Prediction of the Growth and Survival of Salmonella Typhimurium on Shrimps under Cold Storage and Addition of Sodium Metabisulphite
PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN KETAHANAN
SALMONELLA
TYPHIMURIUM PADA UDANG
DENGAN PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN
PENAMBAHAN SODIUM METABISULFIT
ANDIARTO YANUARDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Pertumbuhan dan Ketahanan Salmonella Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011 Andiarto Yanuardi NIM F251080211
(3)
ABSTRACT
ANDIARTO YANUARDI. Prediction of the Growth and Survival of Salmonella Typhimurium on Shrimps under Cold Storage and Addition of Sodium Metabisulphite. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, and SULIANTARI.
This research studied the growth and survival of S. Typhimurium on raw shrimps and in brain heart infusion broth (BHIB) under low temperature and addition of sodium metabisulphite which is often used to prevent melanosis in frozen raw shrimps. The data were plotted on growth curves and fitted using DMFit software with Baranyi Model to obtain prediction models of the growth or survival of the bacteria under defined conditions. The result demonstrated that 0.4% and 1.25% sodium metabisulphite (w/v) were able to reduce 101 cfu g-1 and 102 cfu g-1 of S. Typhimurium in raw shrimps, respectively after 7 days storage at 8+2 °C. With a concentration of 1.5%, sodium metabisulphite was able to reduce until 105 cfu g-1 after 5 days under the same conditions. Fitting using the DMFit software resulted on different growth rates (µ) and lag phases ( ), depending on the growth media, temperature, and the initial level of microorganisms. At 8+2 °C without sodium metabisulphite, with initial levels of 105 cfu g-1 and 105 cfu ml-1, S. Typhimurium demonstrated a growth with a rate of 0.01 cfu g-1 every hour in raw shrimps, and 0.05 cfu ml-1 every hour in BHIB. In the presence of 1.5% sodium metabisulphite, S. Typhimurium was reduced with a rate of -0.03 cfu g-1 every hour in raw shrimps, and -0.01 cfu ml-1 every hour in BHIB. There was a good agreement between the predictions and the observations. The Baranyi model can be used to predict the growth of S. Typhimurium in BHIB and raw shrimps during storage at low temperature.
Keywords: Salmonella, raw shrimp, cold storage, sodium metabisulphite, Baranyi, DMFit
(4)
RINGKASAN
ANDIARTO YANUARDI. Pendugaan Pertumbuhan dan Ketahanan Salmonella Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan SULIANTARI.
Salmonella merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh industri udang baik budidaya maupun pengolahan adalah keamanan pangan produk udang tersebut. Beberapa industri seringkali mengalami penolakan terhadap produk udang yang sudah diekspor karena terkontaminasi Salmonella dan Listeria.
Menduga pertumbuhan dan ketahanan hidup terhadap pencemaran atau kontaminasi mikroba patogen dan pembusuk merupakan alat dasar untuk memprediksi keamanan pangan dan memburuknya suatu produk makanan akibat bakteri pada rantai makanan. Pada beberapa industri pembesaran maupun pengolahan udang sodium metabisulfit sering digunakan untuk mencegah proses melanosis pada udang setelah panen, tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan Salmonella. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui respon pertumbuhan maupun ketahanan Salmonella pada penyimpanan suhu dingin dengan penambahan sodium metabisulfit sehingga penggunaan bahan tersebut tidak hanya untuk mencegah melanosis tetapi jika memungkinkan juga untuk menghambat Salmonella. Selain itu untuk menghubungkan jumlah mikroba kontaminan dan kondisi suhu penyimpanan sehingga dapat menyediakan dasar untuk memperkuat strategi pengendalian suhu dan menyediakan informasi keamanan yang berharga untuk produsen dan konsumen.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah, mengetahui pengaruh penyimpanan suhu dingin (8+2 °C) terhadap pertumbuhan Salmonella Typhimurium pada udang mentah dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit. Sebagai kontrol digunakan Brain Heart Infusion Agar (BHIB) sebagai media tumbuh. Data-data yang diperoleh digunakan untuk menduga pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang menggunakan DMFit Model Baranyi pada kondisi penyimpanan dingin. Hasil dari model ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan perkiraan yang cepat dan cukup baik terhadap masa simpan makanan dalam pengembangan produk baru dan penilaian resiko (risk assesment), dimana bakteri patogen mungkin tumbuh.
Hasil pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu 35-37 °C selama 24 jam menunjukkan fase lag dimulai dari jam ke-0 sampai 1.87
jam, fase log dari 1.87 jam sampai sekitar 8 jam, dan fase stasioner pada jam ke-8 sampai 24 jam pengamatan. Berdasarkan hasil kurva fitting dari hasil penelitian terhadap pola pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu optimumnya menggunakan DMFit didapatkan persamaan dengan µ sebesar 1.73 cfu ml-1 jam-1, fase lag selama 1.87 jam dan R2 sebesar 0.99.
Pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB dengan penyimpanan
suhu dingin dan jumlah mikroba awal 103 cfu ml-1 menunjukkan µ sebesar 0.06 cfu ml-1 jam-1, dan R2 sebesar 0.96. Sedangkan pertumbuhan S. Typhimurium
(5)
pada media BHIB dengan penyimpanan suhu dingin dan jumlah mikroba awal 106 cfu ml-1 menunjukkan persamaan dengan µ sebesar 0.05 cfu ml-1 jam-1, dan R2 sebesar 0.98. Berdasarkan fitting menggunakan DMFit bahwa pada jumlah Salmonella awal 103 cfu ml-1 didapatkan fase lag selama 52.73 jam kemudian dilanjutkan dengan fase log sampai sekitar jam ke-132 (hari ke 5-6).
Persamaan Baranyi diperoleh dari perhitungan data pertumbuhan S. Typhimurium pada media udang dan BHIB dengan penyimpanan suhu dingin
(chilling) 8+2 °C dengan jumlah awal mikroba 105 cfu g-1 (udang) dan 105 cfu ml-1 (BHIB) menunjukkan persamaan Baranyi berdasarkan perhitungan
dan hasil kurva fitting menggunakan DMFit. Pertumbuhan S. Typhimurium pada udang diperoleh nilai µmax sebesar 0.01 cfu g-1 jam-1 dengan R2 sebesar 0.99, hasil ini menunjukkan bahwa kecepatan rata-rata pertumbuhan S. Typhimurium adalah 0.01 cfu g-1 setiap jam pada media udang yang telah dikontaminasi dan disimpan dingin. Sedangkan pada pertumbuhan S. Typhimurium pada BHIB, dari persamaan diperoleh nilai µmax sebesar 0.05 cfu ml-1 jam-1 dengan R2 sebesar 0.93, yang berarti bahwa kecepatan rata-rata pertumbuhan S. Typhimurium adalah 0.05 cfu ml-1 setiap jam pada BHIB yang disimpan dingin. Hasil yang berbeda juga terlihat pada fase lag dari kedua perlakuan. Pada S. Typhimurium yang dikontaminasi pada udang memiliki fase lag lebih lama sampai 56.41 jam (kurang lebih 2 hari) sedangkan pada media BHIB kurang lebih 20.20 jam (kurang dari 1 hari).
Sodium metabisulfit yang ditambahkan dapat mengurangi jumlah Salmonella Typhimurium selama penyimpanan 24 jam dalam refrigerator. Penambahan konsentrasi 0.5% dan 0.8% menunjukkan penurunan terbesar yaitu sebanyak 103 cfu ml-1, sedangkan 0.4% hanya menurunkan 101 cfu ml-1.
Pada uji ketahanan Salmonella Typhimurium pada media BHIB dengan penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit, konsentrasi 0.4% dan 1.25% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 101 cfu ml-1 setelah 7 hari, sedangkan pada konsentrasi 1.5% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 102 cfu ml-1 selama 7 hari.
Pada ketahanan Salmonella Typhimurium pada udang dengan penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit, konsentrasi 0.4% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 101 cfu g-1 selama 7 hari, konsentrasi 1.25% dapat menurunkan jumlah bakteri sebanyak 102 cfu g-1 setelah 7 hari, sedangkan pada konsentrasi 1.5% selama 5 hari penyimpanan sudah dapat membunuh bakteri.
Pada beberapa kurva pertumbuhan yang diperoleh terlihat bahwa perbedaan (fase lag) dipengaruhi oleh media tumbuh, suhu, dan jumlah awal mikroba. Semakin tinggi jumlah mikroba awalnya maka semakin cepat fase lag yang dihasilkan pada kondisi yang sama. Jumlah mikroba awal tidak mempengaruhi µ (growth rate). Semakin tinggi jumlah mikroba awal akan menghasilkan jumlah mikroba lebih banyak dengan waktu generasi yang sama. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa model Baranyi yang digunakan dapat dipakai untuk menggambarkan pertumbuhan S. Tyhphimurium pada media BHIB dengan suhu optimum dan suhu dingin pada kondisi tertentu. Persamaan eksponensial dapat digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan pada udang kupas usus tidak dicabut dan BHIB dengan penyimpanan dingin.
(6)
Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh dapat ditunjukkan bahwa matriks atau media tumbuh mikroba sangat berpengaruh terhadap jumlah mikroba pada waktu tertentu. Sebagai contoh, untuk mikroba awal 100 cfu ml-1, setelah 168 jam (7 hari) penyimpanan menghasilkan jumlah mikroba yang berbeda pada waktu yang sama. S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang menghasilkan sekitar 822 cfu ml-1 atau 8.22x102 cfu ml-1setelah 168 jam sedangkan pada media BHIB menghasilkan sekitar 879401 cfu ml-1 atau 8.7x105 cfu ml-1.
Kata kunci: Salmonella, udang, penyimpanan dingin, sodium metabisulfit, Baranyi, DMFit
(7)
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(8)
PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN KETAHANAN
SALMONELLA
TYPHIMURIUM PADA UDANG
DENGAN PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN
PENAMBAHAN SODIUM METABISULFIT
ANDIARTO YANUARDI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(9)
(10)
Judul Tesis : Pendugaan Pertumbuhan dan Ketahanan Salmonella Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit
Nama : Andiarto Yanuardi NIM : F251080211
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc Dr. Suliantari, MS. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
(11)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Rangkaian kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, MSc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Suliantari, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbinga, kritik, saran, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan saran, komentar dan masukan yang berharga sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju kesempurnaan tesis ini.
3. Ayahanda Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, ibunda Soerwatinah, S.Pd., Adrianto, S.TP. dan keluarganya, Ardiatno Yanuadi, S.TP. dan keluarganya atas motivasi, kasih sayang, dan selalu penulis dalam suka dan duka.
4. Wulan Kartikasari, S.P. atas perhatian, motivasi dan kasih sayang terhadap penulis.
5. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mbak Ari, Bu Sari dan Pak Taufik atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.
6. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan, khususnya sahabat-sahabat saya: Cici, Zaki, Fakhrudin (Ubet), Wahyu, Arief, Mas Isak, Mas Anas, Devy, Mbak Yenni, Nono, dan Mas Zaim.
7. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011
Andiarto Yanuardi
(12)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 Januari 1983 sebagai anak ke dua dari ayah Kadarwan Soewardi dan ibu Soerwatinah. Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bogor pada tahun 2001 dan melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kepaniatian dalam kegiatan yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), dan beberapa kali mengikuti berbagai kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan studi penulis.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesis ... 4
Manfaat Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Udang Putih (Litopenaeus vannamei) ... 5
Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) ... 7
Salmonella ... 10
Model Prediktif ... 22
Fitting Model Pertumbuhan ... 25
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ... 27
Bahan dan Alat ... 27
Metode Penelitian ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Pertumbuhan Salmonella Typhimurium ATCC 14028 pada Suhu Optimum 35-37 °C selama 24 jam ... 37
Pola Pertumbuhan S. Typhimurium pada Media BHIB dengan Penyimpanan Suhu Dingin ... 38
Pola Pertumbuhan S.Typhimurium pada Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin ... 41
Sifat Antimikroba Sodium Metabisulfit (Na2S2O5) dengan Metode Kontak ... 43
Ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan Udang dengan Penyimpanan Suhu Dingin dan Penambahan Sodium Metabisulfit ... 45
Pendugaan Pertumbuhan atau Ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan Udang ... 51
SIMPULAN DAN SARAN ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang segar ... 6
2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku ... 6
3 Batasan pertumbuhan Salmonella ... 11
4 Karakteristik biokimia Salmonella... 11
5 Batasan rentang pertumbuhan Salmonella ... 13
6 Insiden Salmonella pada beberapa produk udang di Asia ... 16
7 Perkiraan HACCP untuk produksi udang budidaya ... 17
8 Beberapa serotipe Salmonella yang diisolasi dari seafood ... 18
9 Penyakit yang ditimbulkan Salmonella ... 20
10 Kemampuan bertahan berbagai serovar Salmonella pada suhu pembekuan ... 21
11 Hasil fitting terhadap data pertumbuhan S. Typhimurium pada beberapa perlakuan ... 51
12 Contoh hasil perhitungan jumlah mikroba pada waktu t dengan fitting dan perhitungan berdasarkan model Baranyi ... 53
13 Perbandingan nilai µ hasil pengamatan dengan model Baranyi (DMFit) untuk pertumbuhan S. Typhimurium pada beberapa perlakuan ... 55
14 Simulasi perhitungan jumlah mikroba menggunakan persamaan ln(N) = ln(N0) + µt pada waktu t dengan jumlah mikroba awal tertentu dari µ hasil fitting DMFit ... 56
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Udang putih (Litopenaeus vannamei) ... 5 2 Contoh kurva pertumbuhan dari model Baranyi dan McKellar ... 24 3 Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada
suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam ... 29 4 Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium pada media
BHIB dengan penyimpanan suhu dingin ... 30 5 Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium pada udang
dengan penyimpanan suhu dingin ... 31 6 Metode pengujian sifat antibakteri dengan metode kontak ... 32 7 Alur metode pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada
BHIB dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit ... 33 8 Alur metode pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada
udang dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit ... 34 9 Pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu
optimum pertumbuhan 35-37 °C selama 24 jam ... 37 10 Pertumbuhan S. Typhimurium pada BHIB dan penyimpanan suhu
dingin (8+2 °C) dengan jumlah mikroba awal 103 cfu ml-1 (a) dan 106 cfu ml-1 (b) ... 39 11 Pertumbuhan S. Typhimurium pada penyimpanan suhu dingin
(8+2 °C) pada udang (a) dan media BHIB (b) ... 41 12 Sifat antimikroba sodium metabisulfit dengan metode kontak ... 43 13 Ketahanan S. Typhimurium pada BHIB tanpa penambahan
Na2S2O5 (a), BHIB + Na2S2O5 0.4% (b); BHIB + Na2S2O5 1.25% (c); BHIB + Na2S2O5 1.5% (d), udang tanpa penambahan Na2S2O5 (e), udang + Na2S2O5 0,4% (f); udang + Na2S2O5 1.25% (g); udang
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Analisis Salmonella pada bahan baku udang ... 64 2 Hasil dokumentasi pengamatan pengamatan minimum inhibitory
concentration (MIC) dan minimum bactericidal concentration
(MBC) ... 67 3 Hasil kurva fitting pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu
optimum pertumbuhan 35-37°C selama 24 jam menggunakan
DMFit ... 67 4 Hasil kurva fitting pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB
dengan penyimpanan suhu dingin dan jumlah awal 103 cfu ml-1 menggunakan DMFit ... 67 5 Hasil kurva fitting pertumbuhan Salmonella Typhimurium pada
media
BHIB dengan penyimpanan suhu dingin dan jumlah awal 105 cfu
ml-1 menggunakan DMFit ... 68 6 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
tanpa penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan DMFit ... 68 7 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
dan penambahan sodium metabisulfit 0.4% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan
DMFit ... 68 8 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
dan penambahan sodium metabisulfit 1.25% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan
DMFit ... 69 9 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
dan penambahan sodium metabisulfit 1.5% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB menggunakan
DMFit ... 69 10 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
tanpa penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang menggunakan
DMFit ... 69 11 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
dan penambahan sodium metabisulfit 0.4% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang
(17)
Halaman 12 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
dan penambahan sodium metabisulfit 1.25% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang
menggunakan DMFit ... 70 13 Hasil kurva fitting pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin
dan penambahan sodium metabisulfit 1.5% (b/v) terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang
menggunakan DMFit ... 70 14 Hasil analisis statistik pengujian antimikroba sodium metabisulfit
dengan metode kontak ... 71 15 Hasil analisis statistik pengamatan pengaruh penyimpanan suhu
dingin dan penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang dan BHIB ... 72 16 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan
S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu optimum ... 74 17 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan
S. Typhimurium pada BHIB dan penyimpanan suhu dingin (8+2°C)
dengan jumlah mikroba awal 103 cfu ml-1 (a) dan 106 cfu ml-1 ... 74 18 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan
S. Typhimurium Pertumbuhan S. Typhimurium pada penyimpanan
suhu dingin (8+2 °C) pada udang dan media BHIB ... 74 19 Persamaan garis, max, (fase lag) dan R2 dari data pertumbuhan
S. Typhimurium pada BHIB dan udang dengan dan tanpa
penambahan sodium metabisulfit yang disimpan dingin (8+2 °C) ... 74
(18)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salmonella telah diisolasi dari ikan air tawar yang di budidaya pada beberapa negara. Bakteri tersebut diduga dapat mencapai lingkungan akuatik melalui kontaminasi fekal, karena habitat alami Salmonella spp. adalah saluran pencernaan mamalia, burung dan reptil. Sebuah survei di Jepang menunjukkan bahwa Salmonella spp. ditemukan pada kolam budidaya belut dan kolam ikan jenis catfish. Beberapa penelitian juga menyebutkan kontaminasi oleh Salmonella pada beberapa produk seafood.
USFDA mencatat kejadian kontaminasi oleh Salmonella sebanyak 7.2% pada sampel seafood impor (n = 11.312) dan 1.3% pada sampel seafood domestik (n = 768) selama periode 1990-1998. Selain itu, Salmonella juga ditemukan pada udang mentah (tiger shrimp) yaitu pada raw peeled tail-on 2.5%, raw peeled tail-off 6.4%,dan raw headless shell-on 7.5% (Kumar 2003).
Salmonella merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh industri udang baik budidaya maupun pengolahan adalah keamanan pangan produk udang tersebut. Beberapa industri seringkali mengalami penolakan terhadap produk udang yang sudah diekspor karena terkontaminasi Salmonella dan Listeria. Bakteri patogen ini sangat berpengaruh terhadap perdagangan udang, terbukti setiap tahunnya Indonesia mengalami penolakan dari Uni Eropa maupun Amerika. Pada tahun 2011, USFDA mencatat 2 kasus cemaran Salmonella pada produk udang dari 2 perusahaan pengolahan udang di Indonesia. Terlepas dari masalah perdagangan udang, masalah cemaran patogen pun dapat terjadi pada lingkungan rumah tangga, baik dari masalah penanganan udang segar, penyimpanan dan sampai sebelum dikonsumsi.
Sulfit merupakan salah satu bahan pengawet yang sudah umum digunakan. Sodium metabisulfit dengan konsentrasi tertentu telah digunakan pada beberapa kolam pembesaran udang (tambak udang). Sodium metabisulfit digunakan setelah pemanenan dan pengolahan udang yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
(19)
proses melanosis (black spot) pada bagian tubuh udang. Januario dan Dykes (2005) menyebutkan bahwa sodium metabisulfit secara tradisional digunakan untuk mengendalikan kebusukan non-mikrobiologis pada udang yang disebut blackspot. Penelitian yang dilakukan oleh Januario dan Dykes (2005) bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari beberapa konsentrasi sodium metabisulfit untuk mengendalikan blackspot dan ketahanan dari Vibrio cholera selama penyimpanan dingin dan beku. Pada beberapa industri pembesaran maupun pengolahan udang juga menggunakan sodium metabisulfit untuk mencegah proses melanosis pada udang setelah panen tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan Salmonella.
Mikrobiologi prediktif (predictive microbiology) telah digunakan untuk merancang atau membuat model dinamika populasi dari sejumlah bakteri patogen dan pembusuk pada makanan. Mikroorganisme memiliki sifat alami untuk memperbanyak diri yang dipengaruhi lingkungannya. Hasil dari kondisi terkontrol pada skala laboratorium dapat diaplikasikan ke lingkungan terkontrol pada proses distribusi produksi atau proses industri. Kemudian, hasil aplikasi tersebut dapat digunakan untuk evaluasi keamanan pangan dan mempertahankan masa simpan makanan. Nilai dari mikrobiologi prediktif menjadi bukti dalam menilai kecepatan berkembang biak, batas pertumbuhan atau kecepatan inaktivasi untuk mengukur kondisi pengolahan atau penyimpanan jika dibandingkan dengan cara tradisional yang membutuhkan waktu inkubasi lebih lama.
Salah satu model prediktif adalah model Baranyi. Menurut McKellar dan Lu (2004), model ini diaplikasikan pada beberapa penelitian yaitu untuk menggambarkan pola pertumbuhan E. coli pada suhu optimal, mengembangkan dan memvalidasi model pertumbuhan L. monocytogenes pada produk susu, dan mempelajari pengaruh perubahan suhu untuk pertumbuhan L. monocytogenes dan Salmonella. Model Baranyi telah dikembangkan oleh Baranyi dan kawan-kawan untuk menduga pertumbuhan bakteri. Model Baranyi memiliki kemampuan yang sangat baik untuk menduga atau memprediksi dan merupakan model yang dinamis sehingga dapat digunakan pada berbagai macam kondisi lingkungan. Sifat dari model ini sangat diperlukan untuk menduga umur simpan dari makanan dan mengkaji resiko secara kuantitatif dari siklus produksi makanan. Baty dan
(20)
Delignette-Muller (2004) menyebutkan bahwa diantara model yang digunakan, model Baranyi merupakan model yang paling konstan karena menghasilkan fit terbaik dengan memberikan pendugaan yang tepat terhadap (fase lag).
Menduga pertumbuhan dan ketahanan hidup terhadap pencemaran atau kontaminasi mikroba patogen dan pembusuk merupakan alat dasar untuk memprediksi keamanan pangan dan kemunduran mutu suatu produk makanan akibat bakteri pada rantai makanan. Pertumbuhan atau ketahanan Salmonella dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk suhu, pH dan aktivitas air, dimana suhu merupakan faktor kontrol utama pada operasi pengolahan, pengawetan dan distribusi pada udang segar (seafood). Pada beberapa industri pembesaran maupun pengolahan udang sodium metabisulfit sering digunakan untuk mencegah proses melanosis pada udang setelah panen, tetapi belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan Salmonella. Untuk itu, sangat penting untuk mengerti dan mengetahui respon pertumbuhan maupun ketahanan Salmonella pada penyimpanan suhu dingin dengan penambahan sodium metabisulfit untuk menghubungkan jumlah mikroba kontaminan dan kondisi suhu penyimpanan sehingga dapat menyediakan dasar untuk memperkuat strategi manajemen suhu dan menyediakan informasi keamanan yang berharga untuk produsen dan konsumen.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah, mengetahui pertumbuhan dan ketahanan Salmonella Typhimurium pada udang mentah dengan dan tanpa penambahan sodium metabisulfit pada penyimpanan suhu dingin (8+2 °C). Sebagai kontrol digunakan Brain Heart Infusion Agar (BHIB) sebagai media tumbuh. Pendugaan pertumbuhan dan ketahanan S.Typhimurium pada BHIB dan udang menggunakan DMFit Model Baranyi kemudian menentukan model untuk menduga pertumbuhan.
(21)
Hipotesis
1. Sodium metabisulfit dapat menurunkan dan menghambat pertumbuhan S. Typhimurium.
2. Kombinasi penyimpanan suhu dingin dengan sodium metabisulfit dapat menurunkan jumlah S. Typhimurium.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Dapat mengetahui pola pertumbuhan S. Typhimurium pada penyimpanan suhu dingin sehingga dapat digunakan untuk penentuan lama penyimpanan udang mentah pada lingkungan rumah tangga.
2. Dapat mengetahui pengaruh penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan dan ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang.
3. Hasil dari model ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan perkiraan yang
cepat dan cukup baik terhadap masa simpan makanan dalam pengembangan produk baru dan penilaian resiko (risk assesment), dimana bakteri patogen mungkin tumbuh.
(22)
j t m k b p s d d u k k p e i d p Udan jenis udang termasuk ka merupakan s komersial. L blanco, lang patiblanco. U sehingga su dipertahanka diterima oleh udang menta kulit beku da kulit dan ek pada Gamba
Gam
Ada ekstensif da input sumbe dilakukan o pelaksanaan
Ud ng putih atau
yang banya ategori udang salah satu d L. vannamei gostino, uda
Udang beku uhu pusat ud
an tetap –18 ° h konsumen ah beku. Uda
an udang me kornya tetapi
ar 1.
mbar 1. Udan
3 tipe budid an intensif. K
er daya dan oleh petani nnya. Budida
TINJA
dang Putih u white shrimp
ak terdapat g laut dan dari 80 jenis juga diken ang berkaki u adalah udan
dang menca °C selama pr n. Udang bek
ang mentah entah kupas b
i ususnya tid
ng putih (Lito
daya udang d Ketiga tipe t
sistem man tradisional aya semi inte
AUAN PUST
(Litopenaeu
mp (Litopenae di Indonesi dapat dibud s udang pena
al sebagai w putih, creve ng yang dib apai –18 °C roses penyim ku dibedaka beku dibeda beku. Udang dak diambil openaeus van di Indonesia tersebut dika najemen yan yang meng ensif biasany TAKA us vannamei eus vanname ia. Menurut didayakan di
aeid yang te west coast w ette pattes b bekukan mel C atau lebih mpanan dan d
an menjadi u akan menjadi g beku yang (peeled und
nnamei) pee
a yaitu tradis ategorikan b ng diterapka gunakan sis ya dilakukan
i)
ei) merupakan habitatnya, i tambak. U elah diusaha white shrimp blanches dan
alui proses p h rendah. S distribusi, hin udang masak
i udang men g telah dibua deveined) da
eled undevein
sional (ekste berdasarkan an. Budiday stem poliku n oleh perusa
n salah satu udang ini Udang putih akan secara p, camaron
n camaron pembekuan uhu udang ngga produk
k beku dan ntah dengan ang kepala, apat dilihat ned ensif), semi kepadatan, a ekstensif ultur dalam ahaan yang
(23)
mampu melakukan 3 kali panen tiap tahunnya, serta memiliki fasilitas hatchery dan cold storage. Budidaya intensif dillakukan oleh perusahaan terintegrasi yang memiliki fasilitas-fasilitas pendukung seperti hatchery, perusahaan pakan, pengelolaan udang, serta fasilitas ekspor. Persyaratan mutu dan keamanan udang segar dan beku dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang segar
Jenis uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b. Cemaran mikroba* - ALT
- Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholerae
Koloni/g APM/g APM/25 g APM/25 g
Maksimal 5.0 x 105 Maksimal < 2
Negatif Negatif c. Cemaran kimia*
- Kloramfenikol - Nitrofuran - Tetrasiklin
µg/kg µg/kg µg/kg
Maksimal 0 Maksimal 0 Maksimal 100
d. Filth - Maksimal 0
CATATAN* Bila diperlukan Sumber: SNI 01-27281-2006
Tabel 2. Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku
Jenis uji Satuan Persyaratan
a. Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b. Cemaran mikroba* - ALT
- Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholera
- Vibrio parahaemolyticus (kanagawa positif)*
Koloni/g APM/g APM/25 g APM/25 g APM/g
Maksimal 5.0 x 105 Maksimal < 2
Negatif Negatif Maksimal < 3
c. Cemaran kimia* - Kloramfenikol - Nitrofuran - Tetrasiklin
µg/kg µg/kg µg/kg
Maksimal 0 Maksimal 0 Maksimal 100 d. Fisika
Suhu pusat, maks ºC Maksimal -18
e. Filth Jenis/jumlah Maksimal 0
CATATAN* Bila diperlukan Sumber: SNI 01-27051-2006
Lingkungan budidaya sering merupakan hal yang sangat berpengaruh pada produksi udang vannamei. Dissolved oxygen (DO) merupakan faktor pembatas dalam budidaya. Air pada dasar kolam dimana udang berada, dapat menjadi
(24)
hypoxic atau bahkan anoxic karena respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik dari sisa pakan dan feses, terutama pada malam hari. Kondisi hypoxic dapat membahayakan hidup udang (Le Moullac et al. 1998).
Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)
Natrium metabisulfit atau natrium pirosulfit adalah senyawa anorganik dengan rumus kimia Na2S2O5. Nama ini kadang-kadang disebut sebagai dinatrium, metabisulfit, dan lain-lain. Senyawa ini digunakan pada makanan sebagai antioksidan, terutama sebagai pengawet, dengan kode E223. Sodium metabisulfit melepaskan sulfur dioksida (SO2) ketika dicampur dengan air dan menimbulkan bau gas yang tidak menyenangkan sehingga dapat menyebabkan kesulitan bernapas pada beberapa orang dan menyebabkan reaksi alergi pada orang-orang yang sensitif terhadap sulfida. Sulfur dioksida dan garam sulfit merupakan bahan pengawet yang tidak berbahaya bagi tubuh manusia, senyawa ini akan dioksidasi menjadi sulfat yang kemudian diekskresikan bersama urin (Furia 1968). Sodium metabisulfit umumnya tersedia dalam bentuk bubuk.
Sulfit merupakan salah satu bahan pengawet yang sudah umum digunakan. Menurut Winarno (1984) sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit (Na2SO3 atau K2SO3), garam Na atau K-sulfit bisulfit (NaHSO3 atau KHSO3) dan garam Na atau K-sulfit metabisulfit (Na2S2O5 atau K2S2O3). Natrium metabisulfit ini lebih stabil daripada sulfit dan bisulfit selama penyimpanan. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada tingkat keasaman dibawah 3 (pH < 3).
Natrium metabisulfit merupakan suatu senyawa yang berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih. Natrium metabisulfit larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol. Salah satu fungsi natrium metabisulfit adalah menghambat pertumbuhan mikroorganisme bakteri, kapang dan khamir (Furia 1968). Menurut Jay (2000) mekanisme secara pasti dari SO2 tidak diketahui, diduga bahwa asam sulfur yang tidak terdisosiasi atau molekul SO2 mempengaruhi aktivitas mikroba.
Davidson et al. (2005) mengatakan bahwa asam sulfur dalam bentuk tidak terionisasi akan lebih kuat dalam menghambat pertumbuhan maupun membunuh bakteri. Bakteri sangat sensitif terhadap sulfur dioksida dibandingkan kapang dan
(25)
k d b k s e b m d y k m b d b d b e p d e N khamir. Bi dibandingka berikatan m kemampuan sulfonat dap Pada equilibrium Bent berasosiasi d mengindikas dan Thomas yang sangat kemungkina menghamba Efek besar ditunj dengan men besar denga dari SO2 ini bagi enzim, enzim esens proses penc diketahui be enzim esens Pada Na-metabisu isulfit mem an sulfur dio menyebabkan n antimikrob pat mengham a larutan air
sebagai beri
tuk yang be dengan air. N sikan asam s (1985) dal baik terhad an aktivitas a at glikolisis, m ktifitas pengh
jukkan pada nambahkan a an SO2. Akt mengurangi menghamba sial. SO2 jug coklatan enz ereaksi pada ial terpengar a beberapa k ulfit dengan
miliki aktivi oksida. Dav
n sifat ant bial dalam mbat respiras r, sulfur dio ikut:
erada didala Nilai pKa un lemah (Seg lam Davidso dap kemungk
antimikroba merusak nut hambatan so a pH renda asam bertuju tivitas antim i oksigen pa at pertumbuh ga dipakai pa zimatis (brow a ikatan disu
ruh dan pros kolam pemb n konsentras
itas yang vidson et al. timikrobial
bentuk beb i dari kapan oksida (SO2)
am kurung ntuk sulfur d
al 1968 dal on et al. (200
kinan aktifita tersebut ant trisi, dan me odium metab ah. Menurun uan untuk m mikroba yang
da sistem en han mikroor ada pengerin wning enzym ulfida, sehing ses pengham besaran udan
i tertentu. N
lebih rend . (2004) me tereduksi as. Namun g.
) dapat ditu
mengindika dioksida adal lam Davidso 04) dalam m as antimikro tara lain me enghambat si bisulfit terha nkan pH pa memperoleh p g terjadi ada nzim. SO2 ju rganisme den
ngan makan matic). Hal gga dapat d mbatan berlan
ng (tambak Na-metabisu
dah terhada enjelaskan s tetapi mem
pada beber
ulis dengan
asikan sulfu lah 1.76 dan on et al. 200 memberikan oba dari SO2 rusak sistem istem metabo adap bakteri ada makana pengawetan alah bahwa uga dapat ber ngan cara m nan untuk m ini dikaren iduga bahw ngsung (Jay udang), me ulfit digunak ap kapang sulfur yang miliki 1/30 rapa kasus persamaan ur dioksida 7.20, yang 04). Beech penjelasan 2. Beberapa m transport, olisme. yang lebih an tertentu yang lebih komposisi rsifat racun menghambat menghambat akan sulfit a beberapa 2000). nggunakan kan setelah
(26)
pemanenan dan pengolahan udang yang berfungsi untuk mencegah terjadinya proses melanosis (black spot) pada bagian tubuh udang.
Melanosis pada udang, biasanya disebut “black-spot”, adalah perubahan warna permukaan yang disebabkan oleh pembentukan enzim prekursor polimerisasi senyawa secara spontan dan/atau bereaksi dengan konstituen seluler untuk membentuk pigmen tidak larut (McEvily et al. 1991). Hasil ini terjadi juga pada pencoklatan apel atau kentang yang dapat mengurangi nilai komersial dan penerimaan konsumen terhadap produk udang (Camber et al. 1957 dalam McEvily et al. 1991). Enzim endogen udang, polyphenol oxidase (PPO), yang mengkatalisis tahap awal dalam pembentukan titik hitam, tetap aktif sepanjang pengolahan pasca panen kecuali udang dibekukan atau dimasak. Aktivitas PPO dapat berlanjut pada udang mentah selama proses thawing. Demikian pula, pigmen hitam yang merugikan ini bertahan pada pengolahan (processing) dan preparasi (preparation) kecuali telah dibleaching (diputihkan) atau masking. Beberapa unsur utama yang terlibat dalam proses melanosis (FAO 2011) antara lain:
1. Enzim tirosinase dengan spesifitas yang sangat ketat dan diklasifikasikan sebagai fenoloksidase. Aksi dari enzim tirosinase pada tirosine dihambat pada pH 3 tetapi derajat keasaman dapat menyebabkan daging udang terdenaturasi. 2. Oksigen akan bertindak langsung pada semua reaksi oksidasi. Pada level
inilah antioksidan dapat berfungsi atau bekerja.
3. Adanya satu atau lebih substrat yang tersedia seperti tirosine, DOPA, dan lainnya.
4. Pengaruh dari faktor eksternal yaitu biotik (tahap molting), spesies dan abiotik (suhu, luka, dan sebagainya). Bagaimanapun juga, suhu rendah memperlambat reaksi enzimatik tetapi tidak menghentikannya. Namun, hal tersebut merupakan salah satu aspek yang penting setelah udang dipanen.
Sulfiting agents diperkenalkan pada tahun 1950-an untuk menghambat pembentukan black-spot (Fieger 1952 dalam McEvily et al. 1991). Peraturan terbaru untuk treatment udang adalah mencelupkan ke dalam 1.25% larutan natrium metabisulfit selama 1 menit dengan residu sulfit 100 ppm yang diperbolehkan pada daging udang (McEvily et al. 1991). Larutan Na2S2O5 juga
(27)
mampu menurunkan jumlah bakteri, jumlah bakteri jumlah bakteri penghasil H2S, koliform dan Staphylococcus pada udang dengan kepala maupun udang tanpa kepala.
Pada penelitian Rahayu et al. (1999) mengenai profil cemaran mikrobiologis pada udang segar di DKI dan Jawa Barat menunjukkan bahwa ditemukan Salmonella. Pada beberapa sampel udang segar yang dipakai untuk penelitian terkontaminasi Salmonella dan lainnya tercemar E. coli dan Staphylococcus. Adanya Salmonella pada udang segar dapat menunjukkan terjadinya cemaran pada lingkungan habitat udang oleh feses atau kotoran hewan dan manusia karena Salmonella merupakan bakteri yang berasal dari saluran pencernaan (Jenie 1987 dalam Rahayu 1999).
Salmonella
Salmonella merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salmonella merupakan bakteri Gram-negatif, tidak membentuk spora (non-sporeforming) berbentuk batang (biasanya berukuran 0.7-1.5 x 2-5 m) dan termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella merupakan bakteri anaerob fakultatif, kebanyakan bersifat motil dan bisa hadir pada berbagai macam kondisi lingkungan di luar inang termasuk dalam keadaan kering. Salmonella bersifat motil dengan flagela peritrikus kecuali S. Pullorum dan S. Gallinarum yang tidak motil karena tidak memiliki flagela. Selain karena tidak memiliki flagela, jenis Salmonella yang tidak bersifat motil disebabkan oleh kesalahan pemasangan subunit flagela atau kekurangan fungsi motorik pada anggota selnya (D’Aoust 2000). Tabel 3 berikut mengindikasikan beberapa faktor, dengan batas atas, bawah dan optimal yang mendukung pertumbuhan genus ini. Salmonella seringkali ditemukan pada saluran pencernaan hewan termasuk burung dan manusia. Terdapat lebih dari 2500 serovar dan berpotensi sebagai patogen pada manusia dan hewan (Wan Norhana et al. 2010).
(28)
Tabel 3. Batasan pertumbuhan Salmonella Parameter
(kondisi lain dianggap optimal)
Minimum Optimum Maksimum
Suhu (°C)
pH
Toleransi garam (%) Aktivitas air (aw)
5.2 (kebanyakan serotipe tidak akan tumbuh < 7.0)
3.8 -* 0.94
35-37
5.5-7.5 -* -*
45-47
9.5 4-5 > 0.99
-* : tidak dilaporkan
Sumber: diadaptasi dari Jay, Diane, Dundas, Frankish & Lightfoot 2003 dalam Wan Norhana et al. 2010)
Umumnya strain Salmonella, kecuali S. Typhi, tergolong ke dalam aerogenik, menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, lisin dekarboksilat, arginin dan arnitin, dan memproduksi hidrogen sulfida. Hasil reaksi metil red adalah positif, uji Voges-Proskauer dan indol adalah negatif. Salmonella tidak mendeaminasi fenilalanin dan tidak menghidrolisis urea, gelatin tidak mencair (liquify) secara cepat dalam nutrisi pada media begitu pula dengan DNAase dan produksi lipase (ICMSF 1996). Dibawah ini adalah beberapa karakteristik biokimia dari Salmonella (Tabel 4.).
Tabel 4. Karakteristik biokimia Salmonella
Karakteristik Reaksi Katalase
Oksidase
Produksi asam dari laktosa Produksi gas dari glukosaa Indol
Produksi urease
Produksi H2S dari TSIA (Triple Sugar Iron Agar) Sitrat sebagai satu-satunya sumber karbona Metil merah
Voges-Proskauer Lisin dekarboksilase Ornitin dekarboksilase
+ - - + - - + + + - + + Keterangan: “+” = reaksi positif, “-“ = reaksi negatif
a = pengecualian bagi S. Typhi
Sumber: Bell dan Kyriakides (2002) dalam Bell dan Kyriakides (2003)
Salmonella terdiri dari beberapa subgenus Salmonella yang berasal dari subgenus I terdiri dari Salmonella patogenik tipikal yang diisolasi dari saluran pencernaan hewan berdarah panas. Subgenus II dan III yang dikenal sebagai
(29)
Arizona seringkali diisolasi dari hewan berdarah dingin. Subgenus IV dan V umumnya ditemukan dilingkungan tidak tergolong sebagai bakteri patogen terhadap manusia (ICMSF 1996).
Strain Salmonella secara antigen dapat dibedakan berdasarkan reaksi aglutinasinya (pembentukan agregat) dengan antisera homolog dan kombinasi dari masuknya antigen pada setiap strain Salmonella, berdasarkan pada formula antigenik, yang unik pada masing-masing serotipe Salmonella (Bell dan Kyriakides (2003).
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup
Salmonella tumbuh pada kisaran suhu 8 °C sampai 45 °Cpada rentang pH 4-9 dan membutuhkan aw diatas 0.94. Salmonella tumbuh optimum pada suhu 35-37 °C, mengkatabolisme bermacam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber tunggal karbon, memproduksi H2S dan dapat mendekarboksilasi lysine menjadi cadaverin dan ornithine menjadi putrescine (D’Aoust 2000).
Salmonella umumnya tidak mampu memfermentasi laktosa, sukrosa, dan salicin, akan tetapi mampu memfermentasi glukosa dan monosakarida lainnya dengan menghasilkan gas (Jay 2000). Menurut Hanes (2003), Salmonella mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon saat genus lainnya membutuhkan sumber karbon kompleks sebagai sumber nutrisinya. Salmonella umumnya memanfaatkan asam amino sebagai sumber N, namun beberapa strain Salmonella seperti S. Typhimurium memanfaatkan nitrit, nitrat, dan NH3 sebagai sumber nitrogen. Walaupun fermentasi laktosa umumnya tidak dapat dilakukan oleh mikroorganisme ini, beberapa serovars dapat memanfaatkan gula ini sebagai sumber karbon.
Derajat keasaman (pH) optimum untuk bakteri ini adalah sekitar pH netral, bila pH lebih dari 9 atau kurang dari 4 maka sifatnya menjadi bakterisidal (membunuh bakteri). Beberapa penelitian mencatat bahwa beberapa serovar mampu tumbuh pada pH minimum 4.05 (dengan HCl dan asam sitrat), namun pH minimum Salmonella juga tergantung pada jenis asam yang digunakan, penggunaan jenis asam lain membuat pH minimum tumbuhnya Salmonella
(30)
menjadi lebih tinggi. Selain itu, meningkatnya aerasi juga ternyata mampu mempengaruhi pertumbuhan Salmonella pada pH yang lebih rendah (Jay 2000). Optimum pH berkisar antara 6.5-7.5 untuk pertumbuhan Salmonella. Beberapa serovar mampu tumbuh pada pH mendekati 9.5 dan 4.5. Salmonella mampu tumbuh pada kadar garam maksimal 8% (D’Aoust 2000).
Bell dan Kyriakides (2003) menjelaskan bahwa Salmonella umumnya cepat dibunuh dengan panas dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) yang tinggi, aw > 0.98 namun jika bahan pangan dengan aktivitas air yang rendah, butuh suhu yang lebih tinggi untuk membunuhnya. Salmonella memiliki rentang kondisi lingkungan yang cukup jauh, seperti pada suhu, pH, dan aktivitas air. Tabel 5 menunjukkan rentang untuk pertumbuhan Salmonella.
Tabel 5. Batasan rentang pertumbuhan Salmonella
Parameter Minimum Maksimum Suhu (°C)
pH
Aktivitas air (aw)
5.2a 3.8b 0.94
46.2 9.5 > 0.99 Keterangan: a kebanyakan serotipe tidak tumbuh pada suhu < 7.0 °C
b
kebanyakan serotipe tidak tumbuh pada pH < 4.5 Sumber: Bell dan Kyriakides (2002) dan ICMSF (1996)
Salmonella tidak dapat dibedakan dengan E. coli jika dilihat dengan mikroskop ataupun dengan menumbuhkannya pada media yang mengandung nutrien yang umum. Salmonella sp. dapat tumbuh optimum pada media pertumbuhan yang sesuai dan memproduksi koloni yang tampak oleh mata dalam jangka waktu 24 jam pada suhu 37 °C. Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran pH dan aw yang lebih luas jika tumbuh pada substrat yang lebih baik (Jay 2000).
Salmonella sensitif terhadap panas, sehingga dapat mati pada suhu pasteurisasi. Akan tetapi, bakteri ini relatif tahan pada suhu rendah. Matches dan Liston (1968) dalam Jay (2000) melaporkan bahwa suhu terendah yang masih memungkinkan pertumbuhan adalah 5.3 °C untuk Salmonella Heidelberg dan 6.2 °C untuk Salmonella Typhimurium.
Skema Kauffmann-White mengklasifikasikan Salmonella berdasarkan antigen somatik (antigen O) dan flagelar (antigen H). Antigen O berhubungan dengan lipopolisakarida pada permukaan luar membran terluar sel. Antigen O ini
(31)
stabil terhadap panas, resisten terhadap alkohol dan larutan asam. Antigen H berhubungan dengan flagela petrikus. Antigen H ini tidak tahan terhadap panas.
Sumber kontaminasi dan penyebaran
Salmonella secara luas tersebar pada hampir semua habitat ekologi, diisolasi dari tanah, air, makanan dan saluran pencernaan dari manusia dan hewan. Kecenderungan pada semua Salmonella yang dapat menyebabkan infeksi sistemik maupun enterik pada manusia dan hewan menjadikan Salmonella sebagai patogen yang sangat penting. Meskipun banyak perkembangan higienis pada produksi makanan, tetapi Salmonella tetap menjadi sangat penting sebagai bakteri yang menyebabkan penyakit foodborne (Hui et al. 2001).
Salmonella banyak tersebar di alam terutama pada udara yang tercemar. Namun habitat utamanya adalah saluran usus binatang dan manusia. Bakteri ini dapat diisolasi dari sampel feses, makanan, dan sampel dari lingkungan. Salmonella pada makanan terdapat pada kacang-kacangan, salad, mayonaise, susu dan lain-lain (Jay 2000).
Salmonella merupakan salah satu masalah penting bagi kesehatan manusia dan hewan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan kematian. Infeksi Salmonella terutama disebabkan oleh penanganan yang buruk dan konsumsi pangan mentah ataupun kurang matang. Salmonellosis sangat mudah ditularkan dari hewan ke manusia baik secara langsung ataupun melalui perantara seperti produk makanan yang berasal dari hewan, tumbuhan dan lingkungan. Salmonella enterica Serovar Typhimurium dan Enteridis merupakan salah satu penyebab utama gastroenteritis (Jay dan Davey 1989).
Bakteri Salmonella di laut dan perairan air tawar berasal dari limbah organik domestik, industri dan dari tempat-tempat rekreasi (sumber mata air, danau dan pantai). Keberadaan bakteri Salmonella dalam suatu perairan laut dapat diindikasikan dengan keberadaan bakteri indikator yaitu Escherichia coli karena bakteri ini sangat erat hubungannya dengan bakteri Salmonella. Menurut Grunnet (1975) dan Cabelli (1978) dalam Farida (2005) menunjukkan adanya korelasi positif antara densitas bakteri E. coli dengan bakteri Salmonella, semakin tinggi
(32)
kandungan bakteri E. coli maka semakin positif peluang bakteri Salmonella akan ditemukan dalam suatu perairan.
Bakteri Salmonella sebenarnya adalah bakteri dari air tawar, kehadirannya di laut disebabkan terbawa oleh aliran sungai atau air buangan. Keberadaannya di laut dapat menyebabkan banyak hasil laut seperti ikan, udang, kerang-kerangan dan lainnya terkontaminasi oleh bakteri Salmonella dan Shigella (Thayib 1982 dalam Farida 2005).
Tingkat prevalensi pada udang
Air laut umumnya bebas Salmonella, tetapi perairan pantai, estuaria dan karang dapat terkontaminasi dari air buangan manusia dan pertanian, sehingga Salmonella kadang ditemukan pada ikan mentah dan kerang. Kondisi lingkungan dan insiden Salmonella memang berkorelasi, hasil investigasi Martinez-Urtaza et al. (2003) menunjukkan bahwa 2.9% dari 381 sampel kerang yang diambil dari lokasi panen positif terinfeksi Salmonella dan hanya 1.6% dari 2599 sampel kerang yang telah didepurasi yang positif terinfeksi Salmonella.
Penggunaan air pencuci dan es yang berasal dari sumber yang terkontaminasi, higiene pekerja yang buruk dan penanganan manual produk mentah selama pemanenan dan pengepakan dapat menjadi penyebab tingginya kontaminasi Salmonella pada produk ikan dan kerang dari Asia. Asia merupakan penghasil separuh dari produk akuakultur dunia, studi isolat Salmonella menunjukkan salah satu potensi pembawa Salmonella pada manusia di Asia berasal dari ikan dan kerang (D’Aoust 2000).
Di Thailand hasil analisis terhadap air mendapatkan 984 isolat Salmonella
dengan serovar yang banyak ditemukan adalah S. Weltreveden (14.5%), S. Anatum (11.5%), S. Rissen (9.5%), dan S. Derby (7.2%). Sedangkan hasil
analisis pada seafood selama tahun 1993-2000, dari 1007 isolat yang didapat serovar S. Weltreveden juga merupakan serovar yang sering ditemukan dengan prevalensi sebesar 26% (Bangtrakulnonth et al. 2003).
Hasil penelitian Susanto (1998) terhadap udang segar di DKI dan Jawa Barat menunjukkan bahwa udang segar yang didapat dari Kandang Haur dan Cilincing terkontaminasi oleh S. Paratyphi A, dan diduga kontaminasi berasal dari
(33)
lingkungan habitat udang yang tercemar oleh kotoran manusia dan hewan. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Slamet (2000) menunjukkan udang segar dari Tanjung Kait dan Gebang telah terkontaminasi oleh Salmonella dan diduga mikroorganisme tersebut adalah S.Paratyphi A.
D’Aoust (2000) melaporkan beberapa insiden Salmonella pada udang yang didapat dari beberapa negara Asia hingga tahun 1995 (Tabel 6). Prevalensi Salmonella terbesar sebanyak 30% ditemukan pada udang segar yang berasal dari India pada tahun 1990.
Tabel 6. Insiden Salmonella pada beberapa produk udang di Asia Negara Asal Produk Jumlah Sampel
yang Diuji
Jumlah Positf (%) 1.India
- 1989 - 1990 - 1995 2.Malaysia 3.Thailand
Udang beku Udang kering
Udang segar Udang beku Udang segar Udang segar Udang beku
560 25 30 16 500
16 3046
8 4 56 28 1 25 0.2 Sumber: D’Aoust (2000)
Studi yang dilakukan oleh Ruangpan et al. (1997) terhadap sedimen tambak udang windu selama 120 hari budidaya menunjukkan dalam sedimen terdapat sedikitnya 8 jenis bakteri dimana salah satunya adalah Salmonella. Tetapi dalam studi tersebut tidak dilakukan analisis terhadap udang tambak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Southeast Asian Fisheries Development Centre (SEAFDEC) (Sunwanrangsi 1997) dalam rangka penyusunan rencana HACCP di Thailand untuk produksi udang budidaya, bahaya Salmonella (Tabel 7) pada produksi udang ditemukan pada suplai air, pakan dan panen, sehingga pengawasan terhadap ketiga titik tersebut harus dioptimalkan.
Salmonella juga dapat berasal dari pakan komersil yang telah terkontaminasi (D’Aoust 2000). Hasil analisis yang dilakukan oleh Nesse et al. (2003) terhadap 4 pabrik pakan udang selama tahun 1998-2000 di Norwegia, ditemukan 9 serovar S. enterica yang berbeda pada produk pakan ikan, sedangkan pada bahan baku tepung ikan ditemukan 14 serovar yang berbeda. Serovar utama
(34)
pada pakan ikan adalah S. Angona dan S. Monteviedo, sementara pada tepung ikan serovar yang terbanyak adalah S.Senftenberg.
Pada penerapan HACCP terutama pada industri budidaya perikanan, analisis dan data prevalensi Salmonella sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi potensi bahaya mikroorganisme yang dapat bertahan dan memperbanyak dalam produk budidaya, resiko dan tingkat keparahan bahaya yang teridentifikasi dan patogen yang dapat mengkontaminasi produk budidaya setelah pemanenan (Suwanrangsi 1997).
Tabel 7. Perkiraan HACCP untuk produksi udang budidaya
Tahapan Produksi Bahaya (Hazard) Pemantau
Pemilihan Lokasi Pembesaran
- Kondisi kolam - Suplai air - Pakan/pupuk
- Penggunaan bahan kimia atau obat-obatan
Panen
Kontaminasi kimia Kontaminasi biologi
Kontaminasi kimia Salmonella Salmonella
Kontaminasi Salmonella Kontaminasi kaca, kayu dll
Kelayakan dasar
CCP CCP CCP CCP
CCP CCP Sumber: Sunwanrangsi (1997)
Hasil penelitian oleh Kumar et al. (2009) yang berfokus pada deteksi beberapa serovar Salmonella pada makanan hasil laut (seafood) menunjukkan hasil yang positif berdasarkan keberadaan lac+ dan lac- dari serovar Salmonella pada seafood di India. Hasil ini diduga akibat kontaminasi perairan laut dan lingkungan tropis yang memiliki kontribusi signifikan terhadap tingginya jumlah Salmonella pada seafood. Meratanya kontaminasi Salmonella pada seafood berasal dari perairan Asia-Pasifik dan Afrika yang dilaporkan memiliki tingkat Salmonella yang tinggi dibandingkan dengan bagian lain di dunia (Heinitz et al. 2000). Beberapa serotipe Salmonella yang diisolasi dari seafood dapat dilihat pada Tabel 8.
(35)
Tabel 8. Beberapa serotipe Salmonella yang diisolasi dari seafood Subspesies Serotipe Nomor isolat Laktosa (lac) Sumber I I I I I I I I II IIIa IIIb IIIb VI Brancaster Ohio Typhimurium Newport Mbandaka Weltevreden Rissen Braenderup 47:enx15:1,6 17:z36:- 38:z:- 60:r:z 45:a:enx 6 8 10 8 5 12 3 9 2 3 1 1 1 Lac -Lac- Lac- Lac- Lac- Lac- Lac- Lac- Lac- Lac+ Lac+ Lac+ Lac+ Ikan, udang Ikan
Ikan, udang, mussel Ikan
Udang
Ikan, udang, clam Ikan Ikan, clam Udang Ikan Ikan Ikan Ikan Sumber: Kumar et al. (2009)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ponce et al. (2008) menyebutkan bahwa serovar paling banyak pada isolat dari seafood impor adalah Salmonella enterica serotipe Weltevreden. Salmonella tidak terlalu dianggap menjadi masalah pada produk seafood yang berasal dari perairan laut terbuka. Koonse et al. (2005) dalam Ponce et al., (2008) mengatakan bahwa beberapa laporan oleh USFDA menunjukkan bahwa seafood yang di budidaya cenderung lebih banyak terkontaminasi Salmonella dibandingkan dengan seafood yang berasal dari perairan terbuka.
Beberapa peneliti telah mempelajari lingkungan budidaya udang terutama di wilayah tropis. Salmonella diisolasi dari air tambak termasuk sumber air dan air penampungan, sedimen/lumpur, pakan, pupuk untuk kolam/tambak dan probiotik yang digunakan untuk mendukung kesehatan udang. Berdasarkan hasil dari sampel-sampel yang digunakan, dapat dikatakan bahwa Salmonella dapat ditemukan pada lingkungan pertanian/budidaya udang sesuai dengan metode budidaya yang diisolasi dari tambak udang ekstensif, semi-intensif, dan intensif (Reilly dan Twiddy 1992, Bhaskar et al. 1998 dalam Wan Norhana 2010).
Terkait dengan luasnya penyebaran (prevalence) dari Salmonella pada lingkungan budidaya udang, banyak Salmonella terdeteksi pada spesies udang putih (Penaeus merguensis) di Thailand, udang air tawar (Macrobrachium rosenbergii) dari India, Indonesia, Malaysia, Filipina dan negara lain yang memproduksi udang. Persentase munculnya Salmonella pada air kolam lebih
(36)
tinggi (0.5–67.0%) dibandingkan pada udang (1.6–37.5%), pakan (alami dan formula) (5.0–31.2%) dan sedimen/lumpur (0.1–28.8%). Perlu dicatat bahwa terdapat beberapa laporan mengenai tidak adanya Salmonella pada lingkungan budidaya udang (Dalsgaard et al. 1995; DeLa Cruz et al. 1990; Fonseka, 1990 dalam Wan Norhana 2010). Namun, Dalsgaard (1998) dalam Wan Norhana (2010) memiliki argumen bahwa penelitian ini tidak dapat mewakili keadaan sebenarnya seperti pada beberapa penelitian bahwa sampel dan jumlah kolam yang digunakan rendah dan tidak terdapat pengulangan. Sumber awal Salmonella pada lingkungan budidaya udang sangat dipengaruhi oleh pupuk dan pakan, sedimen/lumpur dan air yang merupakan sumber kontaminasi.
Hatha et al. (2003) menyebutkan bahwa terdapat Salmonella pada udang segar dan beku yang dikumpulkan dari tempat penampungan, retail, penjualan, impor, tempat pengolahan dan lain-lain. Salmonella ditemukan pada udang yang diolah, peralatan dan lantai serta air yang digunakan selama proses pengolahan. Kejadian tersebut paling banyak pada produk udang segar (10–14%), diikuti dengan sampel swab lantai (4%), peralatan (2%) dan air untuk pengolahan (1%). Bagaimanapun juga, Salmonella tidak ditemukan pada produk udang masak.
Walaupun terbatasnya penelitian spesifik mengenai kecepatan pertumbuhan atau ketahanan hidup pada udang dan produk udang, beberapa peneliti secara tidak langsung mengatakan bahwa beberapa serotipe Salmonella mungkin memiliki kemampuan bertahan hidup pada suhu pendinginan dan pembekuan (Gecan et al. 1994, Hatha et al. 1998, Iyer & Shrivastava 1989 dalam Wan Norhana 2010). Iyer dan Shrivastava (1989) dalam Wan Norhana 2010 menginvestigasi kelangsungan hidup Salmonella di udang masak yang secara homogen disimpan dalam suhu beku (-20 °C dan -40 °C). Kesepuluh serotipe yang diujikan resisten terhadap pembekuan (-40 °C). Namun, terdapat perbedaan diantara serotipe selama penyimpanan pada suhu -20 °C. S. paratyphi B merupakan strain yang paling tahan dan dapat bertahan sampai 9 bulan, sementara S. saintpaul hanya tahan sampai 5 bulan.
(37)
Keracunan makanan akibat Salmonella
Penyakit yang timbul akibat bakteri ini adalah adanya gejala gastroenteritis, demam enteritika, bakteraemia, faecal infection, dan sequelae. Gastroenteritis memiliki periode inkubasi antara 5 jam - 5 hari, namun gejala ini sudah mulai nampak sekitar 12-36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Singkatnya masa inkubasi biasanya berhubungan dengan tingginya jumlah bakteri yang terkonsumsi atau orang yang lemah yang rentan terhadap penyakit. Gejala penyakit ini antara lain diare, mual, nyeri pada perut (abdominal), demam ringan dan menggigil. Demam enteritika memiliki periode inkubasi antara 7-28 hari (tergantung banyaknya bakteri yang menginfeksi), namun rata-rata periode inkubasi adalah selama 14 hari. Gejala yang umumnya timbul adalah malaise, sakit kepala, demam tinggi, nyeri pada perut (abdominal) dan lain-lain. Bakteraemia adalah penyakit dimana Salmonella ada di dalam darah (ICMSF 1996). Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh Salmonella ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Penyakit yang ditimbulkan Salmonella
Penyakit Serotipe Salmonella
Gastroenteritis
Demam enteritika
Bakteraemia atau septicemia Sequelae
Umumnya anggota dari S. enterica subsp. enterica (serotipe utama yang menyebabkan ini adalah Agona, Dublin, Hadar, Enteridis, poona, Typhi, Typhimurium, Virchow) selain itu juga anggota S. enterica subsp. arizonae
S.Typhi dan S.Paratyphi
Anggota S. enterica subsp. enterica Anggota S. enterica subsp. enterica Sumber: ICMSF (1996)
Infeksi Salmonella dapat menyebabkan penyakit yang bervariasi yang disebut dengan salmonellosis. Infeksi dapat disebabkan oleh konsumsi pangan mentah, kurang matang yang telah terkontaminasi atau air yang mengandung materi faecal. Akibat dari infeksi sangat bervariasi tergantung serovar dan tipe inang. Beberapa serovar dari S. enterica merupakan patogen dengan inang yang
(38)
terbatas seperti S. Typhi, S. Paratyphi a,b,c dan S. Sendai hanya menyebabkan penyakit pada manusia. S. Pullorum/Gallinarum pada babi, S. Abortusuis pada domba dan S. Abortusequis pada kuda. Serovar S. Dublin dan S. Cholerasuis dapat
menginfeksi manusia namun sangat jarang. Serovar S. Typhimurium dan S. Enteridis merupakan penyebab utama gastroenteritis dan dapat menyebabkan
penyakit pada manusia, unggas, domba, babi, kuda dan tikus.
Salmonella pada produk pangan bersuhu rendah
Bakteri memiliki kemampuan bertahan yang berbeda-beda terhadap suhu pendinginan. Menurut Georgala dan Hurst (1963) bakteri cocci umumnya lebih tahan terhadap pendinginan dibandingkan dengan bakteri gram negatif berbentuk batang. Untuk bakteri patogen, Salmonella relatif kurang resisten jika dibandingkan dengan Staphylococcus aureus atau sel vegetatif Clostridia, dimana endospora dan toksin tidak efektif pada suhu rendah.
Bell dan Kyriakides (2003) menyatakan bahwa dalam makanan beku atau pangan yang memiliki aktivitas air yang rendah, Salmonella dapat bertahan sampai berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun. Tabel 10. menunjukkan ketahanan berbagai serovar Salmonella pada suhu pembekuan.
Tabel 10. Kemampuan bertahan berbagai serovar Salmonella pada suhu pembekuan
Kondisi Serotipe Pangan Suhu (°C) Waktu bertahan Suhu
pembekuan
Enteritidis Poultry -18 4 bulan
Cholerae-suis Minced Beef -18 4 bulan
Typhimurium Chowmein -25 9 bulan
Enteritidis
IceCream -23 7 bulan
Typhimurium
Sumber: D’Aoust (1989) dalam Blackburn dan McClure (2003)
Penelitian oleh Dickens et al. (1985) menunjukkan bahwa bakteri enteropatogenik seperti Salmonella dapat bertahan pada es dalam minuman. Jumlah mikroorganisme akan menurun pada saat pembekuan, akan tetapi tidak semua organisme mati pada keadaan ini. Pada penelitian lain oleh Hartini (2005) dlakukan pengujian untuk melihat kemampuan bertahan beberapa serovar
(39)
Salmonella pada es batu. Hasilnya adalah jumlah Salmonella mengalami peningkatan sampai dua jam kemudian konstan.
Menurut D’Aoust (2000), ketahanan Salmonella selama penyimpanan beku tergantung jenis Salmonella dan jenis produk pangannya. Jumlah sel akan berkurang secara berangsur-angsur selama penyimpanan beku suhu -20 °C. Ketahanan Salmonella saat pembekuan juga tergantung kondisi fisiologis sel sebelum dibekukan. Adaptasi S. Enteritidis selama 30 menit pada suhu rendah (5 °C sampai 10 °C) sebelum pembekuan cepat (suhu -78 °C) akan mempertinggi jumlah sel yang bertahan. Kemampuan Salmonella untuk beradaptasi pada suhu rendah diinduksi oleh adanya sintesis gen csp-A yang disandi oleh cold shock protein. Gen ini belum diketahui pasti fungsi spesifiknya pada perlindungan Salmonella terhadap suhu pembekuan.
Hatha et al. (2003) telah melakukan penelitian kualitas bakteriologi dari produk udang IQF (individually quick frozen) dari tambak budidaya udang jenis tiger (Penaeus monodon) telah dianalisis terhadap Salmonella. Hasil dari serotypingSalmonella yang diisolasi hanya dari sampel udang kupas mentah (raw peeled tail-on) yaitu S.Typhimurium.
Model Prediktif
Pada dekade terakhir mikrobiologi pangan telah mengadopsi metode modern dan konsep baru. Banyak ahli mikrobiologi pangan menentukan masa simpan dan keamanan pangan mengikuti pendekatan konvensional dengan enumerasi mikroba pada berbagai tahap penyimpanan.
Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, pH ataupun aktifitas air. Faktor lain yang dianggap penting antara lain komposisi atmosfer, jenis pengawet, dan struktur makanan. Menduga atau memprediksi pertumbuhan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dilakukan jika faktor-faktor tersebut diukur dan dimodelkan. Beberapa studi menggunakan model yang relatif sederhana dengan kondisi pH, suhu dan aktifitas air yang sama telah dilaporkan untuk menduga pertumbuhan bakteri. Hasil dari studi tersebut mendorong upaya-upaya yang lebih baik dalam menduga pertumbuhan dengan hasil yang jauh lebih akurat dan cepat terhadap masa simpan
(40)
makanan, di mana bakteri patogen mungkin tumbuh, dalam pengembangan produk baru dan penilaian risiko (risk assessment).
Mikrobiologi prediktif dimulai sebagai ilmu empiris murni (meskipun kuantitatif). Esty dan Meyer pada tahun 1922 diduga sebagai peneliti yang mengawali munculnya mikrobiologi prediktif. Esty dan Meyer (1922) menggambarkan kematian akibat suhu pada spora Clostridium botulinum tipe A dengan model log-linear. Model tersebut masih digunakan untuk memperkirakan perkiraan panas pada pengolahan makanan kaleng rendah asam. Pengertian lain yaitu model ini menggambarkan laju kematian bakteri adalah konstan dengan waktu pada kondisi suhu tertentu. Dengan kata lain, persentase populasi sel tidak aktif dalam satuan waktu adalah konstan.
Saat ini, beberapa model yang menggambarkan pertumbuhan dan kematian dari mikroorganisme telah berkembang. Dalam model prediktif terdapat model primer, sekunder dan tersier. Model primer menggambarkan kurva pertumbuhan atau kematian, atau kemungkinan pertumbuhan. Model sekunder menggambarkan parameter kinetik dari model primer yang berhubungan degan konsisi lingkungan. Model tersier menggabungkan data untuk semua aspek respon dari mikroba pada lingkungannya terhadap sistem pendukung dalam mengambil keputusan.
Pada dasarnya tahap pertumbuhan bakteri adalah fase adaptasi (lag), fase pertumbuhan (log), fase stasioner dan fase kematian (death). Tahap tersebut digambarkan dalam bentuk kurva sigmoid. Model sigmoid dalam sejarahnya digunakan untuk menggambarkan peningkatan logaritma densitas sel bakteri terhadap waktu. Beberapa diantara model sigmoid yang ada adalah model Logistic dan model modifikasi Gompertz. Berdasarkan formulasi awal dari model tersebut, keduanya tidak bermaksud untuk menggambarkan pertumbuhan mikroorganisme. Zwittering et al (1990) dalam Baty dan Delignette-Muller (2004) mengevaluasi persamaan dan perbedaan dari lima model sigmoid serta mencari model yang paling baik untuk digunakan sesuai dengan basis statistik. Kesimpulan yang didapat adalah untuk beberapa kasus, model modifikasi Gompertz dapat dikatakan model sigmoid paling baik untuk menggambarkan data pertumbuhan dan faktanya telah banyak digunakan secara luas. Sekitar tahun 1990, terdapat keterbatasan
(41)
d y d e d m µ m S d m e y b dalam kurva yaitu memil dikatakan b eksponensia densitas sel modifikasi G µmax dan .
Pada memperkena Singkatnya, dikenal yait menyesuaika eksponensia Gambar Berd yang dihasil beberapa per
a sigmoid u liki titik per bahwa kurv al pertumbuh l terhadap Gompertz te a beberapa alkan suatu fase lag ber tu q yang s an dengan li al sampai bat
r 2. Contoh k
dasarkan mo lkan untuk m rsamaan lain
untuk mengg rubahan (infl va sigmoid han. Tetapi waktu adal elah didiskus
jurnal pene u model y rhubungan d sangat kritis
ingkungan b tas medium p
kurva pertum
odel Baranyi membuat su n (McKellar
gambarkan k flection poin d tidak tep
jelas bahwa lah linear. sikan secara elitian, Bara yang mekan dengan kebu s terhadap p barunya, mak pertumbuhan
mbuhan dari
i dan McKe uatu kurva p dan Lu 2004
kurva mode t). Berdasar pat untuk a hubungan Keterbatasa a luas terhad
anyi dan be nis untuk utuhan sintes pertumbuhan ka sel terseb
nnya.
i model Bara
ellar terdapa pertumbuhan
4).
l pertumbuh rkan hal ters menggamba antara logar an pengguna dap overestim
eberapa oran pertumbuha sis suatu sub n. Jika suatu but akan tum
anyi dan McK
at beberapa n yang didas
han bakteri sebut dapat arkan fase
ritmik dari aan model mation dari
ng lainnya an bakteri.
bstrat tidak u sel telah mbuh secara
Kellar
persamaan sarkan oleh
(42)
d q N S P m d m i M d y B
dimana x ad q(t) adalah k
Nilai awal d Suatu bentuk
Parameter m m = 1 fung dari model memiliki em ini adalah s Model Baran
dimana y(t) yang secara
Sejak Baranyi tel
dalah jumlah konsentrasi s
dari q (q0) ad
k lain dari q0
m mengkara sinya berkur yang sering mpat paramet suatu hubun nyi juga tela
= ln x(t), y umum diasu
k awal mula lah banyak
h sel pada wa substrat, yan
dalah penguk
0 yang lebih
akterisasi len rang menjad g dianggap s
ter: x0, jumla
ngan dari h0
ah diperoleh:
y0 = ln x0, da
umsikan sam
Fitting M anya model digunakan
aktu t, xmax a
ng berubah te
kuran dari ta stabil dapat
ngkungan s di kurva log sebagai asum ah sel awal; h , xmax, dan
:
an v adalah ma dengan µm
Model Pertum Baranyi mu n secara ek
adalah maksi erhadap wak
ahap awal fi didefinisika
ebelum fase gistik (log), msi. Sampai h0; xmax; dan
µmax. Suatu
rata-rata ke max. mbuhan uncul sekitar kstensif un imum densit ktu: isiologis dar an sebagai: e stasioner. suatu penye i saat ini, m n µmax. Hasil
u versi yang
enaikan (laju
r tahun 1990 ntuk membu
tas sel, dan
ri suatu sel.
Pada saat ederhanaan model akhir
dari model g jelas dari
u) substrat,
0an, model uat model
(43)
pertumbuhan mikroba. Kepopuleran model ini telah difasilitasi dengan adanya dua program yaitu DMFit (Excell add-in) dan MicroFit, suatu program fitting yang independen. Model fitting tersebut telah digunakan untuk membuat model pertumbuhan dari banyak mikroorganisme. Beberapa aplikasi telah dilakukan terkait Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, Escherichia coli, Yersinia enterocolitica, peningkatan diameter koloni dari fungi yang resisten terhadap panas, serta kebusukan pada asparagus dan selada. Dalam bukunya, McKellar dan Lu (2004) menyebutkan salah satu keuntungan model Baranyi adalah model ini sudah tersedia sebagai suatu persamaan yang memudahkan untuk membuat model dalam suatu lingkungan yang dinamis.
DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel 97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase) sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling).
MicroFit juga tersedia dari situs web (www.ifr.ac.uk/microfit/). Hal ini berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameter-parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di download dari situs web yang sama http://www.ifr.ac.uk/safety/GrowthPredictor, yang dikembangkan oleh DMFit.
Dokumen ini mengasumsikan bahwa pengguna akrab dengan dasar-dasar Excel, sama halnya seperti pada system operasi DOS dan Windows. Istilah dan notasi yang digunakan disini kompatibel dengan makalah yang tercantum dalam referensi sehingga tidak perlu dijelaskan secara ekstensif.
(44)
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Januari 2011, di Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan SEAFAST Center, FATETA IPB, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel udang putih (Litopenaeus vannamei) yang diperoleh dari industri pengolahan udang di wilayah Jakarta. Udang yang digunakan adalah udang beku yang telah dibuang kepala, kulit dan ekornya tetapi ususnya tidak diambil (peeled undeveined). Bahan baku yang digunakan merupakan udang beku yang telah diberi perlakuan carnal 1.5% dan garam 1.5%. Bakteri referensi uji yang digunakan adalah spesies Salmonella Typhimurium ATCC 14028. Media-media yang digunakan untuk analisis Salmonella antara lain: Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Lactose Broth (LB) (Pre-enrichment media), Tetrathionate Broth (TTB) dan Rappaport Vassiliadis (RV) Broth (Pengayaan selektif media), Hectoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysin Desoxycholate Agar (XLDA) dan Bismuth Sulfite Agar (BSA) (Agar Selektif), Triple Sugar Iron (TSI) dan Lysine Iron Agar (LIA) media konformasi biokimia, Nutrient Agar (NA), dan Urea Broth. Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu Na2S2O5 (natrium metabisulfit/ sodium metabisulfit), larutan pengencer KH2PO4 (buffer fosfat), NaOH, bahan tambahan media TTB yaitu larutan I2KI, disinfektan yaitu alkohol 70%, akuades (air bebas ion), spiritus.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, oven, inkubator 35°C dan 42°C, termometer, kulkas (pendingin) dan freezer, cool box, stomacher, vortex, mikropipet dan tipnya, gelas ukur, pipet Mohr, gelas piala, batang pengaduk, bunsen, Erlenmeyer, plastik HDPE, ose mata bulat dan lurus, bulb, neraca analitik, tabung reaksi dan raknya, cawan petri, steril, pisau, botol semprot, tutup kapas, dan alumunium foil.
(45)
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan melalui dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam, mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium pada media BHIB
dengan penyimpanan suhu dingin, mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium pada udang dengan penyimpanan suhu dingin, dan pengujian
sifat antimikroba sodium metabisulfit (Na2S2O5) dengan metode kontak. Penelitian utama terdiri dari mempelajari ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang dengan penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit, kemudian menganalisis pendugaan pertumbuhan atau ketahanan S. Typhimurium pada BHIB dan udang dengan model Baranyi.
Penelitian Pendahuluan
Mempelajari pola pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028 pada suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam
Pada bagian ini dilakukan penentuan waktu pencapaian fase stasioner dengan suhu optimum pertumbuhan 35-37 °C. Media yang dipakai adalah Brain Heart Infusion Broth (BHIB) sebagai media pertumbuhan dan Tryptone Soya Agar (TSA) sebagai media seleksi untuk penghitungan jumlah koloni. Konsentrasi kultur murni biasanya 108 cfu ml-1 sehingga perlu pengenceran agar konsentrasi awal yang digunakan adalah 101 cfu ml-1 untuk mengetahui pola pertumbuhan. Kultur Salmonella ditumbuhkan pada media BHIB dan diinkubasi pada suhu 35-37 °C selama 24 jam. Alur metode pola pertumbuhan S. Typhimurium pada suhu optimum 35-37 °C selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 3.
(46)
G m t d S c m w t M p p b S d P
Gambar 3. A
Setia milliliter (1 tabung reaks dituang keda Selanjutnya cara memut media mema waktu jam k terhadap tota Mempelaja penyimpana Pada pengamatan berisi BHIB S. Typhimur dalam lema Pengamatan
Alur metode suhu optimu ap jam pen
ml) untuk si dengan vo alam cawan
meratakan tar cawan m adat lalu diin ke-0, 0.5, 1,
al Salmonell
ri pola pert an suhu din a tahap ini,
adalah 103 B 40 ml rium sebany ari pendingi n total Salmo
e pola pertu um 35-37 °C ngamatan, S k dilakukan olume total n petri lalu d kultur hasil membentuk
nkubasikan p 2, 4, 6, 10, la dan total m
tumbuhan S
ngin
jumlah aw cfu ml-1 da
yang sud yak 103 cfu m
in (refriger onella dilaku
umbuhan S. C selama 24 j
Salmonella p n pengencer
10 ml. Sete ditambahkan pengencera angka delap pada 35-37 ° 14, 18, 20, mikroba.
S. Typhimu wal S. Typh n 106 cfu m dah steril, ml-1. Erlenm rator) pada ukan setiap 1
Typhimuriu jam
pada media an. Pengenc elah itu tabu n media TSA
an dan TSA pan, kemudi °C selama 24
dan 24 jam
urium pada himurium y ml-1. Pertama kemudian eyer tersebu
suhu 8+2 12 jam sekal
um ATCC 1
a BHIB dia ceran dilaku ung reaksi pe A cair sekita A dalam caw ian didiamk 4-48 jam (du
dilakukan p
media BHI yang diguna
a disiapkan e ditambahka ut selanjutny
°C selama li selama 14
4028 pada ambil satu ukan pada engenceran ar 12-15ml. wan dengan kan sampai uplo). Pada pengamatan IB dengan akan untuk erlenmeyer an dengan ya disimpan
a 14 hari. 4 hari. Pada
(1)
L
L
L
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10
. Hasil kurv dan penam pertumbuh DMFit
. Hasil kurv dan pena pertumbuh DMFit
0. Hasil kurv tanpa pen Typhimur DMFit
va fitting pen mbahan so han S. Typh
va fitting pen ambahan so han S. Typh
va fitting pe nambahan so rium yang
ngamatan pe odium meta himurium p
ngamatan pe odium met himurium p
ngamatan pe odium metab
dikontamina
engaruh pen abisulfit 1. pada media
engaruh pen tabisulfit 1 pada media
engaruh pen bisulfit terhad
asikan pada
nyimpanan su .25% (b/v)
BHIB me
nyimpanan su 1.5% (b/v)
BHIB me
nyimpanan s dap pertumb a udang me
uhu dingin terhadap nggunakan
uhu dingin terhadap nggunakan
suhu dingin buhan S.
(2)
L
L
L
Lampiran 11
Lampiran 12
Lampiran 13
1. Hasil kurv dan pen pertumbu menggun
2. Hasil kurv dan pen pertumbu menggun
3. Hasil kurv dan pen pertumbu menggun
va fitting pe nambahan s uhan S. Typh nakan DMFit
va fitting pe nambahan s uhan S. Typh nakan DMFit
va fitting pe nambahan s uhan S. Typh nakan DMFit
ngamatan pe sodium me himurium ya t
ngamatan pe sodium met
himurium ya t
ngamatan pe sodium me himurium ya t
engaruh pen etabisulfit 0
ang dikontam
engaruh pen tabisulfit 1 ang dikontam
engaruh pen etabisulfit 1
ang dikontam
nyimpanan s 0.4% (b/v) minasikan p
nyimpanan s .25% (b/v) minasikan p
nyimpanan s 1.5% (b/v) minasikan p
suhu dingin ) terhadap pada udang
suhu dingin ) terhadap pada udang
suhu dingin ) terhadap pada udang
(3)
Lampiran 14. Hasil analisis statistik pengujian antimikroba sodium metabisulfit dengan metode kontak
Oneway
ANOVA
jumlah
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 50.404 15 3.360 31.623 .000
Within Groups 1.700 16 .106
Total 52.104 31
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
jumlah
Duncana konsentra
si N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 5
1.25% 2 2.1505
0.5% 2 2.3010
1% 2 2.3891
1.5% 2 2.4311
0.8% 2 2.7386 2.7386
.65 2 3.2386 3.2386
0.7% 2 3.2386 3.2386
0.45% 2 3.3010 3.3010
0.9% 2 3.3010 3.3010
.95 2 3.5731
0.6% 2 3.6021
0.55% 2 3.6505
0.4% 2 3.8010
.75 2 4.7251
0.85% 2 5.4147
0% 2 7.1800
Sig. .122 .138 .147 .050 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
(4)
Lampiran 15. Hasil analisis statistik pengamatan pengaruh penyimpanan suhu dingin dan penambahan sodium metabisulfit terhadap pertumbuhan
S. Typhimurium yang dikontaminasikan pada udang dan BHIB
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value Label N
Konsentrasi 1.00 BHIB 0% 16
2.00 BHIB 0.4% 16
3.00 BHIB 1.25% 16
4.00 BHIB 1.5% 16
5.00 UDANG 0% 16
6.00 UDANG 0.4% 16
7.00 UDANG 1.25% 16
8.00 UDANG 1.5% 16
Hari 1.00 H0 16
2.00 H1 16
3.00 H2 16
4.00 H3 16
5.00 H4 16
6.00 H5 16
7.00 H6 16
8.00 H7 16
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:jumlah Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 3724.822a 15 248.321 371.199 .000
Konsentrasi 229.310 7 32.759 48.969 .000
Hari 25.025 7 3.575 5.344 .000
Error 75.594 113 .669
Total 3800.416 128
(5)
Post Hoc Tests
konsentrasi
Homogeneous Subsets
jumlah
Duncana,,b
Konsentrasi N
Subset
1 2 3 4 5
UDANG 1.5% 16 2.4675
UDANG 1.25% 16 4.4194
UDANG 0.4% 16 4.8325 4.8325
BHIB 1.5% 16 5.3531 5.3531
UDANG 0% 16 5.4494
BHIB 1.25% 16 5.7713
BHIB 0.4% 16 5.8694
BHIB 0% 16 7.4937
Sig. 1.000 .156 .074 .106 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .669. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = 0.05.
hari
Homogeneous Subsets
jumlah
Duncana,,b
hari N
Subset
1 2 3 4 5
H7 16 4.5275
H6 16 4.7025 4.7025
H5 16 4.8463 4.8463 4.8463
H4 16 5.2025 5.2025 5.2025
H3 16 5.3725 5.3725 5.3725
H2 16 5.5344 5.5344
H1 16 5.6238 5.6238
H0 16 5.8469
Sig. .303 .105 .088 .189 .138
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .669. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = 0.05.
(6)
L L L L Lampiran 16 Lampiran 17 Gambar A B Lampiran 18 Gambar A B Lampiran 19 Gambar a b c d e f g h 6. Persamaa
S. Typhim
Per
7. Persamaa
S. Typh (8+2°C) 106 cfu m
8. Persamaa
S. Typhi suhu din
9. Persamaa
S. Typh penamba
an garis, ma
murium ATC
rsamaan Gari
an garis, ma
himurium p dengan ju ml-1
Persama
an garis, ma
murium Per gin (8+2 °C)
Persama
an garis, ma
himurium p ahan sodium
Persamaan G
y = -0.007x + y = -0.20x + y = -0.40x +
y = -0.010x + y = -0.007x + y = -0.027x +
ax, (fase la
CC 14028 p
is
ax, (fase la
pada BHIB umlah mikro
aan Garis
ax, (fase la
rtumbuhan S
) pada udang
aan Garis
ax, (fase la
pada BHIB m metabisulfi Garis + 6.47 + 6.50 + 6.43 + 5.43 + 5.28 + 5.22
ag) dan R2 d ada suhu op
(j
ag) dan R2 d dan penyi oba awal 1
ag) dan R2 d
S. Typhimuri g dan media
ag) dan R2 d dan udang it yang disim
µm
dari data pe timum µmax
jam-1)
(jam
1.73 1.87
dari data pe impanan su 103 cfu ml
µmax
(jam-1) 0.06
0.05
dari data pe ium pada pen
BHIB µmax
(jam-1) 0.01
0.05
dari data pe g dengan mpan dingin (
max (jam-1)
0.05 2
-0.007 -0.008 -0.013
0.01 5
-0.007 -0.010 -0.027
ertumbuhan
m) R
2 7 0.99 ertumbuhan uhu dingin -1 (a) dan
(jam) R
2
52.73 0.96
29.53 0.98
ertumbuhan nyimpanan
(jam) R
2 56.41 0.99 20.20 0.93 ertumbuhan dan tanpa (8+2 °C)
(jam) R2 29.53 0.98
- 0.96
- 0.90
- 0.96
56.41 0.99
- 0.87
- 0.90
- 0.99
2 6 8 2 9 3 2