Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb)
HUBUNGAN BOBOT ANAKAN DAN WAKTU PEMBIBITAN
YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SAGU
(Metroxylon sagu Rottb.)
DESTIEKA AHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Bobot Anakan
dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Nopember 2014
Destieka Ahyuni
NIM A252114051
RINGKASAN
DESTIEKA AHYUNI. Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang
Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Dibimbing
oleh MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE dan SUDRADJAT.
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki potensi
karbohidrat yang tinggi. Keanekaragaman jenis sagu Indonesia tertinggi di dunia.
Pembudidayaan tanaman sagu masih terdapat beberapa kendala terutama dalam
perbanyakan dan pindah tanam dari pembibitan ke lahan. Percobaan dilaksanakan
di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Penelitian dilaksanakan mulai
Februari 2011 hingga Desember 2013. Tujuan dari percobaan yaitu untuk
mempelajari tentang pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap
pertumbuhan bibit di lahan.
Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot) dengan dua
faktor yaitu faktor bobot anakan sebagai petak utama dan periode pembibitan
sebagai anak petak dengan tiga ulangan. Perlakuan bobot anakan terdiri atas
anakan sagu dengan bobot 2-4 kg dan 4-8 kg. Perlakuan periode pembibitan
terdiri atas anakan sagu 2, 4, 8 dan 12 minggu di pembibitan. Total seluruh
tanaman yang ditanam dan diamati sebanyak 216 tanaman. Peubah pengamatan
morfologi yang diamati adalah jumlah tanaman yang hidup, jumlah pelepah daun,
jumlah anak daun, lebar anak daun, panjang anak daun dan tinggi tanaman.
Peubah fisiologi yang diamati yaitu analisis daun, analisis gula, pati, kehijauan
daun dan kerapatan stomata.
Rata-rata penambahan pelepah pada setiap bulan sebanyak satu pelepah
pada setiap bibit. Persentase hidup tanaman pada percobaan berkisar 31.4861.11%. Penggunaan anakan dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan, tanpa harus
menggunakan anakan yang lebih berat. Tanaman memiliki kandungan gula pada
daun antara 21.12-26.14%, sedangkan kandungan pati 2.99-5.80%. Kerapatan
stomata pada tanaman saat tanaman berumur 2 tahun setelah tanam didapatkan
bahwa permukaan adaxial (atas) 50.88–101.76 mm-2, sedangkan kerapatan
stomata pada abaxial (bawah) yaitu 251.4 - 369.2 mm-2. Perawatan bibit dibawah
satu tahun sangat penting dilakukan, karena masa kritis tanaman sagu yaitu saat
tanaman pindah tanam hingga berumur satu tahun.
Kata kunci: bobot anakan, M. sagu Rottb., tumbuh, periode anakan
SUMMARY
DESTIEKA AHYUNI. The growth of sago palm suckers after transplanting using
different weight of suckers and duration of nursery period. Supervised by
MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE and SUDRADJAT.
Sago palm is origin plants in Indonesia which has the potential of high
carbohydrate. Sago cultivation there are still has some problems, such as sucker
propagation and transplanting from nursery to field. Percentage of sucker growth
was low when transplanting. The aim of this trial was to study the growth of sago
from transplanting until the two years old plant. The trial was conducted at PT
National Sago Prima, Selat Panjang, Riau on February 2011-December 2013.
Sucker weights and sucker ages in raft nursery system were tested. The
experimental design was a split plot design with three replications. The first factor
was sucker weights as main plot, namely 2-4 kg and 4-8 kg, the second factor was
sucker ages as sub plot, namely 2, 4, 8 and 12 weeks.
The results showed that the live presentation sago sucker reached 31.4861.11 %. There was no significant effect of sucker weight and age, as well as the
interaction of both factors, on growth of sago palm until two years old; except at
the early stage of growth. The result indicated that 2-4 kg sucker weight could be
used as planting sources. The physiological characters of plant showed that, in
leaves of young plant, the sugar content was higher than the starch content.
Stomatal density at abaxial surface was higher than adaxial surface. The sugar
content in leaves was 21.12-26.14%, and the starch was 2.99-5.80%. Stomatal
density in sago palm leaf adaxial surface was 50.88–101.76 mm-2, and abaxial
surface was 251.4 - 369.2 mm-2. The critical period of plant is one year after
transplanting hence intensive plant maintenance is necessary.
Key word: growth parameter, M. sagu Rottb., sucker weight, sucker age
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN BOBOT ANAKAN DAN WAKTU PEMBIBITAN
YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SAGU
(Metroxylon sagu Rottb.)
DESTIEKA AHYUNI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr Ir Supijatno MSi
Judul Tesis : Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda
terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.)
Nama
: Destieka Ahyuni
NIM
: A252114051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, MAgr
Ketua
Dr Ir Sudradjat, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:
12 September 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam percobaan yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 yaitu
pertumbuhan tanaman sagu setelah pindah tanam dengan judul Hubungan Bobot
Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie
MAgr dan Dr Ir Sudradjat MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada tim Research and Development PT National Sago
Prima, Kepulauan Meranti, Riau yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2014
Destieka Ahyuni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Penyebaran
Pemanfaatan Sagu
Syarat Tumbuh
Budidaya Sagu
Pembibitan
Pindah Tanam
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode
Pelaksanaan Percobaan
1
1
2
2
2
2
4
4
5
6
6
7
7
7
7
8
Pengamatan
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Tanaman
Fisiologi Tanaman
Lingkungan
11
11
16
22
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
24
24
24
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL
1. Persentase hidup tanaman di lapangan pada akhir pengamatan
12
2. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap jumlah pelepah13
3. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap jumlah
anak daun
14
4. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap luas
anak daun
14
5. Kerapatan stomata
17
6. Analisis gula dan pati pada daun
18
7. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap
kandungan unsur hara pada daun tanaman
20
8. Korelasi antar peubah pengamatan pada akhir pengamatan (Desember 2013)
9. Hasil analisis tanah
10. Suhu dan kelembaban lingkungan
11. Curah hujan yang terjadi di PT National Sago Prima
21
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
1. Siklus hidup tanaman sagu
2 Pemanfaatan dan pengembangan Sagu
3. Pelabelan tanaman percobaan
4. Ilustrasi daun
5. Alat Pengukuran tingkat kehijauan anak daun tanaman sagu
6. Salah satu contoh stomata bagian bawah (abaxial) dan
bagian atas (adaxial) daun sagu dengan perbesaran 40x
7. Tingkat kehijauan daun tanaman (SPAD)
3
5
8
9
10
17
19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah
2. Cara analisis kandungan hara tanah
3. Cara analisis kandungan hara daun tanaman
4. Denah Percobaan
5. Analisis gula dan pati pada daun tanaman pengamatan
6. Dokumentasi kegiatan pengamatan di lapangan, morfologi
dan pembersihan piringan
7. Rata-rata curah hujan, banyaknya hari hujan, temperatur rata-rata,
kelembaban Juli 2012-Desember 2013.
8. Perbedaan bibit sebelum dipindahtanam ke lapangan
31
31
33
34
35
35
36
36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis pemenuhan kebutuhan pangan nasional Indonesia hingga kini masih
menjadi permasalahan serius. Pertambahan jumlah penduduk Indonesia semakin
meningkat setiap tahunnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2012) jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237 641 326 jiwa. Peningkatan
jumlah penduduk diikuti dengan jumlah kebutuhan pangan yang semakin
meningkat, sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan diperlukan usaha keras.
Beras sebagai bahan makanan pokok tidak mencukupi. Salah satu solusi yang
dapat dilakukan yaitu penganekaragaman sumber bahan pangan lokal dan sagu
dapat menjadi pilihan yang tepat.
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia dengan potensi pati yang
tinggi, sehingga dapat menjadikan Indonesia salah satu produsen terbesar
penghasil pati sagu di dunia. Keunggulan tanaman sagu dibandingkan tanaman
penghasil karbohidrat lainnya yaitu sagu merupakan penghasil karbohidrat
tertinggi yaitu 20-40 ton ha-1 (Bintoro et al. 2007). Setiap tanaman sagu mampu
memproduksi sekitar 200-400 kg pati (Jong et al. 2006; Bintoro et al. 2010).
Pemanfaatan potensi yang dimiliki tanaman sagu dapat dilakukan dengan
pengembangan dan penataan hutan sagu alami menjadi perkebunan sagu.
Penataan hutan sagu menjadi sebuah perkebunan sagu diperlukan cara budidaya
tanaman yang baik. Apabila kegiatan budidaya tanaman sagu dilakukan dengan
baik maka dapat meningkatkan produksi pati yang lebih tinggi.
Tanaman sagu tersebar hampir di semua kepulauan di Indonesia yaitu
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Papua. Papua memiliki
distribusi jenis sagu terbesar. Perkiraan jumlah area sagu di dunia 2.25 juta ha dan
sebesar 51.3% (1.25 juta ha) di Indonesia (Flach 1995). Berdasarkan survei yang
dilakukan pada tahun 2013 dengan menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa
luas sagu di Provinsi Papua 4 749 325 ha dan di Provinsi Papua Barat 510 213 ha
(Bintoro et al. 2014). Hal ini menunjukkan bahwa luasan sagu di Indonesia yang
ternyata lebih besar dari prediksi sebelumnya.
Tanaman sagu tidak memerlukan penanaman ulang karena apabila tanaman
induk ditebang maka anakan yang lain akan tumbuh hingga menjadi tanaman
dewasa dan siap dipanen kembali. Sagu dapat berkembang biak dengan baik di
lahan sub-optimal dan dengan perawatan minim (tanpa pupuk) dan tanaman masih
mampu menghasilkan pati dengan jumlah yang besar.
Sagu yang sebelumnya dianggap sebagai tanaman palma yang terlupakan,
saat ini sedang dikembangkan dan dibudidayakan secara komersial sebagai
tanaman sumber karbohidrat yang potensial. Sistem budidaya dan teknik
pengolahan pati yang terkelola dengan baik didukung oleh tingginya permintaan
bahan baku pangan dan non-pangan, sagu dapat bersaing dengan komoditas
tanaman perkebunan komersial, seperti halnya kelapa sawit dan karet. Propinsi
Riau terutama di Kabupaten Meranti sudah menjadikan sagu sebagai salah satu
sumber pendapatan.
Sagu merupakan tanaman yang tumbuh berkelompok membentuk rumpun
yaitu mulai dari anakan sampai tingkat pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah
2
yang berdaun sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter
tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya (Flach 1995). Tanaman sagu
umumnya dikembangbiakkan dengan anakan. Budidaya tanaman sagu terdiri atas
persiapan bahan tanam, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Kegiatan pembibitan sebelum tanaman dipindahkan ke lapangan sangat
penting dilakukan, karena dapat meningkatkan kemampuan hidup tanaman
(Bintoro 2008; Irawan et al. 2012; Irawan et al. 2009; Jong 1995; Maulana 2011
dan Wibisono 2011). Teknik pembibitan di rakit memiliki persentase hidup yang
tinggi karena bibit sagu mendapatkan ketersediaan air yang cukup selama di
pembibitan (Amarillis 2013). Permasalahan dalam budidaya sagu salah satunya
yaitu daya hidup bibit yang rendah setelah bibit dipindahkan dari pembibitan ke
lapangan. Menurut Nurulhaq (2012), persentase hidup paling baik setelah pindah
tanam yaitu sekitar 65% dengan jumlah daun 2 pada saat pindah tanam.
Bobot anakan dan periode pembibitan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan anakan di pembibitan maupun saat pindah tanam (Ahyuni 2011).
Kenyataannya persentase pertumbuhan tanaman di lahan gambut setelah pindah
tanam masih tergolong rendah yaitu sekitar 65% dengan kondisi jumlah rata-rata
dua pelepah. Oleh karena itu, perlu diadakan percobaan tentang pertumbuhan bibit
di lapangan setelah pindah tanam dengan bobot dan periode pembibitan yang
berbeda. Penentuan bobot dan periode pembibitan berdasarkan pada kegiatan
budidaya yang telah berlangsung di perkebunan, sehingga didapatkan bobot
anakan dan periode pembibitan yang dapat tumbuh optimal di pembibitan maupun
di lapangan.
Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari tentang bobot anakan dan
periode pembibitan terhadap pertumbuhan bibit di lahan.
Hipotesis
1.
2.
3.
Bobot anakan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di lahan.
Periode pembibitan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di lahan.
Terdapat interaksi antara bobot anakan dan periode pembibitan terhadap
pertumbuhan bibit di lahan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Penyebaran
Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan jenis tanaman palma
yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis (Flach 1997).
Tanaman sagu merupakan tanaman monokotil. Secara taksonomi tanaman sagu
termasuk
Ordo
: Spadiciflora
Famili
: Palmae
Genus
: Metroxylon
3
Spesies
: Metroxylon spp.
Sagu (Metroxylon spp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae.
Sagu genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu
tanaman yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan
pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic)
yang memiliki nilai ekonomis penting, karena kandungan patinya lebih banyak
(Bintoro et al. 2010).
Batang merupakan bagian paling penting pada tanaman sagu, sebagai
tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Batang sagu berbentuk silinder dengan kulit luar keras dan bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat dan pati. Lapisan terluar kulit berupa lapisan sisa-sisa pelepah
daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat yaitu kulit tipis pembungkus kulit
dalam yang keras. Serat dan empulur pada sagu muda mengandung banyak air,
sedangkan sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat mulai kering dan
keras.
mati
penanaman
bibit
pematangan
buah
tanaman
muda
awal pembentukan
batang
buah
pembungaan
pembentukan batang
pembengkakan
ujung batang
Gambar 1. Siklus hidup tanaman sagu (Gusmayanti et al. 2008)
Sagu memiliki anak daun dengan panjang 1.5 m bertangkai dan berpelepah.
Panjang daun dapat mencapai 7 m. Daun sangat penting karena berperan sebagai
pembentuk pati melalui proses fotosintesis (Bintoro et al. 2010). Daun sagu dimanfaatkan sebagai pembuatan rumah, atap rumah, pembungkus kue dan aneka
kerajinan tangan (Papilaya 2009). Tanaman sagu akan berbunga setelah mencapai
usia dewasa antara 10-15 tahun tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya.
Munculnya bunga pada tanaman sagu menunjukkan bahwa sagu sudah mencapai
akhir masa pertumbuhan vegetatif tanaman. Bunga sagu merupakan bunga
majemuk, sedangkan buahnya berbentuk bulat dan berbiji menyerupai buah salak.
4
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu tersebar luas di
dataran rendah Asia Tenggara dan Melanesia dan menjadi makanan pokok yang
penting (Ehara et al. 2000).
Jenis sagu yang ada di PT National Sago Prima yaitu jenis sagu yang
memiliki duri seperti sagu tuni (Metroxylon rumphii Mart.) dan Sagu Ihur
(Metroxylon sylvester Mart.), dan sagu tak berduri yaitu sagu Molat (Metroxylon
sagus Rottb.).
Lingkungan yang baik bagi pertumbuhan sagu yaitu daerah yang berlumpur,
akar napas tak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna
coklat dan bereaksi agak masam (Bintoro et al. 2010). Tanaman sagu dapat
tumbuh dengan baik pada lintang 100 LU-100 LS dengan ketinggian sampai 400 m
dpl, lebih dari 400 dpl pertumbuhan lambat dan kadar pati rendah (Bintoro 2008).
Pemanfaatan Sagu
Indonesia sudah mengekspor sagu dalam bentuk pati sagu dan sagu
mutiara sejumlah 3954 ton tahun-1 dari tahun 1879. Pemanfaatan sagu di
Indonesia lebih banyak digunakan di dalam negeri karena propinsi Riau telah
melakukan perdagangan antar pulau sekitar 440 ribu ton sagu tahun-1 (Haryanto
2014). Jepang adalah negara pengimpor sagu terbesar.
Pemanfaatan pati sagu selain menjadi bahan pangan juga menghasilkan
produk turunan lainnya (Gambar 1). Pemanfaatan tanaman sagu tidak hanya
patinya saja, tetapi juga daun, batang, buah, akar bahkan limbah. Sagu dapat
digunakan sebagai makanan pokok, bahan baku industri dan konservasi
lingkungan (Bintoro 2002). Menurut Tenda et al. (2009) sagu dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan etanol sebagai bahan substitusi bahan bakar
minyak. Indonesia sebagai negara dengan luas areal sagu terbesar di dunia, maka
memiliki potensi pati sagu paling tinggi.
Syarat Tumbuh Sagu
Menurut klasifikasi Schmit dan Ferguson tipe iklim A dan B sangat ideal
untuk pertumbuhan sagu dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2 500
sampai 3 000 mm tahun-1. Pertumbuhan terbaik sagu pada suhu berkisar antara
24.5-30.0 0C dengan suhu terendah 15 0C dan kelembaban nisbi 70 - 90%
(Haryanto dan Pangloli 1992; Flach 1997). Menurut Bintoro et al. (2014) curah
hujan yang dibutuhkan tanaman sagu 2 000 - 4 000 mm tahun-1 yang menyebar
merata sepanjang tahun.
Ketinggian tempat yang baik bagi sagu sampai dengan 400 m dpl. Lebih
dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian
600 m dpl, tinggi sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu alami ditemukan sampai 300 m
dpl (Bintoro 2002).
Sagu hidup pada rawa bergambut atau mineral, tekstur lempung, organik
berpasir (Bintoro et al. 2014). Budidaya sagu di Serawak dan di Sumatera ditanam
di lahan gambut (Schuiling dan Flach 1985). Pada lahan kering pertumbuhan sagu
kalah cepat dengan pertumbuhan pepohonan hutan yang lain sehingga kalah
5
bersaing dalam memperoleh sinar matahari (Schuiling dan Flach 1985;
Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992).
BRIKET ARANG
PATI SAGU
SAGU
Industri Kimia
SAGU MUTIARA
Industri
SENYAWA KIMIA
Tekstil
Industri Kimia
DEXTRIN
CICLODEXTRIN
Industri Kosmetik
Industri Farmasi
Industri Pestisda
Industri makanan
SINGLE CELL
PROTEIN
GLUKOSA
Makanan Ternak
ASAM-ASAM
ORGANIK
Bahan Energi
Industri Kimia
FRUKTOSA
Industri makanan/
Minuman
AMPAS
Media Jamur
Hard board
Industri Makanan
Industri minuman
Gambar 2 Pemanfaatan dan Pengembangan Sagu (Bintoro et al. 2010)
Budidaya Sagu
Penyiapan bahan tanam merupakan salah satu kegiatan budidaya yang
penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tanaman sagu. Kegiatan penyiapan
bahan tanam meliputi kegiatan pengadaan bahan tanam, seleksi bibit dan
penyemaian (Andany 2009). Sagu di Indonesia umumnya tumbuh dan berkembang biak secara alamiah, belum dibudidayakan secara intensif seperti
tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu berkembang biak melalui biji
(generatif) dan dari anakan (vegetatif) yang tumbuh dalam bentuk tunas-tunas
pada pangkal batang sagu.
Pembibitan merupakan salah satu kegiatan penting dalam pengusahaan sagu.
Pembibitan bertujuan mengadaptasikan bibit agar siap ditanam di lapangan
maupun sebagai tanaman sulam dengan kualitas yang baik sehingga dapat
mengurangi tingkat kematian bibit setelah penanaman. Pembibitan dilakukan
dengan sistem rakit yang diletakkan di kanal. Sistem tersebut dapat menaikkan
persentase anakan yang hidup karena dapat meminimalkan serangan hama serta
menjaga ketersediaan air bagi bibit (Andany 2009).
6
Pengendalian gulma dilakukan dengan cara menebas semua semak (gulma)
dan kayu-kayu yang ada di sekitar pertanaman atau di lorong. Hal tersebut
merupakan awal kegiatan pemeliharaan yang dapat berfungsi sebagai sanitasi
tanaman (Junaidi 2005).
Pemupukan merupakan suatu bahan yang diberikan ke dalam tanah baik
organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari tanah dan
bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Areal lahan gambut yang
merupakan tempat pertanaman sagu di PT National Sago Prima bersifat masam
dengan pH rendah dan kandungan Ca, Mg, P, K dan mineral rendah sehingga
perlu penambahan nutrisi yaitu melalui pemupukan (Bintoro 2008). Kurang
lengkapnya unsur hara makro dan mikro dapat menghambat pertumbuhan,
perkembangan maupun produktivitas tanaman sagu.
Penjarangan anakan dilakukan untuk memaksimalkan produksi sagu dan
pembuangan anakan sagu yang tidak diperlukan (Bintoro 2008). Alasan dilakukannya penjarangan anakan yaitu untuk menjaga kesehatan dan vigor partumbuhan bagi tanaman baru, memelihara ukuran tanaman, membentuk tanaman dan
mengoptimalkan hasil metabolisme bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Bintoro et al. 2010). Penjarangan dilakukan selama setahun sekali
(Papilaya 2009). Anakan sagu diatur selalu mengelilingi induk utama, dalam satu
rumpun terdapat maksimal 10 pohon sagu dengan berbagai umur (Bintoro et al.
2014)
Pembibitan
Anakan sagu pada suatu rumpun sagu merupakan salah satu bahan tanam
dalam perbanyakan tanaman sagu. Ukuran anakan yang digunakan sangat
menentukan keberhasilan pembibitan sagu. Anakan yang besar akan berkembang
dan tumbuh lebih cepat. Disisi lain dalam usaha pembibitan, anakan yang
digunakan sebaiknya berukuran kecil karena dengan anakan yang kecil
pengambilan dan pengangkutannya lebih mudah serta ruang atau tempat yang
diperlukan lebih kecil (Wahid 1987). Menurut Bintoro (2008) anakan sagu yang
akan digunakan sebagai bibit diambil dari induk yang produksi patinya tinggi,
bibit segar, dan dengan pelepah yang masih hijau. Anakan yang sudah tua
dicirikan dengan bonggol (banir) yang sudah keras, pelepah dan pucuk yang
masih hidup, memiliki perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm dan
tidak terserang hama dan penyakit serta banir berbentuk L dengan rata-rata bobot
bibit 3-4 kg. Bibit sagu diletakkan diatas rakit selama pembibitan sebelum pindah
tanam. Menurut Irawan et al. (2012) umur paling baik bibit selama di persemaian
yaitu 2-3 bulan yang dicirikan memiliki tiga daun karena setiap bulannya muncul
satu daun. Menurut Maulana (2011) bibit dengan bobot 3.5-4.5 kg memiliki
persentase bibit hidup di pembibitan terbanyak. Namun tidak berbeda nyata
dengan bobot bibit 2-3 kg, sehingga penggunaan bobot bibit 2-3 kg lebih efisien.
Transplanting Sagu
Berdasarkan kegiatan budidaya tanaman sagu, anakan setelah mencapai
umur cukup dalam pembibitan maka dilakukan kegiatan pindah tanam
7
(transplanting) di lapangan. Kegiatan tersebut menjadi penting karena
menentukan keberhasilan bibit dapat hidup dengan baik di lapangan. Keberhasilan
bibit yang dapat tumbuh baik di lapangan belum didapatkan hasil yang
memuaskan. Menurut Jong (2007) pertumbuhan tanaman sagu pada gambut
dalam tanpa pemeliharaan dan penambahan nutrisi memiliki mutu dan
pertumbuhan yang rendah dibandingkan dengan gambut dangkal dan tanah
mineral. Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit sagu memiliki 2-3 daun dan
memiliki akar yang baik. Penanaman saat musim hujan memiliki persentase hidup
yang lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Kondisi tanah lembab dan suhu
udara yang tinggi menentukan persentase hidup bibit sagu (Bintoro et al. 2010).
Selain itu, bibit sagu diletakkan pada lubang tanam dengan dasar tanah yang
berair. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya adaptasi bibit. Jumlah
daun berkurang setelah pindah tanam (Tanimo et al. 2005).
METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan dilaksanakan di perkebunan sagu milik PT. National Sago
Prima, di Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Pengamatan dilaksanakan pada bulan Februari – Desember 2011 dan Februari – Desember 2013.
Analisis tanah dan hara tanaman dilaksanakan di Laboratorium Tanah dan
Tanaman PT. Sampoerna Agro, Palembang, Sumatera Selatan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu anakan sagu dengan bobot
anakan dan periode pembibitan berbeda. Pada awal tanam, karakteristik bibit sagu
yang digunakan yaitu bebas serangan hama dan penyakit, memiliki banir
berbentuk L, dengan bobot 2-4 kg dan 4-8 kg serta periode pembibitan 2, 4, 8 dan
12 minggu di pembibitan. Pupuk dasar Rock Phosphate dengan dosis 500 g
lubang-1 dimasukkan ke dalam lubang tanam pada awal tanam. Alat yang
digunakan pada percobaan tersebut yaitu meteran, timbangan, cat semprot,
preparat, isolasi, plastik, cat kuku, mikroskop, spektrofotometer, SPAD-502
chlorophyll meter dan termometer.
Metode
Bibit di pindahkan dari pembibitan ke lapangan pada bulan Maret tahun
2011 dan merupakan percobaan lanjutan dari tahun 2011 ke 2013. Data awal
pengamatan dilaksanakan pada tahun 2011 berdasarkan data pengamatan awal
pertumbuhan (Ahyuni 2011). Kegiatan pengamatan dilakukan dalam waktu
jangka panjang yaitu tahun 2011 dan 2013, sehingga data yang didapatkan akan
semakin akurat.
Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dengan 2
faktor dan tiga ulangan, yaitu faktor bobot anakan dengan 2 taraf yaitu 2-4 kg dan
8
4-8 kg dan faktor periode pembibitan dengan 4 taraf yaitu 2, 4, 8 dan 12 minggu
di pembibitan. Faktor bobot anakan sebagai petak utama, sedangkan faktor
periode pembibitan sebagai anak petak. Percobaan dilakukan dengan menanam 9
tanaman per kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga jumlah seluruh
tanaman yang ditanam dan diamati sebanyak 216 tanaman.
Model linier aditif dari rancangan percobaan yang digunakan (Mattjik dan
Sumertajaya 2000):
Yijk = μ + αi + €k + ik + βj + (αβ)ij + ijk
Keterangan :
Yijk
: nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak kej dan ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)
μ
: nilai rata-rata umum
αi
: pengaruh perlakuan bobot anakan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)
€k
: pengaruh ulangan ke-k
ik
: galat petak utama
βj
: pengaruh perlakuan periode pembibitan pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(αβ)ij
: pengaruh interaksi antara bobot anakan ke-i dengan periode
pembibitan ke-j
Εijk
: pengaruh galat karena pengaruh bobot anakan taraf ke-i dan
periode pembibitan pada ulangan ke-k
Asumsi :
=0
∑
i = 0, ∑
j = 0, ∑ αβ
Pengaruh galat menyebar normal dan bersifat bebas
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh
nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan
Lahan percobaan yang digunakan yaitu lahan gambut seluas 13 824 m2
dengan masing masing anak petak berukuran 24 m x 24 m. Penyiapan bahan
tanaman dilaksanakan bertahap sesuai dengan perlakuan periode pembibitan yang
ditentukan (Ahyuni 2011). Anakan dengan bobot berbeda disemai dengan
menggunakan rakit dan diletakkan di kanal (Lampiran 8). Anakan sagu disiapkan
dari pembibitan dengan periode waktu berbeda yaitu (2,4,8 dan 12 minggu),
sehingga tanaman siap untuk dipindah tanam. Setelah pemindahan bibit ditandai
menurut perlakuan masing-masing (Gambar 3). Setelah tanaman ditanam,
pengamatan morfologi dilakukan setiap dua bulan sekali (Lampiran 4).
Gambar 3. Pelabelan tanaman percobaan
9
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan dilakukan dengan cara manual dan kimia. Cara
manual yaitu mengendalikan gulma di sekitar tanaman baik di lorong maupun
piringan dengan menggunakan parang. Gulma hasil tebasan diletakkan di luar
jalur tanam agar tidak mengganggu dalam kegiatan pengamatan (Lampiran 6).
Data percobaan diambil dengan melakukan pengamatan pertumbuhan di lapangan
dan analisis laboratorium dari contoh tanaman yang diambil.
Pengamatan
Pengumpulan data percobaan dilakukan melalui pengamatan pertumbuhan
morfologi maupun fisiologi tanaman.
Respon Morfologi Tanaman
Morfologi tanaman yang diamati yaitu: jumlah pelepah, panjang, lebar dan
jumlah anak daun dibagian kanan dan kiri (Gambar 5).
a. Jumlah tanaman yang hidup, adalah seluruh tanaman yang digunakan
dihitung berdasarkan jumlah tanaman yang hidup di lapangan.
b. Jumlah pelepah daun, dihitung berdasarkan jumlah pelepah daun yang
ada pada masing-masing tanaman.
c. Jumlah anak daun, dihitung pada pelepah daun terbaru.
d. Lebar anak daun, diukur pada daun terbaru setiap tanaman yang diamati.
e. Panjang anak daun, diukur dari pangkal anak daun hingga ujungnya pada
daun terbaru.
f. Tinggi tanaman, diukur mulai dari pangkal pemangkasan sampai titik
tumbuh tanaman. Tinggi tanaman diukur pada akhir pengamatan.
Lebar
anak
daun
Panjang anak daun
Pelepah/daun
Gambar 4. Ilustrasi pengukuran anak daun (Nakamura et al. 2005)
Pengamatan dilakukan setiap dua bulan sekali dengan ilustrasi pengamatan
daun (Gambar 4).
Respon Fisiologi Tanaman
a. Analisis gula dan pati
Analisis pati menggunakan 2 contoh anak daun pada masing-masing
perlakuan disetiap ulangan. Anak daun yang dipilih yaitu pelepah bagian
tengah pada masing-masing tanaman contoh. Anak daun yang diambil pada
bagian pelepah bagian tengah. Anak daun yang telah diambil kemudian
dipisahkan dengan lidinya dan dipotong-potong kemudian dikeringkan pada
10
oven dengan suhu 70 0C selama 48 jam. Anak daun yang sudah dikeringkan
kemudian ditimbang sebanyak 10 gram dan dianalisis di laboratorium
(Lampiran 5). Analisis gula menggunakan metode AOAC (Association of
Official Analytical Chemist) 1970, sedangkan analisis pati di laboratorium
menggunakan metode AOAC 1971.
b. Kehijauan daun
Kehijauan daun diukur dengan menggunakan klorofilmeter (SPAD 502).
Alat tersebut memunculkan angka tingkat kehijauan daun secara otomatis.
Pengukuran dilakukan pada contoh anak daun yang diambil untuk dianalisis
kandungan haranya. Cara pengukuran yaitu dengan menjepit anak daun
contoh menggunakan klorofilmeter (SPAD 502) hingga muncul angka pada
layar (Gambar 5). Nilai rata-rata dihitung dengan mengambil 10 titik pada
bagian ujung, tengah dan pangkal anak daun di bagian kanan dan kiri anak
daun.
Gambar 5. Alat pengukuran tingkat kehijauan (anak daun tanaman sagu)
c. Analisis daun
Contoh daun diambil dari 5 tanaman contoh pada setiap ulangan,
sehingga mewakili setiap perlakuan. Anak daun diambil pada pelepah bagian
tengah. Anak daun yang telah diambil kemudian dipisahkan dengan lidinya
kemudian dikeringkan di oven dengan suhu 70 0C selama 48 jam. Analisis
kandungan hara dilakukan dengan metode pengabuan kering (P, K, Ca, Mg)
dan pengabuan basah (N) (Lampiran 3).
d. Kerapatan stomata
Stomata diamati dengan menggunakan mikroskop. Kerapatan stomata
dihitung menggunakan metode Sumargono (1992) yang dimodifikasi.
Tahapan kerja yang dilakukan yaitu sebagai berikut:
1. Sampel daun dioles dengan cat kuku bening (selulosa asetat) di bagian
permukaan anak daun bagian atas maupun bawah.
2. Plester bening disiapkan dan dipotong sesuai dengan ukuran gelas objek
yaitu sekitar 8 x 1.2 cm.
3. Preparat yang sudah disiapkan lalu diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40x
11
4. Jumlah stomata dihitung dari gambar yang muncul dibawah mikroskop
dan dibantu dengan menggunakan alat penghitung (hand counter).
Cara menghitung kerapatan stomata yaitu:
Luas bidang pandang
= ¼ π d2 (d=diameter lensa)
= 1/4x3/4x0.52
= 0.196 mm2
Kerapatan stomata = 1/0.196 x jumlah stomata
Analisis Lingkungan
a. Analisis tanah
Contoh tanah diambil pada pengamatan awal tahun 2013 yaitu pada
bulan Maret. Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan mengambil empat
titik pada setiap ulangan mewakili perlakuan. Contoh tanah diambil dengan
menggunakan cangkul dengan kedalaman 0-30 cm. Tanah yang diambil
dimasukkan ke dalam ember, hal ini diulang hingga tiga kali. Tanah di dalam
ember diaduk lalu akar ataupun sisa tanaman mati dibuang. Contoh tanah yang
telah diambil lalu dikeringanginkan selama 4-5 hari lalu ditimbang sebanyak
500 gram, dan dikemas plastik. Sampel tanah gambut yang telah disiapkan
lalu dikirim ke laboratorium untuk dianalisis kandungan haranya (Lampiran 2).
Analisis tanah dilakukan pada akhir percobaan, pengambilan sampel
tanah secara komposit pada 24 titik pada lahan pertanaman masing-masing
sebanyak 0.5 kg yang dikompositkan dan diambil sebanyak 3 kg untuk
dilakukan análisis tanah. Análisis tanah dilakukan terhadap tekstur tanah,
kadar C-organik, N total, P, K, Ca, Mg, pH, KTK dan KB. Hasil analisis tanah
dibedakan berdasarkan kriteria masing-masing (Lampiran 1).
b. Iklim
Pengamatan iklim yaitu mengukur suhu dan kelembaban pada areal percobaan. Pengukuran suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan
termometer yang diletakkan di lapangan dan diamati serta dicatat suhu yang
tertera setiap pengamatan. Curah hujan harian selama pengamatan tahun 2013
dicatat dan dihitung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Tanaman
Struktur morfologi daun sagu (Metroxylon sagu Rottb.) menjadi dasar
untuk karakterisasi sifat fisiologi dari tanaman sagu (Nitta et al. 2005). Daun
merupakan organ tanaman yang paling penting dalam proses biofisikal, terutama
dalam menentukan pertukaran air dan energi diantara permukaan tanah, vegetasi
dan atmosfir. Hal tersebut mempengaruhi proses penting seperti evapotranspirasi
dan hasil fotosintesis.
Persentase hidup
Pesentase hidup tanaman di lapangan merupakan salah satu indikator
penting dalam percobaan. Karakteristik lahan di lokasi perkebunan yaitu lahan
12
gambut dalam (3-5 m) dengan tingkat kematangan sedang (gambut hemik).
Gambut di perkebunan tersebut termasuk dalam gambut oligotropik yaitu gambut
yang sedikit mengandung bahan mineral. Menurut Bintoro et al. (2010) suhu
terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 15 0C. Pertumbuhan terbaik terjadi pada
suhu udara 25 0C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran
matahari sekurang-kurangnya 900 joule cm-2 hari-1. Apabila dibandingkan dengan
pernyataan di atas maka suhu udara di lahan percobaan memiliki suhu yang lebih
tinggi yaitu antara 26.35-30.52 0C dengan kelembaban yang lebih rendah yaitu
sekitar 67-86%.
Tabel 1. Persentase hidup tanaman di lapangan pada akhir pengamatan
Perlakuan
Bobot Anakan (kg)
2-4
4-8
Periode pembibitan (minggu)
2
4
8
12
Persentase hidup (%)
48.15
34.26
33.33
61.11
38.89
31.48
Jarak tanam yang digunakan pada percobaan ini 8 m x 8 m. Persentase
hidup tanaman pada percobaan ini sekitar 31.48-61.11% (Tabel 1). Berdasarkan
analisis data yang dilakukan bahwa perlakuan bobot anakan maupun periode
pembibitan tidak berpengaruh dengan persentase hidup tanaman, sehingga pada
masa apapun penggunaan anakan dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan, tanpa
harus menggunakan anakan yang lebih berat. Perlakuan bobot anakan dan periode
pembibitan juga tidak terdapat interaksi antara keduanya. Menurut Irawan et al.
(2009) rata-rata persentase hidup anakan di tanah gambut yaitu 70-90%, sehingga
tanaman pada percobaan masuk dalam kategori rendah tingkat kehidupannya.
Kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan pemeliharaan tanaman yang
tidak sesuai dapat mempengaruhi persentase hidup tanaman di lapangan.
Jumlah Pelepah
Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah jumlah pelepah pada perlakuan
bobot anakan tidak berbeda nyata dari awal hingga akhir pengamatan (April 2011Desember 2013), sedangkan perlakuan periode pembibitan dari awal tanam
hingga Desember 2011 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Namun, ketika
tanaman berumur 2 tahun tidak berbeda nyata hingga akhir pengamatan bulan
Desember 2013 (Tabel 2).
13
Tabel 2. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah pelepah hidup
Perlakuan
April
2011*
Juni
2011*
Agust
2011*
Okt
2011*
Bulan Pengamatan
Des
Feb
Apr
2011*
2013
2013
Juni
2013
Agust
2013
Des
2013
……………………………………pelepah…………………………….
Bobot Anakan
2-4 kg
0.6
1.0
2.4
4.0
6.1
7.6
8.4
9.6
9.9
10.8
4-8 kg
0.5
0.8
2.1
3.5
6.4
8.6
9.3
10.4
10.5
10.8
Uji F
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Periode pembibitan
2 minggu
0.3c
0.5c
1.5b
2.5b
5.3b
7.3
7.8
9.2
9.1
9.4
4 minggu
0.4bc
0.7bc
1.9b
3.9a
6.1ab
8.0
8.9
10.1
10.5
11.7
8 minggu
0.6ab
1.0b
2.7a
4.5a
6.9a
9.1
10.2
11.7
11.5
12.5
12minggu
0.9a
1.4a
2.8a
4.3a
6.7a
7.9
8.5
9.2
9.5
9.6
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
*: ( Ahyuni 2011)
Tanaman perlakuan 12 minggu di pembibitan selama tahun 2011 yaitu dari
awal tanam hingga bulan Agustus 2011memiliki jumlah pelepah yang lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan periode pembibitan yang lain. Namun ketika
bulan Oktober dan Desember 2011, perlakuan 12 minggu di pembibitan tidak
berbeda dengan tanaman 4 dan 8 minggu di pembibitan. Hal ini menunjukkan
bahwa tahap terpenting bagi pertumbuhan tanaman sagu yaitu pada saat umur 0-9
bulan setelah tanam, karena setelah itu tidak terdapat perbedaan nyata pada
pertambahan pelepah. Jumlah pelepah meningkat pada setiap pengamatan yaitu
dengan rata-rata penambahan 1 pelepah setiap bulan. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Irawan (2010) dan Jong (1995) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
daun sekitar 1 daun setiap bulan. Jumlah pelepah rata-rata yang terproduksi
(termasuk pelepah mati) pada tanaman berumur tiga tahun yaitu sekitar 20-30
pelepah (Irawan et al. 2012).
Jumlah Anak Daun
Tanaman sagu memiliki jumlah anak daun yang lebih variatif. Bobot anakan
tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 3) dari awal tanam hingga akhir
pengamatan, kecuali saat bulan Oktober 2011 tanaman berpengaruh nyata
terhadap jumlah anak daun yaitu dengan jumlah terbanyak pada bobot 4-8 kg.
Perlakuan periode pembibitan menunjukkan bahwa pada awal tanam
hingga bulan Juni 2011 setelah tanam menunjukkan pengaruh yang nyata,
sedangkan saat bulan Agustus 2011 tidak menunjukkan pengaruh yang nyata,
kemudian nyata kembali pada bulan Oktober dan Desember 2011. Pengamatan
selanjutnya saat tanaman mulai berumur 3 tahun menunjukkan tidak adanya
pengaruh peubah jumlah anak daun pada kedua perlakuan.
Tanaman percobaan yang memiliki jumlah anak daun yang rendah yaitu
62-78 helai pada bulan Desember 2013. Hal ini berbeda dengan Gusmayanti et al.
(2008) yang menyatakan bahwa jumlah anak daun pada fase sebelum terbentuk
14
batang, setelah pindah tanam memiliki jumlah daun sekitar 8 dengan jumlah anak
daun sekitar 81.
Tabel 3. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah anak daun
Perlakuan
April
2011*
Juni
2011*
Agust
2011*
Okt
2011*
Bulan Pengamatan
Des
Feb
2011*
2013
Apr
2013
Juni
2013
Agust
2013
Des
2013
……………….................................Helai................................................................
Bobot Anakan
2-4 kg
16.7
28.1
44.5
42.0b
40.0
51.0
55.3
59.9
65.7
70.9
4-8 kg
13.2
23.4
51.1
55.4a
44.8
52.4
59.8
62.1
67.8
71.7
Periode pembibitan
2 minggu
6.2b
14.8b
47.6
51.9a
50.6a
42.9
46.5
52.2
55.4
62.3
4 minggu
8.1b
19.7b
46.8
48.2ab
42.6b
54.4
63.3
63.6
71.3
78.0
8 minggu
20.5a
33.9a
49.4
48.3ab
36.7b
56.4
66.3
67.5
73.6
76.8
12minggu
25.0a
34.6a
47.4
46.4b
39.7b
53.1
54.0
60.6
66.8
68.2
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
*: (Ahyuni 2011)
Luas Anak Daun
Panjang dan lebar anak daun menjadi salah satu indikator pertumbuhan
yang dapat mempengaruhi luas bidang fotosintesis tanaman. Bobot anakan tidak
memberikan pengaruh terhadap luas anak daun dari awal pengamatan hingga
akhir.
Tabel 4 Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap luas anak daun
Perlakuan
April
2011*
Juni
2011*
Agust
2011*
Okt
2011*
Bulan Pengamatan
Des
Feb
2011*
2013
Apr
2013
Juni
2013
Agust
2013
Des
2013
................................cm2.....................................
Bobot Anakan
2-4 kg
18.82
27.76
47.37
55.11
55.023
143.64
157.33
172.23
201.51
218.79
4-8 kg
15.14
21.90
53.28
56.53
58.693
142.34
162.10
179.54
208.55
228.19
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Uji F
tn
Periode pembibitan
2 minggu
5.43b
14.42b
58.39
53.11
49.48
120.34
133.18
146.57
180.26
191.91
4 minggu
8.54b
19.42b
50.77
61.93
63.79
153.45
171.69
192.83
203.45
249.81
8 minggu
22.30a
28.83ab
46.71
52.17
55.46
160.30
177.11
193.59
229.79
246.44
31.65a
36.65a
45.44
56.08
58.71
137.88
156.87
170.54
206.63
205.82
12minggu
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
*: (Ahyuni 2011)
Perlakuan periode pembibitan hanya memberikan pengaruh pada awal
pengamatan saja yaitu bulan April dan Juni 2011, selanjutnya tidak memberikan
pengaruh hingga akhir pengamatan (Tabel 4). Periode pembibitan berpengaruh
15
pada pengamatan pertama karena saat pindah tanam bibit masih memiliki anak
daun dengan kondisi yang baik, tetapi selanjutnya tidak menunjukkan
pertumbuhan yang tidak berbeda dengan tanaman lainnya. Kondisi lingkungan
dan kemampuan hidup tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Nakamura et al. (2004) dan Gusmayanti et al. (2008) menyatakan bahwa
luas daun merupakan peubah yang penting dalam pertumbuhan tanaman sagu,
dengan mengetahui panjang dan lebar anak daun setiap tanaman maka total area
dari helai daun tanaman sagu dapat dihitung, sehingga dapat menunjukkan kondisi
tanaman.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa masa kritis tanaman sagu terjadi
saat tanaman berumur kurang dari satu tahun, yang ditunjukkan adanya pengaruh
pada peubah yang diamati. Setelah tanaman berumur diatas satu tahun, tanaman
menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati, sehingga
pada waktu tanaman berumur kurang dari satu tahun sangat memerlukan
perawatan atau pemeliharaan. Hal ini karena pada umur dibawah satu tahun,
tanaman masih dalam fase adaptasi dengan lingkungan. Pemeliharaan yang
intensif seperti pengendalian gulma sekitar piringan dan pemberian naungan
diawal tanam dilakukan untuk mengurangi gangguan gulma dan tingginya
transpirasi tanaman.
Tinggi Induk dan Anakan
Tinggi tanaman percobaan saat pengamatan bulan Desember 2013 mencapai
hingga 303.09 cm. Ando et al. (2007) menyatakan bahwa tinggi tanaman yang
berumur 5 tahun berkisar antara 5.8-6.8 m dan 5.4-6.2m. Tanaman percobaan
masih berumur 3 tahun, sehingga tinggi tanaman tidak lebih dari 5 meter.
Begitupula menurut Irawan et al. (2012) tanaman sagu dengan umur 3 tahun
memiliki rata-rata tinggi 240-450 cm.
Irawan et al., (2012) menyatakan bahwa adanya pertumbuhan anakan sagu
ketika awal pindah tanam akan menunjukkan pertumbuhan bibit yang cepat, yaitu
dengan pertumbuhan daun dan tinggi tanaman. Pada tahun 2012 kegiatan
pengamatan maupun pemeliharaan tanaman tidak dilakukan, sehingga terlihat
tanaman kurang terawat dibandingkan periode pengamatan (tahun 2011 dan 2013).
Hasil menunjukkan bahwa masa kritis tanaman sagu terjadi saat tanaman berumur
di bawah satu tahun, yang ditunjukkan adanya pengaruh pada peubah morfologi
yang diamati. Setelah tanaman berumur diatas satu tahun, tanaman menunjukkan
tidak adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati, sehingga saat masa kritis
yaitu saat tanaman berumur dibawah satu tahun sangat diperlukan perawatan atau
pemeliharaan yang intensif.
Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam
jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan
dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan individu yang
tumbuh lebih awal. Kompetisi antara anakan di dalam rumpun sagu sangat
mungkin terjadi. Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas
tanah (atmosfer) seperti udara, cahaya, ruang dan komponen di dalam tanah
seperti air, oksigen, dan unsur hara (Botanri 2010).
Pengendalian pertumbuhan anakan sagu yaitu dengan melaksanakan
pemangkasan anakan (pruning). Pemangkasan yang berkala akan memaksimalkan
16
pertumbuhan tanaman induk, membentuk dan memelihara ukuran tanaman serta
mengoptimalkan hasil metabolisme ke batang sebagai organ penyimpanan.
Pemangkasan juga memberikan pengaruh yang positif terhadap pertambahan
jumlah pelepah, jumlah pelepah anakan yang dipelihara dan dapat mengurangi
kompetisi penyerapan hara sesama anakan serta membuka ruang terbuka bagi
tanaman untuk mendapatkan cahaya (Manaroinsong 2014).
Fisiologi Tanaman
Fotosintesis merupakan suatu reaksi anabolik yang mengkonversi air dan
karbondioksida menjadi glukosa dan oksigen dengan energi foton dari cahaya
matahari. Akumulasi pati pada sagu bergantung pada asimilasi CO2 setiap
tanaman, yang dapat dihitung dengan mengalikan laju fotosintesis per luas daun
dengan total luas daun per ha. Pada pertumbuhan awal, tanaman sagu dapat
meningkatkan luas daun dengan kondisi banyak mendapat sinar matahari (Flach
and Schuiling 1991).
Kerapatan Stomata
Daun bisa beradaptasi dengan lingkungan untuk meningkatkan fotosintesis
melalui pengaturan laju pertukaran gas. Kecepatan pertukaran gas pada daun tergantung kepada banyaknya stomata per luas daun dan lebar pembukaan stomata.
Konduktansi stomata mencerminkan kondisi kemudahan stomata untuk pertukaran gas CO2 dan air. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata maka
semakin tinggi konduktansi stomata dan semakin tinggi pertukaran CO2 per
satuan luas daun, karena itu konduktansi stomata juga mencerminkan level
fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2010). Kerapatan stomata menurun pada kondisi di
bawah naungan.
Jumlah stomata menjadi salah satu indikator kemampuan tanaman dalam
melakukan kegiatan fotosintesis maupun respirasi. Fotosintesis tanaman berkaitan
dalam hal penyerapan CO2 dari udara, sehingga dengan tingginya kerapatan
stomata kemungkinan penyerapan CO2 akan semakin banyak. Kerapatan stomata
pada tanaman contoh saat tanaman berumur 2 tahun setelah tanam pada
permukaan atas (adaxial) 50.88 – 101.76 mm-2, sedangkan kerapatan stomata
pada bagian bawah (abaxial) sekitar 251.4 - 369.2 mm-2.
Menurut Omori et al. (2000) kerapatan stomata pada permukaan abaxial
dapat meningkat dari umur 1-3 tahun (400~900 mm-2), kemudian sedikit demi
sedikit meningkat hingga mendekati nilai 1 000 mm-2 pada umur 5 tahun yaitu
pada fase pembentukan batang. Pada permukaan adaxial, kerapatan stomata juga
meningkat seiring dengan penuaan tanaman. Pada perlakuan bobot anakan
maupun periode pembibitan memiliki kerapatan stomata yang tidak berbeda nyata.
Kerapatan stomata bagian abaxial memiliki kerapatan stomata yang lebih tinggi
daripada bagian adaxial (Tabel 5). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Naito et al.
(2005) bahwa kerapatan stomata bagian abaxial lebih besar daripada permukaan
adaxial. Perbedaan kerapatan stomata pada bagian abaxial dan adaxial pada daun
yang sama dapat dilihat pada Gambar 6. Amarillis et al. (2011) menyatakan
bahwa setiap aksesi sagu memiliki perbedaan kerapatan stomata, sehingga dapat
mempengaruhi proses fotosintesis.
17
Tabel 5. Kerapatan stomata setiap mm2 pada pengamatan bulan Maret 2013
Perlakuan
2-4 kg
4-8 kg
Uji F
2 minggu
4 minggu
8 minggu
12 minggu
Uji F
Adaxial
88.9
72.53
tn
50.88
96.34
101.76
77.59
tn
Abaxial
351.5
270.0
tn
251.4
354.6
369.2
297.3
tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
Selain itu, Omori et al. (2000) menyatakan bahwa panjang stomata,
permukaan adaxial lebih panjang (12~15 µm) daripada permukaan abaxial (9~14
µm) pada semua umur tanaman. Panjang stomata dari kedua permukaan menurun
seiring dengan umur tanaman dari umur 1-3 tahun, tetapi tidak begitu berubah
setelahnya.
a
b
Gambar 6 Salah satu contoh stomata a) bagian atas (adaxial) dan b) bagian bawah
(abaxial) daun sagu dengan perbesaran ukuran 20 µm
Sel-sel palisade biasanya dijumpai pada bagian adaxial (atas) daun,
berbentuk tiang, dan mengandung klorofil. Sel parenkima palisade bisa berbentuk
barisan dengan satu lapisan atau dua lapisan. Stomata terletak di bagian epidermis.
Stomata merupakan pintu untuk pertukaran gas antara jaringan dalam tumbuhan
dan lingkungannya. Pada tumbuhan darat, umumnya stomata tersebar pada
epidermis bawah. Beberapa tanaman mempunyai stomata pada kedua permukaan
daunnya, sehingga kerapatan stomata daun berbeda-beda.
Kandungan gula dan pati pada daun tanaman
Starch atau pati merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau
melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak larut
dalam air pada temperatur ruangan yang memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada
jenis tanamannya. pati sagu adalah simple starch grain/butiran pati berbentuk oval
dan berbentuk kumparan/gelendong kubus (Nitta et al. 2010; Yamamoto et al.
2007).
18
Tabel 6. Analisis gula dan pati pada daun
Perlakuan
2-4 kg
4-8 kg
Uji F
2 minggu
4 minggu
8 minggu
12 minggu
Uji F
pati (%)
3.62
4.87
tn
3.65
5.80
4.69
2.99
tn
gula (%)
25.52
22.60
tn
21.12
23.33
25.77
26.14
tn
Takemori et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan gula total pada daun
sagu 10-45% dari total gula pada satu tanaman sagu, sedangkan kandunga
YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SAGU
(Metroxylon sagu Rottb.)
DESTIEKA AHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Bobot Anakan
dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Nopember 2014
Destieka Ahyuni
NIM A252114051
RINGKASAN
DESTIEKA AHYUNI. Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang
Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Dibimbing
oleh MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE dan SUDRADJAT.
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki potensi
karbohidrat yang tinggi. Keanekaragaman jenis sagu Indonesia tertinggi di dunia.
Pembudidayaan tanaman sagu masih terdapat beberapa kendala terutama dalam
perbanyakan dan pindah tanam dari pembibitan ke lahan. Percobaan dilaksanakan
di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau. Penelitian dilaksanakan mulai
Februari 2011 hingga Desember 2013. Tujuan dari percobaan yaitu untuk
mempelajari tentang pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap
pertumbuhan bibit di lahan.
Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi (Split Plot) dengan dua
faktor yaitu faktor bobot anakan sebagai petak utama dan periode pembibitan
sebagai anak petak dengan tiga ulangan. Perlakuan bobot anakan terdiri atas
anakan sagu dengan bobot 2-4 kg dan 4-8 kg. Perlakuan periode pembibitan
terdiri atas anakan sagu 2, 4, 8 dan 12 minggu di pembibitan. Total seluruh
tanaman yang ditanam dan diamati sebanyak 216 tanaman. Peubah pengamatan
morfologi yang diamati adalah jumlah tanaman yang hidup, jumlah pelepah daun,
jumlah anak daun, lebar anak daun, panjang anak daun dan tinggi tanaman.
Peubah fisiologi yang diamati yaitu analisis daun, analisis gula, pati, kehijauan
daun dan kerapatan stomata.
Rata-rata penambahan pelepah pada setiap bulan sebanyak satu pelepah
pada setiap bibit. Persentase hidup tanaman pada percobaan berkisar 31.4861.11%. Penggunaan anakan dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan, tanpa harus
menggunakan anakan yang lebih berat. Tanaman memiliki kandungan gula pada
daun antara 21.12-26.14%, sedangkan kandungan pati 2.99-5.80%. Kerapatan
stomata pada tanaman saat tanaman berumur 2 tahun setelah tanam didapatkan
bahwa permukaan adaxial (atas) 50.88–101.76 mm-2, sedangkan kerapatan
stomata pada abaxial (bawah) yaitu 251.4 - 369.2 mm-2. Perawatan bibit dibawah
satu tahun sangat penting dilakukan, karena masa kritis tanaman sagu yaitu saat
tanaman pindah tanam hingga berumur satu tahun.
Kata kunci: bobot anakan, M. sagu Rottb., tumbuh, periode anakan
SUMMARY
DESTIEKA AHYUNI. The growth of sago palm suckers after transplanting using
different weight of suckers and duration of nursery period. Supervised by
MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE and SUDRADJAT.
Sago palm is origin plants in Indonesia which has the potential of high
carbohydrate. Sago cultivation there are still has some problems, such as sucker
propagation and transplanting from nursery to field. Percentage of sucker growth
was low when transplanting. The aim of this trial was to study the growth of sago
from transplanting until the two years old plant. The trial was conducted at PT
National Sago Prima, Selat Panjang, Riau on February 2011-December 2013.
Sucker weights and sucker ages in raft nursery system were tested. The
experimental design was a split plot design with three replications. The first factor
was sucker weights as main plot, namely 2-4 kg and 4-8 kg, the second factor was
sucker ages as sub plot, namely 2, 4, 8 and 12 weeks.
The results showed that the live presentation sago sucker reached 31.4861.11 %. There was no significant effect of sucker weight and age, as well as the
interaction of both factors, on growth of sago palm until two years old; except at
the early stage of growth. The result indicated that 2-4 kg sucker weight could be
used as planting sources. The physiological characters of plant showed that, in
leaves of young plant, the sugar content was higher than the starch content.
Stomatal density at abaxial surface was higher than adaxial surface. The sugar
content in leaves was 21.12-26.14%, and the starch was 2.99-5.80%. Stomatal
density in sago palm leaf adaxial surface was 50.88–101.76 mm-2, and abaxial
surface was 251.4 - 369.2 mm-2. The critical period of plant is one year after
transplanting hence intensive plant maintenance is necessary.
Key word: growth parameter, M. sagu Rottb., sucker weight, sucker age
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN BOBOT ANAKAN DAN WAKTU PEMBIBITAN
YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SAGU
(Metroxylon sagu Rottb.)
DESTIEKA AHYUNI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr Ir Supijatno MSi
Judul Tesis : Hubungan Bobot Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda
terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon sagu Rottb.)
Nama
: Destieka Ahyuni
NIM
: A252114051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, MAgr
Ketua
Dr Ir Sudradjat, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:
12 September 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam percobaan yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2011 yaitu
pertumbuhan tanaman sagu setelah pindah tanam dengan judul Hubungan Bobot
Anakan dan Waktu Pembibitan yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu
(Metroxylon sagu Rottb.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir HMH Bintoro Djoefrie
MAgr dan Dr Ir Sudradjat MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada tim Research and Development PT National Sago
Prima, Kepulauan Meranti, Riau yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2014
Destieka Ahyuni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Penyebaran
Pemanfaatan Sagu
Syarat Tumbuh
Budidaya Sagu
Pembibitan
Pindah Tanam
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode
Pelaksanaan Percobaan
1
1
2
2
2
2
4
4
5
6
6
7
7
7
7
8
Pengamatan
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Tanaman
Fisiologi Tanaman
Lingkungan
11
11
16
22
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
24
24
24
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL
1. Persentase hidup tanaman di lapangan pada akhir pengamatan
12
2. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap jumlah pelepah13
3. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap jumlah
anak daun
14
4. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap luas
anak daun
14
5. Kerapatan stomata
17
6. Analisis gula dan pati pada daun
18
7. Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap
kandungan unsur hara pada daun tanaman
20
8. Korelasi antar peubah pengamatan pada akhir pengamatan (Desember 2013)
9. Hasil analisis tanah
10. Suhu dan kelembaban lingkungan
11. Curah hujan yang terjadi di PT National Sago Prima
21
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
1. Siklus hidup tanaman sagu
2 Pemanfaatan dan pengembangan Sagu
3. Pelabelan tanaman percobaan
4. Ilustrasi daun
5. Alat Pengukuran tingkat kehijauan anak daun tanaman sagu
6. Salah satu contoh stomata bagian bawah (abaxial) dan
bagian atas (adaxial) daun sagu dengan perbesaran 40x
7. Tingkat kehijauan daun tanaman (SPAD)
3
5
8
9
10
17
19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah
2. Cara analisis kandungan hara tanah
3. Cara analisis kandungan hara daun tanaman
4. Denah Percobaan
5. Analisis gula dan pati pada daun tanaman pengamatan
6. Dokumentasi kegiatan pengamatan di lapangan, morfologi
dan pembersihan piringan
7. Rata-rata curah hujan, banyaknya hari hujan, temperatur rata-rata,
kelembaban Juli 2012-Desember 2013.
8. Perbedaan bibit sebelum dipindahtanam ke lapangan
31
31
33
34
35
35
36
36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis pemenuhan kebutuhan pangan nasional Indonesia hingga kini masih
menjadi permasalahan serius. Pertambahan jumlah penduduk Indonesia semakin
meningkat setiap tahunnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2012) jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237 641 326 jiwa. Peningkatan
jumlah penduduk diikuti dengan jumlah kebutuhan pangan yang semakin
meningkat, sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan diperlukan usaha keras.
Beras sebagai bahan makanan pokok tidak mencukupi. Salah satu solusi yang
dapat dilakukan yaitu penganekaragaman sumber bahan pangan lokal dan sagu
dapat menjadi pilihan yang tepat.
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia dengan potensi pati yang
tinggi, sehingga dapat menjadikan Indonesia salah satu produsen terbesar
penghasil pati sagu di dunia. Keunggulan tanaman sagu dibandingkan tanaman
penghasil karbohidrat lainnya yaitu sagu merupakan penghasil karbohidrat
tertinggi yaitu 20-40 ton ha-1 (Bintoro et al. 2007). Setiap tanaman sagu mampu
memproduksi sekitar 200-400 kg pati (Jong et al. 2006; Bintoro et al. 2010).
Pemanfaatan potensi yang dimiliki tanaman sagu dapat dilakukan dengan
pengembangan dan penataan hutan sagu alami menjadi perkebunan sagu.
Penataan hutan sagu menjadi sebuah perkebunan sagu diperlukan cara budidaya
tanaman yang baik. Apabila kegiatan budidaya tanaman sagu dilakukan dengan
baik maka dapat meningkatkan produksi pati yang lebih tinggi.
Tanaman sagu tersebar hampir di semua kepulauan di Indonesia yaitu
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa, dan Papua. Papua memiliki
distribusi jenis sagu terbesar. Perkiraan jumlah area sagu di dunia 2.25 juta ha dan
sebesar 51.3% (1.25 juta ha) di Indonesia (Flach 1995). Berdasarkan survei yang
dilakukan pada tahun 2013 dengan menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa
luas sagu di Provinsi Papua 4 749 325 ha dan di Provinsi Papua Barat 510 213 ha
(Bintoro et al. 2014). Hal ini menunjukkan bahwa luasan sagu di Indonesia yang
ternyata lebih besar dari prediksi sebelumnya.
Tanaman sagu tidak memerlukan penanaman ulang karena apabila tanaman
induk ditebang maka anakan yang lain akan tumbuh hingga menjadi tanaman
dewasa dan siap dipanen kembali. Sagu dapat berkembang biak dengan baik di
lahan sub-optimal dan dengan perawatan minim (tanpa pupuk) dan tanaman masih
mampu menghasilkan pati dengan jumlah yang besar.
Sagu yang sebelumnya dianggap sebagai tanaman palma yang terlupakan,
saat ini sedang dikembangkan dan dibudidayakan secara komersial sebagai
tanaman sumber karbohidrat yang potensial. Sistem budidaya dan teknik
pengolahan pati yang terkelola dengan baik didukung oleh tingginya permintaan
bahan baku pangan dan non-pangan, sagu dapat bersaing dengan komoditas
tanaman perkebunan komersial, seperti halnya kelapa sawit dan karet. Propinsi
Riau terutama di Kabupaten Meranti sudah menjadikan sagu sebagai salah satu
sumber pendapatan.
Sagu merupakan tanaman yang tumbuh berkelompok membentuk rumpun
yaitu mulai dari anakan sampai tingkat pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah
2
yang berdaun sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter
tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya (Flach 1995). Tanaman sagu
umumnya dikembangbiakkan dengan anakan. Budidaya tanaman sagu terdiri atas
persiapan bahan tanam, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Kegiatan pembibitan sebelum tanaman dipindahkan ke lapangan sangat
penting dilakukan, karena dapat meningkatkan kemampuan hidup tanaman
(Bintoro 2008; Irawan et al. 2012; Irawan et al. 2009; Jong 1995; Maulana 2011
dan Wibisono 2011). Teknik pembibitan di rakit memiliki persentase hidup yang
tinggi karena bibit sagu mendapatkan ketersediaan air yang cukup selama di
pembibitan (Amarillis 2013). Permasalahan dalam budidaya sagu salah satunya
yaitu daya hidup bibit yang rendah setelah bibit dipindahkan dari pembibitan ke
lapangan. Menurut Nurulhaq (2012), persentase hidup paling baik setelah pindah
tanam yaitu sekitar 65% dengan jumlah daun 2 pada saat pindah tanam.
Bobot anakan dan periode pembibitan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan anakan di pembibitan maupun saat pindah tanam (Ahyuni 2011).
Kenyataannya persentase pertumbuhan tanaman di lahan gambut setelah pindah
tanam masih tergolong rendah yaitu sekitar 65% dengan kondisi jumlah rata-rata
dua pelepah. Oleh karena itu, perlu diadakan percobaan tentang pertumbuhan bibit
di lapangan setelah pindah tanam dengan bobot dan periode pembibitan yang
berbeda. Penentuan bobot dan periode pembibitan berdasarkan pada kegiatan
budidaya yang telah berlangsung di perkebunan, sehingga didapatkan bobot
anakan dan periode pembibitan yang dapat tumbuh optimal di pembibitan maupun
di lapangan.
Tujuan Percobaan
Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari tentang bobot anakan dan
periode pembibitan terhadap pertumbuhan bibit di lahan.
Hipotesis
1.
2.
3.
Bobot anakan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di lahan.
Periode pembibitan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit di lahan.
Terdapat interaksi antara bobot anakan dan periode pembibitan terhadap
pertumbuhan bibit di lahan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Penyebaran
Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan jenis tanaman palma
yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis (Flach 1997).
Tanaman sagu merupakan tanaman monokotil. Secara taksonomi tanaman sagu
termasuk
Ordo
: Spadiciflora
Famili
: Palmae
Genus
: Metroxylon
3
Spesies
: Metroxylon spp.
Sagu (Metroxylon spp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae.
Sagu genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu
tanaman yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan
pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic)
yang memiliki nilai ekonomis penting, karena kandungan patinya lebih banyak
(Bintoro et al. 2010).
Batang merupakan bagian paling penting pada tanaman sagu, sebagai
tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Batang sagu berbentuk silinder dengan kulit luar keras dan bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat dan pati. Lapisan terluar kulit berupa lapisan sisa-sisa pelepah
daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat yaitu kulit tipis pembungkus kulit
dalam yang keras. Serat dan empulur pada sagu muda mengandung banyak air,
sedangkan sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat mulai kering dan
keras.
mati
penanaman
bibit
pematangan
buah
tanaman
muda
awal pembentukan
batang
buah
pembungaan
pembentukan batang
pembengkakan
ujung batang
Gambar 1. Siklus hidup tanaman sagu (Gusmayanti et al. 2008)
Sagu memiliki anak daun dengan panjang 1.5 m bertangkai dan berpelepah.
Panjang daun dapat mencapai 7 m. Daun sangat penting karena berperan sebagai
pembentuk pati melalui proses fotosintesis (Bintoro et al. 2010). Daun sagu dimanfaatkan sebagai pembuatan rumah, atap rumah, pembungkus kue dan aneka
kerajinan tangan (Papilaya 2009). Tanaman sagu akan berbunga setelah mencapai
usia dewasa antara 10-15 tahun tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya.
Munculnya bunga pada tanaman sagu menunjukkan bahwa sagu sudah mencapai
akhir masa pertumbuhan vegetatif tanaman. Bunga sagu merupakan bunga
majemuk, sedangkan buahnya berbentuk bulat dan berbiji menyerupai buah salak.
4
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu tersebar luas di
dataran rendah Asia Tenggara dan Melanesia dan menjadi makanan pokok yang
penting (Ehara et al. 2000).
Jenis sagu yang ada di PT National Sago Prima yaitu jenis sagu yang
memiliki duri seperti sagu tuni (Metroxylon rumphii Mart.) dan Sagu Ihur
(Metroxylon sylvester Mart.), dan sagu tak berduri yaitu sagu Molat (Metroxylon
sagus Rottb.).
Lingkungan yang baik bagi pertumbuhan sagu yaitu daerah yang berlumpur,
akar napas tak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna
coklat dan bereaksi agak masam (Bintoro et al. 2010). Tanaman sagu dapat
tumbuh dengan baik pada lintang 100 LU-100 LS dengan ketinggian sampai 400 m
dpl, lebih dari 400 dpl pertumbuhan lambat dan kadar pati rendah (Bintoro 2008).
Pemanfaatan Sagu
Indonesia sudah mengekspor sagu dalam bentuk pati sagu dan sagu
mutiara sejumlah 3954 ton tahun-1 dari tahun 1879. Pemanfaatan sagu di
Indonesia lebih banyak digunakan di dalam negeri karena propinsi Riau telah
melakukan perdagangan antar pulau sekitar 440 ribu ton sagu tahun-1 (Haryanto
2014). Jepang adalah negara pengimpor sagu terbesar.
Pemanfaatan pati sagu selain menjadi bahan pangan juga menghasilkan
produk turunan lainnya (Gambar 1). Pemanfaatan tanaman sagu tidak hanya
patinya saja, tetapi juga daun, batang, buah, akar bahkan limbah. Sagu dapat
digunakan sebagai makanan pokok, bahan baku industri dan konservasi
lingkungan (Bintoro 2002). Menurut Tenda et al. (2009) sagu dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan etanol sebagai bahan substitusi bahan bakar
minyak. Indonesia sebagai negara dengan luas areal sagu terbesar di dunia, maka
memiliki potensi pati sagu paling tinggi.
Syarat Tumbuh Sagu
Menurut klasifikasi Schmit dan Ferguson tipe iklim A dan B sangat ideal
untuk pertumbuhan sagu dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2 500
sampai 3 000 mm tahun-1. Pertumbuhan terbaik sagu pada suhu berkisar antara
24.5-30.0 0C dengan suhu terendah 15 0C dan kelembaban nisbi 70 - 90%
(Haryanto dan Pangloli 1992; Flach 1997). Menurut Bintoro et al. (2014) curah
hujan yang dibutuhkan tanaman sagu 2 000 - 4 000 mm tahun-1 yang menyebar
merata sepanjang tahun.
Ketinggian tempat yang baik bagi sagu sampai dengan 400 m dpl. Lebih
dari 400 m dpl pertumbuhannya lambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian
600 m dpl, tinggi sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu alami ditemukan sampai 300 m
dpl (Bintoro 2002).
Sagu hidup pada rawa bergambut atau mineral, tekstur lempung, organik
berpasir (Bintoro et al. 2014). Budidaya sagu di Serawak dan di Sumatera ditanam
di lahan gambut (Schuiling dan Flach 1985). Pada lahan kering pertumbuhan sagu
kalah cepat dengan pertumbuhan pepohonan hutan yang lain sehingga kalah
5
bersaing dalam memperoleh sinar matahari (Schuiling dan Flach 1985;
Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992).
BRIKET ARANG
PATI SAGU
SAGU
Industri Kimia
SAGU MUTIARA
Industri
SENYAWA KIMIA
Tekstil
Industri Kimia
DEXTRIN
CICLODEXTRIN
Industri Kosmetik
Industri Farmasi
Industri Pestisda
Industri makanan
SINGLE CELL
PROTEIN
GLUKOSA
Makanan Ternak
ASAM-ASAM
ORGANIK
Bahan Energi
Industri Kimia
FRUKTOSA
Industri makanan/
Minuman
AMPAS
Media Jamur
Hard board
Industri Makanan
Industri minuman
Gambar 2 Pemanfaatan dan Pengembangan Sagu (Bintoro et al. 2010)
Budidaya Sagu
Penyiapan bahan tanam merupakan salah satu kegiatan budidaya yang
penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tanaman sagu. Kegiatan penyiapan
bahan tanam meliputi kegiatan pengadaan bahan tanam, seleksi bibit dan
penyemaian (Andany 2009). Sagu di Indonesia umumnya tumbuh dan berkembang biak secara alamiah, belum dibudidayakan secara intensif seperti
tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu berkembang biak melalui biji
(generatif) dan dari anakan (vegetatif) yang tumbuh dalam bentuk tunas-tunas
pada pangkal batang sagu.
Pembibitan merupakan salah satu kegiatan penting dalam pengusahaan sagu.
Pembibitan bertujuan mengadaptasikan bibit agar siap ditanam di lapangan
maupun sebagai tanaman sulam dengan kualitas yang baik sehingga dapat
mengurangi tingkat kematian bibit setelah penanaman. Pembibitan dilakukan
dengan sistem rakit yang diletakkan di kanal. Sistem tersebut dapat menaikkan
persentase anakan yang hidup karena dapat meminimalkan serangan hama serta
menjaga ketersediaan air bagi bibit (Andany 2009).
6
Pengendalian gulma dilakukan dengan cara menebas semua semak (gulma)
dan kayu-kayu yang ada di sekitar pertanaman atau di lorong. Hal tersebut
merupakan awal kegiatan pemeliharaan yang dapat berfungsi sebagai sanitasi
tanaman (Junaidi 2005).
Pemupukan merupakan suatu bahan yang diberikan ke dalam tanah baik
organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari tanah dan
bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Areal lahan gambut yang
merupakan tempat pertanaman sagu di PT National Sago Prima bersifat masam
dengan pH rendah dan kandungan Ca, Mg, P, K dan mineral rendah sehingga
perlu penambahan nutrisi yaitu melalui pemupukan (Bintoro 2008). Kurang
lengkapnya unsur hara makro dan mikro dapat menghambat pertumbuhan,
perkembangan maupun produktivitas tanaman sagu.
Penjarangan anakan dilakukan untuk memaksimalkan produksi sagu dan
pembuangan anakan sagu yang tidak diperlukan (Bintoro 2008). Alasan dilakukannya penjarangan anakan yaitu untuk menjaga kesehatan dan vigor partumbuhan bagi tanaman baru, memelihara ukuran tanaman, membentuk tanaman dan
mengoptimalkan hasil metabolisme bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Bintoro et al. 2010). Penjarangan dilakukan selama setahun sekali
(Papilaya 2009). Anakan sagu diatur selalu mengelilingi induk utama, dalam satu
rumpun terdapat maksimal 10 pohon sagu dengan berbagai umur (Bintoro et al.
2014)
Pembibitan
Anakan sagu pada suatu rumpun sagu merupakan salah satu bahan tanam
dalam perbanyakan tanaman sagu. Ukuran anakan yang digunakan sangat
menentukan keberhasilan pembibitan sagu. Anakan yang besar akan berkembang
dan tumbuh lebih cepat. Disisi lain dalam usaha pembibitan, anakan yang
digunakan sebaiknya berukuran kecil karena dengan anakan yang kecil
pengambilan dan pengangkutannya lebih mudah serta ruang atau tempat yang
diperlukan lebih kecil (Wahid 1987). Menurut Bintoro (2008) anakan sagu yang
akan digunakan sebagai bibit diambil dari induk yang produksi patinya tinggi,
bibit segar, dan dengan pelepah yang masih hijau. Anakan yang sudah tua
dicirikan dengan bonggol (banir) yang sudah keras, pelepah dan pucuk yang
masih hidup, memiliki perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm dan
tidak terserang hama dan penyakit serta banir berbentuk L dengan rata-rata bobot
bibit 3-4 kg. Bibit sagu diletakkan diatas rakit selama pembibitan sebelum pindah
tanam. Menurut Irawan et al. (2012) umur paling baik bibit selama di persemaian
yaitu 2-3 bulan yang dicirikan memiliki tiga daun karena setiap bulannya muncul
satu daun. Menurut Maulana (2011) bibit dengan bobot 3.5-4.5 kg memiliki
persentase bibit hidup di pembibitan terbanyak. Namun tidak berbeda nyata
dengan bobot bibit 2-3 kg, sehingga penggunaan bobot bibit 2-3 kg lebih efisien.
Transplanting Sagu
Berdasarkan kegiatan budidaya tanaman sagu, anakan setelah mencapai
umur cukup dalam pembibitan maka dilakukan kegiatan pindah tanam
7
(transplanting) di lapangan. Kegiatan tersebut menjadi penting karena
menentukan keberhasilan bibit dapat hidup dengan baik di lapangan. Keberhasilan
bibit yang dapat tumbuh baik di lapangan belum didapatkan hasil yang
memuaskan. Menurut Jong (2007) pertumbuhan tanaman sagu pada gambut
dalam tanpa pemeliharaan dan penambahan nutrisi memiliki mutu dan
pertumbuhan yang rendah dibandingkan dengan gambut dangkal dan tanah
mineral. Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit sagu memiliki 2-3 daun dan
memiliki akar yang baik. Penanaman saat musim hujan memiliki persentase hidup
yang lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Kondisi tanah lembab dan suhu
udara yang tinggi menentukan persentase hidup bibit sagu (Bintoro et al. 2010).
Selain itu, bibit sagu diletakkan pada lubang tanam dengan dasar tanah yang
berair. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya adaptasi bibit. Jumlah
daun berkurang setelah pindah tanam (Tanimo et al. 2005).
METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan dilaksanakan di perkebunan sagu milik PT. National Sago
Prima, di Kabupaten Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Pengamatan dilaksanakan pada bulan Februari – Desember 2011 dan Februari – Desember 2013.
Analisis tanah dan hara tanaman dilaksanakan di Laboratorium Tanah dan
Tanaman PT. Sampoerna Agro, Palembang, Sumatera Selatan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu anakan sagu dengan bobot
anakan dan periode pembibitan berbeda. Pada awal tanam, karakteristik bibit sagu
yang digunakan yaitu bebas serangan hama dan penyakit, memiliki banir
berbentuk L, dengan bobot 2-4 kg dan 4-8 kg serta periode pembibitan 2, 4, 8 dan
12 minggu di pembibitan. Pupuk dasar Rock Phosphate dengan dosis 500 g
lubang-1 dimasukkan ke dalam lubang tanam pada awal tanam. Alat yang
digunakan pada percobaan tersebut yaitu meteran, timbangan, cat semprot,
preparat, isolasi, plastik, cat kuku, mikroskop, spektrofotometer, SPAD-502
chlorophyll meter dan termometer.
Metode
Bibit di pindahkan dari pembibitan ke lapangan pada bulan Maret tahun
2011 dan merupakan percobaan lanjutan dari tahun 2011 ke 2013. Data awal
pengamatan dilaksanakan pada tahun 2011 berdasarkan data pengamatan awal
pertumbuhan (Ahyuni 2011). Kegiatan pengamatan dilakukan dalam waktu
jangka panjang yaitu tahun 2011 dan 2013, sehingga data yang didapatkan akan
semakin akurat.
Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dengan 2
faktor dan tiga ulangan, yaitu faktor bobot anakan dengan 2 taraf yaitu 2-4 kg dan
8
4-8 kg dan faktor periode pembibitan dengan 4 taraf yaitu 2, 4, 8 dan 12 minggu
di pembibitan. Faktor bobot anakan sebagai petak utama, sedangkan faktor
periode pembibitan sebagai anak petak. Percobaan dilakukan dengan menanam 9
tanaman per kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan, sehingga jumlah seluruh
tanaman yang ditanam dan diamati sebanyak 216 tanaman.
Model linier aditif dari rancangan percobaan yang digunakan (Mattjik dan
Sumertajaya 2000):
Yijk = μ + αi + €k + ik + βj + (αβ)ij + ijk
Keterangan :
Yijk
: nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak kej dan ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)
μ
: nilai rata-rata umum
αi
: pengaruh perlakuan bobot anakan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)
€k
: pengaruh ulangan ke-k
ik
: galat petak utama
βj
: pengaruh perlakuan periode pembibitan pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(αβ)ij
: pengaruh interaksi antara bobot anakan ke-i dengan periode
pembibitan ke-j
Εijk
: pengaruh galat karena pengaruh bobot anakan taraf ke-i dan
periode pembibitan pada ulangan ke-k
Asumsi :
=0
∑
i = 0, ∑
j = 0, ∑ αβ
Pengaruh galat menyebar normal dan bersifat bebas
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh
nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan
Lahan percobaan yang digunakan yaitu lahan gambut seluas 13 824 m2
dengan masing masing anak petak berukuran 24 m x 24 m. Penyiapan bahan
tanaman dilaksanakan bertahap sesuai dengan perlakuan periode pembibitan yang
ditentukan (Ahyuni 2011). Anakan dengan bobot berbeda disemai dengan
menggunakan rakit dan diletakkan di kanal (Lampiran 8). Anakan sagu disiapkan
dari pembibitan dengan periode waktu berbeda yaitu (2,4,8 dan 12 minggu),
sehingga tanaman siap untuk dipindah tanam. Setelah pemindahan bibit ditandai
menurut perlakuan masing-masing (Gambar 3). Setelah tanaman ditanam,
pengamatan morfologi dilakukan setiap dua bulan sekali (Lampiran 4).
Gambar 3. Pelabelan tanaman percobaan
9
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan dilakukan dengan cara manual dan kimia. Cara
manual yaitu mengendalikan gulma di sekitar tanaman baik di lorong maupun
piringan dengan menggunakan parang. Gulma hasil tebasan diletakkan di luar
jalur tanam agar tidak mengganggu dalam kegiatan pengamatan (Lampiran 6).
Data percobaan diambil dengan melakukan pengamatan pertumbuhan di lapangan
dan analisis laboratorium dari contoh tanaman yang diambil.
Pengamatan
Pengumpulan data percobaan dilakukan melalui pengamatan pertumbuhan
morfologi maupun fisiologi tanaman.
Respon Morfologi Tanaman
Morfologi tanaman yang diamati yaitu: jumlah pelepah, panjang, lebar dan
jumlah anak daun dibagian kanan dan kiri (Gambar 5).
a. Jumlah tanaman yang hidup, adalah seluruh tanaman yang digunakan
dihitung berdasarkan jumlah tanaman yang hidup di lapangan.
b. Jumlah pelepah daun, dihitung berdasarkan jumlah pelepah daun yang
ada pada masing-masing tanaman.
c. Jumlah anak daun, dihitung pada pelepah daun terbaru.
d. Lebar anak daun, diukur pada daun terbaru setiap tanaman yang diamati.
e. Panjang anak daun, diukur dari pangkal anak daun hingga ujungnya pada
daun terbaru.
f. Tinggi tanaman, diukur mulai dari pangkal pemangkasan sampai titik
tumbuh tanaman. Tinggi tanaman diukur pada akhir pengamatan.
Lebar
anak
daun
Panjang anak daun
Pelepah/daun
Gambar 4. Ilustrasi pengukuran anak daun (Nakamura et al. 2005)
Pengamatan dilakukan setiap dua bulan sekali dengan ilustrasi pengamatan
daun (Gambar 4).
Respon Fisiologi Tanaman
a. Analisis gula dan pati
Analisis pati menggunakan 2 contoh anak daun pada masing-masing
perlakuan disetiap ulangan. Anak daun yang dipilih yaitu pelepah bagian
tengah pada masing-masing tanaman contoh. Anak daun yang diambil pada
bagian pelepah bagian tengah. Anak daun yang telah diambil kemudian
dipisahkan dengan lidinya dan dipotong-potong kemudian dikeringkan pada
10
oven dengan suhu 70 0C selama 48 jam. Anak daun yang sudah dikeringkan
kemudian ditimbang sebanyak 10 gram dan dianalisis di laboratorium
(Lampiran 5). Analisis gula menggunakan metode AOAC (Association of
Official Analytical Chemist) 1970, sedangkan analisis pati di laboratorium
menggunakan metode AOAC 1971.
b. Kehijauan daun
Kehijauan daun diukur dengan menggunakan klorofilmeter (SPAD 502).
Alat tersebut memunculkan angka tingkat kehijauan daun secara otomatis.
Pengukuran dilakukan pada contoh anak daun yang diambil untuk dianalisis
kandungan haranya. Cara pengukuran yaitu dengan menjepit anak daun
contoh menggunakan klorofilmeter (SPAD 502) hingga muncul angka pada
layar (Gambar 5). Nilai rata-rata dihitung dengan mengambil 10 titik pada
bagian ujung, tengah dan pangkal anak daun di bagian kanan dan kiri anak
daun.
Gambar 5. Alat pengukuran tingkat kehijauan (anak daun tanaman sagu)
c. Analisis daun
Contoh daun diambil dari 5 tanaman contoh pada setiap ulangan,
sehingga mewakili setiap perlakuan. Anak daun diambil pada pelepah bagian
tengah. Anak daun yang telah diambil kemudian dipisahkan dengan lidinya
kemudian dikeringkan di oven dengan suhu 70 0C selama 48 jam. Analisis
kandungan hara dilakukan dengan metode pengabuan kering (P, K, Ca, Mg)
dan pengabuan basah (N) (Lampiran 3).
d. Kerapatan stomata
Stomata diamati dengan menggunakan mikroskop. Kerapatan stomata
dihitung menggunakan metode Sumargono (1992) yang dimodifikasi.
Tahapan kerja yang dilakukan yaitu sebagai berikut:
1. Sampel daun dioles dengan cat kuku bening (selulosa asetat) di bagian
permukaan anak daun bagian atas maupun bawah.
2. Plester bening disiapkan dan dipotong sesuai dengan ukuran gelas objek
yaitu sekitar 8 x 1.2 cm.
3. Preparat yang sudah disiapkan lalu diamati dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40x
11
4. Jumlah stomata dihitung dari gambar yang muncul dibawah mikroskop
dan dibantu dengan menggunakan alat penghitung (hand counter).
Cara menghitung kerapatan stomata yaitu:
Luas bidang pandang
= ¼ π d2 (d=diameter lensa)
= 1/4x3/4x0.52
= 0.196 mm2
Kerapatan stomata = 1/0.196 x jumlah stomata
Analisis Lingkungan
a. Analisis tanah
Contoh tanah diambil pada pengamatan awal tahun 2013 yaitu pada
bulan Maret. Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan mengambil empat
titik pada setiap ulangan mewakili perlakuan. Contoh tanah diambil dengan
menggunakan cangkul dengan kedalaman 0-30 cm. Tanah yang diambil
dimasukkan ke dalam ember, hal ini diulang hingga tiga kali. Tanah di dalam
ember diaduk lalu akar ataupun sisa tanaman mati dibuang. Contoh tanah yang
telah diambil lalu dikeringanginkan selama 4-5 hari lalu ditimbang sebanyak
500 gram, dan dikemas plastik. Sampel tanah gambut yang telah disiapkan
lalu dikirim ke laboratorium untuk dianalisis kandungan haranya (Lampiran 2).
Analisis tanah dilakukan pada akhir percobaan, pengambilan sampel
tanah secara komposit pada 24 titik pada lahan pertanaman masing-masing
sebanyak 0.5 kg yang dikompositkan dan diambil sebanyak 3 kg untuk
dilakukan análisis tanah. Análisis tanah dilakukan terhadap tekstur tanah,
kadar C-organik, N total, P, K, Ca, Mg, pH, KTK dan KB. Hasil analisis tanah
dibedakan berdasarkan kriteria masing-masing (Lampiran 1).
b. Iklim
Pengamatan iklim yaitu mengukur suhu dan kelembaban pada areal percobaan. Pengukuran suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan
termometer yang diletakkan di lapangan dan diamati serta dicatat suhu yang
tertera setiap pengamatan. Curah hujan harian selama pengamatan tahun 2013
dicatat dan dihitung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Tanaman
Struktur morfologi daun sagu (Metroxylon sagu Rottb.) menjadi dasar
untuk karakterisasi sifat fisiologi dari tanaman sagu (Nitta et al. 2005). Daun
merupakan organ tanaman yang paling penting dalam proses biofisikal, terutama
dalam menentukan pertukaran air dan energi diantara permukaan tanah, vegetasi
dan atmosfir. Hal tersebut mempengaruhi proses penting seperti evapotranspirasi
dan hasil fotosintesis.
Persentase hidup
Pesentase hidup tanaman di lapangan merupakan salah satu indikator
penting dalam percobaan. Karakteristik lahan di lokasi perkebunan yaitu lahan
12
gambut dalam (3-5 m) dengan tingkat kematangan sedang (gambut hemik).
Gambut di perkebunan tersebut termasuk dalam gambut oligotropik yaitu gambut
yang sedikit mengandung bahan mineral. Menurut Bintoro et al. (2010) suhu
terendah bagi pertumbuhan sagu yaitu 15 0C. Pertumbuhan terbaik terjadi pada
suhu udara 25 0C dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran
matahari sekurang-kurangnya 900 joule cm-2 hari-1. Apabila dibandingkan dengan
pernyataan di atas maka suhu udara di lahan percobaan memiliki suhu yang lebih
tinggi yaitu antara 26.35-30.52 0C dengan kelembaban yang lebih rendah yaitu
sekitar 67-86%.
Tabel 1. Persentase hidup tanaman di lapangan pada akhir pengamatan
Perlakuan
Bobot Anakan (kg)
2-4
4-8
Periode pembibitan (minggu)
2
4
8
12
Persentase hidup (%)
48.15
34.26
33.33
61.11
38.89
31.48
Jarak tanam yang digunakan pada percobaan ini 8 m x 8 m. Persentase
hidup tanaman pada percobaan ini sekitar 31.48-61.11% (Tabel 1). Berdasarkan
analisis data yang dilakukan bahwa perlakuan bobot anakan maupun periode
pembibitan tidak berpengaruh dengan persentase hidup tanaman, sehingga pada
masa apapun penggunaan anakan dengan bobot 2-4 kg dapat digunakan, tanpa
harus menggunakan anakan yang lebih berat. Perlakuan bobot anakan dan periode
pembibitan juga tidak terdapat interaksi antara keduanya. Menurut Irawan et al.
(2009) rata-rata persentase hidup anakan di tanah gambut yaitu 70-90%, sehingga
tanaman pada percobaan masuk dalam kategori rendah tingkat kehidupannya.
Kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan pemeliharaan tanaman yang
tidak sesuai dapat mempengaruhi persentase hidup tanaman di lapangan.
Jumlah Pelepah
Hasil analisis menunjukkan bahwa peubah jumlah pelepah pada perlakuan
bobot anakan tidak berbeda nyata dari awal hingga akhir pengamatan (April 2011Desember 2013), sedangkan perlakuan periode pembibitan dari awal tanam
hingga Desember 2011 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Namun, ketika
tanaman berumur 2 tahun tidak berbeda nyata hingga akhir pengamatan bulan
Desember 2013 (Tabel 2).
13
Tabel 2. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah pelepah hidup
Perlakuan
April
2011*
Juni
2011*
Agust
2011*
Okt
2011*
Bulan Pengamatan
Des
Feb
Apr
2011*
2013
2013
Juni
2013
Agust
2013
Des
2013
……………………………………pelepah…………………………….
Bobot Anakan
2-4 kg
0.6
1.0
2.4
4.0
6.1
7.6
8.4
9.6
9.9
10.8
4-8 kg
0.5
0.8
2.1
3.5
6.4
8.6
9.3
10.4
10.5
10.8
Uji F
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Periode pembibitan
2 minggu
0.3c
0.5c
1.5b
2.5b
5.3b
7.3
7.8
9.2
9.1
9.4
4 minggu
0.4bc
0.7bc
1.9b
3.9a
6.1ab
8.0
8.9
10.1
10.5
11.7
8 minggu
0.6ab
1.0b
2.7a
4.5a
6.9a
9.1
10.2
11.7
11.5
12.5
12minggu
0.9a
1.4a
2.8a
4.3a
6.7a
7.9
8.5
9.2
9.5
9.6
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
*: ( Ahyuni 2011)
Tanaman perlakuan 12 minggu di pembibitan selama tahun 2011 yaitu dari
awal tanam hingga bulan Agustus 2011memiliki jumlah pelepah yang lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan periode pembibitan yang lain. Namun ketika
bulan Oktober dan Desember 2011, perlakuan 12 minggu di pembibitan tidak
berbeda dengan tanaman 4 dan 8 minggu di pembibitan. Hal ini menunjukkan
bahwa tahap terpenting bagi pertumbuhan tanaman sagu yaitu pada saat umur 0-9
bulan setelah tanam, karena setelah itu tidak terdapat perbedaan nyata pada
pertambahan pelepah. Jumlah pelepah meningkat pada setiap pengamatan yaitu
dengan rata-rata penambahan 1 pelepah setiap bulan. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Irawan (2010) dan Jong (1995) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
daun sekitar 1 daun setiap bulan. Jumlah pelepah rata-rata yang terproduksi
(termasuk pelepah mati) pada tanaman berumur tiga tahun yaitu sekitar 20-30
pelepah (Irawan et al. 2012).
Jumlah Anak Daun
Tanaman sagu memiliki jumlah anak daun yang lebih variatif. Bobot anakan
tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 3) dari awal tanam hingga akhir
pengamatan, kecuali saat bulan Oktober 2011 tanaman berpengaruh nyata
terhadap jumlah anak daun yaitu dengan jumlah terbanyak pada bobot 4-8 kg.
Perlakuan periode pembibitan menunjukkan bahwa pada awal tanam
hingga bulan Juni 2011 setelah tanam menunjukkan pengaruh yang nyata,
sedangkan saat bulan Agustus 2011 tidak menunjukkan pengaruh yang nyata,
kemudian nyata kembali pada bulan Oktober dan Desember 2011. Pengamatan
selanjutnya saat tanaman mulai berumur 3 tahun menunjukkan tidak adanya
pengaruh peubah jumlah anak daun pada kedua perlakuan.
Tanaman percobaan yang memiliki jumlah anak daun yang rendah yaitu
62-78 helai pada bulan Desember 2013. Hal ini berbeda dengan Gusmayanti et al.
(2008) yang menyatakan bahwa jumlah anak daun pada fase sebelum terbentuk
14
batang, setelah pindah tanam memiliki jumlah daun sekitar 8 dengan jumlah anak
daun sekitar 81.
Tabel 3. Pengaruh bobot dan periode pembibitan terhadap jumlah anak daun
Perlakuan
April
2011*
Juni
2011*
Agust
2011*
Okt
2011*
Bulan Pengamatan
Des
Feb
2011*
2013
Apr
2013
Juni
2013
Agust
2013
Des
2013
……………….................................Helai................................................................
Bobot Anakan
2-4 kg
16.7
28.1
44.5
42.0b
40.0
51.0
55.3
59.9
65.7
70.9
4-8 kg
13.2
23.4
51.1
55.4a
44.8
52.4
59.8
62.1
67.8
71.7
Periode pembibitan
2 minggu
6.2b
14.8b
47.6
51.9a
50.6a
42.9
46.5
52.2
55.4
62.3
4 minggu
8.1b
19.7b
46.8
48.2ab
42.6b
54.4
63.3
63.6
71.3
78.0
8 minggu
20.5a
33.9a
49.4
48.3ab
36.7b
56.4
66.3
67.5
73.6
76.8
12minggu
25.0a
34.6a
47.4
46.4b
39.7b
53.1
54.0
60.6
66.8
68.2
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
*: (Ahyuni 2011)
Luas Anak Daun
Panjang dan lebar anak daun menjadi salah satu indikator pertumbuhan
yang dapat mempengaruhi luas bidang fotosintesis tanaman. Bobot anakan tidak
memberikan pengaruh terhadap luas anak daun dari awal pengamatan hingga
akhir.
Tabel 4 Pengaruh bobot anakan dan periode pembibitan terhadap luas anak daun
Perlakuan
April
2011*
Juni
2011*
Agust
2011*
Okt
2011*
Bulan Pengamatan
Des
Feb
2011*
2013
Apr
2013
Juni
2013
Agust
2013
Des
2013
................................cm2.....................................
Bobot Anakan
2-4 kg
18.82
27.76
47.37
55.11
55.023
143.64
157.33
172.23
201.51
218.79
4-8 kg
15.14
21.90
53.28
56.53
58.693
142.34
162.10
179.54
208.55
228.19
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Uji F
tn
Periode pembibitan
2 minggu
5.43b
14.42b
58.39
53.11
49.48
120.34
133.18
146.57
180.26
191.91
4 minggu
8.54b
19.42b
50.77
61.93
63.79
153.45
171.69
192.83
203.45
249.81
8 minggu
22.30a
28.83ab
46.71
52.17
55.46
160.30
177.11
193.59
229.79
246.44
31.65a
36.65a
45.44
56.08
58.71
137.88
156.87
170.54
206.63
205.82
12minggu
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
*: (Ahyuni 2011)
Perlakuan periode pembibitan hanya memberikan pengaruh pada awal
pengamatan saja yaitu bulan April dan Juni 2011, selanjutnya tidak memberikan
pengaruh hingga akhir pengamatan (Tabel 4). Periode pembibitan berpengaruh
15
pada pengamatan pertama karena saat pindah tanam bibit masih memiliki anak
daun dengan kondisi yang baik, tetapi selanjutnya tidak menunjukkan
pertumbuhan yang tidak berbeda dengan tanaman lainnya. Kondisi lingkungan
dan kemampuan hidup tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Nakamura et al. (2004) dan Gusmayanti et al. (2008) menyatakan bahwa
luas daun merupakan peubah yang penting dalam pertumbuhan tanaman sagu,
dengan mengetahui panjang dan lebar anak daun setiap tanaman maka total area
dari helai daun tanaman sagu dapat dihitung, sehingga dapat menunjukkan kondisi
tanaman.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa masa kritis tanaman sagu terjadi
saat tanaman berumur kurang dari satu tahun, yang ditunjukkan adanya pengaruh
pada peubah yang diamati. Setelah tanaman berumur diatas satu tahun, tanaman
menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati, sehingga
pada waktu tanaman berumur kurang dari satu tahun sangat memerlukan
perawatan atau pemeliharaan. Hal ini karena pada umur dibawah satu tahun,
tanaman masih dalam fase adaptasi dengan lingkungan. Pemeliharaan yang
intensif seperti pengendalian gulma sekitar piringan dan pemberian naungan
diawal tanam dilakukan untuk mengurangi gangguan gulma dan tingginya
transpirasi tanaman.
Tinggi Induk dan Anakan
Tinggi tanaman percobaan saat pengamatan bulan Desember 2013 mencapai
hingga 303.09 cm. Ando et al. (2007) menyatakan bahwa tinggi tanaman yang
berumur 5 tahun berkisar antara 5.8-6.8 m dan 5.4-6.2m. Tanaman percobaan
masih berumur 3 tahun, sehingga tinggi tanaman tidak lebih dari 5 meter.
Begitupula menurut Irawan et al. (2012) tanaman sagu dengan umur 3 tahun
memiliki rata-rata tinggi 240-450 cm.
Irawan et al., (2012) menyatakan bahwa adanya pertumbuhan anakan sagu
ketika awal pindah tanam akan menunjukkan pertumbuhan bibit yang cepat, yaitu
dengan pertumbuhan daun dan tinggi tanaman. Pada tahun 2012 kegiatan
pengamatan maupun pemeliharaan tanaman tidak dilakukan, sehingga terlihat
tanaman kurang terawat dibandingkan periode pengamatan (tahun 2011 dan 2013).
Hasil menunjukkan bahwa masa kritis tanaman sagu terjadi saat tanaman berumur
di bawah satu tahun, yang ditunjukkan adanya pengaruh pada peubah morfologi
yang diamati. Setelah tanaman berumur diatas satu tahun, tanaman menunjukkan
tidak adanya pengaruh terhadap peubah yang diamati, sehingga saat masa kritis
yaitu saat tanaman berumur dibawah satu tahun sangat diperlukan perawatan atau
pemeliharaan yang intensif.
Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam
jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan
dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan individu yang
tumbuh lebih awal. Kompetisi antara anakan di dalam rumpun sagu sangat
mungkin terjadi. Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas
tanah (atmosfer) seperti udara, cahaya, ruang dan komponen di dalam tanah
seperti air, oksigen, dan unsur hara (Botanri 2010).
Pengendalian pertumbuhan anakan sagu yaitu dengan melaksanakan
pemangkasan anakan (pruning). Pemangkasan yang berkala akan memaksimalkan
16
pertumbuhan tanaman induk, membentuk dan memelihara ukuran tanaman serta
mengoptimalkan hasil metabolisme ke batang sebagai organ penyimpanan.
Pemangkasan juga memberikan pengaruh yang positif terhadap pertambahan
jumlah pelepah, jumlah pelepah anakan yang dipelihara dan dapat mengurangi
kompetisi penyerapan hara sesama anakan serta membuka ruang terbuka bagi
tanaman untuk mendapatkan cahaya (Manaroinsong 2014).
Fisiologi Tanaman
Fotosintesis merupakan suatu reaksi anabolik yang mengkonversi air dan
karbondioksida menjadi glukosa dan oksigen dengan energi foton dari cahaya
matahari. Akumulasi pati pada sagu bergantung pada asimilasi CO2 setiap
tanaman, yang dapat dihitung dengan mengalikan laju fotosintesis per luas daun
dengan total luas daun per ha. Pada pertumbuhan awal, tanaman sagu dapat
meningkatkan luas daun dengan kondisi banyak mendapat sinar matahari (Flach
and Schuiling 1991).
Kerapatan Stomata
Daun bisa beradaptasi dengan lingkungan untuk meningkatkan fotosintesis
melalui pengaturan laju pertukaran gas. Kecepatan pertukaran gas pada daun tergantung kepada banyaknya stomata per luas daun dan lebar pembukaan stomata.
Konduktansi stomata mencerminkan kondisi kemudahan stomata untuk pertukaran gas CO2 dan air. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata maka
semakin tinggi konduktansi stomata dan semakin tinggi pertukaran CO2 per
satuan luas daun, karena itu konduktansi stomata juga mencerminkan level
fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2010). Kerapatan stomata menurun pada kondisi di
bawah naungan.
Jumlah stomata menjadi salah satu indikator kemampuan tanaman dalam
melakukan kegiatan fotosintesis maupun respirasi. Fotosintesis tanaman berkaitan
dalam hal penyerapan CO2 dari udara, sehingga dengan tingginya kerapatan
stomata kemungkinan penyerapan CO2 akan semakin banyak. Kerapatan stomata
pada tanaman contoh saat tanaman berumur 2 tahun setelah tanam pada
permukaan atas (adaxial) 50.88 – 101.76 mm-2, sedangkan kerapatan stomata
pada bagian bawah (abaxial) sekitar 251.4 - 369.2 mm-2.
Menurut Omori et al. (2000) kerapatan stomata pada permukaan abaxial
dapat meningkat dari umur 1-3 tahun (400~900 mm-2), kemudian sedikit demi
sedikit meningkat hingga mendekati nilai 1 000 mm-2 pada umur 5 tahun yaitu
pada fase pembentukan batang. Pada permukaan adaxial, kerapatan stomata juga
meningkat seiring dengan penuaan tanaman. Pada perlakuan bobot anakan
maupun periode pembibitan memiliki kerapatan stomata yang tidak berbeda nyata.
Kerapatan stomata bagian abaxial memiliki kerapatan stomata yang lebih tinggi
daripada bagian adaxial (Tabel 5). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Naito et al.
(2005) bahwa kerapatan stomata bagian abaxial lebih besar daripada permukaan
adaxial. Perbedaan kerapatan stomata pada bagian abaxial dan adaxial pada daun
yang sama dapat dilihat pada Gambar 6. Amarillis et al. (2011) menyatakan
bahwa setiap aksesi sagu memiliki perbedaan kerapatan stomata, sehingga dapat
mempengaruhi proses fotosintesis.
17
Tabel 5. Kerapatan stomata setiap mm2 pada pengamatan bulan Maret 2013
Perlakuan
2-4 kg
4-8 kg
Uji F
2 minggu
4 minggu
8 minggu
12 minggu
Uji F
Adaxial
88.9
72.53
tn
50.88
96.34
101.76
77.59
tn
Abaxial
351.5
270.0
tn
251.4
354.6
369.2
297.3
tn
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada = 5%
Selain itu, Omori et al. (2000) menyatakan bahwa panjang stomata,
permukaan adaxial lebih panjang (12~15 µm) daripada permukaan abaxial (9~14
µm) pada semua umur tanaman. Panjang stomata dari kedua permukaan menurun
seiring dengan umur tanaman dari umur 1-3 tahun, tetapi tidak begitu berubah
setelahnya.
a
b
Gambar 6 Salah satu contoh stomata a) bagian atas (adaxial) dan b) bagian bawah
(abaxial) daun sagu dengan perbesaran ukuran 20 µm
Sel-sel palisade biasanya dijumpai pada bagian adaxial (atas) daun,
berbentuk tiang, dan mengandung klorofil. Sel parenkima palisade bisa berbentuk
barisan dengan satu lapisan atau dua lapisan. Stomata terletak di bagian epidermis.
Stomata merupakan pintu untuk pertukaran gas antara jaringan dalam tumbuhan
dan lingkungannya. Pada tumbuhan darat, umumnya stomata tersebar pada
epidermis bawah. Beberapa tanaman mempunyai stomata pada kedua permukaan
daunnya, sehingga kerapatan stomata daun berbeda-beda.
Kandungan gula dan pati pada daun tanaman
Starch atau pati merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau
melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak larut
dalam air pada temperatur ruangan yang memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada
jenis tanamannya. pati sagu adalah simple starch grain/butiran pati berbentuk oval
dan berbentuk kumparan/gelendong kubus (Nitta et al. 2010; Yamamoto et al.
2007).
18
Tabel 6. Analisis gula dan pati pada daun
Perlakuan
2-4 kg
4-8 kg
Uji F
2 minggu
4 minggu
8 minggu
12 minggu
Uji F
pati (%)
3.62
4.87
tn
3.65
5.80
4.69
2.99
tn
gula (%)
25.52
22.60
tn
21.12
23.33
25.77
26.14
tn
Takemori et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan gula total pada daun
sagu 10-45% dari total gula pada satu tanaman sagu, sedangkan kandunga