Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 1999

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARTINA LESTARI RITONGA NIM : 090200091

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 1999 SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARTINA LESTARI RITONGA NIM : 090200091

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/BW Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Dr. HASYIM PURBA, SH.,M.HUM. NIP. 19660303 198508 1 001

)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(MUHAMMAD HUSNI, SH.,MH.) (MUHAMMAD SIDDIK, SH.,M.HUM. NIP. 19580202 198803 1 004 NIP. 19541210 198601 1 001

)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan hormat syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Juru Selamat sebagai Tuhan yang hidup yang telah mencurahkan berkat dan karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Perdata, Program Kekhususan Perdata BW, Universitas Sumatera Utara.

Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul yang dipilih adalah: “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999”.

Adapun yang menjadi latar belakang penulis dalam memilih judul tersebut di atas tidaklah semata-mata hanya karena ingin membuat skripsi guna kelulusan kegiatan akademik saja. Tetapi didasari oleh penulis melihat dan mengamati bahwa konsumen dan pelaku usaha kurang memperhatikan masalah label khususnya dalam pelabelan produk pangan. Padahal label pangan tersebut berisikan informasi yang benar mengenai pangan yang merupakan hak dari konsumen.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dalam penyusunan, pemilihan maupun merangkai kata demi kata, serta kelalaian dalam proses pengeditan. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.

Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II.


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III, sekaligus Dosen Pembimbing I penulis.

5. Bapak Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

6. Bapak Muhammad Siddik, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis.

7. Bapak Alwan, SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik penulis. 8. Bapak Prof. Dr. Suwarto, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH,

M.Hum, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MH, Bapak M. Hayat, SH, Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum, Ibu Maria Kaban, SH, M.Hum, Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, Ibu Rabiatul Bariah, SH, M.Hum, Kak Syarifah Lisa, SH, M.Hum, para Dosen dan seluruh staf serta karyawan di Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mendidik penulis selama delapan semester hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ini.

9. Keluargaku yang tercinta: Papaku, Benteng Parlindungan Ritonga dan Mamaku, Rosinta Br. Aruan yang sangat luar biasa, yang sangat aku banggakan dan yang selalu mendoakan aku setiap hari. Thank You Lord cause

giving them in my life! Adik-adikku Elfrina Yoce Fanny Ritonga, Damarius

Parasian Ritonga, dan my little brother Matthew Christian Ritonga.

10.Untuk seseorang yang sangat spesial Abang Rio Pangaribuan, Amk, yang selalu support aku dan mendoakan aku walau jauh di Batam.

11.Untuk teman-teman kuliah Fakultas Hukum angkatan 2009: Anita Veronica Hutapea, SH, Yunita R Panjaitan, SH, Ruth Paolin, Rebekka Dosma Sinaga, SH, Fenny Uli, juga teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga kita semua sukses selalu.. Amin.

12.Adik-adikku, Yuni Puspita Sari, Nurul Oktari Sitepu, Netti Mentari Putri, adik ospek 2012 kelompok 15 dan 16.

13.Dan semua keluargaku yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa dan dukungannya.


(5)

Akhirnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran dalam upaya melengkapi karya ilmiah yang sederhana ini agar berguna bagi penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya dan penulis khususnya. Penulis berharap apa yang penulis kerjakan mendapat berkat dari Tuhan Yesus Kristus.

Terima kasih.

Medan, Mei 2013 Hormat Penulis,

MARTINA LESTARI RITONGA NIM: 090200091


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Keaslian Penelitian ... 11

G. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. PENGERTIAN KONSUMEN DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN 1. Pengertian Konsumen ... 13

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 19

B. ASAS, TUJUAN DAN PRINSIP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 23

C. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN ... 46

D. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA... 51

BAB III PELABELAN PRODUK PANGAN DAN PENGATURAN LABEL PRODUK PANGAN A. PENGERTIAN LABEL ... 57

B. LABEL SEBAGAI PERWUJUDAN DARI HAK KONSUMEN MENDAPATKAN INFORMASI ... 59

C. PELABELAN PRODUK PANGAN BAGI KONSUMEN DALAM MENDAPATKAN PERLINDUNGAN ... 68


(7)

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELANGGARAN PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN UU No. 8 TAHUN 1999

A. PERLINDUGAN KONSUMEN DALAM PELANGGARAN LABEL

PRODUK PANGAN ... 82

B. ASPEK PERDATA, PIDANA DAN ADMINISTRASI DALAM

PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 85

C. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

PELANGGARAN PELABELAN PRODUK PANGAN

1. Tanggung Jawab Perdata... 92 2. Tanggung Jawab Pidana ... 98 3. Tanggung Jawab Administrasi ... 103

D. PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM

PELANGGARAN PELABELAN PRODUK PANGAN ... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... 122 B. SARAN ... 124


(8)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 1999 MUHAMMAD HUSNI, SH.,MH. MUHAMMAD SIDDIK, SH.,M.Hum.

MARTINA LESTARI RITONGA ABSTRAKSI

Perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian dunia yang pesat terutama dalam bidang perdagangan menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dana untuk mengadakan transaksi konsumen dengan barang dan/atau jasa tersebut. Hak atas informasi yang benar adalah salah satu hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu sumber informasi yang benar tersebut adalah label.

Dalam pasal 1 ayat (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan Label Pangan adalah “setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan”. Dari pengertian label tersebut maka diketahui bahwa didalam label termuat informasi mengenai pangan yang diproduksi. Akan tetapi, masalah label khususnya mengenai label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen dan pelaku usaha. Informasi yang tidak benar dan menyesatkan kosumen mengakibatkan kerugian pada konsumen yang pada akhirnya berakibat hukum pada pelaku usaha dalam menanggungjawabinya.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori/konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparasi atau hubungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Library Research). Analisis data hukum dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif.

Dari hasil penelitan tersebut, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pelabelan produk pangan memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan pelanggaran terhadap pelabelan produk pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab perdata, pidana dan administrasi.

Kata kunci :

1. Perlindungan Konsumen. 2. Pelabelan Produk.


(9)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 1999 MUHAMMAD HUSNI, SH.,MH. MUHAMMAD SIDDIK, SH.,M.Hum.

MARTINA LESTARI RITONGA ABSTRAKSI

Perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian dunia yang pesat terutama dalam bidang perdagangan menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dana untuk mengadakan transaksi konsumen dengan barang dan/atau jasa tersebut. Hak atas informasi yang benar adalah salah satu hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu sumber informasi yang benar tersebut adalah label.

Dalam pasal 1 ayat (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan Label Pangan adalah “setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan”. Dari pengertian label tersebut maka diketahui bahwa didalam label termuat informasi mengenai pangan yang diproduksi. Akan tetapi, masalah label khususnya mengenai label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen dan pelaku usaha. Informasi yang tidak benar dan menyesatkan kosumen mengakibatkan kerugian pada konsumen yang pada akhirnya berakibat hukum pada pelaku usaha dalam menanggungjawabinya.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori/konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan komparasi atau hubungan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Library Research). Analisis data hukum dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif.

Dari hasil penelitan tersebut, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pelabelan produk pangan memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan pelanggaran terhadap pelabelan produk pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab perdata, pidana dan administrasi.

Kata kunci :

1. Perlindungan Konsumen. 2. Pelabelan Produk.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Dengan “diversifikasi” produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari luar negeri.1

Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman”. Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji lebih dalam.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formil makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi

1

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung : Nusa Media, 2008), hal.10-11.


(11)

produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia.2

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang dan/atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.3

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apapun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang dan/atau jasa tersebut. Dengan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.4

Informasi-informasi tersebut meliputi antara lain tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna-jual, dan lain-lain hal berkaitan dengan itu.

2

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.5.

3

Ibid., hal.5-6.

4

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : CV. Triarga Utama, 2002), hal.55.


(12)

Informasi tersebut dapat diperoleh dari keterangan atau bahan-bahan, lisan atau tertulis, para pelaku usaha (investor, produsen, distributor, penjual, agen-agen penjualan, dan para pengusaha lainnya) yang berkaitan. Juga informasi dapat diperoleh dari perilaku kalangan pemerintahan baik dalam melaksanakan perundang-undangan, maupun dalam menjalankan kebijakan pemerintahan. Lebih jauh, informasi tentang produk konsumen juga dapat diperoleh dari kalangan pemerintah, kalangan konsumen atau organisasi konsumen dan kalangan pelaku usaha.5

Informasi barang dan/atau jasa yang diperoleh dari kalangan pemerintah diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa diantaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan yang diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industri lainnya, informasi tentang produk tersebut terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.6

Informasi barang dan/atau jasa yang diperoleh dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah, berita resmi YLKI itu, yaitu Warta Konsumen (WK) dan yang pernah menjadi

5

Ibid., hal.56.

6


(13)

penelitian tentang sesuatu produk konsumen dikerjakan secara bekerja sama dengan media massa tertentu.

Informasi barang dan/atau jasa yang diperoleh dari kalangan pelaku usaha yaitu penyedia dana, produsen, importer, atau lain-lain pihak yang berkepentingan terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non-elektronik atau non-elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Selain hal tersebut, perlu diperhatikan mengenai bentuk praktek pemasaran produk konsumen yakni melalui pameran-pameran niaga, peresmian pembukaan pabrik, pengiriman produk perdana ke luar negeri, dan seminar-seminar tertentu mengenai produk konsumen. Bahan-bahan informasi tersebut pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan pelaku usaha dengan tujuan untuk memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan ingin diraih lebih lanjut. Sedangkan label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan tertentu.7

Di antara berbagai informasi tentang barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh konsumen, yang paling berpengaruh adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama informasi yang berbentuk iklan atau label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.

Hak untuk mendapatkan informasi yang benar merupakan salah satu dari hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping hak-hak yang diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal selanjutnya, khususnya yang dirumuskan dalam pasal 7 yang mengatur tentang hak dan kewajiban dari pelaku usaha. Karena begitu teramat pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa seharusnya menyadarkan para pelaku usaha untuk menghargai

7


(14)

hak konsumen, memproduksi barang dan/atau jasa yang berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang wajar (reasonable).

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan mengenai label dan iklan tentang pangan. Dengan demikian masyarakat yang mengkonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab yang akan menimbulkan persaingan yang sehat dikalangan para pelaku usaha pangan.

Terkait dengan label dan iklan pangan yang mencantumkan pernyataan bahwa pangan telah sesuai dengan persyaratan tersebut, maka para pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap kebenaran pernyataan tersebut. Ketentuan mengenai keamanan, mutu, dan gizi pangan, serta label dan iklan pangan tidak hanya berlaku bagi produksi pangan yang diproduksi dan/atau diedarkan di wilayah negara Indonesia. Ketentuan yang sama juga diberlakukan bagi produksi pangan nasional yang diedarkan di luar negeri.

Bagi konsumen pangan yang mayoritas merupakan konsumen Indonesia, mereka membutuhkan produk pangan yang aman bagi kesehatan dan keselamatan tubuh dan jiwa mereka. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk pangan untuk dikonsumsi oleh konsumen dan dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur dan bertanggung jawab karena pada umumnya para konsumen tidak mengetahui bagaimana proses dari pembuatan setiap produk pangan yang beredar ditengah-tengah kehidupan mereka8

Tetapi, terkadang produk pangan yang beredar luas ditengah masyarakat tidak mencantumkan label pangan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Banyak juga dari pelaku usaha pangan yang menghiraukan syarat-syarat beredarnya suatu produk pangan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat khususnya konsumen yang mengkonsumsi produk pangan tersebut. Pemerintah

, salah satu syarat tersebut adalah label pangan.

8


(15)

sendiri telah mengeluarkan berbagai aturan-aturan tentang pangan. Namun, hal itu masih belum cukup untuk mengawasi setiap kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha pangan. Oleh sebab itu, pemerintah juga harus melakukan pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atau produsen pangan. Pengawasan yang menyangkut tentang pangan khususnya dalam proses pelabelan atau labelisasi pangan dilakukan oleh badan pemerintah yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dengan adanya BPOM menunjukkan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam mengatasi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian peraturan yang mengatur dan memberikan ancaman yakni sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap pelabelan produk pangan yang dilakukan oleh siapapun pelaku usahanya.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelanggaran pelabelan produk pangan di Indonesia berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999?

2. Bagaimana aspek perdata, pidana maupun administrasi dalam pelanggaran pelabelan produk pangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap pelanggaran pelabelan produk pangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999?

4. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam pelanggaran pelabelan produk pangan di Indonesia berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan


(16)

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999” adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu, penulisan pembahasan skripsi ini juga bertujuan, antara lain: 1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dalam

pelanggaran pelabelan produk pangan di Indonesia berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

2. Untuk mengetahui aspek perdata, pidana maupun administrasi d/alam pelanggaran pelabelan produk pangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999. 3. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pelaku usaha atas pelanggaran

pelabelan produk pangan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

4. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa dalam pelanggaran pelabelan produk pangan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan di bidang perlindungan konsumen, khususnya berkaitan dengan pelabelan produk pangan. Selain itu, hasil pemikiran ini juga akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang konsumen pada umumnya dan pelabelan produk pangan pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Pembahasan terhadap permasalahan ini dapat memberikan gambaran kepada masyarakat selaku konsumen dalam membela hak-haknya terhadap masalah pelanggaran dalam pelabelan produk pangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha pangan.


(17)

Selain itu, pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan khususnya pemerintah sebagai bahan pertimbangan di dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti terhadap konsumen yang berkaitan dengan pelabelan produk pangan di Indonesia, juga bagi produsen mengenai berbagai problema praktis yang dihadapi dalam menegakkan hak dari konsumen dalam memperoleh informasi produk, terutama label kadaluarsa dan label yang tidak sesuai dengan standarisasi label pada makanan yang juga dapat dijadikan sebagai landasan operasional bagi instansi yang terkait dalam menanggulangi hambatan-hambatan dalam penerapan peraturan perlindungan konsumen pada umumnya, hak konsumen atas pelanggaran pelabelan produk pangan pada khususnya.

E. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.9

9

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.105.

Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun


(18)

keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.10

Penelitian hukum normatif merupakan hukum yang dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah yang berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.11

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.12

3. Sumber Data

Dan penelitian ini juga menguraikan ataupun mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data yang terdiri atas:13

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : norma-norma atau kaedah-kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri.

10

Ibid. 11

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.118.

12

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal.38.

13


(19)

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-undangan, dan untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan pengambilan data konsumen dari situs internet YLKI.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.14

F. Keaslian Penelitian

Maka skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet, kamus dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab soal yang dihadapi.

Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide, gagasan, maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian. Ide maupun gagasan

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hal.21.


(20)

yang timbul karena melihat keadaan yang berkembang mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen atas pelanggaran dalam pelabelan produk pangan yang semakin marak terjadi dalam perdagangan bebas khususnya dalam perdagangan produk pangan. Artinya tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan ataupun penggambaran dari karya tulisan orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada terdapat judul tesis yang terdahulu yang menyerupai yaitu yang berjudul “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan” oleh Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Program Magister Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Akan tetapi yang menjadi pembahasan dan penelitian antara skripsi penulis dan tesis ini sangatlah berbeda dan tidak ada kesamaan mengenai apa yang menjadi pembahasan utama dari skripsi ini. Kalaupun ada pendapat dan kutipan dari penulisan ini, hal tersebut merupakan semata-mata adalah sebagai faktor pendorong dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan penulisan ini, karena hal ini memang sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan tulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan ini adalah:

Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar didalamnya terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Peneltian, Keaslian Penulisan, yang kemudian diakhiri oleh Sistematika Penulisan.

Bab II Merupakan bab yang membahas tentang tinjauan umum mengenai perlindungan konsumen dimana didalamnya diuraikan yaitu Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen, Asas, Tujuan, dan Prinsip


(21)

Hukum Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha.

Bab III Merupakan bab yang membahas tentang Pengaturan mengenai Pelabelan Produk Pangan dan permasalahan yang dihadapi konsumen dalam ketersediaan informasi dalam label pangan dimana didalamnya diuraikan yakni Pengertian Label, Label sebagai Perwujudan Dari Hak Konsumen Mendapatkan Informasi, Pelabelan Produk Pangan Bagi Konsumen Dalam Mendapatkan Perlindungan dan Pengaturan mengenai Pelabelan Produk Pangan.

Bab IV Merupakan bab yang membahas tentang Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dimana didalamnya menguraikan tentang Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Label Produk Pangan, Aspek Perdata, Pidana, dan Administrasi dalam Perlindungan Konsumen, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pelanggarang Pelabelan Produk Pangan yakni Tanggung Jawab Perdata, Pidana dan Administrasi, dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan.

Bab V ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi penerapan Perlindungan Konsumen Atas Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan di Indonesia dan orang-orang yang akan membacanya.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999

A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan tersebut, berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di samping itu, telah berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International

Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah berdiri berbagai

organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta dan organisasi konsumen lainnya yang tersebar diseluruh kota di Indonesia.15

Istilah “konsumen” berasasal dari alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris-Amerika), atau “consument/konsument” (Belanda). Pengertian dari

consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara

harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa nantilah yang menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna barang dan/atau jasa tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.16

15

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.22.

Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap

16 Ibid.


(23)

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht person). Menurut Az. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukanlah badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.17

Ada hal lain yang juga perlu dikritisi dari pengertian “konsumen” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Batasan pengertian “konsumen” dalam UUPK tersebut adalah batasan sempit. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut.18

Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama. Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang paling menarik adalah konsumen di negara ini tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.

17

Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.8.

18

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.5.


(24)

Namun, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku IV, pasal 236) konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian ia tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi perusahaan.19

Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.20

Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk yang cacat di negara-negara anggota European Economic Community (EC/MEE) dilakukan dengan cara menyusun Product Liability Directive yang nantinya harus diintegrasikan ke dalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui Statutory Orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam Directive harus diimplementasikan ke dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan Statutory Orders dapat langsung berlaku bagi semua warga negara dari negara-negara anggota EC.21

Article 1

Directive ini mengedepankan konsep liability without fault. Pengertian “konsumen” (consumers) tidak dijabarkan secara rinci dalam Directive. Dalam kajian bersama pada pasal 1 dengan pasal 9 Directive yang isinya :

The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product.

Article 9

For the purpose Article 1, “damage” means:

19

Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.13.

20

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23.

21


(25)

(a) damage caused by death or by personal injuries;

(b) damage to, or destruction of, any item of property other than the detective

product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of property:

(i) is a type ordinarily intended for private use or consumption, and

(ii) was used by the injured person mainly for his own private use or

consumption.

This Article shall be without prejudice to national provisions relating to non material damage.

Dapat disimpulkan bahwa “konsumen” berdasarkan Directive adalah pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan pengertian serupa di Amerika Serikat.22

Perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur dengan diimbuhi perlindungan merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), betapapun kedudukan undang-undang ini berdasarkan pendirian Mahkamah Agung,23

22

Ibid., hal 24-25.

terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan. Antara lain, istilah pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa (Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548), penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), peminjam pakai (Pasal 1743 Jo. Pasal 1740), peminjam (Pasal 1744) dan sebagainya. Sedang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ditemukan istilah tertanggung (Pasal 246 dst. KUHD), penumpang (Pasal 393, 394, dst. Jo. Pasal 341).

23

Surat Edaran Mahkamah Agung R.I tanggal 5 September 1963 No. 3/1963, perihal: Gagasan Burgerlijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang, termuat dalam Dian Yustisia, Pengadilan Tinggi Bandung 1975. hal.9.


(26)

Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang, pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Mereka tersebut sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk keperluan non komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut.

Perkembangan hukum baru, menunjukkan pula telah digunakannya istilah konsumen dalam putusan pengadilan. Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) ini, pengertian khalayak ramai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, ditafsirkan sebagai konsumen.24

Az. Nasution dalam bukunya menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:25

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Bagi konsumen antara, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa capital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain

24

Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1987 No. 341 PK/Pdt/1986 dalam Perkara Merk Ratu Ayu, antara PT. Rama Pharmaceutical Industry (Permohonan Peninjauan Kembali (PK), Termohon Kasasi/Penggugat) melawan Ny. Martha Tilaar dan Pemerintah RI qq Dep. Kehakiman RI qq Direktorat Paten dan Hak Cipta (Termohon Peninjauan Kembali, Pemohon, dan Turut Termohon Kasasi/Tergugat I/II). Dalam pertimbangannya MA menyatakan antara lain: “UU No. 21 Tahun 1961 mempunyai tujuan untuk melindungi baik konsumen (khalayak ramai) maupun pemakai pertama… “.”

25

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2002), hal. 13.


(27)

yang akan diproduksinya (produsen). Kalau ia distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang dan/atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen.

Sedang bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen dan terdiri dari barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan didalam rumah tangga masyarakat.

Bagi konsumen antara yang sebenarnya adalah pengusaha/pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha atau profesi mereka tidak “terganggu” oleh perbuatan-perbuatan persaingan yang tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopoli, dan sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaidah-kaidah hukum yang mencegah perbuatan-perbuatan tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar.

Bagi konsumen akhir (selanjutnya disebut konsumen), mereka memerlukan produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.

Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan


(28)

kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling membutuhkan.26

Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini.

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Dalam berbagai literatur hukum pun sering digunakan dua istilah hukum ini. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya dan apakah kedua “cabang” hukum tersebut identik.27

Pengertian hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen ternyata belum dibakukan menjadi suatu pengertian yang resmi, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia mempergunakan hukum perlindungan konsumen, tetapi Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya dengan hukum konsumen (konsumen-tenrecht).28

M.J. Leder menyatakan: “In a sense there is no such creature as

consumer law”. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen

dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni: “….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual

consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”.29

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum

26

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23.

27

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004), hal. 11.

28

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,

(Jakarta : Panta Rei, 2005), hal. 30.

29


(29)

konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut berbeda, yakni bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut Az. Nasution, hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup”, sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan beliau sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen”.30

Pada hakikatnya, hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membahas hal yang sama, yakni kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak dari konsumen tersebut diakui dan diatur di dalam hukum dan bagaimana penegakannya dalam praktik kehidupan bermasyarakat merupakan materi dari pembahasan kedua istilah hukum ini. Dengan begitu, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan perangkat hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Keseluruhan perangkat hukum tersebut termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi informasi, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan tersebut, misalnya dalam mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen

30


(30)

meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk tersebut.

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen dalam 2 (dua) kelompok, yakni:

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Adanya pengelompokkan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat di klasifikasikan bidang-bidang yang harus dilindungi, yaitu:

a. Keselamatan fisik,

b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen, c. Standar untuk keselamatan dan kualitas barang dan/atau jasa, d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok,

e. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti rugi,


(31)

f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi,

g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Janus Sidabalok mengemukakan 4 (empat) alasan pokok konsumen harus dilindungi, yaitu31

1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD RI 1945;

:

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

1. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

31

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hal.6.


(32)

Secara etimologi kata, bahwa asas dapat diterangkan sebagai berikut:32

a. Dasar, alas, pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah.

b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana.

c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya membicarakan asas dan tujuannya.

Selanjutnya kata asas ini di dalam bahasa Inggris disebut “principle” yang hubungannya erat dengan istilah “principium” (bahasa Latin). Principium menurut asal katanya adalah permulaan; awal mula; sumber; asal pengakal; pokok, dasar.33

Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.34

Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.

Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh peraturan pelaksanaannya.

35

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S mengatakan bahwa cita-cita hukum suatu undang-undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan

32

Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, (Medan : UNIBA PRESS, 1992), hal.114.

33 Ibid. 34

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2006), hal.3.

35


(33)

masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tersebut.36 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.37

Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat asas-asas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 194538

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

yang terkandung dalam ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999.

39

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

36

Tan Kamello & Syarifah Lisa, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, (Medan : USU, 2010), hal.77.

37

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal.87.

38

N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.82.

39


(34)

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Jika diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yakni:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.40

40


(35)

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Pada kasus tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.41

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan: “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”. Akan tetapi, Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut. Beliau menyatakan bahwa “sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Ia sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang dimaksudkan yakni, ketiga tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan,

41


(36)

mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

Kepentingan pemerintah dalam hubungan tersebut tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.

Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun pivat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu.42

Prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui

42


(37)

prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum perdata dan hukum ekonomi.

Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan pihak pelaku usaha dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana harusnya, maka asas-asas perlindungan konsumen tersebut harus dipadankan dengan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan dari perlindungan konsumen, yakni:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang


(38)

ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindugan konsumen.

Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan pasal 2 tersebut.43

Rumusan tujuan perlindungan konsumen pada huruf c dan huruf e merupakan tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan tersebut tidak berlaku mutlak karena rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

Kesulitan dalam memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) tersebut sekaligus keseluruhannya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 UUPK hanya dapat tercapai secara maksimal, apabilan didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana yang dikemukakan sangat berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang selanjutnya menentukan keefektifan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya.

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam

43


(39)

undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh pertanggung jawaban yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.44

Beberapa sumber hukum formil, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Dalam area hukum tertentu, antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsip-prinsipnya pun juga berbeda.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:45

(a) Kesalahan (Liability based of Fault);

(b) Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability);

(c) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of Non Liability); (d) Tanggung jawab mutlak (Strict Liability); dan

(e) Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability). (f) Tanggung jawab produk (Product Liability).

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based on Fault).

44

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo), 2006, hal.72.

45


(40)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) atau

liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh46

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu

.

47

a) Adanya perbuatan, :

b) Adanya unsur kesalahan,

c) Adanya kerugian yang diderita, dan

d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

Di dalam pembagian beban pembuktiannya, prinsip ini mengikuti ketentuan pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement) atau pasal 283 Rbg

(Rechtsreglement Buitengewesten) dan pasal 1865 KUHPerdata. Dalam

pasal-pasal ini dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (actorie incumbit probatio).48

Sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et

alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang

46

Sidharta, Op.cit., hal.73.

47

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.93.

48 Ibid.


(41)

berperkara.49 Hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (pasal 1367 KUHPerdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas

vicarious liability dan corporate liability.50

Vicarious liability (atau disebut juga respondeat superior, let the master

answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak

lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of the ship doctrine). Jika karyawan tersebut dipinjamkan ke pihak lain (borrowed servant), maka pertanggung jawabannya beralih kepada si pemakain karyawan tersebut (fellow servant doctrine).

Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama

dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (karyawan yang digaji oleh korporasi), tetapi juga diterapkan untuk karyawan non organik (tenaga kerja yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil).

Latar belakang penerapan prinsip tersebut adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Konsumen tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan yang tidak berhubungan organik. Doktrin terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat (konsumen), orang yang bekerja di korporasi tersebut adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut maka

49

Bahan ajar “Hukum Acara Perdata Indonesia” oleh Muhammad Husni, SH.,MH, Pembantu Dekan III FH USU sekaligus dosen pengajar mata kuliah Hukum Acara Perdata.

50


(42)

sudah cukup syarat bagi korporasi tersebut untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennya.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability). Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktiannya ada pada si tergugat.

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi51

(a) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

:

(b) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.

(c) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

(d) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.

Beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterapkan dalam prinsip ini. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada pasal 17 dan pasal 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan Republik Indonesia sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana

51


(43)

ditegaskan dalam pasal 19, 22, dan 23 (ketentuan pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999).52

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas ini cukup relevan. Jika teori ini digunakan, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Konsumen tidak selalu sekehendak hatinya mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of Nonliability).

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presumption of liability. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability

principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas53

Contoh penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Sekalipun demikian, dalam pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi

52

Sidharta, Op.cit., hal.76.

53


(44)

(setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability).

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Akan tetapi, ada pendapat ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut.

Ada pendapat yang mengemukakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute

liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengkaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya saja dalam kasus bencana alam).54

Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

Menurut R.C. Hoeber et.al., prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena55

54

Ibid., hal.77-78.

:

55


(45)

a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; b. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada

gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya;

c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product Liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) hal56

1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;

:

2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik;

3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation of Liability).

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

56


(46)

klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala 1971, prinsip “tanggung jawab dengan pembatasan” dikaitkan dengan prinsip “tanggung jawab mutlak”. Batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk satu penumpang sebesar $100.000 Amerika Serikat (tidak termasuk biaya perkara) atau $120.000 Amerika Serikat (termasuk biaya perkara).

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh para pelaku usaha. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal pertanggung jawabannya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

f. Prinsip tanggung jawab produk (Product Liabilty).

Istilah dan definisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen.57

Agnes M. Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai

NE Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk.

57


(47)

barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak.58

Sedangkan Perkins Coie mengartikannya sebagai “the liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person

injured by the use of the product”. Ending Saefullah lebih memperluas cakupan

pengertian product liability sebagai berikut: “Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut”.

Robert D Harsh dalam Diederick-Verschoor mendefinisikan yakni “The liability of a manufacturer, processor or non manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused by a product”.

Menurut The 1973 Hague Convention on the Law Applicable to Products Liability, yang juga disebut dengan The Hague Convention, product liability diberlakukan kepada orang-orang/pihak-pihak sebagai yang bertanggungjawab, yakni:

1. Pengusaha dari barang/produk akhir atau bagian komponen; 2. Pengusaha dari barang-barang alam (natural product); 3. Supplier dari sesuatu produk;

4. Orang-orang lain, termasuk pengusaha bengkel dan pergudangan di dalam jaringan penyediaan/persiapan atau distribusi suatu barang.

Ciri-ciri dari Product Liability sendiri dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:

• Pembuat produk jadi (finished product); • Penghasil bahan baku;

• Pembuat suku cadang;

58

Agnes M. Toar, Tanggung jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di beberapa Negara, Makalah dalam Penataran Hukum Perikatan II di Ujungpandang, 17-29 Juli 1989 dari situs


(1)

usaha dapat dimintai tanggung jawabnya sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.

4. Lembaga peradilan juga harus sesuai dengan asas dan tujuan dari peradilan tersebut. Sehingga konsumen yang ingi mengajukan gugatan ke pengadilan pun tidak berpikir bahwa pengadilan hanya berurusan dengan uang. Yang pada akibatnya lembaga pengadilan dianggap kurang tepat menyelesaikan permasalahan mereka. Begitu juga dengan kinerja BPSK agar lebih ditingkatkan lagi dan memberikan solusi yang menguntungkan bagi para konsumen dalam menuntut haknya atas kerugian yang dialaminya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Zainudin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Arifin, Syamsul, 1992, Falsafah Hukum, UNIBA PRESS, Medan.

Asikin, Zainal dan Amiruddin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Barkatullah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung.

---, 2010, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung.

Darmodiharjo, Darji & Sidharta, 1996, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Djamali, Abdoel, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Kamello, Tan dan Syarifah Lisa, 2010, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, USU Press, Medan.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.


(3)

Nasution, Az, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta.

---, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, CV. Triarga Utama, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ---, 1977, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

Samsul, Inocentius, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, FH UI Press, Jakarta.

Siahaan, N.H.T, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta.

Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta.

---, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia-UI Press, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1983, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soesilo, R, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.


(4)

Sri Wahyuni, Endang, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suggono, Bambang, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Usman, Rachmad, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Undang-Undang

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI Nomor:HK.00/05.1.2569 tentang Kriteria Dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah diubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1987 No. 341 PK/Pdt/1986 dalam Perkara Merk Ratu Ayu, antara PT. Rama Pharmaceutical Industry (Permohonan Peninjauan Kembali (PK), Termohon Kasasi/Penggugat) melawan Ny. Martha Tilaar dan Pemerintah RI qq Dep. Kehakiman RI qq Direktorat Paten dan Hak Cipta (Termohon Peninjauan Kembali, Pemohon, dan Turut Termohon Kasasi/Tergugat I/II).


(5)

Surat Edaran Mahkamah Agung R.I tanggal 5 September 1963 No.3/1963, perihal: Gagasan Burgerlijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Artikel/Jurnal/Tesis

Artikel Purwiyatno Hariyadi, Gizi dan Kesehatan, Mencermati Label dan Iklan Pangan, diunduh pada tanggal 28 Mei 2013 dari situs

Agnes M. Toar, Tanggung jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di beberapa Negara, Makalah dalam Penataran Hukum Perikatan II di Ujungpandang, 17-29 Juli 1989.

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi untuk Program Pascasarjana Program Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.

Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan, Tesis untuk Program Pascasarjana Program Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, 2011.

Artikel Purwiyatno Hariyadi, Gizi dan Kesehatan, Mencermati Label dan Iklan Pangan, diakses pada tanggal 28 Mei 2013 dari situs

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN): Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Konsumen Atas Kelalaian Produsen, Departemen Kehakiman RI, 1992.


(6)

Bahan Ajar “Hukum Acara Perdata Indonesia” mata kuliah Hukum Acara Perdata oleh Muhammad Husni, SH., MH, Pembantu Dekan III FH USU. Bahan Kuliah Soedjajadi Keman, Sistem Pengawasan Makanan di Indonesia, (Surabaya : Universitas Airlangga), diakses tanggal 21 Maret 2013 melalui situs

Bahan Uji Skripsi dari Titien Puji Rahayu, Perlindungan Konsumen Pengawasan Makanan, Jakarta, Universitas Islam Indonesia tahun 2008, dari situs:

Sofhiani Dewi, Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Badan POM RI, “Pelabelan Perisa Produk Pangan”, diakses tanggal 21 April 2013, dari situs: