Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

(1)

GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA

PENDERITA SINUSITIS KRONIS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH: RIRI AMALIAH

101301003

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Genap, 2013/2014


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA PENDERITA SINUSITIS KRONIS

Dipersiapkan dan Disusun oleh: RIRI AMALIAH

101301003

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 16 Juli 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji 1. Indri Kemala Nst, M.Psi, psikolog Penguji I/

NIP. 198303192006042001 Pembimbing 2. Ade Rahmawati, M.Psi, psikolog Penguji II

NIP. 198104032005022001

3. Meutia Nauly, M.Si, psikolog Penguji III NIP. 196711272000032001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Medan, 5 Juli 2014

Riri Amaliah NIM 101301003


(4)

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis Riri Amaliah dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis. Sinusitis kronis dapat menjadi salah satu hambatan pada remaja dalam melakukan penyesuaian sosial. Teori penyesuaian sosial dari Schneider (1964) digunakan berdasarkan aspek penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Prosedur pengambilan partisipan dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja perempuan yang menderita sinusitis kronis mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dan masyarakat dikarenakan adanya perasaan malu untuk menjalin hubungan dengan oranglain. Namun remaja perempuan tersebut mampu melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dengan baik karena adanya dukungan serta perhatian dari anggota keluarga. Remaja laki-laki yang mengalami penyakit sinusitis kronis, dapat mengatasi segala hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat. Lingkungan yang positif dalam menanggapi penyakit sinusitis kronis serta adanya dukungan serta perhatian dari beberapa pihak membuat remaja laki-laki tersebut dapat dengan baik melakukan penyesuaian sosial meskipun dengan kondisi penyakit sinusitis kronis. Selain itu, ada faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada kedua partisipan, yaitu faktor kepribadian dan jenis kelamin..


(5)

Overview of the Social Adjustment In Adolescents Chronic Sinusitis Patients Riri Amaliah and Indri Nasution Kemala

ABSTRACT

This study aims to describe the social adjustment in young patients with chronic sinusitis. Chronic sinusitis can interrupted with the social adjustment of an adolescence. The theory of social adjustment of Schneider (1964) used by the aspect of social adjustment in the family, at school and in the community through qualitative research with intrinsic case study approach. Participants in this study amounted to 2 people. Participants performed retrieval procedure based on the theory or operational construct.

The results of this study indicate that adolescent girls who suffer from chronic sinusitis have problems in social adjustment in the school and community environment due to feelings of shame to build relationships with other people. But teenage girls are able to make adjustments in the social environment of a well because of the support and care of family members. Teenage boys who experience chronic sinusitis, can overcome all obstacles in social adjustment in the family, school and community. Positive environment in response to chronic sinusitis disease and the support and attention of several parties make teenage boys can be socially well adjusted despite the condition of chronic sinusitis. In addition, there are other factors that influence the social adjustment on both participants, the personality factors and gender.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan berkah dan hidayahNya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya.

Adapun judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir ini, yaitu “ Gambaran Penyesuaian Sosial pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis “.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah tercinta Suhanto dan ibunda tersayang Asmaliah Rangkuti . Terima kasih atas semangat serta kasih sayang yang sampai saat ini masih penulis rasakan. Terima kasih juga karena telah berdoa buat anaknya, bersabar mendampingi serta mendengarkan keluh kesah selama menjalani masa perkuliahan, terutama saat menyelesaikan skripsi ini dan terima kasih untuk bantuan materil dan spiritual yang telah diberikan selama ini.

2. Ibu Prof.Dr.Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Psikologi USU.

3. Terima kasih penulis ucapkan kepada I


(7)

meluangkan waktu dan fikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah Swt membalas segala kebaikan yang telah ibu berikan.

4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ade Rahmawati, M.Si, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya ditengah kesibukan dan memberikan banyak masukan sehingga penelitian ini bisa lebih baik lagi.

5. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.,A selaku pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan dan sarannya untuk terus bersemangat dalam menjalani kegiatan akademik.

6. Terima kasih buat saudara-saudaraku tercinta bang Fadly, Syafira Amaliah dan yang paling utama Rizka Amaliah untuk dukungan serta doanya selama ini .

7. Terima kasih buat teman terbaikku, teman saat susah dan senang (Rizqi Chairiyah, Rosa Mentari Putri, Fauziah Nami Nst, Cut Rafyqa dan Tika Ramadhani) yang selalu siap memberikan doa dan bantuannya.

8. Terima kasih buat Ahmad Fauzi yang telah membantu mencari responden, memberikan dukungan, masukan atas jalannya penelitian ini, dan mendengarkan keluh kesah penulis dengan sabar.


(8)

9. Seluruh teman-teman seperjuangan angakatan 2010, terima kasih buat kerjasamanya selama ini.

10.Terimakasih juga buat kak Zizah dan Jamal yang membantu penulis dalam mencari responden demi terselesaikannya penelitian ini.

11.Kepada kedua Partisipan dan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan bantuan yang telah diberikan.

Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER DALAM ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

a. Manfaat Teoritis ... 10

b. Manfaat Praktis ... 11


(10)

BAB II LANDASAN TEORI

A.Penyesuaian Sosial ... 13

1. Pengertian Penyesuaian Sosial ... 13

2. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 14

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ... 15

B. Penyakit Kronis Sinusitis ... 16

1. Pengertian Penyakit Kronis Sinusitis ... 16

2. Gejala dan Tanda Klinis ... 17

C. Remaja ... 20

1. Definisi Remaja ... 20

2. Batasan Usia Remaja ... 20

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 21

D. Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis ... 22

E. Paradigma Teoritis ... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif ... 26

B. Lokasi Penelitian ... 26

C. Partisipan Penelitian ... 27

D. Metode Pengumpulan Data ... 28


(11)

F. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 30

G. Kredibilitas Penelitian ... 31

H. Prosedur Penelitian ... 32

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 32

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 35

3. Tahap Pencatatan Data ... 37

I. Metode Analisa Data ... 37

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Hasil ... 41

1. Analisa Data Partisipan 1 ... 41

2. Data Wawancara Partisipan 1 ... 42

a. Data Hasil Observasi ... 43

b. Data Hasil Wawancara ... 45

B. Analisa dan Pembahasan Partisipan 2 ... 64

1. Analisa Data Partisipan 2 ... 64

2. Data Wawancara Partisipan 2 ... 65

a. Data Hasil Observasi ... 65

b. Data Hasil Wawancara ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan 1 ... 41

Tabel 2 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1 ... 42

Tabel 3 Rekapitulasi Penyesuaian Sosial Penderita Sinusitis Kronis ... 61

Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan 2 ... 64

Tabel 5 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 2 ... 65

Tabel 6 Rekapitulasi Penyesuaian Sosial Penderita Sinusitis Kronis ... 84

Tabel 7 Analisa Banding ... 87


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Penderita

Sinusitis Kronis Partisipan 1 ... 63 Gambar 2 Skema Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Penderita


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Informed Consent


(15)

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis Riri Amaliah dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis. Sinusitis kronis dapat menjadi salah satu hambatan pada remaja dalam melakukan penyesuaian sosial. Teori penyesuaian sosial dari Schneider (1964) digunakan berdasarkan aspek penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Prosedur pengambilan partisipan dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja perempuan yang menderita sinusitis kronis mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dan masyarakat dikarenakan adanya perasaan malu untuk menjalin hubungan dengan oranglain. Namun remaja perempuan tersebut mampu melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dengan baik karena adanya dukungan serta perhatian dari anggota keluarga. Remaja laki-laki yang mengalami penyakit sinusitis kronis, dapat mengatasi segala hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat. Lingkungan yang positif dalam menanggapi penyakit sinusitis kronis serta adanya dukungan serta perhatian dari beberapa pihak membuat remaja laki-laki tersebut dapat dengan baik melakukan penyesuaian sosial meskipun dengan kondisi penyakit sinusitis kronis. Selain itu, ada faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada kedua partisipan, yaitu faktor kepribadian dan jenis kelamin..


(16)

Overview of the Social Adjustment In Adolescents Chronic Sinusitis Patients Riri Amaliah and Indri Nasution Kemala

ABSTRACT

This study aims to describe the social adjustment in young patients with chronic sinusitis. Chronic sinusitis can interrupted with the social adjustment of an adolescence. The theory of social adjustment of Schneider (1964) used by the aspect of social adjustment in the family, at school and in the community through qualitative research with intrinsic case study approach. Participants in this study amounted to 2 people. Participants performed retrieval procedure based on the theory or operational construct.

The results of this study indicate that adolescent girls who suffer from chronic sinusitis have problems in social adjustment in the school and community environment due to feelings of shame to build relationships with other people. But teenage girls are able to make adjustments in the social environment of a well because of the support and care of family members. Teenage boys who experience chronic sinusitis, can overcome all obstacles in social adjustment in the family, school and community. Positive environment in response to chronic sinusitis disease and the support and attention of several parties make teenage boys can be socially well adjusted despite the condition of chronic sinusitis. In addition, there are other factors that influence the social adjustment on both participants, the personality factors and gender.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan manusia. Masa remaja juga merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Remaja akan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui sebagai persiapan memasuki tugas perkembangan tahap berikutnya (Hurlock, 1999). Dalam masa peralihan ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam perkembangan manusia dimana karena adanya perubahan tersebut, tentu saja akan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh remaja, baik secara fisik, psikis maupun sosial (Thornburg, 1982).

Masa akhir remaja merupakan masa yang kritis, yaitu saat untuk berjuang melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa Hurlock (1999). Keberhasilan remaja melalui masa transisi ini dipengaruhi baik oleh faktor fisik, psikis maupun sosial (Thornburg, 1982). Hurlock (1999) mengatakan bahwa keadaan fisik sangat mempengaruhi penyesuaian seseorang. Adanya cacat fisik atau penyakit tertentu sering menjadi latar belakang terjadinya hambatan sosial. Matches dan Kahn dalam Hurlock, (1999) mengatakan bahwa dalam interaksi


(18)

sosial, penampilan fisik yang menarik merupakan potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan.

Menurut American Academy of Pediatrics (1993), kondisi kesehatan kronis merupakan suatu penyakit atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan (Belsky, 1990). Banyak orang dengan penyakit kronis merasa sadar diri tentang masalah kesehatan mereka, bahkan adanya stigma yang ingin mereka sembunyikan dari orang lain (Scambler dalam Sarafino, 2011). Jadi, penyakit kronis dapat menghambat tumbuh kembang remaja karena hampir seluruh hidupnya dalam kondisi terkena penyakit, meskipun beberapa penderita penyakit kronis tetap bisa menjalankan hidupnya seperti orang normal biasanya.

Salah satu fenomena di lingkungan sekitar adalah seorang remaja yang menderita penyakit sinusitis kronis. Penyakit sinusitis kronis tersebut merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan yang paling banyak terjadi di dunia serta merupakan penyakit yang sering ditemukan pada praktek dokter sehari-hari (Hsin; Chen; Su, Jiang; Liu, 2010). Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar


(19)

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusomo, 2007). Survei Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 provinsi. Data dari Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (Mangunkusomo, 2007).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis. Sinusitis dikatakan kronis ketika penyakit tersebut berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang irrevisible (Hilger, 1997). Sejalan dengan pernyataan salah satu subjek, yang dalam hal ini salah satu remaja penderita sinusitis ini telah mengalami sinusitis saat berumur 5 tahun dan sampai sekarang umur 15 tahun.

“ ... pas itu udah beberapa kali ngikuti cara penyembuhan kayak scanning, penyedotan di hidung, tapi gak sembuh juga tapi penyakit sinusitisnya makin parah ..”

( Komunikasi personal, 28 oktober 2013)

Banyak gejala-gejala yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis tersebut. Beberapa gejala infeksi sinusitis yang ditimbulkan berupa demam, perasaan umum tidak sehat (malaise), dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain (Arsyad, Efiaty;


(20)

Iskandar, Nurbaiti; Bashiruddin, Jenny; Dwi, Ratna, 2007). Gejala terparah yang sekarang ini dirasakan penderita berupa penghidu, yaitu hilangnya indra penciuman dimana pasien tidak bisa mencium bau yang bisa dicium orang normal.

“ .... gak enak lah, sekarang udah gak bisa lagi cium bau-bau atau wewangian yang ada, termasuk bau dari hidung saya sendiri ...”

(komunikasi personal, 29 juni 2013)

Hilangnya penciuman (penghidu) merupakan salah satu gejala atau keluhan yang sering dirasakan penderita sinusitis kronis. Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah tulang ethmoid (Ballenger, 1997). Gejala lain yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis ini berupa sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada. Secret mukopurulen merupakan cairan yang bersifat kental berwarna kehijauan yang terkadang seperti nanah (Sobol, 2011). Sekret mukoprulen yang berbau busuk sering dirasakan oleh individu yang berada disekitar penderita. Hal tersebut diungkapkan responden pada saaat wawancara.

“ .... selalu orang bilang, “hidungmu bau kali, bau kali atau ada yang bilang mulutmu bau, mungkin karena bau dari hidungnya, jadi difikir temen mulut yang bau ..

(komunikasi personal, 29 juni 2013)

“..malu kak, kalau ada teman yang bilang hidung saya bau. Jadi, kalau sama temen deket kira-kira ngerasa bau, yah sadar aja, kasi jarak sama kawan. Tapi kalau sama kawan dekat pasti, mereka udah ngerti, jadi kalau bau kali, mereka yang kasi jarak …. “

(komunikasi personal, 29 juni 2013)


(21)

Keluhan sinusitis kronis terkadang tidak begitu khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 gejala tersebut yang timbul (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Masalah kesehatan kronis seperti ini biasanya mengharuskan pasien dan keluarganya membuat penyesuaian perilaku, sosial dan emosional. Belajar dari penyakit kronis yang serius dengan cepat mengubah cara mereka melihat diri mereka dan kehidupan mereka (Sarafino, 2011).

Pollin (1984) menyatakan bahwa individu akan menghadapi penyesuaian penting selama tiga kali, yaitu ketika kondisi kronis tersebut di diagnosa, ketika penyakitnya semakin memburuk dan pada titik dimana situasi tersebut harus diatasi oleh orang medis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan subjek dimana saat pertama kali didiagnosa terkena penyakit sinusitis saat umur 5 tahun rasanya tidak percaya :

eee.. perasaannya ya campur aduk, antara percaya dan tidak. Tapi

dengan seperti itu saya jadi berkemauan untuk sembuh dengan cara apapun asalkan saya sembuh ...”

(Komunikasi Personal, 27 juni 2013 ).

Hurlock (1999) menerangkan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Penyesuaian sosial itu sendiri merupakan kemampuan remaja dalam menyesuaikan dirinya pada lingkungan sekitarnya, sehingga tercapai hidup yang selaras dan harmonis.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa remaja yang tidak memiliki penampilan fisik sempurna, mereka seringkali menolak keadaan fisiknya sehingga


(22)

tampak mengasingkan diri dari pergaulan sosial. Schneider (1964) menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mampu membangun relasi dengan orang lain dan lebih menutup diri dari relasi sosial akan menghasilkan penyesuaian sosial yang buruk. Individu yang tidak berhasil atau gagal dalam melakukan penyesuaian sosial dan tidak mampu mengatasi konflik yang dihadapinya atau tidak menemukan cara-cara yang tepat untuk mengatasi masalah atau tuntutan dari lingkungan, sehingga hal tersebut menimbulkan rasa frustrasi pada dirinya. Penyesuaian sosial yang tidak berhasil terjadi karena kondisi tertekan yang dialami individu yang mengakibatkan ia bertindak tidak rasional dan tidak efektif, serta mendorong individu melakukan usaha yang tidak realistis untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Schneider, 1964).

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Penyesuaian sosial juga disebut sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial tersebut meliputi penyesuaian di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, kondisi lingkungan, serta budaya dan agama.

Remaja yang memiliki penyesuaian sosial yang baik berkembang menuju pribadi yang dewasa, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai


(23)

masyarakat, seperti hukum, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial. Penyesuaian sosial seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti, kondisi kesehatan ( Schneider, 1964).

Remaja dalam kondisi kesehatan dengan penyakit kronis akan berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis terkadang memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003). Menghadapi penyakit kronis yang mungkin diidap selama bertahun-tahun, pasien dan keluarga perlu melakukan penyesuaian sosial dan emosional yang baik (Sarafino, 2011). Menurut Pollock, Christian & Sands dalam Sarafino, (2011), orang-orang yang mengatasi masalah kesehatan kronisnya dengan baik memiliki kepribadian yang kuat atau tangguh yang memungkinkan mereka untuk melihat sisi baik atau menemukan arti dalam situasi yang sulit.

Menurut Schneider (1964) dengan adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga ditambah lagi dengan kepribadian yang tangguh dapat memberikan semangat untuk tetap menjalani hidup meskipun dengan penyakit sinusitis kronis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari salah satu subjek :

“ ... keluarga terutama orang tua tuh selalu cari obat supaya cepat sehat, paling gak, gak ada bau dan tidak pening kepala sama penciuman ada lagi”


(24)

“ …kadang-kadang kalo pas pening kepala, mama perhatian, karena kan sampe sakitt kali .. ee kalo ingus besarnya mau keluar sampe capek di kamar madi tunduk-tunduk. Mama lah sama kakak paling yang baek, haha pagi-pagi masak air hangat untuk di hirup, kalo pas ada duit kakak belii obat yang untuk diteteskan ke air minum, gitulah “

(Komunikasi personal, 28 oktober 2013)

Penyesuaian sosial yang baik, bisa didapatkan di keluarga dengan tidak adanya penolakan dari orang tua terhadap remaja yang menderita sinusitis kronis (Schneider, 1964). Adanya kemauan untuk saling membantu antar anggota keluarga dalam proses penyesuaian sosial remaja membuat remaja dapat melakukan penyesuaian sosial dilingkungan keluarga dengan lebih baik. Sumber utama dukungan sosial bagi kebanyakan orang yang sakit biasanya berasal dari keluarga mereka (Berg & Upchurch; Miller & Cafasso; dalam Sarafino, 2011). Namun, dukungan informasi dan emosional dari teman-teman dan tetangga, dapat membantu orang dengan masalah medis tertentu (Sarafino, 2011).

Perhatian dan penerimaan diri dari teman sebaya maupun guru di lingkungan sekolah dan berpartisipasi pada aktivitas di sekolah serta menjalin hubungan baik dengan komponen sekolah dapat membantu remaja dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. Penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara wajar dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi diri dari lingkungannya (Schneider, 1964).

Hasil penelitian Hamzah, Nurul, (2010) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan penyesuaian sosial remaja berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan


(25)

penyesuaian sosial antara laki-laki dan perempuan yaitu penyesuaian sosial remaja perempuan lebih tinggi dari pada remaja laki-laki. Dari perbedaan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal remaja itu sendiri seperti kematangan fisik dan kemampuan sosio empatis, sedangkan faktor eksternal adalah bagaimana lingkungan dan budaya memberikan fasilitas yang positif terhadap perkembangan sosial remaja itu sendiri.

“. . . saya sih ngerasa, saya punyalah kemampuan bersosialisasi yang baik, namanya juga cewek kan (tertawa), kalau respon dari lingkungan sama tingkah laku kita postif, pasti penyesuaian sosial pun gak susah, semuanya kan tergantung gimana orangnya dan kek mana dia nanggapi situasi .”

( Komunikasi personal, 28 oktober 2013 )

Penyesuaian sosial akan dikatakan baik juga apabila individu tersebut mampu menciptakan relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, serta menghargai nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Ketika individu ini tidak memiliki ketertarikan untuk berpartisipasi dengan aktivitas dilingkungannya serta tidak mampu untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, penyesuaian sosial individu tersebut dapat dikatakan buruk (Schneider, 1964).

“… karena sakit sinusitis ini dan karena sekolah juga full jadi jarang main sama tetangga, soalnya kalau panas kan bau hidungnya, pening juga kak, lagian di rumah gak tau juga mau ikut kegiatan apa, gak minat (Komunikasi personal 28 oktober 2013)

Individu yang bersikap hormat terhadap suatu aturan yang ada di masyarakat, dapat membantu seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial dengan baik di lingkungannya. Mengenal dan menghormati orang lain di


(26)

lingkungan masyarakat juga membantu seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat (Schneider, 1964).

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, perkembangan yang terjadi pada remaja meliputi aspek fisik, kognitif dan sosial. Kondisi fisik seperti kesehatan yang kurang baik seperti dalam penelitian ini, yaitu penyakit sinusitis kronis dapat mengganggu penyesuaian sosial seorang remaja. Remaja melakukan penyesuaian sosial secara baik atau tidak bergantung pada bagaimana remaja melakukan penyesuaian sosial terhadap keluarga, lingkungan sekolah serta masyarakat dengan efektif. Dengan alasan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang penyesuaian sosial yang dilakukan pada remaja penderita sinusitis kronis.

B. Rumusan Penelitian

Bagaimana penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis dilihat dari aspek-aspek penyesuaian sosial ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis.

D. Manfaat Penelitian I. Manfaat Teoritis

1. Menjadi salah satu sumber bahan atau rujukan bagi penelitian sejenis dimasa depan.


(27)

2. Memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu Psikologi terutama pengetahuan dalam bidang psikologi perkembangan yang berkaitan dengan penyesuaian sosial .

II. Manfaat Praktis

1. Memberi tambahan informasi kepada remaja mengenai hal – hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyesuaian sosial, khususnya pada remaja penderita sinusitis kronis agar dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

2. Menambah informasi mengenai penyesuaian sosial yang baik pada penderita sinusitis, agar penderita sinusitis dapat diterima di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat meskipun dengan kondisi sinusitis kronis .

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan yang digunakan peneliti dalam peneitian ini adalah, sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.


(28)

Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori mengenai penyesuaian sosial, penyakit kronis yaitu sinusitis kronis, gambaran penyesuaian sosial remaja penderita sinusits kronis dan paradigma teoritis .

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, serta prosedur penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini berisi deskripsi responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data - data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan saran mengenai penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis.


(29)

BAB II Landasan Teori

A. Penyesuaian Sosial

1. Pengertian Penyesuaian Sosial

Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Eysenck, dkk dalam Anantasri, (1997) penyesuaian sosial merupakan proses individu atau suatu kelompok mencapai keseimbangan sosial dalam arti tidak mengalami konflik dengan lingkungan, dengan demikian individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Schneiders (1964) juga menyebutkan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial adalah proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya (Schneiders, 1964).

Dari pengertian diatas didapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial agar dapat memenuhi tuntutan dalam kehidupan sosial.


(30)

2. Aspek – Aspek Penyesuaian Sosial

Menurut Schneider (1964) aspek – aspek penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:

a. Penyesuaian sosial terhadap keluarga

Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan keluarga memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga, tidak ada penolakan (rejection) orang tua terhadap anak – anaknya, tidak ada permusuhan, rasa benci atau iri hati antar anggota keluarga.

2. Adanya penerimaan otoritas orang tua, hal ini penting untuk kestabilan rumah tangga dan anak wajib menerima disiplin orang tua secara logis. 3. Kemampuan untuk mengemban tanggung jawab dan penerimaan terhadap

pembatasan atau larangan yang ada di dalam peraturan keluarga.

4. Adanya kemauan saling membantu antara anggota keluarga baik secara perorangan maupun kelompok.

5. Kebebasan dari ikatan secara emosional secara bertahap dan menumbuhkan rasa mandiri.

b. Penyesuaian sosial terhadap lingkungan sekolah

Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan sekolah memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

1. Adanya perhatian, penerimaan, minat dan partisipasi terhadap fungsi dan aktivitas sekolah.


(31)

2. Adanya hubungan yang baik dengan komponen sekolah seperti guru, dan teman sebaya.

c. Penyesuaian sosial terhadap lingkungan masyarakat

Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan masyarakat memiliki ciri – ciri sebagai berikut :

1. Mengenal dan menghormati orang lain di sosial

2. Bergaul dengan orang lain dan mampu mengembangkan sifat bersahabat, keduanya diperlukan untuk penyesuaian sosial yang efektif.

3. Penyesuaian sosial yang menarik dan dukungan untuk kesejahteraan orang lain.

4. Bersikap hormat terhadap hukum, tradisi, dan adat istiadat. Adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati peraturan dan tradisi yang berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima dengan baik dilingkungannya

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial

Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian sosial seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kondisi Fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi hereditas, konstitusi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot. b. Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan


(32)

c. Kondisi psikologis, meliputi pengalaman. Selain itu ada proses belajar, pembiasaan, frustrasi, dan konflik.

d. Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah dan keluarga, dimana kondisi keluarga dapat menimbulkan kesulitan remaja melakukan penyesuaian sosial.

e. Faktor kebudayaan, termasuk agama. Dimana nilai-nilai sosial budaya mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang, termasuk penyesuaian sosialnya.

B. Penyakit Kronis Sinusitis

1. Pengertian Penyakit Kronis Sinusitis

Penyakit kronis merupakan penyakit yang perlu dikelola selama periode bulan, tahun, atau bahkan perjalanan hidup. Penyakit kronis terdiri dari kelompok yang sangat beragam gangguan, yang memiliki berbagai implikasi bagi perkembangan psikologis anak (Wenar, 2006). Penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan (Belsky, 1990).

Salah satu penyakit kronis tersebut ialah sinusitis. Sinusitis merupakan proses peradangan pada lapisan mukosa sinus paranasal yang mungkin timbul dari sejumlah penyebab, mulai untuk sederhana, peradangan lokal, dengan gangguan sistemik yang serius (Jovce, 2003). Sinusitis kronis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007)


(33)

Hilger (1997) mengklasifikasi secara klinis sinusitis atas tiga bagian yaitu sinusitis akut, sinusitis subakut dan sinusitis kronis. Menurut Cody (1991) sinusitis dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yang pertama yaitu sinusitis akut yaitu suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung adari 1 hari sampai 3 minggu, yang kedua sinusitis sub akut, yaitu infeksi sinusitis yang berlangsung 3 minggu sampai sekitar 3 bulan, dan yang ketiga adalah sinusitis kronik yang dimulai sekitar 3 bulan dan berlangsung sampai waktu yang tidak terbatas. Dapat disimpulkan bahwa, penyakit kronis sinusitis merupakan peradangan lapisan mukosa sinus paranasal yang mempunyai perjalanan penyakit yang bertahap dan cukup lama yang berlangsung lebih dari 3 bulan.

2. Gejala dan Tanda Klinis

Menurut Ballenger, (2007) gejala – gejala yang timbul dari penyakit sinusitis kronis yaitu :

a. Gejala subyektif a.1 Nyeri

Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara anatomi, gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari saluran didalam pembuluh tubuh (lumen sinus) hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa (Ballenger, 1997).


(34)

a.2 Sakit kepala

Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff dalam Ballenger (1997) menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya berlebihnya cairan didalam tubuh (kongesti) dan pembengkakan (edema ) di saluran yang dilewati darah ke jantung (ostium) sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber di hidung akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap. Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Ballenger, 1997).

a.3 Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di hidung yang berhubungan dengan permukaan wajah (Ballenger, 1997).

a.4 Gangguan penghindu

Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah tulang ethemoid (konka media). Oleh karena itu ventilasi pada meatus


(35)

superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).

b. Gejala Obyekif

b.1 Pembengkakan dan udem

Jika sinusitis yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat radang akut (periostitis). Palpasi atau tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Ballenger, 1997).

b. 2 Sekret nasal

Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinusitis yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini (Ballenger, 1997). Pada

rinoskopi anterior dapat ditemukan secret kental mukopurulen dari meatus

medius, secret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada.

c. Diagnosis sinusitis kronis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat medis (anamnesis), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan

rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk


(36)

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau scan. CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal, hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan pra-operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto, 2007).

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Santrock (2003) mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan” (Hurlock, 1999). Remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, namun tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Piaget (Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa istilah “adolescence” mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik. Dapat disimpulkan bahwa, remaja adalah individu yang berada pada peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

2. Batasan Usia Remaja


(37)

a. Remaja Awal (Early adolescence)

Sub tahap ini ditunujukan untuk individu yang berusia 11-14 tahun . Umumnya sama dengan siswa yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan untuk pubertas.

b. Remaja Akhir ( Late Adolescence)

Sub tahap ini ditunjukan unutk individu yang berusia 15-19 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal perkuliahan. Dalam sub tahap ini muncul minat yang lebih nyata untuk karir, pacaran, dan ekplorasi identitas .

Yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah individu dalam sub tahap remaja akhir yang mengalami transisi menuju dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) ada beberapa tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan.

b. Mencapai peran sosial laki-laki dan perempuan.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab. e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa

lainnya.


(38)

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

D. Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

Schneiders (1964) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya. Schneiders (1964) juga menyebutkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa penyesuaian sosial yang berhasil akan menuju pada kondisi mental yang baik dalam arti mampu memecahkan masalahnya dengan cara realistis, menerima dengan baik sesuatu yang tidak dapat dihindari, memahami secara obyektif kekurangan orang lain yang bekerja dengan dirinya. Perkembangan kognitif pada remaja akhir menurut Santrock (2003) dimana remaja seharusnya sudah mampu memecahkan masalah-masalah yang rumit dan memiliki kemampuan untuk berfikir multidimensi. Masa akhir remaja juga mulai memikirkan karir, pacaran, dan eksplorasi identitas, sering mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai konskuensi dari usaha penyesuaian seorang remaja pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Hurlock, (1999) menjelaskan bahwa pada masa remaja akhir, emosi disalurkan


(39)

dengan cara-cara yang lebih dapat diterima, individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional.

Penyesuaian sosial dikatakan baik ketika seorang remaja dapat melakukan penyesuaian sosial terhadap keluarga, sekolah serta dilingkungan masyarakat dengan baik (Schneiders, 1964). Penyesuaian yang berhasil memerlukan beberapa tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus, meminimalkan keterbatasan yang dimiliki, mempertahankan hubungan dengan orang lain, menghindari distress emosional serta mempertahankan kualitas hidup (Edward, dalam Sarafino, 2011). Remaja yang memiliki penyesuaian sosial yang baik akan berkembang menuju pribadi yang dewasa, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai masyarakat, seperti hukum, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial (Schneiders, 1964).

Penyesuaian sosial seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi konstitusi fisik serta kesehatan. Kondisi fisik serta kesehatan yang kurang baik, dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dapat diterima di lingkungannya (Schneider, 1964). Menurut American Academy of Pediatrics (1993), kondisi kesehatan kronis merupakan suatu penyakit atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah.

Fenomena di lingkungan sekitar salah satunya adalah remaja penderita sinusitis kronis. Sinusitis kronis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal


(40)

yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Remaja dalam kondisi kesehatan dengan penyakit kronis akan berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis terkadang memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003).

Beberapa gejala yang akan timbul dari penyakit sinusitis kronis seperti, hidung tersumbat, demam, secret mukopurulen yang sering turun ke tenggorokan. Lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia yang bisa menimbulkan secret kental berbau busuk yang bisa dirasakan oleh orang sekitar kita (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Penderita sinusitis kronis ini biasanya putus asa, karena lebih sering sakit. Mereka akan memiliki masalah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Berbagai bentuk pengobatan tidak akan membantu untuk waktu yang lama (Jovce, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial pada remaja penderita penyakit kronis dapat diterima dan memuaskan ketika remaja mampu beraksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi meskipun dengan penyakit kronis sinusitis yang diderita remaja saat ini.


(41)

E. Paradigma Teoritis

Ket :

: Faktor yang berpengaruh Penyesuaian sosial

(Schneider, 1964)

Remaja Akhir (15-19 Tahun)

Sinusitis Kronis Ballenger, (2007)

Faktor (Schneider, 1964) : • Kondisi Fisik (Kesehatan) • Lingkungan

Tugas Perkembangan Remaja (Hurlock, 1999) : • Memperluas hubungan

antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan • Memperoleh peranan

sosial

• Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif

Penyesuaian Sosial di Lingkungan Keluarga

Penyesuaian Sosial di Lingkungan Sekolah

Penyesuaian Sosial di Lingkungan Masyarakat

Faktor lain : • Tipe Kepribadian • Jenis Kelamin


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus instrinsik yang akan mengkaji secara mendalam penyesuaian sosial remaja penderita sinusitis kronis. Penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian ini dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori-teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasi (Poerwandari, 2007).

Penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis dapat diketahui secara lebih jelas dan terperinci dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan ini memberikan kita keluasaan cakupan (breath) dan kedalaman (depth) yang tidak kita dapatkan dipenelitian kuanitatif serta untuk memahami cara partisipan menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara berfikir mereka (Poerwandari, 2007).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Kisaran dan Lubuk Pakam dan dilakukan berdasarkan waktu dan tempat yang telah disepakati oleh peneliti dan partisipan .


(43)

C. Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan

Dalam penelitian kualitatif, partisipan umumnya diperoleh dengan pendekatan purposif, yaitu partisipan tidak diambil secara acak, tetapi mengikuti kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan (Poerwandari, 2005). Adapun kriteria yang digunakan untuk penentuan informasi penelitian adalah sebagai berikut:

a. Batasan usia remaja adalah 15-19 tahun (Santrock, 2003)

Penentuan masa remaja akhir dalam penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan bahwa remaja yang merupakan masa transisi perlu melakukan penyesuaian di lingkungan sosial dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat yang baik.

b. Penderita sinusitis kronis yang berlangsung sekitar 3 bulan sampai waktu yang tidak terbatas (Cody, 1991).

2. Jumlah Partisipan

Prosedur penentuan partisipan penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Sarankatos (dalam Poerwandari, 2007) memliki karakteristik berikut ini : (1) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik partisipan, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada kecocokan konteks; (3) subjek


(44)

tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Penentuan jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif bergantung pada seberapa dalam masalah yang ingin digali dalam penelitian tersebut, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan kredibilitas yang ingin dicapai melalui penelitian tersebut, serta waktu dan sumber-sumber yang tersedia (Patton, 1990). Menurut Poerwandari, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan menggunakan subjek kecil karena fokusnya pada kedalaman dan proses penelitian.

Strauss dalam Irmawati (2002) mengatakan bahwa, tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal partisipan yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan sudah cukup mendalam, maka dapat diambil partisipan penelitian dalam jumlah kecil. Pendekatan maksimal dapat dilakukan dengan partisipan yang tidak terlalu besar dan jumlah partisipan tidak diambil satu orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara partisipan yang satu dengan partisipan yang lain dan dapat melihat perbedaan individual. Sesuai dengan pernyataan tersebut, jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti (Poerwandari, 2007). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara dan observasi.


(45)

1. Wawancara

Wawancara akan dilakukan peneliti dengan menanyakan secara langsung pada partisipan agar didapatkan informasi yang dibutuhkan. Partisipan diwawancarai untuk memperoleh penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis berdasarkan pengalaman subjektif dari masing-masing partisipan.

Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa mencantumkan urutan pertanyaan. Wawancara yang dilakukan secara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek dan dapat mengungkap data secara mendalam, personal dan sensitif. Peneliti mengajukan pertanyaan mengenai penyesuaian sosial serta penyakit sinusitis kronis secara mendalam. Jika peneliti menganggap data wawancara belum begitu jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya maka peneliti akan melakukan probing pada partisipan.

2. Observasi

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi serta perilaku yang muncul pada partisipan. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik temapat dilakukannya wawancara, penampilan fisik partisipan, sikap partisipan selama wawancara, hal-hal yang mengganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama wawancara. Menurut Poerwandari (2007), observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung,


(46)

orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

E. Teknik Pengambilan Partisipan

Teknik pengambilan partisipan berdasarkan teori (theory based/operational contruct sampling). Penelitian mendasar (basic) sering menggunakan pendekatan ini. Pengambilan partisipan ini dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang diteliti.

F. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, sepeti alat perekam (tape recorder) dan pedoman wawancara.

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim, sehingga tidak bijaksan jika peneliti hanya mengandalkan ingatan saja. Untuk tujuan tersebut, dalam penelitian ini peneliti merasa perlu menggunakan alat perekam (tape recorder) agar peneliti mudah mengulang hasil rekaman wawancara yang telah dilakukan dan menghubungi partisipan kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas.


(47)

Selain itu, penggunaan alat perekam (tape recorder) memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh partisipan, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi saat wawancara seperti tawa, desahan secara tajam (Padget, 1998). Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan terlebih dahulu meminta izin atau persetujuan dari partisipan.

2. Pedoman Wawancara

Penelitian ini menggunakan pedoman umum wawancara. Peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang mencantumkan isu-isu yang akan diteliti oleh peneliti. Pedoman wawancara dibuat untuk mengingatkan peneliti mengenai informasi yang ingin diperoleh dari partisipan, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek yang mengukur penyesuaian sosial dalam teori sudah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007).

Menurut Poerwandari (2007) penggunaan pedoman wawancara semata-mata berfungsi untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan, yaitu open-ended question, yang bertujuan menjaga arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian.

G. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud, mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang


(48)

kompleks. Konsep kredibilitas juga harus mampu mendemonstrasikan bahwa untuk mempotret kompleksitas hubungan antar aspek tersebut, penelitian dilakukan dengan cara tertentu yang menjamin bahwa subjek penelitian diidentifikasi dan dideskripsikan secara jelas (Poerwandari, 2007).

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan peneliti dalam mengungkapkan penyesuaian sosial pada remaja yang menderita sinusitis kronis dilihat dari aspek-aspek penyesuaian sosial serta faktor penyesuaian sosial. Menurut Sarantakos (Poerwandari, 2007) ada empat jenis validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu validitas kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumemtatif dan validitas ekologis. Dalam penelitian ini akan digunakan validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Validitas komunikatif diperoleh melalui konfirmasi kembali, data dan analisis pada responden penelitian. Sedangkan validitas argumentatif diperoleh ketika presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

H. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006) yaitu sebagai berikut :


(49)

a. Mengumpulkan data

Peneliti mencari informasi dan teori mengenai penyesuaian sosial pada remaja serta teori mengenai penyakit sinusitis kronis.

b. Menyusun pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori yang digunakan yaitu (Schneider, 1964) tentang penyesuaian sosial serta aspek-aspek yang mempengaruhi penyesuaian sosial, seperti penyesuaian sosial terhadap keluarga, sekolah serta di lingkungan masyarakat serta teori mengenai penyakit sinusitis kronis. Setelah mendapatkan landasan teori, peneliti mulai menyusun pedoman wawancara dengan membuat sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan topik penelitian. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing. Setelah itu, peneliti melakukan percobaan dengan mengajukan pertanyaan ke beberapa mahasiswa untuk melihat efektifitas pedoman wawancara dan memeriksa kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin oleh responden)

Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa


(50)

adanya paksaan dari siapa pun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti alat perekam, alat untuk mencatat, seperti alat tulis dan kertas, serta pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya.

e. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari informasi tentang calon partisipan penelitian ke rumah sakit di Medan untuk memperoleh data mengenai pasien sinusitis yang berusia 15-19 tahun. Instansi-instansi tersebut yakni Rumah sakit Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Pringadi. Namun untuk Rumah Sakit Haji Adam Malik peneliti mengalami hambatan dalam mengurus perizinan, sehingga kemudian peneliti berinisiatif untuk menunggu pasien di ruang tunggu rumah sakit bagian spesialis THT. Setelah beberapa kali mendatangi Rumah Sakit Haji Adam Malik dan tak kunjung mendapatkan partisipan yang sesuai, peneliti berinisiatif untuk mencari responden ke Rumah Sakit Pringadi .

Peneliti menemui salah satu dokter spesialis THT di Rumah Sakit Pringadi dan meminta bantuan untuk memberikan informasi mengenai pasien penderita sinusitis kronis. Namun setelah 2 bulan lebih tidak kunjung ada pasien penderita sinusitis kronis yang berusia 15-19 tahun. Oleh karena itu, peneliti meminta bantuan kepada rekan-rekan yang berada dibidang kesehatan untuk membantu peneliti mencari pasien penderita sinusitis kronis. Hingga pada akhirnya didapatkan partisipan yang berada di Kisaran serta Lubuk Pakam.


(51)

Setelah menentukan calon partisipan yang sesuai, peneliti segera meminta kesediaan mereka untuk turut berpartisipasi dalam penelitian dan menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan..

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh partisipan (informed consent), peneliti membuat janji bertemu dengan partisipan dan berusaha membangun rapport yang baik dengan partisipan. Peneliti melakukan rapport dengan partisipan 1 sebelum melakukan wawancara. Pada partisipan 2, peneliti melakukan rapport saat wawancara pertama. Setelah itu, peneliti dan partisipan penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Memastikan ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti memastikan ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan partisipan. Hal ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan partisipan dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Informed Consent

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta partisipan untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa


(52)

partisipan mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

c. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Setelah partisipan menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara”, lalu peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti menggunakan pedoman wawancara moderately scheduled interview, dimana setiap peneliti memiliki daftar pertanyaan beserta beberapa pertanyaan probing yang mungkin dilakukan. Keuntungan dari pedoman wawancara tipe ini adalah pewawancara dan situasi (Stewart & Cash, 2000). Peneliti juga melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

d. Melakukan analisa data

Peneliti menganalisa data yang didapat dari hasil wawancara. Analisa ini berguna untuk mengklarifikasi dan menerangkan jawaban subjek sehingga lebih ringkas dan jelas.

e. Menarik Kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan dan data hasil penelitian.


(53)

3. Tahap Pencatatan Data

Peneliti menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Disini, peneliti menggunakan alat bantu perekam untuk membantu agar pencatatan data yang diperoleh tidak ada yang terlewatkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan alat perekam.

I. Metode Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

1. Organisasi Data

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Koding dan Analisis

Setelah melakukan organisasi data, peneliti melakukan koding dan analisis. Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Koding dan analisa, dilakukan


(54)

dengan menyusun transkrip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Peneliti kemudian melakukan pengujian terhadap dugaan. Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data peneliti mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Dugaan peneliti yaitu remaja yang menderita sinusitis kronis akan mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.

4. Strategi Analisis

Patton (1990) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden sendiri maupun konsep-konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis.


(55)

5. Tahapan Interpretasi

Kvale (1996) menjelaskan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan upaya pengambilan jarak (distansi) dari data, dicapai melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta melalui memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus.


(56)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini berisi analisa hasil serta pembahasan berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kedua partisipan. Analisa dan pembahasan akan dibagi perorang agar memudahkan pemahaman pembaca mengenai penyesuaian sosial remaja penderita sinusitis kronis. Langkah pertama dari adalah dengan menjabarkan analisa data dari partisipan seperti identitas diri serta latar belakang partisipan. Selanjutnya adalah penjabaran data hasil wawancara serta pembahasan berdasarkan aspek penyesuaian sosial menurut (Schneiders, 1964) yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Pada kutipan wawancara nantinya disertai pemberian kode-kode khusus. Tujuan dari pemberian kode tersebut adalah sebagai cara untuk mempermudah pengorganisasian dan sistematisasi data (Poerwandari, 2007). Misalnya kode W1.R1.k.1-10/hal.10-11 memiliki makna data tersebut diambil melalui proses wawancara pertama (W1) kepada partisipan pertama (R1) k.1-10 merujuk kepada kutipan wawancara yang terletak di baris 1 sampai 10 pada halaman refleksi dan analisa (terlampir), sedangkan hal.10-11 merujuk kepada nomor halaman dimana kutipan wawancara tercantum.


(57)

A. HASIL

1. Analisa Data Partisipan 1 a. Identitas Diri Partisipan 1

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan 1

Keterangan Partisipan 1

Inisial Ss

Usia 16 Tahun

Jenis Kelamin Perempuan

b. Latar Belakang Partisipan 1

Partisipan pertama dalam penelitian ini adalah Ss. Partisipan 1 seorang wanita berdarah banjar yang berusia 16 tahun. Partisipan 1 merupakan anak sulung dari 4 bersaudara. Ayahnya seorang petani sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Partisipan 1 mempunyai 3 orang adik, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Partisipan 1 mengidap penyakit sinusitis sudah dari dulu hingga sekarang ia duduk dibangku SMA. Sudah dari SMP gejala parah dari sinusitis tersebut ia rasakan, seperi mimisan, pilek, tengkuk terasa sakit, pipi sakit, kening sakit serta timbulnya bau dari hidung partisipan 1. Partisipan 1 mengetahui secara pasti kalau ia mengidap penyakit sinusitis kronis setelah checkup ke dokter. Saat itu dokter langsung menyarankan partisipan 1 untuk operasi. Ayah dari partisipan 1 tidak melakukan tindakan operasi dikarenakan ayah partisipan 1 merasa operasi itu dapat membahayakan anaknya.


(58)

Saat pertama kali mengetahui bahwa partisipan 1 mengidap penyakit sinusitis keluarga tidak menyangka kalau partisipan 1 mengidap penyakit tersebut, karena sebelumnya tidak ada keluarga yang mengidap penyakit rongga hidung yang berdampak begitu besar pada aktivitas partisipan 1. Selama mengidap penyakit sinusitis tersebut, partisipan 1 selalu merasa tidak enak di bagian tengkuk. Gejala dari sinusitis seperti mimisan dan pening dikepala mengganggu partisipan 1 dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, seperti sekolah. Selama mengidap sakit sinusitis kronis tersebut, partisipan 1 merasa merasa risih akibat ingus yang tak henti keluar dari hidungnya.

Selama ini partisipan 1 sudah merasakan pilek atau ingusan yang banyak tiada henti. Partisipan 1 mengaku selama sebulan hanya 1 atau 2 hari ia tidak merasa ingusan. Gejala terparah timbul saat ia duduk dibangku SMP. Saat itu partisipan 1 mimisan serta merasa pusing di kepala setiap kali flu melanda dirinya. Sampai saat ini, ia duduk dibangku SMA ia masih saja merasakan sakit sinusitis tersebut.

2. Data Wawancara Partisipan 1

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1

No Partisipan Waktu Wawancara Lokasi Wawancara

1 Partisipan 1 Hari Jumat; 14 Maret 2014; Pukul 19.31 -20.07 wib

Klinik Ibrerma

2 Partisipan 1 Hari Sabtu; 15 Maret 2014; Pukul 12.16 – 13.03 Wib

Rumah partisipan


(59)

Pukul 10.13 – 10.38 Wib

4 Partisipan 1 Hari Minggu; 27 April 2014; Pukul 11.05 – 12.46 Wib

Rumah partisipan

a. Data Hasil Observasi 1

Pada pengamatan yang dilakukan pada partisipan 1 saat wawancara diperoleh data observasi mengenai partisipan 1, yaitu partisipan 1 memiliki tubuh yang cenderung kurus, tinggi sekitar 159cm, berambut ikal yang panjangnya sebahu memiliki mata yang sipit serta berkulit putih.

Wawancara pertama dilakukan di Klinik Ibrerama, Kisaran. Peneliti melakukan wawancara di sebuah klinik di Kisaran pada malam hari. Di klinik tersebut sangat sepi tidak ada orang lain kecuali peneliti, partisipan 1 serta kakak sepupu partisipan 1 dan temannya yang berada di lantai 2. Kakak partisipan 1 sempat menemui peneliti untuk menanyakan apa yang akan dilakukan bersama partisipan. Teras klinik tersebut berukuran ± 6 x 4 m. Diteras klinik tersebut terdapat beberapa kursi tunggu. Peneliti dan partisipan 1 duduk di kursi tunggu tersebut. Klinik Ibrerama terletak di pinggir jalan lintas Sumatera. Sehingga sesekali terdengar suara ricuh dari kendaraan yang lewat. Pada saat itu partisipan mengenakan baju kaos berwarna pink serta celana berwarna biru terong dan mengenakan sepatu flat polos berwarna hitam.

Pada saat melakukan wawancara pertama kali, partisipan 1 duduk menyandar ke sisi belakang kursi dan menyilangkan kaki kanan ke kaki kirinya. Sesekali sambil menjawab pertanyaan, partisipan 1 mencondongkan tubuhnya kedepan sambil memberikan penekanan pada beberapa kata yang diucapkannya.


(60)

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dijawab oleh partisipan 1 dengan lancar dan sesekali disertai dengan beberapa gerakan tangan. Terlihat dari sesekali partisipan 1 tersenyum selama sesi wawancara. Selama wawancara ± 30 menit, sesekali ia melihat kearah jam yang berada tepat didepan posisi peneliti dan partisipan 1 duduk. Sesekali posisi telapak tangan partisipan menyebakkan poni rambut kearah belakang.

Pertemuan selanjutnya, dilakukan di kediaman partisipan 1. Kali ini peneliti diizinkan untuk menemui partisipan 1 di rumahnya yang tidak jauh dari simpang Klink Ibrertama. Jadi suasana lebih kondusif dan tidak ada gangguan. Peneliti dan partisipan 1 berbincang di ruang tamu partisipan. Ruang tamu partisipan berukuran sekitar ± 4 x 2 m . Ruang tamu tersebut bercat merah muda. Saat itu partisipan 1 mengenakan baju tidur bercelana pendek berwarna merah muda bermotif beruang dengan rambut sedikit di ikat kebelakang. Selama sesi wawancara berlangsung, partisipan 1 tetap memegang tissue dan sesekali menggunakan tissue tersebut untuk membersihkan hidungnya serta sesekali merobek-robek tissue. Posisi duduk partisipan 1 jauh lebih nyaman dari pertemuan sebelumnya. Saat ia menceritakan bagaiamana kondisi ia di kelas karena temannya tidak mau duduk dengannya, ekspresi wajahnya berkaca-kaca. Setiap pembahasan tentang teman di sekolah, wajah partisipan 1 kelihatan murung serta suara jadi lembut dan tidak selantang ketika ditanyai mengenai aktivitas maupun gejala dari sinusitis tersebut.

Pada wawancara berikutnya dikediaman partisipan 1. Saat itu partisipan 1 mengenakan baju berwarna biru, dengan celana pendek diatas lutut berwarna


(61)

coklat muda. Wawancara yang dilakukan di ruang tamu rumah partisipan 1, antara partisipan 1 dan peneliti duduk berseberangan. Saat wawancara berlangsung partisipan 1 menjawab dan memberikan respon baik dan terlihat tenang dalam memberikan jawaban atau respon dari setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Pada wawancara terakhir, dikediaman partisipan 1. Kali ini partisipan 1 membawa boneka berbentuk pisang dan ia meletakkan boneka tersebut diatas paha. Selama sesi wawancara berlangsung partisipan tetap mengeluarkan senyum lebar (grinning). Namun partisipan 1 berwajah murung atau sedih setiap ia disuruh menceritakan atau ditanya mengenai sekolah serta teman-teman yang ada di sekolah kenapa tidak ada yang mau berteman dengannya. Mata partisipan langsung berkaca-kaca dan intonasi suara partisipan 1 langsung menurun, dan sedikit terbata-bata. Partisipan 1 menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba mengelap hidungnya dengan tissue dan memperbaiki poni rambutnya. Pada wawancara kali ini ibu partisipan terlihat berada di rumah dan sempat tersenyum menyapa peneliti.

b. Data Hasil Wawancara 1 1. Latar Belakang Penyakit

Sejak kecil partisipan sudah merasakan flu yang tidak kunjung sembuh. Hingga pada akhirnya saat ia berumur sekitar 13 tahun partisipan 1 didiagnosa mengidap penyakit sinusitis. Penyakit sinusitis yang kurang perawatan intensif


(62)

dari pihak dokter membuat penyakit sinusitis partisipan 1 bertambah parah dan menjadi sinusitis kronis.

“ Pas dulu udah sering pilek-pilek gitu cuma parahnya pas awal SMA kak. Pokoknya dari SMP udah sering ingusan-ingusan gitu kak “

(W1/R1/A.1/k46-48/hal 3)

Penyakit yang sudah ia rasakan selama bertahun-tahun membuat partisipan 1 harus menerima penyakitnya tersebut. Berbagai pengobatan ia jalani agar penyakit sinusitisnya sembuh. Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak semua orang dapat dengan baik melakukan penyesuaian dengan kondisi kesehatan kronis, meskipun penyakit sinusitis kronis bukan salah satu gejala yang dapat menyebabkan kematian. Ketika suatu penyakit kronis didiagnosa, seorang individu akan menghadapi penyesuaian. Partisipan 1 didiagnosa terkena penyakit sinusitis saat ia checkup ke suatu rumah sakit di Kisaran saat ia duduk dibangku SMP. Dokter menjelaskan secara langsung bahwa partisipan 1 menderita penyakit sinusitis . Pada saat itu dokter menawarkan penyembuhan dengan cara operasi.

“Pernah,makanya tau sinusitis, terus disarankan operasi kak.” (W1/R1/A.1/k.58-59/hal.4)

Saat pertama kali didiagnosa menderita penyakit sinusitis partisipan 1 merasa partisipan 1 merasa risih dengan gejala yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis ini, seperti selalu ingusan, kepala pusing serta susah bernafas.

“ gak enak lah kak, karena kan risih , ingusan, pilek-pilek terus. Sering kali tu kepala adek peninnng kali, gak tahan lah pokoknya kalau udah sakit, belum lagi susah nafaskan. Pilek itu sebulan paling sekali atau dua kali sembuh, abis tu ingusan lagi “


(63)

Gejala objektif yang dirasakan partisipan 1 seperti mimisan, tengkuk sakit serta bau yang ditimbulkan dari ingus (sekret) yang keluar dari hidung partisipan 1 membuat beberapa aktifitas sehari-hari menjadi terganggu. Meskipun bau yang ditimbulkan dari hidung tersebut tidak selalu tercium oleh orang lain, malah terkadang bau tersebut juga dirasakan partisipan 1 sendiri.

“ ehm … paling bau kak, itupun kadang – kadang (W1/R1/A.1/k.76-78/hal.5)

“ Yah, bauknya itu kadang bauuu kali, kadang hilang kak. Paling bau kalau ingus besarnya mau keluar.”

(W1/R1/A.1/k.80-83/hal5)

Gejala subjektif seperti pusing juga begitu mengganggu partisipan 1 beraktifitas terutama saat ia di sekolah. Dengan keadaan seperti ini menyebabkan partisipan 1 tidak bisa menjalankan segala aktifitasnya dengan maksimal.

“ pokoknya kalau udah kumat kak, mau matilah sakit kali hidung ini, ke pipi –pipi pun terasa sakit, kening lah paling terasa, belum lagi pas ingus besarnya mau keluar, ampun lah kak .”

(W1/R1/A.1/k121-125/hal 8)

2. Penyesuaian Sosial Penderita Sinusitis Kronis a. Penyesuaian Sosial Di lingkungan Keluarga

Menurut partisipan 1, keluarga partisipan 1 termasuk keluarga besarnya (om, tante tau uwak) cukup heran dan terkejut saat pertama kali mengetahui kalau partisipan 1 didiagnosa mengidap salah satu penyakit kronis yaitu sinusitis. Keluarga besar partisipan 1 heran dan terkejut karena sebelumnya tidak ada di


(64)

keluarga yang mengidap penyakit seperti itu. Artinya Sinusitis bukan salah satu penyakit generatif.

“ reaksi orangtua saat mengetahui saya sakit sinusitis kronis yah terkejutlah, biasanya gak pernah ngalami mimisan, tiba – tiba kok mimisan gitu . . terus hidung bau ingus busuk gitu kak. Adek aja mau muntah kalo udh terasa gak enak di hidung

( W1/R1/P.1/k.92-105/hal.6-7 )

“ Heran ya pasti, kenapa bisa kan trus bahas tentang pengobatan sinusitislah kak, dari yang alternative sampe operasi. “

(W1/R2/P.1/k.269-272/hal16 )

Namun meskipun partisipan 1 adalah satu-satunya anak yang menderita penyakit sinusitis di keluarganya, hubungan partisipan 1 dengan anggota keluarganya seperti orangtua serta adik-adiknya cukup baik. partisipan juga mengaku kalau keluarganya begitu perhatian dengan kondisi ia saat ia sakit. Bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga partisipan 1 terutama orangtuanya seperti mengajak responden checkup kedokter.

“ kalok sekarang, itulah kak, diajak orangtua checkup kan ke rumah sakit, makanya di suruh operasi kemaren tuh”.

(W3/R1/P.1/k.435-438/hal25 )

Partisipan 1 juga menuturkan bahwa pasti ada sedikit rasa cemburu dari adiknya, namun masalah tersebut bukan karena penyakit yang diderita partisipan 1 melainkan karena memang ayah partisipan 1 lebih sayang kepadanya. Namun hal tersebut tidak menimbulkan masalah yang begitu berarti yang sampai membuat hubungan ia dengan adiknya menjadi tidak harmonis, meskipun


(1)

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics, Committee on Environmental Health (1993) Lead poisoning: from screening to primary prevention. Pediatrics 92:176 183.

Anantasari, M.L. (1997). Hubungan Antara Persahabatan dengan Penyesuaian Sosial pada remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Arsyad, Efiaty S; Iskandar, Nurbaiti; Bashiruddin, Jenny; Dwi, Ratna, (2007). Telinga hidung tengkorak kepala & leher/ Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia . Edisi Keenam. Jakarta

Ballenger JJ, (1997), Radiologi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid Dua. Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta.hal: 1-27

Berne, R.M., and Levy, M.N. (1990). Principles of Physiology.USA : Wolf Publishing Limited International Student Edition. Pp : 461 – 528

Cody, D Thane, Kern, Eugene & Pearson, W Bruce. (1991). Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: EGC.

Davison,T.E. & McCabe, M.P. (2005). Adolescent Body Image and Psychosocial Functioniong. Deakin University : Australia

Gerungan. (2000). Psikologi Sosial. Bandung: Rafika Aditama.

Hamzah, Nurul. (2010). Perbedaaan penyesuaian sosial remaja yang tinggal bersama dengan orang tua dengan remaja yang tinggal di pondok pesantren. Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Hilger, P.A., 1997. Applied Anatomy and Physiology of the Nose. In: Adams GC,

Boeis LR, Hilger PA Boeis Fundamental of otolaryngology. 6th ed. Philadephia: W.B. Saunders Co; 1997: 187-195

Hsin, C.; Chen, T.; Su, M.; Jiang, R.; Liu, C., 2010. Aspiration Technique Improves Reliability of Endoscopically Directed Middle Meatal Cultures in Pediatric Rhinosinusitis. Am. J. Rhinol Allergy 24: 205-209

Hurlock, E.B. (1999) . Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ed. 5. Jakarta: Erlangga


(2)

Hwu, F. (2007). Learners’ strategies with a grammar application : The Influence of Language Ability and Personality Preferences. Department of Romance Languages and Literatures, University of Cincinnati, OH, USA. 4, 515 – 530. Retrieved from Proquest Education Journals Database.

Irmawati., (2002). Motivasi Berprestasi dan Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa. Jovce, G.J. (2003).Sinusitis :acute and chronic. MIMS Disease Review

Kimmel, D. C. dan Weiner, I. B. (1985). Adolescence : a developmental transition.New York : John Wiley & Sons

Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI, hal : 118-122.

Mansjoer, A., 2001. Sinusitis. Kapita Selekta Kedokteran UI. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. 102-103

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional

Moleong, J.L. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rodaskarya.

Monks, F.J. 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.

Padget, D. (1998). Qualitative Methods in Social Work Research. USA: Stage Publication

Poerwandari, Kristi. 2007. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi UI.

Santrock, John W. 2003. Adolescence (Perkembangan remaja). Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Sarlito, Sarwono. W., 1993. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Penerbit, BulanPurnama

Sarafino, Edward P. (2011). Health Psychology. Biopsychosocial Interactions Seventh Edition. United States: John Wiley & Sons.

Sawyer, M.G., Couper, J.J., Martin, A.J., & Kennedy, J.D. (2003). Chronic illness in adolescents. http://mja.com.au/public/issues/179_05_010903/saw 10713_fm.pdf


(3)

Schneiders, Alexander A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holt Rinehart and Winston.

Sobol, S.E., 2011. Sinusitis, Maxillary, Scute, Surgical Treatment. Available from: www.emedicine.com. [Accessed 2 April 2011].

Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E., 2007. Rhinore, Infeksi Hidung dan Sinus. Dalam: Soepardi, EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FK-UI. 145-149

Steinberg, L, Meyer, R.B& Belsky, J. 1991. Invancy Chillhood & Adolescence Development in context, Toronto: McGraw-Hill Inc.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill.

Pervin, L.A. & John, O.P. (2001). Personality. Theory and Research (ed.8). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Pope, Philips dan Olivardia. (2000). Media Influences on Body Image and Disordered Eating Among Indigenous Adolescent Australians.

Thornburg, H.D. 1982. Developmental psychology. 2nd ed. Monterey, California: Brooks and Cole Publishing Company.

Tucker, R. and Schow, R., 2008. Odontogenic Disease of the Maxillary Sinus. In: Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. London: Mosby Elsevier. 383-39

Wenar, Charles. (2006). Developmental psychopathology: from infancy through adolescence,5th ed. McGraw-Hill Inc.


(4)

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA 1. Latar Belakang Subjek

• Nama Subjek • Usia Subjek

2. Latar Belakang Penyakit Sinusitis Kronis

• Sejak kapan penyakit sinusitis tersebut diderita ?

• Gejala apa yang anda rasakan saat penyakit tersebut kambuh ? 3. Penyesuaian sosial subjek dengan penyakit sinusitis kronis

a. Penyesuaian sosial di lingkungan keluarga

• Bagaimana keluarga anda menanggapi penyakit sinusitis kronis ini?

• Bagaimana hubungan anda dengan anggota keluarga ?

• Apakah ada rasa iri hati antar anggota keluarga ketika orang tua anda memberikan perhatian yang lebih kepada anda terkait dengan kondisi / penyakit yang diderita?

• Apakah anggota keluarga membantu anda dalam proses penyembuhan ?

• Bagaimana sikap anda terhadap aturan- aturan yang ada di keluarga ?

• Apakah ada kewajiban/tanggung jawab yang harus anda lakukan di dalam rumah ? (sudah dipenuhi atau tidak)


(5)

• Secara emosional didalam lingkungan keluarga, lebih dekat sama siapa?

b. Penyesuaian sosial di lingkungan sekolah

• Bagaimana hubungan anda dengan teman - teman di sekolah ? • Apakah ada dukungan atau perhatian yang diberikan teman –teman

anda dengan kondisi penyakit sinusitis kronis ini ?

• Bagaimana hubungan anda dengan guru-guru serta pegawai yang ada di sekolah ?

• Apakah anda tetap bepartisipasi aktif mengikuti aktivitas yang ada di sekolah ? seperti ekstra kulikuler atau les dll ? Sakit mengganggu atau tidak?

• Seperti apa penyesuaian sosial anda di lingkungan sekolah terkait dengan penyakit sinusitis ini?

c. Penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat

• Apakah anda bergaul dengan orang lain di lingkungan masyarakat ?

• Bagaimana hubungan anda dengan orang – orang yang ada di lingkungan masyarakat?

• Apakah anda aktif mengikuti aktivitas yang ada di masyarakat ? (misalnya remaja mesjid atau gotong royong kebersihan lingkungan)

• Bagaimana sikap anda terhadap nilai-nilai, aturan hukum atau tradisi dan adat istiadat yang ada dilingkungan masyarakat


(6)

Lampiran 2

Informed Consent

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Saya yang bernama Riri Amaliah sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, akan melakukan wawancara untuk memenuhi tugas Skripsi . Subyek bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Umur : Alamat :

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta mengetahui tentang manfaat penelitian dengan tema ”Chronic Illness” saya menyatakan bersedia/tidak bersedia di wawancara untuk dimintai data dan direkam oleh pewawancara*). Data yang didapatkan dari subjek akan dijamin kerahasiaannya dan sepenuhnya dipertanggung jawabkan sebagai data ilmiah. Saya percaya yang saya sampaikan ini dijamin kebenarannya.

Keterangan : *) coret yang tidak perlu

Menyetujui,

Pewawancara Subjek