DINAMIKA PARTAI GOLKAR DALAM DINAMIKA POLITIK INDONESIA.

DINAMIKA PARTAI GOLKAR DALAM DINAMIKA POLITIK INDONESIA
Oleh: GPB Suka Arjawa
Pertarungan internal di Partai Golkar saat ini menarik dilihat setelah rapat pimpinan nasional
partai itu menyetujui jika Musyawarah Nasional dilangsaungkan pada tanggal 30 November
sampai 4 Desember 2014 mendatang. Padahal inilah ajang yang dipakai untuk memilih
pemimpin Partai Golkar. Sejak kegagalan partai ini merebut suara terbanyak dalam pemilu
legislative dan presiden yang lalu, suara perebutan pimpinan puncak semakin mengemuka.
Saling kritik antar pejabat internal partai juga muncul saat pemilihan presiden tentang apakah
ikut atau tidak partai ini dalam struktur pemerintahan. Sebagai akibat dari berbagai pro-kontra
tersebut, kini ada lebih dari lima calon yang ingin merebut pimpinan tertainggi dari partai ini.
Tentang munas yang dilangsungkan akhir bulan ini, Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie
menyetujuinya.
Sekali lagi, hiruk pikuk yang terjadi di Partai Golkar menarik dicermati, tidak hanya oleh para
politisi, pegiat partai politik tetapi juga bagi masyarakat. Bagaimanapan Partai Golkar
merupakan sebuah “studi” yang memberikan sumbangan pengetahuan politik kepada khalayak.
Yang pertama adalah soal cara pandang keterlibatan di dalam pemerintahan. Konflik internal di
dalam partai ini, sangat dimungkinkan disebabkan oleh pertentangan cara pandang klasik dari
partaii itu, yaitu tentang perlu tidaknya keterlibatan di dalam pemerintahan. Sejarah Golkar
adalah pemerintahan. Karena itu apabila mempunyai prinsip sebagai “jasmerah” maka
keterlibatan di dalam pemerintahan merupakan keharusan. Pengingkaran terhadap “jasmerah” ini
merupakan pengingkaran kepada sejarah pembentukan partai ini. Dalam pandangan seperti ini,

politik memang selalu mempunyai pandangan identik dengan kekuasaan. Dengan demikian,
dalam logika pikiran ini, apapaun yang dilakukan oleh Partai Golkar menjelang pemilu tahun
2014 (entah pemilu legislative maupun pemilu presiden) semuanya dalam kerangka politik
kekuasaan tersebut. Benar jika Golkar membuat trik tersendiri menghadapai PDI Perjuangan dan
partai lain dalam pemilu legislative. Benar juga tindakan Golkar yang selalu berseberangan
dengan Jokowi, akan tetapi bahwa apabila Jokowi menang, harus diteria dengan lapang dada,
dank arena itu buntutnya sebaiknya leburlah dalam pemerintahan Jokowi. Semua trik
sebelumnya itu hanya sekedar trik politik yang memang wajar, sah dan harus dilakukan. Akan
tetapi masalah kekuasaan merupakan masalah lain. Jika trik itu gagal tetapi sumber daya
mempungkinkan masuk ke bidang kekuasaan (pemerintahan), maka secara politik, Golkar tidak
mempunyai kesalahan masuk pemerntahan Jokowi. Modal besar yang dimiliki adalah
keberhasilan mendapatkan banyak kursi DPR, kader banyak menduduki jabatan di eksekutif
tingkat propinsi dan kabupaten. Tidak bisa dilupakan juga sampai saat ini kader-kader politik
paling berpengalaman di Indonesia, memang berasal dari Partai Golkar. Jadi, layaknlah mereka
tetap ikut pemerintahan.

Cara pandang diatas berbenturan dengan “kelompok pembaharu” di partai ini yang mencoba
menghilangkan cara pandang lama tersebut. Bahwa berpolitik tidaka mesti harus duduk di dalam
pemerintahan. Politik itu mempunyai skala luas, berdimensi banyak dan yang lebih utama
berpolitik itu merupakan proses belajar. Dengan cara pandang seperti itu, trik-trik yang

dilakukan menjelang dan selama pemilu tahun 2014 adalah benar dalam kerangka sikap politik
Partai Golkar tersebut. Sikap politik itu tidak lain memperlihatkan kejatidirian baru sesuai
dengan iklim baru pemerintahan di Indonesia. Jadi, haruslah partai ini mampu memberikan
sumbangan baru dalam iklim politik di Indonesia, yaitu berada di luar pemerintahan. Dengan
berada di luar pemerintahan sejak lahirnya di awal kekuasaan Orde Baru (tahun 1964), Golkar
harus meemperlihatkan keberanian untuk belajar menerima kenyataan, belajar dewasa dan
menjadi penyeimbang pemerintahan di Indonesia. Cara pandang seperti ini tidaklah menentang
sejarah pembentukan Golkar karena lembaga ini adalah lembaga politik. Dalam politik,
kekuasaan tidak mesti menjadi focus pandangan satu-satunya tetapi sebagai sebuah visi yang
mampu dibentuk sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Partai Golkar.
Terhadap dua cara pandang demikian dari Partai Golkar, sesungguhnya masyarakat dan para
politisi Indonesia mendapat banyak masukan dan pelajaran. Disnilah akan terlihat dan mampu
dibuktikan dalam perjalanan politik Indonesia ke depan, sejauh mana sebuah partai politik yang
mempunyai pengalaman panjang dalam satu negara, mampu membuktikan dan mempertahankan
prinsip-prinsip tersebut. Dan sejauh mana para aktivias partai ini dapat mempertahankan soliditas
mereka terhadap perbedaan pedpata tersebut. Sekali lagi ini sangat menarik karena dari konteks
inilah akan terlihat gaya, budaya dan perilaku politik dari politisi Indonesia.
Hal kedua yang harus dilihat dari konflik Partai Golkar adalah pengaruhnya terhadap iklim
politik nasional Indonesia. Dinamika politik yang terjadi pasca pemilihan presiden di Indonesia
saat ini, tidak bisa dilepaskan karena posisi Partai Golkar sendiri. Artinya bagaimanapun,

keampuhan kekuatan Koalisi Merah Putih di lembaga legislative saat ini, tidak mampu
dilepaskan darii posisi Partai Golkar. Ada kemungkinan negosiasi dan move politik yang terjadi,
disebabkan oleh kemampuan lobi yang dilakukan oleh partai Golkar. Entah karena kemampuan
pengetahuan politik yang luas atau bisa jadi kemampuan ekonomis kader, yang membuat mereka
mampu memperkuat Koalisi Merah Putih. Ada dugaan bahwa kekuatan-kekuatan tersebut ada di
belakang figure ketua umum partai sekarang, Aburizal Bakrie. Berbagai langkah soliditas Koalisi
Merah Putih dan langkah-langkah pembuktiannya di pandang berasal dari kelompok ini.
Maka, Musyawarah Nasional Partai Golkar yang akan berlangsung akhir bulan ini akan
memberikan gambaran masa depan perjalanan negara dan pemerintahan ke depan. Kemenangan
kelompok yang pertama, akan memungkinkan semakin adanya kerjasama antara pemerintah
dengan partai Golkar dank arena itu stabilitas politik akan lebih terjadi di Indonesia. Tetapi
apabila “kelompok pembaharu” yang berhasil kembali meraih kekuasaan (kelompoknya
Aburizal Bakrie), akan muncul dua alternative. Pemerintahan akan mampu lebih stabil apabila
Jokowi benar-benar dapat mewujudkan missinya dengan baik sebagai presiden atau mampu
melakukan pendekatan dengan Partai Golkar. Jika itu tidak dapat dilakukan, Partai Golkar akan

bisa memancing-mancing dan mengkritik pemerintahan yang artinya, stabilitas politik berpotensi
terusik lagi.****