Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa Barat

TELAAH KONDISI ANEMIA YANG DISEBABKAN OLEH CACING
Haemonchus contortus PADA KAMBING DAN DOMBA DI BOGOR,
JAWA BARAT

ADITYA RIZKI PRATAMA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
ADITYA RIZKI PRATAMA. Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus
contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa Barat. Dibawah bimbingan ACHMAD
FARAJALLAH dan MULADNO.
Resiko yang ditimbulkan oleh pemeliharaan kambing dan domba secara tradisional
khususnya di Bogor adalah produktivitas ternak rendah dan tingginya resiko infeksi parasit, salah
satunya Nematoda saluran pencernaan. Nematoda saluran pencernaan yang paling banyak
menginfeksi kambing dan domba di Bogor adalah Haemonchus contortus yang menyebabkan
anemia. Larva 3 H. contortus dapat masuk ke dalam abomasum kambing dan domba melalui

rumput. Cara untuk menduga anemia akibat H. contortus dapat berdasarkan jumlah telur per gram
feses (Faecal Egg Counts/ FEC) dan warna kelopak mata berdasarkan gradasi warna FAMACHA©
card. Rataan FEC menunjukkan banyaknya investasi H. contortus dewasa di abomasum kambing
dan domba. Telur H. contortus hampir dijumpai pada 153 kambing dan domba dari peternakan
rakyat dan UP3 Jonggol yang fesesnya diperiksa. Haemonchus contortus menyerang kambing dan
domba pada berbagai umur tetapi paling banyak saat kambing dan domba berumur 12-16 bulan.
Rataan FEC domba lebih besar daripada kambing. Hal ini berhubungan dengan morfologi mulut
dan cara memilih makanan. Tingginya infeksi H. contortus di Bogor disebabkan sistem
pemeliharaan ternak yang masih tradisional. Domba di peternakan rakyat lebih rentan terserang
anemia daripada domba di UP3 Jonggol. Arah korelasi umur dengan FEC adalah negatif,
sedangkan arah korelasi antara FEC dengan FAMACHA© card adalah positif. Hal ini memberikan
peluang digunakannya metode FEC dan FAMACHA© card secara bersamaan untuk menduga
anemia akibat H. contortus di Bogor.
Kata kunci: kambing dan domba, anemia, Haemonchus contortus

ABSTRACT
ADITYA RIZKI PRATAMA. Study of Anaemia Condition Caused by Haemonchus contortus in
Goat and Sheep in Bogor, West Java. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and MULADNO.
The risks of traditionally goat and sheep treatment particularly in Bogor are low livestock
productivity and the high risk of parasite infection, i.e gastrointestinal Nematode. Gastrointestinal

Nematode tract most infect goats and sheep in Bogor and causes anaemia is Haemonchus
contortus. The 3rd phase larvae of H. contortus can get into the abomasum of goats and sheep
through the grass. There are two famous methods to suspect anaemia because of H. contortus, can
be based on the number of eggs per gram of feces (Faecal Egg Counts/ FEC) and eyelid color by
color gradation FAMACHA© card. FEC indicates the average number of investments H. contortus
in the abomasum of goats and sheep. The H. contortus’s eggs found in nearly 153 goats and sheep
from traditional farms and UP3 Jonggol that feces examined. Haemonchus contortus attacked
goats and sheep at different ages but it attacked mostly at aged 12-16 months. The average of FEC
from sheep higher than goats. This is related to the morphology of its mouth and food grassing.
The high infection of H. contortus in Bogor due to traditional maintenance. Sheep on traditional
farms are more susceptible from H. contortus than UP3 Jonggol’s sheep. The correlation between
FEC and age were negative, where as the correlation between FEC with FAMACHA© card is
positive. This provides an opportunity FEC and FAMACHA© card methodes used simultaneously
to suspect anemia because of H. contortus in Bogor.
Key words: goat and sheep, anaemia, Haemonchus contortus

TELAAH KONDISI ANEMIA YANG DISEBABKAN OLEH CACING
Haemonchus contortus PADA KAMBING DAN DOMBA DI BOGOR,
JAWA BARAT


ADITYA RIZKI PRATAMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi : Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing
Haemonchus contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa
Barat
Nama
: Aditya Rizki Pratama
NIM
: G34080037


Menyetujui,

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.
Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA
Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.
Ketua Departemen Biologi

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya,
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Telaah Kondisi Anemia
yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa

Barat” ini dilakukan mulai Januari 2012 sampai dengan Mei 2012 di Bagian Fungsi dan Perilaku
Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. dan Prof. Dr. Ir.
Muladno, MSA. atas bimbingan dan arahan yang diberikan juga kepada kedua orang tua yang
senantiasa menyayangi, mendidik, serta memberikan semangat kepada penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Alex Hartana selaku dosen penguji wakil komisi
pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan saat ujian dan penulisan karya ilmiah.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rahmadina Radita atas dukungan dan semangat
yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Wildan Najmal Muttaqin, S.Si., M.Si. atas
bantuan dan saran selama kerja di lapang dan laboratorium; Bapak Hoiri, Bapak Widodo, dan
Bapak Sasmita atas bantuan dalam pengambilan data domba di Unit Pendidikan dan Pelatihan
Peternakan Jonggol; Ibu Tini, Ibu Ani, dan teman-teman di zoologi atas bantuan dalam kerja
laboratorium; serta keluarga besar dosen di zoologi atas bantuan dan saran selama penulis
melakukan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di
Departemen Biologi khususnya angkatan 45 yang telah memberi bantuan, saran, dan doa.
Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

Aditya Rizki Pratama

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Trenggalek Provinsi Jawa Timur pada tanggal 4 Maret 1990 dari
pasangan Wasis (almarhum) dan Sita Ruhmi Rahayu. Penulis merupakan anak tunggal di keluarga.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di SDN Sumberingin 1 dan SDN
Kedungsigit 3 pada tahun 2002, SLTPN 1 Trenggalek pada tahun 2005, dan SMAN 1 Trenggalek
pada tahun 2008. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan
Seleksi Masuk IPB.
Penulis mempunyai pengalaman sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Biologi Dasar
pada tahun 2011 dan 2012, serta Struktur Hewan pada tahun 2012. Penulis juga pernah
mengajukan usulan penelitian Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan oleh DIKTI
pada tahun 2009. Penulis juga pernah aktif dalam Himpunan Mahasiswa Biologi sebagai anggota
divisi Biosains 2010 dan Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA IPB sebagai ketua departemen
internal tahun 2011 dan aktif dalam beberapa kegiatan keorganisasian. Selama menempuh studi di
Departemen Biologi, penulis juga pernah melakukan penelitian dalam studi lapang mengenai
parasitasi Cecidochares connexa sebagai agens pengendali hayati Chromoleana odorata di
Pangandaran Ciamis pada tahun 2010 dan praktik lapangan di PT Central Agromina Unit Farm 1
Jati Subang mengenai manajemen vaksinasi breeding farm parent stock di PT Central Agromina

Unit Farm 1 Jati, Kabupaten Subang pada tahun 2011.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………

vii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………...

vii

PENDAHULUAN………………………………………………………………………...
Latar Belakang…………………………………………………………………………

1
1

Tujuan Penelitian………………………………………………………………………


1

BAHAN DAN METODE…………………………………………………………………
Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………………………….

1
1

Bahan………………………………………………………………………………….

1

Metode………………………………………………………………………………...

1

HASIL…………………………………………………………………………………….

2


PEMBAHASAN………………………………………………………………………….

4

SIMPULAN……………………………………………………………………………….

6

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..

6

vii

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2

Rataan bobot badan, umur, dan FEC beberapa bangsa kambing dan domba di

Bogor………………………………………………………………….....................
Nilai korelasi umur, bobot badan, dan FAMACHA© card dengan FEC pada
beberapa bangsa kambing dan domba di Bogor……………………………………

3
4

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4

Pengamatan telur cacing H. contortus menggunakan papan hitung McMaster……
Telur cacing H. contortus diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran
100x…………………………………………………………………………………
Grafik hubungan antara FEC dengan umur padabeberapa bangsa (A) kambing
dan (B) domba di Bogor……………………………………………………………..
Grafik hubungan antara FAMACHA© card dengan FEC pada beberapa bangsa

domba di Bogor……………………………………………………………………..

2
2
3
4

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing dan domba tergolong ruminansia
kecil. Kambing diklasifikasikan dalam famili
Bovidae, genus Capra, spesies Capra hircus,
sedangkan domba dalam spesies Ovis aries.
Karakteristik kambing berbeda dengan domba
mengenai ada tidaknya jenggot, rambut, posisi
ekor, dan cara makan (Coblentz 2010).
Kambing lokal di Indonesia meliputi kambing
kacang, kambing muara, kambing kosta,
kambing marica, dan kambing benggala.
Dijumpai pula kambing introduksi, yakni
kambing etawah dan kambing saanen, dan
kambing peranakan, yakni peranakan etawah,
dan kambing boerka (Batubara & Doloksaribu
2005). Domba yang biasa ditemukan di
Indonesia, khususnya pulau Jawa adalah
domba ekor gemuk dan ekor tipis (Priangan)
(Herman 1988).
Populasi kambing dan domba di Jawa
Barat tahun 2010 sebanyak 831.388 ekor dan
1.659.670
ekor
(Direktorat
Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011).
Total populasi tersebut belum mampu
menutupi kebutuhan konsumsi daging
sehingga perlu ada peningkatan dalam
produktivitas
ternak
melalui
seleksi,
persilangan, pengontrolan kesehatan, dan
perbaikan pemeliharaan peternakan. Sistem
pemeliharaan kambing dan domba di
Indonesia masih tradisional dengan skala
kepemilikan kecil, sehingga produktivitas
rendah dan tingginya resiko infeksi parasit.
Secara alami, kambing dan domba lokal
Indonesia mempunyai keistimewaan dalam
hal tingkat reproduksi, kualitas kulit dan
karkas, serta daya tahan terhadap serangan
parasit. Namun, sebagai konsekuensi dari
tingginya daya tahan kambing dan domba
lokal terhadap parasit, kambing dan domba
lokal Indonesia memiliki ukuran tubuh yang
lebih kecil dengan laju pertumbuhan yang
lebih lambat daripada kambing dan domba
introduksi.
Salah satu parasit yang menginfeksi
saluran pencernaan kambing dan domba
khsusnya di Jawa Barat adalah cacing
Haemonchus contortus (Beriajaya 2005).
Penyakit yang disebabkan oleh H. contortus
disebut haemonchosis. Penyakit ini memiliki
tiga gejala klinis, yaitu haemonchosis
hiperakut, akut, dan kronik. Haemonchosis
hiperakut terjadi jika jumlah H. contortus
lebih dari 10000 ekor, haemonchosis akut

terjadi ketika jumlah H. contortus antara
1000-10000 ekor, sedangkan haemonchosis
kronik terjadi ketika jumlah H. contortus
antara 100-1000 ekor (Soulsby 1982).
Penyakit haemonchosis menyebabkan ternak
menderita diare, dehidrasi, berkurangnya
bobot badan, dan anemia.
Pendugaan kondisi anemia haemonchosis
pada kambing dan domba menggunakan
metode FEC (Fecal Egg Counts), yakni
pemeriksaan mikroskopis mengenai kuantitas
telur parasit dari feses ternak (Evans & Rood
2009). Selain FEC, pendugaan kondisi anemia
haemonchosis dapat dilakukan menggunakan
FAMACHA© card. FAMACHA© card
pertama kali dikembangkan di Afrika Selatan
untuk mendeteksi anemia haemonchosis
berdasarkan warna kelopak mata ternak. Kartu
ini telah digunakan di beberapa negara dengan
akurasi yang bervariasi (Bisset et al. 2001;
Van Wyk & Bath 2002; Kaplan et al. 2004;
Gauly et al. 2004; Sissay et al. 2007). Di
Indonesia, khususnya di Bogor, kondisi
anemia haemonchosis belum diketahui
berdasarkan FEC dan FAMACHA© card.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengidentifikasi hubungan antara kejadian
anemia akibat cacing H. contortus melalui
jumlah telur cacing per gram feses (FEC) pada
beberapa bangsa kambing, serta FAMACHA©
card pada beberapa bangsa domba di
beberapa tempat di Bogor.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan
Januari sampai Mei 2012 di Laboratorium
Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan
Departemen Biologi, FMIPA, IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah feses kambing dan domba yang
diambil dari peternakan rakyat di beberapa
tempat di Bogor dan dari Unit Pendidikan dan
Pelatihan Peternakan Jonggol (UP3 Jonggol),
Fapet, IPB (Tabel 1).
Metode
Pengambilan sampel
Feses diambil melalui dua cara, faecal
samples swapped from anus untuk sampel
feses dari UP3 Jonggol dan faecal samples
dropped on ground untuk sampel feses dari
peternakan
rakyat.
Umur
diperoleh

2
berdasarkan jumlah pasang gigi seri pada
ternak. Bobot kambing dan domba di
peternakan rakyat diperoleh berdasarkan
metode judging dan dari UP3 Jonggol
diperoleh dari penimbangan langsung.

FEC dengan FAMACHA© card pada domba
dicari menggunakan Microsoft Excel 2007
dan analisisnya dilakukan secara deskriptif.

HASIL

©

FAMACHA card
Deteksi kondisi anemia pada domba
dengan cara membandingkan warna kelopak
mata bawah domba dengan gradasi warna
pada FAMACHA© card yang bergradasi 5
tingkat. Gradasi 1 berwarna merah, non
anemia; 2 antara merah dengan merah muda,
non anemia; 3 merah muda, diduga anemia; 4
berwarna merah muda putih, anemia; dan 5
berwarna putih, anemia akut (Kaplan et al.
2004). FAMACHA© card yang digunakan
adalah khusus untuk domba.
Analisis FEC
Analisis FEC meliputi dua tahap, yakni
preparasi sampel dan uji keberadaan telur.
Preparasi sampel. Sebanyak 5 gram feses
digerus dan disuspensikan dalam air sambil
diaduk kemudian disaring. Hasil saringan
diencerkan dengan 200 ml air dan diendapkan
dengan cara didiamkan selama 10 menit.
Endapan
yang
diperoleh
kemudian
disuspensikan dengan air sampai 200 ml,
pengenceran dilakukan sebanyak tiga kali
sampai endapan jernih. Uji keberadaan telur.
Endapan hasil preparasi dipipet 0,05 ml dan
diteteskan ke dalam papan hitung McMaster
(Whitlock 1948). Pengamatan sebanyak tiga
kali dilakukan di bawah mikroskop cahaya
perbesaran 100x. Setiap sumur (chamber)
mewakili satu kali pengamatan. Pengamatan
menggunakan papan hitung McMaster
dilakukan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Pengamatan telur cacing H.
contortus menggunakan papan
hitung McMaster.
Telur H. contortus berukuran 69-85 x 4045 µm berbentuk simetris, memiliki cangkang
tipis dan berkitin. Kepastian telur H. contortus
yang diperoleh mengikuti deskripsi telur yang
dibuat oleh Nila (2009).
Analisis Data
Arah dan nilai korelasi antara umur
dengan FEC pada kambing dan domba, serta

Haemonchus contortus betina dewasa
dapat menghasilkan telur sebanyak 10000
telur/individu/hari yang dikeluarkan ke
lingkungan bersamaan dengan feses kambing
maupun domba. Telur H. contortus berbentuk
lonjong simetris, berwarna kemerahan dan
dilindungi oleh cangkang (Gambar 2).

100 µm

Gambar 2 Telur cacing H. contortus diamati
menggunakan mikroskop cahaya
perbesaran 100x.
Kambing benggala jantan dan betina
memiliki rataan bobot yang paling besar
daripada kambing yang lainnya, sedangkan
rataan bobot jantan terbesar pada domba
dimiliki oleh domba ekor gemuk peternakan
rakyat (DEG T), dan pada domba betina
dimiliki oleh domba garut peternakan rakyat
(DGar T). Secara umum, bobot badan
kambing dan domba betina pada penelitian ini
lebih besar daripada jantannya. Umur
kambing dan domba yang diambil fesesnya
pada penelitian ini antara empat sampai 36
bulan. Kambing kacang memiliki rataan
jumlah telur (FEC) H. contortus paling
banyak di antara kambing yang lain,
sedangkan domba ekor tipis peternakan rakyat
(DET T) memiliki rataan telur H. contortus
paling banyak di antara bangsa domba yang
lain. Domba ekor tipis UP3 Jonggol (DET J)
memiliki rataan telur H. contortus paling
sedikit dibandingkan bangsa domba yang lain
(Tabel 1).
Jumlah telur H. contortus pada kambing
paling banyak ditemukan pada usia 12 bulan,
dan pada domba antara usia 12-16 bulan
(Gambar 3). Telur H. contortus terbanyak
pada kambing kacang sebanyak 800
telur/gram feses, pada kambing benggala
sebanyak 587 telur/gram feses, pada kambing

3
saanen sebanyak 947 telur/gram feses. Jumlah
telur H. contortus terbanyak pada DET T
sebanyak 1080 telur/gram feses, pada DEG T
sebanyak 1800 telur/gram feses, pada DGar T
sebanyak 347 telur/gram feses, dan pada DET
J sebanyak 667 telur/gram feses.
Investasi
H. contortus
mengalami
kenaikan sesuai gradasi warna dan kondisi
anemia haemonchosis menurut FAMACHA©
card. Namun, pada gradasi warna 5, investasi
H. contortus turun hingga mendekati nol.
Rata-rata domba yang investasi H. contortus-

nya tinggi memiliki warna kelopak mata
merah muda dan merah muda putih (Gambar
4).
Korelasi antara umur dengan FEC, dan
FAMACHA© card dengan FEC menunjukkan
variasi antara tiap-tiap spesies dan bangsa.
Nilai korelasi > 0 menunjukkan adanya
keterkaitan positif antara faktor-faktor yang
dibandingkan, sedangkan nilai < 0 berarti ada
korelasi negatif antara faktor-faktor yang
dibandingkan (Tabel 2).

Tabel 1 Rataan bobot badan, umur, dan FEC beberapa bangsa kambing dan domba di Bogor
Identitas
Sampel
Benggala
Kacang
Saanen
DET T

Jenis
Kelamin

Asal
Sampel

Jumlah
Sampel (n=)

Rataan
Bobot
Badan (kg)

Rataan
Usia
(bulan)

Rataan FEC
(telur/gram
feses









Peternakan
rakyat

14
1
11
1
28
0
7

32
45
19
18
27
0
24

21
36
11
8
17
0
16

88
13
197
27
172
0
184

6
39

23
25

12
14

56
125

13
5

23
24

13
15

86
141

1
13

30
10

24
5

13
68

14

11

8

30




DEG T




DGar T




DET J



Peternakan
rakyat
Peternakan
rakyat
Peternakan
rakyat
Peternakan
rakyat
Peternakan
rakyat
UP3
Jonggol

DET T: domba ekor tipis peternakan rakyat, DEG T: domba ekor gemuk peternakan rakyat, DGar
T: domba garut peternakan rakyat, DET J: domba ekor tipis UP3 Jonggol.
A 1000

450
400
350
300
250
F 200
E 150
C
100
50
0

B

900
800
700
F 600
E 500
C 400
300
200
100
0

6

8 12 14 16 18 24 26 28 30 36

4

5

6

Kambing saanen
Kambing kacang
Kambing benggala

8

10 12 14 16 18 24 36
Umur (bulan)

Umur (bulan)

DEG T
DET J
DET T

DGar T

Gambar 3 Grafik hubungan antara FEC dengan umur pada beberapa bangsa (A) kambing dan (B)
domba di Bogor.

4
200
150

F 100
E
C
50

DEG T
DET J
DET T
DGar T

0
1

2

3
FAMACHA

4

5

Gambar 4 Grafik hubungan antara FAMACHA©
card dengan FEC pada beberapa bangsa
domba di Bogor.
Tabel 2 Nilai korelasi umur, bobot badan, dan FAMACHA© card dengan FEC pada beberapa
bangsa kambing dan domba di Bogor
Nilai Korelasi

Identitas Sampel
Umur vs FEC

FAMACHA vs FEC

Kambing benggala
Kambing kacang
Kambing saanen
DEG T
DET J

0,29
-0,51
-0,48
0,05
-0,44

0,06
0,64

DET T
DGar T

-0,14
0,18

0,27
0,35

PEMBAHASAN
Anemia yang disebabkan oleh cacing H.
contortus merupakan salah satu masalah yang
dihadapi peternak kambing dan domba di
Indonesia. Telur H. contortus yang
dikeluarkan bersamaan dengan feses kambing
dan domba akan berkembang menjadi L1, L2,
dan L3 (larva infektif) pada lingkungan yang
optimum. Telur H. conttortus yang telah
berkembang menjadi L3 akan bergerak
menuju daun bagian abaksial rumput untuk
berlindung dari cahaya matahari. Larva 3 H.
contortus akan berkembang menjadi cacing H.
contortus dewasa yang akan memakan darah
hospes sehingga ternak menderita kekurangan
darah (anemia), selain itu, napsu makan ternak
berkurang.
Berkurangnya napsu makan ternak akibat
infeksi H. contortus menyebabkan penurunan
bobot badan ternak. Penurunan napsu makan
menyebabkan ternak terlihat lemas dan mudah
terserang penyakit, sehingga pada akhirnya
menyebabkan berkurangnya produktivitas
daging ternak yang dapat dihasilkan.
Akibatnya, infeksi H. contortus secara tidak

langsung
dapat
menyebabkan
tidak
tercukupinya konsumsi masyarakat terhadap
daging ternak, terutama daging kambing dan
domba.
Menurut Kriswito (2001), H. contortus
menginfeksi kambing dan domba saat mulai
meramban. Infeksi H. contortus terbanyak
pada penelitian ini ditemukan ketika kambing
dan domba berumur 12 sampai 16 bulan.
Umur tersebut merupakan saat kambing dan
domba mulai dapat bereproduksi dan dapat
diambil dagingnya untuk berbagai kebutuhan
konsumsi. Infeksi H. contortus makin
menurun sampai kambing dan domba berusia
dewasa. Namun, bukan berarti kambing dan
domba yang berusia dewasa tidak terserang H.
contortus. Cacing ini menyerang kambing dan
domba pada berbagai usia dengan prevalensi
yang tinggi. Khususnya di Indonesia yang
beriklim tropis, H. contortus dapat menyerang
kambing dan domba sepanjang tahun dengan
prevalensi yang lebih tinggi pada musim
hujan daripada kemarau (Ridwan et al. 1996).
Infeksi H. contortus pada penelitian ini
lebih banyak ditemui pada kambing dan
domba jantan berdasarkan rataan FEC-nya.

5
Namun demikian, hal ini tidak menunjukkan
bahwa kambing dan domba jantan lebih
rentan terinfeksi H. contortus daripada
kambing dan domba betina. Penyebab dari
kejadian ini adalah adanya ketidakseimbangan
pengambilan jumlah sampel berdasarkan jenis
kelamin pada kambing dan domba yang
diperiksa fesesnya.
Rataan FEC bervariasi pada berbagai
spesies dan bangsa kambing dan domba.
Rataan FEC yang tinggi juga menunjukkan
banyaknya cacing H. contortus dewasa yang
terdapat pada saluran pencernaan kambing
dan domba. Banyaknya cacing H. contortus
yang menyerang kambing dan domba di
Bogor antara lain karena sistem pemeliharaan
dan pemberian pakan yang masih bersifat
tradisional. Pemeliharaan secara tradisional
memungkinkan L3 H. contortus yang hidup di
rerumputan dapat masuk dan berkembang
menjadi H. contortus dewasa di saluran
pencernaan kambing dan domba dengan
memakan sel darah merah sehingga
menyebabkan anemia (Hutapea 2001).
Rataan FEC paling sedikit pada bangsa
kambing yang digunakan dalam penelitian ini
ditemukan pada kambing benggala sedangkan
rataan FEC yang paling banyak ditemui pada
bangsa kambing kacang. Rataan FEC paling
banyak pada bangsa domba yang digunakan
pada penelitian ini ditemukan pada DET T
sedangkan yang paling sedikit ditemukan pada
DET J. Seharusnya, kambing kacang dan DET
lebih tahan terhadap parasit daripada bangsa
kambing dan domba lainnya. Hal ini karena
kambing kacang dan DET merupakan
kambing dan domba lokal Indonesia. Salah
satu keunggulan domba lokal adalah tahan
terhadap parasit. Namun demikian, kambing
dan domba lokal di Indonesia memiliki
ukuran tubuh yang kecil dengan laju
pertumbuhan yang relatif lambat (Sumantri et
al. 2007).
Berdasarkan rataan FEC, telur cacing H.
contortus dijumpai pada hampir semua
kambing dan domba yang fesesnya diperiksa.
Artinya cacing dewasa H. contortus juga
terdapat pada hampir semua kambing dan
domba pada penelitian ini dengan investasi
yang bervariasi. Semakin tinggi investasi
cacing dewasa H. contortus pada saluran
pencernaan kambing dan domba, maka
semakin tinggi pula resiko kambing dan
domba tersebut terkena anemia haemonchosis.
Telur cacing H. contortus lebih banyak
ditemukan pada bangsa domba daripada

kambing pada penelitian ini berdasarkan
rataan FEC-nya. Selain karena perbedaan
sistem pemeliharaan dan pemberian pakan,
hal ini juga disebabkan oleh perbedaan
morfologi mulut serta cara memilih makanan
kambing dan domba. Menurut Hanafiah et al.
2002, morfologi mulut domba yang pendek
menyebabkan domba lebih memilih makan
pada hamparan ternak gembalaan dan hijauhijauan yang tidak menggantung.
Domba di peternakan rakyat di Bogor
lebih rentan terinfeksi H. contortus
dibandingkan domba yang dipelihara di UP3
Jonggol berdasarkan rataan FEC-nya.
Kambing dan domba di peternakan rakyat di
Bogor umumnya dipelihara secara tradisional.
Masuknya L3 H. contortus ke dalam saluran
pencernaan ternak dapat melalui rumput yang
digunakan sebagai pakan utama ternak di
peternakan rakyat. Domba di UP3 Jonggol
dipelihara secara semi modern, pembersihan
kandang dan pengontrolan kesehatan yang
rutin, serta adanya rotasi penggembalaan.
Berdasarkan nilai FEC-nya, infeksi H.
contortus pada bangsa kambing dan domba
pada penelitian ini berkorelasi negatif dengan
umur. Hanya DEG T dan DGar T yang rataan
FEC-nya berkorelasi positif dengan umur
domba. Korelasi negatif antara FEC dengan
umur disebabkan adanya akumulasi kekebalan
yang mengikuti umur. Kambing dan domba
yang masih bisa bertahan hidup pada musim
panas pertama yang dialaminya akan dapat
mengeluarkan hampir semua parasit secara
spontan melalui feses. Akibatnya, setelah
hewan tersebut dewasa hanya akan terinfeksi
parasit dengan jumlah sedikit dan tidak
berbahaya (Levine 1990).
Korelasi antara FEC dengan FAMACHA©
card pada bangsa domba di penelitian ini
menunjukkan korelasi positif. Ini berarti
bahwa kejadian anemia pada bangsa domba
akibat H. contortus pada penelitian ini dapat
diduga melalui FEC dan dapat dipastikan
menggunakan FAMACHA© card. Korelasi
positif antara FEC dengan FAMACHA© card
memberikan peluang penggunaan dua metode
tersebut untuk menduga anemia akibat H.
contortus pada bangsa domba di Bogor.
Namun, untuk Indonesia pada umumnya
dengan wilayah yang luas serta curah hujan
yang bervariasi, metode pendugaan anemia
akibat
infeksi
cacing
H.
contortus
menggunakan FEC dan FAMACHA© card
perlu diteliti lebih lanjut. FAMACHA© card
dan FEC merupakan metode yang telah

6
dipakai secara bersamaan di beberapa negara
untuk menduga anemia akibat H. contortus
dengan hasil yang bervariasi (Kaplan et al.
2004; Loria et al. 2009; Scheuerle et al.
2010).

SIMPULAN
Kasus anemia haemonchosis diduga
dijumpai pada hampir semua kambing dan
domba pada penelitian ini. Berdasarkan nilai
FEC dan FAMACHA© card, kambing dan
domba di Bogor diduga banyak yang
menderita anemia haemonchosis. Anemia
haemonchosis pada kambing dan domba di
Bogor antara lain disebabkan oleh sistem
pemeliharaan yang masih tradisional dan tidak
adanya pengontrolan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Batubara A, Doloksaribu M. 2005. Koleksi
ex-situ dan Karakterisasi Plasma Nutfah
Kambing Potong. Sumatera Utara: Loka
Penelitian Kambing Potong.
Beriajaya. 2005. Gastrointestinal nematode
infections on sheep and goats in West
Java, Indonesia. J Ilmu Ternak Vet 10:293304.
Bisset et al. 2001. Phenotypic and genetic
relationships amongst FAMACHA score,
faecal egg count and performance data in
Merino sheep exposed to Haemonchus
contortus infection in South Africa.
Proceedings of the 5th International Sheep
Veterinary Congress. Stellenbosch, South
Africa. pp 22–25.
Coblentz B. 2010. Capra hircus (mammal).
[terhubung berkala]. http://www.issg.org
[2 Nov 2011].

infection. Dtsch Tierarztl Wochenschr
111:430–433.
Hanafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi
infeksi Nematoda gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong
hewan Banda Aceh. J Sain Vet 1:15-19.
Herman R. 1988. Kualitas Karkas Domba
Lokal Hasil Penggemukan. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Bogor:
Puslitbang Peternakan. hlm 228-233.
Hutapea R. 2001. Studi komparatif habitat
larva cacing endoparasit gastrointestinal
Haemonchus contortus pada vegetasi
padang
penggembalaan
domba
di
Kabupaten Langkat Sumatera Utara
[tesis]. Sumatera Utara: Program Pasca
Sarjana, Universitas Sumatera Utara.
Kaplan et al. 2004. Validation of the
FAMACHA© eye chart for detecting
clinical anemia in sheep and goats on
farms in the southern United States. Vet
Parasitol 123:105-120.
Kriswito AD. 2001. Pengaruh pencekokan
simplisia mengkudu (Morinda citrifolia)
terhadap bobot badan dan derajat
kecacingan pada domba yang diinfeksi
Haemonchus contortus [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Levine ND. 1990. Parasitology Veteriner.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Loria et al. 2009. Evaluation of the
FAMACHA© system for detecting the
severity of anaemia in sheep from southern
Italy. Vet Parasitol 161:53-59.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan. 2011. Statistika Peternakan.
Jakarta: Departemen Pertanian.

Nila S. 2009. Infestasi cacing pada domba
ekor tipis dari rumah pemotongan domba
rakyat di Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.

Evans PA, Rood K. 2009. Fecal egg count
tests improve deworming programs.
[terhubung berkala]. http://extension.usu.
edu [2 Nov 2011].

Ridwan YS, Kusumamihardja P, Dorny,
Vercruysse J. 1996. The epidemiology of
gastro-intestinal nematodes of sheep in
West Java Indonesia. Hemerazoa 78:8-18.

Gauly M, Schackert M, Erhardt G. 2004. Use
of FAMACHA scoring system as a
diagnostic aid for the registration of
distinguishing marks in the breeding
program for lambs exposed to an
experimental
Haemonchus contortus

Scheuerle M, Mahling M, Muntwyler J,
Pfister K. 2010. The accuracy of the
FAMACHA©-method
in
detecting
anaemia and haemonchosis in goat flocks
in Switzerland under field conditions. Vet
Parasitol 170:71-77.

7
Sissay MM, Uggla A, Waller J. 2007.
Epidemiology and seasonal dynamics of
gastrointestinal nematode infections of
sheep in a semi-arid region of eastern
Ethiopia. Vet Parasitol 143:311–321.

Van Wyk JA, Bath GF. 2002. The
FAMACHA system for managing
haemonchosis in sheep and goats by
clinically identifying individual animals
for treatment. Vet Res 33:509–529.

Soulsby EJL. 1982. Helmiths, Artropods, and
Protozoa of Domesticated Animals
(Monnig). Ed ke-7. New York and
London: Academic Press.

Whitlock HV. 1948. Some modifications of
the McMaster helminth egg counting
technique and apparatus. J Counc Sci Ind
Res 21:177-180.

Sumantri C, Einstiana A, Salamena JF, Inounu
I. 2007. Keragaman dan hubungan
phylogenik antar domba lokal di Indonesia
melalui pendekatan analisis morfologi.
JITV 1:42-54.