Hibridisasi Interpopulasi Ikan Lele Afrika Clarias Gariepinus Yang Diintroduksi Di Indonesia

HIBRIDISASI INTERPOPULASI
IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepinus
YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA

ADE SUNARMA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Hibridisasi
Interpopulasi Ikan Lele Afrika yang Diintroduksi di Indonesia adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Ade Sunarma
NIM C161110131

RINGKASAN
ADE SUNARMA. Hibridisasi Interpopulasi Ikan Lele Afrika Clarias gariepinus
yang Diintroduksi di Indonesia. Dibimbing oleh ODANG CARMAN,
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.
Indonesia adalah produsen terbesar ikan genus Clarias di dunia dengan
produksi hingga 678 000 ton pada tahun 2014. Seluruh produksi ikan Clarias adalah
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia. Saat ini, terdapat lima populasi ikan
lele Afrika introduksi, yaitu populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985
(selanjutnya disebut populasi Sangkuriang), populasi Thailand tahun 2002 dan
2008, populasi Mesir tahun 2005, populasi Kenya tahun 2011 dan populasi Belanda
tahun 2011. Tiga tahapan penelitian dirancang untuk mengevaluasi performa
genotipe dan fenotipe kelima populasi ikan lele tersebut.
Penelitian pertama bertujuan untuk menentukan status ikan lele Afrika yang
diintroduksi ke Indonesia. Karakter genotipe dan fenotipe kelima populasi ikan
diuji dengan menggunakan analisis PCR-RFLP DNA mitokondria lokus ND5/6,

analisis truss-morfometri pada 10 karakter morfometri dan analisis performa
reproduksi pada induk jantan dan betina dan persilangan antar populasi. Hasil
penelitian menunjukkan keragaman haplotipe dan jarak genetik pada ikan lele
Afrika yang diintroduksi ke Indonesia relatif tinggi, yaitu masing-masing 0.6110.695 dan 0.118-0.582. Analisis morfometri tidak menunjukkan adanya karakter
morfometri yang yang dapat menjadi indikasi adanya persilangan antar populasi
ikan lele sebelumnya. Analisis performa reproduksi menunjukkan bahwa karakter
reproduksi pada jantan dan betina relatif sebanding dengan populasi ikan lele Afrika
di alam. Persilangan antar populasi ikan lele introduksi juga berhasil dilakukan dan
mendapatkan tingkat pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Berdasarkan
hasil-hasil tersebut, kelima populasi yang digunakan pada penelitian ini dapat
dipastikan merupakan spesies ikan lele Afrika C. gariepinus.
Penelitian tahap kedua dilakukan untuk melakukan evaluasi performa ikan
hasil persilangan interpopulasi hingga umur 81 hari (tahap pembenihan). Lima
populasi ikan lele digunakan untuk membentuk lima populasi galur murni dan 20
populasi persilangan. Hasil penelitian menunjukkan persilangan Mesir betina x
Belanda jantan (MB) menunjukkan performa terbaik yaitu laju pertumbuhan
(SGR), kelangsungan hidup (SR) dan jumlah ikan over-size (OS) masing-masing
9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antara OS dengan SR, makin tinggi OS, makin rendah SR.
Korelasi ini cenderung makin menurun pada pemeliharaan ikan yang semakin

besar. Namun demikian, secara umum, performa SGR, SR dan OS antar silangan
relatif rendah atau tidak berbeda.
Penelitian tahap ketiga dilakukan untuk mengevaluasi persilangan
interpopulasi lima populasi ikan lele Afrika pada tahap pembesaran (13 minggu).
Performa dan heterosis dihitung pada bobot tubuh, kelangsungan hidup, biomassa,
konversi pakan dan laju pertumbuhan. Persilangan Belanda betina x Thailand jantan
(BT) menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan populasi lainnya, yaitu
bobot tubuh (241.39 g) dan kelangsungan hidup (93.67%), biomassa (22.59 kg),
konversi pakan (1.01) dan laju pertumbuhan (3.56%). Di antara 20 populasi
silangan, hanya populasi BT yang menghasilkan mid-parent dan best-parent

heterosis positif pada semua karakter yang diamat. Dibandingkan dengan
menggunakan populasi galur murni yang terbaik, populasi BT dapat meningkatkan
produksi biomassa hingga 36% dan menurunkan konversi pakan hingga 10% dan
202% dan 5.5% bila dibandingkan dengan menggunakan ikan lele populasi
Sangkuriang. Dari hasil ini menunjukkan potensi pemanfaatan populasi BT dalam
produksi akuakultur
Kata kunci: ikan lele Afrika, persilangan interpopulasi, performa, heterosis

SUMMARY

ADE SUNARMA. Interpopulation Crossbreeding of Introduced African Catfish
Clarias gariepinus in Indonesia. Supervised by ODANG CARMAN,
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR dan ALIMUDDIN.
Indonesia is the biggest producer of Clarias in the world by production up to
678 000 ton in 2014. Mostly, Clarias production was African catfish that introduced
to Indonesia. African catfish was introduced since 1985 from Taiwan (hereinafter
as Sangkuriang population) and subsequently in 2002 and 2008 from Thailand, in
2005 from Egypt and 2011 from Kenya and the Netherlands. Three phases of the
study was designed to evaluate the performance of genotypic and phenotypic of five
populations of introduced African catfish in Indonesia.
The first study was conducted to examine of species status introduced African
catfish using PCR−RFLP analysis of mitochondrial DNA ND 5/6 locus, trussmorphometry of 10 morphometric traits, and reproductive performance analysis of
both parents and its crosses. The results showed high haplotipe diversity and genetic
distance among introduced African catfish. Morphometric analysis showed that
there were no differences characters among five populations that can be separated
as a distinct species. Reciprocal crosses also resulted high fertilization and hatching
rate. Based on the genotype and phenotype, introduced African catfish in Indonesia
can be ascertained is the species C. gariepinus.
The second study evaluated growth and survival performances up to 81 days
post hatching (nursing stage) of reciprocally interpopulation crossbreeding. Five

populations was used to form five purebred and 20 crossbreed population. The
results showed the Egypt female x Dutch male (ED) crossbreed showed the best
performance with SGR, SR, and OS of 9.69±0.03%, 83.49±6.72% and 0.22±0.04%,
respectively. The result also revealed a correlation evidence between the OS and
the SR; the higher OS, the lower SR. This correlation tended to be weak at the
sequentially nursing stages. However, generally, the performance of SGR, SR and
OS among crossbreeds relatively low or no different.
The third study examined of interpopulation crossbreeding of different
introduced history of African catfish in Indonesia at grow-out stage (13 weeks).
Performance and heterosis calculated on body weight, survival, biomass, feed
conversion and growth rate at growing up stage. The Netherlands female x
Thailand male (BT) crossbreed achieved consistently better performance than other
populations, i.e. body weight (241.39 g), survival (93.67%), biomass (22.59 kg),
feed conversion (1.01) and growth rate (3.56%). Among 20 crossbreed populations,
only BT population obtained positive mid-parent and best-parent heterosis on all
observed traits. Compared to use best purebred populations and Sangkuriang
population, BT population could be increase biomass production up to 36% and
202%, respectively, and decrease feed conversion up to 10% and 5.5%, respectively.
Our study showed potential to exploit BT population in aquaculture production.
Keywords: African catfish, interpopulation hybridization, performance, heterosis


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

HIBRIDISASI INTERPOPULASI
IKAN LELE AFRIKA Clarias gariepinus
YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA

ADE SUNARMA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo, MSi
Dr Ir Ratu Siti Aliah, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo, MSi
Dr Ir Ratu Siti Aliah, MSc

Judul Disertasi : Hibridisasi Interpopulasi Ikan Lele Afrika Clarias gariepinus
yang Diintroduksi di Indonesia
Nama
: Ade Sunarma
NIM
: C161110131
Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Odang Carman, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc
Anggota

Dr Alimuddin, SPi MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Budidaya Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Widanarni, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian :
Tertutup
: 20 Juli 2016
Promosi
: 12 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, penulisan disertasi ini akhirnya selesai. Disertasi ini telah
ditulis sebaik yang dapat dilakukan berdasarkan hasil riset yang telah dikerjakan
dan didukung dengan literatur yang berhasil dikumpulkan. Mudah-mudahan isi
disertasi ini dapat berguna bagi siapapun yang membutuhkan dan bagi
pengembangan akuakultur Indonesia.
Banyak orang yang memberikan kontribusi selama studi hingga penulisan
disertasi ini yang cukup sulit untuk penulis menyebut setiap peran mereka, namun
pasti peran mereka adalah sangat besar. Untuk itu, penulis sangat menghargai dan
menyampaikan terima kasih kepada siapapun yang telah memberikan dukungan

dan bantuan apapun selama studi dan penelitian. Beberapa pihak memberikan peran
yang sangat penting sehingga penulis merasa perlu menyampaikan terima kasih
secara khusus, yaitu kepada Bapak Dr Ir Odang Carman MSc, Bapak Prof Dr Ir
Muhammad Zairin Junior MSc dan Bapak Dr Alimuddin SPi MSc selaku komisi
pembimbing; Bapak Dr Ir Nurbambang Priyo Utomo MSi dan Ibu Dr Ir Ratu Siti
Aliah MSc selaku penguji luar komisi; Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP,
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia KKP dan Kepala BBPBAT
Sukabumi yang telah memberikan kesempatan penulis mengambil pendidikan S3
dan segala bantuan fasilitas selama penelitian; Kementerian Riset dan Teknologi
yang telah memberikan biaya bagi sebagian penelitian melalui Insentif Riset Sistem
Inovasi Nasional; Kedutaan Besar Republik Indonesia di Nairobi, Kenya, yang
telah membantu dalam pengadaan ikan lele Afrika populasi Kenya dan Belanda;
Mahasiswa S3 Program Studi Akuakultur angkatan 2011 yang telah bersama-sama
dengan penulis menempuh pendidikan; Bapak M. Abduh Nurhidajat, Dikdik
Koswara, Adi Sucipto, Cucu Muktiana, Gemi Triastutik dan Putri Zulfania atas
beragam bantuan yang telah diberikan; dan staf BBPBAT Sukabumi yang telah
memberikan bantuan yang sangat memuaskan selama penulis melakukan
penelitian. Kelancaran studi dan penelitian juga tidak lepas atas dukungan dan doa
dari Ema dan (alm) Abah Haji, istri dan anak-anak, keluarga dan masyarakat di
kampung penulis.

Sejak awal, penulis sudah berniat menempuh program doktor sebagai ibadah,
belajar dan contoh. Ibadah sebagai seorang mahluk, belajar agar dapat memberi
manfaat yang lebih baik bagi manusia, dan sebagai contoh untuk anak-anak penulis.
Semoga semua itu dapat tercapai. Aamiin.

Bogor, Agustus 2016
Ade Sunarma

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
Kebaruan

1
1
5
5
6
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Ikan Lele Afrika di Indonesia
Persilangan Ikan
Basis Genetik pada Persilangan

8
8
10
11

3 MENELUSURI STATUS SPESIES IKAN LELE AFRIKA YANG
DIINTRODUKSI DI INDONESIA
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

13
13
13
15
17
19
24

4 PERSILANGAN INTERPOPULASI BUDIDAYA DAN LIAR IKAN
LELE AFRIKA PADA TAHAP PEMBENIHAN
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

25
25
26
27
28
30
32

5 PERFORMA DAN HETEROSIS PADA PERSILANGAN
INTERPOPULASI IKAN LELE PADA TAHAP PEMBESARAN
Abstrak
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan

33
33
34
35
36
39

Simpulan

42

6 PEMBAHASAN UMUM
Hasil Penelitian
Implikasi terhadap Akuakultur Indonesia

43
43
45

7 KESIMPULAN UMUM

48

DAFTAR PUSTAKA

49

LAMPIRAN

59

RIWAYAT HIDUP

67

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.
10.

11.
12.
13.

Perbedaan sejarah introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia yang
digunakan pada penelitian
Produksi budidaya ikan genus Clarias di dunia pada tahun 2014 (FAO
2016)
Program PCR pada amplifikasi DNA Mitokondria ikan lele
Prosedur restriksi hasil amplifikasi PCR
Induk betina dan jantan ikan lele Afrika yang digunakan
Haplotipe pada ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
Jarak genetik antar lima populasi ikan lele Afrika dan ikan lele lokal
(Nei’s Genetic Distance 1972) berdasarkan marka DNA mitokondria
lokus ND5/6
Karakter reproduksi induk betina dan jantan serta hasil pemijahannya
pada setiap populasi ikan lele Afrika
Tingkat pembuahan dan penetasan telur pada persilangan interpopulasi
ikan lele Afrika
Laju pertumbuhan (SGR), kelangsungan hidup akumulatif (SR),
koefisien variasi (CV) dan jumlah ikan over-size (OS) pada persilangan
interpopulasi ikan lele Afrika pada tahap pembenihan
Performa karakter pada persilangan interpopulasi ikan lele Afrika tahap
pembesaran
Mid-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika tahap
pembesaran
Best-parent heterosis pada hibridisasi interpopulasi ikan lele Afrika tahap
Pembesaran

3
8
15
15
16
18
18
20
21
29
37
38
39

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

5.
6.

Alur penelitian hibridisasi interpopulasi ikan lele
Produksi ikan (di luar rumput laut) nasional dan produksi ikan lele di
Indonesia (diolah dari FAO 2016)
Pengukuran morfometrik ikan lele
UPGMA dendrogram berdasarkan jarak genetik lima populasi ikan lele
Afrika dan ikan lele lokal berdasarkan marka DNA mitokondria lokus
ND5/6
Plot komponen utama pada analisis truss-morfometri lima populasi ikan
lele Afrika dan ikan lele lokal
Program seleksi individu pada pemuliaan genetik ikan lele Afrika yang
disarankan

6
9
16
19
19
46

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Elektroforegram hasil amplifikasi produk PCR DNA mitokondria lokus
ND5/6 pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim AluI pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HaeIII pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HhaI pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HinfI pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim HpaII pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim PstI pada ikan lele
Elektroforegram produk PCR DNA mitokondria lokus ND5/6, profil
penjajaran, haplotipe dan ukuran fragmen berdasarkan hasil restriksi
dengan enzim TaqI pada ikan lele

59
60
61
62

63
64
65
66

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akuakultur mempunyai peran penting bagi penyediaan sumber protein
hewani. Secara global, produksi akuakultur meningkat hampir dua kali lipat dalam
dekade terakhir dengan rata-rata peningkatan 6.1% per tahun, dari 36.8 juta ton
pada tahun 2002 menjadi 66.6 juta ton pada tahun 2012 (FAO 2014). Secara
nasional, produksi akuakultur Indonesia juga meningkat empat kali lipat, yaitu dari
1.05 juta ton pada tahun 2004 menjadi 4.29 juta ton pada tahun 2014 (FAO 2016).
Salah satu komoditas ikan yang memberikan kontribusi tinggi terhadap peningkatan
produksi akuakultur Indonesia adalah ikan lele. Produksi ikan lele meningkat dari
56 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 678 ribu ton pada tahun 2014 atau setara
dengan peningkatan 29% per tahun (FAO 2016).
Namun demikian, perkembangan produksi akuakultur tersebut masih jarang
memanfaatkan ikan dari hasil program pemuliaan yang efisien dan sistematik
(Gjedrem 2005). Secara global, kontribusi ikan hasil pemuliaan hanya sekitar 1%
pada tahun 1993, 5% pada tahun 2002, 8.2% pada tahun 2010 dan 10% pada tahun
2012 (Gjedrem 2012; Gjedrem et al. 2012). Rendahnya kontribusi ikan hasil
pemuliaan berkaitan dengan masih terbatasnya jenis ikan yang telah diperbaiki
secara genetik. Secara global, hanya sekitar 25 spesies yang sudah/sedang
dilakukan upaya perbaikan mutu genetik (Neira 2010; Rye et al. 2010) dari sekitar
540 jenis ikan akuakultur yang diproduksi (FAO 2016). Pada sisi lain,
perkembangan produksi yang cepat dapat mengakibatkan terjadinya penurunan
mutu genetik ikan yang dibudidayakan akibat penggunaan induk dan benih yang
tidak terkontrol, seperti diindikasikan terjadi pada ikan lele di Indonesia.
Nurhidayat et al. (2003) telah melaporkan adanya indikasi penurunan pertumbuhan
ikan lele akibat tekanan inbreeding. Berdasakan marka mikrosatelit DNA
(Deoxyribo Nucleic Acid), Imron et al. (2011) melaporkan adanya penurunan
keragaman genetik dan akumulasi inbreeding pada ikan lele.
Dengan kondisi tersebut, perbaikan mutu genetik pada ikan lele telah
mendesak untuk dilakukan. Pemanfaatan ikan hasil perbaikan mutu genetik sudah
terbukti dapat meningkatkan efisiensi produksi pada ikan salmon, yaitu
meningkatkan pertumbuhan hingga 113% dan menurunkan konversi pakan hingga
20% (Gjedrem et al. 2012). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
program perbaikan mutu genetik adalah penggunaan ikan yang memiliki tingkat
keragaman genotipe dan fenotipe yang tinggi. Program pemuliaan ikan nila
menggunakan delapan populasi dari hasil budidaya di Asia dan populasi alami dari
Afrika (Eknath et al. 2007) sedangkan ikan salmon di Norwegia menggunakan
empat populasi dasar yang menggunakan material genetik masing-masing berasal
dari 8, 13, 18 dan 24 sungai selama empat tahun pengumpulan (Holtsmark et al.
2008). Pemanfaatan populasi campuran budidaya dan alami diharapkan dapat
meningkatkan variasi genetik pada populasi dasar yang akan dibentuk karena
populasi budidaya biasanya sudah mengalami penurunan mutu genetik
(Wachirachaikarn et al. 2009; McKinna et al. 2010).
Pada ikan lele Afrika di Indonesia, perbaikan mutu genetik dapat dilakukan
dengan memanfaatkan beragam populasi yang telah diintroduksi. Sejak

2
didatangkan pada tahun 1985, terdapat banyak nama lokal untuk ikan lele Afrika,
diantaranya: ikan lele Dumbo, Sangkuriang, Sangkuriang2, Paiton, Mesir, Thailand,
Masamo, Mutiara, Mandalika dan Burma. Diantara beragam nama tersebut,
sebagian merupakan hasil introduksi langsung dan sebagian lainnya merupakan
hasil perbaikan genetik yang telah dirilis oleh Pemerintah. Secara umum, introduksi
ikan lele Afrika di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan asal negara, yaitu
populasi Taiwan (selanjutnya disebut populasi Sangkuriang), Thailand, Mesir,
Kenya dan Belanda (Tabel 1).
Populasi Sangkuriang merupakan hasil perbaikan mutu genetik yang telah
dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi tahun 2000-2004 yang telah dirilis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Perbaikan mutu tersebut menggunakan teknik silang-balik
ikan lele Afrika populasi Taiwan yang diintroduksi tahun 1985, secara lokal dikenal
dengan nama lele dumbo, antara keturunan kedua (F2) dengan keturunan di atas
generasi keenam (>F6) (Sunarma et al. 2005). Populasi Thailand merupakan hasil
introduksi dari Thailand oleh perusahaan swasta sekitar tahun 2002 dan 2008,
populasi Mesir diintroduksi sekitar tahun 2007 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan,
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, populasi Belanda diintroduksi dan dikembangkan
di Universitas Brawijaya pada tahun 1985 dan introduksi oleh BBPBAT Sukabumi
pada tahun 2011, dan populasi Kenya merupakan populasi yang diintroduksi tahun
2011 oleh BBPBAT Sukabumi atas hasil pertukaran dengan ikan lele Sangkuriang
dari Pemerintah Kenya. Populasi Sangkuriang, Thailand dan Belanda merupakan
tipe budidaya, yaitu populasi yang sudah lama berkembang biak pada kegiatan
budidaya. Populasi Mesir dan Kenya merupakan tipe liar, yaitu populasi yang
berasal dari tangkapan langsung dari alam atau populasi yang belum dibudidayakan
secara intensif.
Salah satu program pemuliaan yang dapat dilakukan dengan ketersediaan
beragam jenis populasi ikan lele tersebut adalah hibridisasi. Program pemuliaan
ikan dengan metode hibridisasi berpotensi dapat menghasilkan benih hibrida
unggul dalam waktu yang relatif lebih singkat, yaitu satu generasi, dibandingkan
dengan metode lain, misalnya seleksi yang memerlukan lebih dari tiga generasi.
Secara umum, hibridisasi dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki
performa yang lebih baik dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau
heterosis) (Tave 1986; Bartley et al. 2001). Hibridisasi juga dilakukan untuk
penggabungan karakter yang dikehendaki dari populasi/spesies berbeda ke dalam
suatu populasi/spesies tunggal, produksi ikan steril, produksi ikan kelamin tunggal
dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya (Bartley et al.
2001; Chen 2010). Hibridisasi dapat terjadi baik di dalam satu jenis ikan yang sama
tetapi berbeda populasi (interpopulation crossbreeding) atau antar genus/famili
yang berbeda (interspecific hybridization) (Hulata, 2001). Baik secara alamiah
ataupun akibat campur tangan manusia, hibridisasi diperkirakan terjadi pada sekitar
25% spesies tanaman dan 10% spesies hewan (Mallet 2005).
Hibridisasi yang dilakukan secara sengaja untuk kepentingan akuakultur telah
banyak dilakukan. Heterosis dilaporkan didapatkan pada beberapa jenis ikan, di
antaranya: pertumbuhan ikan nila Oreochromis niloticus (Bentsen et al. 1998;
Nguyen et al. 2009), rohu Labeo rohita (Gjerde et al. 2002), ikan mas Cyprinus
carpio (Vandeputte 2003; Nielsen et al. 2010), udang biru Pasifik Penaeus
stylirostris (Goyard et al. 2008), udang galah Macrobrachium rosenbergii (Thanh

3
Tabel 1 Perbedaan sejarah introduksi ikan lele Afrika ke Indonesia yang digunakan
pada penelitian
Populasi
Sangkuriang

Asal Negara dan
Waktu Introduksi
Taiwan, 1985

Mesir

Mesir, 2005

Kenya

Kenya, 2011

Belanda

Belanda, 2011

Thailand

Thailand, 2002

Sejarah Domestikasi
Populasi ini diintroduksi dan dibudidayakan di
Taiwan sejak tahun 1975 (Huang et al. 2005).
Di Indonesia, produksi massal telah dimulai
sejak 30 tahun lalu dan sudah dilakukan silangbalik inter-generasi pada tahun 2000
Sejarah domestikasi populasi ini di Mesir tidak
ditemukan. Produksi ikan lele di Mesir telah
dilaporkan sejak tahun 1996 dan baru
meningkat secara nyata pada tahun 2005 (ElNaggar 2008).
Ditangkap secara langsung dari habitat
alaminya dan dikarakterisasi sebagai populasi
liar
Populasi ini diintroduksi ke Belanda dari Afrika
Selatan tahun 1974 (Holcik 1991) dan sudah
dilakukan seleksi massal untuk pertumbuhan
(Fleuren 2008).
Populasi ini berasal dari populasi yang
diintroduksi ke Vietnam dari Afrika Tengah
pada tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett
2009). Diintroduksi ke Thailand pada tahun
1987 dan sudah memberikan kontribusi nyata
terhadap produksi akuakultur (Wachirachaikarn
et al. 2009)

et al. 2010), silver perch Bidyanus bidyanus (Guy et al. 2009), brook trout
Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011), rasio bobot daging terhadap bobot tubuh
pada hibrida antara ikan channel catfish Ictalurus punctatus dengan ikan blue
catfish I. furcatus (Argue et al. 2003), dan kelangsungan hidup larva ikan gupi
Poecilia reticulata (Shikano & Taniguchi 2002). Namun demikian, heterosis tidak
selalu didapatkan pada proses hibridisasi, misalnya pada pertumbuhan,
kelangsungan hidup dan indeks fagositosis hibridisasi antar populasi ikan lele
Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009). Munculnya heterosis pada
hibridisasi, diantaranya bergantung pada variasi genetik di dalam populasi tetuanya
atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang digunakan (Fjalestad 2005;
Goyard et al. 2008).
Upaya peningkatan heterosigositas dan jarak genetik antar populasi dapat
dilakukan dengan introduksi kembali ikan lele dari habitat alaminya ke sistem
budidaya (Schönhuth et al. 2003; Wachirachaikarn et al. 2009). Meskipun variasi
genetik pada level molekuler belum menjamin adanya variasi pada karakter
fenotipe kuantitatif (Reed & Frankham 2001; Overturf et al. 2003; Borrel et al.
2004; Wachirachaikarn et al. 2009), tetapi variasi genetik yang tinggi dapat menjadi
basis bagi program pemuliaan dalam jangka panjang. Pada ikan rainbow trout

4
Onchorhynchus mykiss, heterosigositas pada lokus alozim berhubungan dengan
karakter fenotipe yang terkait dengan ketahanan tubuh (Thelen & Allendorf 2001).
Persilangan pada ikan/udang yang memiliki jarak genetik yang tinggi dapat
menghasilkan perbaikan performa, baik ketahanan tubuh atau kebugaran (fitness)
seperti pada ikan gupi (Shikano & Taniguchi 2002) maupun pertumbuhan seperti
pada udang biru Pasifik (Goyard et al. 2008).
Pada ikan lele Afrika di Indonesia, informasi variasi genotipe setiap populasi
belum tersedia. Selain itu, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai status
spesies ikan lele Afrika. Ada pendapat yang menyatakan sebagai ikan hibrida
interspesies, tapi sebagian lainnya menyatakan sebagai spesies Clarias gariepinus.
Perbedaan tersebut diakibatkan tidak adanya dokumentasi yang memadai ketika
ikan ini diintroduksi. Analisis variasi genotipe dan penelusuran asal-usul ikan lele
dapat dilakukan dengan memanfaatkan marka DNA mitokondria. Selain itu,
penelusuran status spesies/hibrida juga dapat dilakukan dengan analisis trussmorfometri dan analisis performa reproduksi.
DNA mitokondria diturunkan secara maternal sehingga bersifat nonmendelian (Liu 2009). Marka DNA mitokondria banyak digunakan pada analisis
genetika populasi karena genom mitokondria berubah lebih cepat dibandingkan
dengan genom inti sehingga menyebabkan polimorfik yang tinggi (Liu 2009).
Berdasarkan analisis lokus ND5/6 (NADH (nicotinamide adenine dinucleotide)
dehydrogenase 5/6) DNA mitokondria dengan menggunakan PCR-RPLP
(polymerase chain reaction - restriction fragment length polymorphism), struktur
populasi ikan lele C. gariepinus di Afrika dapat dipisahkan menjadi tiga grup
filogenetik, yaitu grup Afrika bagian Timur, bagian Utara dan bagian zona kontak
antara Timur dengan Tengah-Selatan, meskipun ketiga populasi tersebut memiliki
kesamaan morfologi (Giddelo et al. 2002). Dengan analisis DNA mitokondria juga
dapat dibedakan antara ikan lele yang dibudidayakan di Afrika Selatan yang berasal
dari Belanda dengan ikan lele yang secara asli terdapat di perairan negara tersebut
(Roodt-Wilding et al. 2010). Lokus ND 5/6 berhasil memisahkan populasi ikan
salmon (Cronin et al. 1993), ikan nila (Rognon & Guyomard 1997; Li et al. 2002),
ikan mas (Gross et al. 2002; Zhou et al. 2003), dan ikan lele (Giddelo et al. 2002;
Mohindra et al. 2007). Analisis truss-morfometri sudah berhasil memisahkan
beragam ikan lele di Afrika (Teugel 1986; Agnese et al. 1997) dan Asia (Ng 1999;
Sudarto 2002). Performa reproduksi dapat digunakan untuk identifikasi ikan hibrida
karena persilangan antar spesies bisa menghasilkan ikan hibrida yang fertil atau
yang steril (Wu et al. 1990; Lenormand et al. 1998; Senanan et al. 2004).
Selain informasi karakter genotipe, Nguyen & Ponzoni (2008) menyarankan
perlu didapatkannya karakter fenotipe unggul dari setiap stok yang ada pada tahap
awal program pemuliaan ikan. Pada banyak spesies, karakter fenotipe yang dipilih
adalah pertumbuhan, misalnya pada ikan nila (Eknath et al. 2007), ikan salmon
(Gjedrem 2010) dan Cherax destructor (Jerry et al. 2005). Pada ikan lele Afrika di
Indonesia, karakter pertumbuhan juga menjadi pilihan utama pada perbaikan mutu
genetik.
Sejauh ini, karakteristik genotipe dan performa budidaya kelima populasi
ikan lele Afrika introduksi dan potensi hibridisasi di antara kelimanya belum
dipublikasikan. Karakteristik genotipe dapat menginformasikan asal-usul dan
keragaman kelima populasi tersebut. Performa budidaya dapat menginformasikan
potensi pertumbuhan dari setiap populasi dan potensi hibridisasi dapat

5
menginformasikan persilangan terbaik di antara kelima populasi yang dapat
dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan lele Afrika.

Perumusan Masalah
Data FAO (2016) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan produsen
terbesar ikan lele di dunia dengan kontribusi sekitar 58%. Dalam lima tahun
terakhir, peningkatan rata-rata produksi ikan lele hampir mencapai 40% per tahun
(KKP 2013). Laju peningkatan produksi yang tinggi tersebut telah menyebabkan
terjadi penurunan mutu genetik akibat adanya akumulasi inbreeding dan penurunan
keragaman genetik (Nurhidayat et al. 2003; Imron et al. 2011). Namun demikian,
sejauh ini, perbaikan mutu genetik ikan lele, baik di tingkat nasional maupun
internasional, belum menghasilkan populasi yang unggul seperti halnya pada ikan
nila dan udang vaname. Secara global, riset yang terkait dengan program pemuliaan
ikan lele dilakukan melalui teknik ginogenesis dan androgenesis (Bongers et al.
1995; Galbusera et al. 2000), hibridisasi inter-generik (Senanan et al. 2004), seleksi
(Rezk 2008), dan persilangan intra-spesies (Wachirachaikarn et al. 2009). Di
Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, telah
dilepas sebanyak empat populasi ikan lele hasil pemuliaan, yaitu ikan lele
Sangkuriang, benih hibrida ikan lele Sangkuriang2, ikan lele Mutiara dan benih
hibrida ikan lele Mandalika.
Upaya lebih lanjut perbaikan mutu genetik pada ikan lele Afrika di Indonesia
dapat dilakukan dengan memanfaatkan beragam populasi yang ada dengan
memanfaatkan populasi yang sudah dibudidayakan dan populasi yang baru
didomestikasi dari alam. Saat ini, koleksi ikan lele Afrika di BBPBAT Sukabumi
meliputi lima populasi, yaitu: populasi Sangkuriang, populasi Thailand, populasi
Belanda, populasi Mesir dan populasi Kenya. Tiga populasi pertama berasal dari
sistem budidaya (tipe kultur) sedangkan dua populasi yang terakhir merupakan tipe
liar yang berasal dari habitat alaminya. Semua populasi tipe kultur diduga berasal
dari populasi yang terpisah yang sudah mengalami adaptasi pada lingkungan yang
berbeda sedangkan populasi Mesir dan Kenya masih pada proses adaptasi terhadap
lingkungan budidaya.
Untuk kepentingan tersebut, karakterisasi genotipe, baik untuk kepentingan
penelusuran status spesies maupun untuk mendapatkan variabilitas genetik pada
kelima populasi yang ada perlu dilakukan. Potensi budidaya pada kelima populasi
diperlukan dengan melakukan hibridisasi di antara populasi tersebut. Dengan
pendekatan secara genotipe maupun fenotipe tersebut diharapkan dapat dihasilkan
hibrida unggul yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi budidaya ikan lele
sehingga produksi perikanan budidaya dapat meningkat (Gambar 1).

Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah menghasilkan hibrida unggul ikan
lele yang berasal dari hasil persilangan. Secara khusus, tujuan setiap kegiatan
adalah:

6

Gambar 1 Alur penelitian hibridisasi interpopulasi ikan lele
1.
2.
3.

Menentukan kekerabatan dan status spesies ikan lele yang diintroduksi di
Indonesia,
Menghasilkan ikan hibrida yang memiliki karakter unggul,
Menghasilkan informasi dan material dasar untuk proses seleksi selanjutnya.

Manfaat Penelitian
Hibrida unggul ikan lele yang berasal dari hasil persilangan pada penelitian
ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan produksi ikan lele secara nasional.
Kejelasan status spesies dan material dasar ikan lele akan memberikan manfaat bagi
penentuan teknik pemuliaan yang akan diterapkan.

Hipotesis
1.
2.

Hipotesis pada penelitian ini adalah:
Ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia merupakan spesies C.
gariepinus dan bukan merupakan ikan hibrida hasil persilangan interspesies,
Persilangan interpopulasi ikan lele Afrika akan menghasilkan hibrida unggul
yang dicirikan dengan pertumbuhan, kelangsungan hidup, biomassa dan
konversi pakan yang lebih baik dibandingkan ikan lele yang saat ini
digunakan di masyarakat.

Kebaruan
Berdasarkan penelusuran literatur, penelitian mengenai persilangan ikan lele
Afrika dengan memanfaatkan sumber genetik yang beragam belum pernah
dilakukan/dipublikasikan sehingga penelitian ini merupakan yang pertama

7
dilakukan di Indonesia. Kebaruan yang berhasil diperoleh pada penelitian ini
adalah:
1.
Pendekatan fenotipe dan genotipe berhasil membuktikan bahwa ikan lele
yang diintroduksi di Indonesia adalah spesies Clarias gariepinus
2.
Persilangan interpopulasi ikan lele introduksi telah menghasilkan populasi
hibrida unggul yang dapat meningkatkan biomassa hingga 200%
dibandingkan dengan penggunaan ikan lele yang banyak beredar di
masyarakat saat ini,
3.
Persilangan interpopulasi pada ikan lele merupakan metode yang dapat
memperbaiki mutu genetik secara cepat (1 generasi).
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan baik untuk
peningkatan produksi akuakultur berupa ikan hibrida dengan karakter unggul
maupun untuk penerapan teknik pemuliaan lebih lanjut berupa informasi mengenai
karakteristik genotipe dan fenotipe dan populasi dasar ikan lele Afrika yang
diintroduksi di Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Ikan Lele Afrika di Indonesia
Genus Clarias tersebar secara luas di benua Asia dan Afrika. Genus ini terdiri
atas 61 spesies (Fishbase 2016), beberapa sudah dibudidayakan, diantaranya: C.
anguillaris (Sanda et al. 2015), C. batrachus (Senanan et al. 2004), C. fuscus
(Huang et al. 2005), C. gariepinus (Ponzoni & Nguyen 2008) dan C.
macrocephalus (Senanan et al. 2004). Hingga tahun 2014, budidaya genus Clarias,
termasuk hibrida interspesies, sudah dilakukan di 54 negara dengan produksi
mencapai 1.16 juta ton dengan nilai $ 2327 juta (FAO 2016) (Tabel 2). Di antara
genus Clarias, lele Afrika merupakan spesies yang paling banyak disebarkan ke
luar Afrika dan sudah mengalami domestikasi yang sangat panjang. Ikan lele Afrika,
Tabel 2 Produksi budidaya ikan genus Clarias di dunia pada tahun 2014
(FAO 2016)
Negara
Indonesia
Nigeria
Thailand
Uganda
Malaysia
Nigeria
Vietnam
Mesir
Myanmar
Kuba
Bangladesh
Kenya
Philipina
Kambodia
Hungaria
Nepal
Ghana
Belanda
Lain-lain
Total

Jumlah (ton)
677 916.56
158 531.00
113 520.00
57 626.00
46 122.01
35 823.00
20 000.00
13 109.00
9 019.00
6 700.00
5 104.00
4 337.00
3 632.00
3 500.00
2 187.00
1 280.00
1 260.00
1 200.00
4 088.88
1 164 955.45

diantaranya diintroduksi ke Belanda dari Afrika Selatan pada tahun 1974 (Holcik
1991), ke Vietnam dari Afrika Tengah pada tahun 1974 (Na-Nakorn & Brummett
2009) dan ke Taiwan pada tahun 1975 (Huang et al. 2005).
Ikan lele Afrika diintroduksi ke Indonesia pertama kali pada tahun 1985 dari
Taiwan. Seiring dengan perkembangan budidayanya, introduksi kemudian
dilakukan kembali, baik untuk digunakan pada kegiatan produksi budidaya secara
langsung maupun untuk tujuan perbaikan mutu genetik, yaitu berturut-turut pada

9
tahun 2002 dan tahun 2008 dari Thailand, tahun 2005 dari Mesir dan tahun 2011
dari Kenya dan Belanda.
Budidaya ikan lele Afrika di Indonesia mengalami perkembangan pesat
terutama sejak tahun 2000-an. Produksi ikan lele meningkat dari 56000 ton pada
tahun 2004 menjadi 678000 ton pada tahun 2014 dengan peningkatan rata-rata 29%
per tahun dibanding dengan produksi ikan total (di luar rumput laut) sebesar 15%
per tahun. Kontribusi produksi ikan lele terhadap produksi ikan nasional (di luar
rumput laut) meningkat dari 5.3% pada tahun 2004 menjadi 15.8% pada tahun 2014
(FAO 2016) (Gambar 2).
Peningkatan produksi ikan lele Afrika ini didukung oleh perkembangan
sistem budidaya yang digunakan di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan
budidaya ikan lele di negara lain yang menggunakan sistem budidaya berteknologi
tinggi, misalnya di Belanda yang menggunakan teknik pemijahan dengan cara

Gambar 2 Produksi ikan (di luar rumput laut) nasional dan
produksi ikan lele di Indonesia (diolah dari FAO 2016)
buatan dan pemeliharaan ikan di dalam sistem resirkulasi di dalam ruangan tertutup
(Fleuren 2008), budidaya lele di Indonesia kebanyakan menggunakan teknik
pemijahan alami dan produksi benih dan ikan konsumsi menggunakan wadah
plastik di luar ruangan (Sunarma et al. 2013). Dengan teknik budidaya seperti itu,
biaya investasi untuk produksi ikan lele menjadi jauh lebih murah sehingga dapat
diterapkan pada skala rumah tangga.
Sejalan dengan peningkatan produksi tersebut, upaya perbaikan mutu induk
ikan lele juga sudah dilakukan. Pada tahun 2004, Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Tawar Sukabumi, sebuah lembaga pemerintah di bawah Kementerian Kelautan
dan Perikanan, telah mengeluarkan dan menyebarkan induk ikan lele Sangkuriang.
Ikan lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan mutu genetik melalui penerapan
teknik silang-balik ikan lele Afrika yang diintroduksi tahun 1985 antara generasi
kedua dengan generasi keenam (Sunarma et al. 2005). Perbaikan mutu genetik
kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan ikan lele Sangkuriang2 pada tahun
2013. Penggunaan ikan lele Sangkuriang di masyarakat sudah turut memberikan
peningkatan produksi ikan lele nasional. Kontribusi lele Sangkuriang terhadap

10
produksi ikan lele nasional meningkat dari 2.5% pada tahun 2006 menjadi sekitar
30% pada tahun 2014. Selain ikan lele Sangkuriang, di masyarakat sudah pula
beredar ikan lele hasil perbaikan mutu genetik, diantaranya adalah ikan lele Mutiara
yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian dan Pemuliaan Ikan Sukamandi pada tahun
2015.

Persilangan Ikan
Persilangan
(crossbreeding/hybridization)
dapat
terjadi
antar
populasi/subpopulasi dalam satu spesies yang sama (interpopulation
crossbreeding) atau antar genus/famili yang berbeda (interspecific hybridization).
Hibridisasi dapat terjadi baik akibat campur tangan manusia ataupun secara alamiah.
Mallet (2005) memperkirakan hibridisasi telah terjadi setidaknya pada sekitar 25%
spesies tanaman dan 10% spesies hewan. Hibridisasi ikan, baik untuk kepentingan
akuakultur ataupun hanya untuk menguji performa persilangan, telah dilakukan
setidaknya pada 35 persilangan spesies dalam 17 famili (Bartley et al. 2001). Untuk
kepentingan akuakultur, hibridisasi merupakan salah satu cara perbaikan mutu
genetik yang dapat menghasilkan ikan unggul dalam waktu yang singkat melalui
peningkatan heterosigositas dan eksploitasi variasi genetik dominan (Guy et al.
2009). Hibridisasi dilakukan untuk penggabungan karakter yang dikehendaki dari
populasi/spesies berbeda ke dalam suatu populasi/spesies tunggal dengan tujuan
untuk mendapatkan keturunan yang memiliki performa yang lebih baik
dibandingkan dengan tetuanya (hybrid vigor atau heterosis), baik laju pertumbuhan,
ketahanan terhadap penyakit, produksi ikan steril, produksi ikan kelamin tunggal
dan peningkatan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan budidaya (Bartley et al.
2001; Hulata 2001; Vandeputte et al. 2014). Menurut Falconer & Mackay (1996),
ekspresi heterosis pada persilangan dua populasi, sebagian, akan bergantung pada
perbedaan frekuensi gen dan interaksi gen di antara populasi tersebut, termasuk
pengaruh dominan dan epistasis. Namun demikian, munculnya heterosis pada
persilangan sulit diprediksi dan dapat bergantung pada tahap perkembangan ikan
(Granier et al. 2011).
Pemanfaatan heterosis dari hasil hibridisasi yang dilakukan secara sengaja
untuk kepentingan akuakultur telah banyak dilakukan. Heterosis dilaporkan
didapatkan pada beberapa jenis ikan, di antaranya: pertumbuhan ikan nila
Oreochromis niloticus (Bentsen et al. 1998; Nguyen et al. 2009), rohu Labeo rohita
(Gjerde et al. 2002), ikan mas Cyprinus carpio (Vandeputte 2003; Nielsen et al.
2010), udang biru Pasifik Penaeus stylirostris (Goyard et al. 2008), udang galah
Macrobrachium rosenbergii (Thanh et al. 2010), silver perch Bidyanus bidyanus
(Guy et al. 2009), brook trout Salvelinus fontinalis (Granier et al. 2011), rasio bobot
daging terhadap bobot tubuh pada hibrida antara ikan channel catfish Ictalurus
punctatus dengan ikan blue catfish I. furcatus (Argue et al. 2003), dan
kelangsungan hidup larva ikan gupi Poecilia reticulata (Shikano & Taniguchi
2002). Namun demikian, heterosis tidak selalu didapatkan pada proses hibridisasi,
misalnya pada pertumbuhan, kelangsungan hidup dan indeks fagositosis hibridisasi
antar populasi ikan lele Afrika di Thailand (Wachirachaikarn et al. 2009).
Munculnya heterosis pada hibridisasi, meskipun tidak selalu, dapat
bergantung pada skema persilangan di mana satu populasi berlaku hanya sebagai

11
jantan atau sebaliknya (Granier et al. 2011), asal induk yang digunakan dengan
introduksi material genetik baru/liar (Bryden et al. 2004) atau variasi genetik di
dalam populasi tetuanya atau heterosigositas dan jarak genetik antar tetua yang
digunakan (Goyard et al. 2008).
Pada beberapa persilangan ikan, perbedaan skema pemijahan, yaitu satu
populasi berperan sebagai jantan atau sebagai betina (efek resiprok), dapat
menghasilkan performa yang berbeda, seperti yang ditemukan pada persilangan
ikan Chinook salmon (Bryden et al. 2004), ikan nila (Bentsen et al. 1998; Lutz et
al. 2010), brook trout (Granier et al. 2011; Crespel et al. 2012) dan persilangan
blunt snout bream (Luo et al. 2014). Efek resiprok ini mungkin berkaitan dengan
pengaruh maternal atau paternal, penurunan sitoplasmik dan keterkaitan genetik
antara gen seks dengan gen performa (Bentsen et al. 1998; Crespel et al. 2012).
Persilangan antar populasi liar dengan populasi budidaya tidak selalu
menghasilkan performa yang lebih baik. Pada ikan tilapia, persilangan antar
populasi liar (betina Kenya x jantan Mesir) telah menghasilkan bobot tubuh lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi murninya dan persilangan antar populasi liar
dengan populasi budidaya (Bentsen et al. 1998), sedangkan pada udang galah M.
rosenbergii, persilangan populasi budidaya dengan populasi liar menghasilkan
bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tetuanya (Thanh et al.
2009). Hasil berbeda ditunjukkan pada ikan brook trout S. fontinalis yang
menunjukkan populasi budidaya menghasilkan bobot yang lebih tinggi
dibandingkan persilangan populasi budidaya dengan populasi liar (Granier et al.
2011) dan pada ikan Atlantik salmon Salmo salar yang menunjukkan bahwa
performa ikan hasil persilangan berada di antara performa ikan populasi budidaya
dan populasi liar (Glover et al. 2009).
Dengan beragam fakta tersebut di atas, dapat diketahui bahwa persilangan,
baik antar populasi dalam satu spesies ataupun antar spesies, belum tentu
menghasilkan performa hibrida yang diinginkan. Karena itu, Hulata (2001)
menyebutkan bahwa identifikasi secara eksperimental penting dilakukan untuk
menentukan kombinasi persilangan spesifik.

Basis Genetik pada Persilangan
Heterosis pada tingkat populasi muncul karena adanya hubungan antara
fitness populasi dengan heterosigositas pada populasi tersebut secara keseluruhan
(Lippman & Zamir 2006). Interaksi gen antara dua populasi homozigot membentuk
suatu hibrida heterosigot yang memiliki performa lebih baik dari kedua tetuanya.
Secara umum, hipotesis interaksi gen pada suatu persilangan dapat berupa dominan
atau overdominan (Hochholdinger & Hoecker 2007; Chen 2010). Interaksi
dominan terjadi ketika terdapat aksi saling melengkapi (complementary) alel
dominan superior dari kedua populasi inbreed induknya pada multi-lokus yang
melebihi alel yang tidak dikehendaki sehingga memunculkan perbaikan performa
pada hibridanya (AAaa x bbBB menghasilkan AABB). Interaksi overdominan
terjadi ketika interaksi alel pada satu atau multi-lokus sehingga menghasilkan
hibrida yang superior dibanding kedua induknya (A’A’BB x AAB’B’
menghasilkan AA’BB’). Teori heterosis berdasarkan interaksi gen memberikan
konsekuensi bahwa terdapat gen atau alel tertentu yang bertanggung jawab

12
sehingga heterosis muncul. Interaksi gen juga menyebabkan terjadinya peningkatan
keragaman genetik yang akan menyebabkan meningkatnya fitness pada hibridanya.
Bagaimanapun, interaksi gen pada hibridisasi melibatkan banyak gen yang
memberikan kontribusi dan banyak gen yang belum dapat diidentifikasi
hubungannya dengan sifat fenotipe yang muncul pada hibridanya. Dengan dasar itu,
sebagian ahli ada yang berpendapat bahwa kemunculan heterosis lebih karena
adanya peningkatan keragaman genetik semata (Lippman & Zamir 2006). Pada sisi
lain, selain bisa memunculkan heterosis (yang bersifat positif), interaksi gen juga
bisa menimbulkan tekanan outbreeding yang menyebabkan hibrida kehilangan
fitness. Karena itu, sulit untuk memformulasikan dasar genetik pada kemunculan
heterosis (Birchler et al. 2006).
Beberapa studi menunjukkan bahwa variasi genetik pada level molekuler
belum menjamin adanya variasi pada karakter fenotipe quantitatif (review oleh
Reed & Frankham 2001; Overturf et al. 2003; Borrel et al. 2004; Wachirachaikarn
et al. 2009), meskipun variasi genetik yang tinggi dapat menjadi basis bagi program
pemuliaan dalam jangka panjang. Studi yang dilakukan Bougas et al. (2010)
menjelaskan bahwa konsekuensi hibridisasi terhadap tingkat transkriptome dan
fenotipe adalah sangat berkaitan dengan arsitektur genetik spesifik populasi
silangan sehingga keberhasilan persilangan sangat sulit diprediksi.

3 MENELUSURI STATUS SPESIES IKAN LELE AFRIKA
YANG DIINTRODUKSI DI INDONESIA
Abstrak
Hingga saat ini, status spesies ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia masih
diperdebatkan, yaitu sebagai ikan hibrida antar spesies atau spesies C. gariepinus.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keragaman genetik dan status spesies dua
populasi liar dan tiga populasi budidaya ikan lele Afrika dengan menggunakan
analisis marka DNA mitokondria, analisis truss-morfometri dan analisis performa
reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman dan jarak genetik pada
ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia, relatif tinggi dan sebanding dengan
lele Afrika di habitat aslinya. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat
perbedaan karakter di antara lima populasi tersebut yang dapat dipisahkan sebagai
spesies berbeda. Persilangan antar lima populasi tersebut juga menghasilkan tingkat
pembuahan dan penetasan telur yang tinggi. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kelima populasi ikan lele Afrika yang diintroduksi ke Indonesia
merupakan spesies C. gariepinus.
Kata Kunci: Lele Afrika, DNA mitokondria, truss-morfometri, performa reproduksi
Tracing of Species Status of Introduced African Catfish in Indonesia.
Abstract – There are two arguments about species status of introduced African
catfish in Indonesia, i.e. as interspecific hybrid or as purebreed C. gariepinus. Our
research was conducted to examine of genetic diversity and species status of two
wild populations and three farm populations of introduced African catfish using
mitochondria DNA marker, truss-morphometry and reproductive performance
analysis. Our current research showed the genetic diversity and distance of African
catfish were introduced to Indonesia, is relatively high and comparable to African
catfish in their natural habitat. Our result also showed no different characters among
five populations that can be used to separate as different species. All reciprocal
crosses among populations obtained high fertilization and hatching rate. Our
research proven that five introduced African catfish populations, as representatively
Clarias production in Indonesia, as C. gariepinus.
Keywords: African catfish, mitochondrial DNA, truss-morphometry, reproductive
performance
Pendahuluan
Menurut data FAO (2016), Indonesia adalah negara terbesar produsen ikan
lele dari hasil budidaya. Di dalam negeri, pada awalnya, ikan ini dikenal dengan
nama ikan lele Dumbo. Perkembangan selanjutnya, muncul nama lain berdasarkan
keputusan pemerintah ataupun inisiatif swasta, seperti: ikan lele Sangkuriang,
Mutiara dan Mandalika yang berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan terkait dengan pelepasan varietas ikan, ikan lele Paiton, Masamo,
Thailand, Burma, Mesir, dan lain-lain yang berdasarkan inisiatif swasta yang

14
menjual atau penamaan oleh masyarakat. Mengingat wilayah perairan tawar
Indonesia merupakan habitat ikan lele liar (setidaknya terdapat 15 spesies ikan lele
(Fishbase 2016), dengan merujuk tempat asalnya dari Afrika, maka ikan lele
introduksi ini untuk selanjutnya disini disebut sebagai ikan lele Afrika.
Di dalam negeri, masih terdapat dua pendapat mengenai klasifikasi ikan lele
Afrika tersebut, yaitu: pendapat pertama meyakini bahwa ikan tersebut merupakan
hasil hibrida antara C. gariepinus dengan C. fuscus (atau sebaliknya), sementara
pendapat lainnya menyebutkan bahwa ikan lele Afrika adalah spesies C. gariepinus
(Iswanto 2013). Perbedaan ini terutama akibat tidak adanya bukti tertulis ketika
ikan tersebut diintroduksi pada tahun 1985 dari Taiwan (beberapa sumber
menyatakan introduksi pada tahun 1984 dan 1985 (Iswanto 2013)). Diantara alasan
ikan ini diyakini sebagai ikan lele hibrid karena memiliki kesesuaian ciri-ciri yang
termasuk kepada C. gariepinus dan C. fuscus (Prof. Komar Sumantadinata, 2012,
komunikasi pribadi).
Selain dari Taiwan, ikan lele Afrika juga telah diintroduksi dari Belanda pada
tahun 1985 (Na-Nakorn & Brummett 2009). Setelah itu, beberapa introduksi juga
telah dilakukan secara berturut-turut, yaitu dari Thailand pada tahun 2002 dan 2008,
dari Mesir tahun 2007, dari Kenya tahun 2011 dan dari Belanda tahun 2011 (untuk
selanjutnya, introduksi ikan lele Afrika tersebut dis