Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Pengiriman Barang Atas Tindakan Wanprestasi Dihubungkan Dengan III Buku BW Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(1)

vii

MENTARI PUTRI 31606014 ABSTRACT

The development of word currently is marked by globalization flows in all fields that have considerable impact on the economic development in Indonesia. Meanwhile, the global economic development pace currently is marked by globalization in all fields accompanied by the high rates of population mobilization, money traffic, and goods in trade flows and increasingly intense of businesses competition. The large numbers of people that send goods to one another from distant locations makes this service very important. There are numerous companies specializing in freight shipment, be them public and private companies, one of which is PT Jalur Nugraha Ekakurir, a company specializing in freight shipment service. However, the operation of freight shipment is not risk free, resulting either from a negligence of the carrier or from anything beyond the control of human. Accordingly, it needs to study the contract between businesses and consumer so that the former can be accountable in accordance with the contract, and the remedial action the latter may take over any nonperformance committed by a business based on Buki III BW and Undang-Undang Number 8/1999 about Consumer Protection.

This research was conducted in a descriptive-analytical way by using a juridicial-normative approach method, and then the data was analyzed by a juridical-qualitative way. The data obtained as the findings of research was analyzed by a juridical-qualitative way, where legislations should not be in contradiction with one another, and by paying attention to the hierarchy of legislation and legal certainty.

Based on the analysis of the data obtained, it could be concluded that the liability of PT Tiki JNE on the occurrence of nonperformance was provided for in Buku III BW and it could be made as a basis if the business commits performances according to Article 1234 that stipulates that if one of the performances were not fulfilled. Based on UUPK, the liability of business is provided for in the provisions of Article 7 letter G that stipulates that the business should pay any compensation, damage and/or replacement if good and/or service received or utilized is not in conformity with the contract. Meanwhile, legal protection on consumer over the liability of business on the occurrence of nonperformance can be taken by lawsuit, either criminal or private, either by litigation or non-litigation. One of the non-litigarion processes is the settlement of dispute outside court as provided for in Article 45 of UUPK. The settlement of dispute outside court includes what is taken by Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK).


(2)

vi KONSUMEN MENTARI PUTRI

31606014 ABSTRAK

Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi dunia dewasa ini ditandai dengan globalisasi di segala bidang yang diiringi pula oleh tingginya tingkat mobilitas penduduk, lalu lintas uang dan barang dalam arus perdagangan serta semakin pesatnya pertarungan bisnis. Banyaknya penduduk yang saling mengirim barang dari tempat yang jauh membuat jasa ini menjadi sangat penting. Banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang baik perusahaan negeri maupun perusahaan swasta, salah satunya yaitu PT. Jalur Nugraha Ekakurir yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang. Akan tetapi Pelaksanaan pengiriman barang tidak terlepas dari resiko baik yang disebabkan oleh kelalaian pihak pengiriman maupun disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan manusia. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji tentang perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen sehingga konsumen dapat bertanggung jawab sesuai dengan perjanjian tersebut, serta tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen.

Penelitian ini, dilakukan secara deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang dianalisis secara yuridis kualitatif. Data hasil penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif, yang mana peraturan perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan lainnya, serta memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum.

Berdasarkan analisis terhadap data yang diperoleh disimpulkan bahwa tanggung jawab pelaku usaha PT Tiki JNE atas terjadinya wanprestasi, diatur dalam buku III BW dan dapat dijadikan dasar apabila pelaku usaha melakukan wanprestasi sesuai dengan pasal 1234 yang menyatakan bahwa apabila salah satu prestasi tidak terpenuhi. Berdasarkan UUPK tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam ketentuan Pasal 7 huruf g yang menyatakan bahwa memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Sementara itu, perlindungan hukum bagi konsumen terhadap tanggung jawab pelaku usaha atas terjadinya wanprestasi dapat dilakukan melalui tindakan hukum baik secara perdata dan atau pidana, baik melalui proses litigasi maupun non litigasi. Salah satu proses non litigasi berupa penyelesaian sengketa diluar pengadilan diatur dalam ketentuan Pasal 45 UUPK. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini termasuk yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu ciri modernisasi yang senantiasa menuntut perubahan dalam segala bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang penyediaan pelayanan yang berhubungan dengan data, informasi serta barang dan/atau jasa. Perkembangan informasi dan teknologi dalam bidang penyediaan jasa menuntut tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat modern saat ini, terutama kebutuhan akan kecepatan pelayanan, pengiriman maupun penerimaan layanan jasa, informasi, serta barang, dan/atau dokumen.

Sejak dahulu, masyarakat sudah mengenal pentingnya pemenuhan akan kebutuhan pertukaran dan pengiriman informasi serta barang dan/atau dokumen. Orang menggunakan burung merpati sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan komunikasi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pertukaran barang dari satu tempat ke tempat lainnya, masyarakat jaman dahulu menggunakan jalur laut seperti kapal ataupun jalur darat seperti berjalan kaki atau menggunakan kereta.

Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi dunia dewasa ini


(4)

ditandai dengan globalisasi di segala bidang yang diiringi pula oleh tingginya tingkat mobilitas penduduk, lalu lintas uang dan barang dalam arus perdagangan serta semakin pesatnya pertarungan bisnis. Di sisi lain beban tugas pemerintah semakin berat karena semakin tingginya tuntutan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Salah satu kebutuhan hidup yang tak kalah penting di era globalisasi ini adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang saling mengirim barang dari tempat yang jauh membuat jasa ini menjadi sangat penting. Banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang baik perusahaan negeri maupun perusahaan swasta seperti PT. Jalur Nugraha Ekakurir yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang. Perusahaan pengiriman barang menyediakan beberapa jenis paket pengiriman barang, oleh karena itu konsumen pengguna jasa dapat memilih jenis paket pengiriman barang yang ada pada perusahaan jasa tersebut. Tarif tersebut didasarkan pada lamanya paket barang yang kita akan kirimkan misalnya paket satu hari sampai atau paket regular dengan jangkla waktu pengiriman 2-7 hari.

Masalah yang timbul dan menjadi kendala dalam perusahan pengiriman barang terjadi karena adanya keterlambatan pengiriman barang oleh PT Tiki JNE yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Konsumen merasa dirugikan karena pihak penanggung jawab dari PT Tiki JNE tidak memberi konfirmasi atas keterlambatan yang terjadi, selain keterlambatan PT Tiki JNE juga sering tidak teliti dalam pengiriman barang yang mengakibatkan


(5)

hilangnya paket barang salah satu contohnya adalah konsumen pengguna PT Tiki JNE yaitu Bapak Eko Budiatmo yang berlokasi di Sumbawa Besar NTB. Bapak Eko mengirimkan paket barang yang isinya cukup bernilai akan tetapi selang beberapa waktu Bapak Eko tidak mendapatkan konfirmasi dari PT Tiki JNE bahwa barang yang di kirimkan hilang, PT Tiki JNE berjanji akan mengganti kerugian yang dialami oleh bapak Eko. Oleh karena itu dalam pelaksanaan perjanjian pengiriman barang, tidak selamanya berjalan secara lancar. Adakalanya pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan isi dari perjanjian atau wanprestasi baik yang dilakukan secara sengaja dan/atau kelalaian maupun karena keadan memaksa dari pengangkut. Padahal, kewajiban dari pengangkut tersebut adalah bertanggung jawab atas keselamatan barang kiriman sampai tujuan penerima, yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat berjalan dengan baik mewajibkan kepada pihak perusahaan pengiriman barang untuk bertanggung jawab, akan tetapi sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari adanya pihak perusahaan pengiriman barang yang tidak bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan.

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul :

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN PENGIRIMAN BARANG

ATAS TINDAKAN WANPRESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”


(6)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka penulis membatasi masalah-masalah yang dapat dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian perusahaan pengiriman barang atas terjadinya wanprestasi berdasarkan Buku III Burgerlijk Wetboek? 2. Bagaimana pelaksanaan tanggungjawab perusahaan pengiriman

barang terhadap perjanjiannya dalam hal terjadi wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan atau kehilangan surat dan paket barang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen?

3. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan konsumen dalam hal terjadi wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan atau kehilangan surat dan paket barang berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen?

C. Maksud Dan Tujuan

Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, adapun maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah, sebagai berikut :


(7)

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian perusahaan pengiriman barang apabila terjadi wanprestasi ditinjau berdasarkan Buku III Burgerlijk Wetboek;

2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa pengiriman barang atas perjanjian dalam hal terjadinya wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan dan kehilangan paket barang ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen.

D. Kegunaan Penulisan

Berikut ini merupakan kegunaan dari penelitian yang penulis lakukan, antara lain:

1. Secara Teoritis

Penelitian dalam bentuk skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran, dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus dalam ruang lingkup hukum bisnis termasuk bidang perlindungan konsumen.

2. Secara Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pihak yang berwenang


(8)

dan masyarakat pada umumnya dalam rangka peningkatan dan efisiensi serta efektifitas dalam bidang perlindungan konsumen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan alinea kedua pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa:

”…dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”

Konsep pemikiran utilitarianisme nampak melekat dalam pembukaan alinea kedua, terutama pada makna ”adil dan makmur”. Sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana Bentham menjelaskan ”the great happiness for the greatest number”. Makna adil dan makmur, harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia, baik yang bersifat rohani ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjukan seberapa besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Dengan kata lain, seberapa besar sebenarnya hukum mampu melaksanakan atau mencapai hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat dengan penuh kesabaran oleh negara dan ditujukan pada tujuan tertentu. Oleh


(9)

karena itu dapat disimpulkan bahwa makna yang tersirat dari kata adil dan makmur dalam alinea kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukan bagi seluruh rakyat indonesia dalam berbagai sektor kehidupan.1

Guna melaksanakan pembangunan nasional yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum, hal ini sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu :

”… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

1

Otje Salman S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 156-157.

suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…”

Kata mewujudkan merupakan kepastian hukum. Kepastian hukum adalah hukum itu harus benar-benar ditegakkan/dilaksanakan. Menurut Austin bahwa yang pasti hukumnya berbentuk undang-undang, karena dipengaruhi oleh Jean Bodean tentang soft reality yang dikenal dengan analitycal jurisprudence yang berisi positif law (undang-undang) dan positif morality (bukan undang-undang). Selain itu, tidak hanya positivisme hukum saja, sociological jurisprudence pun menyatakan bahwa hukum yang hidup baik yang tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang dinyatakan oleh August Comte tentang Living Law dan juga hukum itu harus murni yuridis sesuai yang dinyatakan oleh Hans Kelsen bahwa perundang-undangan yang berlaku betul-betul dilaksanakan baik oleh eksekutif maupun yudikatif.


(10)

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila secara substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya2

Hal ini berarti bahwa negara Indonesia adalah negara yang bedasar atas hukum (rechstaat), bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat). Negara berdasarkan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Konsep negara hukum ini menjadi sarana atau landasan bagi pemerintah (dalam arti luas) dalam melakukan aktivitas dalam

. Pancasila juga berbicara mengenai tiga kepentingan yaitu kepentingan individu, masyarakat dan negara harus seimbang. Hal tersebut yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan pelayanan hukum melalui pembangunan nasional termasuk pembangunan bidang ekonomi. Sistem ekonomi nasional Indonesia mengacu pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Konsep negara hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

“Indonesia adalah negara hukum”.

2


(11)

penyelenggaraan negara (pemerintahan) yang senantiasa harus berdasarkan atas asas sistem konstitusi (constitusionalisme) dan terwujudnya asas persamaan kedudukan di dalam hukum.3

Pengertian yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum4

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) disusun sebagai penjabaran dari dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan

Undang-, dengan demikian segala bentuk tindakan yang dilakukan di Negara Indonesia harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk pada permasalahan perlindungan konsumen yang berhubungan dengan bidang pengiriman barang.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, menyebutkan bahwa :

“Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 -2014, yang selanjutnya disebut RPJM Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014”.

3

Supomo, Dikutip dalam Skripsi Juju Juhariah, Tinjauan Hukum tentang Tindak Pidana Penipuan Finansial melalui Media Elektronik Dihubungkan dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2007, hlm.9.

4

Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia


(12)

Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional. Pelaksanaannya harus mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Pembangunan nasional memiliki 8 (delapan) misi, yaitu:

1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum. 4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.

5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan. 6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.

7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju,kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.

8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.


(13)

Strategi untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini, Indonesia sudah memasuki RPJMN Tahapan ke-2 (2010 – 2014). Visi Indonesia 2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokrasi dan berkeadilan. Perwujudan visi Indonesia 2014 dijabarkan dalam misi pembangunan 2010 – 2014 sebagai berikut :

1. Melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera. 2. Memperkuat pilar-pilar demokrasi.

3. Memperkuat dimensi keadilan dalam semua bidang.

Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional 2010–2014 ditetapkan 5 (lima) agenda utama pembangunan nasional tahun 2010–2014, yaitu :

1. Agenda I, yaitu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

2. Agenda II, yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan. 3. Agenda III, yaitu penegakan pilar demokrasi.

4. Agenda IV, yaitu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 5. Agenda V, yaitu pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

Sistem yang demokratis harus disertai dengan tegaknya rule of law, oleh karena itu agenda penegakan hukum masih merupakan agenda yang penting dalam periode 2010 – 2014. Wujud dari penegakan hukum adalah munculnya kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepastian hukum akan memberikan rasa aman dan adil masyarakat. Salah satu persoalan yang


(14)

dianggap mengganggu masuknya investasi ke Indonesia adalah lemahnya kepastian hukum, oleh karena itu penegakan hukum akan membawa dampak positif bagi perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan memberi dampak positif bagi perekonomian Indonesia.

Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat, mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya adalah hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat yang sedang membangun karena disinipun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Pengertian masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian5. Menurut pendapat Roscoe Pond, hukum harus dapat membantu proses perubahan masyarakat, law as a tool of social engineering6

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

.

Pengiriman barang didasarkan dengan adanya perjanjian. Perjanjian dalam hukum positif Indonesia diatur dalam pasal 1313 Burgerlijk Wetboek

yang menyatakan ”suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Selanjutnya pada pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan: ” untuk sahnya suatu perjanjian dibutuhkan empat syarat: 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. suatu hal tertentu 4. suatu sebab yang halal.”

5 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,

Bandung, 2002, Hlm. 14. 6


(15)

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif artinya syarat tersebut menyertai para pihak, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya para pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian kepada hakim dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun (Pasal 1454 KUH Perdata), apabila tidak dilakukan permintaan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap berlaku mengikat bagi para pihak. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif yang tidak menyertai para pihak, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum, artinya bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, oleh karena itu tidak ada dasar bagi para pihak untuk menuntut pemenuhan prestasi7

Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas, diantaranya adalah asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang menjelaskan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian sepanjang masih memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan juga tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, serta kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menggambarkan bahwa Buku III KUH Perdata bersifat terbuka. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dalam hal perjanjian pengiriman barang merupakan perjanjian yang mengikat antara perusahaan agen

.

7


(16)

pengangkutan barang dan dokumen dengan konsumen yang tertarik untuk menggunakan jasa pengangkutan barang/agen pengangkutan barang.

Setiap perjanjian sebagaimana telah dikemukakan diatas, selalu memuat suatu hal tertentu, yaitu prestasi. Prestasi, adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang di dalam setiap perikatan, baik perikatan yang bersumber pada perjanjian, undang-undang maupun yang lainnya. Prestasi sesuai dengan pasal 1234 KUH Perdata, menyebutkan :

“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan, akan tetapi ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak.

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian8

Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 macam, yaitu :

.

9

1. Tidak memenuhi seluruh prestasi

8Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta,2003,

hlm. 21. 9

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, Jakarta, 1999, hlm.18.


(17)

2. tidak melaksanakan sebagian prestasi

3. tidak tepat pada waktu melaksanakan prestasi 4. keliru memenuhi prestasi

Oleh karena itu, apabila pihak perusahaan pengiriman barang tidak melakukan salah satu prestasi atau lalai dalam melakukan prestasi maka perusahaan barang tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Perusahaan pengiriman barang dapat disebut juga dengan agen. Agen disini lebih menitik beratkan kepada sifat jasanya saja yang bertujuan agar mempermudah pengiriman barang dari seorang konsumen ke konsumen lainnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Istilah yang terdapat pada pasal 86 Ayat 1 KUHD, bahwa agen adalah orang atau perusahaan yang pekerjaannya menyuruh/mencari untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang muatan dagangan dan lain-lain10

1. Pelaku Usaha

.

Pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam tanggung jawab hukum perusahaan pengiriman barang atas tindakan wanprestasi yaitu :

Pelaku usaha dalam dunia perekonomian lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau

10

Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, 1995,hlm 70


(18)

pengusaha.11

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :

sedangkan pengertian pelaku usaha sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

12

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.

11

Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, FE UI, Jakarta, 1980, Hlm. 57.

12

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor , 2008, Hlm.11.


(19)

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya. Pelaku usaha dalam penulisan ini adalah perusahaan pengiriman barang. Pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;


(20)

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2. Konsumen

Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa yaitu dari kata consumer

(Inggris-Amerika), atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakanbarang13

13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media,

Jakarta, 2002. hlm . 3

.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksudkan dengan pengertian konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Penelitian ini, yang dimaksud dengan konsumen adalah para pengguna jasa Perusahaan Pengiriman barang, baik pengguna jasa retail (individu) ataupun korporat (pebisnis) yang mengadukan adanya keterlambatan, kerusakan atau kehilangan atas barang dan/atau dokumen kiriman mereka.


(21)

Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Kenyataan ini disebabkan konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi haknya dan masih enggan untuk menjalani proses penuntutan hak-haknya yang lama dan rumit. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Kewajiban konsumen yaitu untuk membayar harga barang dan/atau jasa yang telah dibelinya dalam setiap transaksi sesuai dengan kesepakatan antara


(22)

konsumen dengan produsen atau pengusaha. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Pelaksanaan pengiriman barang tidak terlepas dari resiko baik yang disebabkan oleh kelalaian pihak pengiriman maupun disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan manusia. Resiko yang disebabkan oleh kelalaian pihak pengangkut, yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat berjalan dengan baik mewajibkan kepada pihak pengiriman untuk bertanggung jawab.

Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :14

1. Contractual liablity, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

2. Product liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan. Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability

14

Edmon Makarim, pengantar Hukum Telematika, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm 368-378.


(23)

antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul.

3. Professional liability, tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.

4. Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan negara.

Berdasarkan Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen ada lima tanggung jawab pelaku usaha, yaitu:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugin konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai dengan perundangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagimanan dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Kententuan sebagaimaan dimaksud pada Ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan konsumen.

Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengemukakan bahwa:

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan


(24)

Ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.” Menurut Pasal 27 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang memproduksi barang atau menyediakan layanan/jasa dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila konsumen yang telah dirugikan tersebut memenuhi syarat-syarat/ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kulifikasi barang; d. Kelalaian diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau dilewatinya jangka waktu yang diperjanjikan.

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, dalam penelitian ini penulis mencoba menganalisa guna menemukan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang timbul sebagaimana telah disebutkan dalam identifikasi masalah.

F. Metode Penelitian

Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(25)

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa :

a. Data sekunder dengan bahan hukum primer yaitu perundang-undangan yang mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha, diantaranya Buku III BW dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau pendapat para ahli terkemuka.

c. Data sekunder bahan tersier berupa bahan-bahan yang didapat dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif. Metode yuridis Normatif adalah metode dimana hukum dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma15. Penafsiran hukum yang dilakukan yaitu dengan melakukan penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan kata-kata atau tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam peraturan perundang-undangan tertentu.

15 Hetty Hassanah, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas Hukum Unikom,

disampaikan pada acara Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodologi Fakultas Hukum Unikom, Bandung, 12 Februari 2011, hlm.5


(26)

3. Tahap Penelitian

a. Studi kepustakaan (Library Research), dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer yaitu berupa Peraturan Perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2) Bahan hukum sekunder yaitu berupa doktrin-doktrin dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah pengangkutan dan pengiriman barang.

3) Bahan hukum tersier yaitu berupa majalah, surat kabar, serta karya ilmiah mengenai perlindungan konsumen dalam jasa pengiriman barang.

b. Penelitian lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan dengan cara wawancara terstruktur dengan pihak-pihak terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan pengiriman barang, artikel dari beberapa surat kabar serta artikel yang diperoleh melalui website-website di internet yang


(27)

mana keseluruhannya berkaitan dengan materi dalam pembahasan penulisan ini.

5. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara yuridis kualitatif yang meliputi :

a. Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

b. Memperhatikan hierarkis peraturan perundang-undangan, dimana peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.

c. Kepastian hukum, dalam arti perundang-undangan yang diteliti betul-betul dilaksanakan dan didukung oleh penegak hukum. 6. Lokasi Penelitian

a. Instansi

1) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Jl. Pancoran Barat VII No. 1 Rt.008/06 Kel. Duren Tiga Kec. Pancoran Jakarta Selatan.

2) PT TIKI Jalur Nugraha Ekakurir Jl. Kawaluyaan Ruko 1-4 Bandung. b. Perpustakaan

1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jl. Dipati Ukur No. 112 Bandung.


(28)

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati Ukur No.35 Bandung.

c. Website

1)

2) 3) Dan lain-lain.


(29)

BAB II

ASPEK HUKUM PERJANJIAN JASA PENGIRIMAN BARANG, PELAKU USAHA JASA PENGIRIMAN BARANG DAN KONSUMEN PENGGUNA JASA

PENGIRIMAN BARANG

A. ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGIRIMAN BARANG

Pada dasarnya perjanjian pengiriman barang telah diatur dalam buku III

Burgerlijk Wetboek tentang Perikatan. Menurut Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW)menyatakan bahwa :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Sementara itu Subekti, mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya15. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu16

15Subekti. R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Inter Masa, Jakarta, 2001, hlm.22.

16

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1960, hlm.9

. Sedangkan R. Setiawan mengemukakan bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang


(30)

atau lebih17. Menurut Abdulkadir Muhamad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.18

1. Kesepakatan para pihak

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Berdasarkan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa syarat-syarat sah nya suatu perjanjian yaitu :

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.19

17

Op. Cit, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,hlm.49.

18 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. II,

1990 hlm.78. 19

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm.6

Asas konsensualisme menganggap bahwa perjanjian terjadi seketika setelah ada kata sepakat, adapun untuk menentukan kapan suatu kesepakatan itu dapat terjadi, ada


(31)

beberapa teori-teori yang akan menjelaskan hal tersebut, antara lain :20

Cakap untuk dapat melakukan perbuatan hukum yaitu diantaranya harus telah dewasa, berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 a. Uitings theorie atau teori saat melahirkan kemauan, yang artinya

bahwa perjanjian terjadi apabila atas penawaran tertentu telah dilahirkan kemauannya dari pihak lain. Kemauan dari pihak lain tersebut dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat penerimaan atau menyatakan kemauannya.

b. Verzend theorie atau teori saat mengirim surat penerimaan, menjelaskan bahwa perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada penawar.

c. Onvangs theorie atau teori saat menerima surat penerimaan, artinya bahwa perjanjian terjadi pada saat penawar menerima surat penerimaan dari pihak lain.

d. Vernemings theorie atau teori saat mengetahui surat penerimaan, menerangkan bahwa perjanjian baru terjadi apabila si penawar telah membaca atau telah mengetahui isi surat penerimaan tersebut.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

20 Riduan Syahrani, Beluk Beluk Dan Asas Asas Hukum Perdata, Alumni,


(32)

Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa orang yang telah dewasa adalah telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah. Kemudian orang yang dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal ini membuat perjanjian ialah orang yang sehat akal pikiran yaitu orang yang tidak dungu atau tidak memiliki keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila dan juga bukan orang yang pemboros (Pasal 433 Burgerlijk Wetboek). Selain itu orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti membuat perjanjian adalah orang yang tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan perjanjian utang-piutang.

3. Suatu hal tertentu

Prestasi ialah sesuatu hal tertentu yang dapat menjadi objek dalam suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek Prestasi terdiri dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Syarat-syarat objek suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1333

Burgerlijk Wetboek dimana suatu perjanjian harus :

a. Diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

b. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya, atau setidak-tidaknya dapat diperhatikan.


(33)

c. Mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut harus mungkin dilakukan menurut kemampuan manusia pada umumnya dan kemampuan debitur pada khususnya.

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1335 BW bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Dua syarat yang pertama merupakan syarat yang bersifat subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat yang bersifat obyektif. Subjektif dan objektif yaitu21

21

Loc. Cit. Catatan Hukum Perikatan. :

1. Syarat subjektif untuk sahya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak yang melakukan perjanjian dan cakap hukum. Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama para pihak tidak membatalkan perjanjian , maka perjanjian masih tetap berlaku.

2. Syarat obyektif untuk sahnya perjanjian yaitu sesuatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, hal ini berhubungan dengan objek yang diperjanjikan dan yang akan dilaksanakan oleh para pihak sebagai prestasi atau utang dari para pihak. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.


(34)

Para pihak dalam melakukan perjanjian baik itu pelaku usaha sebagai produsen maupun konsumen, dalam melakukan perjanjian harus memenuhi unsur-unsur perjanjian. Adapun unsur-unsur dari perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:22

1. unsur esensialia

merupakan sifat uang harus ada dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel), seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian. 2. unsur naturalia

merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti, menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring).

3. unsur aksidentialia

merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti, ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.

Rumusan ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek dikenal beberapa macam perjanjian diantaranya yaitu :23

1. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

22 Mariam Darus Badruljaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001, hlm.74 23


(35)

2. Perjanjian Cuma-Cuma

Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima manfaat bagi dirinya sendiri.

3. Perjanjian Atas Beban

Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu artinya bahwa dalam perjanjian atas beban terhadap prestasi pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain.

4. Perjanjian Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang.

5. Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam

Burgerlijk Wetboek dan terdapat di dalam masyarakat dan tetapi jumlah perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian


(36)

pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

6. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.

7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.

8. Perjanjian Konsensual

Perjanjian konsensual adalah persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesepakatan. Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat ( sesuai dengan Pasal 1338

Burgerlijk Wetboek). 9. Perjanjian Riil

Didalam Burgerlijk Wetboek ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai. Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil.


(37)

10.Perjanjian Liberatoir

Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding). Hal ini termuat dalam Pasal 1438 Burgerlijk Wetboek.

11.Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)

Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian mana yang berlaku diantara mereka.

12.Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek.

13.Perjanjian Publik

Perjanjian publik yaitu keseluruhan perjanjian atau sebagian perjanjian yang dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta. Keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, (Subordinated) dan tidak berada dalam kedudukan yang sama ( Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.

14.Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, perjanjian campuran itu ada berbagai paham.

a. Paham pertama mengatakan bahwa perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus kombinasi).


(38)

b. Paham kedua mengatakan ketentua-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas dalam perjanjian, yaitu24

Asas ini tersirat dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek. Pada Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek

ditunjukan dengan adanya syarat-syarat sah perjanjian yang pertama kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dalam hal ini

:

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek

bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

2. Asas Konsensualisme

24


(39)

berdasarkan asas konsensualisme, perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat, yang berarti kesepakatan tersebut berlaku sebagai undang-undangnya bagi para pembuatnya sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 (1) Burgerlijk Wetboek.

3. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)

Dalam perjanjian kepercayaan sangat dibutuhkan agar kedua belah pihak satu sama lain memegang janjinya, untuk memenuhi prestasinya masing-masing. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Kepercayaan diantara kedua pihak mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Para pihak dalam perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

5. Asas Persamaan Hukum

Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Asas ini menempatkan para pihak


(40)

dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain.

6. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini, bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

7. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

8. Asas Moral

Asas ini telihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari debitur.


(41)

9. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Burgerlijk Wetboek, dalam hal ini berkaitan dengan isi perjanjian.

10. Asas Kebiasaan

Bahwa dalam suatu perjanjian tidak hanya menyangkut hal-hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan saja tapi juga menyangkut kebisaan yang lazim diikuti.

Berdasarkan uraian di atas jasa perusahaan pengiriman barang termasuk kedalam perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain suatu kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir disanggupi pembayarannya terdapat dalam Pasal 1548

Burgerlijk Wetboek. Oleh karena itu apabila perusahaan pengiriman barang tidak melakukan salah satu isi perjanjian maka perusahaan dianggap telah melakukan wanprestasi.

Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi dalam setiap perikatan, prestasi merupakan isi daripada perikatan, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi.

Sementara itu, dengan wanprestasi, atau pun yang disebut juga dengan istilah breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan


(42)

prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan25

Menurut Riduan Syahrani, wanpresatsi seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu:

.

26

1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak melaksanakan isi perjanjian sebagaima mestinya.

2. Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian, artinya bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian saja, sedangkan sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum dilaksanakan.

3. Terlambat memenuhi prestasi, bahwa debitur tidak memenuhi prestasi pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, walapun ia memenuhi prestasi secara keseluruhan.

4. Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur memenuhi prestasi dengan barang atau obyek perjanjian yang salah. Dengan kata lain prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian ataupun bukan pula yang diinginkan oleh kreditur.

Sedangkan menurut Mariam Darus badrulzaman, dijelaskan bahwa wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu debitur

25 Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak

pada tanggal 31 Maret 2011, pukul 21.44 WIB 26


(43)

sama sekali tidak memenuhi prestasi, debitur terlambat memenuhi prestasi, serta debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi27

1. Memberikan sesuatu;

.

Sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa konsumen atau pihak lain yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya, kerugian atau kerusakan barang miliknya. Di dalam Pasal 1267 Burgerlijk Wetboek dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan, antara lain yaitu pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian, ganti kerugiannya saja, pembatalan perjanjian, ataupun pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.

Apabila konsumen hanya menuntut ganti kerugian saja maka ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian, sedangkan apabila konsumen hanya menuntut pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah dari semula menjadi kesanggupan pelaku usaha untuk melaksanakannya.

Kewajiban ganti rugi bagi pelaku usaha yang didasari oleh undang-undang menyatakan bahwa pelaku usaha harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana pelaku usaha dinyatakan ingkar janji atau telah melakukan wanprestasi. Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek menyatakan bahwa Perikatan ditujukan untuk :

27


(44)

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.suatu.

Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, maksud dari keadaan lalai ialah peringatan atau penyertaan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi apabila saat debitur dilampauinya maka debitur dinyatakan telah ingkar janji atau Wanprestasi28. Sedangkan Ridwan Syahrani, berpendapat bahwa perjanjian dimana prestasinya berupa memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi teguran agar ia memenuhi kewajibannya, debitur yang tidak memenuhi prestasi setelah diberi teguran maka ia dianggap telah wanprestasi29

Ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian kerugian berupa biaya dan rugi. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh konsumen,

.

Pada mulanya pengaturan mengenai bagaimana caranya memberikan teguran terhadap pelaku usaha untuk memenuhi prestasi diatur di dalam Pasal 1238 Burgerlijk Wetboek, namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 september 1963, maka ketentuan dalam pasal 1238 tersebut menjadi tidak berlaku lagi.

28

Loc. Cit 29


(45)

sedangkan rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik konsumen akibat kelalaian pelaku usaha30

Mariam Darus Badrulzaman, memberikan pengertian tentang rugi sebagai berikut, apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang dimaksud adalah kerugian nyata yang dapat diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji, jumlahnya ditentukan dengan perbandingan keadaan kekayaan antara sebelum dan sesudah terjadi ingkar janji

.

31

1. Overmacht

.

Pelaku usaha yang dianggap telah melakukan wanprestasi dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian, namun jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat dituntut pemenuhannya kepada pelaku usaha dengan dibatasi oleh undang-undang.

Beberapa alasan yang dapat menjadikan pelaku usaha melakukan wanprestasi yaitu :

2. Alasan timbal balik 3. Pelepasan Hak

Pelaku usaha pengiriman barang dalam melakukan wanprestasi dapat mempunyai alasan overmacht relative yaitu suatu keadaan memaksa yang dapat dicari jalan keluarnya32.

30 Ibid., hlm. 232. 31

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 21. 32


(46)

B. ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Sejarah lahirnya perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut mulai berlaku efektif pada 20 April 2000, tepat setahun setelah tanggal pengesahan. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat venditor.33

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:34

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai untuk menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila

33Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006,

hlm 62. 34


(47)

konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri. 2. The due care theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan mebuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

3. The privity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja.


(48)

Selanjutnya, menurut Az Nasution definisi hukum konsumen ialah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi kepentingan konsumen35

Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat dalam melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam ketatanegaraan. Hal ini bertujuan agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka diperlukan institusi-institusi penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya. Untuk mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum

. Selain itu, berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

35 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia


(49)

atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh perilaku hukum masyarakat sebagai budaya hukum.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Definisi lain dikemukakan oleh Kotler sebagai berikut:36

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus ”Consumers are individuals and households for personal use, producers are individual and organizations buying for the purpose of pruducing” Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan mengenai pasal tersebut menyebutkan bahwa pelindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

36


(50)

memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selanjutnya apabila memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berserta penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara


(51)

Republik Indonesia. Kelima asas yang terdapat dalam pasal tersebut, jika diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:37

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan 3. Asas kepastian hukum;

Adapaun tujuan perlindungan konsumen berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan konsumen bertujuan:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Keenam tujuan perlindungan konsumen berdasarkan pasal di atas dapat dikelompokan kedalam tiga tujuan hukum secara umum, yaitu:38

1. Tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan, yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan konsumen huruf c dan huruf e.

37

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm 26.


(52)

2. Tujuan hukum untuk memberikan kemanfaatan, yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan konsumen huruf a, huruf b, termasuk huruf c, huruf d dan huruf f.

3. Kepastian hukum, yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan konsumen huruf d.

Sementara itu terdapat 8 (delapan) hak yang secara eksplisit dituangkan pasal 4 Undang-Undang Perlindungan konsumen dan satu hak lain dirumuskan secara terbuka, hak-hak konsumen adalah:39

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

39


(53)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan demikian, rumusan hak-hak konsumen berdasarkan pasal di atas, secara garis besar dapat dibagi dalam 3 (tiga) hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:40

1. Hak yang dimaksud untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan;

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan

3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi;

Pembahasan mengenai perlindungan konsumen tidak terlepas dari pihak lainnya yaitu pelaku usaha. Definisi pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

“pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah

40


(54)

pengusaha. Secara umum pelaku usaha dapat dikelompokan sebagai pelaku ekonomi. Dalam hal ini pelaku usaha termasuk kelompok pengusaha, yaitu pelaku usaha, baik privat maupun publik. Kelompok pelaku usaha tersebut terdiri dari:

1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, pengelolaan investasi, usaha leasing, penyedia dana, dan lain sebagainya.

2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lain. Mereka dapat terdiri dari orang/atau badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/atau badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, jasa angkutan, perasuransian, perbankan, kesehatan, obat-obatan, dan lain sebagainya.

3. Distributor yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat.

Pada umumnya dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen terdapat kesepakatan berupa perjanjian dengan syarat-syarat baku. Pelaku usaha telah mempersiapkan terlebih dahulu mengenai syarat-syarat yang harus disepakati oleh konsumen. Jenis perjanjian ini yang membuat konsumen tidak dapat mengemukakan kehendaknya, konsumen seolah-olah terpojok


(55)

dalam posisi harus sepakat atau tidak terhadap perjanjian tersebut. Pada kondisi ini biasanya timbul sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen disamping mengatur penyelesaian sengketa di peradilan umum juga mengatur penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan diluar pengadilan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini diatur dalam pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini termasuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK merupakan badan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang mana mempunyai tugas dan wewenang tertentu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Selanjutnya, berdasarkan pada amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, maka pemerintah harus melakukan tindakan-tindakan yang dapat melindungi konsumen di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap anggota masyarakat adalah konsumen.

Dengan demikian, perlindungan terhadap konsumen dapat diwujudkan melalui pembentukan dan atau penegakan peraturan perundang-undangan ataupun melalui keputusan-keputusan tata usaha negara, yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik. Selain itu pemerintah dapat mengembangkan pendidikan bagi konsumen dan penetapan secara intensif untuk mendorong perilaku yang diharapkan oleh pemerintah, dalam hal ini yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen.


(56)

C. ASPEK HUKUM TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Tanggung jawab timbul dari perikatan, baik yang berasal dari undang-undang maupun dari perjanjian. Adamya perjanjian yang dibuat oleh para pihak, timbul hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hak dan kewajiban para pihak ini erat kaitannya dengan masalah tanggung jawab. Mereka bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dari perjanjian yang telah dibuat.

Tanggung jawab adalah mengenai kewajiban untuk menembus (mengganti) terhadap apa yang telah dilakukannya yang menimbulkan kerugian. Dasar pertanggung jawaban adalah kewajiban membayar ganti rugi atas tindakan yang menimbulkan kerugian dan kewajiban untuk melaksanakan janji yang telah dibuat. Pertanggungjawaban harus didasarkan atas satu perbuatan dan itu haruslah perbuatan alpa. Perbuatan kealpaan dan penyebab kerugian adalah unsurnya.41

Prinsip tentang tanggung jawab adalah bagian yang sangat penting dari perlindungan konsumen, khususnya dalam pelanggaran hak-hak konsumen. Adapun prinsip-prinsip umum mengenai tanggung jawab pelaku usaha, dalam praktiknya dapat dibedakan sebagai berikut:42

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault liability). Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan

41Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum Terjemahan Muhammad Radjad,

bharata, Jakarta, 1972, hlm.90. 42


(57)

yang dilakukannya. Apabila pihak penggugat gagal membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak tergugat, maka gugatannya gagal. 2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of

liability principle). Prinsip ini menyatakan bahwa pihak tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai dapat membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, maksudnya bahwa pelaku usaha tidak selalu harus selalu bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita konsumen. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan bahwa konsumen yang melakukan kesalahan.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility), dalam prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, nemun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. 5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan. Prinsip tanggung

jawab dengan pembatasan ini sering kali dilakukan oleh pelaku usaha untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh mereka.

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, Memperhatikan


(58)

substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.43

Berdasarkan hal ini, maka adanya keterlambatan pengiriman barang bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.44

Sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak luput dari bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen pengguna jasa. Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :45

1. Contractual liablity, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugin yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

2. Product liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan. Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability

43 Shidarta, Op. Cit, hlm 58. 44

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hlm.125. 45


(1)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN PENGIRIMAN BARANG ATAS TINDAKAN WANPRESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

LEGAL LIABILITY OF FREIGHT CARRIER COMPANY FOR BREACH OF CONTRACT ACTION REGARDING WITH BOOK III BURGERLIJK WETBOEK

JUNCTO LAW NUMBER 8 /1999 ABOUT CONSUMER PROTECTION SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh : Mentari Putri

3.16.060.14

Dibawah Bimbingan :

Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, SH.

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

viii

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Ade Maman Suherman. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2002.

Adrian Sutedi. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia. Bogor. 2008.

Agussalim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2007.

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2004.

Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Daya Widya. Jakarta. 1999.

Edmond Makarim. Kompilasi Hukum Telematika. PT .RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2003.

Mariam Darus. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. FE UI. Jakarta. 1980.

Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Alumni. Bandung. 2002.

Nindyo Pramono. Hukum Komersil. Pusat Penerbitan UT. Jakarta. 2003. Otje S. Soemadiningrat. Filsafat Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2009.

___________________. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali. PT Refika Aditama. Bandung. 2005.

R. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian. Putra Abadin. Jakarta. 1999.

R. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Sumur Bandung. Jakarta. 1960.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2006. Soegijatna Tjakranegara. Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang. Rineka


(3)

ix

Subekti. R. Pokok-Pokok Hukum Perdata. PT Inter Masa. Jakarta, 2001.

Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman.

Sumber Lain:

Hetty Hassanah. Penyusunan Penulisan Hukum, Makalah pada Seminar Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodology. Fakultas Hukum Unikom Bandung. 2011.

Situs-Situs:

Jenis-jenis pengiriman barang pada PT Tiki JNE, http://www.jne.co.id.

Kamus bahasa Inggris-Indonesia, Onli

Kasus-kasus yang dialami konsumen pengguna jasa PT Tiki JNE,

Motto tiki JNE


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mentari Putri

Tempat, Tgl Lahir : Bandung, 28 Februari 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalam Tubagus Ismail Dalam No.1a Bandung

Pendidikan Formal :

SDN M ELONG ASIH 3 CIMAHI (1994-2000)

SLTP NEGERI 1 BANDUNG (2000-2003)

SMA NEGERI 13 BANDUNG (2003-2006)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG (2006-sekarang)


(5)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Laporan Kerja Praktek yang berjudul TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN PENGIRIMAN BARANG ATAS TINDAKAN WANPRESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, tiada lain adalah karena keterbatasan pengetahuan, dan banyaknya kesulitan serta hambatan yang dihadapi Penulis, namun berkat dukungan, bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak terutama Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia dan selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan tenaga, waktu dan pikirannya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas ini. Selain itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Yth. Bapak Dr. Ir Eddy Suryanto S.,M.Sc. selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia.

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ariawati, SE,Ak,MS. selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia.

3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tadjudin, M.A. selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia.


(6)

ii

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, dra. selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia.

5. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

6. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

7. Bapak Budi Fitriadi, S.H., M.Hum, selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

8. Ibu Febilita Wulansari, S.H, selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

9. Ibu Arinita Sandria, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

10. Ibu Rika Rosillawati, A. Md. selaku Sekertaris Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

11. Kedua orangtua atas kasih saya, dukungan dan doa yang telah diberikan selama ini.

12. Kepada temen-teman yang telah mendukung saya.

Selanjutnya Penulis memohon maaf apabila dalam penyusunan tugas ini terdapat kesalahan dan kekeliruan, semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan Penulis pada khususnya.

Bandung, Juli 2011


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Tinjauan Hukum Mengenai Transaksi Pembayaran Melalui Perantara Atau Pihak Ketiga Secara Online Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Juncto Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang - U

0 33 115

Tanggung Jawab Hukum Operator Seluler Terkait SPAM SMS (Short Message Service) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen JUNCTO Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

2 23 77

Perlindungan Konsumen Atas Cacat Tersembunyi Pada Objek Perjanjian Jual Beli Mobil Memberikan Fasilitas Garansi Dihubungkan Dengan Buku Burgeelijk Wetboek JUNCTO Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

5 36 108

TANGGUNG JAWAB DOKTER JIKA TERJADI KERUGIAN DALAM MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS DAN KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 9

TANGGUNG JAWAB APOTEKER PENGELOLA APOTEK DALAM PELAYANAN RESEP DAN PERACIKAN OBAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

0 0 6

Perlindungan Hukum Terhadap Distributor Terkait Penjualan Barang Black Market Dihubungkan Dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 1 22

TANGGUNG JAWAB HUKUM PEMBERI ANTIBIOTIKA SECARA BERLEBIHAN TERHADAP AYAM BROILER DIHUBUNGKAN DENGAN HAK KONSUMEN ATAS KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUM.

0 0 2

Tanggung Jawab Media Penyiar Iklan Terhadap Konsumen Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

0 0 126

BAB II - TANGGUNG JAWAB LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP PESERTA DIDIK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN - repo unpas

0 1 40