Pertaruhan Politik Golkar
Pertaruhan Politik Golkar
Oleh: Iding Rosyidin
(Jawa Pos, Jum’at 28 November 2014)
Partai Golkar benar-benar tengah menyajikan drama politik yang panas di panggung
politik Indonesia. Perang pernyataan yang saling menegasikan antar dua kubu yang
berseberangan antara kubu Aburizal Bakrie (Ical) dengan kubu Presidium Penyelemat Partai
yang dikomandani Agung Laksono terus terjadi. Sebelumnya, bentrokan fisik berdarah pun
tak terhindarkan lagi.
Inilah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya setiap kali Golkar hendak
menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Biasanya konflik-konflik antar kader
dapat diselesaikan dengan lebih elegan tanpa melibatkan benturan fisik. Tetapi jelang Munas
IX yang waktu penyelenggaraannya diperdebatkan oleh kedua kubu didahului oleh bentrokan
berdarah yang tentu saja bisa menodai perhelatan politik tersebut.
Pertaruhan Politik
Apa sesungguhnya yang tengah dipertontonkan oleh aktor-aktor politik di tubuh partai
beringin tersebut dan mengapa konflik tersebut tersaji di ruang public sedemikian panas. Dan
yang terpenting apakah implikasinya bagi masa depan partai ini setidaknya untuk lima tahun
ke depan?
Sulit dibantah bahwa konflik yang menimpa tubuh partai beringin tersebut tidak lain
karena persoalan rebutan pucuk pimpinan antara Ical dengan rival-rivalnya. Sebagai petahana
Ical agaknya masih menyimpan ambisi besar untuk tetap berkuasa. Karena itu, meski banyak
suara miring terkait kemampuannya, Ical tetap ngotot maju kembali bahkan melakukan
berbagai macam cara untuk mempermudah dirinya meraih kembali kekuasaan termasuk
dengan mempercepat munas.
Justeru di sinilah letak masalahnya. Dalam pandangan rival-rival Ical, keputusan
Golkar mempercepat munas tersebut sebagai bentuk rekayasa Ical dan para loyalisnya agar
dirinya terpilih kembali dan sekaligus dapat mempersempit ruang gerak pesaingnya untuk
bermanuver. Padahal sebelumnya kubu Ical selalu menolak upaya untuk mempercepat munas
dan tetap bersikukuh mengikuti keputusan Munas Riau. Tetapi kenyataannya sekarang
berbalik. Inilah yang membuat para pesaingnya meradang sehingga konflik pun tak dapat
dihindari lagi.
Seyogianya Ical mau berintrospeksi diri terkait kepemimpinannya selama lima tahun
ini. Golkar di bawah kendalinya lebih banyak menampilkan kegagalan ketimbang
keberhasilan. Di level legislatif, perolehan suaranya menurun dari 107 kursi pada 2009
menjadi hanya 91 kursi pada 2014. Memang di beberapa daerah Golkar berhasil menguasai
DPRD, tetapi kalau dicermati secara mendalam, hal itu bukan karena faktor Ical seperti yang
diklaim para loyalisnya, melainkan karena mesin partai dan infrastrukturnya yang berjalan
dan paling modern dari semua partai.
Di level eksekutif nasib partai beringin lebih menyedihkan lagi. Ical yang dicapreskan
Golkar sejak jauh-jauh hari dan dikampanyekan secara masif melebihi capres-capres lainnya
malah gagal total. Tidak ada satu pun tokoh yang bersedia mendampingi Ical untuk menjadi
cawapresnya. Bahkan ketika Ical bersedia menurunkan penawaran dirinya untuk hanya
menjadi cawapres bagi capres lainnya, ternyata juga tak laku. Ironis sekali, seorang capres
dari partai besar tersisih dari bursa kepemimpinan nasional bahkan sebelum gelanggang
pertempuran dimulai.
Dengan kenyataan menyedihkan yang menimpa Golkar tersebut pantas kalau
kemudian banyak elemen di tubuh partai beringin yang menginginkan regenerasi
kepemimpinan terutama di kalangan kader-kader muda. Namun, karena keinginan mereka
secara kasat mata dihadang kaum loyalis Ical meski dengan dalih konstitusi partai, maka hal
itu telah menjadi ledakan ketidakpuasan yang sangat kuat.
Sebenarnya jika situasi ini tetap berlangsung demikian akan sangat membahayakan
bagi Golkar sebagai institusi paling tidak untuk lima tahun ke depan. Ada banyak hal yang
dipertaruhkan di sana. Pertama, besar kemungkinan Golkar akan semakin loyo di masa
mendatang. Dengan minimnya prestasi, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali,
Golkar di bawah pimpinan Ical, partai ini diyakini akan semakin sulit bersaing. Apalagi pada
Pemilu 2019 nanti pemilu akan dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden dan
anggota legislatif.
Kedua, Jika konflik yang sudah semakin panas ini tidak segera dicarikan jalan
keluarnya, bukan tidak mungkin akan berakhir dengan perpecahan. Masih kental dalam
ingatan kita, Prabowo Subianto pernah tersingkir dari persaingan merebutkan pucuk
pimpinan partai beringin kemudian keluar dan mendirikan Gerindra. Demikian pula Surya
Paloh mengalami hal yang sama dan kemudian ia mendirikan Nasdem. Bukan tidak mungkin
hal yang seperti itu bisa terjadi kembali.
Ketiga, cara-cara mempertahankan kekuasaan secara tidak fair dan tidak demokratis
seperti yang dipertontonkan kubu Ical jelas akan memberikan citra yang buruk terhadap
Golkar di mata publik. Ical dianggap hanya mementingkan kekuasaan dirinya dan
kelompoknya saja. Karena itu, Golkar bisa kehilangan momentum penting dari Munas IX
untuk menata kembali eksistensi kepartaiannya seraya melakukan refleksi ke depan bagi
Golkar.
Dengan demikian, kekisruhan pertaruhan yang tengah melanda partai beringin
tersebut memiliki implikasi politik yang sangat merugikan. Meskipun Golkar memiliki aktoraktor politik yang sangat berpengalaman dalam mengatasi situasi seperti ini, tetapi tidak ada
jaminan mereka akan berhasil. Karena itu, apa yang tengah dipertontonkan Golkar tersebut
akan menjadi pertaruhan politik di masa mendatang.
*Penulis, Staf Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Oleh: Iding Rosyidin
(Jawa Pos, Jum’at 28 November 2014)
Partai Golkar benar-benar tengah menyajikan drama politik yang panas di panggung
politik Indonesia. Perang pernyataan yang saling menegasikan antar dua kubu yang
berseberangan antara kubu Aburizal Bakrie (Ical) dengan kubu Presidium Penyelemat Partai
yang dikomandani Agung Laksono terus terjadi. Sebelumnya, bentrokan fisik berdarah pun
tak terhindarkan lagi.
Inilah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya setiap kali Golkar hendak
menyelenggarakan musyawarah nasional (munas). Biasanya konflik-konflik antar kader
dapat diselesaikan dengan lebih elegan tanpa melibatkan benturan fisik. Tetapi jelang Munas
IX yang waktu penyelenggaraannya diperdebatkan oleh kedua kubu didahului oleh bentrokan
berdarah yang tentu saja bisa menodai perhelatan politik tersebut.
Pertaruhan Politik
Apa sesungguhnya yang tengah dipertontonkan oleh aktor-aktor politik di tubuh partai
beringin tersebut dan mengapa konflik tersebut tersaji di ruang public sedemikian panas. Dan
yang terpenting apakah implikasinya bagi masa depan partai ini setidaknya untuk lima tahun
ke depan?
Sulit dibantah bahwa konflik yang menimpa tubuh partai beringin tersebut tidak lain
karena persoalan rebutan pucuk pimpinan antara Ical dengan rival-rivalnya. Sebagai petahana
Ical agaknya masih menyimpan ambisi besar untuk tetap berkuasa. Karena itu, meski banyak
suara miring terkait kemampuannya, Ical tetap ngotot maju kembali bahkan melakukan
berbagai macam cara untuk mempermudah dirinya meraih kembali kekuasaan termasuk
dengan mempercepat munas.
Justeru di sinilah letak masalahnya. Dalam pandangan rival-rival Ical, keputusan
Golkar mempercepat munas tersebut sebagai bentuk rekayasa Ical dan para loyalisnya agar
dirinya terpilih kembali dan sekaligus dapat mempersempit ruang gerak pesaingnya untuk
bermanuver. Padahal sebelumnya kubu Ical selalu menolak upaya untuk mempercepat munas
dan tetap bersikukuh mengikuti keputusan Munas Riau. Tetapi kenyataannya sekarang
berbalik. Inilah yang membuat para pesaingnya meradang sehingga konflik pun tak dapat
dihindari lagi.
Seyogianya Ical mau berintrospeksi diri terkait kepemimpinannya selama lima tahun
ini. Golkar di bawah kendalinya lebih banyak menampilkan kegagalan ketimbang
keberhasilan. Di level legislatif, perolehan suaranya menurun dari 107 kursi pada 2009
menjadi hanya 91 kursi pada 2014. Memang di beberapa daerah Golkar berhasil menguasai
DPRD, tetapi kalau dicermati secara mendalam, hal itu bukan karena faktor Ical seperti yang
diklaim para loyalisnya, melainkan karena mesin partai dan infrastrukturnya yang berjalan
dan paling modern dari semua partai.
Di level eksekutif nasib partai beringin lebih menyedihkan lagi. Ical yang dicapreskan
Golkar sejak jauh-jauh hari dan dikampanyekan secara masif melebihi capres-capres lainnya
malah gagal total. Tidak ada satu pun tokoh yang bersedia mendampingi Ical untuk menjadi
cawapresnya. Bahkan ketika Ical bersedia menurunkan penawaran dirinya untuk hanya
menjadi cawapres bagi capres lainnya, ternyata juga tak laku. Ironis sekali, seorang capres
dari partai besar tersisih dari bursa kepemimpinan nasional bahkan sebelum gelanggang
pertempuran dimulai.
Dengan kenyataan menyedihkan yang menimpa Golkar tersebut pantas kalau
kemudian banyak elemen di tubuh partai beringin yang menginginkan regenerasi
kepemimpinan terutama di kalangan kader-kader muda. Namun, karena keinginan mereka
secara kasat mata dihadang kaum loyalis Ical meski dengan dalih konstitusi partai, maka hal
itu telah menjadi ledakan ketidakpuasan yang sangat kuat.
Sebenarnya jika situasi ini tetap berlangsung demikian akan sangat membahayakan
bagi Golkar sebagai institusi paling tidak untuk lima tahun ke depan. Ada banyak hal yang
dipertaruhkan di sana. Pertama, besar kemungkinan Golkar akan semakin loyo di masa
mendatang. Dengan minimnya prestasi, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali,
Golkar di bawah pimpinan Ical, partai ini diyakini akan semakin sulit bersaing. Apalagi pada
Pemilu 2019 nanti pemilu akan dilakukan secara serentak antara pemilihan presiden dan
anggota legislatif.
Kedua, Jika konflik yang sudah semakin panas ini tidak segera dicarikan jalan
keluarnya, bukan tidak mungkin akan berakhir dengan perpecahan. Masih kental dalam
ingatan kita, Prabowo Subianto pernah tersingkir dari persaingan merebutkan pucuk
pimpinan partai beringin kemudian keluar dan mendirikan Gerindra. Demikian pula Surya
Paloh mengalami hal yang sama dan kemudian ia mendirikan Nasdem. Bukan tidak mungkin
hal yang seperti itu bisa terjadi kembali.
Ketiga, cara-cara mempertahankan kekuasaan secara tidak fair dan tidak demokratis
seperti yang dipertontonkan kubu Ical jelas akan memberikan citra yang buruk terhadap
Golkar di mata publik. Ical dianggap hanya mementingkan kekuasaan dirinya dan
kelompoknya saja. Karena itu, Golkar bisa kehilangan momentum penting dari Munas IX
untuk menata kembali eksistensi kepartaiannya seraya melakukan refleksi ke depan bagi
Golkar.
Dengan demikian, kekisruhan pertaruhan yang tengah melanda partai beringin
tersebut memiliki implikasi politik yang sangat merugikan. Meskipun Golkar memiliki aktoraktor politik yang sangat berpengalaman dalam mengatasi situasi seperti ini, tetapi tidak ada
jaminan mereka akan berhasil. Karena itu, apa yang tengah dipertontonkan Golkar tersebut
akan menjadi pertaruhan politik di masa mendatang.
*Penulis, Staf Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.