Marketing and Value Added of Cocoa Beans in Madiun District, East Java

PEMASARAN DAN NILAI TAMBAH BIJI KAKAO
DI KABUPATEN MADIUN, JAWA TIMUR

INDRA AKBAR DILANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemasaran dan Nilai
Tambah Biji Kakao di Kabupaten Madiun, Jawa Timur adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Petanian Bogor.


Bogor, Februari 2013
Indra Akbar Dilana
NIM. H451110551

ABSTRACT
INDRA AKBAR DILANA. Marketing and Value Added of Cocoa Beans in
Madiun District, East Java. Supervised by RITA NURMALINA and AMZUL
RIFIN.
Madiun district as largest sentral of people's cocoa plantations in East Java,
the production of cocoa beans of this area at 2009 until 2011 is increased. To
increase farmers' income, increased production should be followed by the
development of efficient marketing. Marketing of cocoa beans in Madiun
involving many actors with different behaviors. Investment policy and
implementation of export duties are expected to improve the cocoa industry and
develop the performance of the cocoa market in the country. The development of
marketing performance with various alternatives, provide opportunities for cocoa
farmers to select marketing channels for optimal profit. The purpose of this
research is to analyze: 1) performance cocoa beans supply chain, 2) factors that
influence of marketing channels choice in cocoa beans supply chain in Madiun

District , and 3) added value from the processing of cocoa beans. This research
was conducted in Madiun District, East Java. Primary data collected through
interviews using questionnaires. The type and number of respondents consisted 90
cocoa farmers, 18 colletors, two large cocoa trader and one processed industry.
Analysis of cocoa beans supply chain descriptions using FSCN process
framework. Marketing efficiency measured from the margin, farmer's share, the
ratio of benefits and costs. The factors that determine the cohice of farmers to
supply chains used quantitative approach with mutinomial logit regression model,
and added value analysis method used is Hayami. The results showed that the
most efficient marketing channel is the channel that connects the cocoa farmers
directly to the district level collector. Factors that affect decision making of cocoa
farmers to sell cocoa beans are farmer age, farmer education, the selling price of
cocoa beans, and the main livelihood of the farmers. Secondary products of cocoa
beans that produce the highest profit is cocoa powder and cocoa butter. To
increase the income of farmers suggested to improve the quality of cocoa beans by
reducing the water content and doing fermentation of cocoa beans, so that farmers
can directly sell to district level collector with better price. To improve the
performance of small and medium scale cocoa processing industry required
Puslitkoka role and the government should be able to find specific market access.
Key words: Marketing Channel Choice, Profit, Small and Medium Scale, Supply

Chain

RINGKASAN
INDRA AKBAR DILANA. Pemasaran dan Nilai Tambah Biji Kakao di
Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan
AMZUL RIFIN.
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk
dikembangkan menjadi andalan ekspor. Pada tahun 2011, Indonesia merupakan
produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading (1,51 juta ton),
Ghana (1,03 juta ton), dan Indonesia (440 ribu ton). Provinsi Jawa Timur
merupakan salah satu sentra produksi, selama tiga tahun terakhir produksi biji
kakao kering meningkat dari 22.676 ton tahun 2009, menjadi 24.198 ton tahun
2010, dan 27.522 ton tahun 2011. Kabupaten Madiun sebagai sentra terbesar
perkebunan kakao rakyat di Jawa Timur, produksi biji kakao kering daerah ini
tahun 2009 sampai 2011 mengalami peningkatan. Untuk meningkatkan
pendapatan petani, peningkatan produksi sebaiknya diikuti dengan pengembangan
pemasaran yang efisien. Pemasaran biji kakao di Kabupaten Madiun melibatkan
banyak pelaku dengan perilaku yang berbeda. Kebijakan investasi dan penerapan
bea keluar diharapkan akan meningkatkan industri kakao dan mengembangkan
kinerja pasar kakao di dalam negeri. Berkembangnya kinerja pemasaran dengan

berbagai alternatif, memberikan peluang kepada petani kakao untuk memilih
saluran pemasaran untuk mendapatkan keuntungan optimal.
Penelitian ini bertujuan menganalisis: (1) Performance rantai pasok biji
kakao; (2) Aktivitas-aktivitas yang menambah nilai yang dilakukan para pelaku
pada rantai pasok biji kakao dan distribusi nilai tambah di antara para pelaku
tersebut di Kabupaten Madiun; (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran petani pada rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun; dan
(4) Besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji kakao menjadi
produk turunannya. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner.
Jenis dan jumlah responden terdiri dari 90 petani kakao, 18 pedagang pengumpul,
dua pedagang besar dan satu industri olahan. Analisis deskripsi rantai pasok biji
kakao menggunakan kerangka proses FSCN. Efisiensi pemasaran diukur dari
marjin pemasaran, analisis farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Faktorfaktor yang menentukan pilihan petani terhadap rantai pasok yang digunakan
pendekatan kuantitatif dengan model regresi multinomial logit, serta analisis nilai
tambah yang digunakan adalah metode Hayami.
Petani kakao di Kabupaten Madiun sebagian besar (87,14%) berada pada
usia produktif, dengan tingkat pendidikan yang masih cukup rendah yaitu
sebagian besar tamat SD (66,71%). Namun, pengalaman petani di Kabupaten
Madiun dalam usaha tani sudah tinggi yaitu sekitar 11 sampai dengan 20 tahun

(40,00%). Faktor umur, pendidikan, dan pengalaman berusaha tani mempunyai
peranan penting bagi petani dalam mengembangkan usaha taninya baik dari segi
produksi maupun produktivitas. Sebagian besar petani kakao (64,29%)
menjadikan usaha tani kakao sebagai usaha tani utama untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari karena tidak memiliki keahlian lain selain bertani dan juga
kondisi alam yang sesuai untuk berusaha tani kakao. Biji kakao kering yang

dihasilkan oleh petani kakao di Kabupaten Madiun per minggu masih relatif
rendah yaitu kurang dari 10 kilogram (60,00%) dengan harga jual bervariasi
tergantung dari kualitasnya. Sebagian besar (62,86%) harga biji kakao kering per
kilogram kurang dari Rp 14.000.
Secara keseluruhan rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun berjalan
lancar, dengan sudah memiliki sasaran yang jelas, struktur hubungan rantai yang
baik, adanya penerapan manajemen, dan proses bisnis yang sudah berjalan dengan
baik. Namun, masih terdapat kendala yaitu pada sumber daya rantai pasok,
terutama pada sumber daya modal dan sumber daya manusia. Sampai saat ini
sebagian besar pelaku pada rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun hanya
melakukan aktivitas penjemuran terhadap biji kakao dan sebagian kecil sudah
melakukan fermentasi terhadap biji kakao.
Rantai pasok biji kakao yang berada di Kabupaten Madiun terdiri dari empat

saluran berdasarkan pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya. Jika dilihat dari
marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya, maka saluran
empat lebih efisien dibandingkan saluran lainnya. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan petani kakao untuk menjual biji kakao
yaitu umur petani, pendidikan petani, harga jual biji kakao, dan mata pencaharian
utama petani. Semakin tua umur petani, semakin banyak pengalaman bertani, dan
semakin tinggi pendidikan petani, cenderung memilih untuk menjual biji kakao ke
pedagang pengumpul tingkat desa dibandingkan kepada pedagang pengumpul
tingkat kecamatan. Dan petani yang bermata pencaharian utama bertani kakao
cenderung memilih untuk menjual biji kakao ke pedagang pengumpul tingkat
desa. Selain itu diketahui pula kecenderungan petani dalam memilih penjualan biji
kakao kering kepada pedagang pengumpul tingkat desa atau pedagang pengumpul
tingkat kabupaten. Semakin tua, petani cenderung memilih untuk menjual biji
kakao ke pedagang pengumpul tingkat desa, dibandingkan kepada pedagang
pengumpul tingkat kabupaten. Semakin tinggi harga jual biji kakao petani
cenderung memilih untuk menjual biji kakao ke pedagang pengumpul tingkat
kabupaten. Petani yang bermata pencarian utama beetani kakao cenderung
memilih untuk menjual biji kakao ke pedagang tingkat kabupaten.
Semua produk sekunder biji kakao yang dihasilkan akan dapat
meningkatkan pendapatan pelaku usaha, termasuk petani kakao. Produk sekunder

biji kakao yang menghasilkan tingkat keuntungan paling tinggi adalah bubuk
cokelat dan lemak cokelat. Untuk meningkatkan pendapatannya disarankan agar
petani meningkatkan kualitas biji kakao dengan cara mengurangi kadar air dan
melakukan fermentasi biji kakao, sehingga petani dapat langsung menjual kepada
pedagang besar dengan harga lebih baik. Untuk meningkatkan kinerja industri
olahan kakao skala kecil dan menengah diperlukan peran Puslitkoka dan
sebaiknya pemerintah dapat mencarikan akses pasar khusus untuk industri olahan
kakao skala kecil dan menengah.
Kata kunci: Pilihan Saluran Pemasaran, Keuntungan, Skala Kecil dan Menengah,
Rantai Pasok

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

 

PEMASARAN DAN NILAI TAMBAH BIJI KAKAO
DI KABUPATEN MADIUN, JAWA TIMUR

INDRA AKBAR DILANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis


: Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si

Penguji Wakil Program Studi pada Ujian Tesis

: Dr. Ir. Suharno, M.ADev

Judul Tesis : Pemasaran dan Nilai Tambah Biji Kakao di Kabupaten Madiun,
Jawa Timur
Nama
: Indra Akbar Dilana
NIM
: H451110551

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
Ketua

Dr. Amzul Rifin, SP, M.A

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

 

PRAKATA


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
Pemasaran dan Nilai Tambah Biji Kakao di Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Dr. Amzul Rifin, SP, M.A selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
melaksanakan penelitiannya dengan baik dan menyelesaikan tesis ini. Terima
kasih kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah,
Kementerian Perindustrian, Dr. Ir. Busharmaidi, MS yang memberikan
kesempatan pada penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana di IPB Bogor.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, dan kedua
adik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat penulis
yang telah banyak memberi semangat dan dukungan.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada semua
orang yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini. Mudah-mudahan
tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Februari 2013

Indra Akbar Dilana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1
5
8
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rantai Pasok
Saluran Pemasaran Komoditas Pertanian
Nilai Tambah Komoditas Pertanian

11
12
13

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Rantai Pasok
Manajemen Rantai Pasok
Saluran Pemasaran
Logistik
Efisiensi Pemasaran
Nilai Tambah
Kerangka Pemikiran Operasional

15
15
15
17
18
20
23
24

4 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Rantai Pasok Biji Kakao
Analisis Saluran Pemasaran Biji Kakao
Analisis Efisiensi Pemasaran
Analisis Pilihan Saluran Pemasaran (Marketing Channel Choice) Biji
Kakao
Analisis Nilai Tambah Pengolahan Biji Kakao
5 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Peranan Subsektor Perkebunan
Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat
Karakteristik Usaha Tani Kakao Rakyat

27
27
27
28
28
28
30
31
33
36
39
40
44

Karakteristik Petani kakao

52

6 RANTAI PASOK BIJI KAKAO KABUPATEN MADIUN
Sasaran Rantai Pasok
Sasaran Pasar
Sasasaram Pengembangan
Struktur Hubungan Rantai Pasok
Petani Kakao
Pedagang Pengumpul Tingkat Desa
Pedagang Pengumpul Tingkat Kecamatan
Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten
Pedagang Besar
Manajemen Rantai Pasok
Pemilihan Mitra
Kesepakatan Kontraktual
Sistem Transaksi
Dukungan Pemerintah
Kolaborasi Rantai Pasok
Sumber Daya Rantai Pasok
Sumber Daya Fisik
Sumber Daya Teknologi
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Modal
Proses Bisnis Rantai Pasok
Hubungan Proses Bisnis Rantai Pasok
Pola Distribusi
Anggota Rantai Pendukung
Perencanaan Kolaboratif
Penelitian Kolaboratif
Jaminan Identitas Merek
Aspek Resiko
Trust Building
Kinerja Rantai Pasok
Marjin Pemasaran
Farmer’s Share
Rasio Keuntungan dan Biaya
Efisiensi Pemasaran

55
55
56
57
57
59
60
61
61
63
63
64
64
65
66
68
68
69
69
70
71
71
73
79
79
80
80
81
81
82
82
88
89
91

7 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN SALURAN
PEMASARAN BIJI KAKAO

93

8 NILAI TAMBAH BIJI KAKAO
Pemetaan Pelaku Aktivitas Nilai Tambah Biji Kakao
Analisis Nilai Tambah Biji Kakao

101
103

9 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

113
114

DAFTAR PUSTAKA

117

LAMPIRAN 

DAFTAR TABEL
1

Rincian peubah penjelas pada model regresi multinomial logit

34

2

Prosedur perhitungan nilai tambah produksi

37

3

Penggunaan lahan pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan,
perburuan dan perikanan di Kabupaten Madiun tahun 2010

39

4

Lokasi dan volume bantuan perluasan tanaman kakao tahun 2012

43

5

Perkembangan produksi dan produktivitas komoditas kakao rakyat
per kecamatan tahun 2009-2011 di Kabupaten Madiun

44

6

Karakteristik usaha tani kakao di Kabupaten Madiun tahun 2012

50

7

Karakteristik petani kakao di Kabupaten Madiun tahun 2012

53

8

Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga-lembaga pemasaran

9

biji kakao di Kabupaten Madiun

83

Analisis marjin pemasaran biji kakao di Kabupaten Madiun

87

10 Farmer’s share pada saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten
Madiun

88

11 Biaya pemasaran biji kakao kering yang dikeluarkan oleh setiap
lembaga tahun 2012

89

12 Rasio keuntungan dan biaya untuk setiap saluran pemasaran biji
kakao di Kabupaen Madiun

90

13 Nilai efisiensi pemasaran pada masing-masing pola saluran
pemasaran biji kakao di Kabupaten Madiun

91

14 Uji kesesuaian model

96

15 Hasil uji likelihood ratio

97

16 Estimasi parameter dan odds ratio

98

17 Jenis alat yang dimiliki oleh Putri Wilis

103

18 Proporsi hasil pasta, bubuk, dan lemak cokelat per 100 Kg bahan baku

105

19 Hasil analisis nilai tambah pada pengolahan biji kakao menjadi
produk sekunder kakao dengan Metode Hayami Juli 2012

 
 
 

107

DAFTAR GAMBAR
1

Neraca perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2007-2011

1

2

Luas areal perkebunan kakao 10 besar provinsi di Indonesia 2010

2

3

Produksi kakao 10 besar provinsi di Indonesia tahun 2010

3

4

Zona pengembangan perkebunan di Provinsi Jawa Timur tahun 2011

3

5

Skema diagram rantai pasok dari perspektif pengolah

16

6

Saluran pemasaran konsumen

19

7

Aliran sistem logistik dalam dan diantara perusahaan

19

8

Marjin pemasaran

22

9

Kerangka pemikiran operasional penelitian

26

10 Kerangka analisis deskriptif rantai pasok

29

11 Prosedur analisis model regresi multinomial logit

35

12 Persentase nilai PDRB per sub sektor Kabupaten Madiun 2006-2009

39

13 Proses pemanenan kakao di Desa Padas, Kecamatan Dagangan

40

14 Tanaman kakao di Desa Kare, Kecamatan Kare

41

15 Tanaman kakao di Desa Batok, Kecamatan Gemarang

42

16 Jenis pupuk yang digunakan petani kakao di Kabupaten Madiun

45

17 Kotak fermentasi biji kakao

47

18 Proses penjemuran biji kakao oleh petani di Kabupaten Madiun

48

19 Unit pengolahan kakao di Kecamatan Dagangan

49

20 Struktur rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun

58

21 Pertemuan rutin kelompok petani kakao di Kabupaten Madiun

67

22 Proses bisnis dalam rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun

72

23 Posisi kekuatan tawar antar anggota rantai pasok biji kakao

73

24 Pemecahan buah kakao dengan menggunakan benda tajam

74

25 Gudang penyimpanan biji kakao milik pedagang pengumpul

75

26 Aliran produk rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun

76

27 Aliran finansial rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun

77

28 Aliran informasi rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun

78

29 Saluran pemasaran komoditas kakao Kabupaten Madiun

94

30 Sentra industri kecil kakao Putri Wilis

102

31 Tahap pengolahan biji kakao menjadi produk antara oleh Putri Wilis

104

32 Produk Aantara hasil produksi Putri Wilis

106

DAFTAR LAMPIRAN
1

Perkembangan luas lahan komoditas kakao rakyat per kecamatan
tahun 2009-2011 di Kabupaten Madiun (Ha)

121

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk
dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011,
Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai
Gading (1.51 juta ton), Ghana (1.03 juta ton), dan Indonesia (440 ribu ton). Pada
tahun itu, devisa yang diterima dari ekspor kakao dan produk turunannya
mencapai 1.35 milyar USD (Pusdatin-Kementerian Perindustrian, 2012). Pada
posisi yang demikian, peran agribisnis kakao cukup penting bagi perekonomian
nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan petani,
dan sumber devisa negara.
Kualitas dan cita rasa kakao Indonesia relatif sama dengan kakao Ghana.
Kelebihan utama kakao Indonesia di pasar dunia adalah titik lelehnya yang tinggi
sehingga cocok untuk blending. Selain itu, kakao Indonesia mengandung lemak
cokelat dan dapat menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik
(Kementerian Perindustrian, 2011). Oleh karena itu, kakao Indonesia mempunyai
peluang untuk menguasai pasar, baik pasar ekspor maupun domestik khususnya
untuk produk-produk olahan. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan
industri kakao sebagai salah satu pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup
terbuka.
Sebagai negara net ekspor, selama periode 2007 sampai 2010 neraca
perdagangan kakao Indonesia memiliki tingkat laju pertumbuhan rata-rata sebesar
24 persen per tahun. Pada periode yang sama, tingkat laju pertumbuhan rata-rata
perdagangan ekspor kakao Indonesia adalah sebesar 25 persen per tahun dan
impor sebesar 32 persen per tahun. Namun pada tahun 2011, neraca perdagangan
kakao, ekspor dan juga impor mengalami penurunan dari tahun 2010, yaitu
sebesar 50 persen untuk neraca perdagangan, 48 persen untuk ekspor, dan 30
persen untuk impor. Hal tersebut terjadi karena telah diterapkannya bea keluar
terhadap ekspor biji kakao. Neraca perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2007
hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Neraca perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2007-2011
Sumber: Pusdatin–Kemenperin (2012)

2
Perkembangan agribisnis kakao tidak lepas dari adanya dukungan kebijakan
pemerintah diantaranya Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan
Mutu Kakao (Gernas Kakao), Kluster Industri Kakao, penghapusan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan penerapan bea keluar atas ekspor biji kakao.
Perkembangan agribisnis kakao tidak hanya berkontribusi pada sektor usaha tani
dan ekspor tetapi juga mendorong pengembangan wilayah dan agroindustri di
Indonesia.
Menurut Ditjenbun (2012), perkembangan agribisnis kakao ke depan lebih
diprioritaskan pada upaya rehabilitasi dan peremajaan untuk meningkatkan
produktivitas kebun kakao, di samping terus melakukan perluasan. Pengembangan
agribisnis kakao difokuskan terutama di sentra-sentra perkebunan kakao yang ada
saat ini yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur,
Kalimantan Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Maluku dan Irian Jaya.
Pada tahun 2010, pembagian luas areal perkebunan kakao di Indonesia
berdasarkan 10 besar provinsi dengan total luas areal mencapai 1.65 juta hektar
dapat dilihat pada Gambar 2.
16%

Sulawesi Selatan

17%

Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara

3%

Sulawesi Barat

4%
14%

4%

Sumatera Utara
Sumatera Barat

5%

Aceh
Lampung

5%
15%

6%
11%

Jawa Timur
Nusa Tenggara Timur
Lainnya

Gambar 2 Luas areal perkebunan kakao 10 besar Provinsi di Indonesia 2010
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, 2012

Jumlah produksi kakao Indonesia pada tahun 2010 berdasarkan 10 besar
provinsi dengan total produksi buah mencapai 844 ribu ton dapat dilihat pada
Gambar 3. Sentra produksi utama kakao berada di Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Selatan. Namun menurut Arthur (2012), beberapa tahun terakhir ini produksi pada
kedua daerah itu mengalami penurunan. Berbeda halnya dengan daerah Jawa
Timur yang juga merupakan sentra produksi, selama tiga tahun terakhir produksi
biji kakao kering meningkat dari 22 676 ton tahun 2009, menjadi 24 198 ton tahun
2010, dan 27 522 ton tahun 2011. Di Provinsi Jawa Timur, komoditas kakao
merupakan komoditas strategis yang dapat meningkatkan pendapatan petani
perkebunan dan tumbuhnya sentra ekonomi regional. Kakao di Provinsi Jawa
Timur memiliki perkembangan yang baik sejalan dengan kebijakan pemerintah
terhadap peningkatan petani tanaman keras. Dengan prospek cerah di pasar bebas,
tanaman kakao menjadi komoditas unggulan Provinsi Jawa Timur.

3
Sulawesi Selatan
11%
1%
3%
3%
4%

Sulawesi Tengah

21%

Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Sumatera Utara

4%

Sumatera Barat
17%

8%

Aceh
Lampung
Jawa Timur
Nusa Tenggara Timur

12%
16%

Lainnya

Gambar 3 Produksi kakao 10 besar provinsi di Indonesia tahun 2010
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, 2012

Menurut kajian yang dilakukan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur dan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (2011), kebijakan Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Timur menempatkan komoditas kakao sebagai komoditas prioritas
utama untuk dikembangkan, dengan pertimbangan yaitu potensi lahan di Jawa
Timur yang memenuhi persyaratan agroklimat untuk komoditas kakao masih
tersedia cukup luas, utamanya di Zona Tengah maupun Zona Pantai Selatan Jawa
(Gambar 4), baik sebagai komoditas utama maupun tanaman diversifikasi; minat
masyarakat atau petani untuk menanam kakao sangat besar; daya saing kakao
terhadap komoditas perkebunan lainnya cukup kuat; petani memperoleh
pendapatan secara kontinu dari hasil penjualan kakao; dan peluang pasar
komoditas kakao masih terbuka lebar.

Gambar 4 Zona pengembangan perkebunan di Provinsi Jawa Timur tahun 2011
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur (2012)

4
Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur (2012), pengusahaan
perkebunan kakao di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2011 secara total memiliki
luas lahan 65 712 hektar yang dijalankan oleh rakyat sebesar 49 persen (30 139
Ha), negara sebesar 43 persen (26 487 Ha), dan swasta 8 persen (4 543 Ha).
Pengembangan kakao di Provinsi Jawa Timur didukung dengan adanya Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Jember untuk melakukan
penelitian dan pengembangan inovasi teknologi di bidang budidaya dan
pengolahan hasil kakao. Sentra perkebunan kakao rakyat di Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2011 seluas 30 139 hektar terbagi atas Kabupaten Madiun (4 751 Ha),
Kabupaten Pacitan (4 170 Ha), Kabupaten Trenggalek (3 500 Ha), Kabupaten
Blitar (3 363 Ha), serta 18 kabupaten lainnya seperti Ponorogo, Malang, Nganjuk
dan lain-lain (Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur , 2012).
Meskipun Indonesia memiliki potensi produksi biji kakao yang besar, akan
tetapi Indonesia belum memanfaatkan potensi tersebut secara optimal sehingga
nilai tambah yang diperoleh masih rendah. Rendahnya nilai tambah kakao
nasional tercermin dari nilai ekspor kakao Indonesia yang masih didominasi oleh
nilai ekspor produk primernya (biji kakao) dibandingkan dengan ekspor produk
sekundernya. Menurut Pusdatin- Kementerian Perindustrian (2012), pada tahun
2010 nilai ekspor biji kakao mencapai 72 persen dari keseluruhan total nilai
ekspor produk olahan kakao. Namun setelah diberlakukannya bea keluar terhadap
ekspor biji kakao, proporsi dari ekspor biji kakao menjadi berkurang yaitu 46
persen.
Menurut ICCO (2011), pada tahun 2010, konsumsi cokelat dunia masih
didominasi negara-negara maju terutama masyarakat Eropa, dengan Belgia
sebagai negara dengan tingkat konsumsi rata-rata tertinggi yaitu 5.67 kg per
kapita per tahun. Sedangkan tingkat konsumsi rata-rata masyarakat Indonesia
hanya 0.07 kg per kapita per tahun. Masih rendahnya konsumsi cokelat tersebut,
dapat menjadi peluang untuk mengoptimalkan potensi pasar dengan memperbesar
pasar domestik yang kemudian dapat mendukung perkembangan industri
pengolahan kakao nasional, memperbaiki nilai tambah kakao bagi petani, industri
dan negara sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor.
Pada pengembangan agribisnis kakao khususnya subsistem pengolahan
memang dibutuhkan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan adanya investor
terutama untuk pengembangan industri pengolahan kakao yang menghasilkan
produk dengan kualitas yang baik. Namun, untuk industri makanan yang berasal
dari cokelat, dapat dikembangkan oleh industri kecil dan menengah yang relatif
tidak memerlukan investasi terlalu besar dan dapat menggunakan teknologi yang
lebih sederhana. Beberapa industri kecil dan menengah yang sudah dikenal
namanya antara lain Monggo yang berasal dari Yogyakarta dan Chocodot yang
berasal dari Garut.
Adanya potensi pengembangan komoditas kakao di Provinsi Jawa Timur,
dan Kabupaten Madiun pada khususnya akan sangat baik apabila didukung
dengan suatu sistem pemasaran yang efisien. Selain itu juga, kakao sebagai
tanaman perkebunan, pengusahaannya pada umumnya diorientasikan ke pasar
bukan untuk dikonsumsi sendiri. Sistem pemasaran yang efisien dapat dilihat dari
tingkat harga dan stabilitas harga. Semakin tinggi harga jual biji kakao, petani
akan termotivasi untuk meningkatkan produksinya. Artinya tidak cukup hanya
dengan meningkatkan produktivitas kakao, namun harus diikuti usaha

5
penyempurnaan atau perbaikan dalam sistem pemasaran. Perbaikan dalam sistem
pemasaran bertujuan memperbesar tingkat efisiensi pemasaran diupayakan
dengan memperbesar nilai yang diterima petani, memperkecil biaya pemasaran
dan terciptanya harga jual dalam batas kemampuan daya beli konsumen. Namun,
pada umumnya, kondisi tersebut tidak terjadi pada petani kakao. Seperti yang
terjadi pada pemasaran biji kakao di Lampung Timur, petani menjadi pihak yang
cukup dirugikan. Harga yang diterima petani masih relatif rendah dibandingkan
dengan harga pasar eksportir yaitu sebesar 62.31 persen. Pada pemasaran biji
kakao di Lampung Timur, arus informasi harga berasal dari eksportir, kemudian
diteruskan kepada pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang pengumpul
tingkat desa hingga petani kakao. Arus informasi ini menjadikan petani sebagai
penerima harga (Baktiawan, 2008).
Para pelaku pemasaran yang saling berhubungan membentuk suatu saluran
pemasaran. Saluran pemasaran merupakan salah satu faktor pendukung suksesnya
pemasaran. Menurut Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (2009), dalam
saluran pemasaran biji kakao di beberapa sentra kakao di Pulau Sulawesi, banyak
terlibat lembaga perantara seperti pedagang pengumpul desa, pedagang
pengumpul kecamatan, pedagang besar kabupaten, dan eksortir. Dan tiap lembaga
memiliki perilaku yang berbeda, sehingga petani kakao akan memilih saluran
mana yang akan menguntungkannya.
Pada saluran pemasaran terdapat aliran pemasaran yang saling berkaitan
menciptakan nilai tambah pemasaran di tiap tingkatan saluran pemasaran.
Perkembangan ini merupakan sebuah peluang usaha dengan melakukan kegiatan
pemasaran biji kakao sehingga nilai tambah dari usaha ini dapat dinikmati oleh
setiap lembaga pemasaran yang berperan di Kabupaten Madiun. Pengembangan
komoditas kakao di Kabupaten Madiun sebaiknya tidak hanya didukung oleh
sistem pemasaran yang efisien, tetapi juga adanya pengolahan terhadap biji kakao
akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing biji kakao Kabupaten Madiun,
yang kemudian akan meningkatkan harga biji kakao di pasaran. Selain
mempengaruhi pendapatan nasional secara keseluruhan, peningkatan produksi
komoditas kakao dan olahannya akan mempengaruhi kesejahteraan petani kakao
di Kabupaten Madiun khususnya.
Mengingat pentingnya peran komoditas kakao dan potensi pengembangan
produk olahannya terhadap perekonomian Kabupaten Madiun, maka sangat
relevan apabila dilakukan penelitian mengenai pemasaran dan nilai tambah dari
pengolahan biji kakao di Kabupaten Madiun.

Perumusan Masalah
Kecenderungan perdagangan global yang semakin terbuka dan kompetitif
merupakan peluang dan tantangan yang sama besarnya bagi seluruh pelaku bisnis,
termasuk pelaku dalam rantai pasok kakao. Pemasaran kakao Indonesia terutama
biji kakao telah mencapai pasar internasional. Sebagian besar biji kakao Indonesia
diekspor ke luar negeri, walaupun sudah ada beberapa industri pengolahan biji
kakao menjadi produk setengah jadi. Perkembangan ekspor biji kakao dari
Indonesia relatif menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga ini
merupakan peluang bagi Indonesia untuk dapat memperoleh pendapatan devisa

6
dari komoditas ini. Negara tujuan ekspor utama biji kakao Indonesia adalah
Malaysia, Amerika Serikat, dan Singapura. Rata-rata lebih dari 50 persen biji
kakao Indonesia diekspor ke Malaysia, sementara lebih dari 16 persen diekspor ke
Amerika Serikat dan lebih dari 13 persen diekspor ke Singapura. Biji kakao
Indonesia tersebut diolah di berbagai negara importir tersebut sehingga memiliki
nilai jual yang lebih tinggi dan sebagian besar diolah menjadi produk antara untuk
dapat diekspor kembali ke negara produsen olahan cokelat akhir seperti Eropa dan
juga diekspor kembali ke Indonesia.
Industri kakao Indonesia kedepan memiliki peranan penting khususnya
dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena industri ini
memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu maupun ke hilirnya. Di samping
memberikan pendapatan bagi petani melalui penjualan biji kakao, apabila diolah
di dalam negeri menjadi kakao olahan (cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter,
dan cocoa powder) atau yang sering dikenal dengan hilirisasi akan dapat
meningkatkan nilai tambah kakao, menguatkan struktur industri kakao, menyerap
tenaga kerja, meningkatkan pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya dan
pengembangan wilayah industri. Saat ini, industri hilir olahan kakao telah
berkembang di Indonesia seperti industri cokelat, industri makanan berbasis
cokelat (roti, kue, confectionary/kembang gula cokelat), dan penggunaan coklat
untuk industri makanan dan minuman secara luas. Selain itu juga dalam skala
menengah telah muncul industri olahan kakao yang memproduksi produk
kosmetik seperti sabun, scrub, dan produk lulur. Perkembangan agroindustri
komoditas kakao selama tahun 2007 hingga 2010 relatif stabil, yaitu sekitar
seratus perusahaan. Menurut Kementerian Perindustrian (2011), investasi pada
agroindustri kakao sampai dengan tahun 2014 diproyeksikan akan meningkat
sejalan dengan pertumbuhan neraca perdagangan komoditas kakao.
Sejak April 2010, pemerintah memberlakukan kebijakan bea keluar untuk
biji kakao yang akan diekspor. Menurut teori perdagangan internasional,
penerapan bea keluar akan membuat harga ekspor meningkat sedangkan harga
domestik akan menurun dibandingkan tanpa kebijakan tersebut. Dengan
demikian, secara logika kebijakan ini akan menguntungkan industri pengolahan
kakao domestik karena harga bahan baku utamanya akan turun sedangkan bagi
eksportir dan petani akan dirugikan karena harga jual biji kakao di tingkat petani
dan harga ekspor akan turun. Pada kenyataannya pihak industri pengolahan kakao
mendukung kebijakan ini sedangkan para eksportir dan petani menentang. Selain
itu, kebijakan ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku biji kakao
dalam negeri dan untuk meningkatkan nilai tambah serta daya saing industri
pengolahan dalam negeri.
Di lain pihak, secara tidak langsung kebijakan tersebut akan berdampak
kepada petani selaku produsen biji kakao dan meningkatnya persaingan antara
industri pengolahan dan eksportir pada rantai pasok kakao dari petani. Kondisi
tersebut juga diduga akan mendorong para eksportir dan industri pengolahan
untuk membangun hubungan dengan petani dalam meningkatkan rantai pasok
kakao yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Perkembangan produksi kakao di Jawa Timur tiap tahun mengalami
peningkatan, namun belum didukung adanya industri pengolahan kakao yang
memadai. Menurut DJIKM-Kemenperin (2011), hanya ada dua industri olahan
kakao yang berada di Provinsi Jawa Timur adalah PT. Teja Sekawan (kapasitas 24

7
500 ton) dan PT. Budidaya Kakao Lestari (kapasitas 15 000 ton). Dari kapasitas
yang dimiliki kedua industri olahan tersebut PT. Teja Sekawan hanya berproduksi
33 persen (8 000 ton) dari kapasitasnya, begitu juga PT. Budidaya Kakao Lestari
(5 000 ton).
Seharusnya dengan kapasitas yang dimiliki oleh kedua industri olahan
tersebut, semua biji kakao yang dihasilkan oleh petani di Jawa Timur dapat
tersalurkan dan petani tidak mengalami kesulitan dalam mendistribusikan
hasilnya. Jika petani lebih mudah dalam memasok produksinya, maka petani akan
meningkatkan produksinya yang pada akhirnya akan meningkatkan penghasilan
petani. Namun, dua industri olahan tersebut belum maksimal dalam menyerap
hasil panen dari petani kakao. Selama ini sekitar 60-70 persen biji kakao dipasok
ke luar Jawa Timur tepatnya di pabrik yang berlokasi di Tangerang, sisanya 40
persen diekspor dalam bentuk biji kering.
Kabupaten Madiun sebagai sentra terbesar perkebunan kakao rakyat di
Provinsi Jawa Timur. Pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten
Madiun masih memiliki peluang dan potensi yang cukup besar, terutama bila
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih
mengandalkan perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Dukungan
kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan tanaman kakao, turut
memberikan peluang yang besar terhadap pengembangan usaha tanaman kakao di
wilayah ini.
Pengusahaan perkebunan kakao di Kabupaten Madiun memiliki
karakteristik tingkat produktivitas dan kualitas yang masih rendah. Walaupun
mengalami peningkatan luas areal dan produksi biji kakao seringkali tidak diikuti
dengan peningkatan pendapatan yang signifikan, hal ini dikarenakan posisi tawar
(bargaining position) petani lemah yang menyebabkan petani mendapatkan nilai
jual biji kakao yang rendah.
Pengusahaan tanaman perkebunan termasuk kakao pada umumnya
diorientasikan ke pasar, bukan untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu sistem
pemasaran merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dalam memproduksi
suatu komoditas. Selain itu juga, dalam menghadapi liberalisasi perdagangan
pemasaran mempunyai peranan penting dalam meningkatkan daya saing
komoditas kakao. Lemahnya sistem pemasaran akan memperlemah daya saing
yang selanjutnya akan mengurangi pendapatan pelaku usaha.
Pemasaran yang efektif sangat dibutuhkan dalam memasarkan biji kakao,
salah satu faktor yang menentukan adalah tingkat harga dan stabilitas harga.
Semakin tinggi harga jual biji kakao, petani akan termotivasi untuk meningkatkan
produksinya. Hal ini berarti, tidak cukup hanya dengan meningkatkan luas areal
tanaman kakao maupun produksi biji kakao, harus diikuti usaha penyempurnaan
atau perbaikan dalam bidang pemasaran. Memperbesar nilai yang diterima petani
kakao, memperkecil biaya pemasaran dan terciptanya harga jual dalam batas
kemampuan daya beli konsumen merupakam perbaikan bidang pemasaran yang
bertujuan memperbesar tingkat efisiensi pemasaran. Untuk mencapai pendapatan
yang diharapkan petani kakao, dalam memasarkan produk yang dihasilkannya
memperhitungkan beberapa hal seperti, banyak produksi, lokasi pemasaran, biaya
pengangkutan, saluran serta sifat persaingan. Petani kakao bebas memasarkan
hasil usaha sesuai pilihannya, misalnya dapat dipasarkan ke pedagang pengumpul,
pedagang besar ataupun koperasi unit desa. Karateristik yang unik pada

8
pemasaran komoditas pertanian adalah mata rantai alur produk yang dilalui dari
mulai petani sampai dengan konsumen sangat panjang sehingga secara umum
saluran pemasaran komoditas kakao diindikasikan banyak pelaku yang terlibat
baik langsung maupun tidak langsung dalam pengaliran komoditas tersebut.
Menurut Dinas Perkebunan Kabupaten Madiun (2008), terdapat perjenjangan
pedagang untuk penjualan produksi perkebunan oleh petani yaitu pedagang
pengumpul tingkat dusun, pedagang desa, dan pedagang kecamatan.
Pada sistem pemasaran terdapat aliran pemasaran dimana pada setiap
tingkatannya akan terbentuk nilai tambah tersendiri. Pemasaran biji kakao yang
dilakukan pada aliran pemasaran yang terdapat di Kabupaten Madiun merupakan
salah satu kegiatan untuk menambah nilai, dimana dengan proses pemasaran akan
menyebabkan pertambahan nilai yang dilihat dari sudut adanya pertambahan
harga jual biji kakao. Maka yang menjadi beberapa pertanyaan awal dalam
penelitian adalah pemasaran biji kakao di Kabupaten Madiun secara umum
dengan melihat rantai pasok? Dan aktivitas-aktivitas yang menambah nilai (valueadded activities) yang dilakukan para pelaku pada rantai pasok biji kakao serta
bagaimana distribusi nilai tambahnya yang terjadi di Kabupaten Madiun.
Pada proses pemasaran biji kakao, lembaga perantara memegang peranan
yang penting dalam mata rantai aliran biji kakao, hal ini menyebabkan perbedaan
tingkat harga di tiap-tiap lembaga pemasaran, sehingga memungkinkan
bekerjanya sistem pemasaran yang kurang efisien. Maka yang menjadi pertanyaan
berikutnya dalam penelitian adalah pilihan saluran pemasaran (marketing channel
choice) yang dilakukan petani pada rantai pasok biji kakao yang terjadi di
Kabupaten Madiun? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan petani
kakao?
Adanya pengolahan hasil dan perbaikan mutu hasil produksi akan
berpengaruh terhadap penerimaan marjin dan insentif yang diterima oleh petani,
pedagang maupun industri olahan. Kabupaten Madiun merupakan sentra
perkebunan kakao rakyat paling besar di Jawa Timur yang dikelilingi oleh
beberapa kabupaten sentra tanaman kakao, seperti Lumajang, Malang, Kediri,
Jombang, Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk, Pacitan, Ngawi, Ponorogo, dan
Blitar. Dengan kondisi yang ada, seharusnya Kabupaten Madiun dapat mendirikan
pabrik pengolahan biji kakao dan cokelat yang akan berdampak positif terhadap
laju perekonomian di daerah tersebut, baik terhadap petani kakao maupun
pedagang. Dari uraian tersebut, yang menarik untuk dipertanyakan adalah nilai
tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji kakao menjadi produk turunannya
jika hal tersebut dilakukan di Kabupaten Madiun.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis:
1. Performance rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun.
2. Aktivitas-aktivitas yang menambah nilai (value-added activities) yang
dilakukan para pelaku pada rantai pasok biji kakao dan distribusi nilai tambah
diantara para pelaku tersebut di Kabupaten Madiun.

9
3. Faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran (marketing channel
choice) yang dilakukan petani pada rantai pasok biji kakao di Kabupaten
Madiun.
4. Besarnya nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji kakao menjadi
produk turunannya di Kabupaten Madiun.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi rekomendasi kebijakan yang
mendukung pengembangan agribisnis kakao untuk meningkatkan kesejahteraan
petani kakao Indonesia pada umumnya dan Kabupaten Madiun pada khususnya.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai rujukan bagi peneliti yang
akan melakukan penelitian terkait dengan rantai pasok, pilihan saluran pemasaran,
dan nilai tambah pada komoditas perkebunan.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mencakup tiga aspek penting. Pertama, menganalisis
performance rantai pasok biji kakao di Kabupaten Madiun dengan menggunakan
Food Supply Chain Network (FSCN). FSCN merupakan kerangka analisis yang
tepat dalam melihat performance rantai pasok dari produk pertanian maupun
pangan, dimana dalam penelitian ini adalah biji kakao. Pada FSCN dapat
dilakukan penilaian kinerja rantai pasok, untuk mengetahui kepuasan konsumen
dan seluruh anggota rantai pasok. Pengukuran kinerja rantai pasok dapat dilihat
dengan efisiensi pemasaran yang mencerminkan efisiensi rantai pasok. Semua
anggota rantai pasok berada pada Kabupaten Madiun, kecuali konsumen perantara
yaitu pedagang besar yang berada di Kabupaten Blitar dan Kota Yogyakarta.
Kedua, menganalisis pilihan saluran pemasaran yang dilakukan oleh petani
kakao di Kabupaten Madiun dalam menjual biji kakao kering yang dihasilkan.
Keputusan dalam memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting
dalam manajemen rantai pasok. Banyak hal yang mempengaruhi keputusan petani
kakao dalam menentukan pilihan saluran pemasaran. Faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi diantaranya umur petani, lama bertani, pendidikan petani, hasil
panen biji kakao kering, harga biji kakao kering per kilogram, dan mata
pencaharian utama petani kakao.
Ketiga, menganalisis nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan biji
kakao di Kabupaten Madiun yang masih dalam tahap pengembangan. Pengolahan
biji kakao dilakukan oleh industri skala kecil dan menengah yang menghasilkan
produk antara kakao dengan menggunakan bahan baku biji kakao fermentasi.
Keterbatasan utama penelitian ini adalah dalam melihat performance rantai
pasok dan saluran pemasaran tidak sampai pada produk hilir komoditas kakao,
tetapi dibatasi hanya sampai pada produk olahan pasca panen yaitu biji kakao. Hal
ini disebabkan sulit mengakses data sampai kepada industri olahan dan eksportir
komoditas kakao. Oleh sebab itu dalam melakukan pengukuran seperti farmer
share’s yang seharusnya membandingkan harga yang diterima petani kakao
dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir, hanya dapat dibatasi dari harga

10
yang diterima petani kakao dengan harga yang diterima oleh pedagang besar
sebagai konsumen antara. Keterbatasan lain adalah analisis yang dilakukan pada
tiap aspek menggunakan komoditas yang heterogen. Pada aspek rantai pasok dan
saluran pemasaran komoditas yang dianalisis adalah biji kakao kering, sementara
itu pada aspek nilai tambah komoditas yang dianalisis adalah biji kakao
fermentasi. Hal ini terjadi karena industri olahan kakao skala kecil dan menengah
yang ada di Kabupaten Madiun hanya menggunakan biji kakao fermentasi sebagai
bahan baku untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang baik. Sementara itu,
sebagian besar petani kakao di Kabupaten Madiun lebih memilih untuk hanya
menghasilkan biji kakao kering.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rantai Pasok
Pemasaran yang efisien merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu
sistem pemasaran yang dapat dilihat dari adanya kepuasan pihak-pihak yang
terlibat yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem
pemasaran yang efisien akan tercipta apabila terdapat kerjasama dan dukungan
dari pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran tersebut. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Kamdem (2012) dan Jano dan Mainville (2007), untuk
meningkatkan efisiensi pemasaran petani kakao dan pengembangan pasar kakao
diperlukan adanya dukungan kelembagaan. Salah satu bentuk dukungan
kelembagaan adalah dengan adanya organisasi berupa koperasi. Koperasi dapat
memiliki fungsi banyak hal diantaranya melakukan pemantauan terhadap nilai dan
standar kakao di seluruh rantai pemasaran, melakukan koordinasi di antara
seluruh lembaga pada rantai pemasaran, dan menyampaikan infomasi secara
terbuka mengenai hal-hal yang terkait dengan pengembangan kakao.
Kerjasama antara anggota rantai pasok dapat meningkatkan kinerja dari
rantai pasok. Fu dan Piplani (2004) telah melakukan penelitian mengenai
kolaborasi antara pemasok dan distributor dan nilai yang terdapat dalam rantai.
Kolaborasi telah diakui sebagai sebuah proses penting untuk menciptakan nilai
dalam manajemen rantai pasok. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi
nilai dari kolaborasi yang penting untuk mengembangkan mekanisme kolaborasi
yang efektif antara pemasok dan distributor dalam rantai pasok. Dengan
membandingkan dua skenario, pertama yaitu skenario tradisional, distributor tidak
menyadari keputusan persediaan pemasok dan hanya membuat keputusan
persediaan sendiri sesuai dengan informasi yang tersedia. Dalam skenario kedua
adanya kolaborasi supply-side, distributor memperhatikan kebijakan persediaan
pemasok dan tingkat layanan yang direncanakan seperti yang disediakan oleh
pemasok. Percobaan numerik menunjukkan bahwa kolaborasi supply-side
memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok dalam hal efek
stabilisasi yang lebih baik dan tingkat pelayanan.
Rajagopal et al., (2009), dalam penelitian mengenai efektivitas kemitraan
rantai pasok dengan tujuan untuk mengetahui faktor yang menentukan secara
signifikan dalam kemitraan rantai pasok yang dapat diterapkan oleh perusahaanperusahaan untuk meningkatkan efektivitas. Faktor-faktor yang paling sering
diperhitungkan ketika menerapkan dan mengelola kemitraan adalah arus
informasi, infrastruktur rantai pasok, hubungan organisasi, dan pembagian sumber
daya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembagian sumber daya memiliki
pengaruh positif pada kemitraan rantai pasok dan meningkatkan kemitraan skala
juga akan menyebabkan peningkatan efektivitas kemitraan rantai pasok.
Kuswantoro et al., (2012) dalam penelitian mengenai inovasi dalam saluran
distribusi, efisiensi biaya, dan kinerja usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia
akan melihat hubungan antara inovasi dalam hal saluran distribusi dan kinerja
UKM berorientasi ekspor. Hasilnya menunjukkan bahwa inovasi dalam saluran
distribusi mempunyai pengaruh yang positif signifikan dengan efisiensi distribusi,
yang pada gilirannya, meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.

12
Bentuk inovasi dapat berupa pembagian sistem informasi, koordinasi transportasi,
pergudangan, penjadwalan produksi dan distribusi, pengemasan, dan penerimaan.

Saluran Pemasaran Komoditas Pertanian
Karakteristik yang unik pada pemasaran komoditas pertanian adalah mata
rantai alur produk yang dilalui dari mulai petani sampai dengan konsumen sangat
panjang sehingga diindikasikan banyak pelaku yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam pengaliran komoditas tersebut yang pada akhirnya
membentuk banyak saluran pemasaran. Tiap lembaga pemasaran memiliki
perilaku yang berbeda, sehingga petani kakao akan memilih saluran mana yang
akan menguntungkannya. Untuk mencapai pendapatan yang diharapkan petani,
dalam memasarkan produk yang dihasilkannya melihat beberapa hal seperti,
banyak produksi, lokasi pemasaran, biaya pengangkutan, saluran, dan sifat
persaingan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan Loilatu (2006), Baktiawan
(2008), Higuchi et al., (2012), Ogunleye dan Oladeji (2007), Zivenge dan
Karavina (2012), Ferto dan Szabo (2002), dan Sharma et al., (2009) mengenai
pilihan saluran pemasaran pada komoditas kakao dan kopi serta agribisnis lainnya
ada beberapa hal yang dapat dilihat diantaranya:
1. Petani lebih cenderung memilih memasarkan hasil panennya kepada lembaga
pemasaran dengan melihat faktor kemudahan transaksi dapat berupa waktu
pembayaran oleh pembeli setelah produk dijual dan biaya negosiasi serta
biaya transaksi, faktor harga yang lebih baik, biaya transportasi, dan
ketidakpastian pada grading produk serta ada tidaknya insentif yang diberikan
oleh saluran pemasaran. Selain faktor eksternal seperti yang disebutkan
sebelumnya, terdapat juga faktor internal yaitu faktor sosio-ekonomi petani
(luas lahan, usia, dan pendidikan) dan pemenuhan kebutuhan hidup
keluarganya.
2. Pemasaran komoditas kakao kurang memperhatikan dan sering mengabaikan
mutu biji kakao yang dihasilkan terutama menyangkut fermentasi, hal ini
dikarenakan tidak adanya insentif harga bagi petani dalam menjaga mutu biji
kakao yang dihasilkan, sehingga biji kakao kering yang dihasilkan oleh petani
kakao bermutu rendah atau asalan dan fermentasi yang tidak sempurna.
3. Adanya hubungan yang sangat kuat terjadi pada pedagang pengumpul dengan
pedagang besar dan eksportir, hal ini terlihat dari cukup tersedianya informasi
harga yang diperoleh di setiap level lembaga pemasaran. Di samping itu,
terdapat jalinan kerjasama antara lembaga pemasaran tersebut dalam
permodalan. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada petani yang tidak
mendapatkan informasi harga, bahkan jikapun ada arus informasi tersebut
menjadikan petani sebagai penerima harga. Akibatnya petani terkadang
menjadi pihak yang cukup dirugikan.
4. Selain itu, adanya kelompok tani sangat penting dalam membuat keputusan
petani untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya, memp