Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat.

INTENSITAS KEBAKARAN HUTAN DAN ESTIMASI HEAT
PRODUCTION MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT

AGUNG DWIJAYANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Intensitas Kebakaran
Hutan dan Estimasi Heat Production Menggunakan Citra Landsat adalah benar karya
saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015
Agung Dwijayanto
NIM G24110038

ABSTRAK
AGUNG DWIJAYANTO. Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat
Production Menggunakan Citra Landsat. Dibimbing oleh TANIA JUNE dan IDUNG
RISDIYANTO.
Tahun 1997, hutan di Kalimantan terbakar hebat. Heat production (Q)
merepresentasikan jumlah energi kalor yang dihasilkan dari pembakaran. Intensitas
kebakaran (I) adalah laju heat production. Penelitian ini bertujuan memperoleh
estimasi nilai Q dan I dari kebakaran di hutan blok C (Kalimantan Tengah) dan blok
Bongan (Kalimantan Timur), menganalisis suhu udara dekat permukaan (Ta) sebelum,
sesaat setelah terbakar dan beberapa tahun setelah terjadinya recovery, serta
mengestimasi waktu yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan antara emisi
dan serapan CO2. Estimasi nilai Q dan I didasarkan pada jumlah biomassa yang
terbakar. Model estimasi biomassa didapat dari korelasi antara nilai spectral radiance
kanal SWIR dan data biomassa blok Bongan. Penentuan area terbakar menggunakan
indeks Differenced Normalized Burn Ratio (dNBR). Analisis nilai Ta menggunakan
metode neraca energi. Hasil penelitian menunjukan nilai Q total dan I total tertinggi

terjadi pada tipe kebakaran low severity. Q rataan tertinggi terjadi pada tipe high
severity. I rataan tertinggi terjadi pada tipe low severity. Kesetimbangan antara emisi
pembakaran biomassa dan serapan CO2 terjadi di blok Bongan dan blok C sebelum
tahun 2014. Nilai Ta rataan meningkat pada saat kebakaran dan menurun di tahuntahun berikutnya akibat terjadinya recovery.
Kata kunci: biomassa, emisi CO2, energi kalor, kesetimbangan CO2, suhu udara

ABSTRACT
AGUNG DWIJAYANTO. Forest Fire Intensity and Estimation of Heat
Production Using Landsat Image. Supervised by TANIA JUNE and IDUNG
RISDIYANTO.
In 1997, Borneo forest burnt severely. Heat production (Q) represents the
amount of heat energy which is produced from biomass burning. Fire intensity (I) is
the rate of heat production. This study aims to obtain the estimated value of the Q and
I of the forest fires in block C (Central Borneo) and block Bongan (East Borneo), to
analyze the near-surface air temperature (Ta) before fire, shortly after the fire, few
years after the recovery, and to estimate the time that is required to achieve the
balance between CO2 emissions and CO2 uptake. Estimated value of Q and I were
based on the amount of burnt biomass. Model of biomass estimation were resulted
from the correlation between spectral radiance of SWIR band and ground biomass
data of block Bongan. Differenced Normalized Burn Ratio (dNBR) index were used

to determine of burnt area. Analysis of Ta used energy balance method. The result of
research shows that the highest value of Qtotal and Itotal occurred in low-severity plot.
The highest value of Qaverage occurred in high-severity plot. The highest value of
Iaverage occurred in low-severity plot. Equilibrium between CO2 emissions and CO2
uptake occurred in block Bongan and block C before 2014. The average value of Ta
increased in the fire events and decreased in the next years due to recovery.
Keywords: biomass, CO2 emissions, heat energy, uptake of CO2, air temperature

INTENSITAS KEBAKARAN HUTAN DAN ESTIMASI HEAT
PRODUCTION MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT

AGUNG DWIJAYANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Atas segala rahmat dan hidayah Alloh SWT, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
dengan judul “Intensitas Kebakaran Hutan dan Estimasi Heat Production
Menggunakan Citra Landsat” sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains di
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Tania June, MSc selaku
pembimbing 1 dan Bapak Idung Risdiyanto, SSi, MSc selaku pembimbing 2 yang
telah memberikan arahan, dukungan dan bimbingan. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada ayah, Bapak Mukhaibin, ibu tercinta, Ibu Siti Munawaroh,
kakak tersayang Eko Teguh Priyatno, serta segenap keluarga yang selalu memberikan
doa dan dukungan kepada penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan GFM 48 dan
segenap keluarga besar Departemen Geofisika dan Meteorologi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juni 2015
Agung Dwijayanto

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN

i

PRAKATA

ii

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL

iv


DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

iv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


METODE

2

Bahan

2

Alat

3

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi Penutupan Lahan


9
9

Estimasi Nilai Above Ground Biomass (AGB)

10

Identifikasi Kebakaran Hutan

12

Estimasi Heat Production (Q)

14

Estimasi Intensitas Kebakaran (I)

17

Suhu Udara Dekat Permukaan (Ta)


19

Emisi CO2 Akibat Kebakaran Biomassa

20

Penyerapan CO2 Setelah Recovery

21

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23

Saran


23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5
6
7

Citra Landsat dari tahun 1996 sampai 2014
Nilai gain dan bias kanal Landsat 5
Klasifikasi tingkat keparahan (severity) berdasarkan nilai dNBR
Plot tipe kebakaran dan tutupan lahan di blok C dan blok Bongan
Daftar nilai h berdasarkan jenis vegetasi dan bagian tubuh vegetasi

2
5
6
6
7

Emisi CO2 dari AGB dan gambut di blok C dan blok Bongan

20

Kondisi kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2

21

DAFTAR GAMBAR
1 Tutupan lahan
blok C sebelum kebakaran, teknik klasifikasi
terbimbing
2 Tutupan lahan blok Bongan sebelum kebakaran, teknik klasifikasi
terbimbing
3 Model estimasi AGB blok Bongan berdasarkan nilai spectral radiance
kanal SWIR
4 Kemampuan spectral radiance kanal SWIR membedakan objek di
permukaan
5 Sebaran dNBR blok C (a), sebaran dNBR blok Bongan (b), proporsi
luasan area terbakar blok C (d) dan blok Bongan (d)
6 Indikasi terjadinya kebakaran hutan tahun 1997 di blok C (a) dan blok
Bongan (b), hotspot (•) dan wilayah kajian (□)
7 Heat Production di blok C pada tipe kebakaran low severity (a),
moderate severity (b), high severity (c)
8 Heat production total blok C (a) dan heat production rataan blok C (b)
9 Nilai Q blok Bongan tipe kebakaran low severity (a), moderate severity
(b), high severity (c)
10 Nilai Q total (a) dan Q rataan (b) di blok Bongan
11 Intensitas kebakaran blok C (a) dan blok Bongan (b)
12 Intensitas kebakaran rata-rata blok C (a), I rata-rata blok Bongan (b), I
total blok C (c), I total blok Bongan (d)
13 Anomali Ta rataan dari tahun 1996 – 2014 di blok C (a) dan blok
Bongan (b), (o) kebakaran tahun 1997, 2002, 2004, 2006, 2009
14 Titik panas yang terdeteksi satelit MODIS di blok C pada tahun 2002
(a), 2004 (b), 2006 (c), 2009 (d). Titik panas di blok Bongan tahun
2002 (e), 2004 (f), 2006 (g), 2009 (h). Hotspot (•) dan wilayah kajian
(□)
15 Fluktuasi potensi akumulasi serapan CO2 di blok C (a) dan blok
Bongan (b) dari tahun 1998 - 2014

9
10
11
12
13
13
14
15
16
17
17
18
19

20

22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Heat production blok C dari awal kebakaran sampai 1 agustus 1997
2 Heat production blok C dari 1 agustus 1997 – 2 september 1997

27
27

3 Heat production blok Bongan dari awal kebakaran sampai 22 mei
1997
4 Heat production blok Bongan dari 22 Mei 1997 – 10 Agustus 1997
5 Heat production blokBongan dari 10 Agustus 1997 – 27 September
1997
6 Laju pertambahan keliling terbakar blok C
7 Intensitas kebakaran blok C dari tanggal 13 Mei – 1 Agustus 1997
8 Laju pertambahan keliling terbakar blok C
9 Intensitas kebakaran blok C dari 1 Agustus – 2 September 1997
10 Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan
11 Intensitas kebakaran blok Bongan dari 22 Mei – 22 Mei 1997
12 Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan
13 Intensitas kebakaran blok Bongan dari 22 Mei – 10 Agustus 1997
14 Laju pertambahan keliling terbakar blok Bongan
15 Intensitas kebakaran blok Bongan dari 10 Agustus – 27 September
1997

28
28
29
29
29
30
30
31
31
32
32
33
33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran hutan menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelestarian
hutan. Tahun 1997, kebakaran hebat melanda hutan di Kalimantan. Hoscilo
(2009) menyatakan bahwa kebakaran hutan di Kalimantan tahun 1997 terjadi
sebagai dampak dari kombinasi El Nino kuat, land clearing, dan pembuatan kanal
irigasi di lahan gambut. Proyek lahan pertanian satu juta hektar yang
dikembangkan pemerintah Indonesia melatarbelakangi kegiatan pembukaan lahan
dan pengeringan lahan-lahan gambut dalam skala besar. Laporan yang
dikeluarkan BAPPENAS (1999) menyatakan bahwa 6.6 MHa hutan di Indonesia
terdampak kebakaran tahun 1997.
Terbakarnya biomassa hutan menimbulkan berbagai dampak negatif
terhadap lingkungan. Jumlah karbon yang terlepas ke atmosfer berkaitan erat
dengan jumlah biomassa yang terbakar (Malhi et al. 1999). Estimasi jumlah CO2
yang terlepas menjadi penting untuk mengetahui seberapa buruk dampak
kebakaran terhadap kualitas udara. Proses terbakarnya biomassa hutan akan
melepaskan energi. Heat production merupakan istilah untuk menjelaskan energi
panas yang dihasilkan selama proses pembakaran dan kemudian terlepas ke
lingkungan (Margolis dan Ryan 1997). Analisis lebih lanjut mengenai seberapa
cepat api menyebar menjadi penting terkait dengan seberapa luas area terbakar
dan estimasi total jumlah energi panas yang terlepas. Intensitas kebakaran
menggambarkan jumlah energi panas yang terlepas untuk setiap pertambahan
keliling area terbakar (Palheiro et al. 2006).
Analisis suhu udara dekat permukaan (Ta) sebelum dan setelah terjadinya
kebakaran dapat dijadikan sebagai indikator dampak kebakaran hutan. Setelah
kebakaran berakhir, hutan akan mengalami pemulihan (recovery) dengan
tumbuhnya berbagai vegetasi. Diperlukan adanya perhitungan yang dapat
digunakan untuk mengestimasi jumlah CO2 yang dapat diserap kembali oleh
vegetasi setelah terjadinya proses recovery. Penelitian ini penting dilakukan untuk
menganalisis energi yang terlepas akibat kebakaran hutan, dampak terhadap suhu
udara, emisi CO2 dan laju serapan CO2 setelah recovery.
Tujuan Penelitian
1.

2.
3.

Melakukan estimasi nilai heat production dan intensitas kebakaran hutan
tahun 1997 di blok C, Kalimantan Tengah dan di area perkebunan kelapa
sawit Kecamatan Bongan (blok Bongan), Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan
Timur.
Menganalisis suhu udara dekat permukaan (Ta) sebelum terbakar, sesaat
setelah terbakar dan setelah terjadinya recovery.
Mengestimasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan antara
emisi CO2 dan serapan CO2 setelah hutan mengalami recovery.

2

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Agrometeorologi, Departemen
Geofisika dan Meteorologi dari bulan Februari hingga Mei 2015, meliputi
pengunduhan citra Landsat, pengolahan data serta analisis data.
Bahan
Data yang digunakan terdiri dari data biomassa di lahan perkebunan
kelapa sawit kecamatan Bongan, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, serta
data-data yang didapat dari citra satelit Landsat. Data hotspot tahun 1997, 2002,
2004, 2006 dan 2009 didapat dari satelit MODIS. Tabel 1 menyajikan citra-citra
Landsat yang digunakan pada penelitian.
Tabel 1 Citra Landsat dari tahun 1996 sampai 2014
Tipe
Landsat

Akuisisi
citra

Lokasi

Path/Row

Landsat 5

29 Jul-96

Blok C

118/62

Landsat 5

1-Ags-97

Blok C

118/62

Landsat 5

2-Sep-97

Blok C

118/62

Landsat 5
Landsat 5
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7

24-Nov-98
8-Sep-99
16-Jul-00
20-Ags-01
6-Jul-02
14-Jan-03
20-Ags-04
6-Jul-05
7-Jun-06
5-Ags-07
19-Mei-08
9-Jul-09
10-Feb-10
13-Jun-11
3-Sep-12
15-Apr-13
1-Sep-14

Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C
Blok C

118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62
118/62

Landsat 5

22-Jul-96

Bongan

117/60

Penggunaan
Heat production, intesitas
kebakaran, identifikasi luasan
terbakar, Ta
Heat production, intesitas
kebakaran, identifikasi luasan
terbakar
Heat production, intesitas
kebakaran,identifikasi luasan
terbakar, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Heat production, intesitas
kebakaran, identifikasi luasan

3

Landsat 5

22-Mei-97

Bongan

117/60

Landsat 5

10-Ags-97

Bongan

117/60

Landsat 5

27-Sep-97

Bongan

117/60

Landsat 5
Landsat 5
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7
Landsat 7

17-Nov-98
9-Sep-99
17-Jul-00
12-Jul-01
16-Ags-02
31-Mei-03
13-Ags-04
16-Ags-05
16-Okt-06
23-Sep-07
21-Jun-08
27-Ags-09
8-Jul-11
11-Ags-12
26-Nov-13
29-Mei-14

Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan
Bongan

117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60
117/60

terbakar, Ta
Heat production, intesitas
kebakaran, identifikasi luasan
terbakar
Heat production, intesitas
kebakaran, identifikasi luasan
terbakar
Heat production, intesitas
kebakaran, identifikasi luasan
terbakar, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta
Recovery karbon, Ta

Alat
Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan citra Landsat adalah
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGis 10 dan
ErMapper 7.1.
Prosedur Analisis Data
Deskripsi Wilayah Kajian
Wilayah kajian penelitian meliputi dua lokasi berbeda yaitu hutan blok C
Kalimantan Tengah dan lahan perkebunan kelapa sawit di kecamatan Bongan,
kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Blok C Kalimantan Tengah
merupakan salah satu lokasi Mega Rice Project atau proyek satu juta hektar lahan
pertanian pemerintah Indonesia. Luas blok C adalah 448912 Ha. Luas gambut di
blok C adalah 324667 Ha (72% dari total luas blok C). Wilayah blok C berbatasan
dengan sungai Sebangau di sebelah barat, sungai Kahayan di sebelah timur, laut
Jawa di sebelah selatan dan kota Palangkaraya di sebelah utara. Pada tahun 1997,
blok C menjadi salah satu lokasi yang mengalami kebakaran, dengan total luas
terbakar 150486 Ha (Hoscilo 2009). Sebanyak 79% dari daerah terbakar adalah
lahan gambut (118883 Ha). Menurut Hoscilo (2009) dan Page et al. (2002), ratarata kedalaman terbakar pada tanah gambut adalah 0.51±0.05 meter. Suhu udara

4
di blok C bervariasi pada rentang 25 – 330C dan RH 85% - 90 %. Curah hujan
tahunan 2000 – 3000 mm/tahun.
Blok Bongan terletak di Desa Muara Kedang, Desa Jambuk, Desa Gusik,
Kecamatan Bogan, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Luas blok Bongan
adalah 11601 Ha. Secara geografis, blok Bongan terletak pada 116o13‟00” 116o24‟00” BT dan 00o30‟00” - 00o48‟15” LS. Sebelah utara blok Bongan
berbatasan dengan area pertanian yang dikelola warga, sebelah timur berbatasan
dengan hutan produksi dan perusahaan sawit PT Jaya Mandiri Sukses. Di sebelah
barat berbatasan dengan area lahan pertanian yang dimanfaatkan oleh
masyarakat, perusahaan kelapa sawit PT Farinda Bersaudara dan PT Lonsum. Di
sebelah selatan, blok Bongan berbatasan dengan kawasan hutan produksi.
Pengunduhan dan Pengolahan Awal Citra Landsat
Teknik penginderaan jauh digunakan untuk mengatasi keterbatasan
sumber daya karena luasnya wilayah kajian. Penginderaan jauh merupakan teknik
untuk mengenal dan menentukan obyek dipermukaan bumi tanpa melalui kontak
langsung dengan obyek tersebut (Lillesand et al. 2004). Satelit Landsat dipilih
karena memiliki resolusi spasial yang relatif tinggi yaitu 30 x 30 meter untuk
setiap piksel. Selain itu, Landsat akan mengambil citra di lokasi yang sama setiap
16 hari (USGS 2009).
Tahap awal pengolahan citra meliputi koreksi radiometrik dan koreksi
geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengoreksi kualitas citra akibat
adanya kesalahan nilai pantulan maupun spectral radiance (Attarchi 2014).
Kesalahan radiometrik disebabkan oleh faktor kondisi atmosfer. Perlakuan koreksi
geometrik bertujuan untuk memulihkan kondisi citra agar sesuai dengan koordinat
geografis.
Klasifikasi Tutupan Lahan
Tahap inti pengolahan citra dimulai dengan membuat kelas tutupan lahan.
Teknik klasifikasi yang digunakan pada penelitian adalah teknik klasifikasi
terbimbing. Tujuan utama klasifikasi adalah memisahkan piksel pada citra sesuai
dengan kriteria yang diinginkan. Teknik klasifikasi terbimbing dilakukan jika
terdapat cukup informasi tutupan lahan di lapangan. Informasi acuan yang
digunakan pada penilitan adalah peta tutupan lahan blok C tahun 1995 yang
terdapat dalam Hoscilo (2009), peta RTRWP Kalimantan Timur, Peta RBI skala
1:50000 Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta beberapa data
pendukung lain sebagai pembanding.
Spectral Radiance dan Reflectance
Informasi awal yang terdapat pada citra Landsat adalah Digital Number
(DN) atau nilai derajat keabuan. DN citra Landsat 5 dan Landsat 7 disimpan
dalam format 8 bit, sedangkan nilai DN untuk Landsat 8 tersimpan dalam format
16 bit. Nilai DN citra Landsat kemudian diolah dengan berbagai teknik sehingga
dihasilkan nilai-nilai lain yang sesuai dengan kebutuhan. Nilai-nilai yang
dibutuhkan pada penelitian diantaranya adalah spectral radiance dan reflectance.
Spectral radiance adalah nilai radiasi yang diemisikan oleh suatu permukaan tiap
unit panjang gelombang. Reflectance menggambarkan efektivitas objek dalam

5
memantulkan radiasi energi (USGS 2009). Masing-masing kanal Landsat
memiliki respon yang berbeda-beda dalam menangkap gelombang yang
diemisikan dan dipantulkan oleh objek.
Nilai spectral radiance didapat dari persamaan yang terdapat dalam
Handbook Landsat,
Lʎ = ⌊

Lma ʎ -Lminʎ

calma - calmin

( cal- calmin ) Lminʎ

(1)

dimana Lʎ adalah spectral radiance pada kanal ke i (Wm-2sr-1µm-1), Qcal
adalah DN kanal ke i, Lminʎ adalah nilai spectral radiance minimum kanal ke i,
Lmaxʎ adalah nilai spectral radiance maksimum kanal ke i, Qcalmin adalah nilai
piksel minimum dan Qcalmax merupakan nilai piksel maksimum.
Nilai reflectance diturunkan dari nilai DN dengan terlebih dahulu
menentukan nilai radiance dengan persamaan berikut
Li =
(2)
dimana Li adalah radiance kanal ke i, Gb adalah nilai gain kanal ke i dan
Bb adalah nilai bias kanal ke i. Berikut adalah nilai Gb dan Bb tiap kanal yang
terdapat dalam Chander dan Markham (2003).
Tabel 2 Nilai gain dan bias kanal Landsat 5
1 Maret 1984 - 4
Mei 2003
Gb
Bb
0.602431
-1.52
1.1751
-2.84
0.805765
-1.17
0.814549
-1.51
0.108078
-0.37
0.055158 1.2378
0.05698
-0.15

Band
1
2
3
4
5
6
7

Setelah 5 Mei 2003
Gb
0.762824
1.44251
1.03988
0.872588
0.119882
0.055158
0.065294

Bb
-1.52
-2.84
-1.17
-1.51
-0.37
1.2378
-0.15

Nilai reflectance didapat dari persamaan yang terdapat pada Handbook
Landsat
Li

Ri = (Esun
2

i

d2
cos

s

)

(3)

dimana d adalah daily Earth-Sun eccentricity, Zs adalah sudut zenith
matahari tiap scene (90-sudut elevasi matahari), Esun adalah exoatmospheric
solar irradiance tiap kanal. Landsat 5 dan Landsat 7 memiliki nilai Esun yang
sudah ditentukan oleh NASA. Nilai Esun dinyatakan dalam satuan Wm-2µm-1.
Model Estimasi Biomassa
Model estimasi biomassa atas permukaan atau above ground biomass
(AGB) yang digunakan merupakan model empiris yang dibangun dari data
biomassa di 32 plot blok Bongan dan nilai spectral radiance kanal SWIR citra
Landsat pada 32 plot tersebut. Nilai biomassa dan spectral radiance dikorelasikan
menggunakan persamaan eksponensial. Model yang didapat digunakan untuk
mengestimasi nilai biomassa di seluruh area blok Bongan dan blok C.

6
Inventori Kebakaran Hutan
Identifikasi kebakaran hutan yang digunakan dalam penelitan adalah
menggunakan indeks difference Normalized Burn Ratio (dNBR). Rumus umum
dNBR menurut Escuin et al. (2007) adalah
dNBR = N pre-fire - N post-fire
(4)
NBRpre-fire adalah nilai Normalized Burn Ratio (NBR) sebelum hutan
terbakar, sedangkan NBRpost-fire adalah nilai NBR setelah hutan terbakar. Nilai
NBR didapatkan dari persamaan berikut
NBR =

(

44

)

Escuin et al. (2007)

(5)

RB4 adalah nilai reflectance kanal ke 4, sedangkan RB7 merupakan nilai
reflectance kanal ke 7. Nilai reflectance dinyatakan tanpa satuan.
Escuin et al. (2007) membagi nilai dNBR berdasarkan severity level.
Tabel 3 Klasifikasi tingkat keparahan (severity) berdasarkan nilai dNBR
Severity Level
Rentang dNBR
Enhanced Regrowth, High
< -251
Enhanced Regrowth, Low
-250 sampai -101
Unburned
-100 sampai 99
Low Severity
100 sampai 269
Moderate Severity
270 sampai 659
High Severity
> 660
Escuin et al. (2007), Keeley (2009) dan Amato et al. (2013) menemukan
korelasi antara dNBR dengan tingkat keparahan terbakar (fire severity), dimana
Low severity ≈ kebakaran lantai hutan
Moderate severity ≈ kebakaran lantai hutan dan kanopi
High severity ≈ kebakaran kanopi, lantai dan batang
Pada jenis vegetasi semak dan herba, maka hubungan dNBR dengan
severity adalah (Amato et al. 2013),
low severity ≈ 0.3 bagian vegetasi terbakar
moderate severity ≈ 0.8 bagian vegetasi terbakar
high severity ≈ seluruh bagian vegetasi terbakar
Pembuatan Plot Jenis dan Presentase Terbakar
Identifikasi wilayah terbakar dan tingkat keparahan terbakar perlu
ditentukan untuk menghasilkan nilai-nilai estimasi heat production, intensitas
kebakaran dan recovery CO2 yang lebih detail. Pembuatan plot didasarkan pada
jenis tutupan lahan dan tingkat keparahan terbakar (severity level). Tabel 4
menyajikan daftar plot yang digunakan di blok C dan blok Bongan.
Tabel 4 Plot tipe kebakaran dan tutupan lahan di blok C dan blok Bongan
Blok C
Blok Bongan
low_hutan
low_semak
low_belukar
low_hutan
low_lahan terbuka low_belukar
low_mangrove
low_lahan terbuka
low_pertanian
mod_semak

7
low_semak
mod_hutan
mod_belukar
mod_lahan terbuka
mod_mangrove
mod_pertanian
mod_semak
high_hutan
high_belukar
high_lahan terbuka
high_mangrove
high_pertanian
high_semak

mod_hutan
mod_belukar
mod_lahan terbuka
high_semak
high_hutan
high_belukar
high_lahan terbuka

Heat Production (Q)
Heat production didefinisikan sebagai jumlah energi (kalor) yang
dihasilkan dari proses pembakaran (Andreae 1991). Heat production dalam
konteks kebakaran hutan adalah jumlah energi kalor yang dihasilkan dari kejadian
terbakarnya biomassa hutan. Nilai Q didapatkan dari persamaan berikut
Q=h*w
(Atwell et al. 1999)
(6)
-2
Q adalah heat production (kJm ), h adalah mean heat combustion (kJkg-1)
dan w adalah biomassa yang terbakar (kgm-2). Nilai w didapatkan dari selisih
antara AGB sebelum dan sesudah terbakar pada masing-masing plot. Nilai h yang
digunakan untuk hutan adalah nilai h tiap bagian vegetasi, disesuaikan dengan
presentase terbakar. Nilai h untuk tutupan lahan selain hutan didasarkan pada tipe
vegetasi atau famili.
Tabel 5 Daftar nilai h berdasarkan jenis vegetasi dan bagian tubuh vegetasi
Jenis vegetasi / bagian
nilai h (kJ/Kg)
Sumber
vegetasi
mangrove
18003
Ayensu (1980)
batang kayu
20809
Telmo (2011)
daun
19500
Singh et al. (1986)
cabang dan ranting
20208
Singh et al. (1986)
serasah
16000
Ayensu (1980)
semak
18023
Singh et al. (1986)
belukar
18649
Singh et al. (1986)
kayu mati
19269
Telmo (2011)
pertanian
18000
Ayensu (1980)
Intensitas Kebakaran (I)
Intensitas kebakaran hutan adalah laju produksi panas (heat production)
dari kebakaran permukaan (Atwell et al. 1999). Nilai I didapat dari persamaan
berikut
I=h*w*r
(Atwell et al. 1999)
(7)

8
Nilai I dinyatakan dalam satuan kWm-1, r adalah laju sebaran api (ms-1).
Nilai r merepresentasikan pertambahan keliling (fire edge) objek terbakar, bukan
pertambahan luas objek terbakar.
Suhu Udara Dekat Permukaan (Ta)
Nilai Ta didapatkan dengan kombinasi pendekatan klasifikasi lahan dan
penggunaan reflectance kanal thermal (band 6 landsat 5). Tahapan estimasi nilai
Ta dilakukan dengan serangkaian persamaan berikut
Tb =
(Handbook Landsat)
(8)
(

)

Tb adalah brightness temperature (K). Pada Landsat 7, nilai K1= 666.09 Wm-2srμm-1 dan K2= 1282.71 K, sedangkan untuk Landsat 5, nilai K1= 607.76 Wm-2sr1
μm-1 dan K2 = 1260.56 K.
Ts =
(Weng 2001)
(9)
1

Ts adalah suhu permukaan (K), ʎ adalah nilai tengah kanal thermal (11.5
μm , ∂ adalah 1.438 10-2mK, nilai ε = 0.98 untuk air, ε = 0.95 untuk vegatasi dan
ε = 0.92 untuk non vegetasi.
Setelah mendapatkan nilai Ts, langkah selanjutnya adalah menentukan
nilai komponen neraca energi. Komponen neraca energi yang digunakan untuk
estimasi nilai Ta adalah fluks bahang terasa (H) dalam satuan (Wm-2). Nilai H
didapat dari persamaan
H=

( n-G)

(Effendy Sobri 2009)

1

(10)

dimana � adalah rasio bowen, Rn adalah radiasi netto, dan G adalah fluks
bahang tanah.
Nilai Ta didapatkan dari persamaan
Ta = s -

H rah
Cp

(Effendy Sobri 2009)

(11)

dimana rah adalah tahanan aeorodinamik (sm-1 , adalah kerapatan udara
lembab (1.27 kgm-3) dan Cp adalah panas spesifik udara pada tekanan konstan
(1004 Jkg-1K-1).
Emisi CO2
Jumlah emisi CO2 didasarkan pada selisih antara biomassa hutan sebelum
dan setelah terbakar. Nilai biomasssa kemudian dikonversi menjadi nilai stok
karbon dengan persamaan berikut (IPCC 2006)
CStotal = 0.47 * Biomassa total
(12)
CS adalah carbon stock. Nilai stok karbon total dinyatakan dalam satuan ton atau
kg. Selanjutnya, nilai stok karbon total digunakan untuk menghitung emisi CO2
dengan persamaan berikut
Mr CO2 CS
(Lackner 2003)
(13)
CO2 =
rC
Nilai Ar C = 12, dan nilai Ar O = 16. Emisi CO2 dinyatakan dalam satuan
massa (ton).

9
Penyerapan CO2
Metode yang digunakan untuk mengestimasi serapan CO2 adalah dengan
menganalisis nilai biomassa tiap plot dan seluruh luasan lokasi dari tahun 1998
sampai 2014. Laju serapan CO2 didasarkan pada persamaan
Δ G = G n – AGBn-1
(14)
ΔAGB adalah selisih biomassa tiap tahun, AGBn adalah nilai AGB pada tahun n,
dan AGBn-1 adalah nilai AGB satu tahun sebelumnya. Nilai Δ G kemudian
dikonversi menjadi nilai CS dan akumulasi karbon dengan menggunakan
persamaan 12 dan 13.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi Penutupan Lahan
Klasifikasi penutupan lahan diperlukan untuk mempermudah pengerjaan
dan analisis parameter-parameter yang diteliti. Teknik klasifikasi yang digunakan
adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Berikut adalah peta
tutupan lahan sebelum terjadi kebakaran.

Gambar 1 Tutupan lahan blok C sebelum kebakaran (tahun 1996), teknik
klasifikasi terbimbing

10

Gambar 2 Tutupan lahan blok Bongan sebelum kebakaran (tahun 1996), teknik
klasifikasi terbimbing
Penutupan lahan di blok C lebih beragam dibanding blok Bongan.
Penutupan lahan di blok C terbagi dalam 7 kelas utama, dan 1 kelas awan.
Sedangkan di blok Bongan, penutupan lahan dibagi daam 5 kelas utama. Terdapat
kelas lahan pertanian di sisi timur blok C. Lahan pertanian merupakan hasil
proyek satu juta hektar pemerintah Indonesia. Menurut Widyati (2011), proyek
pembukaan lahan gambut untuk pertanian satu juta hektar dibagi menjadi tiga
periode berdasarkan waktu dan luas wilayah, yaitu tahun periode 1945 – 1960an,
periode 1969 – 1995 dan periode 1995 – 2000an.
Kondisi penutupan lahan blok C diambil berdasarkan citra Landsat 5 yang
diakuisisi pada 29 Juli 1996. Penutupan lahan blok Bongan didapatkan dari citra
Landsat 5 yang diakuisisi pada 22 Juli 1996. Berdasarkan gambar 1 dan gambar 2,
hutan masih mendominasi tutupan lahan di kedua blok wilayah kajian.
Estimasi Nilai Above Ground Biomass (AGB)
Nilai AGB yang digunakan pada penelitian adalah nilai AGB estimasi
yang didapatkan dari nilai spectral radiance kanal SWIR (Short Wave Infra Red)
atau kanal 5 pada Landsat 5 dan Landsat 7, serta kanal 6 pada Landsat 8. Model
dibangun dengan variabel bebas yaitu nilai spectral radiance, dan variabel terikat
adalah nilai AGB dalam satuan ton/ha. Pembuatan model didasarkan pada data
AGB di blok Bongan. Data AGB blok Bongan diambil pada 32 titik yang
dianggap merepresentasikan nilai AGB di seluruh luasan lahan dan mewakili
variasi jenis tutupan lahan. Berikut adalah model estimasi AGB di blok Bongan.

11
200
180

AGB (ton/ha)

160
140
120
100
80
60

y = 74869e-0.617x
R² = 0.7543

40
20
0
0

5
10
15
-2
Spectral Radiance Kanal SWIR (Wm sr-1µm-1)

20

Gambar 3 Model estimasi AGB blok Bongan berdasarkan nilai spectral
radiance kanal SWIR
Model estimasi AGB yang dihasilkan adalah Y = 74869e(-0.617 * x), dimana
x adalah spectral radiance kanal SWIR. Tingkat akurasi model mencapai 75%.
Persamaan yang digunakan pada model adalah persamaan eksponensial. Menurut
Lu et al. (2012), Zheng et al. (2004), Porter et al. (2014), model linear tidak
disarankan untuk digunakan pada estimasi biomasa dari citra satelit atau radar.
Model estimasi blok Bongan digunakan juga untuk mengestimasi nilai AGB blok
C. Menurut Barati et al. (2011), Ji et al. (2012), Main-Knorn et al. (2011), Powell
et al. (2010), model estimasi biomassa atau stok karbon bisa digunakan di lokasi
lain dengan syarat kondisi ekosistem yang tidak jauh berbeda dan akan lebih baik
jika lokasi tersebut berada pada kisaran lintang yang berdekatan. Berdasarkan
klasifikasi penutupan lahan, blok C dan blok Bongan memiliki karakteristik
ekosistem yang mirip. Blok C dan blok Bongan sama-sama memiliki kawasan
hutan rawa dan hutan gambut. Kedua blok terletak pada lintang yang tidak
berjauhan. Tipe hutan blok C dan blok Bongan adalah hutan tropis basah.
Terdapat beberapa alasan yang mendukung penggunaan kanal SWIR untuk
model estimasi AGB. Kanal SWIR memiliki karakter yang responsif terhadap
kadar air tanah dan vegetasi. Kanal SWIR juga memiliki kemampuan penetrasi
pada awan tipis. Selain itu, kanal SWIR mampu mengurangi efek shadowing yang
ditimbulkan akibat kondisi topografi (Attarchi 2014). Reflektan kanal SWIR
responsif terhadap kondisi kanopi (Steininger 2010).
Gambar 4 menunjukan sensitivitas kanal SWIR dalam mengenali objek di
permukaan dalam bentuk nilai spectral radiance. Objek awan memiliki nilai
spectral radiance tertinggi dan objek air memiliki nilai spectral radiance terendah.
Pola yang terbentuk adalah semakin tinggi strata atau kerapatan vegetasi ,maka
nilai spectral radiance semakin rendah. Kondisi tersebut dibuktikan dengan lahan
terbuka memiliki nilai spectral radiance tertinggi. Rentang nilai spectral radiance
awan adalah 25.63 – 31.6 Wm-2sr-1µm-1 dan air adalah 0.12 – 0.48 Wm-2sr-1µm-1.
Nilai spectral radiance awan dan air tidak digunakan dalam estimasi nilai AGB.

a

Spectral Radiance (Wm-2sr-2µm-1)

12
25
20
15
10

b

5
0

Gambar 4 Kemampuan spectral radiance kanal SWIR membedakan objek di
permukaan
Identifikasi Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan didefinisikan oleh Departemen Kehutanan RI sebagai
kondisi ketika hutan dilanda api sehingga menimbulkan resiko kerugian ekosistem
dan mengancam kelestarian lingkungan. Secara umum, terdapat tiga tipe
kebakaran hutan. Tipe pertama adalah kebakaran permukaan, yaitu api membakar
lantai hutan mencakup serasah, bahan organik mati dan vegetasi bawah. Tipe
kedua adalah kebakaran tajuk dimana api membakar bagian atas pohon, meliputi
daun, cabang dan organ-organ reproduksi. Tipe kebakaran ketiga adalah
kebakaran bawah tanah, yaitu api membakar lapisan organik yang berada di
bawah tanah meliputi gambut dan akar (June 2006). Neary et al. (1999)
menambahkan satu tipe kebakaran tambahan yaitu kebakaran total yang
didefinisikan sebagai kebakaran tajuk, permukaan, bawah tanah dan batang juga
habis terbakar dan menyisakan abu mineral.
Teknik identifikasi kebakaran yang dilakukan pada penelitian
menggunakan indeks Difference Normalized Burn Ratio (dNBR) yang didapat
dari nilai reflektan kanal 4 dan kanal 7 Landsat 5. Berikut adalah hasil identifikasi
kebakaran di blok C dan blok Bongan.

a

b

13
883 Ha

13677
Ha

80 Ha

c

high
severity
mod
severity
low
severity

188065
Ha

1085
Ha

d

high
severity
moderate
severity
low
severity

6739
Ha

Gambar 5 Sebaran dNBR blok C (a), sebaran dNBR blok Bongan (b), proporsi
luasan area terbakar blok C (d) dan blok Bongan (d)
Escuin et al. (2007), Miller (2007) dan Amato et al. (2013) menemukan
korelasi antara dNBR dengan tingkat keparahan terbakar (fire severity), dimana
low severity sama dengan kebakaran lantai hutan, moderate severity menunjukan
kebakaran lantai hutan dan kanopi, sedangkan high severity menunjukan kebaran
kanopi, lantai hutan dan batang pohon. High severity identik dengan tipe
kebakaran total. Khusus pada jenis vegetasi semak dan herba, hubungan dNBR
dengan tingkat keparahan menurut Amato et al. (2013) yaitu low severity
menunjukan bahwa 0.3 bagian vegetasi terbakar. Moderate severity menunjukan
0.8 bagian vegetasi terbakar. Sedangkan high severity mengindikasikan seluruh
bagian vegetasi terbakar.
Di kedua lokasi, tipe kebakaran low severity mendominasi luasan terbakar.
Di blok C, presentase low severity adalah 92.8%, moderate severity 6.7% dan high
severity hanya 0.4% dari total luasan terbakar. Pola yang sama terjadi di blok
Bongan, dimana presentase low severity 85.3%, moderate severity 13.7% dan high
severity hanya 1 % dari keseluruhan daerah terdampak kebakaran.

(a)

(b)

Gambar 6 Indikasi terjadinya kebakaran hutan tahun 1997 di blok C (a) dan blok
Bongan (b), hotspot (•) dan wilayah kajian (□)

14
Daerah terbakar di blok C dan blok Bongan tahun 1997 juga teridentifikasi
oleh satelit MODIS melalui adanya hotspot. Gambar 6 menyajikan informasi
keberadaan hotspot tahun 1997 di blok C dan blok Bongan.
Hotspot tidak selalu menunjukan adanya api. Keberadaan hotspot yang
teridentifikasi oleh satelit MODIS menunjukan adanya suhu permukaan yang
lebih tinggi dibanding titik lain. Suhu permukaan yang lebih tinggi berkorelasi
positif dengan keberadaan api.
Estimasi Heat Production (Q)
Nilai Q merepresentasikan jumlah energi kalor yang terlepas ke
lingkungan akibat pembakaran biomassa hutan. Perubahan nilai biomassa sebelum
dan setelah terbakar dan nilai mean heat combustion (h) menjadi variabel penentu
besarnya nilai Q. Masing-masing jenis vegetasi memiliki nilai h. Setiap bagian
tubuh vegetasi dan bahan organik di hutan juga memiliki nilai h. Kendala yang
dihadapi adalah analisis citra tidak bisa digunakan untuk mengenali vegetasi
sampai pada level spesies. Solusi yang digunakan pada penelitian adalah
menggunakan nilai h berdasarkan jenis tutupan lahan di wiliayah iklim tropis.
Berikut adalah sebaran nilai Q di blok C.

Gambar 7 Heat Production di blok C pada tipe kebakaran low severity (a),
moderate severity (b), high severity (c)

15
Nilai Q tertinggi terjadi dari rentang tanggal 13 mei 1997 sampai 1 agustus
1997 di semua jenis kebakaran dan tutupan lahan. Nilai Q kondisi low_belukar
pada rentang 1 agustus -2 september 1997 lebih tinggi dari nilai Q pada 13 mei –
1 agustus 1997. Artinya, sebagian besar belukar yang terbakar di bagian lantai
terjadi pada rentang 1 agustus – 2 september 1997. Di tipe kebakaran low severity,
hutan dan belukar memberikan kontribusi nilai Q yang lebih tinggi dibanding
jenis tutupan lahan yang lain. Hutan, belukar dan semak menjadi penyumbang
nilai Q terbesar pada jenis kebakaran total (high severity). Sedangkan pada jenis
mod severity¸ kontribusi nilai Q lahan terbuka dan mangrove tidak sebesar jenis
tutupan lahan yang lain.
25
20
15
10
5

high severity
mod severity
low severity

8
Q rataan (kJ/m2) x 100000

Q total (kJ/m2) x 100000000

30

0

7
6
5
4
3
2
1

a

b

0
low

mod

high

Gambar 8 Heat production total blok C (a) dan heat production rataan blok C (b)
Nilai Q total pada hutan dan belukar didominasi oleh tipe kebakaran low
severity. Kondisi tersebut terjadi karena luasan hutan dan belukar yang mengalami
low severity jauh lebih luas dibandingkan tipe kebakaran lain, sehingga biomassa
lantai yang terbakar juga lebih banyak. Luas hutan dan belukar yang mengalami
low severity adalah 119746 Ha dan 23067 Ha. Kondisi yang berbeda terjadi pada
lahan pertanian dan semak, dimana tipe kebakaran moderate severity lebih
dominan dibanding low severity. Pola nilai Q rataan berbeda dengan pola Q total.
Nilai Q rataan tertinggi terjadi pada tipe kebakaran high severity. Luasan high
severity yang lebih sempit dibanding tipe kebakaran lain berakibat pada tingginya
nilai Q rataan.
Nilai Q rataan tipe high severity adalah 708477.1 kJ/m2. Nilai tersebut
setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran kayu seberat 34 Kg/m2,
dimana nilai mean heat combustion (h) kayu adalah 20800 kJ/Kg. Tipe mod
severity menghasilkan Q rataan sebesar 76195.5 kJ/m2, atau setara dengan energi
yang dihasilkan dari pembakaran daun seberat 3.9 Kg/m2 (nilai h daun adalah
19500 kJ/Kg). Q rataan tipe low severity adalah 5853.5 kJ/m2, atau setara dengan
energi yang dihasilkan dari pembakaran serasah seberat 2.9 ons/m2 (nilai h
serasah 16000 kJ/Kg).
Dominasi Q hutan terjadi di blok Bongan. Nilai Q hutan tertinggi di semua
tipe kebakaran. Khusus tipe kebakaran high severity, nilai Q hutan sangat
dominan dibanding jenis tutupan lahan lain. Merujuk pada gambar 2 dan gambar
5b, tipe kebakaran high severity lebih banyak terjadi pada tutupan lahan hutan.

16

Gambar 9 Nilai Q blok Bongan tipe kebakaran low severity (a), moderate severity
(b) dan high severity (c)
Tipe kebakaran low severity memberikan dampak tertinggi bagi nilai Q
total di blok Bongan. Artinya, sebagian besar jenis kebakaran di blok Bongan
adalah tipe kebakaran di lantai hutan. Walaupun jenis kebakaran low severity
hanya membakar lantai hutan, namun dampaknya dapat mengakibatkan kanopi
menjadi layu, vegetasi mengering, dan matinya vegetasi bawah di lantai hutan
(Neary et al. 1999). Nilai Q rataan di blok C dan blok Bongan menunjukan pola
yang sama yaitu nilai Q rataan high severity lebih tinggi dari tipe kebakaran lain.
Nilai Q rataan tipe high severity adalah 385434 kJ/m2. Nilai tersebut setara
dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran kayu seberat 18.5 Kg/m2, dimana
nilai mean heat combustion (h) kayu adalah 20800 kJ/Kg. Tipe mod severity
menghasilkan Q rataan sebesar 48854.7 kJ/m2, atau setara dengan energi yang
dihasilkan dari pembakaran daun seberat 2.5 Kg/m2 (nilai h daun adalah 19500
kJ/Kg). Q rataan tipe low severity adalah 4387.3 kJ/m2, atau setara dengan energi
yang dihasilkan dari pembakaran serasah seberat 2.7 ons/m2 (nilai h serasah
16000 kJ/Kg).

low severity

8

mod severity

7

high severity

6

4

x 100000

9

3.5
3

Q rataan (kJ/m2)

Q total (kJ/m2) x 10000000

17

5
4
3
2

2.5
2
1.5
1

1

0.5

0
semak

a

hutan

belukar

lahan
terbuka

0

b

low

mod

high

Gambar 10 Nilai Q total (a) dan Q rataan (b) di blok Bongan
Estimasi Intensitas Kebakaran (I)
Pengembangan lebih lanjut dari estimasi heat production (Q) adalah
estimasi nilai intensitas kebakaran (I). Nilai I merepresentasikan laju produksi
energi kalor (laju Q) (Atwell et al. 1999). Perhitungan nilai I melibatkan laju
pertambahan keliling wilayah terbakar pada periode tertentu, bergantung pada
ketersediaan citra Landsat. Asumsi awal terjadinya kebakaran adalah tanggal citra
dengan tingkat penutupan awan yang tinggi di bulan Mei 1997. Asumsi tersebut
diambil karena tidak tersedianya citra dengan tanggal akuisisi tepat pada saat awal
kebakaran. Awal kebakaran di blok C diasumsikan terjadi pada 13 Mei 1997. Di
blok Bongan, asumsi awal kebakaran terjadi pada 6 Mei 1997. Hoscilo (2009) dan
Khandekar et al. (2000) menyatakan bahwa kebakaran di Kalimantan mulai
terjadi di bulan Mei sampai September 1997, walaupun indikasi datangnya El
Nino sudah jelas terlihat terutama di bulan Maret 1997. Boehm et al. (2001)
mengambil citra setelah terbakar pada bulan Oktober 1997. Artinya, pada bulan
Oktober 1997, kebakaran bisa dikatakan telah selesai. Berikut adalah grafik nilai I
di blok C dan blok Bongan.

Gambar 11 Intensitas kebakaran blok C (a) dan blok Bongan (b)

18
Pola nilai I di kedua blok menunjukan bahwa low severity memberikan
kontribusi terbesar pada laju produksi Q. Kondisi tersebut terjadi karena area yang
terdampak low severity lebih luas dari tipe kebakaran lain. Di Blok C, 92.8% dari
luasan terbakar merupakan tipe kebakaran low severity. Sedangkan di blok
Bongan, low severity terjadi pada 85.3% dari keseluruhan area terbakar.
Meskipun rasio low severity di blok C lebih luas dari rasio low severity di
blok Bongan, namun ketimpangan nilai I low severity dengan tipe kebakaran lain
di blok C tidak sebesar ketimpangan nilai I di blok Bongan. Walaupun tipe
kebakaran high severity menghabiskan lebih banyak biomassa, namun luasan tipe
high severity yang kecil berdampak pada nilai Q dan nilai I yang lebih kecil dari
tipe kebakaran lain. Luasan yang sempit juga diakibatkan nilai laju sebaran api
yang rendah pada tipe high severity.

Gambar 12 Intensitas kebakaran rata-rata blok C (a), I rata-rata blok Bongan (b), I
total blok C (c), I total blok Bongan (d)
Pola nilai I total sama di kedua blok. Total keliling low severity di kedua
lokasi jauh lebih besar dari tipe kebakaran lain, sehingga I total yang dihasilkan
juga tinggi. I rataan tertinggi juga terjadi pada tipe low severity. Skinner (2003),
menyatakan bahwa 65% intensitas kebakaran terjadi pada tipe low severity,
sisanya terjadi pada tipe moderate dan high severity. Akan tetapi, moderate
severity memberikan kontribusi nilai I yang lebih tinggi dibanding tipe high
severity. Keliling yang sempit juga mengakibatkan nilai laju sebaran api yang
rendah pada tipe high severity, sehingga I rataan yang dihasilkan juga kecil.
Kondisi yang terjadi pada lahan gambut adalah kebakaran dimulai di
permukaan, kemudian dengan energi yang cukup akan membakar lapisan gambut
(Aryanti 2002). Jika api telah membakar lapisan gambut, maka akan cepat
merambat di bawah permukaan dan tidak mudah terdeteksi.
Semakin ringan bahan bakar, maka api akan lebih cepat merambat,
sehingga laju sebaran api pada tipe low severity lebih cepat dari tipe high severity.

19
Serasah, tumbuhan penutup tanah dan semak merupakan bahan bakar halus yang
mudah menyala serta berpotensi besar memperluas area terbakar (Aryanti 2002).
Pada tipe kebakaran high severity, api membakar dengan cepat ke atas (vertikal),
namun pada titik tertentu rasio antara bahan bakar dan oksigen tidak mencukupi
sehingga api cepat padam. Sedangkan pada tipe kebakaran horizontal (low
severity), api lebih cepat meluas dibanding tipe vertikal. Pada tipe high severity,
abu silika membentuk katalisator yang meyebabkan terbentuknya arang dan
menurunkan potensi nyala api. Itulah sebabnya pada high severity api lebih cepat
padam (Chandler et al. 1983).
Suhu Udara Dekat Permukaan (Ta)
Analisis Ta sebelum dan setelah terjadinya kebakaran penting dilakukan
untuk mengetahui seberapa besar dampak kebakaran terhadap suhu udara. Berikut
grafik anomali Ta terhadap suhu 250C dari tahun 1996 sampai 2014.

-2

2
1
2013

2011

2008

2006

2004

2002

-1

2000

0
1998

2014

2012

2010

2008

2006

2004

2002

2000

-1

1998

0

3

1996

1

Anomali terhadap suhu 250C

2

1996

Anomali terhadap suhu 250C

3

-2

b
-3

-3

Gambar 13 Anomali Ta rataan dari tahun 1996 – 2014 di blok C (a) dan blok
Bongan (b), (o) kebakaran tahun 1997, 2002, 2004, 2006, 2009
Nilai Ta rataan meningkat drastis pada tahun kebakaran (1997) di kedua
lokasi. Setelah tahun 1998 hingga 2000, nilai Ta rataan cenderung terus menurun
akibat adanya recovery di lokasi bekas terbakar. Tahun 2002 terjadi peningkatan
nilai Ta rataan di kedua blok. El Nino kembali terjadi pada tahun 2002 dan June
(2006) juga menyatakan bahwa hutan di blok C kembali terbakar pada tahun 2002.
Peningkatan Ta rataan juga terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hutan Kalimantan
kembali terbakar pada tahun 2004, 2006 dan 2009 (Toriyama et al. 2014). Salah
satu indikasi kebakaran di tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 ditandai dengan
adanya hotspot yang teridentifikasi oleh satelit MODIS.

(a)

(b)

(c)

(d)

20

(e)

(f)

(g)

(h)

Gambar 14 Titik panas yang terdeteksi satelit MODIS di blok C pada tahun 2002
(a), 2004 (b), 2006 (c), 2009 (d). Titik panas di blok Bongan tahun 2002
(e), 2004 (f), 2006 (g), 2009 (h). Hotspot (•) dan wilayah kajian (□)
Pembakaran biomassa hutan melepaskan energi kalor ke lingkungan.
Hukum termodinamika II menyatakan bahwa kalor mengalir spontan dari suhu
tinggi ke suhu rendah. Aliran suhu akan berhenti setelah terjadi kesetimbangan.
Terbakarnya biomassa mengakibatkan terjadinya aliran energi dari suhu tinggi
(api) ke suhu rendah (lingkungan) sehingga suhu lingkungan meningkat.
Peningkatan suhu lingkungan yang terjadi setelah kebakaran juga
disebabkan adanya perubahan tutupan lahan. Terbakarnya vegetasi menyebabkan
perubahan emisivitas, albedo dan kapasitas panas. Setelah vegetasi terbakar,
tutupan lahan akan lebih terbuka, sehingga menurunkan kapasitas panas.
Penurunan kapasitas panas mengakibatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan suhu menjadi lebih kecil. Artinya, suhu udara di sekitar lokasi
kebakaran lebih cepat meningkat jika mendapat energi. Webber (1991)
menyatakan bahwa daerah yang tidak terbakar akan mengabsorpsi kalor, sehingga
meningkatkan entalpi.
Emisi CO2 Akibat Kebakaran Biomassa
Salah satu dampak serius dari kebakaran hutan adalah terlepasnya CO2 ke
atmosfer akibat terbakarnya biomassa. Prinsip estimasi emisi CO2 adalah
menghitung selisih biomassa sebelum dan setelah kebakaran. Sumber emisi CO2
kebakaran hutan berasal dari terbakarnya biomassa di atas permukaan dan
biomassa di bawah permukaan apabila penetrasi api sampai pada lapisan tanah
(Neary et al. 1999). Menurut Page et al. (2002) asumsi yang digunakan untuk
menghitung emisi CO2 dari lahan gambut di Kalimantan adalah rata-rata
kedalaman gambut terbakar 0.51±0.05 meter. Asumsi tersebut digunakan karena
citra Landsat tidak bisa mendeteksi kedalaman gambut terbakar. Berikut adalah
tabel yang menunjukan nilai emisi CO2 dari terbakarnya AGB dan gambut.
Tabel 6 Emisi CO2 dari AGB dan gambut di blok C dan blok Bongan

AGB Blok C
AGB Bongan
Gambut Blok C*
Gambut Bongan

low severity
34.33
9.04

emisi CO2 (x 10000 ton)
moderate severity
high severity
16.43
5.90
1.35
0.11

Total
56.66
10.50
1268.33
0.51

21
Berdasarkan tabel 6, tipe kebakaran low severity meyumbang emisi CO2
lebih banyak dibanding tipe kebakaran lain karena luasnya area terbakar pada tipe
tersebut. Walaupun proporsi luasan high severity di kedua blok tidak lebih dari
1%, namun emisi CO2 yang dihasilkan relatif besar. Kondisi tersebut terjadi
karena pada tipe kebakaran high severity, dari kanopi hingga lantai hutan terbakar
seluruhnya dan menyisakan material abu mineral (Keeley 2009). Kebakaran high
severity menyisakan abu yang menutupi 25% permukaan tanah (Goforth et al.
2005). Kondisi berbeda terjadi pada tipe kebakaran low severity dan moderate
severity, dimana masih terdapat banyak biomassa hutan yang tidak ikut terbakar.
Nilai emisi CO2 dari gambut di blok C jauh lebih tinggi dibanding emisi
dari AGB maupun gambut di blok Bongan. Nilai emisi gambut di blok C didapat
dari pengukuran langsung yang dilakukan oleh Hoscilo (2009). Pengukuran
dilakukan di beberap plot, kemudian diektrapolasi untuk keseluruhan wilayah
gambut terbakar di blok C tahun 1997. Luas gambut terbakar mencapai 79% dari
total wilayah terbakar atau sekitar 118883 Ha. Rata-rata peat density yang
terbakar di blok C adalah 0.10 gcm-3 dan kadar C organik tanah mencapai 57%.
Estimasi CO2 di blok Bongan dilakukan dengan asumsi kedalaman gambut
terbakar 0.51±0.05 meter (Page et al. 2009). Luasan gambut terbakar diasumsikan
terjadi pada tipe kebakaran high severity, dimana seluruh bagian vegetasi sampai
lantai hutan ikut terbakar. Kebakaran bawah tanah biasanya dipicu terjadinya
kebakaran dengan tingkat keparahan (burn severity) tinggi di atas permukaan,
maupun karena kebakaran yang berulang (Bond 2005). Estimasi dilakukan
berdasarkan kadar C organik tanah dan bulk density tanah di blok Bongan.
Penyerapan CO2 Setelah Recovery
Setelah kebakaran, hutan akan mengalami pemulihan (recovery). Tipe
recovery dapat terjadi secara alami, maupun dengan intervensi manusia (Chazdon
2003). Analisis serapan CO2 pada penelitian ini tidak memperhitungkan jenis
recovery. Metode perhitungan serapan CO2 fokus pada keseluruhan area blok C
dan blok Bongan, serta masing-masing plot (tipe kebakaran dan tutupan lahan).
Nilai biomassa tiap plot dianalisis dari tahun 1998 hingga tahun 2014 untuk
mengetahui kapan terjadinya kesetimbangan antara emisi dan potensi serapan CO2.
Tabel 7 Kondisi kesetimbangan antara emisi dan serapan CO2
Durasi
Lokasi
Status
Keterangan
Kesetimbangan
blok C
pulih
16 tahun
biomassa seluruh area
blok C
belum pulih
95 tahun
biomassa di plot recovery
blok Bongan
pulih
3 tahun
biomassa seluruh area
blok Bongan
pulih
9 tahun
bio