Removing ammonia gaseous emission by using biofilter at pilot scale. Case study PTPN VIII, Cikumpay factory, Purwakarta, West Java

PENGHILANGAN POLUTAN GAS AMONIAK
DENGAN BIOFILTER SKALA PILOT
Studi Kasus : PTPN VIII Pabrik Karet Cikumpay,
Purwakarta, Jawa Barat

PUJI RAHMAWATI NURCAHYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Penghilangan
Polutan Gas Amoniak dengan Biofilter Skala Pilot. Studi Kasus : PTPN VIII
Pabrik Karet Cikumpay, Purwakarta, Jawa Barat” merupakan karya tulis saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2010

Puji Rahmawati Nurcahyani
F351060081

ABSTRACT
PUJI RAHMAWATI NURCAHYANI. Removing ammonia gaseous emission
by using biofilter at pilot scale. Case study : PTPN VIII, Cikumpay factory,
Purwakarta, West Java. Supervised by MOHAMAD YANI and NASTITI SISWI
INDRASTI.
Ammonia gaseous has a great potential to be a pollutant in rubber
processing industries. The largest source of pollutant is at condensed latex
processing. Therefore, biofilter was applied to remove emission of ammonia
gaseous from the process.
The objectives of this research were (1) to determine the level of physical
and chemical absorption to ammonia sourness in forest soil based packing-bed
material mixed with compost and carbonized rice husk, and (2) to determine the
performance of biofilter to remove ammonia gaseous at pilot scale.
Packing bed materials used were forest soil, bokashi compost and

carbonized rice husk. The treatment of K111 was packed with forest soil, bokashi
compost and carbonized rice husk with composised by 1:1:1. K112 was 1:1:2,
K121 was 1:2:1, and K122 was 1:2:2. Physical and chemical characteristics of
packing-bed materials within 5 parameters were obtained at ranked level of
K112>K122>K111>K121. Carbonized rice husk influenced on physical chemical characteristics of packing-bed materials, such as density, total porosity,
water filled pore space and maximum capacity of loading, except air filled pore
space. Those compositions were applied as packing bed materials to biofilters.
Composition treatment of K111, K112, K121, K122 were applied to packing bed
materials of B111, B112, B121 and B122.
Biofilter were applied on pilot scale with 250 liters volume. For 55 days
operation, ammonia pollutant concentrations were fluctuated from 0.18 to 68.66
ppm. Parameters inlet and outlet ammonia concentration, physical and chemical
characteristics, population of ammonia oxidation bacteria and biofiltration process
were monitored. Maximum removal capacities of B111, B112, B121 and B122
biofilters were 0.97, 1.46, 1.03 and 1.62 g-N/kg dry media. The result of
biofiltration
performance
for
11
parameters

showed
that
B112>B122>B121>B111.
The best biofilter was determined by its ability in removing pollutant and
the cost of required packing-bed. The price of packing bed materials from the
lower prices were B111K121. Arang
sekam memberikan pengaruh pada karakteristik fisik-kimia bahan pengisi,
diantaranya pada densitas, total porositas, pori memegang air dan kapasitas
maksimum terhadap beban. Namun arang sekam tidak mempengaruhi besar pori
memegang udara bahan pengisi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
penambahan arang sekam yang lebih banyak dapat meningkatkan porositas bahan.
Dalam hal ini dapat memperbesar kemampuan pori memegang air sehingga
berpengaruh nyata untuk proses absorbsi fisik kimia gas amoniak. Adanya
penambahan kompos bokasi yang lebih banyak tidak memberikan pengaruh
terhadap penambahan kemampuan pori memegang air, sehingga kapasitas
penyerapan bahan terhadap gas amoniak cenderung lebih kecil.
Komposisi tersebut diterapkan sebagai bahan pengisi biofilter. Perlakuan
B111 merupakan penggandaan skala dari K111, demikian halnya perlakuan
lainnya. Penelitian biofilter dilakukan pada skala pilot yaitu pada volume 250 l
selama 55 hari. Selama biofilter dioperasikan, diperoleh fluktuasi konsentrasi

polutan gas amoniak yang berkisar antara 0.18-68.66 ppm. Kapasitas maksimum
penghilangan amoniak B111, B112, B121 dan B122 adalah 0.97 g-N/kg bahan
kering, 1.46 g-N/kg bahan kering, 1.03 g-N/kg bahan kering dan 1.62 g-N/kg
bahan kering. Kadar nitrat yang terbentuk pada bahan pengisi B111, B112, B121
dan B122 adalah 39.06 g-N/kg bahan kering/hari, 61.38 g-N/kg bahan kering/hari,
44.64 g-N/kg bahan kering/hari dan 47.43 g-N/kg bahan kering/hari. Hasil
penilaian terhadap kemampuan biofiltrasi terhadap 11 parameter menunjukkan
kinerja B112>B122>B121>B111.
Biofilter terbaik ditentukan dari kemampuan penghilangan polutan amoniak
dan harga bahan pengisi yang dibutuhkan. Harga bahan pengisi dari yang paling
murah adalah B111, B112, B122 dan B121, masing-masing adalah Rp. 61 388,- ,
Rp. 62 558,- , Rp. 67 688,- dan Rp. 117 660,-. Oleh karena itu, B112 yang berisi
tanah, kompos bokashi dan arang sekam dengan perbandingan 1:1:2 merupakan
biofilter terbaik.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis inni tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suau masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGHILANGAN POLUTAN GAS AMONIAK DENGAN
BIOFILTER SKALA PILOT
Studi Kasus : PTPN VIII Pabrik Karet Cikumpay, Purwakarta,
Jawa Barat

PUJI RAHMAWATI NURCAHYANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2010

Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi

Judul Tesis

: PENGHILANGAN
POLUTAN
GAS
AMONIAK
DENGAN BIOFILTER SKALA PILOT. Studi Kasus :
PTPN VIII Pabrik Karet Cikumpay, Purwakarta, Jawa
Barat.

Nama

: Puji Rahmawati Nurcahyani

NRP


: F351060081

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mohamad Yani, M Eng.
Ketua

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Machfud. MS

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


Tanggal Ujian :

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah
memberikan kekuatan dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada :
1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M Eng atas bimbingan, motivasi, kesempatan
untuk penelitian dan segala bantuan yang diberikan.
2. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti sebagai anggota komisi pembimbing,
terima kasih atas bimbingan dan motivasi selama penelitian.
3. Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri
Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
4. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku penguji luar komisi pada
ujian tesis di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
5. Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, MSi selaku penguji dari Program Studi

Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
6. Para guru selama 10 tahun di Teknologi Industri Pertanian, Institut
Pertanian Bogor atas setiap ilmu yang diberikan.
7. Muhammad Nur Fajri Alfata, ST, MT atas saran, kritik dan semangat
selama penulisan laporan tesis.
8. Keluarga besar PTPN VIII, Pabrik Suka Maju, Sukabumi dan Pabrik
Cikumpay, Purwakarta, Jawa Barat atas izin penelitian di lingkungan
pabrik.
9. Rekan-rekan penelitian serta semua pihak yang memberikan semangat,
bantuan, kritik dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan tesis ini.
Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
yang memerlukannya.

Puji Rahmawati Nurcahyani

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang dilahirkan di Tuban

Jawa Timur pada tanggal 17 Februari 1982 oleh pasangan bapak Drs.
Poedjohoetomo dan ibu Dra. Sri Ari Sumaryati.
Pendidikan dasar hingga menengah atas penulis selesaikan di Tuban, Jawa
Timur. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor
melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Studi sarjana diselesaikan tahun
2006 dari Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi magister di Program Studi
Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Selama menjalankan studi, penulis tergabung dalam penelitian yang
berkaitan dengan proses biofiltrasi. Penelitian tersebut di danai oleh Direktorat
Perguruan Tinggi sebagai dana kompetisi Hibah Bersaing di tahun 2007-2008
dan Hibah Kompetensi di tahun 2009. Penelitian tersebut melengkapi sisi
keilmuan dan data yang penulis butuhkan selama studi dan proses penyusunan
tesis.

Untuk Bapak dan Ibuku yang telah membesarkanku
serta adik-adikku yang selalu membuat hari-hari ini ceria

DAFTAR ISI


Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. xv
PENDAHULUAN .....................................................................................................
Latar Belakang.................................................................................................
Perumusan Masalah ........................................................................................
Tujuan Penelitian ............................................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................................

1
1
3
5
5

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 7
Pencemaran Gas Amoniak di Lingkungan PTPN VIII, Pabrik Cikumpay,
Purwakarta, Jawa Barat ................................................................................... 7
Pengendalian Pencemaran Amoniak ............................................................ 11
Pengendalian Emisi Gas secara Fisik dan Kimia ............................................ 12
Pengendalian Emisi Gas secara Biologis......................................................... 13
Kinerja Biofilter............................................................................................... 15
Pengembangan Teknik Biofilter untuk Pengendalian Emisi Gas.................... 16
Bakteri Pengoksidasi Amoniak ...................................................................... 20
Denitrifikasi ..................................................................................................... 22
METODOLOGI PENELITIAN................................................................................. 24
Tempat dan Waktu........................................................................................... 24
Bahan dan Alat ................................................................................................ 24
Karakterisasi Fisik Kimia Bahan Pengisi ........................................................ 24
Penyiapan Starter Bakteri Nitrosomonas sp. ................................................... 25
Perancangan Kolom Biofilter .......................................................................... 26
Penyiapan Bahan Pengisi................................................................................. 27
Pengoperasian Biofilter di Skala Lapangan..................................................... 28
Analisa Data .................................................................................................... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................................. 30
Karakteristik Fisik Kimia Bahan Pengisi ........................................................ 30
Komposisi Bahan Pengisi Biofilter ................................................................. 33
Sistem Biofiltrasi ............................................................................................. 35
Identifikasi Gas Amoniak di PTPN VIII, Pabrik Cikumpay,
Purwakarta, Jawa Barat............................................................................ 35
Kinerja Biofilter B111 ............................................................................. 38
Kinerja Biofilter B112 ............................................................................. 47
Kinerja Biofilter B121 ............................................................................. 54

xi

Kinerja Biofilter B122 ............................................................................. 63
Perbandingan Kinerja Biofilter B111, B112, B121 dan B122. ....................... 72
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 77
LAMPIRAN............................................................................................................... 80

xii

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Dampak amoniak.......................................................................................... 7
2. Baku mutu tingkat kebauan ..........................................................................12
3. Rangkaian penelitian pengembangan biofilter ...........................................17
4. Bakteri pengoksidasi amoniak dan nitrit ......................................................21
5. Pengujian fisik bahan pengisi.......................................................................25
6. Komposisi campuran bahan pengisi pada skala laboratorium. ....................25
7. Parameter pengambilan contoh selama biofilter dioperasikan ...................28
8. Karakteristik fisik campuran bahan pengisi beberapa komposisi ................31
9. Hasil metode skoring dari setiap perlakuan..................................................32
10. Komposisi bahan pengisi biofilter................................................................34
11. Karakteristik awal bahan pengisi biofilter....................................................34
12. Penilaian terhadap kinerja biofilter 111, 112, 121 dan 122..........................72
13. Harga bahan pengisi masing-masing biofilter..............................................74

xiii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Pembuatan starter bakteri. (a) Isolat Nitrosomonas sp., (b) Inokulasi ke
media amonium dalam erlenmeyer 500 ml, (c) Penggandaan skala ke
volume 15 l................................................................................................ 26

2.

Desain penerapan biofilter pada skala 250 l pada industri karet. (a)
Pompa udara, (b) Kolom untuk bahan pengisi, (c) Kran pengatur laju
aliran udara, (d) Kran uji inlet, (e) Kran uji outlet, (f) Kran
buangan..................................................................................................... 27

3.

Bahan pengisi yang digunakan dalam biofilter (a) Kompos bokashi, (b)
Tanah hutan, (c) Arang sekam.................................................................. 27

4.

Diagram alir kegiatan pengolahan lateks pekat di PTPN VIII, Pabrik
Cikumpay, Purwakarta, Jawa Barat…………………………………….. 36

5.

Berat bersih penerimaan lateks harian di ruang lateks pekat periode
Agustus – Desember 2009………………………………………………. 37

6.

Sebaran amoniak dalam ruangan lateks pekat, PTPN VIII, Pabrik
Cikumpay, Purwakarta, Jawa Barat……………………………….......... 37

7.

Perubahan konsentrasi amoniak dalam bahan pengisi biofilter
B111……………………………………………………………………... 38

8.

Perubahan beban inlet dan outlet amoniak dalam bahan pengisi biofilter
B111 selama 55 hari...…………………………………………............... 40

9.

Perubahan kondisi proses dalam biofiltrasi amoniak kolom B111. (a)
Kadar air, (b) Nilai pH, (c) Jumlah sel bakteri heterotrof, (d) Jumlah sel
bakteri Nitrosomonas sp………………………………………………... 42

10. Perubahan senyawa kimia dalam bahan pengisi biofilter B111 selama
dioperasikan. (a) Konsentrasi amonium, (b) Konsentrasi nitrat, (c)
Konsentrasi nitrogen total......................................................................... 45
11. Kapasitas penyerapan biofilter B111 terhadap beban…………………...

46

12. Perubahan konsentrasi amoniak dalam bahan pengisi biofilter B112..…. 47
13. Perubahan beban inlet-outlet amoniak dalam bahan pengisi biofilter
B112 selama 55 hari.................................................................................. 49
14. Perubahan kondisi proses dalam biofiltrasi amoniak kolom B112. (a)

xiv

Kadar air, (b) Nilai pH, (c) Jumlah sel bakteri heterotrof, (d) Jumlah sel
bakteri Nitrosomonas sp........................................................................... 50
15. Perubahan senyawa kimia dalam bahan pengisi biofilter B112. (a)
Konsentrasi amonium, (b) Konsentrasi nitrat, (c) Konsentrasi nitrogen
total............................................................................................................ 53
16. Kapasitas penyerapan biofilter B112 terhadap beban…………………...

54

17. Perubahan konsentrasi amoniak dalam bahan pengisi biofilter B121…... 55
18. Perubahan beban inlet dan outlet amoniak dalam bahan pengisi biofilter
B121 selama 55 hari…...………………………………………………... 56
19. Perubahan kondisi proses dalam biofiltrasi amoniak kolom B121. (a)
Kadar air, (b) Nilai pH, (c) Jumlah sel bakteri heterotrof, (d) Jumlah sel
bakteri Nitrosomonas sp………………………………………………… 59
20. Perubahan senyawa kimia dalam bahan pengisi biofilter B121. (a)
Konsentrasi amonium, (b) Konsentrasi nitrat, (c) Konsentrasi nitrogen
total……………………………………………………………………… 61
21. Kapasitas penyerapan biofilter B121 terhadap beban…………………...

63

22. Perubahan konsentrasi amoniak dalam bahan pengisi biofilter B122…... 64
23. Perubahan beban inlet dan outlet amoniak dalam bahan pengisi biofilter
B122 selama 55 hari...…………………………………………………... 65
24. Perubahan kondisi proses dalam biofiltrasi amoniak kolom B122. (a)
Kadar air, (b) Jumlah sel bakteri Nitrosomonas sp., (c) Jumlah sel
bakteri heterotrof, (d) Nilai pH…………………………………………. 68
25. Perubahan senyawa kimia dalam bahan pengisi biofilter B122. (a)
Konsentrasi amonium, (b) Konsentrasi nitrat, (c) Konsentrasi nitrogen
total……………………………………………………………………… 70
26. Kapasitas penyerapan biofilter B122 terhadap beban..………………….

71

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Prosedur analisis amoniak (SNI 06-2479-1991, 1991) .................................. 80
2. Perhitungan analisa data ................................................................................. 80
3. Prosedur analisis proksimat............................................................................ 81
4. Prosedur pengukuran nitrat (SK. SNI M-49-1990-03, 1990)......................... 82
5. Prosedur pengukuran amonium dengan metode kjeldahl.. ............................ 82
6. Prosedur pengujian total porositas dengan metode gravimetri....................... 83
7. Prosedur pengujian densitas bahan................................................................. 83
8. Metode Total Plate Count (TPC) untuk sel bakteri heterotrof. ..................... 84
9. Persiapan media amonium untuk sel Nitrosomonas sp.. ............................... 85
10. Metode Most Probable Number (MPN) untuk sel Nitrosomonas sp ............. 85
11. Data dan hasil analisis keragaman (ANOVA). .............................................. 86
12. Uji lanjut statistik (Uji Jarak Duncan)............................................................ 88
13. Data konsentrasi amoniak biofilter B111 ....................................................... 91
14. Data konsentrasi amoniak biofilter B112 ....................................................... 92
15. Data konsentrasi amoniak biofilter B121 ....................................................... 93
16. Data konsentrasi amoniak biofilter B122 ....................................................... 94

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan hidup pun
meningkat. Hal ini menjadi tolok ukur produksi barang dan jasa yang dibutuhkan
manusia sehingga jumlahnya semakin meningkat. Adanya kegiatan produksi yang
semakin meningkat maka konsekuensi yang harus ditanggung oleh perusahaan adalah
meningkatnya jumlah produk samping dan limbah dari proses produksi tersebut.
Bahaya limbah tersebut dapat dihasilkan dari limbah padat, cair maupun gas yang
dihasilkan secara kontinyu baik oleh kegiatan produksi, gudang penyimpanan bahan
baku maupun dari instalasi pengolahan limbah.
Pada wilayah agroindustri, salah satu komoditas yang selama ini menjadi
andalan ekspor adalah karet dan barang karet di samping CPO yang tetap menjadi
primadona ekspor. Indonesia merupakan negara dengan luas lahan karet terbesar di
dunia yaitu memiliki luas areal mencapai 3,40 juta hektare (2009). Indonesia telah
mengungguli areal karet Thailand (2,67 juta hektare) dan Malaysia (1,02 juta hektare).
Namun, hingga tahun lalu, produksi karet nasional yang mencapai 2,4 juta ton masih
berada di bawah Thailand yang berhasil memproduksi 3,10 juta ton karet per tahun.
Malaysia berada di urutan ketiga dengan produksi 951 ribu. Membaiknya
perekonomian dunia, khususnya Cina, turut berdampak pada prospek karet ke depan.
Indonesia pun berpeluang untuk menjadi produsen utama di dunia karena memiliki
potensi sumber daya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi (Republika,
2010). Disamping dari negara tersebut, permintaan dari negara industri lainnya juga
cukup tinggi seperti India, Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara industri
di Eropa.
Pertumbuhan industri karet ini disamping memberikan dampak positif juga
memberikan dampak negatif dimana salah satunya berupa pencemaran udara yang
dapat membahayakan kesehatan manusia. Diperkirakan pencemaran udara akibat
kegiatan industri akan meningkat 10 kali pada tahun 2020 dari tahun 2000. Penelitian
yang dilakukan merupakan evaluasi pencemaran udara pada lingkungan agroindustri.
Sumber pencemaran tersebut berasal dari proses produksi, bahan baku dan limbah
yang dihasilkan. Pada proses produksi dihasilkan empat jenis produk karet antara lain
Crumb Rubber (CR), Ribbed Smoke Sheet (RSS), Thin Pale Creep (TPC) dan Lateks

2
Pekat dengan masing-masing proses menggunakan bahan baku karet alam yang
sangat berbau.
Emisi gas amoniak baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak dapat
berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan kesehatan. Dampak bagi lingkungan
hidup diantaranya tercemarinya udara bersih dengan kebauan amoniak yang
menyengat, selain itu amoniak merupakan gas yang berkontribusi pada proses
terjadinya pemanasan global dan hujan asam. Amoniak merupakan gas yang sangat
berbau, sangat mudah terbang sehingga sangat mengganggu pernafasan dan
menyebabkan perih di mata. Ketika amoniak ini teroksidasi menjadi nitrit akan
bersifat toksik dan dapat menyebabkan keracunan. Menurut Soemirat (2002) masalah
kebauan ini jika berlangsung terus menerus dapat bersifat iritan pada paru-paru dan
efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Gejala yang ditimbulkan
adalah kehilangan kemampuan membau, batuk, sesak nafas, iritasi selaput lendir
mata, muntah, pusing, sakit kepala dan pada konsentrasi bau yang tidak dapat ditolerir
sehingga dapat menimbulkan kematian.
Beberapa metode pengendalian pencemaran udara telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Metode pengendalian secara fisik dan kimia antara lain kondensasi,
insinerasi, adsorbsi, absorbsi dan sistem membran. Metode fisik-kimia memiliki
berbagai kelemahan, yaitu gas tidak musnah sempurna, tetapi justru memberi dampak
lain dengan adanya residu maupun senyawa gas lain yang dapat membahayakan
lingkungan. Dalam hal ini dilakukan pengkajian terhadap penggunaan agen biologis
untuk mendegradasi polutan sehingga gas dapat dibuang ke lingkungan tanpa ada efek
samping. Perlakuan gas secara biologi memanfaatkan kemampuan mikroorganisme
yang dapat mengubah senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana (Devinny
et al., 1999).
Penanganan polusi gas yang berbau secara biologis terbagi atas dua metode
yaitu: sistem gas-padatan dan sistem gas-cairan. Biofilter merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk penghilangan gas berbau secara biologis. Cara lainnya
adalah dengan menggunakan metode bioscrubber dan metode biotrickling filter
(Devinny et al., 1999, Hirai et al., 2001).
Biofilter merupakan teknologi yang sedang dikembangkan untuk pengendalian
pencemaran udara. Industri yang menghasilkan polutan berbahaya dapat menerapkan
teknologi ini dengan berbagai keuntungan terutama biaya investasi dan pemeliharaan
yang rendah, operasi stabil pada jangka waktu yang lama, dan tidak menimbulkan

3
polusi baru dibandingkan dengan metoda fisik-kimia. Dari tiga metode biologi,
bioscrubber, trickling filter dan biofilter, biofilter merupakan pilihan yang terbaik.

Perumusan Masalah
Amoniak merupakan gas yang sangat berbau meskipun dalam konsentrasi
rendah, sangat mudah terbang sehingga sangat mengganggu pernafasan dan
menyebabkan perih di mata. Larutan amoniak yang digunakan berkonsentrasi 16%
dan dituangkan secara manual dalam tangki penyimpanan lateks segar. Lateks dari
kebun dituang ke dalam tangki berkapasitas 5 000 kg. Penambahan jumlah amoniak
disesuaikan dengan standar mutu lateks yang ditetapkan pabrik. Pada kapasitas 5 000
kg, ditambahkan sekitar 50 liter amoniak. Sementara dalam sehari, terdapat sekitar 32
000 kg lateks yang disimpan dalam pabrik, sehingga membutuhkan amoniak sekitar
320 liter per hari. Selain proses penambahan amoniak cair, dalam ruangan lateks juga
melakukan penambahan amoniak dalam bentuk gas. Penambahan amoniak gas ini
dilakukan pada lateks yang sudah disimpan dalam bentuk pekat agar tidak terjadi
penggumpalan. Penambahan dilakukan dengan penjadwalan, lateks pekat yang
disimpan lebih lama yang mendapatkan penambahan amoniak lebih awal. Proses
penambahan ini berlangsung hingga lateks pekat akan diambil oleh konsumen.
Sumber kebauan amoniak lain adalah proses penyiapan amoniak cair di ruang
penyimpanan amoniak. Kebauan amoniak dari ruang penyimpanan amoniak cair
tercium pada malam hingga pagi hari. Pada malam hari, tangki amoniak yang siap di
gunakan tidak ditutup. Kondisi malam hari yang dingin menjadikan gas amoniak yang
terbang di sekitarnya, apalagi ruang penyimpananya relatif terbuka. Pada pengujian di
beberapa titik waktu, terjadi polusi gas amoniak tertinggi pada malam hingga pagi
hari.
Jumlah amoniak sebesar itu akan menghasilkan tingkat kebauan yang tinggi,
dimana tidak saja mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar akibat polusi tetapi
juga mengganggu kesehatan masyarakat terutama bagi karyawan pabrik. Saputra
(2006) melaporkan emisi yang terdapat pada ruang pengolahan lateks pekat pabrik
karet PTPN VIII, pabrik Wangun Reja, Subang, Jawa Barat sebesar 137.80 ppm,
sedangkan di luar ruang pengolahan lateks pekat sebesar 4 ppm. Kondisi tersebut
tentunya tidak diinginkan oleh perusahaan sehingga perlu dilakukan identifikasi
kebauan secara menyeluruh pada industri untuk mengetahui sebaran kebauan.

4
Keadaan tersebut membutuhkan teknologi pengendalian yang berpotensi besar
mengurangi penyebaran emisi gas amoniak dari dalam ruangan.
Metoda

biologi

dengan

teknik

biofilter,

telah

dikembangakan

untuk

penghilangan kebauan amoniak. Penerapan teknologi biofilter pada sistem
pengendalian emisi gas membutuhkan karakteristik bahan yang memenuhi
persyaratan sebagai bahan pengisi yang baik. Hasil penelitian menunjukkan biofilter
dengan bahan pengisi organik mempunyai kapasitas penyerapan lebih tinggi
dibanding dengan banah pengisi anorganik. Hirai et al. (2001) melaporkan biofiltrasi
terhadap amoniak dengan menggunakan bahan pengisi gambut memiliki kapasitas
penyerapan 0.16 g-N/kg bahan kering, sedangkan menggunakan granula tanah
memiliki kapasitas penyerapan sebesar 0.30 g-N/kg bahan kering.
Penelitian biofilter yang dilakukan Nurcahyani (2006) menggunakan tanah
hutan Cifor. Menurut Paul dan Clark (1996) tanah hutan mempunyai kandungan
bakteri hetrotrof yang dapat melakukan nitrifikasi secara signifikan. Menurut Devinny
et al., (1999) tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi biofilter sebab tanah
sangat murah, mudah didapat, tersedia dalam jumlah melimpah, serta mengandung
populasi mikroba yang tinggi. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan kemampuan
untuk menahan kehilangan air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan
gambut walaupun dalam kondisi yang kering. Hasil penelitian Nurcahyani (2006)
tanah hutan merupakan bahan pengisi yang mempunyai kapasitas penyerapan terbaik
untuk penghilangan amoniak (1.16 g-N/kg bahan kering) kemudian kompos (0.59 gN/kg bahan kering).
Adapun kekurangan tanah sebagai bahan pengisi adalah mempunyai daya
penurunan tekanan yang besar dan mudah terbentuk celah untuk aliran udara. Tanah
mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap gas. Indriasari (2005) melaporkan
penelitian biofiltrasi untuk penghilangan gas NH3 dan H2S di ruang penyimpanan
leum. Penelitian tersebut menggunakan campuran tanah dan kompos sebagai bahan
pengisi utama yang dikombinasikan dengan bahan pengisi lain, diantaranya potongan
kulit kayu, serasah daun karet, sekam dan sludge. Penggunaan bahan utama tanah
yang dicampur dengan kompos pada penelitian tersebut karena kompos memiliki
lebih banyak nutrien yang dibutuhkan bakteri heterotrof untuk hidup, sedangkan
penambahan bahan campuran potongan kulit kayu, serasah daun karet dan sekam
dapat meningkatkan porositas bahan pengisi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

5
kapasitas penghilangan terbaik diperoleh dari biofilter dengan campuran bahan
pengisi sekam.
Penelitian kemudian dikembangkan menggunakan bahan pengisi utama tanah
hutan Cifor, tetapi menggunakan campuran bahan pengisi kompos bokashi dan arang
sekam. Kompos bokashi merupakan kompos yang sudah di kayakan dengan Effective
Microorganism 4 atau dikenal dengan EM4. Komposisi yang terkandung dalam EM4
antara lain bakteri Streptomyces, ragi (yeast), Lactobacillus, dan bakteri fotosintetik.
Bakteri tersebut diketahui sebagai mikroorganisme pengurai bahan-bahan organik
(Djaja, 2008).
Arang sekam dikenal sebagai media tanam yang memiliki daya simpan air yang
lebih besar dibandingkan dengan sekam. Menurut Tejasawarna (2004) arang sekam
memiliki porositas sebesar 64.70% yang terdiri dari pori memegang air sebesar
63.30% setelah 1 jam dan pori berisi udara setelah 1 jam sebesar 1.40%. Besarnya
pori memegang air ini sangat membantu bahan pengisi untuk ketersediaan air,
sedangkan pori memegang udara akan membantu sirkulasi gas yang dialirkan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dilakukan terdiri dari :
1. Menentukan kemampuan penyerapan fisik-kimia terhadap kebauan amoniak pada
bahan pengisi berbasis tanah dengan campuran kompos dan arang sekam.
2. Mengetahui kinerja teknik biofilter dengan campuran bahan pengisi untuk
penanganan emisi gas amoniak pada skala pilot.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian sebelumnya menggunakan kompos dari proses vermi composting
sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan kompos bokashi. Penggunaan
kompos bokashi ini diasumsikan akan memberikan suplai unsur hara yang lebih besar
daripada kompos vermi composting. Selain itu, kompos bokashi dapat memberikan
keragaman populasi bakteri yang lebih banyak dibandingkan kompos vermi
composting sehingga dapat mendukung proses biofiltrasi yang dioperasikan.
Penelitian dikerjakan pada skala laboratorium dan skala pilot. Pada skala
laboratorium komposisi bahan pengisi diberikan perlakuan secara fisik-kimia.

6
Komposisi campuran bahan pengisi adalah tanah hutan, kompos dan arang sekam
dengan perbandingan 1:1:1 untuk K111, 1:1:2 untuk K112, 1:2:1 untuk K121 dan
1:2:2 untuk K122. Komposisi ini dipilih karena penggunaan kompos bokashi dan
arang sekam sebagai bahan pengisi biofilter belum pernah dicobakan, sehingga dipilih
bahan pengisi tanah hutan dengan komposisi satu. Bahan tambahan kompos bokashi
dan arang sekam diberikan komposisi yang berbeda karena memberikan pengaruh
terhadap fisik-kimia campuran bahan pengisi.
Bahan pengisi tersebut digandakan skalanya menjadi skala pilot dengan volume
250 liter yang diterapkan untuk penghilangan gas amoniak di ruang lateks pekat.
Bahan pengisi dengan komposisi tanah hutan, kompos bokashi dan arang sekam
dengan perbandingan 1:1:1 disebut sebagai B111, 1:1:2 disebut sebagai B112, 1:2:1
disebut sebagai B121 dan 1:2:2 disebut sebagai B122. Proses biofiltrasi amoniak
dilakukan selama 55 hari dengan laju alir 2-2.50 liter/menit.

TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Gas Amoniak di Lingkungan PTPN VIII, Pabrik Cikumpay,
Purwakarta, Jawa Barat.
Amoniak adalah senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3.
Pada suhu dan tekanan standar amonia berbentuk gas. Amoniak bersifat toksik,
dan korosif untuk beberapa bahan, dan memiliki bau tajam. Amoniak adalah gas
tidak berwarna dengan karakteristik bau menyengat. Amoniak mudah dicairkan
dan uap cair pada suhu -33,7oC dan menjadi solid pada suhu-75oC berupa masa
kristal putih. Tabel 1 menyebutkan beberapa dampak amoniak pada konsentrasi
tertentu. (Wikipedia, 2002).

Tabel 1. Dampak amoniak
Konsentrasi (% b/b)
5-10
10-25
>25
Sumber : Wikipedia (2002)

Molaritas (mol/l)
2,87 - 5,62
5,62 - 13,29
>13,29

Klasifikasi
Iritasi
Korosif
Berbahaya bagi lingkungan

Emisi gas amoniak baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak dapat
berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan kesehatan. Dampak bagi lingkungan
hidup diantaranya tercemarinya udara bersih dengan kebauan amoniak yang
menyengat, selain itu amoniak merupakan gas yang berkontribusi pada proses
terjadinya pemanasan global dan hujan asam. Amoniak merupakan gas yang
sangat berbau, sangat mudah terbang sehingga sangat mengganggu pernafasan
dan menyebabkan perih di mata. Ketika amoniak ini teroksidasi menjadi nitrit
akan bersifat toksik dan dapat menyebabkan keracunan. Menurut Soemirat (2002)
masalah kebauan ini jika berlangsung terus menerus dapat bersifat iritan pada
paru-paru dan efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Gejala yang
ditimbulkan adalah kehilangan kemampuan membau, batuk, sesak nafas, iritasi
selaput lendir mata, muntah, pusing, sakit kepala dan pada konsentrasi bau yang
tidak dapat ditolerir sehingga dapat menimbulkan kematian.
Industri karet merupakan salah satu industri yang berpotensi menghasilkan
polutan gas amoniak. Potensi tersebut muncul akibat digunakannya bahan baku

8

amoniak cair, maupun amoniak gas, serta dihasilkan limbah gas ini sebagai hasil
samping proses produksi. Proses produksi yang berpotensi menghasilkan limbah
amoniak sebagai berikut :

Proses Produksi Crumb Rubber
Produksi karet remah atau karet spesifikasi teknis (SIR) mulai
dikembangkan di Indonesia sekitar tahun 1968, dan pada tahun 1969 skema SIR
diterapkan pertama kalinya. Sampai sekarang karet remah merupakan jenis karet
ekspor yang paling dominan diantara jenis karet ekspor lainnya. Karet remah yang
diproduksi oleh perkebunan Cikumpay yaitu SIR 10 dengan kualitas lateks low
grade. SIR 10 diolah dari koagulum lapangan dengan ketebalan 6 cm dan umur
penyimpanan relatif lebih dari 4 hari.
Tahapan pengolahan SIR 10 terdiri dari pemecahan awal lump, pencucian
pecahan koagulum, pembuatan lembaran krep, pengeringan awal, peremahan,
pengeringan, dan pengemasan. Pahlevi (2007) menyatakan pada proses
pemecahan awal leum berpotensi menghasilkan kebauan NH3 disebabkan hasil
dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena
adanya kondisi anaerobik. Demikian halnya proses pencucian pecahan koagulum
dan pembuatan lembaran krep. Pada proses ini leum di potong menjadi lebih
kecil, sehingga memperluas permukaan sentuh dengan udara dan mengakibatkan
lepasnya kebauan dari leum.
Proses pengeringan awal yaitu penirisan krep dalam bentuk gulungan yang
kemudian disebut sebagai kompo, dilakukan penyimpanan dalam gudang selama
10-20 hari. Pada proses ini berpotensi menghasilkan kebauan akibat
dikeringkannya kompo. Proses berikutnya adalah peremahan yaitu proses
pengecilan ukuran yang bertujuan untuk memperluas permukaan karet agar proses
pengeringan selanjutnya berlangsung dengan mudah dan cepat.
Pengeringan remah dilakukan di dalam dryer selama 3.50-4 jam dengan
suhu berkisar 115-130 oC dengan kapasitas 550-650 kg/jam. Selanjutnya karet
remah yang diperoleh, didinginkan dan dibuat bandela seberat 35 kg, lalu di-press
selama 2 menit menggunakan balling press dengan kapasitas 1000 kg/jam.
Bandela tersebut kemudian dibungkus dan dipak. Sebelum dikemas, terlebih

9

dahulu diambil contoh untuk keperluan sertifikasi mutu sesuai ketentuan yang
ditetapkan Departemen Perdagangan.

Proses Produksi Ribbed Smoke Sheet
Ribbed Smoke Sheet (RSS) berbentuk lembaran karet berwarna coklat yang
berasal dari proses pengeringan dan pengasapan. RSS terbuat dari bahan baku
lateks kebun. Hal utama yang perlu diperhatikan dari lateks kebun adalah
kebersihan lateks, sehingga akan menjamin hasil yang terbebas dari kontaminasi.
Pada saat pengumpulan lateks ke dalam tangki, ditambahkan bahan koagulan
amoniak (NH3) 20% untuk mencegah terjadinya koagulasi. Pada proses ini
berpotensi menghasilkan kebauan karena sifat gas amoniak yang mudah terbang
dan sangat menyengat.

Proses Produksi Thin Pale Crepe
Pada proses produksi Thin Pale Crepe (TPC) menggunakan bahan baku
lateks pekat yang diencerkan dengan larutan Natrium bisulfit yang berfungsi
sebagai bahan pemutih. Proses berikutnya adalah menggumpalkan kembali lateks
yang sudah diencerkan dengan menggunakan larutan asam semut 2% sampai
menggumpal, kemudian di siram dengan air untuk menghindari oksidasi.
Setelah menggumpal menjadi krep, kemudian dipotong-potong, dikeringkan
dan digiling untuk menjadi lembaran krep. Proses pengeringan dilakukan di
tempat pengering berbentuk rumah berdinding seng yang bertingkat dengan tinggi
setiap ruangnya empat meter. Pemanasan dilakukan dengan mengalirkan air panas
atau uap tekanan rendah melalui pipa besi yang dipasang di dalam ruang dasar
ruang pengering. Krep dikeringkan pada suhu 30-35 oC, selama 8-10 hari.

Proses Produksi Lateks Pekat
Inti dari pembuatan produk lateks pekat yaitu dengan meningkatkan kadar
karet keringnya (KKK) menjadi 60%. Larutan amoniak banyak dibutuhkan dalam
proses pemekatan ini. Pada saat pengumpulan lateks ke dalam tangki,
ditambahkan bahan anti koagulan amoniak (NH3) 20% untuk mencegah terjadinya
koagulasi.

10

Proses berikutnya adalah pemusingan yang berfungsi untuk memisahkan
antara lateks dengan partikel karet yang lebih kecil (skim) dan juga pengurangan
bahan bukan karet seperti halnya kapur (Mg) yang terkandung di dalam lateks
pekat. Selanjutnya lateks ditampung di dalam tangki pencampur, sedangkan skim
dialirkan ke dalam bak skim. Pada tangki pencampur, ditambahkan bahan
pemantap untuk memekatkan lateks tersebut, yaitu menggunakan asam laurat 25
% dengan dosis 2.50-5 cc/ton dan KOH 20% dengan dosis 2.50-5 cc/ton, lalu
penambahan NH3 berbentuk gas sesuai dengan dosis.
Menurut Solichin (1988), dalam industri lateks pekat amonia digunakan
sebagai bahan anti pembeku yaitu bahan yang digunakan untuk mencegah
terjadinya prakoagulasi lateks di kebun dan selama perjalanan ke tempat
pengolahan. Amoniak digunakan oleh industri karet dengan pertimbangan antara
lain mudah didapat di toko-toko bahan kimia, obat dan alat pertanian, harganya
cukup murah dibandingkan dengan bahan anti pembeku lainnya, tidak
menimbulkan pengaruh sampingan terhadap mutu produk akhir karena mudah
dihilangkan dari lateks, bisa digunakan hampir semua jenis produk karet, kecuali
jenis crepe saja, untuk pengawetan jangka panjang bisa dicampurkan dengan
bahan pengawet sekunder.
Menurut Indriasari (2005) kegiatan penyimpanan getah karet (lump)
berpotensi menimbulkan cemaran gas NH3, H2S, CO, NOx dan SOx berturut-turut
dengan konsentrasi 98.36 ppm; 0.54 ppm; 0.21 ppm; 0.03 ppm dan 0.03 ppm,
sementara batas emisi yang diijinkan Kep-13/MenLH/3/1995 pada masing-masing
gas tersebut adalah 2 ppm; 0.02 ppm; 0 ppm; 1 ppm; 0.80 ppm. Data tersebut
menunjukkan konsentrasi gas berada diatas baku mutu yang diizinkan sehingga
berpotensi menyebabkan kebauan. Berbagai jenis gas yang lepas dari gudang
penyimpanan leum diduga berasal dari penumpukkan leum dan juga produk hasil
dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena
adanya kondisi anaerobik. Sumber kebauan lain dilaporkan oleh Saputra (2006)
pada ruang produksi lateks pekat diketahui konsentrasi gas NH3 dan H2S sebesar
137.80 ppm dan 1.03 ppm, sedangkan di luar ruang produksi lateks pekat
diketahui sebesar 4 ppm dan 0.04 ppm. Tingginya polutan NH3 dan H2S

11

disebabkan karena penggunaan amoniak cair dan gas untuk pengawetan lateks
pekat di industri.

Pengendalian Pencemaran Amoniak

Menurut

SK

Menteri

Kependudukan

Lingkungan

Hidup

No

02/MENKLH/1988, pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau
berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam,
sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukkannya. Pengelolaan lingkungan yang tercemari oleh gas
dibutuhkan pengendalian yang efisien dan efektif. Hal ini dikarenakan adanya
cemaran dapat merusak lingkungan serta mengganggu kestabilan kehidupan
makhluk hidup, terutama bagi manusia.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan
untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah antara lain
pencemaran industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan
teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan,
kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan
daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Upaya pencegahan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh
berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia memerlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup

menyebutkan

baku

mutu

lingkungan

adalah

batas

kadar

yang

diperkenankan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak
menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya.
Baku Mutu tingkat kebauan dan mutu emisi gas dari industri telah
ditetapkan sebagaimana Tabel 2 di bawah ini. Emisi dan pencemaran gas yang
berbau ini belum dijelaskan metoda pengendaliannya maupun pedoman teknis
pengendalian bau atau emisi gas.

12

Tabel 2. Baku mutu tingkat kebauan
No.

Parameter

Satuan

1

Amoniak (NH3)

ppm

2

Nilai
batas
2

Metil
ppm
0.002
Merkaptan
(CH3SH)
ppm
0.02
3 Hidrogen
sulfida
H2S
4 Metil sulfida
ppm
0.01
(CH3)2S
ppm
0.1
5 Stirena
(C6H5CHCH2)
Sumber : KEP-50/MENKLH/11/1996

Metoda
pengukuran
Metoda
Indofenol
Absorpsi gas

Merkuri tiosonat

Peralatan
Spektrophotometer
Gas Khromatografi

Spektrophotometer
Gas Khromatografi

Absorpsi gas
Absorpsi gas

Gas Khromatografi

Absorpsi gas

Gas Khromatografi

Pengendalian Emisi Gas secara Fisik dan Kimia

Metoda pemurnian gas buangan secara fisik-kimia adalah berdasarkan pada
perubahan phase gas diserap oleh phase gas lain, phase cair atau phase padat,
sebagai berikut :
1. Metoda phase gas. Metoda ini sebenarnya bukan metoda penghilangan gas
atau bau, akan tetapi menyamarkan bau (busuk) yang tidak disukai dengan
memberikan bau yang enak atau lebih disukai.
2. Metoda phase cair. Gas buangan dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa
penyerap gas (adsorban) dalam phase cair, pada umumnya menggunakan air.
Metoda ini sangat baik untuk gas-gas yang memiliki kelarutan yang tinggi
terhadap zat cair (air). Adsorban yang sudah jenuh perlu dimurnikan kembali
bila memungkinkan, dimanfaatkan untuk penggunaan lain atau dibuang.
3. Metoda phase padat. Pada proses ini, gas dialirkan dan dipertemukan dengan
senyawa penyerap gas dalam bentuk padat.

Molekul-molekul gas akan

terserap, terkondensasi di permukaan adsorban, secara fisika maupun kimia.
Arang aktif sudah banyak dikenal sebagai bahan penyerap bau yang relatif
murah dan efektif. Arang aktif dalam bentuk butiran (granular activated
carbon, GAC) sudah banyak dipergunakan sebagai bahan penyerap bau dan
warna.

Arang aktif dalam bentuk serat (activated carbon fiber, ACF)

memiliki daya serap yang lebih besar dibandingkan dengan GAC.

13

Daya serap

ACF type FN-300GF-15 terhadap ammonia gas adalah

0.72g-NH3/kg-dry ACF (Yani, 1999). Daya serap secara fisik-kimia ini hanya
berlangsung dalam waktu yang relatif singkat sebelum mencapai titik jenuh.
ACF atau GAC yang telah jenuh ini perlu dipanaskan pada suhu diatas 100oC
untuk melepaskan gas-gas tersebut (regenerasi) dan kemudian dapat digunakan