PENYESUAIAN SOSIAL PENDERITA RETARDASI MENTAL.

PENYESUAIAN SOSIAL
PENDERITA RETARDASI MENTAL

SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)
Psikologi (S. Psi)

Nurul Choiriyah
B77209159

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016

INTISARI
Nurul Choiriyah
B77209159
Penyesuaian sosial penderita retardasi mental

Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi situasi dari
dalam maupun dari luar dirinya. Bentuk penyesuaian sosial difokuskan pada
munculnya penyesuaian diri terhadap sosialnya di berbagai kelompok (fenomena
pergaulan terhadap bermacam-macam kelompok teman), yaitu mengenai bagaimana
bentuk nyata perilaku penyesuaian sosialnya sebagai
bentuk upaya untuk
kelangsungan hidupnya. Subjek N, gadis 29 tahun yang kesehariannya adalah seorang
pengamen. Jika dilihat secara fisik, dia tampak seperti seorang yang baru memasuki
masa remaja dengan usia sekitar 15-19tahunan. Pendekatan yang digunakan pada
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di
seluruh Indonesia tahun 2009, dilihat dari kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di
Indonesia yang menyandang keterbelakangan mental adalah 62.011 orang.
Kata Kunci : Penyesuaian Sosial, Retardasi Mental

ABSTRACT
Nurul Choiriyah
B77209159
Adjustment social patients mental retardation
Adjustment is the processby the individual in the face of the situation from within and
from outside. Forms of social adjustment focused on the emergence of adjustment to

soaialnya in various groups (the phenomenon of interaction between the various
groups of friends), which is about how the shape of the real behavior of social
adjustment as an effort for survival.Subject N, 29-year girl who daily is a musician. If
seen physically, he looks like a new person enters adolescence around the age of 1519 years. The approach used in this study is a qualitative approach.In the main data
Schools throughout Indonesia in 2009, seen from the school-age group, the number of
people in Indonesia who bear the mental retardation is 62 011 people.
Keywords : Social Adjustment, Mental Retardation

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN.. ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix
INTISARI ........................................................................................................ x
ABSTRAK ...................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1
B. FOKUS PENELITIAN ..................................................................... 12
C. TUJUAN PENELITIAN .................................................................. 12
D. MANFAAT PENELITIAN .............................................................. 12
E. KEASLIAN PENELITIAN .............................................................. 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL
1. PENYESUAIAN SOSIAL
a. Pengertian Penyesuaian Sosial................................... 17
b. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ............................. 20
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penyesuaian Sosial .................................................... 24
d. Keberhasilan dan Kegagalan Penyesuaian
Sosial Anak ............................................................... 28
B. KONSEP RETARDASI MENTAL
1. Pengertian Retardasi Mental ..................................... 31
2. Klasifikasi Retardasi Mental (PPDGJ III)............... 32
3. Etiologi Retardasi Mental ......................................... 34
4. Faktor penyebab terjadinya Retardasi Mental........... 36

C. PERSPEKTIF TEORITIS............................................................. 40
D. KERANGKA TEORI..................................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN........................................................................ 43
B. LOKASI PENELITIAN ................................................................. 44
C. SUMBER DATA ............................................................................... 45
D. CARA PENGUMPULAN DATA

1. Wawancara ................................................................................... 46
2. Observasi ...................................................................................... 48
3. Dokumentasi ................................................................................ 49
E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA .............. 50
F. KEABSAHAN DATA ....................................................................... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. DESKRIPSI SUBJEK ....................................................................... 54
B. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Hasil Temuan........................................................... 56
2. Analisis Temuan Penelitian ..................................................... 73
C. PEMBAHASAN.................................................................................. 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 97

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri ataumencukupi
kebutuhan sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial artinyamanusia sebagai warga
masyarakat. Meskipun manusia mempunyaikedudukan dan kekayaan, dia selalu
membutuhkan manusia lain. Setiapmanusia cendrung untuk berkomunikasi, berinteraksi,
dan bersosialisasidengan manusia lain. Dalam sosialisasi inilah manusia selalu
mengadakanpenyesuaian dalam lingkungan sekitarnya. Namun tidak sedikit dari
merekayang mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial.
Manusia senantiasa bergantung atau berinteraksi dengan sesamanya.Dengan
demikian, maka dalam kehidupan lingkungan sosial manusiasenantiasa terkait dengan
hubungan sosial antara individu manusia, hubungan sosial antarkelompok, hubungan
sosial manusia dengan lingkungan hidup dan alamsekitarnya, , dan berbagai hal yang
timbul akibat aktivitas manusia seperti perubahan sosial. Secara sosialsebenarnya
manusia merupakan makhluk individu dan sosial yangmempunyai kesempatan yang sama
dalam berbagai hidup dan kehidupandalam masyarakat. Artinya setiap manusia memiliki
hak, kewajiban dankesempatan yang sama dalam menguasai sesuatu, misalnya

bersekolah,melakukan

pekerjaan,

bertanggung

jawab

dalam

keluarga

serta

berbagaiaktivitas ekonomi, politik dan bahkan beragama.
Keberhasilan menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal
dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan seorang penderita retardasi mental
dalam memperjuangkan kehidupan dirinya dan keluarganya.

Ketidakmampuan


menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialterlihat dari ketidakpuasan terhadap diri
sendiri dan lingkungan sosial sertamemiliki sikap-sikap yang menolak realitas dan
lingkungan sosial.Artinya

hal tersebut merupakan modal penting bagi masa depan

kehidupan dirinya dan keluargnya dimana orang-orang atau warga yang ada dilingkungan
tempat tinggalnya merupakan orang-orang atau warga yang memiliki karakter yang
berbeda-beda, dan yang belum dapat dipastikan apakah orang-orang atau warga tersebut
bisa menerima keberadaannya atau sebaliknya akan mengucilkannya.
Tidak hanya masyarakat yang harus menerima keberadaan penderita retardasi
mental yang termasuk dalam disabilitas ini, melainkan juga pemerintah yang harus turut
serta mengatur para disabilitas tersebut termasuk penderita retardasi mental. Namun
sebelum itu, pemerintah harus mendata dahulu jumlah penderita retardasi mental agar
bisa mengetahui dan menemukan penanganan yang tepat untuk mereka.
Namun pada realitasnya, pendataan yang terjadi di Indonesia masih dalam
masalah. Data yang dimiliki BPS tidak update dan belum ada data baru pada tahun-tahun
akhir ini.
Adapun data yang diperoleh dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

bahwa Prevalensi retardasi mental dari dari populasi umum sekitar 1-3%. Rasio laki-laki
dan perempuan yaitu 1,5:1. 85% dari seluruh kasus merupakan kasus Ringan. (Wikipedia
Indonesia).
Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di indonesia 1-3
persen penduduknya menderita kelainan ini.4 Insidennya sulit di ketahui karena retardasi
metal kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana
retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan

puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan. (Widodo,2009).
Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia tahun 2009, dilihat dari
kelompok

usia

sekolah,

jumlah

penduduk


di

Indonesia

yang

menyandang

keterbelakangan mental adalah 62.011 orang. Dengan perbandingan 60% diderita anak
laki-laki dan 40% diderita anak perempuan. Dari jumlah tersebut anak yang terkena
retardasi mental sangat berat disebut idiot sebanyak 2,5%, anak retardasi mental berat
sebanyak 2,8%, retardasi cukup berat disebut imbisil debil profound sebanyak 2,6%,
anak retardasi mental ringan atau lemah pikiran disebut pander debil moyen sebanyak
3,5% dan sisanya disebut anak dungu. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sosial
Provinsi Bengkulu tahun 2008 jumlah penyandang cacat usia 0-17 tahun yang ada
berjumlah 1732 orang. Dari total jumlah tersebut 31, 93% atau 553 orang adalah
penderita retardasi mental (RM). Penyandang cacat retardasi mental tersebut tersebar di
10 Kabupaten & Kota yang ada di Provinsi Bengkulu. Sedangkan data yang didapat dari
SLB Dharma Wanita Provinsi Bengkulu tercatat jumlah anak-anak RM sebanyak 81

orang terdiri dari : 62 orang tingkat SD, 8 orang tingkat SMP & 11 orang tingkat SMK.
(Sigite, 2012).
Ledia Hanifa menambahkan, gangguan kejiwaan dapat juga dikategorikan sebagai
penyandang disabilitas. Akibatnya, 80% penyandang disabilitas di Indonesia yang saat ini
sekitar 11-13%

dari jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS, itu rentan

diskriminasi dan tindak kriminal. "Ini temuan komisi VIII. Makanya, ini semakin
mengkuatkan UU ini dibuat," jelas Ledia Hanifa.(Arief,2015)

Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) menyatakan bahwa penyesuaian
sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain
pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Hurlock ada beberapa
kriteria untuk mencapai penyesuaian sosial yang baik, yaitu penampilan nyata, perilaku
sosial yang ditampilkan individu sesuai dnegan standart kelompok. Penyesuaian diri
terhadap kelompok,individu mampu menyesuaikan diri terhadap berbagai kelompok.
Sikap sosial, individu dapat menunjukkan sikap yang menyenangkan bagi orang lain
maupun bagi partisipasi sosialnya. Kepuasan pribadi, individu merasa puas terhadap
kontak sosialnya dan terhadap peran sosial yang dihadapi.

Senada dengan yang dikemukakan Schneider 1964:454 (dikutip dari Nurdin,
2009) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa: Social adjustment signifies the
capacity to react effectively and wholesomely to social realities, situation and relations do
that the requirement for social living are fulfilled in an acceptable and satisfactory
manner. Penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk bereaksi secara efektif dan sehat
terhadap situasi, realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat dipenuhi
dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.
Maksud Schneider (1964) diatas penyesuaian sosial adalah kemampuan individu
untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial
yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan
memuaskan. Penyesuaian sosial meliputi penyesuaian dirumah atau eluarga, disekolah,
dan dimasyarakat yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya,
perkembangan dan kematangan, determinasi psikologi, kondisi lingkungan rumag,
sekolah, masyarakat, serta budaya dan agama.

Meichiati (1983) menyebutkan penyesuaian sosial adalah usaha untuk
menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seseorang dengan masyarakat
sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang bertimbal balik yang harmonis antara
keduanya. Penyesuaian sosial dapat berlangsungkarena ada dorongan manusia untuk
memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mencapai keseimbangan
antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam dirinya.
Wolman (dalam Rahmawati, 2001), menjelaskan bahwa penyesuaian sosial
adalah suatu kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan, baik yang bersifat fisik
maupun sosial sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis dengan lingkungan.
Menurut Schneiders (1991), dalam melakukan penyesuaian sosial terdapat faktorfaktor yang mempengaruhinya, yaitu: (a) Faktor internal dan (b) Faktor eksternal.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam individu. Faktor
internal yang termasuk di dalamnya adalah emosi, rasa aman, ciri pribadi,
penerimaan diri, inteligensi dan perbedaan jenis kelamin.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar individu. Adapun
faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat dan budaya.
Hurlock (1990) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial,
antara lain:
a. Penampilan nyata
b. Penyesuaian diri terhadap kelompok .

c. Sikap sosial
d. Kepuasan pribadi .

Retardasi Mental merupakan keadaan anak dimana anak tersebut mengalami
hambatan sehingga tidak melalui perkembangan yang optimal (Somantri, 2006).
Retardasi mental atau yang lebih dikenal dengan Retardasi Mental (mental retardation)
bukan merupakan suatu penyakit, melainkan hasil patologik didalam otak yang
menggambarkan keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif (Armatas, 2009).
Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik
lainnya (Salmiah, 2010).
layaknya anak normal, hanya saja pada anak dengan retardasi mental mengalami
keterlambatan. Pada anak retardasi mental harus diperhatikan usia mentalnya, karena
biasanya tidak sesuai dengan usia mentalanak normal. (Semium,2006).
Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,
termasuk temuan klinis, perilaku adaptif dan hasil tes psikometrik. Untuk diagnosis yang
jelas, harus terdapat penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya
kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial sehari-hari. Pada
pemeriksaan fisik anak dengan retardasi mental akan ditemukan beberapa kelainan
bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali dan
Sindrom Down (Salmiah, 2010). Temuan fisik yang ada dapat dilihat secara jelas tanpa
harus dilakukan pemeriksaan, akan tetapi untuk perkembangan bahasa, motorik dan
kognitif harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Alimin, 2008).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya prestasi belajar anak
retardasi mental diantaranya lingkungan, motivasi orang tua, motivasi belajar anak,
sarana belajar dan media pembelajaran yang digunakan. Berhubungan dengan media
pembelajaran, ketidaktepatan media yang digunakan mengakibatkan anak sulit menerima
pelajaran, dan selanjutnya berakibat pada prestasi belajar yang rendah hingga tidak naik
kelas.
Berdasarkan uraian di atas bahwa keluarga ikut memegang peranan penting dalam
merawat anggota keluarga yang sakit dalam hal ini reterdasi mental. Namun tidak hanya
keluarga saja, melainkan juga lingkungan yang ada disekitarnya. Diharapkan masyarakat
pun yang ikut sadar akan keberadaan seseorang yang kerkebutuhan khusus ini juga akan
memiliki kemauan untuk memberikan perhatian kepada mereka serta sebisa mungkin
membantu mereka untuk bisa bertahan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga hal ini sangatlah perlu untuk diteliti karena saat ini banyak masyarakat
yang mengabaikan begitu saja terhadap orang-orang yang memiliki keterbatasan seperti
penyandang retardasi mental. Bahkan masyarakat luas banyak memandang mereka
bukanlah orang yang penting untuk diurus. Dan untuk memunculkan pandangan baru,
cara pertama adalah mengenalkan kepada masyarakat dan juga pemerintah dengan
adanya penelitian ini bahwa mereka memerlukan perhatian serta penanganan khusus agar
hidup mereka lebih bermakna.
Yang membuat lebih penting lagi selain kepedulian masyarakat akan keberadaan
mereka adalah efek-efek atau bahaya yang dimungkinkan terjadi ketika penderita
retardasi mental tersebut tidak segera ditangani. Efek yang paling dasar seorang anak
yang mengalami retardasi mental yang berat, prognosis kedepannya ditentukan oleh

keadaan anak tersebut pada masa awal kanak-kanaknya. Retardasi mental yang ringan
bisa jadi terjadi hanya sementara. Anak-anak mungkin akan didiagnosa sebagai retardasi
mental pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia berikutnya, mungkin kelainannya
akan dapat lebih dispesifikan, contohnya gangguan komunikasi dan autism.
Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kemampuan subjek dalam melakukan usaha penyesuaian sosial nampak pada beberapa
sikap dan perilakunya mulai dari masa sekolah hingga dewasa. Ketika masyarakat
umunya banyak yang membicarakan keluarga penderita retardasi mental dan
menganggap hal tersebut sebagai aib keluarga, ternyata masih ada seorang wanita
penderita retardasi mental yang mampu bertahan hidup dengan kegigihannya ditengahtengah masyarakat yang menghinanya. Seorang perempuan itu berusia 29 tahun yang
tinggal diwilayah Krian, Sidoarjo. Pada usia bayi belum nampak ciri-ciri penderita
retardasi mental, namun pada usia balita dan ketika menginjak sekolah jenjang SD, ciriciri tersebut nampak jelas yang terlihat dari pertumbuhan fisik, intelegensi, dan sikapnya.
Telah disebutkan diatas bahwa faktor yang mempengaruhi rendahnya prestasi
belajar anak retardasi mental salah satunya ialah lingkungan. Pada masa sekolah ia selalu
dihina oleh teman-temannya, sehingga secara tidak langsung psikisnya terganggu dan
pada akhirnya ia sering tidak naik kelas.
Adapula teori yang mengatakan bahwa kemampuan kognitif anak retardasi mental
memiliki karakteristik sukar berpikir abstrak seperti berhitung, menulis, dan membaca.
Namun kemampuan tersebut masih dibatasi oleh tingkatan tinggi rendahnya kategori
retardasi mental tersebut.

Yang terjadi kenyataannya pada subjek ini ialah ia masih mempunyai kemampuan
berpikir, berhitung, menulis, dan membaca. Hal itu dapat dibuktikan dari hasil observasi
awal yaitu ia mampu berpikir bagaimana mencari uang untuk keperluan sehari-harinya
yaitu dengan mengamen setiap hari didesa terdekat diwilayah ia tinggal. Laluia juga
mampu berhitung seberapa banyak ia mendapatkan uang dari hasil mengamen lalu ia
pergunakan uang itu untuk membeli kebutuhan sehari-harinya. Selanjutnya ia juga
mampu menulis dalam bahasa indonesia, dan ketika diminta untuk menulis arab ia juga
bisa walaupun masih melihat contoh tulisan arab yang akan ditirunya. Bahkan akhir-akhir
ini ia sedang menempuh pembelajaran agama yaitu mengaji dipondok pesantren dekat
rumahnya. Yang terakhir ia juga mampu membaca bahkan membacakan surat-surat
pendek yang ia hafal selama ini.
Pada anak retardasi mental ringan (debil) memiliki ciri-ciri diantaranya dapat
dilatih dan dididik, tidak dapat dididik di sekolah biasa tetapi dapat dididik di sekolah
luar biasa. Sehingga tingkatan retardasi mental yang dimiliki subjek ini bisa dikatakan
masih tingkatan ringan. Karena ia masih mampu melakukan beberapa aktifitas yang
menggambarkan bahwa ia mampu hidup mandiri dengan kemauannya untuk terus
belajar,berlatih, dan dididik.
Dari semua bukti kemampuan subjek yang selama ini mampu membuat ia
bertahan hidup mandiri, maka dapat dilihat pula bagaimana proses penyesuaian sosialnya
dalam melakukan aktifitas bermasyarakat dari fenomena pergaulan terhadap bermacammacam kelompok teman.. Dan dengan kemampuannya itu apakah ia pantas untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut, serta bagaimana efek yang dapat muncul itu masih
ia rasakan selama ini juga akan diketahui setelah melakukan penelitian ini.

Sehingga peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana proses
penyesuaian sosial subjek tersebut hingga ia mampu melakukan semua aktifitas-aktifitas
nya dengan mandiri bahkan terus mengalami peningkatan kemampuan yang bermanfaat
bagi dirinya.

B. FOKUS PENELITIAN
Bentuk penyesuaian sosial difokuskan pada munculnya penyesuaian diri terhadap
soaialnya di berbagai kelompok (fenomena pergaulan terhadap bermacam-macam
kelompok teman), yaitu mengenai bagaimana bentuk nyata perilaku proses penyesuaian
sosialnya sebagai bentuk upaya untuk kelangsungan hidupnya.

C. TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui proses mempertahankan kelangsungan hidupnya beserta
bentuk perilaku penyesuaian sosialnya.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan teori keilmuan, khususnya dibidang psikologi sosial, psikologi klinis,
dan psikologi perkembangan.

2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan:

a. Sebagai bahan masukan agar lebih memahami penderita retardasi mental
terutama dalam aspek psikologisnya.
b. Sebagai informasi kepada masyarakat bahwa seorang penderita retardasi mental
bukan semata-mata kelainan psikologis yang harus dihindari, melainkan harus
diperhatikan dan dibina agar menjadi individu yang mampu menjalankan tugas
perkembangannya dengan baik.
c. Sebagai bahan masukan untuk memperoleh data yang akurat mengenai kriteria
retardasi mental dan bagaimana cara untuk melakukan penyesuaian sosial, serta
penanganannya.

E. KEASLIAN PENELITIAN
Pada hasil penelitian dari jurnal yang sudah ada bahwa bentuk penyesuaian mulai
dari remaja, dewasa, individu yang sehat, maupun individu yang abnormal itu sangatlah
beragam, seperti yang dilakukan Rizky Ildiyanita dkk, bahwa terdapat perbedaan
penyesuaian sosial remaja antara siswa kelas akselerasi dipondok pesantren dan siswa
kelas akselerasi disekolah umum. Penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi
dipondok pesantren lebih tinggi dibanding siswa akselerasi disekolah umum. Secara
teoritik dengan adanya keterbatasan lingkup sosial dikarenakan kebijakan peraturan,
siswa dipondok pesantren akan lebih sedikit intensitas pergaulannya dengan lingkungan
masyarakat dibandingkan dengan siswa disekolah umum. Namun pada penelitian ini
membuktikan bahwa memiliki kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat luas tidak
lantas membuat siswa tersebut menggunakan kesempatan itu dan menjadikannya
memiliki penyesuaian sosial yang baik pula. (Rizky Ildyanita, dkk. 2012. Hal 15)

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Nurdin, menyatakan bahwa berhasil
ataupun gagalnya siswa dalam proses penyesuaian sosial disekolah akan sangat berkaitan
erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang dapat
berpengaruh kuat terhadap proses peneyesuaian siswa adalah kecerdasan emosional.
Siswa sebagai individu dalam lingkungan sekolah dituntut untuk mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan dimana ia berada dengan keadaan lingkungan disekitarnya.
(Nurdin, 2009).
Penelitian Retno Widianingsih dan Nilam Widyarini menghasilkan terdapat
peranan yang signifikan dari dukungan orangtua terhadap penyesuaian diri remaja, lebih
detail ditunjukkan peranan dukungan orangtua terhadap penyesuaian diri remaja mantan
pengguna narkoba sebesar 36,1%. Penelitian ini berdasarkan rentang usia 20-21 pada
remaja mantan pengguna narkoba lebih besar mendapatkan dukungan dari orangtua
dibandingkan remaja mantan pengguna narkoba usia 18-19. Hal tersebut terlihat jelas
bahwa di usia 20-21 dukungan orangtua sangat lebih dibutuhkan karena usia 20-21
biasanya mantan pengguna membutuhkan dukungan yang besar untuk dapat beradaptasi
dengan lingkungan luar. (Retno dan Nilam, 2009).
Dari beberapa penelitian diatas tersebut, tentang penyesuaian sosial yang terjadi
pada remaja disekolah umum maupun dipondok pesantren, serta bagaimana dukungan
orangtua yang menyertainya, dimana penelitian penyesuaian sosial yang telah dilakukan
oleh para peneliti diatas ialah pada subjek remaja yang normal,

peneliti belum

menemukan penelitian yang meneliti pada subjek remaja maupun dewasa yang abnormal,
salah

satunya

seorang

penderita

retardasi

mental.

Sehingga

peneliti

berniat

menggabungkan tentang dua hal tersebut dalam satu penelitian yaitu “Penyesuaian Sosial

Penderita Retardasi Mental”. Dengan demikian permasalahan yang peneliti angkat
merupakan masalah yang asli, dalam pengertian tidak mengulang ataupun meniru
penelitian pihak lain.
Berdasarkan paparan dari hasil penelusuran diatas, belum ada penelitian yang
spesifik membahas penyesuaian sosial pada seorang penderita retardasi mental. Sehingga
dalam penelitian ini akan membahas sosok penderita retardasi mental dalam usahanya
melakukan penyesuaian sosial guna mempertahankan kelangsungan hidupnya ditengah
masyarakat yang banyak mengucilkannya. Fenomena ini terlihat sangat menarik untuk
diteliti lebih lanjut karena sangat berkaitan erat dengan kepedulian kita sebagai makhluk
sosial terhadap individu-individu yang banyak dikesampingkan oleh masyarakat luas.
Sehingga yang menjadi fokus dalam kajian peneliti adalah segi pergaulannya terhadap
bermacam-macam kelompok teman yang mempengaruhi penyesuaian sosialnya.
Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian
sebelumnya, yaitu menggunakan teori penyesuaian sosial dengan empat kriteria yang
disebutkan oleh Hurlock yaitu 1).Penampilan nyata, 2).Penyesuaian sosial terhadap
berbagai kelompok, 3).Sikap sosial, 4).Kepuasan pribadi.
Sedangkan metode yang dilakukan juga berbeda yaitu metode kualitatif yang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan
dilakukan dengan jalan melibatkan beberapa metode yang ada. (Denzin dan Lincoln
1987, dalam Moleong, 2005,h.5)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYESUAIAN SOSIAL
1. Pengertian Penyesuaian Sosial
Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi
situasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada saat individu mengatasi
kebutuhan, dorongan-dorongan, tegangan dan konflik yang dialami agar dapat
menghadapi kondisi tersebut dengan baik. Ada beberapa jenis penyesuaian antara
lain penyesuaian sosial.
Penyesuaian sosial merupakan salah satu istilah yang banyak merujuk
pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan
lingkungan sekitar, serta hubungannya dengan orang-orang disekitarnya.
Penyesuaian mengacu pada seberapa jauhnya kepribadian individu
berfungsi secara efisien dalam masyarakat (Hurlock, 2005). Penyesuaian adalah
usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada
lingkungannya

(Sunarto dan Hartono, 2006).

Adjustment (penyesuaian)

merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan
tuntutan lingkungan (Davidoff, dalam Mu’tadin, 2002).
Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk
menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok
pada khususnya (Hurlock, 2005). Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan

baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin
hubungan secara diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang
tidak dikenal, sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan.
Meichiati (1983) menyebutkan penyesuaian sosial adalah usaha untuk
menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seseorang dengan masyarakat
sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang bertimbal balik yang harmonis antara
keduanya. Penyesuaian sosial dapat berlangsungkarena ada dorongan manusia
untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mencapai
keseimbangan antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam dirinya.
Wolman (dalam Rahmawati, 2001), menjelaskan bahwa penyesuaian
sosial adalah suatu kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan, baik yang
bersifat fisik maupun sosial sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis
dengan lingkungan.
Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai
oleh hubungan dengan orang lain, baik itu dengan lingkup keluarga, sekolah,
maupun masyarakat secara luas, sebagai makhluk sosial, individu selalu
membutuhkan pergaulan dalam hidupnya denga orang lain, pegakuan, dan
penerimaan terhadap dirinya dari orang lain. (dikutip dari Nurdin, 2009:87).
Schneider (1964:454) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa:
Social adjustment signifies the capacity to react effectively and wholesomely to
social realities, situation and relations do that the requirement for social living
are fulfilled in an acceptable and satisfactory manner.

Penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk bereaksi secara efektif dan
sehat terhadap situasi, realitas dan relasi sosial sehingga tuntutan hidup
bermasyarakat dipenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.
Penyesuaian sosial akan menjadi penting manakala individu dihadapkan
pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan
orang lain. Dan hampir sepanjang kehidupannya seseorang selalu membutuhkan
orang lain untuk dapat berinteraksi satu sama lain.
Menurut Agustiani (2006), penyesuaian sosial merupakan penyesuaian
yang dilakukan individu terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya, seperti
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat.
Penyesuaian sosial pada anak menurut Oord, dkk (2002) meliputi
bagaimana anak tersebut berteman dengan teman sebayanya, baik di sekolah,
lingkungan rumah dan tempat tinggal, serta bagaimana anak mematuhi peraturan
sekolah, menghormati guru, dan lainnya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian sosial adalah kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri
dalam kelompok dan lingkungannya, serta memenuhi tuntutan baik yang bersifat
fisik maupun sosial sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis dengan
lingkungan.

2. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial
Hurlock (1990) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial,
antara lain:

a. Penampilan nyata
Over performance yang diperlihatkan individu sesuai norma yang
berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan
kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut.
b. Penyesuaian diri terhadap kelompok
Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri
secara baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya
maupun orang dewasa.
c. Sikap sosial
Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
orang lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan
baik dalam kegiatan sosial.
d. Kepuasan pribadi
Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia
karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompoknya dan mampu
menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.

Menurut Schneiders (1964), penyesuaian social memiliki
beberapa aspek-aspek sebagai berikut:
1. Recognition adalah Menghormati dan menerima hak-hak orang lain.
Dalam hal ini individu tidak melanggar hak-hak orang lain yang
berbeda dengan dirinya, untuk menghindari terjadinya konflik sosial.
Menurut Schneiders ketika kita dapat menghargai dan menghormati hak-

hak orang lain maka orang lain akan menghormati dan menghargai hakhak kita sehingga hubungan sosial antar individu dapat terjalin dengan
sehat dan harmonis.
2. Participation adalah Melibatkan diri dalam berelasi.
Setiap individu harus dapat mengembangkan dan melihara
persahabatan. Seseorang yang tidak mampu membangun relasi dengan
orang lain dan lebih menutup diri dari relasi sosial akan menghasilkan
penyesuain diri yang buruk. Individu ini tidak memiliki ketertarikan untuk
berpartisipasi dengan aktivitas dilingkungannya serta tidak mampu untuk
mengekspresikan diri mereka sendiri, sedangkan bentuk penyesuaian akan
dikatakan baik apabila individu tersebut mampu menciptakan relasi yang
sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif
dalam kegiatan sosial, serta menghargai nilai-nilai yang berlaku
dimasyarakat.
3. Social approval adalah Minat dan simpati terhadap kesejahteraan orang
lain.
Hal ini dapat merupakan bentuk penyesuaian diri dimasyarakat,
dimana individu dapat peka dengan masalah dan kesulitan orang lain
disekelilingnya serta bersedia membantu meringankan masalahnya. Selain
itu individu juga harus menunjukan minat terhadap tujuan, harapan dan
aspirasi, cara pandang ini juga sesuai dengan tuntutan dalam penyesuaian
keagamaan (religious adjustment).
4. Altruisme adalah Memiliki sifat rendah hati dan tidak egois.

Rasa saling membantu dan mementingkan orang lain merupakan
nilai-nilai moral yang aplikasi dari nilai-nilai tersebut merupakan bagian
dari penyesuaian moral yang baik yang apabila diterapkan dimasyarakat
secara wajar dan bermanfaat maka akan membawa pada penyesuaian diri
yang kuat. Bentuk dari sifat-sifat tersebut memiliki rasa kemanusian,
rendah diri, dan kejujujuran dimana individu yang memiliki sifat ini akan
memiliki kestabilan mental, keadaan emosi yang sehat dan penyesuaian
yang baik
5. Conformity adalah Menghormati dan mentaati nilai-nilai integritas hukum,
tradisi dan kebiasaan.
Adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati peraturan
dan tradisi yang berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima dengan
baik dilingkungannya

Menurut Kartono (2000), aspek-aspek penyesuaian sosial adalah sebagai
berikut:
a. Memiliki perasaan afeksi yang kuat, harmonis dan seimbang, sehingga
merasa aman, baik budi pekertinya dan bersikap hati-hati.
b. Memiliki kepribadian yang matang dan terintegrasi baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain, memiliki sikap tanggung jawab, berpikir
menggunakan rasio, memiliki kemampuan untuk mengontrol dan
memahami diri sendiri.
c. Mempunyai relasi dalam kehidupan sosialnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, aspek-aspek yang digunakan dalam
penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian sosial menurut Hurlock dan
Schneider, yaitu penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap kelompok, sikap
sosial dan kepuasan pribadi; Recognition, Participation, Social approval,
Altruisme, Conformity.

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Individu selalu dihadapkan pada proses penyesuaian sosial pada proses
perjalanan hidupnya, baik terhadap keadaan baru, perubahan suasana ataupun
kebutuhan baru. Selama periode penyesuaian tersebut, individu tidak dapat lepas
dari pengaruh yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Menurut Agustiani (2006), penyesuaian sosial yang dilakukan individu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Faktor fisik, yang meliputi keturunan, kesehatan, dan bentuk tubuh.
b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi intelektual, sosial,
moral, kematangan emosional, dan lain-lain.
c. Faktor psikologi, yang meliputi pengalaman, frustasi, konflik yang dialami
individu

dan

faktor-faktor

psikologis

lain

yang

mempengaruhi

penyesuaian sosial.
d. Faktor lingkungan, meliputi lingkungan keluarga dan rumah.
e. Faktor budaya, yang meliputi adat istiadat dan agama.

Daradjat

(1985)

menguraikan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:
a. Frustasi (tekanan perasaan)
Frustasi adalah suatu proses yang menyebabkan orang merasa akan
adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, atau
menyangka

bahwa

akan terjadi

sesuatu

hal

yang menghalangi

keinginannya. Frustasi yang dialami individu akan mempengaruhi
bagaimana individu tersebut berperilaku sosial.
b. Konflik (pertentangan batin)
Konflik adalah terdapatnya dua macam dorongan atau lebih, yang
berlawanan atau bertentangan satu sama lain dan tidak mungkin dipenuhi
dalam waktu yang sama.
c. Kecemasan (anxiety)
Kecemasan adalah perwujudan dari berbagai proses emosi yang
bercampur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan
(frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan ini tidak secara
langsung dapat mempengaruhi penyesuaian sosialnya, tetapi lebih kepada
hubungan lingkungan sosialnya.

Menurut Schneiders (1991), dalam melakukan penyesuaian sosial terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (a) Faktor internal dan (b) Faktor
eksternal.
a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam individu.
Faktor internal yang termasuk di dalamnya adalah emosi, rasa aman, ciri
pribadi, penerimaan diri, inteligensi dan perbedaan jenis kelamin.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar individu.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan masyarakat dan budaya.

Mohammad Surya (1985:16) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian sosial sebagai berikut:
a. Kondisi jasmani yang meliputi pembawaan, susuna jasmaniah, sistem
syaraf, kelenjar otot, kesehatan, dan lainnya;
b. Kondisi perkembangan dan kematangan, meliputi perkembangan dan
kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional.

Sedangkan W.A Gerungan (1988:180) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:
a. Peran keluarga yang meliputi status sosial ekonomi, kebutuhan keluarga,
sikap, dan kebiasaan orangtua dan status anak;
b. Peranan sekolah meliputi struktural dan organisasi sekolah, peranan guru
dalam kegiatan belajar mengajar (KBM);
c. Peranan lingkungan kerja misalnya lingkungan pekerjaan industri atau
pertanian di daerah;

d. Peranan media massa, besarnya pengaruh alat komunikasi seperti
perpustakaan, televisi, film, radio, dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah faktor internal yang meliputi
kecemasan, konflik, frustasi, emosi, rasa aman, ciri pribadi, penerimaan diri,
inteligensi dan perbedaan jenis kelamin, serta faktor eksternal yang meliputi
keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan budaya.

7. Keberhasilan dan Kegagalan Penyesuaian Sosial Anak
Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam proses menyesuaikan diri
dengan

kehidupan sosialnya

berkaitan

erat

dengan

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya.
Dijelaskan oleh Hurlock (1993), bahwa arti penting penyesuaian sosial
bagi anak-anak adalah agar mereka dapat mempelajari berbagai keterampilan
sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan
orang lain baik teman maupun orang yang tidak dikenal, sehingga sikap orang
lain terhadap mereka menyenangkan. Anak yang berhasil melakukan penyesuaian
sosial dengan baik mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti
kesediaan untuk membantu temannya, meskipun mereka sendiri mengalami
kesulitan.
Menurut Hurlock (1993), penyesuaian sosial anak juga penting karena
pertama, pola perilaku dan sikap yang dibentuk pada masa awal kehidupan

cenderung menetap. Jadi upaya penerapan penyesuaian terhadap lingkungan
sosial anak kemungkinan untuk berhasil jauh lebih besar bila diletakkan selama
masa pra sekolah. Kedua, jenis penyesuaian sosial yang dilakukan anak-anak
meninggalkan ciri pada konsep diri mereka. Jadi, anak yang tidak berhasil
melakukan penyesuaian sosial akan mengalami ketidakbahagiaan dan konsep
dirinya terbentuk untuk tidak menyukai dirinya sendiri.
Sears, dkk (1992) menyatakan bahwa individu melakukan penyesuaian
sosial karena ingin diterima secara sosial oleh masyarakat dan ingin menghindari
celaan. Demikian pula dengan seorang anak, mereka dikatakan berhasil
melakukan penyesuaian sosial apabila mampu menghadapi masalah dan konflik
di sekolah maupun di lingkungan masyarakat dengan wajar. Jadi penyesuaian
sosial yang berhasil bukan berarti tidak memiliki masalah atau krisis sama sekali.
Menurut Hurlock (1993), selain orang tua, guru juga perlu menaruh
perhatian terhadap penyesuaian sosial murid-muridnya. Terbukti bahwa murid
yang dapat diterima dengan baik memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya dibandingkan dengan
murid yang ditolak teman sekelasnya. Begitu juga sebaliknya, murid yang
berhasil melakukan penyesuaian sosial kecil kemungkinannya menjadi pengacau
di kelas dan suka membolos.
Seorang anak dikatakan telah melakukan penyesuaian sosial dengan baik
apabila anak tersebut dapat diterima di lingkungannya. Kriteria ini sesuai dengan
pendapat Hurlock (1993), bahwa penyesuaian sosial dikatakan benar apabila
masyarakat dapat menerimanya. Ditambahkan juga oleh Meichiati (1983), bahwa

bila individu berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial, maka akan terbentuk
relasi sosial yang baik dengan orang lain, terbebas dari konflik dan perasaan yang
menekan, sehingga akan menimbulkan perasaan puas, superior, manambah harga
diri, serta memperlancar aktivitas psikis.
Anak yang mengalami kegagalan penyesuaian sosial dapat mengalami
perasaan tertekan. Hal ini didukung oleh pendapat Philips (dalam Rahmawati,
2001), yaitu anak dapat mengalami stress karena tidak dapat memenuhi tuntutan
sosial untuk menjalin hubungan dengan kelompoknya, berinteraksi dengan guru,
serta berartisipasi dalam kegiatan kelas.
Selanjutnya Hurlock (2004) menambahkan bahwa kegagalan penyesuaian
sosial di sekolah akan berakibat tidak baik seperti merasa tidak bahagia dan tidak
menyukai diri sendiri. Akibatnya anak akan mengembangkan sikap egois (self
centered), tertutup dan anti sosial (unsocial). Pemberian label “kuper atau kurang
pergaulan” sebagai ungkapan penilaian negatif akan diberikan apabila anak tidak
mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik.
Hurlock (2005) secara rinci menyimpulkan tanda-tanda bahaya yang
umumnya muncul akibat individu tidak mampu melakukan penyesuaian sosial,
antara lain:
a. Tidak bertanggung jawab.
b. Sikap agresif dan sangat yakin pada diri sendiri.
c. Perasaan tidak aman.
d. Merasa ingin pulang bila berada jauh dari lingkungan yang dikenal.
e. Perasaan mudah menyerah.

f. Terlalu banyak berkhayal untuk mengimbangi ketidakpuasannya.
g. Mundur ke tingkat perilaku sebelumnya supaya diperhatikan.

B. KONSEP RETARDASI MENTAL
1. Pengertian Retardasi Mental
Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan inteligensi
yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa
anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan,
tetapi gejala yang utama ialah inteligensi yang terbelakang. Retardasi mental
disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna
mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
Menurut buku saku PPDGJ III (Diagnosis Gangguan Jiwa) Retardasi
Mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhemti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama
masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara
menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.

2. Klasifikasi Retardasi Mental (PPDGJ III)
a. Retardasi Mental Ringan (IQ 50-69)
IQ 50 – 69 dinilai “mampu didik”. Mereka biasanya dikenali saat
masuk sekolah (dan diberikan tes) dan membutuhkan pendidikan khusus.
Merupakan 85% dari jumlah penderita retardasi mental (tetapi ini adalah
kelompok yang menurun dan jelas saat dewasa). Kebanyakan dapat

membantu diri sendiri, dengan bantuan, walaupun mereka mempunyai
pertimbangan, sensitivitas sosial, dan tilikan yang terbatas.
b. Retardasi Mental Sedang (IQ 35-49)
IQ 35 – 49 merupakan 10% dari seluruh jumlah penderita retardasi
mental. Biasanya sudah dikenali saat tahun – tahun prasekolah. Meraka
dinilia (Mampu dilatih) dapat mempelajari ketrampilan kerja yang
sederhana, dapat membaca setingkat kelas 2 sekolah dasar dan berbicara
sederhana, dan dapat secara sebagian membantu diri sendiri di dalam
lingkungan

panti.

Mereka

cenderung

terlihat

kikuk

dan

tidak

terkoordinasi.
c. Retardasi Mental Berat (IQ 20-34)
IQ 20 – 34merupakan 3% - 4% dari seluruh jumlah penderita
retardasi mental. Mereka termasuk penderita retardasi yang dependen :
mampu berbicara yang paling sederhana, tetapi membutuhkan suatu
institusi atau pengasuhan suportif yang intens. Sering ditemukan
malinformasi dan cacat fisik yang berat.
d. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20)
IQ di bawah 20 merupakan 1% dari seluruh jumlah penderita
retardasi mental. Mereka bergantung secara total kepada orang lain dan
biasanya mempunyai kerusakan neurologi yang bermakna, tidak dapat
berjalan atau berbicara.

3. Etiologi Retardasi Mental
Penyebab yang khas (biasanya biologik) diidentifikasikan pada kurang
dari 50 %, sebagian besar terdapat pada pasien dengan retardasi mental sedangsangat berat. Penyebab lain termasuk faktor – faktor lingkungan (misal, problem
pranatal dan perinatal, penyakit pada masa bayi, penelantaran psikososial,
malnutrisi), dengan suatu keterlibatan poligeni yang belum jelas pada beberapa
kasus. Retardasi sedang – sangat berat tersebar secara merata dan sama pada
semua lapisan sosial, sedangkan retardasi mental ringan (biasanya dari etiologi
sosiokultural) dianggap suatu gangguan yang bersifat familial (genetik atau
lingkungan) resiko terdapatnya retardasi mental pada seorang anak dengan
orangtua dan saudara kandung yang adalah kurang dari 2%, sedangkan jika kedua
orangtua dan saudara kandungnya menderita retardasi mental resikonya menjadi
sebesar 40%-70%.
a. Penyebab Biologis meliputi :
1. Kelainan kromosomal – banyak jenis termasuk sindrom down trisomi
21 merupakan kelainan yang terbanyak yang lazim terdapat pada ibu –
ibu dengan usia yang lebih tua 10%-16% dari jumlah penderita
retardasi mental sebagian besar menderita penyakit Alzheimer pada
usia sekitar 30-an atau 40-an)
2. Pewarisan faktor genetik yang dominan – Neurofibromatosis
(penyakit Von Recklinghausen), khorea Huntington (dengan awitan
masa kanak), sindrom Sturge – weber, tuberous sclerosis.

3. Gangguan metabolik – Fenilketonuria (PKU) (deteksi dini sangat
penting), penyakit Hartup, intoleransi fruktosa, galaktosemia, penyakit
wilson, sejenis gangguan lipid, hipotiroidisme, hipoglikemia.
4. Gangguan pranatal – Rubela materna (terutama pada trimester
pertama),

sifilis,

toksoplasmosis,

atau

herpes

simpleks,

penyalahgunaan alkohol pada ibu (sindrom fetal alkohol) dan
penggunaan beberapa obat (misal, talidomid), toksemia pada
kehamilan, eritoblastosis fetalis, malnutrisi pada ibu.
5. Trauma kelahiran – proses kelahiran yang sulit dengan trauma fisik
atau anoksia, prematuritas.
6. Trauma otak – tumor, infeksi (terutama ensefalitis, menigitis,
neonatal), kecelakaan, toksin (misal, plumbun, merkuri) hidrosefalus,
bermacam – macam jenis kelainan kranial.
b. Penyebab sosial menyebabkan sebagian besar retardasi mental ringan dan
meliputi tingkat pendidikan yang di bawah standard, deprivasi lingkungan,
penelantaran dan kekerasan pada masa kanak, dan aktivitas yang
terhambat. Singkirkan gangguan pekembangan pervasif, demensia, dan
skizofrenia residual

7. Faktor penyebab terjadinya Retardasi Mental
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Ke-1 (W.F.
Maramis, 2005: 386-388) faktor-faktor penyebab retardasi mental adalah sebagai
berikut.

a. Infeksi dan atau intoksinasi
Infeksi yang terjadi pada masa prenatal dapat berakibat buruk pada
perkembangan janin, yaitu rusaknya jaringan otak. Begitu juga dengan terjadinya
intoksinasi, jaringan otak juga dapat rusak yang pada akhirnya menimbulkan
retardasi mental.
Infeksi dapat terjadi karena masuknya rubella, sifilis, toksoplasma, dll. ke
dalam tubuah ibu yang sedang mengandung. Begitu pula halnya dengan
intoksinasi, karena masuknya “racun” atau obat yang semestinya dibutuhkan.
b. Terjadinya rudapaksa dan / atau sebab fisik lain
Rudapaksa sebelum lahir serta trauma lainnya, seperti hiper radiasi, alat
kontrasepsi, dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan berupa
retardasi mental.
Pada waktu proses kelahiran (perinatal) kepala bayi dapat mengalami
tekanan sehingga timbul pendarahan di dalam otak. Mungkin juga karena terjadi
kekurangan oksigen yang kemudian menyebabkan terjadinya degenerasi sel-sel
korteks otak yang kelak mengakibatkan retardasi mental.
c. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
Semua retardasi mental yang langsung disebabkan oleh gangguan
metabolisme (misalnya gangguan metabolism karbohidrat dan protein), gangguan
pertumbuhan, dan gizi buruk termasuk dalam kelompok ini. Gangguan gizi yang
berat dan berlangsung lama sebelum anak berusia 4 tahun sangat mempengaruhi
perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan seperti
itu dapat diperbaiki dengan memberikan gizi yang mencukupi sebelum anak

berusia 6 tahun, sesudah itu biarpun anak tersebut dibanjiri dengan makanan yang
bergizi, inteligensi yang rendah tersebut sangat sukar untuk ditingkatkan.
d. Penyakit otak yang nyata
Dalam kelompok ini termasuk retardasi mental akibat beberapa reaksi selsel otak yang nyata, yang dapat bersifat degeneratif, radang, dst. Penyakit otak
yang terjadi sejak lahir atau bayi dapat menyebabkan penderita mengalamai
keterbelakangan mental.
e. Penyakit atau pengaruh prenatal
Keadaan ini dapat diketahui sudah ada sejak dalam kandungan, tetapi
tidak diketahui etiologinya, termasuk anomaly cranial primer dan defek
congenital yang tak diketahui sebabnya.
f. Kelainan kromo