karena proses aerobik di dalam biodegradasi

minyak bumi. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri Pseudomonas pseudomallei karena sifat bakteri ini merupakan bakteri aerobik. Menurut Atlas dan Bartha (1987) dalam proses biodegradasi rantai alkana dioksidasi membentuk alkohol, aldehida dan asam lemak. Setelah terbentuk asam lemak proses katabolisme terjadi secara sekuen oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak dikonversi oleh acyl coenzyme A yang merupakan enzim membentuk asetil

coenzyme A dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya yang berlangsung secara berulang-ulang. Asetil coenzyme A diubah menjadi CO2 melalui siklustricarboxylic acid.

Menurut Holt et al. (1994),Enterobacter agglomeransmerupakan bakteri gram negatif, tidak membentuk spora, dan fakultatif anaerobik. Dalam kondisi aerob E. agglomerans memiliki kemampuan untuk mempergunakan asam asetat sebagai substratnya dan asam asetat dapat digunakan oleh E. agglomeransuntuk menghasilkan gas CH4 (Cookson, 1995).

4.2.5. Perubahan Suhu

Perubahan suhu selama penelitian scale up ditampilkan pada Gambar 15e. terlihat suhu pada kedua perlakuan pada awalnya berkisar antara 31-32 oC, suhu perlakuan tanpa penambahan konsorsium bakteri meningkat menjadi 34oC dan suhu perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri meningkat menjadi 33

o

C. Menurut Leahy dan Colwell (1990) suhu yang semakin tinggi dapat meningkatkan metabolisme hidrokarbon menjadi maksimum yaitu antara 30 – 40


(1)

a. Output SAS Versi 8

The SAS System The RSREG Procedure

Coding Coefficients for the Independent Variables Factor Subtracted off Divided by x1 25.000000 21.210000 x2 10.000000 7.070000

Response Surface for Variable co2 Response Mean 0.664455 Root MSE 0.153774 R-Square 0.7358 Coefficient of Variation 23.1429 Type I Sum

Regression DF of Squares R-Square F Value Pr > F Linear 2 0.011974 0.0268 0.25 0.7857 Quadratic 2 0.305948 0.6837 6.47 0.0410 Crossproduct 1 0.011342 0.0253 0.48 0.5194 Total Model 5 0.329265 0.7358 2.78 0.1427 Sum of

Residual DF Squares Mean Square F Value Pr > F Lack of Fit 3 0.118067 0.039356 478.01 0.0021 Pure Error 2 0.000165 0.000082333

Total Error 5 0.118232 0.023646

Parameter Estimate Standard from Coded Parameter DF Estimate Error t Value Pr > |t| Data Intercept 1 1.137332 0.408519 2.78 0.0387 0.556712 x1 1 0.017228 0.018031 0.96 0.3832 -0.034784 x2 1 -0.149120 0.058789 -2.54 0.0521 -0.042227 x1*x1 1 -0.000235 0.000288 -0.82 0.4505 -0.105877 x2*x1 1 -0.000710 0.001025 -0.69 0.5194 -0.106468 x2*x2 1 0.008045 0.002589 3.11 0.0266 0.402123 Sum of

Factor DF Squares Mean Square F Value Pr > F x1 3 0.032012 0.010671 0.45 0.7276 x2 3 0.246807 0.082269 3.48 0.1065 Canonical Analysis of Response Surface Based on Coded Data

Critical Value

Factor Coded Uncoded x1 -0.178768 21.208336 x2 0.028839 10.203892 Predicted value at stationary point: 0.559213 Eigenvectors

Eigenvalues x1 x2 0.407642 -0.103112 0.994670 -0.111395 0.994670 0.103112


(2)

15 0.4

CO2

10 0.6

0.8

t c

1.0

0 15 5

30 45

pp

b. Output Minitab 14

Gambar Plot Probabilitas Kenormalan Pembentukan Gas CO

2

menggunakan

Kolmogorov-Smimov Normality Test

Gambar Plot Permukaan Respon dan Kontur Pembentukan Gas CO

2

CO2

P

e

r

c

e

n

t

1.2 1.0

0.8 0.6

0.4 0.2

99

95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5

1

Mean

< 0.010 0.6645 StDev 0.2115

N 11

KS 0.343

P-Valu e Normal

pp

tc

45 40 35 30 25 20 15 10 5 15.0

12.5

10.0

7.5

5.0

CO2

0.6 - 0.7 0.7 - 0.8 0.8 - 0.9 0.9 - 1.0 > 1.0 < 0.5 0.5 - 0.6


(3)

a. Output SAS Versi 8

The SAS System The RSREG Procedure

Coding Coefficients for the Independent Variables Factor Subtracted off Divided by x1 25.000000 21.210000 x2 10.000000 7.070000

Response Surface for Variable y1 Response Mean 0.391636 Root MSE 0.036580 R-Square 0.9172 Coefficient of Variation 9.3404

Type I Sum

Regression DF of Squares R-Square F Value Pr > F Linear 2 0.001446 0.0179 0.54 0.6131 Quadratic 2 0.070209 0.8690 26.23 0.0022 Crossproduct 1 0.002450 0.0303 1.83 0.2340 Total Model 5 0.074106 0.9172 11.08 0.0098 Sum of

Residual DF Squares Mean Square F Value Pr > F Lack of Fit 3 0.006006 0.002002 5.85 0.1495 Pure Error 2 0.000685 0.000342

Total Error 5 0.006691 0.001338

Parameter Estimate Standard from Coded Parameter DF Estimate Error t Value Pr > |t| Data Intercept 1 0.652222 0.097180 6.71 0.0011 0.324342 x1 1 0.005613 0.004289 1.31 0.2476 -0.000415 x2 1 -0.076870 0.013985 -5.50 0.0027 -0.019010 x1*x1 1 -0.000046645 0.000068430 -0.68 0.5257 -0.020984 x2*x1 1 -0.000330 0.000244 -1.35 0.2340 -0.049485 x2*x2 1 0.004122 0.000616 6.69 0.0011 0.206016 Sum of

Factor DF Squares Mean Square F Value Pr > F x1 3 0.003073 0.001024 0.77 0.5604 x2 3 0.063827 0.021276 15.90 0.0055 Canonical Analysis of Response Surface Based on Coded Data

Critical Value

Factor Coded Uncoded x1 -0.056322 23.805404 x2 0.039372 10.278358 Predicted value at stationary point: 0.323979

Eigenvectors

Eigenvalues x1 x2 0.208682 -0.107113 0.994247 -0.023650 0.994247 0.107113


(4)

15

T otal C

0.3

10 0.4

0.5

T C

0.6

0 15 5

30 45

PP

PP

T

C

45 40 35 30 25 20 15 10 5 15.0

12.5

10.0

7.5

5.0

Total C

0.35 - 0.40 0.40 - 0.45 0.45 - 0.50 0.50 - 0.55 > 0.55 < 0.30 0.30 - 0.35

b. Output Minitab 14

Gambar Plot Probabilitas Kenormalan Total C menggunakan

Kolmogorov-Smimov Normality Test

Gambar Plot Permukaan Respon dan Kontur Total C

Tot al C

P

e

rc

e

n

t

0.6 0.5

0.4 0.3

0.2 99

95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5

1

Mean

> 0.150 0.3916 StDev 0.08989

N 11

KS 0.183

P- Value Normal


(5)

penelitian scale up

Hari

ke-Perlakuan tanpa Penambahan

Bakteri (Gambar A)

Perlakuan dengan Penambahan

Bakteri (Gambar B)

0

Minyak mengapung pada bagian

atas larutan setebal 1 cm

Lapisan

kedua

adalah

air

berwarna bening agak keruh

Tanah mengendap di bagian

bawah larutan

Minyak, tanah, dan air

bercampur secara homogen

Terdapat foam/busa setebal 2cm

dipermukaan larutan

4

Minyak sudah tidak tampak

mengapung pada bagian atas

larutan

Lapisan

kedua

adalah

air

berwarna putih seperti susu

Tanah berbentuk granul-granul

dan mengendap di bagian bawah

larutan

Minyak, tanah, dan air

bercampur secara homogen

Terdapat foam/busa setebal 2cm

dipermukaan larutan

8

Sama seperti keadaan hari ke 4,

namun pada saat pengambilan

sampel tanah sulit terangkat

Sama seperti hari ke 4 namun tebal

foam mulai berkurang

12

Sama seperti keadaan hari ke 4,

namun pada saat pengambilan

sampel tanah sulit terangkat

Sama seperti hari ke 4 namun tebal

foam mulai berkurang

16

Sama seperti keadaan hari ke 4,

namun pada saat pengambilan

sampel tanah sulit terangkat

Sama seperti hari ke 4 namun tebal

foam mulai berkurang


(6)

Lampiran 16. Hasil analisis sifat fisik kimia tanah

Jenis Analisis

Nilai

Status Kimia dan Fisik

pH H

2

O

6.13

Agak Masam

C-Org (%)

2.73

Sedang

N-Total (%)

0.25

Sedang

P Tersedia (ppm)

3.90

Sangat Rendah

Basa dapat ditukarkan

(me/100g)

- Ca

3.73

Rendah

- Mg

2.27

Tinggi

- K

0.41

Sedang

- Na

0.21

Rendah

Al (me/100g)

2.16

KTK (me/100g)

16.64

Sedang

KB

45.13

Sedang

Tekstur (%)

- Pasir

4.30

- Debu

14.60

- Liat

81.10