Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Dalam Makanan Yang Beredar Di Masyarakat Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(1)

x

CONSUMER LAW PROTECTION AGAINST UTILIZING OF

HARMFUL CHEMICAL INGREDIENTS ON FOOD THAT

MARKETED IN PUBLIC RELATED TO LAW NUMBER 8/1999

REGARDING CONSUMER PROTECTION

Rini Anggraeni

3.16.07.014

ABSTRACT

Food is a basic need for every living creature including for human to survive. As food contains nutritions provide energy for the body to grow and recover, so that human can proliferate. The increasing price of food material has made some producers substitute their ingredient utilizing harmful chemical material. It was calculated that chemical materials are much cheaper than the standarized material. Indeed, it is the consumers who are harmed by this conduct that causes health disturbance. Based on this phenomenon, researcher was interested to study about consumer protection against harmful chemical ingredients on food relating to Law Number 8/1999 regarding consumer protection. This study also described about consumer act as victim of harmful chemical food.

The type of research that conducted is a descriptive analysis by describing the facts of the primary data and secondary data which applying normative juridical method. The resulting data were analyzed by juridical qualitative, so that the hierarchy of legislation can be considered as well as to guarantee legal certainty.

The result of research showed that the utilizing harmful chemical ingredients on food is a consumer right violation. If producer was considered not qualify as regulated by Law Number 8/1999 regarding Consumer Protection in article 4,7 and 19 and producer did not comply its responsibility to the harmed consumer, sanctions will be adressed. Furthermore, criminal law will be adressed, if the producer was proved violating prohibited terms as regulated by Law Number 8/1999 in article 62.


(2)

ix

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh : Rini Anggraeni

3. 16. 07. 014

Abstrak

Makanan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh setiap makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya, terutama manusia karena di dalamnya mengandung nutrisi yang diperlukan antara lain untuk pertumbuhan badan serta memelihara jaringan tubuh yang rusak untuk berkembang biak dan proses yang terjadi di dalam tubuh. Mahalnya harga bahan-bahan sebagai campuran makanan mengakibatkan produsen makanan menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses pengolahannya, dikarenakan harganya jauh lebih murah dari bahan sesuai standar yang digunakan untuk makanan. Konsumen yang merupakan pemakai akhir dari makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut justru akan mengalami kerugian serta dampak dari bahan-bahan kimia berbahaya yang secara sengaja dicampurkan dalam makanan yang akan dijual tersebut jika dikonsumsi secara terus-menerus. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji tentang perlindungan yang diberikan kepada konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya pada makanan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, serta tindakan hukum oleh konsumen sebagai korban dari dampak penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan yang dikonsumsinya.

Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriftif analitis dengan melukiskan fakta-fakta berupa data primer dan data sekunder dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif, sehingga hirarki peraturan Perundang-Undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan penelitian, maka ditarik simpulan bahwa penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan merupakan pelanggaran hak konsumen dan pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 4, 7 dan 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, dapat juga dikenakan sanksi administratif apabila pelaku usaha tidak memenuhi seluruh kewajibannya kepada konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


(3)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan zaman telah membawa dunia pada era globalisasi, yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat. Seiring perkembangan teknologi ini terjadi pula perkembangan di banyak bidang dan salah satunya dalam bidang makanan. Makanan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh setiap mahluk hidup untuk kelangsungan hidupnya, terutama manusia karena di dalamnya mengandung nutrisi yang diperlukan antara lain untuk pertumbuhan badan serta memelihara jaringan tubuh yang rusak untuk berkembang biak dan proses yang terjadi di dalam tubuh. Fungsi makanan juga untuk penghasil energi agar dapat melakukan aktivitas, demi menunjang hal tersebut maka tentunya diperlukan makanan yang sehat dan bebas dari bahan kimia berbahaya guna menunjang tubuh yang sehat dan bebas dari penyakit.

Perkembangan teknologi tersebut juga mengakibatkan kenaikan harga yang cukup berpengaruh bagi masyarakat salah satunya dalam harga bahan makanan yang beredar di masyarakat, hal ini terlihat dari semakin beragamnya bahan makanan sesuai standar yang dipasarkan dan tersebar di berbagai daerah dalam jumlah besar maupun kecil namun dengan harga yang relatif mahal dan tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan. Mahalnya harga bahan-bahan sebagai campuran makanan tersebut mengakibatkan produsen makanan menggunakan bahan-bahan kimia dalam proses pengolahannya dikarenakan harganya jauh lebih murah dari bahan yang


(4)

2

sesuai standar untuk digunakan dalam makanan, diantaranya mengganti pemanis makanan dengan Siklamat dan/atau Sakarin, pewarna makanan dengan Rhodamin B dan untuk meningkatkan cita rasa menggunakan

Monosodium Glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan vetsin atau penyedap rasa serta formalin dan boraks untuk memberikan efek bagus dan awet pada makanan. Selain itu masih banyak bahan-bahan kimia lainnya yang digunakan dalam proses pembuatan makanan yang akan di jual kepada masyarakat dalam hal ini adalah konsumen.

Konsumen yang merupakan pemakai akhir dari makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut justru yang akan mengalami kerugian serta dampak dari bahan-bahan kimia berbahaya secara sengaja dicampurkan dalam makanan yang akan dijual tersebut jika dikonsumsi secara terus-menerus. Efek yang ditimbulkan bahan-bahan tersebut bisa sangat mengerikan, mulai dari pemicu kanker, kelainan genetik, cacat bawaan lahir apabila dikonsumsi oleh ibu hamil, melemahnya kinerja otak dan syaraf, dan masih banyak lagi efek buruk lainnya yang hal ini adalah konsumen yang paling dirugikan dan mendapatkan dampak tersebut.

Perlindungan terhadap konsumen dalam hal ini masih sangat lemah, padahal konsumen menjadi satu-satunya yang akan menanggung resiko dari dampak bahan kimia berbahaya yang dicampurkan dalam makanan oleh produsen yang tidak bertanggung jawab tersebut. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapai pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan konsumen dan akibat yang ditimbulkan dari bahan-bahan tersebutpun sangat fatal bahkan dapat menyebabkan kematian. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah


(5)

3

dijelaskan mengenai hak atas keamanan dan keselamatan bagi konsumen sehingga dapat terhindar dari kerugian fisik maupun psikis.

Kasus mengenai pelanggaran hak konsumen tersebut salah satunya yang terjadi pada bulan April 2009 di kota Binjai, Sumatera Utara, terdapat 40 produk makanan olahan hasil industri rumahan yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti boraks, rhodamin B, formalin, dan metanyl yellow

yang biasanya digunakan untuk pewarna tekstil serta boraks yang biasa digunakan untuk obat. Makanan olahan yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut adalah terasi, abon, ikan asin, lanting, dan 16 kerupuk yang berasal dari industri rumahan. Korban dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut mengakibatkan sekitar 70 orang anggota TNI dan para isterinya terpaksa dibawa ke rumah sakit tentara Binjai karena keracunan makanan setelah menghadiri acara syukuran dengan menu makanan berupa nasi, ikan asin, sayur urap dan kerupuk.1

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, penulis melakukan penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan yang Beredar di Masyarakat Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.”

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan hukum yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1

http://www.suaramedia.com, diakses pada Hari Selasa Tanggal 15 Maret 2011 Pukul 19.07 WIB.


(6)

4

A. Bagaimanakah upaya perlindungan yang diberikan kepada konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ?

B. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen sebagai korban dari dampak penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan yang dikonsumsinya ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penulisan hukum ini dimaksudkan dan ditujukan untuk :

1. Untuk memahami bagaimanakah efektifitas perlindungan hukum bagi konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Untuk menjelaskan tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen sebagai korban dari dampak penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan yang dikonsumsinya.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai perkembangan ilmu hukum terutama hukum perlindungan konsumen dan pengetahuan terhadap kasus pelanggaran yang terjadi di masyarakat.


(7)

5

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada konsumen, pemerintah dan pihak-pihak atau lembaga terkait dalam perlindungan konsumen sehingga tercipta suatu kebijakan yang seimbang dan tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan tersebut.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa :

“… dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.“

Alinea kedua pembukaan Undang-undang Dasar 1945 ini, mengandung pokok pikiran “adil dan makmur”. Adil dan makmur ini maksudnya memberikan keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai sektor kehidupan. Sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, Bentham menjelaskan bahwa “the great happiness for the greatest number”. Konsep

tersebut menjelaskan bahwa hukum memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya kepada orang sebanyak-banyaknya, kebahagiaan dalam hal ini adalah pemenuhan hak-hak konsumen oleh pelaku usaha atau distributor sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk memberikan rasa aman terhadap


(8)

6

makanan yang akan dikonsumsi oleh konsumen sehingga hak-hak tersebut dapat terpenuhi.

Selanjutnya, Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat menyatakan bahwa :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ini, mengandung pokok pikiran mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu dalam hal ini setiap korban pelanggaran hak, agar terciptanya kepastian hukum. Apabila negara tidak melakukan upaya-upaya konkret untuk melindungi korban pelanggaran hak, maka dapat dikatakan bahwa secara pasif negara merestui perbuatan-perbuatan pelanggaran hak. Pembukaan alinea keempat ini juga menjelaskan tentang pancasila yang terdiri dari lima sila yang menyangkut keseimbangan kepentingan, baik kepentingan individu, masyarakat maupun penguasa. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-menurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya yang memiliki corak partikular. Amanat dalam alinea keempat tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas


(9)

7

pemerintah saja, melainkan juga pelayanan hukum melalui pembangunan nasional.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berlandaskan berlandaskan hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan berkala (machtstaat), dan pemerintah berdasar kepada sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), maka segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal perlindungan hukum terhadap konsumen atas penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berkaitan dengan keadilan terhadap perlakuan terhadap seluruh masyarakat khususnya dalam penyelenggaraan pengadaan barang dan/atau jasa kepada publik tertuang dalam Bab 9 Tentang Pembenahan Sistem dan Politik Hukum, yaitu :

“Peraturan perundang-undangan yang baik akan membatasi, mengatur

dan sekaligus memperkuat hak warga negara. Pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka disatu sisi dapat menekan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh tindakan warga negara sekaligus juga menimbulkan dampak positif dari aktifitas warga negara. Dengan demikian hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan. Penerapan hukum yang dilakukan menciptakan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi masyarakat.”

Suatu peraturan hukum yang berisi hak dan kewajiban tentunya harus diterapkan dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat, agar tercapai tujuan ketertiban, kedamaian serta keadilan. Pelaksanaan hukum dapat terjadi


(10)

8

secara normal, damai, tanpa menyebabkan sengketa dan hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan kembali.2

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Tentang Perbuatan Melawan Hukum, menyatakan bahwa :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tersebut yaitu sebagai berikut :3

1. Perbuatan yang melawan hukum (Onrechtmatigedaad); 2. Harus ada kesalahan;

3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan; dan

4. Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.

Pelaku usaha secara dengan sengaja mencampurkan bahan-bahan kimia yang sebetulnya tidak layak atau dilarang digunakan pada proses pembuatan makanan dengan tujuan untuk mencari keuntungan lebih dan harga bahan-bahan kimia tersebut relatif murah dan mudah didapat sehingga mengorbankan hak-hak konsumen untuk mendapatkan makanan yang layak dan sehat untuk dikonsumsi.

Makanan yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut dijual kepada masyarakat, sehingga timbul hubungan jual-beli antara pelaku usaha atau distributor dengan konsumen. Pengertian jual-beli itu sendiri telah diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yaitu:

2

Abdilah Sinaga , Class Action, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2002, hlm.1

3

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2006, hlm.260


(11)

9

“Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”

Konsumen yang dalam hal ini adalah sebagai pembeli dari suatu produk makanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha mempunyai hak untuk mendapatkan barang atau makanan sesuai keinginannya serta mendapatkan jaminan atas makanannya tersebut oleh pelaku usaha, begitu pula sebaliknya pelaku usaha yang mempunyai hak untuk mendapatkan pembayaran atas makanan yang dibeli oleh konsumen tersebut yang dalam hal ini adalah makanan yang sehat dan layak untuk dikonsumsi serta bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya. Pengertian dari perlindungan konsumen disini adalah sebagai mana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” Maka berdasarkan pasal diatas, konsumen berhak untuk mendapatkan perlindungan apabila terjadi hal-hal yang dapat merugikan dirinya baik dari segi hukum maupun kesehatan.

Konsumen yang berhak untuk mendapatkan perlindungan tersebut adalah konsumen yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”


(12)

10

Berdasarkan pasal diatas, konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir, dimana konsumen akhir ini adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk yang diproduksi oleh pelaku usaha yakni pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Kemajuan dari ilmu dan teknologi mempengaruhi semakin beragamnya makanan yang beredar di masyarakat dan banyak menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Perlindungan atas hak-hak konsumen di Indonesia masih sangat kurang. Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban baik itu produsen maupun konsumen, tetapi masih dirasakan kurang apabila diterapkan pada kasus-kasus atas pengunaan bahan kimia berbahaya dalam makanan.

Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya pihak konsumen maupun pelaku usaha memahami betul tujuan dari perlindungan konsumen tersebut agar tidak ada lagi konsumen maupun pelaku usaha yang merasa dirugikan. Tujuan dari perlindungan konsumen tersebut termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan bahwa :

“Perlindungan Konsumen bertujuan :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;


(13)

11

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”

Pengusaha maupun konsumen selain mengetahui tujuan dari perlindungan konsumen tersebut juga harus memahami betul apa yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menegaskan mengenai hak-hak konsumen yang berisi :

“Hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Perlindungan terhadap konsumen masih sangat lemah, apalagi dalam perlindungan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam


(14)

12

mengkonsumsi makanan, hal ini terlihat dari semakin banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi dimasyarakat dan dampaknya bisa fatal yaitu kematian. Kejadian ini dikarenakan ketidak jujuran serta kecurangan pelaku usaha sehingga mengabaikan hak-hak konsumen untuk kepentingan pribadi.

Pandangan mengenai hak-hak konsumen yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan juga dikemukakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, yaitu :4

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (The Right to safe Products ); 2. Hak untuk mendapatkan informasi (The Right to be Informed about

Products);

3. Hak untuk memilik (The Right to Definite Choice in Selecting Products);

4. Hak untuk didengar (The Right to be Heard Regarding Consumer Interests).

Pelanggaran hukum tidak hanya dapat menimpa kepada seseorang secara individu akan tetapi dapat pula menimpa sekelompok orang dalam jumlah besar atau masyarakat luas. Pelanggaran hak-hak konsumen oleh pelaku usaha, yaitu pencampuran bahan-bahan kimia berbahaya pada saat proses pembuatan makanan yang akan dijual dan diedarkan kepada konsumen dalam hal ini adalah masyarakat sangat merugikan konsumen dan kerugian tersebut tidak hanya bersifat jangka pendek yaitu berupa keracunan akan tetapi secara jangka panjang seperti kanker bahkan lebih fatal yaitu kematian. Hal ini dikarenakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen

4

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm.27


(15)

13

yang dilakukan oleh pelaku usaha, padahal pelaku usaha mempunyai tanggung jawab yaitu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan bahwa :

“Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”

Pelaku usaha dalam hal ini adalah produsen makanan harus mempunyai itikad baik dalam mengolah atau memproses makanan yang akan dijual kepada konsumen dan tidak mencampurkan bahan-bahan kimia yang memang dilarang dan tidak sesuai standar kedalam campuran makanan sehingga membahayakan konsumen apabila dikonsumsi secara terus-menerus. Produsen juga seharusnya mencantumkan komposisi terhadap bahan-bahan yang digunakan pada campuran makanan tersebut secara benar dan jujur sehingga konsumen mengetahui kandungan yang ada dalam makanan yang akan dikonsumsinya tersebut, apabila terjadi suatu sengketa atau permasalahan atas makanan yang dijual produsen


(16)

14

bertanggung jawab serta memberikan ganti rugi kepada konsumen sesuai keadaan yang terjadi.

Perbuatan produsen yang dengan sengaja mencampurkan bahan-bahan kimia berbahaya pada saat proses pembuatan makanan tersebut bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan mengenai Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, yaitu :

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.”

Campuran bahan-bahan kimia berbahaya yang sengaja dicampurkan kedalam makanan pada saat proses pembuatan oleh pelaku usaha sering sekali dilakukan dan tidak adanya penjelasan mengenai bahan-bahan yang dicampurkan tersebut dalam kemasan makanan bahkan sering kali tidak ada


(17)

15

tanggal kadaluarsa pada kemasan sehingga konsumen tidak mengetahui kapan makanan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

Apabila pelaku usaha dan konsumen memahami betul akan hak dan kewajibannya masing-masing maka kesehatan yang merupakan salah satu hal penting yang didambakan oleh semua manusia dalam hal ini konsumen akan tercapai, sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa :

“Setiap orang berhak atas kesehatan.”

Kesehatan merupakan hak setiap orang, dalam hal ini konsumen perlu makanan yang sehat, bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya untuk menunjang kesehatannya dan terhindar dari segala macam penyakit sebagai dampak dari makanan yang dikonsumsinya. Makanan yang dimaksud dalam hal ini adalah makanan yang diolah maupun tidak diolah atau mentah, sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, menyatakan bahwa :

“Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.”

Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta perlu diselenggarakan suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.


(18)

16

Maksud dari bahan lain dalam pasal ini adalah bahan yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman di luar bahan tambahan pangan dan bahan bantu pangan yang dalam hal ini adalah bahan-bahan yang sesuai standar, tidak dilarang serta tidak berbahaya serta penggunaannya tidak melebihi ambang batas yang telah ditentukan.

Hal tersebut termuat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyatakan bahwa :

“(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Bahan tambahan pangan dalam pasal tersebut adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai risiko terhadap kesehatan manusia dapat dibenarkan karena hal tersebut memang lazim dilakukan. Namun, penggunaan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan atau penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi pangan tersebut.

Bahan kimia berbahaya itu sendiri adalah bahan-bahan yang pembuatan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan penggunaannya


(19)

17

menimbulkan atau membebaskan debu, kabut, uap, gas, serat, atau radiasi sehingga dapat menyebabkan iritasi, kebakaran, ledakan, korosi, keracunan dan bahaya lain dalam jumlah yang menyebabkan gangguan kesehatan bagi orang yang berhubungan langsung dengan bahan tersebut atau menggunakan bahan tersebut tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya, dan apabila bahan kimia tersebut digunakan pada proses pembuatan makanan dan digunakan sebagai campuran makanan maka akibat yang ditimbulkan akan sangat membahayakan yaitu dapat menyebabkan keracunan, gangguan fungsi hati, gangguan saluran pernafasan, sakit ginjal, gangguan paru-paru, gangguan fungsi hati, gangguan pencernaan, kanker atau bahkan kematian.5

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah serta menanggulangi penggunaan bahan-bahan kimia dalam makanan adalah dengan menegakkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan atas perlindungan terhadap masalah-masalah yang timbul sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dan menaggung resiko atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

5

http://www.bahan-kimia-berbahaya.com, diakses pada Hari Kamis 17 Maret 2011 pukul 11.52 WIB.


(20)

18

Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa :

a. Data sekunder bahan hukum primer yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan, diantaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Pangan.

b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.

c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang didapat dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif. Metode yuridis normatif adalah metode dimana hukum dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma, dalam hal


(21)

19

ini dilakukan melalui penafsiran hukum dan konstruksi hukum.6 Pada penulisan hukum ini, penulis mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang. Selain itu, penulis melakukan penafsiran hukum sosiologis yang dilakukan menghadapi kenyataan bahwa kehendak pembuat undang-undang ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya diberikan pada undang-undang yang berlaku dewasa ini.

3. Tahap Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis melalui dua tahap meliputi : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam makanan. b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan dengan cara wawancara terstruktur dengan pihak-pihak terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut :

6

Hetty Hassanah, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas Hukum Unikom, disampaikan pada acara Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodology Fakultas Hukum Unikom, Bandung, 12 Februari 2011, hlm. 5


(22)

20

a. Studi Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang berupa data primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis teliti.

b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait dengan cara mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu untuk memperlancar proses wawancara.

5. Metode Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara yuridis kualitatif yang meliputi :

a. Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lain.

b. Memperhatikan hierarkis peraturan perundang-undangan, dimana peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.

c. Kepastian hukum, dalam arti perundang-undangan yang diteliti betul-betul dilaksanakan dan didukung oleh penegak hukum. 6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu :

a. Perpustakaan, diantaranya :

1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jl. Dipati Ukur Nomor 112 Bandung

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) Jl. Dipati Ukur Nomor 35 Bandung


(23)

21

b. Instansi atau lembaga terkait, yaitu :

1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) 2) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) 3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) 4) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) c. Website :

1) http://www.hukum-online.com

2) http://www.hukum-perlindungan-konsumen.com 3) http://www.bahan-kimia-berbahaya.com


(24)

BAB II

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM

PENGGUNAAN BAHAN-BAHAN KIMIA BERBAHAYA PADA

MAKANAN

A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen berasal bahasa inggris yaitu consumer yang artinya setiap orang yang menggunakan barang atau jasa dalam hal ini orang yang membeli suatu produk hanya untuk digunakan oleh sendiri (pemakai akhir), bukan untuk dijual kembali. Karena posisi konsumen yang lemah maka perlu dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI, pada bulan Mei 1973. Gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. 1

Pada saat YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Beberapa tahun

7

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.16


(25)

belakangan ini, ada banyak masalah pelanggaran hak-hak konsumen yang justru makin bertambah. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut menimbulkan keresahan yang sangat akut bagi kehidupan masyarakat.2

Perkembangan perlindungan terhadap konsumen mengenal dua adagium yaitu :3

1. Caveat Emptor

Caveat emptor adalah istilah Latin untuk let the buyer aware

(konsumen harus berhati-hati). Hal ini berarti bahwa sebelum konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap kemungkinan adanya cacat pada barang. Menurut doktrin caveat emptor, produsen atau penjual dibebaskan dari kewajiban untuk memberitahu kepada konsumen tentang segala hal yang menyangkut barang yang hendak diperjualbelikan. Apabila konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, maka ia harus menerima produk itu apa adanya. Awal abad XIX mulai disadari bahwa caveat emptor tidak dapat dipertahankan lagi, apalagi untuk melindungi konsumen.

2. Caveat Venditor

Pada awal abad XX berkembang pemikiran bahwa produsen tidak hanya bertanggung jawab kepada konsumen atas dasar tanggung jawab kontraktual. Karena produknya ditawarkan kepada semua orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan jika menggunakan produk yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat itu adalah bahwa produsen

8

Ibid., 9


(26)

yang menawarkan produknya pada masyarakat, harus memperhatikan keselamatan, keterampilan dan kejujuran. Doktrin

caveat venditor (let the producer aware) yang berarti bahwa produsen harus berhati-hati. Doktrin ini menghendaki agar produsen, dalam memproduksi dan memasarkan produknya, berhati-hati dan memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Doktrin caveat venditor menuntut produsen untuk memberikan informasi yang cukup kepada konsumen tentang produk yang bersangkutan. Apabila hal itu tidak dilakukan maka produsen wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh produknya.

Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kasus-kasus terhadap pelanggaran hak konumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut dapat dibedakan sebagai berikut :4

1. Kesalahan (liability based on fault);

2. Praduga slalu bertanggung jawab (presumption of liability);

3. Praduga slalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability); 4. Tanggung jawab mutlak (strict liability);

5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

10


(27)

Aspek-aspek hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era pasar bebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar domestik dan dari sisi pasar global. Keduanya harus diawali sejak barang dan/atau jasa diproduksi, didistribusikan atau dipasarkan dan diedarkan sampai barang dan jasa tersebut dikonsumsi oleh konsumen.5

Tanggung jawab pelaku usaha juga didasarkan pada Contractual Liability yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha (barang dan/atau jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Tanggung jawab pelaku usaha yang tidak terdapat hubungan perjanjian (no Privity of Contract) antara pelaku usaha (produsen barang) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban produk (product Liability), yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (Strictliability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan. Tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban professional (Professional Liability) yang menggunakan tanggung jawab perdata secara langsung dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikan.6

Tanggung jawab pelaku usaha dalam hal hubungan pelaku usaha (barang dan/atau jasa) dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat (Consumers) didasarkan kepada Criminal Liability,

11.

Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.38

12

Budi F. Supriadi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen, Catatan Perkuliahan Hukum Perlindungan Konsumen, UNIKOM, Bandung, 2010


(28)

yaitu tanggung jawab pidana dari pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat.7

Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen. yakni : 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau

jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk dipergunakan (tujuan komersial);

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen), yang dalam hal ini adalah distributor atau pedagang barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya.

Bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk). Bagi konsumen akhir diperlukan produk (barang dan/atau jasa) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Kaidah-kaidah hukum sangat diperlukan untuk menjamin syarat-syarat aman

13


(29)

setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.

Konsumen pada umumnya tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk dibuat, bagaimana proses pembuatan serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha. Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan akan menimbulkan keserasian dan keselarasan materiil tidak sekedar formil, dalam kehidupan manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini.

Keseimbangan tersebut juga akan memberikan peranan untuk melindungi konsumen, peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari :

1. Politic will/kemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen domestik didalam persaingan global dan atas persaingan tidak sehat lokal;

2. Birokrasi dengan sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan berbisnis jujur dalam mewujudkan persaingan sehat;

3. Dalam hukum positif yang sudah mengandung unsur melindungi kepentingan konsumen.

Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan hukum mengenai hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha, hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :


(30)

“Hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yakni :

“Kewajiban konsumen adalah :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.”

Kajian terhadap perlindungan konsumen tidak dapat dipisahkan dari hak-hak dan kewajiban pelaku usaha, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

“Hak pelaku usaha adalah :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;


(31)

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”

Pelaku usaha tidak diperkenankan menambahkan bahan tambahan kedalam makanan yang dilarang oleh undang-undang serta penggunaannya melebihi batas atau standar yang direntukan hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan mengenai :

“Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”

Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting dikarenakan makin majunya ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang merupakan motor penggerak


(32)

bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya, dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal penting dan mendesak untuk dicarikan segera solusinya.

Konsumen yang keberadaannya tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang sering terjadi antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan penggunaan bahan kimia dalam tambahan produk makanan. 8

Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen, disisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidak mampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja

14


(33)

dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan tidak secara diskriminatif.

Perlindungan hukum terhadap konsumen juga menyangkut dalam banyak aspek kehidupan terutama dalam aspek kegiatan bisnis. Namun masalah perlindungan konsumen pada kenyataannya perlu diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar kualitas dari barang dan/atau jasa yang akan diedarkan pada masyarakat tetap terjamin dan tidak merugikan konsumen.

Langkah-langkah pengawasan dan pembinaan terhadap perlindungan konsumen tersebut dapat meliputi :

1. Diri pelaku usaha;

2. Sarana dan prasarana produksi; 3. Iklim usaha secara keseluruhan; 4. Konsumen.

Tujuan dari pembinaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai produsen dapat dipastikan, tanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen secara keseluruhan berada ditangan pemerintah.

Terdapat 5 (lima) asas perlindungan konsumen dalam aspek ekonomi tersebut, yaitu :


(34)

1. Asas manfaat, merupakan segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; 2. Asas keadilan, merupakan partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

3. Asas keseimbangan, merupakan perlindungan konsumen diharapkan memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, merupakan perlindungan konsumen yang diharapkan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum, merupakan pelaku usaha maupun konsumen

agar mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

“Tujuan perlindungan konsumen adalah :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;


(35)

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.”

Pasal 29 ayat (4) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk :

1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;

2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

3. Meningkatkan sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Pada kenyataannya hubungan hukum antara produsen dan konsumen seringkali melemahkan posisi konsumen karena kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak, tetapi juga adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap produsen. Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini :

1. Bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan. Usaha produsen tidak akan dapat berkembang


(36)

dengan baik bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat;

2. Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggung jawab;

3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi produsen yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya;

4. Bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakian produk cacat telah diperhitungkan sebagai komponen produksi, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang memakai produk yang tidak cacat.

Bertolak dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang konprehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur dan sehat yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.9

15


(37)

B. Ruang Lingkup Bahan Kimia Berbahaya pada Makanan

Persoalan mengenai banyaknya penggunaan bahan tambahan pada makanan yang tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan makanan yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi individu. Saat ini masyarakat bukan hanya tertarik pada aspek bahan makanan yang memberikan cita rasa enak, dan nikmat untuk disajikan akan tetapi lebih kepada komponen apa saja yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsinya tersebut.

Penggunaan bahan tambahan makanan atau pangan dalam proses produksi perlu diwaspadai baik oleh produsen maupun konsumen. Dampak penggunaannya dapat berakibat positif atau negatif bagi masyarakat jika makanan tersebut dikonsumsi secara terus menerus, penyimpangan dalam penggunaan bahan-bahan kimia tersebut akan berdampak dan berpengaruh besar pada kesehatan khususnya tubuh. Bahan tambahan makanan banyak digunakan pada jajanan yang umumnya diproduksi oleh industri kecil/rumah tangga. Perbuatan ini harus dicegah dan ditindak secara tegas oleh pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai peraturan.

Kebijakan keamanan makanan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan atau makanan. Pengertian bahan tambahan pangan atau makanan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/Per/IX/88 No.168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya


(38)

tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan atau makanan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan atau makanan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1. Bahan tambahan makanan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan tersebut dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan. Contohnya pengawet, pewarna dan pengeras makanan.

2. Bahan tambahan makanan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat juga berupa residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa kedalam


(39)

makanan yang akan dikonsumsi. Contohnya adalah residu pestisida, antibiotik dan hidrokarbon aromatik polisklis.10

Bahan tambahan makanan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila :

a. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan;

b. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan;

c. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan; d. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan

makanan.

Penggunaan bahan tambahan makanan sebaiknya tidak melebihi ambang batas yang telah ditentukan, oleh sebab itu diperlukan pengawasan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahawa:

“Tujuan dari pembinaan dan pengawasan pangan adalah :

1. Tersedia pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kesehatan manusia;

2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab;

3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”

Hal tersebut juga diperkuat dengan larangan terhadap penggunaan bahan tambahan makanan yang melebihi ambang batas dalam pasal 10

16

Wisnu Cahyadi, Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm.2


(40)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyebutkan bahwa :

“1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Pemerintah untuk mengatasi hal tersebut melakukan pembinaan dalam bidang pangan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan menyebutkan bahwa :

“Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya :

a. Pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;

b. Untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan;

c. Untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan;

d. Untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian atau pengembangan teknologi di bidang pangan;

e. Penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan; f. Pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai

dengan kepentingan nasional;

g. Untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantap mutu pangan tradisional.”

Pembinaan yang dimaksud dilakukan oleh Dinas Kesehatan sedangkan pengawasan dalam bidang pangan dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan, karena kedua-duanya merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


(41)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per/IX/188 golongan bahan tambahan makanan yang diizinkan diantaranya sebagai berikut :

1. Antioksidan (antioxidant) 2. Antikempal (anticaking agent)

3. Pengatur keasaman (acidity regulator) 4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)

5. Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent)

6. Pengemulasi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener)

7. Pengawet (preservative) 8. Pengeras (firming agent) 9. Pewarna (colour)

10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer) 11. Sekuestran (sequestrant).

Bahan tambahan makanan selain yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada beberapa bahan tambahan makanan lainnya yang biasa digunakan dalam makanan, misalnya :

1. Enzim, yaitu bahan tambahan makanan yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat makanan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain;


(42)

2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi makanan;

3. Humektan, yaitu bahan tambahan makanan yang menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air makanan.

Bahan tambahan makanan yang dilarang digunakan dalam makanan menurut Permenkes Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 adalah sebagai berikut :

1. Natrium tetraborat (boraks) 2. Formalin (formaldehyd)

3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils) 4. Kloramfenikol (chlorampenicol)

5. Kalium klorat (potassium chlorate)

6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC) 7. Nitrofuranzon (nitrofuranzone)

8. P-Pheneyikarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)

9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt).11

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999, menegaskan selain bahan tambahan tersebut masih ada bahan tambahan kimia yang dilarang digunakan pada makanan, diantaranya :

17


(43)

1. Rhodamin B (pewarna merah) 2. Methanyl yellow (pewarna kuning) 3. Dulsin (pemanis sintesis), dan 4. Potassium bromat (pengeras).

Pelanggaran para produsen terhadap berbagai peraturan perundangan tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, juga dapat disebabkan oleh faktor kurangnya pengetahuan mengenai peraturan dan penegakan hukum oleh aparat yang kurang konsisten. Pelaksanaan dan penegakan hukum dalam hal keamanan pangan kurang berjalan dengan baik. Hal ini tampak dari tidak adanya penindakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap para pelaku pelanggaran keamanan pangan.

Peran serta masyarakat sangat diperlukan sebagai pendeteksi awal dari keberadaan bahan kimia tambahan dalam makanan, dalam hal ini, kejelian masyarakat selaku konsumen sangat diperlukan. Masyarakat harus teliti dalam memastikan kandungan yang ada sesuai dengan label. Hal ini diperlukan karena banyak kasus keracunan makanan adalah akibat bahan pengawet, akibat rendahnya kewaspadaan konsumen. Lengahnya konsumen diperparah oleh sumber daya manusia yang masih rendah & faktor daerah yang harus diawasi juga terlalu luas.

Kendala lainnya yaitu dalam mengawasi penggunaan bahan pengawet adalah peredaran bahan kimia bagi industri makanan rumahan yang jumlahnya sangat besar. Keracunan yang paling banyak diperbincangkan biasanya yang sifatnya jangka pendek. Namun, jarang sekali dipersoalkan dampak makanan yang mengandung bahan tambahan makanan yang dapat


(44)

mengancam manusia dalam waktu jangka yang panjang. Seperti, kerusakan organ tubuh setelah mengkonsumsi makanan tertentu. Secara hukum, belum tegas dinyatakan untuk memberikan sanksi pada efek jangka panjang karena pembuktiannya sulit dilakukan.

Upaya dari semua pihak sangat diperlukan untuk memahami pentingnya menghindari keracunan, baik yang bisa dikenali langsung, maupun dalam jangka panjang. Pemerintah dalam hal ini harus menegakkan hukum secara tegas yang dapat memberikan efek jera bagi mereka yang melanggar hukum dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Kebersihan dalam proses pembuatan makanan juga sangat penting selain disebabkan oleh bahan-bahan tambahan makanan yang mengandung kimia berbahaya tersebut. Ada 6 prinsip upaya sanitasi kebersihan pada usaha makanan, yaitu :

1. Prinsip Pemilihan Bahan Makanan, meliputi :

a. Bahan makanan yang dimaksud disini adalah bahan makanan yang mentah (segar) yaitu bahan makanan yang perlu pengolahan sebelum dihidangkan, contohnya daging, beras, sayuran, singkong, kentang dan lain-lain;

b. Makanan yang terolah (pabrik) yaitu makanan yang sudah dapat langsung dimakan tetapi digunakan untuk proses lebih lanjut. Contohnya tahu, tempe, kecap, ikan kaleng, kornet dan lain-lain; c. Makanan yang siap santap, yaitu nasi rames, soto mie, bakso,


(45)

Hal-hal penting yang wajib diperhatikan pada saat memilih bahan makanan adalah bentuk fisik, izin Departemen Kesehatan, dan tanggal kadaluarsa yang biasa tercantum pada kemasan.

2. Prinsip Penyimpanan Bahan Makanan

Penyimpanan bahan makanan sebelum diolah perlu perhatian khusus mulai dari wadah tempat penyimpanan sampai dengan cara penyimpanannya perlu diperhatikan dengan maksud untuk menghindari terjadinya keracunan karena kesalahan penyimpanan serta dapat menyebabkan kerusakan pada bahan makanan.

Kerusakan pada bahan makanan dapat terjadi karena : a. Tercemar bakteri karena alam atau perlakuan manusia; b. Adanya enzim dalam makanan yang diperlukan untuk

proses pematangan seperti pada buah-buahan;

c. Kerusakan mekanis akibat gesekan, tekanan, atau benturan.

3. Prinsip Pengolahan Bahan Makanan

Pengolahan makanan menjadi makanan siap santap merupakan salah satu titik rawan tercemarnya makanan oleh bahan-bahan kimia berbahaya, banyak kasus terjadi akibat tenaga pengolahnya yang tidak memperhatikan aspek sanitasi. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah dan prinsip-prinsip kebersihan dan sanitasi, yang dikenal dengan istilah Good Manufactering Practice (GMP) atau cara produksi makanan yang baik.


(46)

Tercemarnya makanan sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada makanan bahkan apabila makanan tersebut dikonsumsi akan menyebabkan keracunan, hal ini disebabkan karena :

a. Tempat pengolahan makanan, pengusaha dan penanggung jawab menyediakan tempat pengolahan makanan atau sering disebut dapur yang memenuhi standar persyaratan kebersihan dan sanitasi untuk mencegah resiko pencemaran (kontaminasi silang dan kontaminasi ulang terhadap makanan);

b. Peralatan masak, yang dimaksud disini semua perlengkapan yang diperlukan dalam proses pengolahan makanan baik sendok, pisau, kuali, dan lain-lain. Peralatan masak juga dapat menyebabkan keracunan pada makanan. Logam dan senyawa kimia dapat terlarut dalam alat masak atau kontainer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan makanan, dapat menyebabkan keracunan. Logam dan senyawa kimia dapat terlarut, umumnya disebabkan karena makanan yang bersifat asam.

c. Tenaga pengolah makanan (penjamah makanan).

Seorang tenaga pengolah makanan, atau penjamah makanan baik dalam mempersiapkan, mengolah, menyimpan, mengangkut, maupun menyajikan perlu memperhatikan kebersihan perorangannya. Salah satu contoh adalah kebersihan tangan. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau mengolah makanan. Seorang penjamah makanan yang


(47)

tidak sehat dapat menjadi sumber penyakit dan dapat menyebar kesuatu masyarakat konsumen, peranannya dalam suatu penyebaran penyakit dengan cara :

1) Kontak antara penjamah makanan yang menderita penyakit menular dengan konsumen yang sehat;

2) Kontaminasi terhadap makanan oleh penjamah makanan yang sakit, misalnya batuk atau luka ditangan;

3) Pengolah atau penanganan makanan oleh penjamah makanan yang sakit atau pembawa kuman.

4. Prinsip Penyimpanan Makanan Masak

Makanan masak merupakan campuran bahan yang lunak dan sangat disukai bakteri. Bakteri akan tumbuh dan berkembang dalam makanan yang berada dalam suasana yang cocok untuk hidupnya sehingga jumlahnya menjadi banyak. Diantara bakteri terdapat beberapa bakteri yang menghasilkan racun (toksin), ada racun yang dikeluarkan oleh tubuhnya (eksotoksin), dan ada yang disimpan dalam tubuhnya (endotoksin/ enterotoksin). Sementara di dalam makanan juga terdapat enzim. Enzim terutama terdapat pada sayuran dan buah-buahan yang akan menjadikan buah matang dan jika berlangsung terus buah akan menjadi busuk.

Proses penyimpanan makanan yang telah diolah juga harus memperhatikan hal-hal yang dapat menyebabkan makanan tersebut terkontaminasi, yaitu diantaranya :


(48)

a. Karakteristik Pertumbuhan Bakteri pada Makanan Masak, meliputi :

1) Kadar Air dalam Makanan

Bakteri akan tumbuh subur dalam makanan dengan tingkat aw yang tinggi (0,9). Makanan yang basah sangat disukai bakteri dari pada makanan yang kering.

2) Jenis Makanan

Makanan yang mengandung protein seperti daging, ikan, telur, susu serta hasil olahannya merupakan jenis makanan yang disukai bakteri, karenanya cepat menjadi rusak, salah satu spesies bakteri yang sering ada pada jenis makanan tersebut adalah salmonella aureus. Makanan yang mengandung lemak sedikit dan air, tidak disukai bakteri tetapi disukai jamur sehingga timbul bau tengik.

3) Suhu Makanan

Suhu makanan yang masak yang cocok untuk pertumbuhan bakteri, yaitu suhu yang berdekatan suhu tubuh manusia (37°C). Pada suhu dibawah 10°C bakteri sama sekali tidak tumbuh, dan pada suhu 60°C bakteri akan mati. Oleh karena itu untuk mencegah pertumbuhan bakteri maka usahakanlah makanan selalu berada pada suhu dimana bakteri tidak bisa tumbuh. b. Cara Penyimpanan Makanan yang akan Disimpan Setelah


(49)

1) Wadah

Setiap makanan masak mempunyai wadah masing-masing terpisah dan tertutup, tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air, makanan yang berkuah dipisah antara lauk dengan saus atau kuahnya.

2) Suhu

Yang perlu diperhatikan adalah suhu penyimpanan pada masing-masing jenis makanan. Makanan kering seperti goreng-gorengan disimpan dalam suhu kamar (25°C – 30°C), makanan basah seperti sop, gulai dan lain-lain harus disajikan pada suhu diatas 60°C, dan makanan basah yang masih lama disimpan pada suhu di bawah 10°C.

3) Waktu Tunggu

Makanan masak yang baru saja selesai diolah suhunya masih cukup panas yaitu 80°C. Makanan dengan suhu demikian masih berada daerah aman, tetapi suhu makanan dalam waktu tunggu berada dibawah 60°C, segera dihidangkan karena waktu tunggunya semakin singkat. Makanan yang disimpan dibawah 10°C harus dipanaskan kembali sebelum disajikan.


(50)

5. Prinsip Pengangkutan Makanan

Pengangkutan makanan yang sehat akan sangat berperan dalam mencegah terjadinya pencemaran makanan. Pencemaran pada makanan masak lebih tinggi resikonya dari pada pencemaran pada bahan makanan. Oleh karena itu titik berat pengendalian yang perlu diperhatikan adalah pada makanan masak. Dalam proses pengangkutan makanan banyak pihak yang terkait mulai dari persiapan, pewadahan, orang, suhu, dan kendaraan pengangkut sendiri. Makanan siap santap lebih rawan terhadap pencemaran sehingga perlu perlakuan yang ekstra hati-hati.

Makanan agar terhindar dari kontaminasi maka yang perlu diperhatikan adalah :

a. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing;

b. Isi makanan tidak terlampau penuh untuk mencegah terjadinya kondensasi. Uap makanan yang mencair (kondensat) merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga makanan cepat menjadi basi;

c. Wadah yang dipergunakan harus utuh, kuat dan ukurannya memadai dengan makanan yang ditempatkan dan terbuat dari makanan anti karat atau bocor;

d. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya agar tetap panas 60°C atau tetap dingin 4°C;

e. Wadah selama dalam perjalanan tidak boleh selalu dibuka dan tetap dalam keadaan tertutup sampai ditempat penyajian;


(51)

f. Kendaraan pengangkut disediakan khusus dan tidak digunakan untuk keperluan mengangkut bahan lain.

6. Prinsip Penyajian Makanan

Penyajian makanan merupakan rangkaian akhir dari perjalanan makanan. Makanan yang disajikan adalah makanan yang siap santap. Makanan siap santap harus layak santap, layak santap dapat dinyatakan bilamana telah dilakukan uji organoleptik dan uji biologis, disamping uji laboratorium yang dilakukan secara insidental bila ada kecurigaan.

Manusia sebagai sumber bahan pencemar karena manusia menggunakan bahan makanan tambahan dalam proses pengolahan makanan, serta menggunakan pestisida atau insektisida yang tidak tepat dan bijaksana dalam pengendalian hama serangga pada gudang penyimpanan bahan makanan dan pada tempat pengolahan bahan makanan.


(52)

BAB III

PENGGUNAAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA PADA

MAKANAN SERTA DAMPAK YANG DITIMBULKAN

A. Macam-Macam Bahan Kimia Berbahaya yang Beredar di Masyarakat Pada dasarnya baik masyarakat desa maupun kota, pasti telah menggunakan zat adiktif atau bahan tambahan makanan dalam kehidupannya sehari-hari. Secara ilmiah, zat adiktif makanan didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Zat adiktif makanan yang dimaksud dalam hal ini adalah pengawet, penyedap, pewarna, pemantap, antioksidan, pengemulsi, pengumpal, pemucat, pengental, dan anti gumpal.

Dilihat dari sumbernya, zat adiktif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain-lain. Selain itu dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia, maupun sifat metabolismenya seperti karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah, akan tetapi walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogen yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan dan manusia.

Zat adiktif atau bahan tambahan makanan telah dimanfaatkan dalam berbagai proses pengolahan makanan, berikut adalah beberapa contoh zat aditif yang sering dijumpai dalam masyarakat :


(1)

xii

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rancangan

Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

WEBSITE :

http://www.Bahan-kimia-berbahaya.com.

http://www.kenali-zatkimia-dalam-makanan.wordpress. http://www.Republika.co.id.


(2)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rini Anggraeni Tempat/Tgl Lahir : Subang, 26 Juni 1989

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cimanggu No. 31 RT 08, RW 02, Kecamatan

Cisalak, Subang 41283

No. Handphone : 085720285357, 085221666187

E-mail : [email protected]

Pendidikan Formal

1995 – 2001 Sekolah Dasar Negeri 1 Cimanggu, Subang

2001 – 2004 Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Siang, Subang 2004 – 2007 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jalan Cagak, Subang 2007 – 2011 Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung


(3)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS

PENGGUNAAN BAHAN-BAHAN KIMIA BERBAHAYA DALAM

MAKANAN YANG BEREDAR DI MASYARAKAT DIHUBUNGKAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

CONSUMER LAW PROTECTION AGAINST UTILIZING OF

HARMFUL CHEMICAL INGREDIENTS ON FOOD THAT

MARKETED IN PUBLIC RELATED TO UNDANG-UNDANG

NUMBER 8/1999 REGARDING CONSUMER PROTECTION

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada Program Strata-1 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh : Rini Anggraeni

3. 16. 07. 014

Dibawah Bimbingan :

PROF. DR. H.R OTJE SALMAN SOEMADININGRAT, S.H.

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu„ alaikum wr.wb.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi besar Muhammad S.A.W. Syukur Alhamdulillah Penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan yang Beredar di Masyarakat Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.” Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kiranya masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki kekurangan di kemudian hari. Pertama-tama Penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. H.R Otje Salman Soemadiningrat, S.H. selaku Pembimbing skripsi sekaligus dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan serta pengarahan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;


(5)

v

2. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E.,M.S.Ak., selaku pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M.A., selaku pembantu Rektor II Bidang Administrasi, Kepegawaian dan Keuangan Universitas Komputer Indonesia; 4. Ibu Dr. Hj. Aelina Surya, Dra., selaku pembantu Rektor III Bidang

Kemahasiswaan Universitas Komputer Indonesia;

5. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Bapak Budi Fitriadi, S.H., M.H., selaku staf dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., selaku staf dosen sekaligus Dosen Wali Penulis Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku staf dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Ibu Rika Rosiliawati, A Md., selaku Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

Penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Penulis Bapak H. Endin dan Ibu Hj. Suarsih yang slalu memberikan semangat, kasih sayang dan do‟anya serta kepada kaka Penulis Praka., K. Komarudin terima kasih atas motivasinya slama ini. Kepada Mama Evi Andriani, Papa Serda., Asep Ruchyat, Yuda Andrias, Viska asviani dan ade kecil Penulis yang menggemaskan Salsa Sevia Agustina yang slalu


(6)

vi

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Gilang Aria W, atas segala kesabarannya dan setia menemani Penulis disaat senang maupun susah. Teman-teman terutama teman-teman seperjuangan penulis angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, serta kepada teman-teman kosan SURABI yang slalu menghibur Penulis.

Penulis sangat mengharapkan masukan atas segala kekurangan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Amin.

Bandung, Juli 2011


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

5 129 137

Perlindungan Hukum Terhadap Distributor Terkait Penjualan Barang Black Market Dihubungkan Dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 1 22

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN APARTEMEN GATEAWAY YANG MENYESATKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

1 1 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DAGING SAPI GLONGGONGAN DI PASAR TRADISIONAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 1 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENCANTUMAN KOMPOSISI YANG TIDAK SESUAI DENGAN BAHAN YANG DIGUNAKAN PADA PRODUK MAKANAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLIDUNGA.

0 0 1

Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Di Kota Semarang.

1 4 136

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI IKAN YANG MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA FORMALIN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PERUMAHAN BERSUBSIDI DI PANGKALPINANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 0 16

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN TENTANG PEREDARAN KOSMETIK MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA PANGKALPINANG SKRIPSI

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA MAKASSAR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1 2 141