Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri disertat 1966, Universitas of
Malaya Press 1970 -
Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966 -
New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967 -
The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968
3
Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syir al- Kasyaf wa al-Ilham,
yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan kasyafi
yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi
4
.
D. Pemikiran dan Pengaruhnya
Banyak ualama Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar di berbagai wilayah dunia Islam. Di antara ulama
Indonesia yang dikenal sebagai pengarang adalah Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan Syaikh Muhammad Arsyad al
Banjari.
5
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis
dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi
filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi- puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun
sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan
3
http:makalah-ibnu.blogspot.com200902syeikh-hamzah-al-fansuri.html .
Diunduh, Jumat 28 Juni 2012.
4
Samsul Munir Amin, Karamah Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2008.
Hlm. 317
5
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Batani,
Pustaka Pesantren: Yogyakarta, 2009, hlm. 49.
berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan pula Syeikh Hamzah Fansuri
adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair sebagai suatu bentuk
pengucapan sastra seperti halnya pantung sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab
keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar
lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang
canggih dan modern. Dengan demikian keduudkan bahasa Melayu di
bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa
Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah
Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah
sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah
Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang
hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin rahasia ahli makrifat, sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan
oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan
dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan
salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang
paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil
menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.
6
Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata, Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata, lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata Zahir. Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah
orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat. Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk
mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan
yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal
dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau
berzikir, atau merapal mantra. Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi
dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu, di sana kaulihat permai rupamu”.
6
Abdul Hadi W.M., op.cit., hlm. 14-16
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan
“hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau
Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti
melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu nyawa. Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata
inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi
“bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
7
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya memerlukan kepasrahan dan keberanian karena
“Kekasih zahir terlalu terangPada kedua alam nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu dekat
dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.
8
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham Hamzah
Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan
pembarahu Islam atau neo-sufisme.
9
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab
berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.
10
E. Kesimpulan