Survival of Bacillus cereus spores and vegetative cell on water temperature during the preparation and storage of infant food instan powder

(1)

DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN

PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN

ASI PEBRINA CICILIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ketahanan Spora dan Sel

Vegetatif Bacillus cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama

Penyimpanan Makanan Pendamping ASI Bubuk Instan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Asi Pebrina Cicilia


(3)

ASI PEBRINA CICILIA. Survival of Bacillus cereus spores and vegetative cell on water temperature during the preparation and storage of infant food instan

powder. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, and

SULIANTARI.

Bacillus cereus is one of foodborne pathogenic bacteria and constituting one of ‘emerging’ pathogen that can cause serious disease in baby, such as low

body weight and neonatal premature. Data in Indonesia on B. cereus

contamination incidence in food are limited. This research aimed to evaluate the survival of B. cereus spores and vegetative cell in infant food (MP-ASI), during preparation at various water temperature (30,70, and 90 oC), to analyze the ability germination of B. cereus spores at room temperature and to evaluate the survival of B. cereus spores during storage of infant food instan powder. In addition, the microbiological quality of infant food instan powder i.e. total plate counts and the presence of B. cereus were also determined. The result showed that the average total B. cereus in sample were 1.85 log CFU /g with a range of 1.73 log CFU /g to 2.06 log CFU /g, the TPC was in range of 0.86 log CFU /g to 2.53 log CFU /g. The water temperature for preparation affected significantly in reduction of vegetative cell B. cereus. B. cereus spores can germinate in infant food (MP-ASI) and the growth of population bacteria were increase ≥ 1 log during 3 hours, at room temperature (28-29 oC), after preparation using water at 30 ⁰C. Water temperature of 70 °C found as the optimum temperature for preparation. The spore of B. cereus can survive on dry condition.

Keyword: Bacillus cereus, MP-ASI (Instan powder), preparation temperatures, condition of storage.


(4)

ASI PEBRINA CICILIA. Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus cereus

Terhadap Suhu Awal Preparasi dan Selama Penyimpanan Makanan Pendamping ASI Bubuk Instan. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM dan SULIANTARI.

Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini umumnya ditemukan didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik. Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat pangan.

Produk MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengkaji ketahanan spora Bacillus cereus dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan, menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan tumbuh spora Bacillus cereus. Selain itu, ada tujuan lain dari penelitian ini yaitu mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan secara keseluruhan melalui pengujian total mikroba, mendeteksi dan mengevaluasi keberadaan

Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.

Total mikroba dengan perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 30⁰C menunjukkan rata-rata sebesar 1.93 CFU/g ± 0.66, dengan suhu air preparasi 70⁰C sebesar 1.54 CFU/g ± 0.92, dan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air 90⁰C menghasilkan rata-rata sebesar 1.47 CFU/g ± 0.86. Pada perlakuan pelarutan MP-ASI dengan suhu air preparasi 70⁰C dan 90⁰C, dari 6 sampel yang dianalisa terdapat 1 sampel yang tidak mengandung mikroba yaitu untuk sampel CR II, sedangkan pada perlakuan pelarutan MP-ASI menggunakan suhu air preparasi 30⁰C pada 6 sampel yang dianalisis tersebut ditemukan sejumlah mikroba dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu air preparasi yang digunakan untuk pelarutan MP-ASI memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan dan jumlah mikroba yang terdapat pada MP-ASI bubuk Instan tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh untuk mengurangi atau meminimalisasi sebagian mikroba yang ada didalam produk MP-ASI, disarankan menggunakan air matang dengan suhu 70⁰C, hal ini sesuai dengan saran penyajian yang tertera pada kemasan produk dan sesuai juga dengan WHO yang menyatakan bahwa


(5)

MP-ASI yang tidak mengandung Bacillus cereus yaitu CR I dan CR II. Kandungan Bacillus cereus pada MP-ASI bervariasi mulai dari 1.73 log CFU/g sampai 2.06 log CFU/g. Berdasarkan ketentuan FSANZ (2001), kandungan

Bacillus cereus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang berbahan susu maksimal sebesar 2 log CFU/g produk. Jika dilihat dari ketentuan tersebut maka

Bacillus cereus yang ada pada produk MP-ASI yang diteliti masih dalam batas wajar dan dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi dan didistribusikan.

MP-ASI yang dilarutkan dengan suhu air preparasi 30⁰C, menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah sel Bacillus cereus dari 2.14 menjadi 2.2 log cfu/g setelah dibiarkan pada suhu ruang selama 60 menit. Kecenderungan peningkatan jumlah sel Bacillus cereus tersebut juga ditemukan pada MP-ASI yang dilarutkan dengan air matang suhu 70⁰C dan suhu 90⁰C. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh lamanya penyimpanan larutan MP-ASI pada suhu ruang terhadap pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus, setelah dilakukan proses preparasi.

Perubahan jumlah bakteri terutama sel vegetatif Bacillus cereus setelah pelarutan MP-ASI meningkat secara nyata (α< 0.05). Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu air 30⁰C yang digunakan saat preparasi menghasilkan jumlah log cfu/g paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan suhu air 70⁰C dan perlakuan suhu air 90⁰C. Perlakuan suhu air berbeda nyata dengan waktu pengamatan, dimana pada menit ke-60 jumlah koloni yang diperoleh tinggi dan berbeda nyata dengan menit ke-0 dan menit ke-30. Spora mampu melakukan proses germinasi (spora berubah menjadi sel vegetatif) setelah diberi perlakuan suhu air yang berbeda dengan waktu generasi yang berbeda.

Jumlah bakteri Bacillus cereus mengalami peningkatan berbeda nayata selama penyimpanan (α<0.05). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ternyata spora Bacillus cereus mampu bertahan dan tumbuh selama proses penyimpanan berlangsung. Spora Bacillus cereus mampu melakukan proses germinasi selama proses penyimpanan (8 minggu), pada suhu ruang (± 27⁰C) dengan kelembaban ruang sebesar > 70%. Spora tersebut mampu bertahan terhadap suhu air 70⁰C yang digunakan saat preparasi produk MP-ASI dan dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif Bacillus cereus.

Kata kunci : Bacillus cereus, MP-ASI (bubuk Instan), suhu air preparasi, kondisi penyimpanan.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

DAN SELAMA PENYIMPANAN MAKANAN

PENDAMPING ASI BUBUK INSTAN

ASI PEBRINA CICILIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Nama : Asi Pebrina Cicilia

NIM : F251080161

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc

Ketua Anggota

Dr. Dra. Suliantari, MS.

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan. Rangkaian kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, M.Sc. selaku ketua komisi

pembimbing dan Dr. Suliantari, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

2. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Ilmu Pangan.

3. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA sebagai dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan, komentar, kritik dan saran yang berharga sebagai bentuk lain dari pembimbingan untuk kesempurnaan tesis ini.

4. Ayahanda Drs. Djanius Runting, M.Si, ibunda Dra. Aqsiwa Sandy, dan

Andrie Santoso Runting, SP atas motivasi, semangat, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis dalam suka dan duka.

5. Yulius Triadi Limandra, ST atas perhatian, motivasi dan kasih sayang yang tulus terhadap penulis.

6. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mbak Ari, Bu Sari, Pak Taufik dan Mas Yerris atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.

7. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Pangan, khususnya

sahabat-sahabat saya: Bu Triana, Bu Nurha, Bu Paini Sri, Mas Andi, Mas Zaki, Mas Wahyu, Mas Arief, Mas Isak, Mbak Devy, Mbak Yenni, Mas Zaim, Nono, Wanny Hamdani, Melina Sari, Tinna dan Riyanti.

8. Teman-teman perwira 4, khususnya sahabat-sahabat saya: Bude Endah, Mbak Prima, Kani, Marika Veraria, Mbak Dian, Mbak Dani, dan Risa.

9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik Bapak/Ibu/Saudara/i semuanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

Asi Pebrina Cicilia


(11)

Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 3 Pebruari 1985 sebagai anak ke dua dari ayah Djanius Runting dan ibu Aqsiwa Sandy. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Palangkaraya pada tahun 2002 dan melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya Malang, dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti kepanitiaan dalam kegiatan yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), dan beberapa kali mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan seminar yang berkaitan dengan studi penulis. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Ketahanan Spora dan Sel Vegetatif Bacillus Cereus Terhadap Suhu Awal Preparasi dan

Selama Penyimpanan Makanan Pendamping Asi Bubuk Instan” dibawah bimbingan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, M.Sc dan Dr. Suliantari, MS.


(12)

DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………... PENDAHULUAN ... Latar Belakang ... Rumusan Permasalahan ... Tujuan Penelitian ………. Hipotesis ……….. Manfaat Penelitian ………... TINJAUAN PUSTAKA... Makanan Pendamping ASI ... Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI ... Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI ...

Bacillus cereus ………...

Fitting Model Pertumbuhan ……….. Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi ………...

METODOLOGI………... Waktu dan Tempat Penelitian ... Bahan dan Alat Penelitian ……….. Metodologi .……... Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel Makanan Pendamping ASI……….. Evaluasi Pengaruh Suhu Preparasi dan Penyimpanan MP-ASI (bubuk

instan) terhadap Bacillus cereus ATCC 10876………..

Analisis pendugaan pertumbuhan Bacillus cereus pada produk MP-ASI dengan menggunakan model Baranyi……… Analisa Data………... PEMBAHASAN ………...

Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI ……….. Pengaruh Suhu Air Preparasi terhadap Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI………. Kandungan Bacillus cereus pada Sampel Produk MP-ASI ………… Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI

terhadap sel vegetatif Bacillus cereus ………

Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap

sel vegetatif Bacillus cereus ATCC 10867 ………..

Pengaruh Penyimpanan MP-ASI (bubuk Instan) terhadap spora

Bacillus cereus ATCC 10867 ……….. x xi xii 1 1 4 5 5 6 7 7 9 11 14 22 22 24 24 25 25 26 31 33 34 35 35 37 40 49 54 57


(13)

(14)

1. 2. 3.

4. 5. 6. 7.

Pola Pemberian Makanan Anak Balita ………. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan ……… Standar Mikrobiologik Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi

(dalam CFU) ……… Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus …………. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus cereus ………... Karakteristik penyakit akibat Bacillus cereus ……….. Kadar air dalam persen dan Aw produk MP-ASI………..

10 11

13 14 17 21 37


(15)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Penampakan Bacillus cereus pada media MYP ………... Diagram alir proses penelitian ……….. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan (Plate Count Method) ………... Skema Pengujian Sampel terhadap Bacillus cereus ATCC ..…………... Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan

suhu air preparasi 30o

Total Mikroba produk MP-ASI, setelah preparasi dengan 2 (70°C dan 90°C), suhu yang berbeda dilakukan sebanyak 3 kali ulangan………...

C, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan………...

Berbagai bentuk dan ukuran koloni pada media PCA ……….. Pertumbuhan isolate Bacillus cereus dari MP-ASI pada media agar MYP………... Jumlah koloni Bacillus cereus pada produk MP-ASI, setelah di

preparasi dengan suhu 70°C……… Hasil perwarnaan gram positif terhadap bakteri yang diduga Bacillus cereus pada pembesaran 1000x ……… Hasil pewarnaan spora terhadap bakteri Bacillus cereus pada pembesaran 1000x ……… Tipe pertumbuhan pada medium motilitas setelah diinokulasi dengan

isolat Bacillus cereus ………...

Adanya gelembung udara menunjukkan Bacillus cereus katalase positif. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus alami pada produk PR II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang, dengan suhu air preparasi

30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C……….

Pola pertumbuhan Bacillus cereus alami pada produk B MP-ASI, pada suhu optimum pertumbuhan 30-40°C selama 24 jam dengan suhu air preparasi 70⁰C (♦ data eksperimen, — hasil fitting DMFit) …………. Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus dengan penambahan spora sebesar 103

Perubahan jumlah sel vegetatif Bacillus cereus spora sebesar 2.5x10 , pada produk CR II selama penyimpanan 1 jam pada suhu ruang dengan suhu air preparasi 30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C………….

4 15

, dengan proses penyimpanan MP-ASI produk CR II pada suhu ruang dengan lama pengamatan 60 menit dan suhu air preparasi 70⁰C...

26 28 30 35 38 38 41 42 45 46 47 47 50 52 54 58


(16)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876 ………... Komposisi MP-ASI yang digunakan sebagai sampel pada penelitian …. Hasil uji sidik ragam Total Plate Count pada MP-ASI yang dipreparasi menggunakan 3 suhu air yang berbeda (30⁰, 70⁰ dan 90⁰C)………. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada suhu air

yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk PR II……….. Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (103 Hasil uji sidik ragam jumlah sel vegetatif Bacillus cereus (2.5x10

) pada suhu air yang digunakan saat preparasi MP-ASI produk CR II……….

4 ) selama proses penyimpanan MP-ASI produk CR II ………

70 71 72 74 76 78


(17)

Latar Belakang

Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan air susu ibu sifatnya terbatas sehingga di saat bayi masih membutuhkan air susu ibu untuk pertumbuhannya, maka pemberian makanan tambahan lainnya juga sangat diperlukan untuk pemenuhan gizinya. Makanan jenis ini dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI), dimana komposisi gizi dari makanan ini hampir mirip dengan air susu ibu.

Berdasarkan rekomendasi Resolusi World Health Assembly (WHA) Tahun 2001 dengan ketentuan Menteri Kesehatan yang tertuang dalam SK Menkes No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif pada bayi di Indonesia, menyatakan bahwa bayi perlu diberi ASI ekslusif sampai usia 6 bulan dan dilanjutkan hingga usia 2 (dua) tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai untuk bayi. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut diatas maka ditetapkan bahwa MP-ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan. Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan tunggal maupun makanan campuran untuk dapat memenuhi kecukupan gizi anak. (Hartoyo et al., 2000).

Produk makanan tambahan untuk bayi biasanya dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI yang beredar di Indonesia sangat beragam, baik buatan dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang berbentuk biskuit, bubuk instan dan makanan siap untuk disantap dengan mutu yang beragam. Berdasarkan SNI No. 01-7111 Tahun 2005 Makanan Pendamping ASI terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu : MP-ASI Biskuit, MP-ASI Bubuk Instan, MP-ASI Siap Santap dan MP-ASI Siap Masak

Produk ini sangat disukai oleh ibu dan bayi karena rasanya yang enak serta sangat mudah untuk disajikan. Salah satu bentuk makanan yang memenuhi kriteria tersebut, selain susu formula lanjutan adalah MP-ASI bubuk instan seperti SUN, Promina, Milna, Goodmil, dan Cerelac yang pada proses pengolahan


(18)

biasanya ditambahkan bahan dasar susu bubuk. Susu bubuk merupakan bahan pangan yang tidak steril, karena beberapa bakteri mampu bertahan hidup khususnya bakteri pembentuk spora yaitu kelompok Bacillus terutama Bacillus cereus (Dadhicd, 2006). Makanan pendamping ASI yang formulasinya ditambahkan susu bubuk, dapat dikategorikan ke dalam pangan beresiko tinggi, sehingga membutuhkan persyaratan yang lebih ketat dalam hal penyajian dan penyimpanannya.

Susu bubuk terbuat dari susu murni yang telah mengalami proses pemanasan menjadi bubuk kering yang padat atau tepung susu yang dibuat sebagai kelanjutan dari proses penguapan. Perlakuan pengolahan susu bubuk seperti pemanasan dan pengeringan belum mampu membunuh seluruh mikroba yang pada awalnya sudah ada didalam susu mentahnya, terutama bakteri pembentuk spora. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus spp yang ditemukan dalam susu mentah masih mampu bertahan selama proses pengolahan karena sporanya tahan terhadap proses pemanasan (Muir, 2000).

Bacillus cereus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases). Bakteri ini berbentuk batang, gram positif, membentuk spora, aerobik fakultatif, motil dan non motil, umumnya ditemukan didalam tanah, material tanaman, jerami kering, makanan mentah dan matang, serta mampu membentuk enterotoksin komplek. Enterotoksin terdiri atas protein dengan berat molekul antara 35-50 kDa, diproduksi selama fase pertumbuhan logaritmik (Harmon et al., 1992; Granum dan Lund, 1997; Jay, 2000). Toksin

Bacillus cereus pada umumnya diproduksi atau terbentuk sebelum Bacillus cereus

dalam bahan pangan mencapai jumlah sebanyak 107 sel/ml (Granum et al., 1993). Aas et al., (1992), menyatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung

Bacillus cereus sebanyak > 104

Bakteri ini menyebabkan diare tipe sedang yaitu diare yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 12-24 jam. Diare tipe sedang jika terjadi pada bayi dapat mengganggu pertambahan berat badannya dan apabila terkonsumsi dalam jumlah yang tinggi akan menyebabkan kematian pada bayi. Dosis infeksi sebesar 10

sel/gram atau spora Bacillus cereus, menjadi sumber utama keracunan makanan di Norwegia.

5


(19)

Bentuk bubuk dan bersifat mudah larut, kadang membuat ibu kurang waspada dalam tata cara penyimpanan dan pelarutannya, sehingga tanpa disadari menyebabkan spora bakteri mampu bergerminasi dan tumbuh.

sel/ml (Gianella dan Brasile., 1997; McClane, 2001). Keberadaan Bacillus cereus

enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan level 0,3-600 sel/g.

Produk susu kering dan makanan bayi diketahui sering terkontaminasi oleh bakteri Bacillus cereus.

Kontaminasi pada makanan yang disebabkan oleh Bacillus cereus

biasanya dapat mengakibatkan derajat tingkat kesakitan sedang, tetapi jika mengkonsumsi makanan yang mengandung Bacillus cereus ≥ 10

Bacillus cereus enterotoksigenik terdistribusi secara luas dilingkungan (Labbe, 1989).

5

Spesies Bacillus spp. memiliki kemampuan membentuk spora yang dorman secara metabolik, yang secara ekstrim resisten terhadap stress lingkungan, seperti panas, radiasi, dan bahan kimia toksik (Setlow, 2006; Raju et al., 2007). Kondisi yang resisten menyebabkan spora spesies ini secara signifikan berperan sebagai agen pembusuk makanan dan penyebab penyakit gastrointestinal akibat pangan (Setlow, 2003). Bakteri ini merupakan bakteri yang sering mengkontaminasi berbagai macam makanan, termasuk produk-produk susu dan susu, sereal (terutama beras), dan food aditif (Kramer dan Gilbert, 1989; Becker et al, 1994.).

sel atau spora dapat menyebabkan terjadinya diare akut dan dapat menyebakan kematian. Pada bayi dan balita dosis infeksinya dapat lebih rendah hal ini dikarenakan belum sempurnanya sistem imun pada bayi dan balita, sehingga kelompok ini menjadi lebih peka dibandingkan orang dewasa atau anak-anak yang usianya lebih dari 24 bulan (FSANZ, 2003).


(20)

Rumusan Permasalahan

Bacillus cereus telah diketahui sebagai penyebab keracunan pangan di Eropa sejak tahun 1906, KLB yang disebabkan oleh Bacillus cereus

didokumentasikan pertama kali di Amerika pada tahun 1969 dan di Inggris pertama kali pada tahun 1971 (Jay et al., 2005). Di Indonesia, data mengenai kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh kontaminasi Bacillus cereus

terutama pada produk pangan yang berbahan dasar susu dan sereal masih sangat sedikit, sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengkajian yang lebih lanjut.

Keberadaan Bacillus cereus pada produk olahan berbahan dasar susu dilaporkan oleh Bean dan Griffin (1990), menyatakan bahwa 94% penyakit keracunan disebabkan oleh Bacillus cereus yang pada umumnya berasal dari produk-produk asal susu yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak tepat. Suhu penyimpanan dan kelembaban lingkungan yang tepat untuk susu bubuk maupun produk makanan berbahan dasar susu adalah ± 25⁰C dan RH ≤ 50%. Becker et al., (1994) menemukan adanya kontaminasi dan pertumbuhan Bacillus cereus pada makanan bayi dan produk-produk susu bubuk dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif Bacillus cereus dengan kisaran 0,3-600 sel/g. Penelitian terhadap kontaminasi Bacillus cereus pada makanan bayi dimulai pada tahun 1982/1983 yang menyatakan bahwa 31% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman positif Bacillus cereus. Rowan dan Anderson (1997) menemukan bahwa B. cereus tumbuh di 63 sampel dari 100 sampel susu formula bayi yang diuji setelah proses perlarutan dengan lama waktu 4 jam pada suhu 250C. Beberapa strain B. cereus yang berasal dari makanan bayi di temukan sebagai produsen cereulide (Andersson et al., 2004;. Ehling-Schulz et al., 2005). Di Chile, lebih dari 1,3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak sekolah oleh School Feeding Program mengandung Bacillus cereus. Produk-produk makanan kering, seperti : produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur susu), yang dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada


(21)

temperatur ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi (Kain

et al., 2002).

Pengolahan susu segar menjadi susu bubuk yang nantinya akan digunakan untuk formulasi produk makanan bayi dan balita ternyata tidak dapat mengeliminasi keberadaan spora dari kelompok Bacillus. Susu segar tersebut dikontaminasi oleh Bacillus cereus sesaat setelah proses pemerasan susu, dimana susu tersebut dibiarkan terbuka dan terpapar udara serta debu.

Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002).

Makanan bayi yang mengandung bahan-bahan sereal dan susu adalah yang paling mendukung untuk produksi Bacillus cereus cereulide.

Tujuan Penelitian

1. Mengkaji ketahanan spora dan pertumbuhan sel vegetatif Bacillus cereus

dalam MP-ASI bubuk instan.

2. Menganalisis pengaruh suhu air matang preparasi dan pengaruh lamanya penyimpanan MP-ASI bubuk instan terhadap kemampuan bertahan dan tumbuh spora Bacillus cereus.

3. Mengetahui kualitas mikrobiologi MP-ASI bubuk instan setelah preparasi melalui pengujian total mikroba

4. Mendeteksi keberadaan Bacillus cereus dalam MP-ASI bubuk instan.

Hipotesis

1. Spora Bacillus cereus tahan panas mampu bertahan dan tumbuh di dalam MP-ASI bubuk instan selama penyimpanan.

2. Spora dan sel vegetatif Bacillus cereus mampu bertahan terhadap suhu preparasi.


(22)

3. Jumlah sel vegetatif Bacillus cereus pada MP-ASI meningkat setelah preparasi yang disimpan pada suhu ruang.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai penyedia data bagi penentu kebijakan di bidang kesehatan masyarakat dan industri pengolahan pangan sehingga dapat menjamin bahwa produk MP-ASI bubuk instan tersebut aman untuk dikonsumi.

2. Membantu industri pangan untuk menyikapi dan mengambil langkah pencegahan yang diperlukan.

3. Sebagai landasan untuk memperbaiki tatacara penyajian dan kondisi penyimpanan produk berbahan dasar beras dan susu.


(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan yang ditujukan untuk anak-anak usia dibawah 6 bulan sering disebut makanan bayi (infant food), sedangkan makanan sapihan (weaning food) ditujukan untuk anak-anak usia diatas 6 bulan sampai sekitar 24 atau 36 bulan. Makanan bayi didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan tunggal maupun makanan campuran yang dapat memenuhi kecukupan gizi anak. Makanan jenis ini juga dikenal dengan istilah makanan pendamping ASI (MP-ASI) (Hartoyo et al., 2000).

MP-ASI tidak berperan sebagai pengganti ASI melainkan sebagai pendamping ASI, sehingga dengan pemberian MP-ASI tidak berarti ASI dihentikan. Tujuan pemberian MP-ASI adalah memenuhi kebutuhan zat gizi bayi yang tidak dapat dipenuhi lagi oleh ASI karena bertambahnya umur dan berat badan bayi. Selain itu, pemberian MP-ASI juga bertujuan mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima berbagai macam makanan dengan berbagai rasa dan tekstur, mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung energi tinggi (Anomin, 1992).

Menurut Muchtadi (1994), makanan tambahan untuk bayi sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) nilai energi dan proteinnya tinggi, yaitu 370 Kal/100 gr bahan dan 5.4 gr protein/100 gr bahan (PAG, 1972 dalam Muchtadi, 1994), (b) jumlah yang cukup untuk memenuhi kelengkapan zat gizi yang dianjurkan, (c) dapat diterima dengan baik oleh pencernaan bayi, (d) harga relatif murah, (e) dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal. Makanan tambahan untuk bayi usia 6-8 bulan diberikan lebih sering daripada bayi usia 4-6 bulan, yaitu tiga kali sehari kemudian meningkat menjadi lima kali sehari ketika bayi berusia 12 bulan (WHO, 1997).

Hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan makanan tambahan bagi bayi adalah jumlah dan mutu makanan yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan kesehatan dan pertumbuhan bayi, selain itu yang perlu diingat


(24)

bahwa makanan tersebut juga harus dapat melatih kebiasaan makan yang baik bagi bayi. Hal ini harus diperhatikan karena pada masa tersebut indera pengecap rasa bayi sedang berkembang. Anak sebaiknya hanya diperkenalkan atau dicoba dengan satu makanan saja, kemudian ditunggu satu minggu sebelum diperkenalkan makanan baru lainnya dengan memperhatikan reaksi yang muncul. Jika anak tidak mau makan makanan yang baru, jangan dipaksa, namun dapat ditawarkan kembali pada hari berikutnya. Jika makanan tersebut masih ditolak, tunggu dua atau tiga minggu sebelum ditawarkan kembali (Hartoyo et al., 2000).

Pemberian makanan tambahan sebaliknya diberikan sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur dengan memperhatikan perkembangan anak. Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini, yaitu pada saat bayi berusia kurang dari 4 bulan akan mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga kekuatan bayi untuk menyusui juga berkurang yang akan mengakibatkan produksi ASI berkurang. Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan usia tidak jarang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan alat-alat pencernaan bayi belum kuat untuk menerima makanan. Dalam jangka panjang pemberian makanan tambahan yang terlalu dini akan mengakibatkan obesitas. Sebaliknya keterlambatan pemberian makanan tambahan kepada bayi akan menyebabkan bayi kekurangan kalori dan protein yang selanjutnya juga akan mengakibatkan pertumbuhan anak menjadi terhambat. Tujuan, pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus seiring dengan bertambahnya umur dan berat badan bayi. Apabila berat badan seorang bayi tidak mengalami peningkatan maka hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan gizi bayi tidak terpenuhi secara maksimal. Hal tersebut dapat disebabkan karena asupan makanan bayi hanya mengandalkan ASI saja atau pemberian MP-ASI kurang memenuhi syarat. Disamping itu, faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan bayi juga memberikan pengaruh yang cukup besar (Krisnatuti dan Yenrina, 2000)

Menurut RSCM dan PERSAGI (1994), jenis dan bentuk serta frekuensi makan untuk bayi berusia 6-8 bulan dalam sehari meliputi : ASI diberikan sebanyak 2-6 kali/hari, buah-buahan diberikan sebanyak 1-2 kali/hari, makanan


(25)

lumat sebanyak 2 kali/hari, makanan lembek sebanyak 1 kali/hari dan telur sebanyak 1 kali/ha

Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI

Sejak anak berusia 5 bulan, kebutuhannya akan berbagai zat gizi sudah tidak dapat dipenuhi hanya dengan ASI, maka perlu diberikan makanan tambahan sebagai pendamping ASI (Moehji, 2003). Penberian MP-ASI pertama kali kepada bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran ASI dan makanan lain yang berbentuk padat. Selama proses ini terkadang menjadi masa yang berbahaya karena sering terjadi resiko infeksi yang lebih tinggi terutama penyakit diare. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan konsumsi ASI yang bersih dan mengandung faktor anti-infeksi, menjadi makanan yang seringkali disiapkan, disimpan dan diberikan pada anak dengan cara yang tidak higienis. Masalah kurang gizi lebih banyak terjadi pada masa transisi ini (Muchtadi, 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat Pudjiadi (2001), yang menyatakan bahwa pemberian makanan tambahan sebelum usia 4-5 bulan akan beresiko :

1. Tingginya solute load hingga dapat menimbulkan hyperosmolality

2. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas 3. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan tersebut

4. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat merugikan kesehatan bayi (dilihat dari segi pandang ilmu toksikologi)

5. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat pewarna dan pengawet yang tidak diinginkan

6. Kemungkinan pencemaran dalam menyediakan atau menyimpannya.

Jika terjadi penundaan pemberian makanan tambahan pada bayi dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bayi, hal ini dikarenakan jumlah energi dan zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan bayi yang terus menerus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia bayi tersbut (Pudjiadi, 2001).

Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan.


(26)

Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua tahun dibagi dalam lima tahap seperti tercantum dalam Tabel 1. Sedangkan untuk anak diatas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa.

Tabel 1. Pola Pemberian Makanan Anak Balita

Umur

(bulan) ASI

Makanan Lumat

Halus

Makanan Lumat

Makanan Lunak

Makanan Padat

0-4 X

4-6 X X

6-9 X X

9-12 X X

12-24 X X

Sumber : Depkes RI, 2000

Makanan Bayi Umur 6-9 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan, dan ASI diberikan terlebih dahulu sebelum MP-ASI. Bayi mulai diperkenalkan dengan MP-ASI lumat 2 kali sehari. Sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak kelapa/margarine dapat ditambah sedikit demi sedikit, untuk mempertinggi nilai gizi makanan.

Makanan Bayi Umur 9-12 bulan. Pemberian ASI tetap diteruskan. Pada umur 10 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga secara bertahap. Bentuk makanan adalah lunak dan diberikan 3 kali sehari. Makanan selingan yang bernilai gizi tinggi seperti bubur kacang hijau dan buah diberikan 1 kali sehari.

Makanan Anak Umur 12-24 bulan.

Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4-6 kali sebagai tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2-3 tahun yang dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang sering tapi dengan porsi kecil dikarenakan anak umur 1-3 tahun hanya bisa mengkonsumsi 200-300 ml makanan (Muchtadi, 1994).

Pemberian ASI juga tetap diteruskan, dan pemberian MP-ASI dengan bentuk makanan seperti makanan keluarga diberikan 3 kali sehari. Pemberian makanan selingan 2 kali sehari (Depkes dan Kessos RI, 2000).


(27)

Jenis dan Bentuk Makanan Pendamping ASI

Jenis makanan pendamping-ASI yang pertama kali diberikan kepada anak bayi cukup beragam. Jenis MP-ASI yang diberikan oleh kebanyakan ibu sekitar 78% adalah bubur instant seperti SUN, Promina dan Milna dengan alasan praktis cara membuatnya dan mudah diperoleh. Selain itu juga ada ibu yang memberikan pisang mas (11.9%), bubur beras (6.8%) dan biskuit (3.4%) (Sitti, 2004). Pada Tabel 2. Diketahui bahwa sebagian besar (98.3 %) bentuk MP-ASI yang pertama kali diberikan adalah lumat halus. Hal ini sesuai dengan anjuran Depkes agar bayi umur 4-6 bulan mulai diperkenalkan MP-ASI berbentuk lumat halus karena bayi sudah memiliki reflek mengunyah. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 2. jenis dan bentuk MP-ASI yang umumnya diberikan pada bayi.

Tabel 2. Jenis dan Bentuk MP-ASI yang Pertama Kali Diberikan Jenis dan bentuk MP-ASI

yang diberikan pertama kali

n % (persen)

Jenis MP-ASI Bubur tepung beras

Bubur beras Sun/Promina/Milna Pisang mas Popeda Biskuit 2 3 44 7 1 2 3.4 5.1 74.6 11.9 1.7 3.4 Total 59 100.0 Bentuk MP-ASI Lumat halus Cair 58 1 98.3 1.7

Total 59 100.0

Sumber : Sitti, 2004

Makanan anak baduta harus mengandung enam kelompok bahan pangan, yaitu 1) makanan pokok, 2) kacang-kacangan, 3) bahan pangan hewani, 4) sayuran berwarna, 5) buah-buahan dan 6) lemak dan minyak. Secara komersial, makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biscuit yang dapat dimakan langsung atau dapat dijadikan bubur. Beberapa merek yang beredar di pasaran adalah SUN, Promina, Milna, Goodmil, Cerelac, dan


(28)

sebagainya. Produk makanan bayi komersial ini dibuat dengan teknologi modern dan terkait dengan tatacara produksi yang ketat (Krisnatuti dan Yenrina, 2000).

Untuk menjaga kesehatan masyarakat konsumen, pemerintah membuat berbagai regulasi yang harus dipatuhi oleh produsen, antara lain :

1.) SNI 01-7111.1-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bubuk instant (bagian 1), mencantumkan angka lempeng total 1.0 x 104 koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli harus negatif,

Salmonella harus negatif dalam 25/g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102

2.) SNI 01-7111.2-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) biskuit (bagian 2), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih dari 1.0 x 10

koloni/g dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula(antara lain maple, fruktosa glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) Clostridium botulinum.

4

koloni/g, MPN coliform harus kurang dari 20/gram,

Escherichia coli harus negatif, Salmonella harus negatif dalam 25 gram contoh (sampel), Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102

3.) SNI 01-7111.3-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bagian 3 (siap masak), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih dari 1.0 x 10

koloni/gram dan produk yang menggunakan madu atau sirup gula (antara lain maple, fruktosa, glukosa) harus diproses sehingga bebas (negatif) dari

Clostridium botulinum.

4

koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 20/g, E.coli

harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. tidak lebih dari 1.0 x 102

4.) SNI 01-7111.4-2005 tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bagian 4 (siap santap), mencantumkan angka lempeng total tidak lebih dari 1.0 x 10

koloni/g dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang menggunakan madu atau sirup gula.

2

koloni/g, MPN koliform harus kurang dari 3/g, E.coli

harus negatif, Salmonella harus negatif/25g, Staphylococcus sp. harus negatif dan Clostridium botulinum negatif untuk produk yang menggunakan madu atau sirup gula.


(29)

Selain Indonesia yang memiliki persyaratan mikrobiologi untuk produk susu formula dan makanan bayi, ada beberapa negara yang memiliki kiteria khusus untuk produk susu formula dan makanan bayi yang beredar di negaranya. Peraturan yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi dibuat lebih ketat dan lebih terinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut menggambarkan persyaratan standar mikrobiologi yang tercantum dalam sebuah peraturan di beberapa negara/lembaga yang berhubungan dengan susu formula dan makanan bayi (dalam CFU).

Tabel 3. Standar Mikrobiologi Dalam Peraturan di Beberapa Negara/Lembaga yang Berhubungan Dengan Susu Formula dan Makanan Bayi (dalam CFU/g).

Nama Peraturan Standar

Codex standard n c m M

dalam Code of Hygienic - bakteri aerob mesofilik/g 5 2 5.0 x 102 5.0 x 10 Practice for Powdered - Enterobacteriaceae/10 g 10 2 0 0

3

Formulae for Infants and - E. sakazakii/10g 30 0 0 0 Young Children, - Salmonella negatif/25g 60 0 0 0 CAC/RCP 66-2008,

perbaikan CAC/RCP 21-1979 (CAC 2008)

Canadian standard n c m M

dalam Health Products - Mikroba aerob/g 5 2 1.0 x 103 1.0 x 10 and Food Branch - E. coli/g 10 1 < 1.8 1.0 x 10

4

Standards and Guidelines - Salmonella negatif/25g 20 0 0 0 For Microbiological - S. aureus/g 10 1 1.0 x 10 1.0 x 10 Safety of Food (HPFB - Bacillus cereus/g 10 1 1.0 x 10

2 2

1.0 x 10 2008) - C. perfringens/g 10 1 1.0 x 10

4 2

1.0 x 103 FDA dalam 21 Current - Mikroba aerob/g ≤ 1.0 x 10

Federal Rules (CFR)106- - Koliform/g ≤ 3.05 MPN 4

107 (FDA 1996) - Fekal koliform/g ≤ 3.05 MPN

Salmonella negatif/25 g n=60, c=0, m=0, M=0

L. monocytogenes/g negatif

S. aureus/g ≤ 3.05 MPN

B. cereus/g ≤ 1.0 x 102

Australia-New Zealand n c m M dalam Standard 1.6.1 - B. cereus/g 5 1 1.0 x 102 1.0 x 10 Microbiological Limit for - Koagulase positif 5 1 0 1.0 x 10

3

Food (FSANZ 2001) staphylococci/g

- Kolifrom/g 5 2 < 3 1.0 x 102 - Salmonella negatif/25 g 5 0 0 0 - C. perfringens/g 5 2 < 1 1.0 x 10 - L. monocytogenes/25 g 5 0 0 0 - SPC* / g 5 2 1.0 x 104 1.0 x 105

Keterangan : n = jumlah unit sampel minimal yang harus duji dari sebuah lot makanan, c = jumlah maksimun unit sampel yang diperbolehkan tidak sempurna, m =


(30)

konsentrasi mikroba yang dapat diterima dalam sebuah unit sampel pada 2-class plan, pada 3-class plan nilai ini memisahkan antara kualitas mikroba yang “dapat diterima” dengan “kualitas marginal yang dapat diterima”, M = hanya digunakan pada 3-class plan, yaitu level mikroba yang mengindikasikan potensi bahaya, yang memisahkan antara kualitas marginal yang dapat diterima dan yang harus ditolak; * standard plate count (SPC) pada suhu 300C, selama 72 jam.

Bacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif berbentuk batang besar (>0,9 µm) dengan ukuran panjang sel 3-5 mikron dan lebarnya 1 mikron. Bakteri ini menghasilkan spora yang berbentuk elips dan terletak ditengah-tengah sel. Spora hanya terbentuk bila terdapat oksigen dilingkungan sekitar (aerob fakultatif). Bacillus cereus termasuk salah satu organisme mesofilik yaitu dapat tumbuh pada suhu optimal 30-35◦C (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri

Bacillus cereus mempunyai alat gerak berupa flagella yang jumlahnya lebih dari dua dan mengeliling seluruh permukaan sel bakteri (peritrichous). Bacillus cereus

dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan intoksikasi. Spora sel B.cereus

bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin selama fase eksponensial pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya diare terjadi setelah masa inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus menerus disertai nyeri dan kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah. Enterotoksin dapat ditemukan pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus (Granum dan Baird-Parker 2000). Kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan maksimal Bacillus cereus terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi yang Diperlukan Bagi Pertumbuhan Bacillus cereus

Parameter Nilai data Referensi pH minimal 4.3 Reed, 1994

pH maksimal 9.3 Fluer and Ezepchuk, 1970 % maksimal NaCl 18 Pradhan et al., 1985

Suhu minimal 4◦C FDA, 1998 Suhu maksimal 50◦C FDA, 1998

Bacillus cereus (Gambar 1) mampu tumbuh pada suhu 4-50◦C, dengan suhu optimum 30-40◦C (ICMSF, 1996). Waktu regenerasi pada suhu 30◦C adalah


(31)

26-57 menit, pada suhu 35◦C adalah 18-27 menit (Kramer and Gilbert, 1989). Rentang minimum aktivitas air untuk pertumbuhan sel vegetative adalah 0.91-0.95 (Jenson and Moir, 1997). Spora Bacillus cereus lebih tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan panas lembab. Spora Bacillus cereus dapat bertahan untuk waktu yang lama di produk kering (FSANZ, 2003). Spora yang dihasilkan relatif tahan panas, walaupun nilai D yang dimiliki cenderung bervariasi antara strain. Secara umum, D100 Bacillus cereus berkisar antara 2.5-5.4 menit. Spora ini dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrim dan ketika dibiarkan pada suhu yang dingin, maka kemampuan spora untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel vegetatif relatif lambat. Proses germinasi sporanya cepat dan pada beberapa strain dapat berlangsung dalam waktu 30 menit. Germinasi membutuhkan beberapa molekul protein seperti glisin, alanin, dan basa purin (Batt, 2000). Sel vegetatif dapat tumbuh dan menghasilkan enterotoksin pada kisaran suhu 25-420C. Sel vegetatif Bacillus cereus berbentuk batang dengan lebar 1.0-1.2 μm (Rajkowski et al., 2003). Selain itu, germinasi juga dapat terjadi karena adanya perlakuan pemanasan, pH, dan bahan kimia. Germinasi Bacillus cereus secara optimum terjadi pada suhu 370C (White et al., 1974).


(32)

Sifat Biokimiawi

Bacillus cereus bersifat proteolitik yang kuat yaitu memproduksi enzim (protease, amylase, lecithinase, dan lain-lain) yang dapat memecah protein dan mempunyai sifat yang hampir sama dengan renin sehingga dapat menggumpalkan susu (Fardiaz, 1998). Species ini juga memfermentasi karbohidrat (glukosa dan mannosa). Selain itu, bakteri ini akan tumbuh pada pH 4.3-9.3 dan aktivitas air (Aw) 0.95 (Blackburn and McClure, 2002).

Bacillus cereus membentuk koloni yang spesifik bila ditumbuhkan pada agar darah (Horse Blood Agar), pada suhu 35-37◦

Bacillus cereus memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein, lemak, pati dan karbohidrat lainnya. Oleh karena itu, mikroorganisme ini dapat memanfaatkan berbagai jenis pangan untuk mendukukng pertumbuhannya, tetapi pangan yang mengadung pati merupakan sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs, 2005).

C, selama 48 jam akan membentuk koloni yang mempunyai ukuran besar (4-7µm) dengan permukaan

datar dan berwarna kehijauan. Koloni tersebut biasanya menunjukkan sifat α

-hemolitik, tetapi beberapa strain membentuk β-hemolitik. Pada keadaan anaerobik, koloni berbentuk kecil dengan diameter 2-3 mm, dikelilingi oleh areal

bersifat β-hemolitik yang menyerupai koloni Clostridium perfringens, hanya bedanya bagian tepinya tidak rata (Imam dan Sukamto, 1999).

Media yang cukup selektif digunakan untuk mendeteksi adanya Bacillus cereus dalam bahan makanan adalah agar mannitol egg-yolk polymyxin (MYP). Penambahan polymyxin-B ditujukan untuk menekan pertumbuhan mikroba lain, sedangkan Bacillus cereus sangat resisten terhadap polymyxin-B . Mannitol tidak digunakan oleh Bacillus cereus sehingga akan membentuk koloni yang berwarna merah jambu dengan zona presipitasi di sekelilingnya. Ekstrak daging sapi dan pepton yang ada didalam media MYP berfungsi sebagai sumber nitrogen, vitamin, mineral dan asam amino essensial yang digunakan untuk pertumbuhan Bacillus cereus (Batt, 2000). Untuk uji konfirmasi mengacu pada karakteristik bentuk

Bacillus cereus dan reaksi metabolisme, yaitu mampu memfermentasi glukosa dalam kondisi anaerob, mereduksi nitrat menjadi nitrit, uji Voges Proskauer dan


(33)

motilitas (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penting

Bacillus spp. dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Penting dari Group Species Bacillus spp.

Ciri-ciri Bacillus

cereus Bacillus thuringiensis Bacillus mycoides Bacillus anthracis

Reaksi gram + + + +

Katalase + + + +

Motil +/- +/- - -

Reduksi nitrat + + + + Pengurai

tirosin + + +/- -

Resisten

lisozim + + + +

Reaksi terhadap kuning telur + + + + Uji fermentasi glukosa anaerob + + + +

Reaksi VP + + + +

Produksi asam

dari manitol - - - -

Hemolysis

(domba RBC) + + + -

Karakteristik sifat patogen Produksi enterotoksi n Kristal endotoksin patogen terhadap serangga Rhizoidal growth Patogen terhadap manusia dan hewan

Sumber : BAM, 2001

Habitat

Habitat utama Bacillus cereus adalah lingkungan dan saluran pencernaan. Terutama tanah dan air yang menyebabkan bakteri ini mempunyai peluang yang besar untuk mencemari bahan makanan asal hewan maupun tanaman. Selain itu pencemaran juga bisa terjadi pada ruang proses pengolahan karena bakteri ini dapat menempel pada sepatu, pakaian, dan kulit karyawan, serta dapat melalui udara ataupun debu (Soejoedono, 2002). Genus Bacillus biasanya


(34)

ditemukan pada beberapa jenis pangan, seperti madu, keju, rempah-rempah (Iurlina et al., 2006), nasi yang telah dimasak (From et al., 2007), susu pasteurisasi (Zhou et al., 2008), dan daging (Borge et al., 2001). Pangan yang mengandung lebih dari 104-105 sel atau spora per gram tidak aman untuk dikonsumsi karena dosis infeksi diperkirakan berkisar antara 105-108 sel atau spora per gram (Beattie et al., 1999).

Endospora

Endospora tahan terhadap proses yang secara normal akan membunuh sel bakteri vegetatif, seperti proses pemanasan, pembekuan, pengeringan, penggunaan bahan kimia (desifektan) dan radiasi. Kebanyakan sel vegetatif akan mati dengan temperatur di atas 70◦

Dalam kondisi stress, seperti kekurangan makanan atau dalam lingkungan yang tidak cocok, Bacillus cereus akan mengalami proses sporulasi. Spora tersebut kemudian dapat berubah kembali menjadi sel vegetatif (proses germinasi). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan germinasi

Bacillus cereus antara lain suhu, pH, kandungan oksigen, serta terdapatnya kandungan nitrogen dan karbon (Vlaemynck dan Van Heddeghem, 1992). Spora

Bacillus cereus mampu melekat pada berbagai macam permukaan, terutama permukaan yang terbuat dari bahan hidrofobik. Spora Bacillus cereus juga memiliki sifat tahan panas dan mampu bertahan hidup melalui proses pasteurisasi. Spora psikrotropik kemudian mengalami germinasi dan akan tumbuh kembali selama penyimpanan pada suhu dingin (Kramer dan Gilbert, 1989). Proses pasteurisasi merupakan pemicu germinasi spora, setelah pasteurisasi selesai C, sedangkan endospora dapat bertahan hidup dalam air mendidih untuk beberapa jam atau lebih. Salah satu bakteri yang membentuk spora untuk mempertahankan diri dari lingkungan adalah Bacillus cereus. Spora Bacillus cereus sering ditemukan pada pangan seperti susu, sereal, rempah-rempah, makanan kering, dan pada permukaan daging karena kontaminasi debu atau tanah. Bila kondisi memungkinkan untuk tumbuh, maka spora akan tumbuh menjadi sel vegetatif, beberapa spesies akan menghasilkan toksin yang berakibat dapat menimbulkan gejala penyakit (Naim, 2003).


(35)

mikroba yang tidak tahan panas akan mati dan tak adanya kompetisi mikroba,

Bacillus cereus mampu tumbuh kembali dengan baik (Granum dan Lund, 1997). Pembentukan endospora melibatkan jalur yang membutuhkan energi dan produksi struktur morfologi yang kompleks. Sinyal eksternal (dan mungkin internal) memaksa sel untuk memberikan respon dengan menghambat pembelahan sel dan memulai proses sporulasi. Sporulasi menghasilkan sekat yang membagi sel ke dalam kompartemen dengan ukuran berbeda. Bagian yang lebih kecil disebut forespore. Selama proses sporulasi, beberapa gen diaktifkan secara bertahap; aktivasi gen tertentu dimulai karena adanya komunikasi antara sel induk (mothercell) dan forespore, dengan sinyal yang ditransfer melewati sekat. Pengaturan transkripsi gen spora dipengaruhi oleh aktivasi faktor sigma yang berbeda-beda, yang menentukan spesifitas promoter terhadap RNA polymerase. Pada akhirnya, forespore akan berubah menjadi endospora dan sel induk akan mati karena lisis (Dahl, 1999).

Germinasi Spora

Endospora dapat tumbuh menjadi sel vegetatif apabila kondisi lingkungannya memungkinkan. Proses germinasi dirangsang oleh perlakuan kejutan panas (heat shock) pada suhu subletal, adanya asam amino, glukosa, dan ion-ion magnesium dan mangan. Pada waktu germinasi sifat dorman endospora menghilang sehingga mulai terjadi aktivitas metabolisme yang mengakibatkan sel dapat tumbuh (Fardiaz, 1992).

Proses germinasi dirangsang oleh faktor nutrisi dan nonnutrisi (bahan kimia dan enzim). L-alanin merupakan nutrisi paling umum yang merangsang proses germinasi dengan cara menarik air masuk ke dalam spora dan mengurangi Ca2+

Perubahan struktur yang terjadi pada saat germinasi adalah hidrasi korteks, ekskresi Ca

dan asam dipikolinat sehingga spora kehilangan sifat refraktilnya dan mulai terjadi metabolisme pada inti spora (Pol et al, 2001).

2+

dan DPN serta hilangnya sifat resisten dan refraktil. Sedangkan perubahan fungsional yang terjadi yaitu inisiasi aktivitas metabolik, aktivasi beberapa protease spesifik dan cortex-lytic enzymes, dan pelepasan hasil pelisisan korteks. Germinasi dapat dihambat oleh D-alanin, etanol, EDTA, NaCl


(36)

(konsentrasi tinggi), NO2, dan sorbat. Proses aktivasi spora diperlukan sebelum germinasi untuk reorganisasi makromolekul di dalam spora. Aktivasi spora dapat dilakukan dengan perlakuan panas subletal, radiasi, tekanan tinggi, kombinasi tekanan tinggi dengan oksidator atau reduktor, pH yang ekstrim, dan sonifikasi. Perlakuan tersebut akan meningkatkan permeabilitas struktur spora untuk reorganisasi makromolekul. Setelah germinasi maka akan terjadi proses

outgrowth. Outgrowth meliputi biosisntesis dan perbaikan proses setelah germinasi dan sebelum perumbuhan sel vegetatif. Selama outgrowth akan terjadi pembengkakan spora karena hidrasi dan pengambilan nutrisi, perbaikan dan sintesis RNA, protein dan bahan untuk membran dan dinding sel, pelarutan lapisan luar spora, elongasi sel, dan replikasi DNA. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya outgrowth adalah nutrisi, pH, dan suhu. Setelah

outgrowth maka sel vegetatif keluar dari spora dan mulai tumbuh (Ray, 2004).

Patogenesis

Bakteri Bacillus cereus mempunyai dua tipe toksin yaitu tipe pertama enterotoksin yang biasanya timbul pada produk pangan nabati dan makanan siap saji (Soejoedono, 2002). Toksin ini mengandung protein dengan berat molekul sebesar 38-39 kDa, tidak tahan panas dan akan hancur pada suhu 56◦C selama 5 menit. Bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tinggi sebesar 105 – 107 sel/gram, maka akan menimbulkan gangguan saluran pencernaan berupa sakit perut dan diare tipe sedang. Toksin diare dari Bacillus cereus diproduksi selama fase logaritmik. Enterotoksin tersebut berinteraksi dengan membran sel epitel usus halus dan menyebabkan gejala keracunan pangan yang mirip dengan Clostridium perfringens. Keduanya memproduksi toksin yang merusak membran, tetapi berbeda mekanismenya. Clostridium perfringens membutuhkan ion Ca2+ untuk mengikat sel target dan menyebabkan kebocoran. Kebalikannya Bacillus cereus

enterotoksin menjadi terhambat kemampuannya dalam menyebabkan kebocoran sel karena adanya ion Ca2+

Toksin tipe kedua yaitu emetic toksin yang mengandung peptida dengan berat molekul < 10 kDa dan relatif tahan panas karena tidak hancur pada suhu yang mencapai 120

(Beattie et al., 1999).


(37)

nasi, susu beserta produknya dan bila terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah 105 – 108

Gejala awal keracunan umumnya muncul 6-24 jam setelah mengkonsumsi susu. Lama penyakit sangat pendek sehingga sering diabaikan (Gilbert et al.,

1979). Bacillus cereus baru akan menghasilkan toksin jika tumbuh di dalam usus halus (Harmon et al., 1992). Untuk lebih jelas tentang karakteristik penyakit yang disebabkan oleh

sel/gram sel dapat menyebabkan mual-mual dan muntah (Harmon et al., 1992). Toksin emetik Bacillus cereus adalah cereulide. Molekul toksin ini sangat stabil panas, pH ekstrem, dan proteolisis oleh tripsin. Pembentukan toksin emetic biasanya dihubungkan dengan Bacillus cereus serovar H-1 dan terjadi setelah pembentukan spora. Produksi toksin ini dipengaruhi oleh komposisi media tumbuh. Susu dan media berbasis nasi efektif dalam mendukung pembentukan toksin emetik (Beattie et al., 1999). Menurut Wijnads et al., (2006), Bacillus cereus memiliki empat faktor virulen, yaitu tiga enterotoksin (haemolisin BL/HBL, nono hemolitik enterotoksin/nhE, sitotoksin K) dan cereulide. Haemolisin BL (HBL) dipercayai merupakan toksin diare utama dari Bacillus cereus (Burgess and Horwood, 2006). Beecher and MacMillan (1990), mengidentifikasi bahwa HBL kompleks terdiri atas tiga protein yaitu B, L1 dan L2 yang menurut Beecher and Wong (1997), protein B berperan sebagai komponen pelekat dan protein L1 (36 kDa) dan L2 (45 kDa) sebagai pelisis sel. Toksin ini memiliki aktivitas haemolitik dan dermonekrotik, serta menyebabkan peningkatan permiabilitas vaskuler dan menyebabkan akumulasi cairan di gelung ileum kelinci (Beecher et al., 1995).


(38)

Tabel 6. Karakteristik Penyakit Akibat Bacillus cereus

Sindrom diare Sindrom emetik

Dosis infektif 105 – 107 sel/g 105 – 108 sel/g

Produksi toksin Di usus halus penderita Terbentuk di dalam makanan

Tipe toksin Protein Peptide siklik

Masa inkubasi 8-16 jam (bisa > 24 jam) 0,5-5 jam Lama penyakit 12-24 jam (bisa beberapa hari) 6-24 jam Gejala Sakit perut, diare encer dan ada

mual

Mual, muntah dan lesu Makanan yang

sering terlibat

Produk daging, sup, sayuran, susu dan produk susu, pudding/sausnya

Nasi, nasi goring, pasta, pastry, dan mie

Sumber : Granum dan Lund, 1997

Kasus Cemaran Bacillus cereus pada Makanan Bayi

Keberadaan Bacillus cereus enterotoksigenik dalam makanan bayi telah dilaporkan oleh Becker et al., (1994), dimana dari 261 sampel yang diperiksa, yang berasal dari 17 negara positif terkontaminasi oleh bakteri tersebut. Pada tahun 1992, 70% makanan bayi dan produk susu formula di Jerman juga positif mengandung Bacillus cereus dengan kisaran sebesar 0.3-600 sel/g. Di negara Chile, lebih dari 1.3 juta makanan yang disajikan setiap hari untuk anak-anak sekolah oleh School Feeding Program positif mengandung Bacillus cereus. Makanan yang disajikan tersebut terdiri dari produk-produk kering seperti : produk susu, susu bubuk, pengganti susu, dan makanan penutup yang mengandung susu (misalnya puding karamel, puding susu, dan beras campur susu), yang pada umumnya sering terkontaminasi Bacillus cereus, produk-produk ini dilarutkan di dapur sekolah dan sering dibiarkan pada suhu ruang yang tinggi untuk waktu yang lama sebelum dikonsumsi oleh anak-anak (Kain et al., 2002).

Bacillus cereus dinyatakan sebagai penyebab berbagai infeksi saluran pencernaan. Hal ini terbukti secara signifikan dimana Bacillus cereus menjadi penyebab beberapa infeksi sistemik klinis pada bayi (Hilliard et al., 2003). Rowan dan Anderson (1997), menemukan bahwa Bacillus cereus tumbuh di 63 sampel susu formula dari 100 sampel yang diuji, hal ini terjadi pada susu formula bayi yang dilarutkan kemudian dibiarkan selama 4 jam pada suhu 25⁰C. Baru-baru ini


(39)

beberapa strain Bacillus cereus yang berasal dari makanan bayi juga terungkap sebagai produsen cereulide (toksin emetik) (Andersson et al., 2004;. Ehling-Schulz et al., 2005).

Fitting Model Pertumbuhan

DMFit adalah Excell add-in, dapat digunakan pada Windows 98 dan Excel 97 keatas, untuk membuat fit suatu kurva dimana fase linear didahului dan diikuti oleh fase diam. Perbedaan utama antara model ini dan kurva sigmoid lainnya seperti Gompertz, Logistic, dan lain-lain adalah bahwa fase-mid (mid-phase) sangat dekat dengan linear, tidak seperti kurva sigmoid klasik yang dinyatakan dengan kelengkungan. DMFit adalah bagian dari sistem yang digunakan in-house

di Institute of Food Research untuk membuat model waktu-variasi logaritma dari konsentrasi sel pada sejumlah kultur bakteri (DM: Dynamic Modelling). Hal ini berdasarkan pada model yang sama (Baranyi dan Roberts, 1994) tetapi hanya cocok untuk kurva pertumbuhan. Namun, juga membandingkan parameter-parameter berdasarkan F-test, yang tidak termasuk dalam prosedur DMFit. Model dari program Growth Predictor, didukung oleh UK Food Standards Agency, di download dari situs web yang sama yang dikembangkan oleh DMFit.


(40)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari - September 2011 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast Center PAU Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Makanan Pendamping ASI

Bahan baku yang digunakan dalam analisis sampel adalah 6 merek makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II, SN I dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang ada dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Pengujian dilakukan sebanyak 3 x ulangan dengan waktu yang berbeda.

Media

Media yang digunakan adalah Mannitol-egg yolk-polymyxine agar (MYP/Oxoid CM 0929), egg yolk emulsion dan polymyxin B, Plate Count Agar

(PCA), Tryptone Soya Agar (TSA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Nutrient Agar (NA) dan sulfit indol motility medium (SIM).

Kultur

Kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus yang diisolasi dari sampel makanan pendamping asi (MP-ASI) dan Bacillus cereus

ATCC 10876 sebagai kontrol positif.

Bahan kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah KH2PO4 (buffer fosfat), alkohol 70%, alkohol 95%, akuades, spiritus, hijau malasit, gram’s iodine, safranin, kristal violet-ammonium oksalat, minyak emersi, MnSO4 40 mg/L, CaCl2 100mg/L dan KOH 40%.


(41)

Alat

Alat yang digunakan adalah cawan petri (berdiameter 100 mm, tinggi 15 mm), mikropipet dan tipnya, erlenmeyer (ukuran 50-100 ml), neraca analitik, bunsen, inkubator 30⁰C dan 37⁰C, autoklaf, waterbath, vortex, oven, hockey stick, ose mata bulat, kaca obyek, mikroskop, gunting, plastic HDPE, botol semprot, alumunium foil, batang pengaduk, pipet tetes, termometer, hot plate, bulb, pipet Mohr (ukuran 5 dan10 ml), tabung reaksi bertutup beserta raknya, sendok, labu takar (ukuran 100, 500 dan 1000 ml) dan colony counter.

Metodologi

Tahapan awal penelitian ini adalah pengujian MP-ASI bubuk instan terhadap kualitas mikrobiologi MP-ASI berdasarkan Total Plate Count (mengacu pada BAM, Aerobic Plate Count) dan analisis jumlah awal Bacillus cereus

(mengacu pada BAM, Bacillus cereus). Pada tahap selanjutnya diuji pengaruh variasi suhu air yang digunakan untuk preparasi makanan pendamping ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10876 dan pengaruh masa simpan makanan pendamping ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10876. Sebelum dilakukan penelitian tahap ini, terlebih dahulu dilakukan proses produksi spora dari Bacillus cereus ATCC 10876. Preparasi MP-ASI di penelitian ini menggunakan 3 suhu preparasi yang berbeda (30⁰C, 70⁰C dan 90⁰C) dengan lama penyimpanan pada suhu ruang 60 menit dan untuk pengaruh masa simpan, penyimpanan dilakukan pada suhu ruang ± 27⁰C dengan kelembaban >70% selama 8 minggu. Diagram alir proses penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.


(42)

Isolasi Bacillus cereus dan Analisis Total Mikroba pada Sampel Makanan Pendamping ASI

a. Pengambilan sampel

Sampel makanan pendamping ASI diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang ada dikota Bogor. Sampel yang akan dianalisis adalah 6 merek makanan pendamping asi (bubuk instan), meliputi PR I, PR II, CR I, CR II, SN I dan SII, yang diperoleh dari pasar tradisional dan warung kelontong yang ada dikota Bogor dengan berat 20 g/kemasan. Sampel tersebut langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Sampel komersil

Analisis Total Mikroba (TPC)

Analisis Bacillus cereus

Isolasi Bacillus cereus

Uji konfrimasi

Bacillus cereus

Perwarnaan gram Perwarnaan spora Uji katalase Uji motilitas

Uji reaksi terhadap kuning telur

Bacillus cereus

ATCC 10876

Produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876

Inokulasi spora ke dalam sampel MP-ASI

Analisis Bacillus cereus pada suhu preparasi MP-ASI

Analisis Bacillus cereus terhadap masa simpan MP-ASI

Uji konfrimasi

Bacillus cereus

Perwarnaan gram Perwarnaan spora Uji katalase Uji motilitas

Uji reaksi terhadap kuning telur


(43)

b. Analisis total mikroba

Analisis total mikroba dilakukan dengan merujuk pada metode [BAM]

Bacteriological Analytical Manual (2001a), yaitu sebanyak 20 gram sampel diencerkan dengan 100 ml larutan pengencer Butterfield’s phosphate-buffered

(sesuai dengan petunjuk penyajian yang tertera pada kemasan) dan dihomogenkan. Selanjutnya, dibuat seri pengenceran 10-1 dan 10-2

Rumus perhitungan yang digunakan adalah :

(perbandingan 1:10), dengan mengencerkan 1 ml sampel dari pengenceran sebelumnya kedalam 9 ml larutan pengencer BPB. Pengujian hitungan cawan dilakukan dengan cara menginokulasikan dari masing-masing pengenceran sebanyak 1 ml (duplo) ke dalam cawan petri. Kemudian ditambahkan media Plate Count Agar (PCA) sebanyak 13-15 ml ke dalam cawan petri, digoyangkan di atas meja secara mendatar (membentuk angka 8), lalu dibiarkan memadat. Cawan kemudian diinkubasi selama ± 3 hari pada suhu 37⁰C. Setelah diinkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual

(BAM). Untuk analisis total koloni yang dihitung adalah 25-250 koloni/cawan. Diagram alir proses analisis total mikroba dapat dilihat pada Gambar 3.

N = ΣC/ [1 * n1] + [0.1 * n2 Keterangan :

] * (d)

N = jumlah koloni per ml atau per g produk

ΣC = jumlah koloni yang dihitung n1

n

= jumlah cawan pada pengenceran pertama

2

d = pengenceran pertama cawan yang dihitung = jumlah cawan pada pengenceran kedua


(44)

Gambar 3. Metode Tuang (Pour Plate Method) pada Metode Hitungan Cawan (Plate Count Method)

c. Analisis Bacillus cereus

Analisis Bacillus cereus dilakukan dengan metode modifikasi BAM (2001b). Sebanyak 20 gram sampel bubuk insant diencerkan dengan 100 ml larutan pengencer Butterfield’s phosphate-buffered (sesuai dengan petunjuk penyajian yang tertera pada kemasan) dan pengujian dilakukan dengan cara menginokulasi suspensi sebanyak 1 ml yang dibagi kedalam 3 buah cawan petri yang berisi media mannitol egg yolk polymyxine (MYP) agar padat masing-masing 0.3 ml, 0.3 ml dan 0.4 ml. Suspensi kemudian diratakan pada permukaan media dengan menggunakan hockey stick steril yang terbuat dari kaca. Selanjutnya, cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30⁰C dengan posisi cawan dibalik. Media mannitol egg yolk polymyxine agar (MYP) yang digunakan ditambah dengan egg yolk emulsion dan polymyxin B.

Bacillus cereus tidak memiliki kemampuan untuk memfermentasi mannitol pada media MYP agar, sehingga koloni Bacillus cereus akan menunjukkan warna pink pada media MYP agar. Egg yolk emulsion mengandung lesitin. Lesitin merupakan substrat untuk enzim lesitinase yang diproduksi oleh

Bacillus cereus. Enzim lesitinase dapat menghidrolisis lesitin dan menyebabkan timbulnya zona keruh disekeliling koloni (BD, 2010). Polymyxin B yang


(45)

ditambahkan ke dalam MYP agar merupakan antibiotik yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif (Oxoid, 2001). Bacillus cereus

adalah bakteri gram positif dan sangat resisten terhadap polymyxin B sehingga penambahan polymyxin B tidak akan menghambat pertumbuhan Bacillus cereus

(Batt, 2000). Koloni Bacillus cereus yang tumbuh pada MYP agar dihitung dengan rumus standard plate count. Perhitungan Bacillus cereus, yang dihitung hanya pada cawan yang mengandung jumlah koloni sebanyak 15-150 koloni (BAM, 2001b).

Koloni yang diduga Bacillus cereus kemudian diisolasi dan ditumbuhkan pada media Tryptone Soya Agar miring (TSA) dan disimpan pada lemari pendingin sebagai koloni stok yang nantinya akan diuji konfirmasi Bacillus cereus

secara biokimia.

d. Konfirmasi kultur Bacillus cereus

Uji konfirmasi yang dilakukan adalah pewarnaan spora, pewarnaan gram, uji katalase, uji reaksi terhadap kuning telur dan uji motilitas. Uji konfirmasi kultur Bacillus cereus dilakukan pada kultur yang berumur 24-72 jam.

Prosedur pewarnaan spora (modifikasi Hussey et al., 2007), yaitu dibuat olesan bakteri di atas kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri kemudian digenangi dengan hijau malasit selama 10 menit kemudian diletakkan diatas gelas kimia yang berisi air mendidih, yang dipanaskan diatas penangas air sehingga uap yang dihasilkan akan mengenai kaca objek yang berisi bakteri. Kaca objek kemudian dibilas dengan aquades dan ditiriskan. Selanjutnya, digenangi dengan safranin selama 1 menit. Kemudian dibilas dengan aquades, dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop.

Prosedur perwarnaan gram menurut dilakukan BAM (2001c), yaitu dibuat olesan bakteri di atas kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri lalu digenangi dengan pewarna kristal violet-ammonium oksalat selama 1 menit. Kemudian dibilas dengan aquades dan dikeringkan. Selanjutnya, digenangi dengan Gram’s iodine selama 1 menit, dibilas dengan aquades, dan dikeringkan. Warnanya dihilangkan dengan etanol 95% hingga tidak ada lagi warna biru yang menempel pada kaca objek. Lalu dibilas dengan aquades, dikeringkan, digenangi dengan


(46)

pewarna safranin selama 10-30 detik. Selanjutnya, dibilas dengan aquades, dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop.

Prosedur uji katalase dilakukan menurut Rhodehamel dan Harmon (1998), yaitu disiapkan gelas objek yang bersih. Biakan diambil sebanyak 1 ose kemudian diinokulasi pada kaca objek dan difiksasi. Olesan bakteri kemudian ditetesi dengan H2O2 3% sebanyak 2-3 tetes. Amati perubahan yang terjadi, jika ada gelembung udara maka bakteri tersebut katalase positif (gelembung terbentuk dari hasil penguraian H2O2

Prosedur uji motilitas dilakukan menurut BAM (2001c), yaitu medium motilitas, medium Sulfide-Indole-Motility (SIM) ditusuk dengan jarum yang telah dicelupkan ke dalam kultur isolat Bacillus cereus, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 30⁰C dan diamati tipe pertumbuhan yang terjadi disepanjang garis tusukan. Mikroba yang motil akan tumbuh secara difus menjauhi garis tusukan tersebut. Untuk diagram alir proses analisis Bacillus cereus secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 4.

).

Diencerkan dengan 100 ml BPB (sesuai dengan prosedur penyajian) dan dihomogenkan

Penanaman sebanyak 1 ml pada media MYP agar masing-masing sebanyak 0.3 ; 0.3 dan 0.4 ml kemudian

diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam

Koloni yang berwarna merah jambu dan lecithinase

positif

Uji konfrimasi : pewarnaan gram, pewarnaan spora, uji katalase, uji reaksi terhadap kuning telur, dan uji motilitas Gambar 4. Skema pengujian sampel terhadap Bacillus cereus

Sampel komersil bubuk instant kering sebanyak 20 g


(47)

Evaluasi Pengaruh Suhu Preparasi dan Penyimpanan MP-ASI (bubuk instan) terhadap Bacillus cereus ATCC 10876

a. Pengawetan dan Penyegaran Kultur

Kultur Bacillus cereus ATCC 10876 disegarkan setiap dua minggu pada media agar Tryptone Soya Agar (TSA). Penyegaran dilakukan dengan mengambil 1 ose kultur dan digores pada agar miring TSA yang baru, kemudian diinkubasi pada suhu 30⁰C selama 24 jam. Setelah 24 jam, kultur agar miring disimpan dalam lemari pendingin.

b. Persiapan Spora Bacillus cereus ATCC 10876

Prosedur produksi spora Bacillus cereus ATCC 10876 yaitu koloni

Bacillus cereus ATCC 10876 ditumbuhkan pada media BHIB (Brain Heart Infusion Broth), diinkubasi pada suhu 300C selama 24 jam. Kemudian diambil 1 ml dan ditumbuhkan pada 5 ml BHIB dan diinkubasi pada inkubator bergoyang (200 rpm) dengan suhu 300C selama 48 jam. Selanjutnya supsensi sebanyak 100

μl diambil dan ditransfer ke dalam 1 ml aquades steril dan dihomogenkan

menggunakan vortex. Kemudian ditanam pada nutrient agar (NA) yang mengandung MnSO4 40 mg/l dan CaCl2 100 mg dan ditanam juga pada media NA. Suspensi diinkubasi pada suhu 30⁰C selama 7 hari. Spora dipanen dengan mengosok permukaan media dengan cotton bath steril untuk melepaskan spora dan sel yang tidak bersporulasi. Suspensi tersebut dimasukkan kedalam tabung reaksi steril yang berisi aquades steril 5 ml. Tabung reaksi yang berisi suspensi dan aquades steril divortex agar homogen kemudian dipanaskan didalam waterbath selama 15 menit pada suhu 70°C, hal ini bertujuan untuk membunuh sel vegetatif Bacillus cereus sehingga yang diperoleh adalah spora murni. Kemudian suspensi yang telah dipanaskan tersebut dimasukkan kedalam tabung sentrifuse steril. Kemudian disentrifuse menggunakan sentrifuse (5000 rpm selama 10 menit). Supernatan diambil dan disimpan pada suhu 4⁰C. Terakhir, suspensi yang diperoleh sekitar 109 - 1010 spora/ml.


(48)

c. Persiapan Sampel Makanan Pendamping ASI

Sebanyak 20 gram sampel MP-ASI (bubuk instan) yang telah diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus ATCC 10876 dan sampel yang tidak diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus ATCC 10876 sebagai kontrol positif dilarutkan dengan 100 ml BPB dengan suhu air pelarutan 90⁰, 70⁰, dan 30⁰C. Perlakuan ketiga suhu tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa suhu 70⁰C adalah suhu pelarutan minimal yang disarankan oleh EFSA (2004), suhu 30⁰C merupakan suhu ruang di negara tropis dan suhu 90⁰C merupakan suhu air didalam dispenser. Untuk pelarutan MP-ASI disesuaikan dengan petunjuk penyajian yang tertera dalam kemasan produk MP-ASI.

d. Analisis Pengaruh Suhu Air yang Digunakan Saat Preparasi MP-ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10867

Sebanyak 20 gram sampel MP-ASI diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus ATCC 10876 sebanyak 103 cfu/ml. Sebagai kontrol dibuat juga larutan MP-ASI tanpa ditambahkan spora Bacillus cereus ATCC 10876. Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan menginokulasi 1 ml larutan MP-ASI (bubuk instan), kemudian dimasukkan kedalam media (mannitol egg yolk polymyxine) MYP agar, masing-masing sebanyak 0.3 ml; 0.3 ml dan 0.4 ml kemudian diinkubasi pada suhu 30o

Koloni yang membentuk zona presipitasi warna eosin merah jambu-lavender yang dihitung. Larutan MP-ASI (bubuk instan) selanjutnya disimpan pada suhu ruang dan dilakukan pemeriksaan mikrobiologi setiap 30 menit sekali selama 1 jam. Waktu 1 jam adalah feeding time yang disarankan oleh EFSA (2004) untuk susu formula dan produk MP-ASI (bubuk instan).

C selama 20-24 jam.

e. Analisis Masa Simpan MP-ASI terhadap Bacillus cereus ATCC 10867 Sebanyak 20 gram sampel MP-ASI diinokulasikan dengan spora Bacillus cereus ATCC 10876 sebanyak 2.5 x 103 cfu/ml. Selanjutnya diaduk dengan spatula steril dan dikocok sampai spora tercampur rata dengan makanan pendamping ASI (bubuk instan). MP-ASI (bubuk instan) yang sudah diinokulasi


(49)

dalam oven suhu 55⁰C selama 4 jam.MP-ASI (bubuk instan), kemudian dimasukkan kedalam plastik steril dan disealer. Sebagai kontrol, 20 gram MP-ASI (bubuk instan) yang tidak diinokulasi Bacillus cereus dimasukkan ke dalam kantong plastik steril dan di sealer. Selanjutnya MP-ASI (bubuk instan) baik yang telah diinokulasi Bacillus cereus maupun tidak diinokulasikan disimpan dalam ruangan yang kering, suhu ± 25-27⁰C dan kelembaban ≥ 70%

Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan setiap 2 minggu sekali, dengan cara dan media yang sama seperti pada kajian suhu air yang digunakan saat preparasi. Lamanya penyimpanan MP-ASI selama 2 bulan.

Analisis pendugaan pertumbuhan Bacillus cereus pada produk MP-ASI dengan menggunakan model Baranyi

Analisis untuk menduga pertumbuhan Bacillus cereus menggunakan model prediktif dari Baranyi dengan persamaan berikut:

dengan y(t) = ln x(t) adalah jumlah bakteri pada waktu ke-(t), y0 = ln x0 adalah jumlah bakteri awal, dan v adalah rata-rata kenaikan substrat, yang secara umum diasumsikan sama dengan µmax (growth rate), parameter m mengkarakteristik kurva sebelum fase stasioner , A(t) atau fase lag adalah fungsi integral dari α(t), dan ymax adalah akhir dari fase log yang merupakan ln xmax

y = a x + b

. Kemudian dilanjutkan dengan kurva fitting menggunakan DMFit. Selain itu jika pertumbuhan bersifat linear dihitung menggunakan regresi linear. Bentuk umum dari persamaan linier, dapat dituliskan sebagai berikut:

dengan: a = kelandaian (slope) kurva garis lurus

b = perpotongan (intercept) kurva dengan ‘ordinat’atau sumbu tegak

Regresi yang dimaksudkan adalah pencarian nilai tetapan a dan b berdasarkan deretan data yang ada (jumlah atau pasangan data x-y sebanyak N buah). Sumbu x sebagai jumlah koloni (log cfu ml-1) dan sumbu y adalah waktu


(50)

pengamatan (hari ke-) serta N sebanyak n data pengamatan. Model regresi yang dihasilkan dapat diketahui baik tidaknya dengan R2.

Analisis Data

Program yang digunakan untuk mengolah data adalah SPSS 17, sedangkan tampilan grafik diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ANOVA univariate dan dianalisis lebih lanjut dengan uji Duncan yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang terjadi antara faktor perlakuan yang digunakan beserta interaksinya.

Untuk kajian suhu preparasi MP-ASI dan kajian penyimpanan MP-ASI dianalisis menggunakan analisis ragam dua arah dengan uji lanjut Duncan. Kajian suhu preparasi MP-ASI yang menjadi faktor pertama adalah suhu air yang digunakan dan faktor kedua adalah waktu pengamatan. Sedangkan untuk kajian penyimpanan MP-ASI yang menjadi faktor pertama adalah masa simpan MP-ASI dan faktor kedua adalah waktu pengamatan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktor.


(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Mikroba pada Sampel Produk MP-ASI

Total mikroba pada bahan pangan umumnya mengindikasikan praktek sanitasi yang diterapkan dalam suatu kegiatan proses produksi, transportasi dan penyimpanan pangan (ACT Health, 2006). Analisis total mikroba pada sampel dilakukan untuk mengetahui mutu mikrobiologi sampel produk MP-ASI (bubuk instan). Mutu mikrobiologi pangan perlu diketahui untuk melihat tingkat cemaran mikroba pada produk pangan tersebut, sehingga dapat diketahui risiko keamanannya apabila dikonsumsi.

Gambar 5. Total mikroba produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan suhu air preparasi 30⁰C , dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

Dari Gambar 5. di atas, dapat dilihat bahwa total mikroba pada produk MP-ASI setelah preparasi dengan menggunakan suhu air preparasi 30⁰C. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk MP-ASI dapat menjadi sumber makanan yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Berdasarkan Gambar 5. produk CR (I dan II) memiliki Angka Lempeng Total (ALT) yang lebih rendah dibandingkan

produk yang lain (α = 0,05). Total mikroba yang tinggi pada bahan pangan 2,36 2,53 1,08 1,12 2,08 2,39 0,80 1,05 1,30 1,55 1,80 2,05 2,30 2,55

PR I PR II CR I CR II SN I SN II

T o ta l M ik ro b a ( lo g c fu /g )


(1)

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

Value Label N

Suhu 1.00 30.00 6

2.00 70.00 6

3.00 90.00 6

Waktu 1.00 .00 6

2.00 30.00 6

3.00 60.00 6

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Koloni Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 78.864a 5 15.773 7122.434 .000

Suhu .104 2 .052 23.378 .000

Waktu .051 2 .026 11.570 .001

Error .029 13 .002

Total 78.893 18

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)

Post Hoc Tests Suhu

Homogeneous Subsets

Koloni

Duncana,,b

Suhu N

Subset

1 2

90.00 6 2.0350

70.00 6 2.0400

30.00 6 2.1983

Sig. .857 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .002.


(2)

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b. Alpha = 0.05.

Waktu

Homogeneous Subsets Koloni

Duncana,,b

Waktu N

Subset

1 2

.00 6 2.0300

30.00 6 2.0833

60.00 6 2.1600

Sig. .071 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .002.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


(3)

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

Suhu 1.00 30.00 6

2.00 70.00 6

3.00 90.00 6

Waktu 1.00 .00 6

2.00 30.00 6

3.00 60.00 6

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Koloni Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 81.889a 5 16.378 37869.514 .000

Suhu .045 2 .023 52.347 .000

Waktu .009 2 .004 10.187 .002

Error .006 13 .000

Total 81.894 18

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Post Hoc Tests Suhu

Homogeneous Subsets Koloni

Duncana,,b

Suhu N

Subset

1 2

70.00 6 2.0850

90.00 6 2.1100

30.00 6 2.2017

Sig. .058 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .000.


(4)

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

b. Alpha = 0.05.

Waktu

Homogeneous Subsets Koloni

Duncana,,b

Waktu N

Subset

1 2

.00 6 2.1083

30.00 6 2.1267

60.00 6 2.1617

Sig. .151 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .000.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


(5)

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

Value Label N

Penyimpanan 1.00 .00 6

2.00 2.00 6

3.00 4.00 6

4.00 6.00 6

5.00 8.00 6

Waktu 1.00 .00 10

2.00 30.00 10

3.00 60.00 10

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Koloni Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 74.354a 7 10.622 3983.454 .000

Penyimpanan .258 4 .064 24.159 .000

Waktu .180 2 .090 33.843 .000

Error .061 23 .003

Total 74.415 30


(6)

Post Hoc Tests Penyimpanan

Homogeneous Subsets

Koloni

Duncana,,b

Penyimpanan N

Subset

1 2 3 4

.00 6 1.4600

2.00 6 1.5000 1.5000

4.00 6 1.5567 1.5567

6.00 6 1.6050

8.00 6 1.7267

Sig. .193 .070 .119 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .003. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = 0.05.

Pengamatan

Homogeneous Subsets

Koloni

Duncana,,b

Pengamatan N

Subset

1 2 3

.00 10 1.4640

30.00 10 1.5970

60.00 10 1.6480

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .003. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000. b. Alpha = 0.05.