Putusan Hakim Pidana Di Bawah Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(1)

PUTUSAN HAKIM PIDANA DI BAWAH TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN THE VERDICTS OF CRIMINAL COURT JUDGES THAT ARE LIGHTER

THAN THE PROSECUTION OF GENERAL PROSECUTOR IN RELATION TO LAW NUMBER 48 OF 2009 ON JUDICIARY POWER

SKRIPSI

UntukMemenuhi Salah SatuSyaratUjianGunaMemperolehGelar SarjanaHukumJurusanIlmuHukumPadaFakultasHukum

UniversitasKomputer Indonesia

Oleh: Ari Rochman NIM. 3.16.06.032

Di bawahBimbingan : HettyHassanah, S.H., M.H.

NIP. 4127.33.00.005

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

Bandung, Juli 2011

DisetujuiuntukdiajukankemukaSidangPanitiaUjianSidangKomprehensif Program Strata SatupadaFakultasHukum

UniversitasKomputer Indonesia

Pembimbing

HettyHassanah, S. H.,M.H. NIP. 4127.33.00.005

Mengetahui, DekanFakultasHukum

UniversitasKomputer Indonesia

Prof. DR. H.R. Otje S. Soemadiningrat, SH. NIP. 4127.7000.009


(3)

vi

Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Oleh :

Ari Rochman

Abstrak

Tingginya tingkat kejahatan yang terjadi di Indonesia saat ini, membuat peradilan pidana sebagai bagian dari peradilan umum menjadi sorotan berbagai pihak, karena realitas yang terjadi masyarakat sering kecewa atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hakim sebagai pemegang kewenangan dalam memutuskan suatu perkara, dalam hal ini perkara pidana. Ada dua kepentingan dalam suatu perkara pidana yang masing-masing tentu saja memiliki hak untuk diperhatikan kepentingannya yakni pihak korban suatu kejahatan dan pelaku kejahatan itu sendiri. Di satu sisi, pihak yang menjadi korban sebuah kejahatan menginginkan agar pelaku (terdakwa) dijatuhi hukuman oleh hakim melalui suatu proses peradilan pidana yang seberat-beratnya, sebagai bentuk balasan dan penjeraan bagi pelaku kejahatan tersebut, mengingat pula penderitaan yang dirasakan korban dan/atau keluarganya baik secara fisik maupun psikis, secara material ataupun immaterial. Namun demikian, di lain pihak, pelaku kejahatan pun memiliki hak untuk melakukan pembelaan, berdasarkan asas praduga tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti. Pada praktiknya, terdapat beberapa perkara dengan putusan hakim yang memutuskan perkara pidana tersebut di bawah tuntutan jaksa penuntut umum. Ada beberapa masalah antara lain : Mengapa hakim pidana dapat menjatuhkan putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum; Tindakan hukum apa yang dapat ditempuh akibat putusan hakim yang putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif sehingga hirarki peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan analisis hukum, ditarik simpulan bahwa Dasar pertimbangan putusan hakim di bawah tuntutan jaksa penuntut umum dilakukan berdasarkan hukum adat yakni apabila terjadi kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan formal (hukum positif) maka hakim akan diwajibkan untuk berkreativitas, menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar putusannya (Pasal 5 ayat (1)) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kondisi seperti ini maka hakim memerankan fungsi rechtsvinding, terlebih lagi hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (asas ius curia novit, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009). Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak dalam perkara pidana, baik Jaksa Penuntut Umum maupun Terdakwa atas putusan hakim di bawah tuntutan jaksa adalah upaya hukum biasa yakni upaya hokum banding ke tingkat Pengadilan Tinggi dan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Selain itu dapat pula dilakukan upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali apabila putusan tersebut telah memiliki kekuatan hokum yang tetap dan pasti.


(4)

vii

The Verdicts of Criminal Court Judges that are Lighter Than The Prosecution of General Prosecutor in Relation to Law No. 48 of 2009 on

Judiciary Power By:

Ari Rochman Abstract

The high criminal level that occurs in Indonesia today makes criminal justice as a part of general justice to be a spotlight of diverse people. The ensuing reality often makes community disappointed on legal uncertainty and the unfairness of judges as the holder of authority in adjudicating a lawsuit, in this case criminal lawsuit. There are two interests in a criminal lawsuit, each of which certainly has a right to be attended, namely, the victim of crime and the doer of crime. On the one hand, the victim of a crime wants that the doer (the prosecuted) is punished as heavy as possible by judges through a criminal trial process, as a form of retaliation and to frighten the doer, and also in considering the suffering borne by the victim and/or his or her families, both physically and psychically, materially and immaterially. However, on the other hand, the wrongdoer also has a right to make defense, based on a presumption of innocence principle before there is a court verdict of permanent, definite legal force. In practice, there are some lawsuits where the verdict of judges punish the doer lighter than the prosecution by general prosecutor. There are some problems, among others: Why criminal justice judges can impose a punishment or sentence that is lighter than the prosecution of general prosecutor; and what legal action that may be taken as a consequence of a verdict by judges that impose a punishment that is lighter than the prosecution of general prosecutor.

The research conducted by the writer was descriptive-analytical in nature, with a juridical-normative and normative approaches. The data collected was then analyzed juridical-qualitative way so that the hierarchy of legislation could be attended and might ensure legal certainty.

Based on a legal analysis it was concluded that the basis of consideration of judge verdict that is lighter than the prosecution of general prosecutor was conducted based on customary law, that is, if there is no legal provision in formal (positive) laws then judges are obliged to be creative, to explore, to follow, and to understand legal values and sense of justice prevailing in community as the basis of their verdict (Article 5 paragraph (1) of Law No. 48 of 2009 on Judiciary Power. Under such condition, judges serve a function of rechtsvinding, and even judges should not reject to hear, adjudicate, and decide a lawsuit that has been filed by a reason that there is no law or the existing law is obscure, instead they should hear and adjudicate (ius curia novit principle, Article 10 paragraph (1) of Law No. 48 of 2009). The legal remedy that the parties in a lawsuit, either general prosecutor or the prosecuted, can take over a verdict of judges that is less than the prosecution of general prosecutor are to an usual legal remedy, that is, appeal to Court of Appeal, and legal remedy of cassation to Supreme Court. In addition, an unusual legal remedy can also taken such as judicial review over a verdict that has had a permanen, finite legal force.


(5)

i

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman . Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.

Skripsi ini membahas mengenai landasan hukum adanya putusan hakim di bawah tuntutan jaksa penuntut umum pada perkara pidana. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam metode penulisan, penyajian maupun pembahasan materi. Hal ini dikarenakan keterbatasan penulis baik pengetahuan maupun kemampuan, walaupun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang terbaik. Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini,

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada orang tua tercinta yang dengan segala kasih sayang dan doa restunya yang tidak pernah putus senantiasa memberikan dorongan baik moril maupun materiil kepada penulis selama ini, selain itu juga penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :


(6)

ii

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Suryanto Soegoto, M.Sc. selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr.Hj. Ria Ratna Ariawati,SE. MS.Ak., selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tadjuddin, M.A. selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Aelina Surya, M.Si, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Bapak Prof. Dr. Otje S. Soemadiningrat, S.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth.Ibu Hetty Hassanah,S.H.,M.H., selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Bapak Budi F.Supriadi,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A. Md. selaku sekretariat Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tuaku yang tak pernah mengenal kata lelah untuk memberikan dorongan dan do a sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Buat kakakku tercinta Suci handayani , yang selalu memberikan motivasi dan buat adikku M.Agung.Gumilar , jadikan dirimu lebih baik dari kakakmu ini. Buat Windy Desgianti, terima kasih yang


(7)

iii

sebesar-besarnya karena telah memberikan semangat, do a dan kasih sayang nya yang mana penulis bisa lebih tenang dalam mengerjakan skripsi ini.

Sahabat-sahabatku yaitu Dadan Nugraha, Lucky Prahara, Anggie, Hardy, Annas, Rian, Ferry, Indra, Hery, Peter, Andi, Edi, dan teman-teman yang tidak di sebutkan satu persatu mohon maaf dan semoga persahabatan kita tidak pernah akan berakhir walaupun kita nanti terpisah oleh kelulusan. Dan tak lupa juga teman-teman Fakultas Hukum UNIKOM terima kasih atas doanya yang selalu diberikan kepada Penulis. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan oleh seluruh pihak mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amiin.

Bandung, Juli 2011


(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara berkeseimbangan dan berkesinambungan di berbagai bidang kehidupan termasuk bidang hukum. Proses penegakan hukum di Indonesia, sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia dan sikap mental para penegak hukum itu sendiri. Walaupun pada kenyataannya, sampai saat ini, kualitas sumber daya manusia dan sikap mental para penegak hukum itu justru selalu menjadi permasalahan baru yang dianggap menghilangkan kepastian hukum dan rasa keadilan dalam proses penegakan hukum tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat beberapa lingkup lembaga peradilan yang masing-masing memiliki kewenangan absolut (absolute competentie), yaitu :

1. Peradilan umum 2. Peradilan agama 3. Peradilan Militer dan

4. Peradilan tata usaha negara

Sistem peradilan terpadu (Integrated Criminal Justice System) mencakup keterpaduan berjenjang antara peran dan fungsi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan serta advokat. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan


(9)

2

bahwa sidang pemeriksaan pengadilan dilakukan terbuka untuk umum, bahkan dalam perkara yang pemeriksaannya ditentukan tertutup untuk umum, tetap saja putusannya harus dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, sehingga proses persidangan dapat diperhatikan dan dikritik oleh masyarakat, tidak terkecuali dalam perkara-perkara pidana.

Tingginya tingkat kejahatan yang terjadi di Indonesia saat ini, membuat peradilan pidana sebagai bagian dari peradilan umum menjadi sorotan berbagai pihak, karena realitas yang terjadi masyarakat sering kecewa atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan hakim sebagai pemegang kewenangan dalam memutuskan suatu perkara, dalam hal ini perkara pidana. Ada dua kepentingan dalam suatu perkara pidana yang masing-masing tentu saja memiliki hak untuk diperhatikan kepentingannya yakni pihak korban suatu kejahatan dan pelaku kejahatan itu sendiri. Di satu sisi, pihak yang menjadi korban sebuah kejahatan menginginkan agar pelaku (terdakwa) dijatuhi hukuman oleh hakim melalui suatu proses peradilan pidana yang seberat-beratnya, sebagai bentuk balasan dan penjeraan bagi pelaku kejahatan tersebut, mengingat pula penderitaan yang dirasakan korban dan/atau keluarganya baik secara fisik maupun psikis, secara material ataupun immaterial. Namun demikian, di lain pihak, pelaku kejahatan pun memiliki hak untuk melakukan pembelaan, berdasarkan asas praduga tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti. Bentuk pembelaan yang diajukan seorang terdakwa pada peradilan pidana merupakan salah satu pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana. Putusan hakim dalam peradilan pidana sering menimbulkan


(10)

3

ketidakpuasan para pihak, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum yang mewakili kepentingan korban1.

Pada praktiknya, terdapat beberapa perkara dengan putusan hakim yang memutuskan perkara pidana tersebut di bawah tuntutan jaksa penuntut umum. Hal ini terjadi disebabkan berbagai faktor yang dijadikan petimbangan hukum oleh hakim dalam putusan tersebut. Banyak kasus pidana yang putusan hakimnya seperti itu, seperti putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yakni Putusan No. 32/Pid.B/1999/PN.Pwt mengenai kasus perkosaan. Selain itu, putusan hakim pada kasus mantan anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, Al Amien Nur Nasution, telah dijatuhi hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Al Amien terbukti melakukan dua tindak pidana korupsi yang dijerat dengan Pasal 11 dan 12 (e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yang meminta terdakwa dihukum 15 tahun. Sementara itu, Terdakwa kasus illegal logging bernama Haryadi Aryadipa dihukum dua tahun penjara oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rosidah dan Christian yang menuntut lima tahun penjara. Selain itu, Tiga mantan Direktur Bank Indonesia yang menjadi Terdakwa kasus penyaluran dana BLBI telah di lepaskan dari segala tuntutan hukum oleh Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, yang mana


(11)

4

sebelumnya Jaksa menuntut tiga Terdakwa tersebut dengan enam tahun pidana penjara.

Pada beberapa kasus lain, bahkan terdakwa diputus bebas dari hukuman

(vryjspraak) atau dilepaskan dari segala tuntutan, yang disebabkan dianggap

kesalahan terdakwa tidak terbukti maupun adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf, sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Dengan demikian, pihak korban suatu kejahatan khususnya dan masyarakat pada umumnya sering merasa tidak mendapat kepastian hukum dan keadilan sebagaimana mestinya, yang mungkin disebabkan pula para penegak hukum di atas tidak menggunakan kekuasaan yang diberikan hukum sebagaimana mestinya, dapat digambarkan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa hakim pengadilan memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan terhadap seorang Terdakwa atas suatu tindak pidana yang telah diproses di penagdilan tersebut. Putusan yang dijatuhkan hakim merupakan hasil pertimbangan hukum hakim/majelis hakim pada perkara tersebut. Pertimbangan yang dimaksud antara lain berasal dari proses pembuktian, hal-hal yang memberatkan dan/ atau meringankan Terdakwa sehingga putusan hakim/majelis hakim dapat sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum atau di atas tuntutan jaksa penuntut umum atau bahkan di bawah tuntutan jaksa penuntut umum.


(12)

5

Kondisi peradilan di atas sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, sehingga dibutuhkan penjelasan lebih lanjut atas permasalahan termaksud. Sampai saat ini, belum ada yang membahas masalah ini secara khusus. Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal di atas, yang dituangkan dalam bentuk Tesis berjudul Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman .

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut :

1. Mengapa hakim pidana dapat menjatuhkan putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum ?

2. Tindakan hukum apa yang dapat ditempuh akibat putusan hakim yang putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui alasan hakim pidana menjatuhkan putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum

2. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat ditempuh akibat putusan hakim yang putusannya di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum.


(13)

6

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan bagi pengembangan ilmu hukum. Khususnya hukum acara pidana menyangkut putusan hakim pada peradilan pidana.

2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak yang berwenang dalam membuat dan atau memperbaharui peraturan perundang-undangan mengenai putusan hakim pada peradilan pidana di bawah tuntutan jaksa penuntut umum.

E. Kerangka Pemikiran

Proses penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini masih terus dilakukan. Kerjasama antara sesama penegak hukum (Polisi, jaksa, Hakim dan Advokat) terus dijalin dalam mengatasi semua permasalahan hukum baik di bidang perdata, pidana, tata usaha negara dan lingkup peradilan lainnya. Sampai saat ini, tingkat kejahatan di Indonesia terus melaju cepat seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal proses peradilan pidana yang sering menciptakan kekecewaan pada para pihak yang terkait di dalamnya, seperti korban yang kepentingannya


(14)

7

diwakili oleh jaksa penuntut umum dan terdakwa itu sendiri, dalam hal ini berkaitan dengan putusan hakim yang cenderung di bawah tuntutan jaksa penuntut umum. Harapan masyarakat pada proses peradilan termasuk peradilan pidana ini adalah kepastian hukum dan terpenuhinya rasa keadilan. Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai proses peradilan pidana terutama tentang putusan hakim di bawah tuntutan jaksa penuntut umum, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai pihak-pihak yang terkait dengan sistem peradilan pidana2.

Pihak-pihak yang terkait dengan sistem peradilan pidana adalah para penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim maupun advokat, serta lembaga pemasyarakatan melalui proses peradilan termasuk dalam peradilan pidana, yang masing-masing memiliki kewenangan tersendiri. Kewenangan termaksud didasari peraturan perundang-undangan yang relevan, misalnya Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang-Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang-Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Tentang lembaga Pemasyarakatan. Kewenangan yang diatur undang-undang tersebut menggambarkan adanya suatu kekuasaan dan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (amandemen ke III) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sementara itu, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan


(15)

8

kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Saat ini, masyarakat mengharapkan kekuasaan kehakiman yang benar-benar independen, maksudnya bebas dari tekanan dan pengaruh eksekutif. Banyak faktor yang mempengaruhi independensi kekuasaan kehakiman, baik secara intern maupun ekstern. Faktor intern antara lain sumber daya manusia hakim itu sendiri, rekrutmen hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim. Sementara itu, faktor ekstern nya meliputi peraturan perundang-undangan, intervensi proses peradilan, hubungan hakim dengan penegak hukum lainnya, kesadaran hukum serta sistem hukum dan pemerintahan.

Kekuasaan kahakiman harus dilaksanakan secara terpadu artinya saling terkait satu sama lain dan yang terpenting adalah saling kontrol sebagai bentuk perwujudan adanya sistem peradilan pidana terpadu. Pada hakikatnya, sistem peradilan pidana identik dengan sistem penegakan hukum pidana yakni sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum pidana. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari 3:

1. kekuasaan penyidikan; 2. kekuasaan penuntutan;

3. kekuasaan mengadili (pengadilan); 4. kekuasaan pelaksana pidana

Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) tidak hanya meliputi kekuasaan kehakiman saja tetapi juga semua elemen yang memiliki

3

Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim dalam menangani Suatu Perkara Pidana, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1987, Hlm. 10


(16)

9

kekuasaan dalam penegakkan hukum yaitu polisi, jaksa, advokat dan lembaga pemasyarakatan.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), telah menyebabkan terjadinya pergeseran model dalam sistem peradilan pidana Indonesia dari model civil law system

khususnya model Belanda ke arah sistem campuran (mix system). Salah satu tradisi common law yang diadopsi KUHAP adalah konsep habeas courpus yang terwujud melalui proses praperadilan. Habeas courpus muncul pertama kali di Inggris pada tahun 1302 dan menjadi prinsip dasar dalam sistem hukum negara tersebut. Habeas corpus ad subjiciendum berasal dari bahasa Latin yang berarti surat perintah dari pengadilan untuk menguji kebenaran dari penggunaan upaya paksa (dwang middelen) baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat.

Indonesia tidak mengadosi prinsip habeas courpus secara keseluruhan. Praperadilan sebagai perwujudannya hanya berperan sebagai hakim pengawas

(examinating judge) yang kewenangannya terbatas pada pemeriksaan aspek

formalitas yaitu sah tidaknya syarat-syarat formil dilakukannya upaya paksa oleh polisi atau jaksa. Pemeriksaan terbatas pada sah tidaknya penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Praperadilan tidak berperan sebagai hakim investigasi (investigating judge) untuk melakukan pemeriksaan substansi perlu tidaknya upaya paksa dilakukan. Pada praperadilan, hakim bersifat pasif tidak dapat memeriksa dan memutus tanpa


(17)

10

adanya pemohonan dari tersangka, keluarga atau kuasanya, penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga4.

Pada sistem common law, masyarakat dapat terlibat langsung dalam proses peradilan pidana melalui grand jury. Grand jurors (anggota grand jury) berasal dari masyarakat. Walaupun berasal dari konsep jury system, tetapi grand jury

berbeda dengan juri dipersidangan (petit jury). Grand jury tidak menentukan salah atau tidak bersalahnya seseorang. Grand jury hanya bertugas menentukan adanya probable cause (bukti permulaan) terjadinya suatu tindak pidana berat

(felony) dengan ancaman pidana satu tahun atau lebih atau hukuman mati serta

menentukan adanya seseorang telah melakukan tindak pidana berat tersebut. Grand jury mempunyai kewenangan memanggil saksi-saksi untuk memastikan telah terjadi sebuah tindak pidana. Ketika grand jury percaya bahwa suatu tindak pidana telah terjadi maka mereka akan mengeluarkan sebuah

indictment atau presentments yaitu rekomendasi tentang adanya cukup bukti

bahwa seseorang telah melakukan sebuah tindak pidana, namun apabila grand jury tidak menemukan cukup bukti maka, grand jury dapat menyatakan no true bill (tidak ada tindak pidana).

Di Indonesia, konsep grand jury diadopsi ke dalam KUHAP yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan demikian, penegakan hukum akan lebih baik dengan polisi, jaksa, hakim, hakim. Meskipun dikatakan hakim bebas dalam mengambil keputusan, namun terikat pada apa yang didakwaan penuntut umum, dalam hal ini hakim tidak boleh menjatuhkan


(18)

11

pidana diluar dakwaan penuntut umum. Sistem peradilan terpadu mensyaratkan, instansi penegak hukum saling kontrol dan semuanya independen. KUHAP menunjukkan kurang adanya saling kontrol antara penegak hukum, sehingga sulit untuk mewujudkan adanya sistem peradilan pidana terpadu (integrated

criminal justice system). Sebenarnya sistem hukum acara pidana di Indonesia

bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, dalam hal ini hakim tidak saja melakukan perbuatan mengadili tetapi juga perbuatan penuntutan (daden van

vervolging), misalnya perpanjangan penahanan, izin penggeledahan, penuntutan

hari sidang dan lain-lain yang merupakan kontrol kepada penyidik dan penuntut umum5.

Sebenarnya jaksa pun melakukan kontrol negatif (negatieve controle van het OM) terhadap hakim, karena dalam tuntutannya seorang jaksa menuntut pidana, setelah menguraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Selanjutnya hakim akan memutus perkara termaksud didasarkan pada pertimbangan-pertimbangannya baik hal yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Pertimbangan-pertimbangan hakim ini dapat menunjukkan perbuatan yang sungguh-sungguh dilakukan terdakwa, sesuai fakta di persidangan, sehingga kebebasan hakim dalam memutus ada batas-batasnya baik secara teknis yuridis maupun secara praktis.

Putusan hakim dalam perkara pidana dibatasi pula oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum, sama halnya dengan perkara perdata yang dibatasi oleh isi gugatan. Pada perkara pidana, hakim tidak boleh memutus di


(19)

12

luar yang didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang didakwakan adalah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi dan itu pula yang dibuktikan. Kewenangan hakim dalam memutus perkara pidana dibawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum merupakan perwujudan dari kewenangan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Selanjutnya dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Proses peradilan pidana dilakukan dengan berdasar pada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan di pengadilan sampai putusan yang dijatuhkan oleh hakim serta upaya hukum yanag dapat ditempuh oleh para pihak. Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHAP), penyelidikan dilakukan oleh setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia, sedangkan penyidik dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Setelah proses penyidikan dianggap lengkap, maka berkas perkara akan dilimpahkan ke pengadilan dalam lingkup


(20)

13

peradilan umum pada daerah hukum sesuai dengan kewenangan relatif pengadilan termaksud, dan selanjutnya dilakukan proses persidangan yang diawali dengan dakwaan jaksa, dalam hal ini didasari hasil penyidikan yang telah dilakukan.

Pembuktian pada peradilan pidana sangat mempengaruhi dan menentukan tahap selanjutnya yaitu Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang mana didalamnya menekankan pada pasal yang akan diterapkan serta bentuk pidana yang diharapkan akan dijatuhkan pada terdakwa. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa harus sesuai dan tidak melebihi hukuman sebagaimana telah ditentukan dalam pasal yang diterapkan tersebut. Pada dasarnya ada beberapa bentuk hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP yaitu 6:

1. Hukuman pokok terdiri dari : hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda.

2. Hukuman tambahan terdiri dari ; pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.

Ketentuan pidana yang terdapat pada setiap pasal dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pidana didasari dengan bentuk hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP di atas.

Semakin tinggi derajat victim precipitation, maka semakin besar dpertimbangan aspek yang meringankan terdakwa. Aspek pelaku yang dipertimbangkan meliputi sikap dan perilaku terhadap korban setelah terjadinya


(21)

14

tindak pidana, kepribadian serta komitmen terhadap penyelesaian kasus yang dihadapi. Atas kondisi seperti dijelaskan di atas, seringkali hakim pada proses peradilan pidana menjatuhkan putusan yang cenderung lebih ringan atau di bawah tuntutan jaksa penuntut umum. Walaupun hal itu tidak dilarang menurut undang-undang, namun menjadikan ketidakpuasan masyarakat terutama korban dan keluarganya atas putusan hakim tersebut, yang dianggap tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan tidak memenuhi rasa keadilan.

F. Metode Penelitian

Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara sistematis fakta-fakta dan permasalahan hukum yang diteliti sekaligus menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, dihubungkan dengan teori hukum dan praktis pelaksanaannya, berupa data sekunder bahan hukum primer antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli yang berkaitan dengan putusan hakim pada peradilan pidana serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.


(22)

15

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan putusan hakim pada peradilan pidana, pada tahap ini dilakukan pula penafsiran hukum secara gramatikal yaitu menafsirkan kata atau kalimat dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan putusan hakim pada peradilan pidana, penafsiran hukum secara sistematis dengan memperhatikan keterkaitan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya, baik dalam satu peraturan atau peraturan lainnya, penafsiran hukum secara otentik yang dapat dilihat langsung pada penjelasan peraturan peundang-undangan yang bersangkutan, serta penafsiran hukum secara ekstensif dengan cara memperluas arti kata dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data dengan beberapa cara yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (library research), dalam hal ini Peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum primer seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli yang berkaitan dengan


(23)

16

putusan hakim pada peradilan pidana serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.

b. Penelitian Lapangan (field research), untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti melakukan penelitian lapangan, antara lain melakukan wawancara terstruktur dengan pihak kejaksaan, hakim dan lembaga peradilan umum.

4. Metode Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, maksudnya bahwa analisis dilakukan dengan memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan agar peraturan yang satu tidak bertentangan dengan peraturan lainnya, untuk mencapai kepastian hukum, serta menggali hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

5. Lokasi Penelitian a. Perpustakaan yakni :

1) Perpustakaan UNIKOM;

2) Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAD, b. Instansi-instansi terkait yakni :

1) Kejaksaan Negeri Bandung;

2) Pengadilan Negeri Klas IA Bandung. c. beberapa website dalam internet.

1) www.legal.go.id


(24)

17

BAB II

ASPEK HUKUM TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM DAN

PUTUSAN HAKIM PADA PERKARA PIDANA

A. Tinjauan Hukum Mengenai Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Pada dasarnya, hukum pidana itu dibangun di atas substansi pokok yaitu : tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi pidana atau pemidanaan. Dengan demikian bahasan pidana dan pemidanaan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kedua substansi hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu, pembahasan mengenai pidana dan pemidanaan, tidak terlepas dari pembahasan tentang stelsel pidana, strafsoort, strafmaat, dan strafmodus, pengertian pidana dalam hukum pidana, teori pengenaan pidana, aliran dalam hukum pidana, serta perkembangan substansi hukum pidana dalam rancangan konsep Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana (KUHP) baru.

1. Stelsel Pidana

Stelsel pidana adalah susunan pidana yang ada dalam Pasal 10 KUHP, yang terdiri dari :

a. Pidana Pokok terdiri dari : 1) pidana mati 2) pidana penjara 3) kurungan 4) denda


(25)

18

b. Pidana Tambahan, meliputi :

1) pencabutan hak-hak tertentu

2) perampasan barang-barang tertentu 3) pengumuman putusan hakim

stelsel pidana ini telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, tanggal 31 Oktober 1946. Putusan Mahkamah Agung Nomor 59 K/Kr/1969, tanggal 11 Maret 1970 yang menegaskan bahwa menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP adalah tidak dibenarkan. Ketentuan penjelasan terhadap masing-masing stelsel pidana tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal lebih lanjut dalam Buku I, Bab II KUHP1.

Dengan meninjau stelsel pidana, maka dengan mudah diketahui strafsoortnya yakni jenis-jenis pidana yang ada dalam stelsel tersebut baik dalam pidana pokok maupun dalam pidana tambahan, begitu pula dengan strafmaat (berat ringannya pidana), dan bentuk pengenaan pidananya (strafmodusnya). Akan tetapi patut dicatat bahwa perihal pelaksanaan (eksekusi) pidana mati seperti diterangkan dalam Pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964, yakni dilaksanakan di depan satu regu tembak.

1

Aryadi, Gregorius, Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1995,


(26)

19

Pidana penjara strafsoortnya mencakup pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu (Pasal 12 ayat (1) KUHP). Strafmaat dari pidana penjara diterangkan dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) KUHP yang menjelaskan bahwa :

(1) Pidana penjara selama waktu tertentu paling cepat dan paling lama lima belas tahun berturut-turut;

(2) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal yang kejahatan yang dipidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan (concurcus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 KUHP.

(3) Pidana penjarar selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

KUHP mengenal pengaturan pidana maksimum, artinya dalam setiap delik ancaman pidana hanya diberi batas pidana maksimum saja tetapi tidak dikenal batas minimum pidana, seperti dalam delik penggelapan Pasal 372 KUHP, dalam pasal tersebut dicantumkan ancaman pidana paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Mekanisme lebih lanjut tentang strafmaat diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan pidananaya, dan diserahkan kepada Hakim untuk memutuskan berat ringannya pidana yang harus dijalankan oleh terpidana apabila terbukti sah dan meyakinkan serta dijatuhkan putusan pemidanaan yang sudah berkekuatan hukum pasti


(27)

20

Strafmodus dalam KUHP bila diperhatikan dengan seksama, maka ada empat bentuk pengenaan pidana (strafmodusnya), yaitu :

(1) bentuk pengenaan pidana tunggal; (2) bentuk pengenaan pidana alternatif; (3) bentuk pengenaan pidana kumulasi; dan (4) bentuk pengenaan pidana kombinasi.

Bentuk pengenaan pidana tunggal, maksudnya hanya satu jenis pidana yang dikenakan kepada terpidana, misal dikenakan pidana penjara saja. Bentuk pengenaan pidana alternatif biasa pengancamannya ditandai dengan kata atau misal dipidana dengan pidana penjara 10 tahun atau denda Rp. 12.000.000,00 (duabelas juta rupiah). Pengenaan pidana kumulasi artinya pengancamannya ditandai dengan kata dan ; misalnya dikenakan pidana penjara 15 tahun dan denda Rp. 12.000.000,00 (duabelas juta rupiah). Bentuk pengenaan pidana kombinasi biasanya ditandai dengan kata dan/atau , misalnya dikenakan pidana penjara 15 tahun dan denda Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan/atau ditambah uang pengganti Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) atau pidana kurungan 6 bulan. Di dalam delik-delik umum (commun delict) dilarang menggunakan kumulasi pidana pokok dalam mengenakan pidana pada satu delik, akan tetapi hal ini dimungkinkan dalam tindak pidana khusus yang banyak tersebar di luar KUHP, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi atau Tindak Pidana Narkotika.


(28)

21

2. Pengertian Pidana

Kebanyakan kalangan menerjemahkan pidana sebagai hukuman, padahal hukuman bukan hanya ada dalam hukum pidana, tetapi hampir setiap bidang hukum juga mengenakan hukuman kepada pelanggar normanya. Pidana dalam hukum pidana tidak memiliki arti yang konvensional seperti yang dikemukakan di atas, akan etapi memiliki pengertian khusus yang tidak sama dengan hukuman pada lapangan/bidang hukum lain diluar Selain pidana, dikenal pula pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan/pemberian/penjatuhan pidana.

Pemidanaan lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana, sehingga ada dalam ruang lingkup hukum penitensier. Kedua persoalan itu (pidana dan pemidanaan) sangat penting dikaji, selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi hukum pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik hukum pidana.

Sudarto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana mengandung ciri-ciri sebagai berikut 2:

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

2


(29)

22

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Pidana haruslah mengandung penderitaan atau konsekuensi normal yang tidak menyenangkan. Pidana itu haruslah ditujukan kepada suatu pelanggaran aturan hukum.pidana harus dikenakan untuk membuktikan kepada pelanggar tentang delik yang dilakukannya, dan pidana itu harus dikenakan oleh badan yang berwenang dalam suatu sistem hukum disebabkan adanya suatu perbuatan kriminal (delik). Akan tetapi harus dicatat bahwa tidak semua pengenaan derita dan keadaan tidak menyenangkan sama dengan pidana.

3. Tujuan Pengenaan Pidana

Pada hukum pidana dikenal 3 (tiga) teori tujuan pengenaan pidana, yaitu (1) teori absolut, (2) teori relatif, dan (3) teori gabungan. Teori absolut ini disebut juga Teori Pembalasan, atau Teori Retibutif, atau vergeldings theorien. Muncul pada akhir abad ke-18. penganutnya antar lain Immanuel Kant, Julius Stahl, Leo Polak, Hegel, Herbart3. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan, tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus


(30)

23

berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori disebut teori absolute.

Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.

Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolute ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Selanjutnya Vos menunjuk contoh pembalasan objektif, di mana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang lebih serius dari yang lain dan akan dipidana

lebih berat.

Kant menunjukkan bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Jadi, menurut Vos pendapat Kant hanya mengenai pembalasan subjektif. Pidana adalah tuntutan keadilan etis. Sebaliknya Hegel memandang perimbangan antara pembalasan subyektif dan objektif dalam suatu pidana, sedang Herbart hanya menekankan pada pembalasan objektif4.

Variasi-variasi teori pembalasan itu diperinci oleh Leo Polak menjadi 5:

a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah Negara (rechtsmacht of gezagshandhaving). Teori pertama menggambarkan pidana sebagai paksaan belaka.

4

Ibid., Hlm. 45 5


(31)

24

Akibat teori ini siapa yang secara suka rela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan.

b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie). Penganut teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang mengatakan apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana maka timbullah perasaan tidak puas. Mempidanakan penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika. Menurut estetika, penjahat harus dipidana seimbang dengan penderitaan korbannya. Jadi, pidana merupakan suatu kompensasi penderitaan korban. Hazewinkel-Suringa menjelaskan bahwa perasaan hukum menjadi pangkal pendapat Herbart. Tetapi ini berbahaya kata Hazewinkel-Suringa karena semata-mata sentiment belaka pada rakyat tidak boleh menjadi dasar pidana. c. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu

perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtsfustrering en blaam). Penganut teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan berlakunya suatu kehendak subyektif yang bertentangan dengan hukum. Sejajar dengan teori Hegel ini ialah teori Von Bart yang mengatakan makin besar kehendak menentang hukum makin besar penghinaan atau reprobasi.

d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhving van rechtsgelijkheid). Teori yang keempat pertama kali dikemukakan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant, Rumelin, Nelson, dan Kranenburg.


(32)

25

Menurut teori ini asas persamaan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. Kranenburg menunjukkan pembagian syarat-syarat untuk mendapat keuntungan dan kerugian, maka terdapat hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sama dan sederajat. Mereka yang sanggup mengadakan syarat-syarat istimewa akan mendapat keuntungan dan kerugian yang istimewa pula. Keberatan terhadap teori pembalasan ialah : teori ini tidak menerangkan mengapa Negara harus menjatuhkan pidana dan sering pidana itu tanpa kegunaan yang praktis.

e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijke neigingsbevredining). Teori yang kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan, tetapi keperluan untuk membalas itu ditujukan kepada niat masing-masing orang. Niat-niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat diberi kepuasan, sebaliknya niat-niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh diberi kepuasan. Segala yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh didapatkan orang. f. Teori mengobjektifkan (objektiveringstheorie). Teori yang keenam

diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika. Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat


(33)

26

keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (ne malis expeidiat esse malos).

Menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 syarat 6:

a. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi.

c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Inti ajaran teori absolut adalah alam pemikiran pembalasan, bahwa kejahatan (delik) harus diikuti dengan pidana, dan hal ini bersifat mutlak. Pidana yang dikenakan kepada seseorang sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat yang sudah dilakukan.

Ada 5 (lima) ciri dari teori pembalasan ini, yaitu 7:

a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. pembalasan adalah tujuan utama, dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana lain, misal untuk kesejahteraan manusia;

c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelanggar;

6

Ibid., Hlm 47 7

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1985, Hlm 17.


(34)

27

e. pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan murni, dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

Teori pembalasan ini menyatakan pula bahwa pidana dikenakan kepada pelanggar adalah untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan (to satisfy claims of justice).

a. Teori pembalasan yang obyektif, yang berorientasi [ada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat. Dalam hal ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yang diakibatkan oleh pembuat kejahatan.

b. Teori pembalasan yang subyektif, yang berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan pembuat kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.

Teori Relatif muncul sebagai reaksi dari teori absolut dengan keberatan terhadap tumpuan pembalasan yang dipandang kurang memuaskan. Tujuan utama pemidanaan ialah mempertahankan ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan pribadi maupun publik dan mempertahankan tatatertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat (rechtsorde; social orde).


(35)

28

Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Tujuannya adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Menurut sifatnya tujuannya adalah: bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki, dan bersifat membinasakan. Menurut sifat pencegahannya adalah pencegahan umum (menakut-nakuti dengan cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh) dan pencegahan khusus (tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi).

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan.

Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, supaya anggota masyarakat negeri melihatnya. Pada zaman Aufklarung, abad ke 18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara besar-besaran. Terutama oleh Baccaria dalam bukunya Dei Delitti e delle Pene. Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah dipergunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang tidak bersalah dipidana dipergunakan untuk maksud


(36)

29

prevensi umum tersebut. Teori baru diajukan oleh von Feurbach (1775-1833) dalam buknya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801) yang disebut teori paksaan psikologis (psichologische Zwang), ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakutkan orang untuk melakukan delik. Pelaksanaan pidana menurut teori ini hanya penting untuk menyatakan (merealisasi) ancaman itu. Keberatan terhadap teori von Feurbach ini ialah ancaman pidan ayanga bersifat abstrak, sehingga sulit untuk terlebih dahulu menentukan batas-batas beratnya pidana yang diancamkan mngkin tidak seimbang antara beratnya delik yang secara konkret dilakukan8.

Prevensi khusus yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya. Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah :

a. Pidana harus memuat suatu unsure menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.

b. Pidana harus mempunyai unsure memperbaiki terpidana.

c. Pidana mempunyai unsure membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.

d. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.

8


(37)

30

Teori relatif memandang bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan rasa keadilan untuk membalas perbuatan salah pelaku, sebab diyakini menurut teori relatif bahwa pembalasan itu tidak bernilai, namun diakui sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Ada tujuan lain yang dipandang lebih bermanfaat. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Pakar Hukum Pidana lain menamakan teori relatif ini dengan teori tujuan, yaitu tujuannya untuk melakukan pencegahan kejahatan (prevensi), baik prevensi khusus maupun prevensi umum. Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkahlaku siterpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar siterpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat

Prevensi general dimaksudkan ada pengaruh penjatuhan pidana terhadap masyarakat umumnya, artinya pencegahan kejahatan itu dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.

Teori Prevensi (teori deterensi), memberikan karakteristik teori tujuan ini sebagai berikut 9:

a. tujuan pidana adalah pencegah;

9

Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP , Semarang, 1985, Hlm. 10.


(38)

31

b. pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja yang memenuhi syarat adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e. pidana melihat kemuka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung pencelaan.

Teori Gabungan merupakan perpaduan dari Teori Absolut dengan Teori Relatif. Teori Gabungan ini deibedakan dalam 3 (tiga) aliran sebagai berikut 10:

a. Teori Gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban hukum;

b. Teori Gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat; dan

c. Teori Gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dengan perlindungan kepentingan masyarakat.

Teori Gabungan yang pertama, yaitu menitikberatkan unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe. Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan11. Pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain,tetapi tetap ada ciri-cirinya. Pidana adalah

10

Ibid., Hlm 12 11


(39)

32

suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu, oleh karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan bahwa pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat. Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Namun demikian sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori yang dikemukakan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah12.

Teori gabungan yang kedua yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Teori ini sejajar dengan teori Thomas Aquino yang

12


(40)

33

mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum undang-undang pidana khususnya13.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat. Menurut Vos pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. KUHP masih dipengaruhi oleh aliran hukum pidana Neo Klasik (Aliran dalam Hukum Pidana akan diuraikan setelah pembahasan teori pemidanaan ini) namun dalam rancangan konsep KUHP baru sudah dengan tegas dicantumkan tujuan pemidanaan adalah sebagai barikut :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan meneakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

13


(41)

34

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Landasan filosofis dari tujuan pemidanaan ini adalah tidak dimaksudkan untuk menderitakan, dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum di dalam Rancangan KUHP tersebut merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiration).

Teori Pembinaan lebih mengutamakan perhatiannya pada pelaku tindak pidana, bukan pada tindak pidana yang telah dilakukan. Pidana tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, melainkan harus didasarkan pada keperluan yang dibutuhkan untuk dapat memperbaiki si pelaku tindak pidana. Menurut teori ini tujuan pidana untuk merubah tingkah laku dan kepribadian pelaku tindak pidana agar ia meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan dengan norma hukum serta norma lainnya agar supaya ia lebih senderung untuk mematuhi norma yang berlaku.

4. Ruang Lingkup Surat Dakwaan Dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk dan susunan surat dakwaan, sehingga dalam praktik penuntutan masing-masing penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan pada umumnya sangat dipengaruhi oleh strategi dan rasa


(42)

35

seni sesuai dengan pengalaman praktik masing-masing. Dalam praktik, proses penuntutan dikenal beberapa bentuk surat dakwaan, antara lain sebagai berikut :

a. Dakwaan Tunggal

Dakwaannya hanya satu/tunggal dan tindak pidana yang digunakan apabila berdasarkan hasil penelitian terhadap materi perkara hanya satu tindak pidana saja yang dapat didakwakan. Pada dakwaan ini, terdakwa hanya dikenai satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain, selain itu dalam menyusun surat dakwaan tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif, atau kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya, maupun kemungkinan untuk mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana dalam surat dakwaan. Penyusunan surat dakwaan ini dapat dikatakan sederhana, yaitu sederhana dalam perumusannya dan sederhana pula dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.

b. Dakwaan Alternatif

Pada bentuk dakwaan ini dakwaan tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja. Biasanya dalam penulisannya menggunakan kata atau . Dasar pertimbangan penggunaan dakwaan alternatif adalah karena penuntut umum belum


(43)

36

yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut, maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan digunakanlah bentuk dakwaan alternatif. Biasanya dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak/ciri yang sama atau hampir bersamaan, misalnya:pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati dan sebagainya. Jaksa menggunakan kata sambung atau .

c. Dakwaan Subsidiair

Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Keadaan demikian dapat menimbulkan keraguan pada penunutut umum, baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal yang dilanggarnya. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan satu tindak pidana saja. Oleh karena itu, penuntut umum memilih untuk menyusun dakwaan yang berbentuk subsider, dimana tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat ditempatkan pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang lebih ringan ditempatkan di bawahnya. Konsekuensi pembuktiannya, jika satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Biasanya menggunakan istilah primer, subsidiair dan seterusnya. Meskipun dalam dakwaan tersebut terdapat beberapa tindak pidana,


(44)

37

tetapi yang dibuktikan hanya salah satu saja dari tindak pidana yang didakwakan itu.

d. Dakwaan Kumulatif

Bentuk dakwaan ini dipergunakan dalam hal menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana. Dalam dakwaan ini, terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus. Biasanya dakwaan akan disusun menjadi dakwaan satu, dakwaan dua dan seterusnya. Jadi, dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya. Jaksa menerapkan dua pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung dan .

e. Dakwaan Campuran/Kombinasi

Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair. Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan dalam perkara narkotika.

Penyusunan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang diseuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh Jaksa penuntut Umum tersebut.


(45)

38

B. Aspek Hukum Putusan Hakim Pidana

Berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY) dalam kurun tahun 2005 sampai 2007 tercatat ada 3.120 putusan hakim yang dianggap bermasalah/menyimpang14. Hal ini tentu membuat kita prihatin karena semakin hari nasib penegakan hukum di negara Indonesia tidak mengalami kemajuan akan tetapi justru sebaliknya mengalami kemunduran. Sebuah doktrin hukum yang berbunyi Res Judicate Pro Veritate Hebetur , yang artinya bahwa apa yang diputus oleh Hakim itu benar walaupun sesungguhnya tidak benar, sehingga mengikat sampai tidak dibatalkan oleh pengadilan lain.

Doktrin hukum diatas menempatkan pengadilan sebagai titik sentral konsep negara hukum. Indonesia menganut konsep negara hukum sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaats). Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh asas Rule of Law. Untuk mengakkan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Supremasi hokum 2. Equality Before The Law 3. Human Rights

Ketiga hal tersebut adalah konsekwensi logis dari prinsip-prinsip negara hukum, yakni :

1. Azas Legalitas (Principle of Legality)

2. Azas perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Right)

14


(46)

39

3. Azas Peradilan Bebas (Free Justice Principle)

Mendasarkan pada fungsi peradilan di atas, maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya Integrated Criminal Justice System dan lebih khusus lagi adalah perilaku hakim menjadi salah satu barometer utama dari suatu negara hukum untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik sentral dalam proses penegakan hukum (Law enforcement prosess) yang harus memberikan teladan dan konsekwen dalam menjalankan hukum dan undang-undang. Kahadiran lembaga peradilan adalah menjadi sebuah syarat mutlak bagi suatu negara hukum yang dibentuk untuk mengawasi dan melaksanakan aturan hukum dan undang-undang suatu Negara. Pengawasan dilakukan sebagai keseimbangan terhadap pemerintah di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dan bagi rakyat dapat menjadi pedoman dalam hal-hal mana ia harus berbuat sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, lembaga peradilan tidak lain daripada sebuah badan pengawas, pelaksanan hukum dan sekaligus sebagai benteng penegak hukum dan keadilan. Ini makna dan hakikat dari asas peradilan yang bebas. Dengan demikian eksistensi peradialn bebas dalam negara hukum dan negara demokrasi merupakan

Conditio Sine Quanon (harus tidak boleh tidak adanya).

Pada praktiknya, prinsip-prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan. Sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan isu-isu seperti mafia peradilan. Fenomena ini menjadi menarik untuk dikaji dan diteliti lebih mendalam apa sebenarnya yang terjadi dalam proses peradilan dan apa sebenarnya yang menjadi faktor-faktor penyebab sehingga terjadi perbedaaan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku


(47)

40

tindak pidana. Muncul pertanyaan tentang begitu banyaknya putusan hakim yang menyimpang.

Salah satu sebab timbulnya diskrepansi dalam praktik peradilan adalah falsafah yang melatarbelakangi sistem hukum dan perundang-undangan. Sistem hukum dan perundang-undangan Indonesia berlatarbelakang Analytical Legal Positivism yang berlandaskan falsafah liberalisme, indivisudlaisme dan rationalisme. Falsafah ini bersumber dari falsafah Revolusi Industri Perancis abad XVIII yakni Liberty, Egality dan Fraternity, sebuah sistem hukum berkarakter liberal-individual, sehingga substansi, doktrin, azas dan lain perlengkapan (konstruksi, sistematika dan interprestasi) diberlakukan untuk mengamankan paradigma nilai liberal tersebut. Dengan demikian tidak mengherankan apabila sistem hukum berkarakter liberal ini dirancang terutama untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu15.

Indonesia yang menganut aliran positivesme dalam hukum pidananya yang memberikan kebebasan hakim yang lebih luas sehingga besar kemungkinannya untuk dapat terjadinya disparitas dalam menjatuhkan putusannya. Sementara itu, undang-undang hanya dipakai sebagai pedoman pemberian pidana yaitu pedoman maksimal dan minimal saja. Disparitas penjatuhan sanksi pidana akan berakibat buruk, bilamana dikaitkan dengan correction administration. Terpidana yang telah memperbandingkan pidana kemudian meras menjadi korban the judicial caprice, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target dalam pemidanaan.

15

Sahetapi, J.E, Masalah-masalah Korban Ditinjau Dari Segi Viktimologi, Ceramah Ilmiah, Fakultas Hukum UNTAG Semarang, 1985,


(48)

41

Disparitas yang muncul dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana selain menimbulkan ketidakadilan di mata para pelaku tindak pidana pada khususnya dan masyarakat pada umumnya juga akan menimbulkan ketidakpuasan dikalangan para pelaku tindak pidana itu sendiri dan juga di kalangan masyarakat. Konsekwensi logis dari sistem hukum berjiwa liberal individual, sistem hukum memiliki karakter kelas. Sistem hukum adalah mekanisme yang secara langsung atau tidak langsung melayani kepentingan-kepentingan kelas ekonomi dan kelas politik yuang dominan.

Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan, antara yang satu dengan yang lain tidak hanya saling bertentangan tetapi kadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya ini manusia bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan orang lain, maka hukum meberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu, sehingga manusia tidak bebas sebebas-bebasnya untuk berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai kebutuhannya itu. Fungsi yang demikianitu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk di dalamnya hukum pidana, karena itu fungsi yang demikian disebut fungsi umum hukum pidana.

Pidana dalam hukum pidana adalah salah satu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakn tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah (preventif) bagi orang yang berniat untuk melanggar


(49)

42

hukum pidana. Berkaitan dengan hal itu H.I. Packer yang dikutip Barda Nawawi Arief menyatakan sebagai berikut 16:

1. Sanksi pidana sangatlah penting diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana. (The Criminal sanction is dispensable : We could not now or in the foresseable future, get along without it);

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (Thecriminal sanction is the best available divice we have for dealing with gross and immediate harms ang threats of harm);

3. Sanksi pidana merupakan penjamin utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat, manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime theatener of human freedom, used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is theatener)

Materi/substansi atau masalah pokok dari hukum pidana terletak pada masalah mengenai : perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau dapat disebut masalah tindak pidana; syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau dapat disebut dengan masalah kesalahan; Sanksi (pidana)

16

Barda Namawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana


(50)

43

apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu, atau dapat disebut dengan masalah pidana.

Penggunaan sanksi pidana atau pemidanaan haruslah diarahkan kepada tujuan pemidanaan yang bersifat integrative yaitu : perlindungan masyarakat; memelihara solidaritas; pencegahan (umum dan khusus), dan pengimbalan atau pengimbangan. Sesuai dengan azaz legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) . Pasal 1 ayat (1) KUHP ini hanya menentukan, bahwa sanksi pidananya saja yang harus ditentukan dengan undang-undang. Norma-normanya mengikuti system dalam bidang hukum masing-masing, yaitu hukum perdata, atau hukum tata negara, atau hukum tata usaha negara, yang semua memberi peranan sepenuhnya kepada adapt kebiasaan dan lain-lain peraturan yang bukan undang-undang, seperti peraturan pemerintah, Peraturan Menteri, dan macam instruksi dalam dinas administrasi. Penentuan syarat perundang-undangan ini ada hubungan dengan kenyataan bahwa sanksi pidana pada sifatnya keras daripada sanksi perdata atau sanksi administrasi, dan merupakan ultimum remedium atau senjata pamungkas (terakhir) untuk menegakkan tata hukum.

Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah dihukum yang berasal dari perkataan wordgestraft, merupakan istilah-istilah yang konvensional. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :


(51)

44

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka sekadar melanggar larangan tersebut.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan pengenaan penderitaan atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Mengenai permasalahan pidana yang ketiga, menyangkut soal pidana. Persoalan yang muncul sehubungan dengan pidana, meliputi jenis pidana, ukuran atau lamanya pidana yang dijatuhkan dan pelaksanaan pidana . Hal tersebut menyangkut asas dalam penjatuhan pidana yang hendaknya diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Asas individualisasi pidana, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya pembuat. Bentuk pertanggung jawaban pembuat lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat. Jika digunakan pidana, maka harus diorientasikan pada sifat-sifat pembuat. Harus


(52)

45

memperhatikan latar belakang dan seluruh fase kehidupan pembuat dengan tujuan untuk mengadakan resosialisasi pembuat.

Seseorang yang telah melakukan tindak pidana dan telah memenuhi syarat untuk dapat dilakukan pemidanaan atas dirinya maka ia dapat dijatuhi pidana, dan yang berhak menjatuhkan pidana adalah Hakim. Penambahan hukuman dengan tindakan-tindakan tata tertib, yang demikian merupakan perluasan dengan kewenangan di luar hukuman mengakibatkan batas-batas kewenangan dan hakim pidana menghadapi suatu vervaging. Apabila terdapat suatu kewenangan pada hakim untuk menggabungkan hukuman dengan tindakan, maka perbatasan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan akan menjadi samar.

Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Dalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum; ini merupakan tuntutan keadilan. Demikian juga Hegel yang memandang pidana sebagai suatu keharusan yang logis, sebagai konsekuensi dari kejahatan, karena kejahatan adalah suatu pengingkaran terhadap ketertiban umum dari Negara, yang merupakan perwujudan dari cita-susila. Dengan demikian pidana merupakan

Negation der Negation. Penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal itu berarti, bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logis linier, melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan sekalian factor yang menyertainya.


(1)

80

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Dasar pertimbangan putusan hakim di bawah tuntutan jaksa penuntut umum dilakukan berdasarkan hukum adat yakni apabila terjadi kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan formal (hukum positif) maka hakim akan diwajibkan untuk berkreativitas, menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar putusannya (Pasal 5 ayat (1)) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kondisi seperti ini maka hakim memerankan fungsi rechtsvinding, terlebih lagi hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (asas ius curia novit, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009). Pertimbangan putusan hakim berdasarkan yurisprudensi bahwa dalam memutus perkara untuk memberikan suatu putusan (vonis), hakim mengikuti putusan-putusan hakim terdahulu apabila menemukan dan memerlukan penanganan atas kasus yang sama dan yurisprudensi ini akan menjadi yurisprudensi tetap apabila


(2)

secara terus menerus dipakai sebagai acuan oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus yang sama (sejenis). Hakim adalah pelaksana undang-undang sehingga putusannya harus berdasarkan pada hukum yang normatif yaitu hukum positif, sehingga penerapan ancaman pidana minimal dalam putusan hakim adalah sesuai atas legalitas. Hakim dalam menjatuhkan putusannya selain berdasarkan hukum yang normatif juga berdasarkan rasa keadilan yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan juga pada hati nurani (keadilan objektif dan subjektif). Putusan hakim yang menerobos batas ancaman pidana minimal dan pidana denda minimal dapat saja diterima atau dianggap sah sepanjang berdasarkan rasa keadilan dan hati nurani, karena hakim bukan hanya penegak hukum juga sebagai penegak keadilan, asalkan tidak ada kepentingan hakim yang memutus perkara tersebut. Putusan Hakim yang menerobos ketentuan dalam undang-undang yang normatif, atau dalam hal ini di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum dapat saja diterima atau tidak batal demi hukum asal didasari pada rasa keadilan yang objektif.

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak dalam perkara pidana, baik Jaksa Penuntut Umum maupun Terdakwa atas putusan hakim di bawah tuntutan jaksa adalah upaya hukum biasa yakni upaya hokum banding ke tingkat Pengadilan Tinggi dan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Selain itu dapat pula dilakukan upaya hokum luar biasa seperti peninjauan kembali apabila putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti.


(3)

82

B. Saran

Ada beberapa saran yang akan dikemukakan Penulis yakni :

1. Ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang seharusnya diperbaiki yaitu Pasal 67 dan Pasal 224 mengenai upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara pidana yang tidak jelas apakah dapat dilakukan pula terhadap putusan hakim dibawah tuntutan jaksa seperti halnya putusan bebas atau putusan lepas, sesuai Teori Pembinaan Hukum dari prof. Mochtar Kususmaatmadja.

2. Perlunya sosialisasi semua peraturan perundang-undangan pidana kepada masyarakat sehingga masyarakat dalam hal ini yang menjadi terdakwa dapat mengetahui hak-haknya secara hokum.


(4)

83

Indonesia. Jakarta. 2002.

Aryadi Gregorius. Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana. Universitas Atmajaya. Yogyakarta. 1995.

Chazawi Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002.

_______, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002. _______, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002. Faisal Sanapiah, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi, YA3, Malang. 2003. Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta. 1998.

Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineke Cipta , Jakarta. 2002.

Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP , Semarang. 1985.

_______, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. 1986.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1984

Namawi Arief, Barda, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Alumni. Bandung. 1996.

________ , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

_________ , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2002.

P.A.F. Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung. 1984.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. 2002


(5)

84

_________ , Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2002.

Sahetapi, J.E. Masalah-masalah Korban Ditinjau Dari Segi Viktimologi, Ceramah Ilmiah, Fakultas Hukum UNTAG Semarang. 2002.

Said Noor Aziz, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Sebagai Dasar Bagi Teoritisasi Hukum di Era Post Modernism, Makalah Kuliah Teori Hukum PDIH UNDIP, Semarang. 2002.

Seno Adji. Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta. 2004.

Soche Herman Harris, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia, PT. Hanindita, Yogyakarta. 1985.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986.

Sutopo, H.B, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teori dan Praktis, Pusat Penelitian UNS, Surakarta. 1998.

Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 1997.

Peraturan Perundang-undangan : - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(6)

DAFTAR RIWAYAT H IDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya Nama : Ari Rochman

Tempat/Tanggal Lahir : Bandung , 5 februari 1988 Umur : 23 Tahun

Pendidikan Terakhir : SMA

Alamat : Jl. Rumah Sakit No. 11 RT.01/RW. 07 Kel. Bbk. Penghulu, Kec.Cinambo

Ujung Berung Bandung. Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Telepon : 085721166206

PENDIDIKAN

Sekolah Dasar Negeri Cisaranten Wetan 03 Bandung : 1994 - 2000 Sekolah Menengah Pertama kp2 Bandung : 2000 - 2003 Sekolah Menengah Atas kp2 Bandung : 2003 - 2006 Demikianlah Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenarnya.

Hormat Saya


Dokumen yang terkait

Partisipasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Dalam Perubahan Orde Lama – Orde Baru

6 97 112

EKSISTENSI PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DI NEGARA INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBAGAI PELAKSANAAN AZAS TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS

0 8 16

KAJIAN YURIDIS KEMERDEKAAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN VONIS MINIMAL KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

0 6 11

KAJIAN YURIDIS KEMERDEKAAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN VONIS MINIMAL KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

0 3 18

KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

0 4 16

REFORMASI KEKUASAAN KEHAKIMAN MELALUI KONSEP INTEGRATED JUSTICE SYSTEM DALAM UNDANG UNDANG NO 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

0 5 89

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PUTUSAN HAKIM PIDANA DI BAWAH TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM DIHIBINGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

0 2 16

pengaruh ketidaktepatan penerapan undang-undang oleh jaksa penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dihubungkan dengan putusan hakim dan kepastian hukum.

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Hakim yang Tidak Didasarkan Pasal yang Didakwakan Oleh Penuntut Umum Dalam Surat Dakwaan Dihubungkan Dengan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

0 0 1

Analisis Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Studi Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang SUmber Daya Air.

0 0 5