Bhineka Tunggal Islam

Bhineka Tunggal Islam
Oleh : Cries Avian
Dalam banyak isu, terutama isu-isu yang melibatkan elemen masyarakat,
isu sara adalah isu yang paling laku dan paling ganas menimpa masyarakat di
Indonesia. Isu Ahok dan yang paling baru adalah isu pembubaran acara KKR di
Gedung Sabuga ITB Bandung seakan menjadi pemantik semangat munculnya
seruan-seruan untuk merawat dan mempertahankan keberagaman. Mulai dari
acara “Parade Bhineka Tunggal Ika” dan “Parade Kita Indonesia”, ditambah lagi
acara – acara serupa seperti aksi TOLE RUN yang diadakan di salah satu
universitas di Jember tak jarang diklaim sebagai bagian dari solusi atas kasus yang
terjadi atau dampak dari kasus yang terjadi, namun apakah demikian solusinya ?.
Disamping itu dari banyak isu yang didapat, selalu kaum mayoritas menjadi pihak
yang bersalah atas minoritas. Dengan mengatasnamakan kebhinekaan dan
bermain dengan istilah “Playing Victim”, pihak –pihak minoritas bisa begitu
mudah membalik keadaan dan justru dengan istilah kebhinekaan pulalah mereka
menjadikannya sebagai “mantra” penenang yang seringkali menjadi matra
pengkabur atas setiap kesalah – kesalahan dan makna dari sebuah “kebhinekaan”
sebenarnya. Mbulet bin ruwet, itulah hasil yang didapatkan. Ditambah lagi dengan
adanya black campaign yang memang sengaja di stigmasasikan kepada kaum
mayoritas di Indonesia yang pada akhirnya semakin mengkokohkan puncak
klasemen liga kaum “terjahat” (katanya) atas minoritas, “teroris” dan “selalu

memaksa kehendak”. Namun jika kita mau adil, apakah benar kaum mayoritas
yaitu kaum Muslim yang dimaksud beranggapan demikian rupanya ?
Bagi Islam, Keberagamaan adalah Sebuah Keniscayaan
Keberagamaan merupakan sunatullah. Karena itu keberagaman akan
terus ada di masyarakat, tidak akan pernah hilang. Allah SWT menjadikan umat
manusia beragam dari berbagai sisi; agama, suku, warna kulit, bahasa, status
ekonomi, posisi di masyarakat dan sebagainya. Keberagaman itu adalah untuk
kebaikan umat manusia. Allah SWT menciptakan manusia dalam ragam suku dan
bangsa, misalnya, agar manusia saling mengenal.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.
Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (TQS al-Hujurat [49]: 13).

Syihabuddin Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani
menjelaskan kata “lita’arafu” yakni “Kami menjadikan kalian demikian agar
sebagian mengenal sebagian yang lain sehingga kalian menyambung kekerabatan
serta menjadi jelas nasab dan saling mewarisi, bukan agar kalian saling berbangga
dengan nenek moyang dan suku”. Allah SWT juga menjadikan manusia beragam

dalam hal rezeki mereka agar mereka bisa saling memanfaatkan satu sama lain.
Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia serta telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (TQS
az-Zukhruf [43]: 32).
Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathu al-Qadir menjelaskan, “Allah
saling melebihkan di antara mereka sehingga Allah SWT menjadikan sebagian
mereka lebih dari sebagian lainnya dalam hal dunia berupa rezeki, kepemimpinan,
kekuatan, kemerdekaan, akal dan ilmu yakni agar sebagian mereka menggunakan
sebagian yang lain sehingga orang kaya menggunakan yang miskin, pemimpin
atas yang dipimpin, yang kuat terhadap yang lemah, yang merdeka terhadap
hamba sahaya, orang berakal terhadap yang di bawahnya dalam hal akal, orang
berilmu terhadap orang yang tidak berilmu. Ini adalah galibnya kondisi penduduk
dunia. Dengan itu kemaslahatan mereka sempurna, kehidupan mereka teratur dan
masing-masing sampai pada apa yang dicari. Jadi Allah SWT menjadikan
sebagian memerlukan sebagian lainnya agar terjadi saling tolong-menolong di
antara mereka dalam perhiasan dunia.”
Dengan demikian adanya keberagaman itu bukan suatu masalah bagi
Islam. Masalahnya juga bukan mempertahankan atau merawat keberagaman itu,
melainkan bagaimana keberagaman itu disikapi dan diatur. Keberagamaan itu

Allah SWT jadikan demikian bukan agar menjadi bencana bagi manusia. Akan
tetapi, keberagaman itu dijadikan sunatullah agar membawa kebaikan; agar terjadi
kerjasama dan saling tolong-menolong di antara manusia. Terwujud atau tidaknya
hikmah itu bergantung pada pengaturan atas kerjasama dan interaksi berkaitan
dengan keberagaman itu. (Media Umat Edisi 186 – 15 Desember 2016)
Islam Tak Akan Hapus Kebhinekaan
Banyak yang beranggapan bahwa ketika Islam menjadi mayoritas dan
sistem Islam menjadi pengatur atas interaksi politik dalam sebuah negara,
ketertindasan, hegemoni mayoritas dan konflik atas dasar kecemburuan akan
sering terjadi dan bahkan menyebabkan perpecahan, namun sekali lagi apakah ini
masalahnya? Menurut penulis, konflik perpecahan ini terjadi bukan atas dasar

hegemoni mayoritas saja, tapi faktor ketidakmampuan sistem yang mengatur
tatanan politik dalam sebuah negara menanggapi keberagamaan ini. Dalam
pandangan sistem kapitalistik sekuler, istilah liberal bagai anak bebek yang selalu
mengekor induknya. Dengan menggunakan istilah liberal atau kebebasan
berpendapat maka sah – sah saja seseorang mengekpresikan pendapatnya dan
justru inilah yang menjadi pemantik api permusuhan seperti pada kasus majalah
Charlie Hebdo di Perancis. Maka sangat khayal sekali apabila sebuah
keberagamaan dapat berdiri diatas dasar sistem kapitalisme sekuler ini, karena

secara logis tidak ada sebuah suku atau agama tertentu yang menerima apabila
kehormatan mereka terinjak – injak.
Bagaimana dengan sistem komunis ? Didalam sistem komunis, mereka
beranggapan bahwa agama adalah candu. Ide marxisme dalam ideologi
komunisme mencoba menghapus peran agama dalam kehidupan politik negara
dengan cara tidak memperhatikan agama dari masing – masing individu, dan lebih
ekstrimnya lagi negara berharap dengan berbagai kebijakannya mampu
menghapus agama yang sering digunakan sebagai alat pemberontakan dengan
kekuatan militer negara (Marx on Religion, Philadelphia: Temple University
Press) padahal pengagungan terhadap Tuhan adalah salah satu fitrah manusia
yang tidak dapat dihindari, sehingga dengan demikian komunis dapat dikatakan
belum sanggup untuk mengatur fitrah keberagamaan yang tidak dapat dinihilkan
keberadaannya. Bagaimana dengan Islam ?
Will Durant dalam bukunya The Story Of Civilization memberikan
pengakuan dan apresiasi yang jujur terhadap bagaimana Islam mengatur
keberagamaan yang sering di stigmakan negatif oleh Barat. Pada buku tersebut,
sistem Islam digambarkan sebagai sistem yang mampu mengatur sebuah
keberagamaan walau ditengah kekuasaan tirani mayoritas. Tidak memaksa kaum
minoritas untuk menjadi bagian dari keyakinan mayoritas, peradilan yang adil dan
tidak pandang bulu serta berbagai kebijakan – kebijakan yang dipandang mampu

mengatur keharmonisan kehidupan yang telah terbukti bertahan selama berabad –
abad lamanya dengan wilayah kekuasaan yang luas. Jika dikupas satu persatu,
ternyata ada beberapa kunci yang membuat Islam mampu mewujudkan semua itu,
Pertama, aturan yang benar, adil dan berkeadilan yang digunakan untuk mengatur
semua urusan dan interaksi di masyarakat. Kedua, penyelenggara negara
(penguasa dan aparatur) yang menjalankan dan menerapkan sistem dan aturan di
tengah masyarakat memiliki sifat amanah dan peduli terhadap rakyat. Kuncinya
adalah karena faktor iman dan ketakwaan yang ada pada diri penguasa dan
aparatur serta kontrol dari masyarakat. Itu juga hanya bisa diwujudkan seutuhnya
oleh sistem dan aturan Islam.

Dengan demikian, solusi atas konflik keberagamaan bukanlah dengan
mengadakan parade – parade kosong atau memperingati “keberagamaan” dengan
menyematkan pada hari tertentu untuk memantik semangat keberagamaan yang
justru sering dimanfaatkan dan tidak pernah menemui titik temu kecuali agenda
berhura – hura ria saja. Solusi yang pas dalam keberagamaan hanyalah dengan
cara penerapan syariah di bawah sistem Islam, yakni Khilafah Rasyidah yang
mengikuti manhaj kenabian yang sudah seharusnya menjadi agenda penting agar
keberagaman atau kebhinekaan menjadi kebaikan, dan kerahmatan Islam bisa
dirasakan secara nyata oleh semua anggota masyarakat yang beragam. Sudah

banyak bukti sejarah yang seharusnya membuat kita semakin yakin, bahwa Islam
adalah Rahmatan Lil Alamin, Islam adalah agama yang haq yang membawa
peraturan untuk mengatur kehidupan manusia dari Tuhan yang menciptakan
keberagamaan. Wallah a’lam bi ash-shawwab.

Referensi :
1. Media Umat Edisi 186 – 15 Desember 2016
2. Marx on Religion, Philadelphia: Temple University Press
3. Will Durant - The Story of Civilization