IMM, PTM DAN DEMOKRATISASI

SOHIFAH

IMM, PTM
DAN DEMOKRATISASI
PRADANA BOY ZTF
Kandidat doktor National University of Singapore (NUS). Mantan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.


pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

menyangkut posisi IMM di kampusTAHUN 2011 ini, Ikatan Mahasiswa
kampus PTM. Di satu sisi, IMM
Muhammadiyah (IMM) akan mema
memang terkadang tidak cukup
suki usianya yang ke-47. IMM lahir
dewasa dan elegan dalam menempatpada 14 Maret 1964, yang berarti dalam
kan dirinya, sementara para pengelola
waktu tak lama lagi, akan memperingati
hari kelahirannya. Jika diibaratkan
kampus itu memperlakukan IMM tidak

manusia, usia itu adalah saat di mana
sebagaimana mestinya. Wajarlah jika
manusia berangsur-angsur mengterjadi pengerasan sikap IMM terhadap
gapai kematangan dan kemapanan
sejumlah pengelola PTM di Indonesia.
hidup. Namun tidak demikian dengan
Sayangnya, alih-alih melihat pengerasIMM. Dalam usia yang telah dewasa
an sikap IMM itu sebagai bentuk akibat
itu, IMM seringkali menghadapi perdari tidak proporsionalnya perlakuan
tanyaan-pertanyaan yang berkaitan
pimpinan PTM terhadap IMM, sikap
dengan eksistensi, kiprah dan sumitu justru digunakan sebagai amunisi
bangsihnya dalam konteks pengka- Salah satu kegiatan IMM adalah Demo, sebagai untuk mendiskreditkan IMM di perderan di Muhammadiyah. Selain itu, perwujudan dari daya kritis Mahasiswa
guruan tinggi Muhammadiyah tertentu.
dalam banyak hal IMM juga seringkali mengalami problem yang
Persoalan menjadi semakin rumit, karena ketika sejumlah
berhubungan dengan eksistensi kelembagaannya di perguruan aktivis IMM itu telah lulus dan kemudian berkarier di sejumlah
tinggi-perguruan tinggi Muhammadiyah. Kenyataan itu telah mem- lembaga milik Muhammadiyah pun, terutama perguruan tinggi
bawa IMM kepada suatu situasi yang tidak gampang, bahkan IMM Muhammadiyah, stigma-stigma itu tetap dilekatkan. Dalam konteks
seringkali menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak tertentu di hubungan dan dinamika yang rumit semacam inilah, maka akan

Muhammadiyah, khususnya pengelola PTM. IMM bahkan di- muncul pernyataan-pernyataan bernada stigmatis bahkan
stereotipikal terhadap aktivis dan alumni IMM. Di antara stigma itu
curigai ingin menguasai PTM.
Kecurigaan semacam itu telah menimbulkan rasa shock yang adalah bahwa hanya kader IMM yang memiliki pemahaman paling
mendalam di kalangan aktivis IMM. Wajar belaka, karena secara memadai tentang Muhammadiyah dan kemudian paling berhak
kasat mata pernyataan semacam ini jauh dari kategori ilmiah dan mengelola amal usaha Muhammadiyah. Sayangnya, tidak jarang
akademis, dan lebih banyak didominasi oleh prasangka daripada ada juga mantan aktivis IMM yang mengamini stigma-stigma itu
fakta-fakta yang memadai. Memang harus diakui bahwa dalam dengan alasan-alasan yang sangat pragmatis; dan tentu saja jauh
beberapa situasi, kita sering menemukan fakta tentang bagaimana dari alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Ibaratnya, mereka
aktivis-aktivis IMM mengalami problem dalam mengartikulasikan menari dengan iringan musik yang diciptakan orang lain, meskipun
aktivitasnya di sejumlah PTM. Terhadap kenyataan ini, tak jarang musik itu tak enak didengar.
Di samping itu, sebagaimana difahami secara luas di
aktivis-aktivis IMM secara emosional meminta hak untuk
diperhatikan sebagaimana yang seharusnya ia terima sebagai Muhammadiyah, pengkaderan merupakan satu pilar paling
Ortom Muhammadiyah. Di sinilah salah satu problem itu bermula. penting dari organisasi ini. Dalam kaitan ini, kita sering mendapati
IMM membaca posisinya di PTM dalam kerangka hubungan perkataan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi kader.
Muhammadiyah sebagai organisasi induk dan IMM sebagai Implementasi dari adagium itu adalah dengan pendirian sejumlah
Organisasi Otonom. Sementara, tidak jarang para pengelola Organisasi Otonom yang antara lain didasarkan pada usia dan
kampus (meskipun berlatar belakang Muhammadiyah tetapi jenis kelamin. Meskipun pengelompokkan Organisasi Otonom
dibesarkan dalam tradisi organisasi mahasiswa selain IMM atas dasar seperti ini pernah dikritik oleh almarhum Profesor

ataupun mereka yang sama sekali tidak memiliki pemahaman Kuntowijoyo, karena tidak mampu menyentuh kelompoktentang hierarkhi pengkaderan di Muhammadiyah) menempatkan kelompok kepentingan dalam masyarakat secara riil; tetapi tetap
saja ada peran yang bisa dimainkan oleh organisasi-organisasi
IMM sebagai organisasi ekstra kampus murni.
Akibatnya, terbentuklah pemahaman yang sama-sama ekstrem otonom Muhammadiyah itu. Diakui atau tidak. Masih dalam kaitan
56

26 SHAFAR - 11 RABIULAWAL 1432 H

SOHIFAH

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)


Muhammadiyah. Bahkan terhadap kader-kader Muhammadiyah
sendiri pun, hanya karena kebetulan dibesarkan dalam tradisi
organisasi yang berbeda. Saya meyakini, inilah pula faktor yang
menghambat akselerasi kaderisasi di Muhammadiyah secara
umum dan di semua tingkatan.
Lebih jauh, kita juga bisa menghubungkan contoh kecurigaan
seorang mantan rektor dengan demokratisasi di Muhammadiyah
dan khususnya PTM. Peneliti Muhammadiyah asal Korea
Selatan, Profesor Hyung-Jun Kim, menilai Muhammadiyah
sebagai sebuah organisasi keagamaan yang memiliki tradisi
demokrasi sangat unik. Karena itu, jika dibawa ke wilayah yang
lebih luas, nilai-nilai dasar demokrasi yang ada dalam
Muhammadiyah itu akan menjadi elemen penting bagi proses
demokratisasi di Indonesia secara umum. Di sini, sebenarnya
kita bisa mengidentifikasi PTM sebagai salah satu pusat
persemaian nilai-nilai demokrasi itu. Demokrasi sendiri memang
begitu luas diperdebatkan. Tetapi nampaknya satu hal yang pasti
dalam demokrasi adalah kesediaan menerima perbedaan identitas
dan latar belakang dalam satu kesatuan komunitas yang diikat
oleh mekanisme dan kesepakatan-kesepakatan tertentu dan

mekanisme serta kesepakatan itulah yang menjadi hukum yang
akan mengatur komunitas itu. Sayangnya, kita tidak bisa
sepenuhnya dengan percaya diri mengklaim PTM sebagai salah
satu media persemaian nilai-nilai demokratis itu. Jika dalam
kenyataannya terdapat kecurigaan-kecurigaan di PTM-PTM
terhadap kader Muhammadiyah sendiri.
Jika menilik proses dinamika yang terjadi di sejumlah lembaga
Muhammadiyah, utamanya menyangkut mekanisme pergeseran
estafet kepemimpinan, Muhammadiyah memiliki tradisi yang bisa
dibanggakan. Maka, agar dinamika demokrasi dalam
Muhammadiyah itu tidak menyisakan ironi, sudah seharusnya,
sekecil apa pun potensi-potensi lahirnya hal-hal yang tidak
demokratis harus dieliminasi. Nampaknya sulit bagi kita untuk
menampik bahwa di samping sebagai lembaga persemaian ilmu
dan intelektualisme, secara diam-diam kita juga melihat proses
politisasi di perguruan tinggi Muhammadiyah. Ini tentu saja amat
mengkhawatirkan, karena tidak hanya berpotensi memecah belah
persatuan Muhammadiyah, tetapi juga akan menjadikan proses
peningkatan kualitas PTM menjadi semakin berat. Akan sangat
sulit bagi PTM untuk membangun daya saing yang kompetitif di

tengah iklim persaingan yang demikian ketat. Sementara kita justru
terjebak dalam konflik internal yang salah satu akarnya adalah
politisasi kampus itu.
Terakhir, tulisan ini hendaknya jangan dibaca sebagai bentuk
kebencian kepada kritik terhadap IMM. Sebaliknya, semoga
tulisan ini bisa menjadi refleksi bagi semua pihak untuk bertindak
dan berucap secara proporsional. Sementara bagi IMM, kritik
maupun stigma, betapapun pedasnya hendaknya menjadi sebuah
momentum untuk membangun kembali daya kritis dan daya saing
IMM. Sehingga pada akhirnya, kita bisa membuktikan bahwa
jika suatu ketika kader IMM menduduki kedudukan-kedudukan
penting bukan karena politisasi atau kronisme atau karena dasar
like and dislike, melainkan benar-benar karena prestasi. Mari
buktikan!l

De
mo
(

Vi

sit

htt
p:/
/w
w

w.

ini, tokoh-tokoh dan pemimpin Muhammadiyah, tanpa melihat
latar belakang keorganisasiannya semasa muda, harus berfungsi
sebagai pengayom, payung, guru, orangtua bagi semua kader
Muhammadiyah.
Dalam dunia politik, menyangkut politik kenegaraan dan
kepartaian seringkali muncul perkataan: “Jika komitmen
kebangsaan telah lahir, maka komitmen kepartaian harus
berakhir.” Adagium ini tidak harus pula dimaknai secara literal,
dalam arti bahwa komitmen kepartaian harus sama sekali
dilupakan. Tetapi, pernyataan ini mengindikasikan sebuah nilai
prioritas. Bahwa jika seorang politisi telah terikat dengan komitmen

kebangsaan, misalnya dengan menjadi pemimpin negara atau
pejabat publik, maka ia seharusnya lebih mengedepankan
kepentingan nasional di atas kepentingan partai. Sama persis
dengan ibarat ini, maka seorang pemimpin Muhammadiyah harus
berfikir tentang Muhammadiyah lebih dahulu dengan
mengesampingkan latar belakang keorganisasiannya semasa
muda. Sehingga cita-cita Muhammadiyah sebagai tenda besar
bagi seluruh elemen bangsa bisa terwujud. Tetapi jika mental
sektarian dan primordial yang berkecambah, maka sangat sulit
membayangkan hal itu terjadi. Bagaimana mungkin menjadi tenda
besar yang menaungi keragaman identitas, latar belakang dan
kepentingan bagi semua elemen bangsa; sementara sentimen
kelompok begitu mengemuka dan upaya rekonsiliasi perbedaan
latar belakang keorganisasian sesama aktivis Muhammadiyah
saja begitu sulit diwujudkan.
Lebih dari soal pengkaderan, dengan sangat menyesal harus
dikatakan bahwa jangan-jangan contoh kasus di atas hanyalah
puncak dari sebuah fenomena gunung es. Bahwa yang kelihatan
di atas sepertinya kecil, tetapi sesungguhnya yang di dalam air,
terpendam dan tidak nampak jauh lebih berlimpah dan besar

volumenya. Artinya, apa yang pernah dinyatakan oleh seorang
mantan rektor sebuah PTM adalah satu contoh dari problem
serupa yang terjadi di berbagai PTM di Indonesia. Hanya saja
karena pernyataan dan penilaian jujur sang mantan rektor terhadap
IMM di sebuah PTM itu terungkap secara tertulis, maka dengan
mudah diketahui oleh publik. Sementara terhadap peristiwaperistiwa serupa, tetapi tidak terpublikasi, tentu saja tidak akan ada
yang mengetahui, kecuali kelompok-kelompok terbatas dalam
PTM-PTM bersangkutan. Jika memang demikian halnya, maka
proses-proses regenerasi pimpinan, intelektual, ulama maupun
posisi-posisi strategis dalam Muhammadiyah benar-benar berada
pada masa yang tidak mudah.
Belakangan ini, kita sering sekali mendengar perbandingan
antara dinamika gerakan intelektual di kalangan generasi muda
Muhammadiyah dan NU. Sejumlah studi dan pengamatan
sementara ini menempatkan NU pada dinamika yang cukup pesat.
Sebaliknya, generasi muda Muhammadiyah cenderung
mengalami stagnasi.
Berbagai faktor diajukan untuk membaca situasi ini, dan banyak
sudah yang kita dengar. Salah satu jawaban akan lambatnya
dinamika generasi muda Muhammadiyah dalam merespon

zaman, serta jauhnya jarak regenerasi di Muhammadiyah, adalah
disebabkan oleh sikap-sikap tidak inklusif sejumlah tokoh

SUARA MUHAMMADIYAH 03 / 96 | 1 - 15 FEBRUARI 2011

57