PENYESUAIAN SOSIAL PADA PENDERITA TRANSVESTISME

(1)

PENYESUAIAN SOSIAL PADA PENDERITA TRANSVESTISME

SKRIPSI

Oleh : Ratih Musfianita

07810003

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2011


(2)

i

PENYESUAIAN SOSIAL PADA PENDERITA TRANSVESTISME

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi

Oleh : Ratih Musfianita

07810003

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2011


(3)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

1. Judul Skripsi : Penyesuaian Sosial pada Penderita Transvestisme 2. Nama Peneliti : Ratih Musfianita

3. NIM : 07810003

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Tanggal Penelitian : 02 September 2011

7. Tanggal Ujian : 05 November 2011

Malang, 11 November 2011 Pembimbing I Pembimbing II


(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah di uji oleh dewan penguji Pada tanggal 05 November 2011

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Hudaniah, S.Psi, M.Si ( )

Anggota Penguji : Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi ( )

Dr. Diah Karmiati, M.Si ( )

Lindayani P, S.Psi, M.Si ( )

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang


(5)

iv

Mengetahui, Malang, 11 November 2011

Ketua Program Studi Yang menyatakan

M. Salis Yuniardi, S.Psi, M.Si Ratih Musfianita SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Ratih Musfianita

NIM : 07810003

Fakultas / Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Menyatakan bahwa skripsi/ karya ilmiah yang berjudul : Penyesuaian Sosial pada Penderita Transvestisme

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan skripsi/ karya ilmiah dari penelitian yang saya lakukan merupakan hal bebas royalti non eksperimen, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahi rahmani rahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penyesuaian Sosial pada Penderita Transvestisme”. Tidak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang yaitu Islam.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnaya kepada:

1. Bapak Drs. Tulus Winarsunu, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammaiyah Malang.

2. Ibu Hudaniah, S.Psi, M.Si, selaku Pembimbing I dan Bapak Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi, selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan selama proses penulisan skripsi ini, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik

3. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M,Si selaku Dosen Wali yang telah mendukung dan memberikan arahan sejak awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Subjek Penelitian di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.

5. Ayahku “ M. Syafe’I, SE “ dan Ibuku “ Mustika, S.Pd “ yang selalu mendoakan, memotivasi, dan memberikan kasih sayang, nasehat dan perhatian yang tidak pernah berhenti selama penulis menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vi

6. Bang Oon, Bang Aan, Fadli, Kakak Amar, Ibu Linda, Mih’Tua, Mih’Mut, Babe, dan Emmu, yang selalu memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. JeRe-ku “ Arif M Rifa’I ” yang setia menemani, memotivasi , dan memberi

pengertian sampai akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabatku Wilda, Barry, Anti, Githa, Tami, Yuli, dan Gengki yang telah membantu penulis, menemani penulis dalam suka dan duka. Terima kasih atas cerita-cerita indah, pengalaman seru, dan hari-hari indah yang kita lalui dari awal semester satu sampai sekarang. Sampai kapanpun kalian akan jadi sahabatku.

9. Teman-teman angkatan 2007 khususnya Psikologi kelas A yang selalu memberikan semangat sehingga penulis terdorong untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan dalam proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan, mendapat pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa tidak ada satupun karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan karya skripsi ini. meski demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.

Malang, 11 November 2011 Penulis


(8)

vii INTISARI

Ratih Musfianita, 07810003 (2011). Penyesuaian Sosial pada Penderita Transvestisme. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Pembimbing: (1) Hudaniah, S.Psi, M.Si (2) Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi

Kata kunci: penyesuaian sosial, transvestisme

Kelainan transvestisme merupakan salah satu bentuk gangguan identitas gender. Pria heteroseksual dalam fantasinya atau secara aktual mengenakan pakaian wanita untuk membangkitkan nafsu seksual dan kemudian mendapatkan kepuasan seksual. Menurut DSM IV, ciri dari pengidap transvestisme disini adalah selama periode kurang lebih dari enam bulan pada pria heterosexual, mengalami fantasi seksual yang intens, kebutuhan seksual, atau perilaku transvestisme serta juga keadaan dimana fantasi seksual, kebutuhan seksual, atau perilaku cross dressing tersebut menjadikan pelaku mengalami tekanan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau fungsi-fungsi penting lainnya, termasuk penyesuaian sosial dari penderita transvestisme. Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh individu terhadap lingkungan di luar dirinya seperti lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. Peneliti disini tertarik untuk mengungkap penyesuaian sosial pada penderita transvestisme. Tujuan penelitian disini adalah untuk mengetahui bagaimana penyesuaian sosial pada individu dengan gejala transvestisme.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif melalui wawancara dan observasi terhadap dua orang subyek dengan persyaratan tertentu, yakni subyek adalah pria, telah melewati masa remaja awal (usia > 17 tahun), memiliki kebiasaan melakukan cross dressing yang menetap selama lebih dari enam bulan, dan memperoleh kepuasan seksual dari kebiasaan tersebut. Untuk pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan metode triangulasi.

Dari hasil penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa penderita transvestisme mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial. Pada subyek Ag, kurangnya penyesuaian sosial tampak pada upaya subyek Ag mengkompensasi kekurangan fisiknya dengan melakukan perawatan rutin serta mengenakan pakaian dan aksesori bermerek, kemudian kurangnya kemampuan subyek Ag dalam berkomunikasi dengan perempuan. Sedangkan pada subyek Tn, kurangnya penyesuaian sosial tampak dari sikap sosial subyek Tn yang egois dan rumit, ketidakpuasan subyek Tn atas hubungannya dengan keluarga, dimana ia merasa tidak disayangi oleh orang tuanya, serta hubungan subyek Tn dengan lingkungan pertemanannya yang kurang baik, dimana subyek Tn cenderung egois dan kurang mempedulikan teman-teman dan orang lain dalam lingkungan tempat tinggalnya. Dari pembahasan tersebut, dapat diketahui bahwa hambatan penyesuaian sosial pada individu transvestit berasal dari sikap sosial individu.


(9)

viii ABSTRACT

Ratih Musfianita, 07810003 (2011). Social Adjustment in Sufferer Transvestism. Undergraduate-Thesis. Faculty of Psychology. University of Muhammadiyah Malang. Advisors: (1) Hudaniah, S.Psi, M.Si (2) Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi

Keywords: social adjustment, transvestism

Transvestism deviation is one of gender identity disturbance. Heterosexual male in his fantasy or actual use female dress to raise his sexual lust, then get sexual satisfaction. According to DSM IV, characteristic of transvestite here is, occurred in more or less six months period on heterosexual male, intent sexual fantasy, sexual needs, or transvestism behavior, also condition where sexual fantasy, sexual needs or cross dressing behavior turn the subject into pressure in their social life, work, or other important functions. This transvestism development basically also influenced by subject’s personality. This personality influenced by many factors, including social adjustment factor. Basically, human is a social creature who always be part of certain environment. That’s why it’s so important for individual to do social adjustment well. Social adjustment is adjusting effort done by individual to environment outside him/her, such as house, school, and society environment. The researcher here has interest to reveal social adjustment in sufferer transvestism. The research purpose here is to know social adjustment in individual with transvestism symptoms.

The research is qualitative research through interview and observation to two subjects with certain conditions, which are subject is a male, he has passed early adolescent phase (age > 17 years old), has habit to do cross dressing stayed for more than six months, reached sexual satisfaction from the habit. For data validity checking, the researcher used triangulation method.

According to research, researcher concluded that sufferer transvestism experience obstructions into do social adjustment. In subject Ag, less social adjustment could be seen from the subject’s effort to compensate his lack of physical appearance by doing regular treatment, and wearing branded clothes and accessories, then lack ability of subject Ag in communicating with female. While in subject Tn, lack of social adjustment could be seen from subject’s social attitude which is egoistic and complicated, subject’s dissatisfaction of his relation with family, where he felt neglected by his parents, also subject Tn’s not-quite-good relationship with his friends environment and other people in his neighborhood. From the discussion, there found that social adjustment obstacles in transvestites in this research came from individual’s social attitude.


(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR... v

INTISARI ... vii

DAFTAR ISI ... ... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial ... 8

2. Aspek-aspek Penyesusaian Sosial ... 9

3. Tanda-tanda Kemampuan Penyesuaian Sosial ... 11

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Sosial ... 12

B. Transvestisme 1. Pengertian ... 14

2. Rentang Usia... 16


(11)

x

4. Ciri-ciri/ Kriteria Transvestisme ... 23

5. Perbedaan antara Transvestisme dan Transeksual…. ... 25

C. Penyesuaian Sosial pada Transvestisme ... 27

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 31

B. Batasan Istilah ... 31

C. Lokasi Penelitian ... 32

D. Subjek Penelitian... 32

E. Prosedur Penelitian ... 33

F. Metode Pengumpulan Data ... 35

G. Analisis Data ... 38

H. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Identitas Subyek Penelitian... 40

2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 40

B. Analisis Data ... 50

C. Pembahasan... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA... 75


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Identitas Subyek Penelitian……… 40 Tabel 4.2. Analisa Penyesuaian Sosial Subyek Ag dan Subyek Tn …. 51


(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Hasil Screening ……… 85 Verbatim ……….. 110


(14)

xiii

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol (2004). Psikologi Kepribadian. Malang:Penerbit UMM Press.

Agustiani, Hendriati. (2009). Psikologi Perkembangan. Cetakan Kedua. Bandung:Refika Aditama.

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders (DSM-IV). Fourth Edition. (2000). Washington: APA

Davison, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. (2006). Abnormal Psychology. New York: John Willey and Sons, inc. Terjemahan: (2010) Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali Press.

Doorn , Poortinga , & Verschoor. (2002) Cross-gender identity in transvestites and male transsexuals. Journal Title: Archives of Sexual Behavior. Volume: 23. Halgin & Whitbourne. (2010). Psikologi Abnormal Perspektif Klinis pada Gangguan

Psikologis. (Terjemahan). Edisi 6. Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika Hurlock, E., (1978). Perkembangan Anak. Jilid 1. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. __________(1987). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

RentangKehidupan ( terjemahan ). Jakarta: Erlangga

Kurniawati, M. (2003). Latar Belakang Kehidupan Laki-laki yang Menjadi Waria. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.

Moleong, L, J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Scott, Richard L. (1995) The Childhood and Family Dynamics of Transvestites. Journal Title: Archives of Sexual Behavior. Volume: 24. Issue: 3.

Semiun, Yustinus (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius

Soesilowindradini. Tanpa tahun. Psikologi Perkembangan (Masa Remaja). Surabaya:Penerbit Usaha Nasional

Yusuf,S. (2004). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset


(15)

xiv Artikel Internet

Anonim, (2011, 17 Juni) Weleh, Martini Nyaris Dinikahi Dania. http://www.wandinews.com/2009/06/weleh-martini-nyaris-dinikahi-dania.html Anonim, (2011, 17 Juni) Icha bersedia melakukan hubungan intim tetapi dengan dua

syarat. www.beritaterbaru.com

Anonim, (2011) Transvestic Fetishism, http://www.minddisorders.com/Py-Z/Transvestic-fetishism.html

Anonim (2011) Cross Dressing Information,

http://www.gendercentre.org.au/cross_dressing_ information.htm Mu’tadin, (2002, 4 September). http ://www.e-psikologi.com.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia dalam hidupnya akan selalu berkembang dan harus melalui tahap-tahap perkembangannya. Akibat dari perkembangan tersebut, manusia akan mengalami perubahan-perubahan, baik fisik maupun psikologisnya. Bila ditinjau dari manusia sebagai makhluk holistic, maka perkembangan manusia tidak akan dapat dilepaskan dari interaksi antara unsur biologis, psikologis, dan sosial. Ketiga unsur ini saling mempengaruhi sebagai satu kesatuan (Maramis dalam Kurniawati, 2003).

Dalam kurun waktu perkembangan tersebut, tidak setiap individu akan berkembang sesuai dengan perkembangan fisiknya. Sebagai contoh, tidak semua anak laki-laki akan berkembang menjadi laki-laki sesungguhnya, dan tidak semua anak perempuan akan berkembang menjadi wanita sesungguhnya. Bisa saja terjadi, anak laki-laki akan berkembang menjadi waria dan anak perempuan berkembangan menjadi “tomboy”.

Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin. Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin.

Salah satu bentuk gangguan identitas jenis kelamin tersebut adalah kelainan transvetisme. Kelainan transvestisme merupakan salah satu bentuk gangguan identitas gender. Pria heteroseksual dalam fantasinya atau secara aktual mengenakan pakaian wanita untuk membangkitkan nafsu seksual dan kemudian mendapatkan kepuasan seksual. Mengenakan pakaian wanita merupakan pernyataan identifikasi diri sebagai “wanita” (feminine identification). Bila keinginan mengenakan pakaian wanita tidak terlaksana, ia akan sangat frustrasi.


(17)

2

Ada kaum transvestit yang melakukan hal itu di kamar tidurnya sendirian, lalu bercermin memandangi dirinya. Pada waktu mengenakan pakaian wanita inilah terjadi ereksi. Di sini orgasme dapat terjadi spontan atau lewat masturbasi. Transvestit lain terdorong untuk mondar-mandir di jalan dengan berpakaian wanita lengkap dengan rambut palsu, tata rias wajah, dan perhiasannya. Ia dapat sangat teliti dan mahir dalam “menyulap” dirinya menjadi wanita, sehingga sering sangat mirip wanita.

Praktik transvestisme ini bervariasi mulai dari memakain pakaian dalam perempuan di balik pakaian konvensional hingga memakai pakaian perempuan lengkap. Beberapa transvestit menyukai muncul di depan umum sebagai perempuan; beberapa peniru penampilan perempuan tersebut menjadi artis panggung di klub-klub malam, memberikan kesenangan bagi banyak orang yang konvensional dalam hal seks dengan menonton pemakai pakaian lawan jenis yang beraksi dengan terampil. Meskipun demikian, kecuali bila memakai pakaian lawan jenis berhubungan dengan gairah seksual, maka para peniru tersebut tidak dianggap transvestik (Davison, Neale, & Kring, 2010:623).

Contoh kasus penyimpangan dimana gender tertentu berperilaku seperti lawan jenisnya antara lain terjadi di Blora, Jawa Tengah, dimana seorang wanita bernama Martini alias Agustin, mengaku sebagai pria bernama Agus dan hampir saja menikah dengan seorang gadis bernama Dania. Artikel dari situs online www.wandinews.com (2011, 17 Juni) menyatakan:

Seorang Wanita Menyamar Menjadi Pria dan Hampir di nikahi sang wanita - Martini alias Agustin (26) sejatinya adalah perempuan. Namun, sehari-hari ia tampil bak pria dengan rambut cepak dan dandanan bak lelaki. Untuk "menyempurnakan" identitasnya sebagai lelaki, ia pun mengaku bernama Rega.

Dengan penampilan seperti itu, ia nyaris menikahi seorang gadis Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sebut saja Dania.

Meskipun jarang, tindakan yang dilakukan oleh Martini tersebut termasuk ke dalam gejala transvestik. Pada dasarnya transvestisme lebih banyak ditemukan pada diri pria. Dimana bila seorang laki-laki, mengalami gairah seksual dengan memakai pakaian perempuan, meskipun ia tetap merasa sebagai laki-laki, maka kondisi ini disebut transvestisme. Terkait kasus Martini, artikel tersebut


(18)

3

mengungkap bahwa Martini sehari-harinya tampil sebagai pria dengan rambut cepak dan dandanan seperti seorang lelaki. Ini menunjukkan bahwa Martini memiliki kecenderungan mengalami kepuasan tersendiri ketika mengenakan pakaian laki-laki yang berlawanan dengan gendernya. Ini menunjukkan adanya unsur transvestisme dalam diri Martini, namun juga ada kecenderungan homoseksualitas, karena Martini memanfaatkan ‘samaran’ tersebut untuk menarik perhatian sesama perempuan.

Kasus yang benar-benar merupakan gambaran fetisisme transvestik terjadi baru-baru ini dimana seseorang bernama Rahmat melaporkan bahwa ternyata istri yang dinikahinya adalah seorang pria. Artikel dari situs www.beritaterbaru.com (2011, 17 Juni) menyatakan:

Berawal dari perkenalan melalui Facebook, Muhammad Umar (32) menikahi ‘gadis’ bernama Fransisca Anastasya (19) alias Icha. Setelah enam bulan pernikahan berjalan, baru diketahui bahwa sang istri yang memakai jilbab itu ternyata seorang pria. Nama asli Icha adalah Rahmat Sulistiyo.

Kasus yang digambarkan pada artikel tersebut sempat menjadi headline beberapa surat kabar nasional karena keunikannya, dimana seorang pria bisa menyamar sebagai perempuan untuk menikah. Kasus ini selain menunjukkan perilaku transvestisme, juga menunjukkan adanya kecenderungan penyimpangan seksual pelaku. Dari gambaran kasus tersebut, nampak bahwa Rahmat Sulistyo menikmati ‘penyamaran’-nya sebagai perempuan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki kecenderungan transvestik terkait terpenuhinya beberapa ciri-ciri khas transvestisme, yaitu perilaku mengenakan pakaian perempuan dalam waktu yang lama, serta juga adanya kepuasan yang didapat pelaku dalam berlaku demikian. Rahmat juga pada dasarnya heteroseksual, karena ia sempat memiliki pacar seorang perempuan. Meskipun demikian, kasus yang terjadi tersebut juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan homoseksualitas dalam diri Rahmat karena ia bersedia ‘berhubungan seksual’ dengan Umar.

Dari berbagai berita, latar belakang pelaku, yaitu Rahmat Sulistyo sebelumnya tidak menunjukkan ada penyimpangan. Hanya saja diberitakan bahwa sebelum bertemu dengan Umar, Rahmat memang baru saja putus cinta dengan kekasihnya dan mungkin hal ini berpengaruh terhadap orientasi seksualnya.


(19)

4

Sebelumnya keluarganya menyatakan bahwa kehidupan Rahmat normal dan ia memiliki pacar seorang perempuan.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa gangguan seksual transvestisme memiliki hubungan erat dengan cross dressing. Penelitian Doorn, Vertinga, & Verschoor, yang dituangkan dalam jurnal “Cross-gender identity in transvestites and male transsexuals” mengungkapkan bahwa Transvestis cenderung menunjukkan identitas pria mereka dan menekankan bahwa mereka berbeda dengan transeksual dimana dalam aktivitasnya mereka berfokus pada pelepasan seksual. Transeksual menekankan identitas cross-gender mereka dan cenderung menyangkal asosiasi erotik pada cross-dressing. Penyangkalan itu berhubungan dengan “kecenderungan dari keinginan untuk melakukan operasi dimana mereka mendistorsi sejarah transeksualisme klasik merek agar memperoleh izin operasi” Dalam suatu proyek penelitian di klinik, suatu perbedaan telah ditemukan pada usia cross-dressing, yang tidak ditemukan Blanchard, dan menyebabkan spekulasi atas distorsi pada sejarah hidup mereka. Ini mengindikasikan bahwa dalam populasi distoris sejarah transeksual tidak ada – atau justru dikurangi dan dilebihkan. Alasannya adalah kebijakan Lembaga Gender yang didasarkan pada diagnosis diri transeksual. Secara keseluruhan, jurnal ini mengungkap perbedaan antara transeksualisme, transvestisme, dan fetisisme melalui variabel transeksual muncul dini (early-onset transsexuals – EOT) dan transeksual muncul kemudian (late-onset transsexual – LOT), yang mana mempertimbangkan relevansi batasan antara transeksual primer dan sekunder yang dibuat oleh teori Doctor.

Jurnal lain, yaitu “The childhood and family dynamics of transvestites” karya Schott, menyatakan bahwa transvestisme seperti halnya parafilia lain, tidak dipahami dengan baik. Penyebab dan kemajuannya sangat kompleks dan dikenali dengan kenyataan dimana sebagian besar transvestis menyimpan permasalahannya sebagai sesuatu yang pribadi, populasi dari transvestit jauh lebih besar dibanding yang ada dalam klinik, dengan pengecualian, hanya yang terbaru yang dipelajari. Artikel mengenai etiologi dan hal transeksual ini muncul sejak beberapa dekade lalu, kemudian ditambahkan dengan studi kasus dan interpretasi psikoanalitik yang dikumpulkan di beberapa bidang. Studi nonklinis terhadap


(20)

5

keluarga dan dinamika masa kanak-kanak dari transvestit, meskipun jarang, telah berkembang. Jurnal ini secara umum mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak dan keluarga berpengaruh pada kebiasaan transvestisme. Hal ini berawal dari kebiasaan melakukan cross-dressing, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi yang sering dilakukan oleh anak-anak. Dari pembahasan singkat tersebut, dapat diketahui bahwa penyebab seseorang menjadi transvesit belum dapat dipastikan. Hanya saja kemungkinan hal tersebut timbul karena perilaku transvestisme yang menetap selama jangka waktu lebih dari enam bulan.

Menurut DSM IV, terdapat ciri dari pengidap transvestic fetishism. Ciri Transvestic fetishism disini adalah selama periode kurang lebih dari enam bulan pada pria heterosexual, mengalami fantasi seksual yang intens, kebutuhan seksual, atau perilaku transvestisme serta juga keadaan dimana fantasi seksual, kebutuhan seksual, atau perilaku cross dressing tersebut menjadikan pelaku mengalami tekanan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau fungsi-fungsi penting lainnya (DSM IV, 2000:575)

Dilihat dari penyebab transvestisme, dapat diketahui salah satu diantaranya adalah karena pelaku mengalami tekanan dalam kehidupan sosial. Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu. Di lingkungan manapun individu berada, ia akan berhadapan dengan harapan dan tuntutan tertentu dari lingkungan yang harus dipenuhinya. Di samping itu individu juga memiliki kebutuhan, harapan dan tuntutan di dalam dirinya yang harus diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan. Bila individu mampu menyelaraskan kedua hal tersebut, maka dikatakan bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri. Jadi penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya (Agustiani, 2009:146).

Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk


(21)

6

mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya (Yusuf, 2004:37).

Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi situasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada saat individu mengatasi kebutuhan, dorongan-dorongan, tegangan dan konflik yang dialami agar dapat menghadapi kondisi tersebut dengan baik. Ada beberapa jenis penyesuaian antara lain penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh individu terhadap lingkungan di luar dirinya seperti lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat (Agustiani, 2009:147) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelompok sesuai dengan keinginan dari dalam dan tuntutan lingkungan.

Berdasarkan hal diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang penyesuaian sosial pada penderita transvestisme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang peneliti paparkan, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana penyesuaian sosial pada penderita transvestisme?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana penyesuaian sosial pada penderita transvestisme.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis: Memperkaya khasanah teori Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial mengenai fenomena transvestisme.

b. Manfaat Praktis :

1) Manfaat bagi orang tua : Memberikan wawasan kepada orang tua tentang pentingnya penyesuaian sosial untuk mencegah agar tidak mengalami penyimpangan kepada anak-anak mereka nantinya, terutama terkait dengan tema yang dibahas peneliti mengenai fenomena transvestisme.


(22)

7

2) Manfaat bagi individu transvestit: Memberikan wawasan bagi individu transvestit untuk dapat menyadari kondisinya serta memberikan wawasan yang bermanfaat untuk kesembuhannya agar tidak berkelanjutan.

3) Manfaat bagi pendidikan: Memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai aspek psikologi klinis dan psikologi sosial, terutama terkait penyesuaian sosial yang penting bagi individu, serta juga memberikan wawasan tentang transvestisme kepada masyarakat.


(1)

Ada kaum transvestit yang melakukan hal itu di kamar tidurnya sendirian, lalu bercermin memandangi dirinya. Pada waktu mengenakan pakaian wanita inilah terjadi ereksi. Di sini orgasme dapat terjadi spontan atau lewat masturbasi. Transvestit lain terdorong untuk mondar-mandir di jalan dengan berpakaian wanita lengkap dengan rambut palsu, tata rias wajah, dan perhiasannya. Ia dapat sangat teliti dan mahir dalam “menyulap” dirinya menjadi wanita, sehingga sering sangat mirip wanita.

Praktik transvestisme ini bervariasi mulai dari memakain pakaian dalam perempuan di balik pakaian konvensional hingga memakai pakaian perempuan lengkap. Beberapa transvestit menyukai muncul di depan umum sebagai perempuan; beberapa peniru penampilan perempuan tersebut menjadi artis panggung di klub-klub malam, memberikan kesenangan bagi banyak orang yang konvensional dalam hal seks dengan menonton pemakai pakaian lawan jenis yang beraksi dengan terampil. Meskipun demikian, kecuali bila memakai pakaian lawan jenis berhubungan dengan gairah seksual, maka para peniru tersebut tidak dianggap transvestik (Davison, Neale, & Kring, 2010:623).

Contoh kasus penyimpangan dimana gender tertentu berperilaku seperti lawan jenisnya antara lain terjadi di Blora, Jawa Tengah, dimana seorang wanita bernama Martini alias Agustin, mengaku sebagai pria bernama Agus dan hampir saja menikah dengan seorang gadis bernama Dania. Artikel dari situs online www.wandinews.com (2011, 17 Juni) menyatakan:

Seorang Wanita Menyamar Menjadi Pria dan Hampir di nikahi sang wanita - Martini alias Agustin (26) sejatinya adalah perempuan. Namun, sehari-hari ia tampil bak pria dengan rambut cepak dan dandanan bak lelaki. Untuk "menyempurnakan" identitasnya sebagai lelaki, ia pun mengaku bernama Rega.

Dengan penampilan seperti itu, ia nyaris menikahi seorang gadis Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sebut saja Dania.

Meskipun jarang, tindakan yang dilakukan oleh Martini tersebut termasuk ke dalam gejala transvestik. Pada dasarnya transvestisme lebih banyak ditemukan pada diri pria. Dimana bila seorang laki-laki, mengalami gairah seksual dengan memakai pakaian perempuan, meskipun ia tetap merasa sebagai laki-laki, maka kondisi ini disebut transvestisme. Terkait kasus Martini, artikel tersebut


(2)

mengungkap bahwa Martini sehari-harinya tampil sebagai pria dengan rambut cepak dan dandanan seperti seorang lelaki. Ini menunjukkan bahwa Martini memiliki kecenderungan mengalami kepuasan tersendiri ketika mengenakan pakaian laki-laki yang berlawanan dengan gendernya. Ini menunjukkan adanya unsur transvestisme dalam diri Martini, namun juga ada kecenderungan homoseksualitas, karena Martini memanfaatkan ‘samaran’ tersebut untuk menarik perhatian sesama perempuan.

Kasus yang benar-benar merupakan gambaran fetisisme transvestik terjadi baru-baru ini dimana seseorang bernama Rahmat melaporkan bahwa ternyata istri yang dinikahinya adalah seorang pria. Artikel dari situs www.beritaterbaru.com (2011, 17 Juni) menyatakan:

Berawal dari perkenalan melalui Facebook, Muhammad Umar (32) menikahi ‘gadis’ bernama Fransisca Anastasya (19) alias Icha. Setelah enam bulan pernikahan berjalan, baru diketahui bahwa sang istri yang memakai jilbab itu ternyata seorang pria. Nama asli Icha adalah Rahmat Sulistiyo.

Kasus yang digambarkan pada artikel tersebut sempat menjadi headline beberapa surat kabar nasional karena keunikannya, dimana seorang pria bisa menyamar sebagai perempuan untuk menikah. Kasus ini selain menunjukkan perilaku transvestisme, juga menunjukkan adanya kecenderungan penyimpangan seksual pelaku. Dari gambaran kasus tersebut, nampak bahwa Rahmat Sulistyo menikmati ‘penyamaran’-nya sebagai perempuan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki kecenderungan transvestik terkait terpenuhinya beberapa ciri-ciri khas transvestisme, yaitu perilaku mengenakan pakaian perempuan dalam waktu yang lama, serta juga adanya kepuasan yang didapat pelaku dalam berlaku demikian. Rahmat juga pada dasarnya heteroseksual, karena ia sempat memiliki pacar seorang perempuan. Meskipun demikian, kasus yang terjadi tersebut juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan homoseksualitas dalam diri Rahmat karena ia bersedia ‘berhubungan seksual’ dengan Umar.

Dari berbagai berita, latar belakang pelaku, yaitu Rahmat Sulistyo sebelumnya tidak menunjukkan ada penyimpangan. Hanya saja diberitakan bahwa sebelum bertemu dengan Umar, Rahmat memang baru saja putus cinta dengan kekasihnya dan mungkin hal ini berpengaruh terhadap orientasi seksualnya.


(3)

Sebelumnya keluarganya menyatakan bahwa kehidupan Rahmat normal dan ia memiliki pacar seorang perempuan.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa gangguan seksual transvestisme memiliki hubungan erat dengan cross dressing. Penelitian Doorn, Vertinga, & Verschoor, yang dituangkan dalam jurnal “Cross-gender identity in transvestites and male transsexuals” mengungkapkan bahwa Transvestis cenderung menunjukkan identitas pria mereka dan menekankan bahwa mereka berbeda dengan transeksual dimana dalam aktivitasnya mereka berfokus pada pelepasan seksual. Transeksual menekankan identitas cross-gender mereka dan cenderung menyangkal asosiasi erotik pada cross-dressing. Penyangkalan itu berhubungan dengan “kecenderungan dari keinginan untuk melakukan operasi dimana mereka mendistorsi sejarah transeksualisme klasik merek agar memperoleh izin operasi” Dalam suatu proyek penelitian di klinik, suatu perbedaan telah ditemukan pada usia cross-dressing, yang tidak ditemukan Blanchard, dan menyebabkan spekulasi atas distorsi pada sejarah hidup mereka. Ini mengindikasikan bahwa dalam populasi distoris sejarah transeksual tidak ada – atau justru dikurangi dan dilebihkan. Alasannya adalah kebijakan Lembaga Gender yang didasarkan pada diagnosis diri transeksual. Secara keseluruhan, jurnal ini mengungkap perbedaan antara transeksualisme, transvestisme, dan fetisisme melalui variabel transeksual muncul dini (early-onset transsexuals – EOT) dan transeksual muncul kemudian (late-onset transsexual – LOT), yang mana mempertimbangkan relevansi batasan antara transeksual primer dan sekunder yang dibuat oleh teori Doctor.

Jurnal lain, yaitu “The childhood and family dynamics of transvestites” karya Schott, menyatakan bahwa transvestisme seperti halnya parafilia lain, tidak dipahami dengan baik. Penyebab dan kemajuannya sangat kompleks dan dikenali dengan kenyataan dimana sebagian besar transvestis menyimpan permasalahannya sebagai sesuatu yang pribadi, populasi dari transvestit jauh lebih besar dibanding yang ada dalam klinik, dengan pengecualian, hanya yang terbaru yang dipelajari. Artikel mengenai etiologi dan hal transeksual ini muncul sejak beberapa dekade lalu, kemudian ditambahkan dengan studi kasus dan interpretasi psikoanalitik yang dikumpulkan di beberapa bidang. Studi nonklinis terhadap


(4)

keluarga dan dinamika masa kanak-kanak dari transvestit, meskipun jarang, telah berkembang. Jurnal ini secara umum mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak dan keluarga berpengaruh pada kebiasaan transvestisme. Hal ini berawal dari kebiasaan melakukan cross-dressing, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi yang sering dilakukan oleh anak-anak. Dari pembahasan singkat tersebut, dapat diketahui bahwa penyebab seseorang menjadi transvesit belum dapat dipastikan. Hanya saja kemungkinan hal tersebut timbul karena perilaku transvestisme yang menetap selama jangka waktu lebih dari enam bulan.

Menurut DSM IV, terdapat ciri dari pengidap transvestic fetishism. Ciri Transvestic fetishism disini adalah selama periode kurang lebih dari enam bulan pada pria heterosexual, mengalami fantasi seksual yang intens, kebutuhan seksual, atau perilaku transvestisme serta juga keadaan dimana fantasi seksual, kebutuhan seksual, atau perilaku cross dressing tersebut menjadikan pelaku mengalami tekanan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau fungsi-fungsi penting lainnya (DSM IV, 2000:575)

Dilihat dari penyebab transvestisme, dapat diketahui salah satu diantaranya adalah karena pelaku mengalami tekanan dalam kehidupan sosial. Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang selalu menjadi bagian dari lingkungan tertentu. Di lingkungan manapun individu berada, ia akan berhadapan dengan harapan dan tuntutan tertentu dari lingkungan yang harus dipenuhinya. Di samping itu individu juga memiliki kebutuhan, harapan dan tuntutan di dalam dirinya yang harus diselaraskan dengan tuntutan dari lingkungan. Bila individu mampu menyelaraskan kedua hal tersebut, maka dikatakan bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri. Jadi penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai cara tertentu yang dilakukan oleh individu untuk bereaksi terhadap tuntutan dalam diri maupun situasi eksternal yang dihadapinya (Agustiani, 2009:146).

Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk


(5)

mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya (Yusuf, 2004:37).

Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi situasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada saat individu mengatasi kebutuhan, dorongan-dorongan, tegangan dan konflik yang dialami agar dapat menghadapi kondisi tersebut dengan baik. Ada beberapa jenis penyesuaian antara lain penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh individu terhadap lingkungan di luar dirinya seperti lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat (Agustiani, 2009:147) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelompok sesuai dengan keinginan dari dalam dan tuntutan lingkungan.

Berdasarkan hal diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang penyesuaian sosial pada penderita transvestisme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang peneliti paparkan, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana penyesuaian sosial pada penderita transvestisme?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana penyesuaian sosial pada penderita transvestisme.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis: Memperkaya khasanah teori Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial mengenai fenomena transvestisme.

b. Manfaat Praktis :

1) Manfaat bagi orang tua : Memberikan wawasan kepada orang tua tentang pentingnya penyesuaian sosial untuk mencegah agar tidak mengalami penyimpangan kepada anak-anak mereka nantinya, terutama terkait dengan tema yang dibahas peneliti mengenai fenomena transvestisme.


(6)

2) Manfaat bagi individu transvestit: Memberikan wawasan bagi individu transvestit untuk dapat menyadari kondisinya serta memberikan wawasan yang bermanfaat untuk kesembuhannya agar tidak berkelanjutan.

3) Manfaat bagi pendidikan: Memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai aspek psikologi klinis dan psikologi sosial, terutama terkait penyesuaian sosial yang penting bagi individu, serta juga memberikan wawasan tentang transvestisme kepada masyarakat.