Analisis laju pertumbuhan dan kualitas karaginan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang ditanam pada kedalaman berbeda

ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KUALITAS
KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii
YANG DITANAM PADA KEDALAMAN BERBEDA

MUHAMMAD MASYARUL RUSDANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Laju
Pertumbuhan dan Kualitas Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang
Ditanam pada Kedalaman Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Muhammad Masyarul Rusdani
NIP C151110261

RINGKASAN
MUHAMMAD MASYARUL RUSDANI. Analisis Laju Pertumbuhan dan
Kualitas Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Ditanam pada
Kedalaman Berbeda. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan BUSTAMI
IBRAHIM.
Rumput laut Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis alga merah yang
memiliki distribusi dan produktivitasnya dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia
perairan, seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nutrien (nitrat dan fosfat) dan
pencahayaan sinar matahari. Pada setiap lapisan air, terdapat perbedaan
kandungan nutrien dan kondisi fisika-kimia lainnya yang dapat mempengaruhi
kinerja pertumbuhan alga.
Penentu utama laju pertumbuhan dan kualitas karaginan K. alvarezii dan
alga lainnya adalah fotosintesis. Proses fotosintesis akan berlangsung dengan baik
apabila intensitas cahaya yang diterima optimal, adapun kelebihan penerimaan
cahaya akan mengakibatkan talus menjadi pucat, putih atau kehilangan pigmen.

Kekurangan intensitas cahaya yang diterima K. alvarezii akan berdampak pada
penurunan kemampuan fotosintesis sehingga berdampak negatif bagi laju
pertumbuhan dan kualitas karaginannya.
Pigmen utama bagi alga untuk mengabsorbsi cahaya bagi fotosintesis adalah
klorofil-a. Sebagai antisipasi terhadap keterbatasan cahaya dan adaptasi lainnya,
alga merah (K. alvarezii) membentuk pigmen lain yang disebut fikoeritrin. Fungsi
dari fikoeritrin adalah sebagai pigmen pelengkap dalam optimasi penangkapan
cahaya matahari. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kedalaman tanam
terhadap laju pertumbuhan dan kualitas karaginan rumput laut K. alvarezii.
Rumput laut yang digunakan sebagai objek penelitian adalah K. alvarezii strain
Tambalang merah. Bobot rata-rata bibit rumput laut yang digunakan untuk setiap
unit adalah ±100 g dan ditanam sesuai dengan perlakuan kedalaman tanam, yaitu
kedalaman 15 cm (Kontrol), 50 (A), 100 (B), 150 (C) dan 200 cm (D), setiap
perlakuan selanjutnya diulang sebanyak empat kali, sehingga diperoleh 20 unit
perlakuan. Rumput laut ditanam selama satu periode tanam (45 hari), kemudian
selanjutnya dianalisa pertumbuhan dan kualitas karaginannya.
Pengamatan terhadap kualitas karaginan dilakukan dengan mengekstrak
rumput laut kering sebanyak 40 g yang diperoleh dari setiap unit perlakuan untuk
memperoleh tepung karaginan. Sampel dipucatkan dengan proses perendaman
selama ±24 jam dan diblender. Ekstraksi dilakukan dengan merebus sampel

menggunakan alat pressure cooker pada suhu 120 ºC selama 15 menit, dengan
perbandingan 1 g sampel : 30 ml air tawar. Selanjutnya dilakukan perebusan lagi
tanpa tekanan pada suhu 90-95 ºC selama 2 jam hingga rumput laut membentuk
gel. Proses pemisahan selulosa dilakukan dengan penyaringan menggunakan
nylon mesh ukuran 300 mesh. Filtrat yang diperoleh kemudian diendapkan dengan
menggunakan isopropanol dengan perbandingan 1 : 2. Endapan yang diperoleh
selanjutnya dikeringkan dengan drying oven pada suhu 70-80oC hingga terbentuk
lembaran karaginan kering. Karaginan kering kemudian dibuat tepung karaginan
untuk selanjutnya diuji. Parameter yang diamati dalam percobaan ini meliputi:
klorofil-a (Jeffrey and Humprey 1975); fikoeritrin (Evans 1988); laju
pertumbuhan harian (Dawes 1981); bobot panen; persentase bobot kering;

rendemen karaginan (SNI 2012); kadar sulfat (FMC corp. 1977); kekuatan gel
(FMC corp. 1977); viskositas (AOAC 1995); dan kadar air (AOAC 1995). Data
yang diperoleh dari semua parameter pengamatan selanjutnya dianalisis dengan
one-way analysis of variance (Anova) dan dilanjutkan dengan uji lanjut beda
nyata jujur (BNJ) masing-masing pada taraf nyata 5%.
Hasil pengamatan kualitas rumput laut K. alvarezii dalam penelitian ini
bervariasi dari setiap perlakuan yang diberikan. Rataan konsentrasi klorofil-a pada
K. alvarezii ditemukan berkisar dari 1.29 hingga 1.63 mg/L, adapun fikoeritrin

berkisar dari 2.00 hingga 4.20 µg/L. Rataan bobot panen basah yang diperoleh
berkisar dari 561.25 hingga 1 264.25 g, dengan laju pertumbuhan harian 3.71
hingga 5.52%/hari. Nilai rata-rata bobot panen kering yang diperoleh dalam
penelitian ini berkisar dari 51,70±2,94 hingga 142,71±3,45 g, dengan persentase
bobot kering dari 9,23±0,62 hingga 13,48±0,07%. Rataan rendemen karaginan
yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar dari 26.33 hingga 32.59%. Rataan
kadar sulfat karaginan yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar dari 14.36
hingga 15.59%, dengan kekuatan gel berkisar dari 677.80 hingga 810.30 g/cm2
dan viskositas berkisar dari 14.13 hingga 42.94 cP. Rataan kadar air karaginan
dari setiap perlakuan dalam penelitian ini berkisar dari 7.55 hingga 11.11%.
Kedalaman yang memberikan hasil terbaik dalam penelitian ini adalah kedalaman
100 cm (perlakuan B) dan 150 cm (perlakuan C). Perlakuan B dan C memberikan
pengaruh terhadap konsentrasi pigmen klorofil-a yang tertinggi dan tingkat
pertumbuhan serta kualitas karaginan yang terbaik dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.
Kata kunci: Kappaphycus alvarezii, kedalaman, laju pertumbuhan, kualitas
karaginan

SUMMARY
MUHAMMAD MASYARUL RUSDANI. Analysis of Growth Rate amd

Carrageenan Quality of Kappaphycus alvarezii Planted at Diffrent Depths.
Supervised by KUKUH NIRMALA and BUSTAMI IBRAHIM.
Kappaphycus alvarezii is one type of red algae that has a distribution and
productivity were affected by physical and chemical factors of water, such as
current, temperature, salinity, nutritional contents (nitrate and phosphate) and light
intensity for photosynthetic process. In each layer of water, there are differences
nutrient content and other physico-chemical conditions that can affecting
performance of the growth of algae.
The main determinant of the growth rate and quality of carrageenan K.
alvarezii and other algae is photosynthetic. The process of photosynthesis going
well when the intensity of light received optimal, while the excess of the exposure
will result thallus become pale, white or loss of pigment. Lack of light intensity
received by K. alvarezii will impact on the ability of photosynthesis thus
negatively impacting the growth rate and quality of carrageenan.
Primary pigment in algae to absorb light for photosynthesis are chlorophylla. In anticipation of the limitations of light and other adaptations, red algae (K.
alvarezii) forming other pigments is called phycoerythrin. The function of
phycoerythrin is as a pigment complement in optimization of capture the sunlight.
This study was aimed to determine the abundance of photosynthetic pigments and
growth performance of K. alvarezii planted at different depths. This experiment
was used K. alvarezii strain Tambalang merah as seeds with an average weight of

±100 g for each unit. K. alvarezii were planted at five different depths, which are
15 cm (K, Control), 50 (A), 100 (B), 150 (C) and 200 cm (D), each subsequent
treatment repeated four times, in order to obtain 20 units of treatment. Seaweed is
planted during the planting period (45 days), and then further were analyzed the
productivity.
The measurement of quality of carrageenan was done by dried seaweed
extract as much as 40 g obtained from each unit to obtain flour carrageenan
treatment. The sample was made pale by immersion for ±24 hours and then
blended. Extraction was conducted by boiling the samples using a perssure cooker
at 120 ºC for 15 minutes, with a ratio of 1 g of sample: 30 ml of fresh water.
Furthermore, the samples were pressured at a temperature of 90-95 ºC for 2 hours
until forming the gel. Cellulose separation process conducted by filtration using
nylon mesh size of 300 mesh. The filtrate obtained was precipitated by using
isopropanol in the ratio 1:2. The precipitate obtained by drying oven dried at a
temperature of 70-80oC to form sheets of dried carrageenan. Dried carrageenan
made of flour and were analyzed the quality. Parameters observed in this
experiment include: chlorophyll-a (Jeffrey and Humphrey 1975); phycoerythrin
(Evans 1988); daily growth rate (Dawes 1981); weights harvest; percentage of dry
weight; yield of carrageenan (SNI 2012); levels of sulfate (FMC corp. 1977); gel
strength (FMC corp. 1977); viscosity (AOAC 1995), and water content (AOAC

1995). Data obtained from observations of all parameters analyzed by one-way
analysis of variance (ANOVA) and least significant difference test (LSD)
respectively on the real level of 5%.

The results showed the variation of pigment concentrations and growth
performances at different depth. The average concentration of chlorophyll-a
obtained in this study ranged from 1.29 to 1.63 mg/L and phycoerythrin ranged
from 2.0 to 4.2 µg/L . The best results were obtained from the treatment at 100
and 150 cm. The treatment that gave the lowest result was the 200 cm depth. The
average value of the wet weight in this study ranged from 561.25 to 1 264.25 g,
daily growth rate ranged from 3.71 to 5.52% day-1. The average of dry weight
obtained in this study ranged from 51.70 to 142.71 g, and percentage of the dry
weight ranged from 9.23 to 13.48%. The Mean levels of carrageenan yield ranged
from 26.98 to 32.29%, sulfate ranges from 14.36 to 15.59%, gel strength from
677.80 to 810.30 g/cm2, viscosity from 14.13 to 42.94 cP, and water content from
7.55 to 11.11%. The best results were obtained from the treatment at 100
(treatment B) and 150 cm (treatment C). Treatment B and C was affecting to the
pigment chlorophyll-a concentrations were highest and the rate of growth and
quality of carrageenan is best compared with other treatments.
Key words: Kappaphycus alvarezii, depth, growth rate, carrageenan quality


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KUALITAS
KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii
YANG DITANAM PADA KEDALAMAN BERBEDA

MUHAMMAD MASYARUL RUSDANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi: Dr Ir Tatag Budiardi, MSi

Judul Tesis

:

Analisis Laju Pertumbuhan dan Kualitas Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Ditanam pada Kedalaman Berbeda

Nama
NRP


:
:

Muhammad Masyarul Rusdani
C151110261

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc
Ketua

Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen
Budidaya Perairan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sukenda, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 27 Mei 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah kualitas
rumput laut, dengan judul Analisis Laju Pertumbuhan dan Kualitas Karaginan
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Ditanam pada Kedalaman Berbeda.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan
Bapak Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan yang banyak membantu
selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua,
serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013
Muhammad Masyarul Rusdani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
2
2
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Kappaphycus alvarezii
Morfologi dan reproduksi
Habitat dan sebaran
Budidaya Kappaphycus alvarezii
Bibit dan pertumbuhan
Panen
Faktor Lingkungan Budidaya
Suhu
Arus
Salinitas
pH
Substrat
Kecerahan dan kekeruhan
Kedalaman
Unsur hara
Peran Cahaya dan Kedalaman terhadap Kappaphycus alvarezii
Karaginan Kappaphycus alvarezii
Metode ekstraksi
Penggunaan karaginan
Standar mutu karaginan

3
3
4
4
5
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
6
7
10
10
11
11

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Alat
Bahan
Prosedur Penelitian
Budidaya Kappaphycus alvarezii
Persiapan dan penanaman bibit
Pengontrolan dan panen
Pembuatan tepung karaginan (ekstraksi)
Parameter pengamatan
Analisis Data

11
12
12
12
12
12
13
13
14
14
14
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya Kappaphycus alvarezii
Kondisi fisika dan kimia lokasi penelitian
Konsentrasi klorofil-a dan fikoeritrin Kappaphycus alvarezii
Bobot panen dan laju pertumbuhan harian Kappaphycus alvarezii
Bobot dan persentase kering Kappaphycus alvarezii
Kualitas Karaginan Kappaphycus alvarezii
Rendemen
Kadar sulfat, kekuatan gel dan viskositas
Kadar air

15
15
17
17
20
21
22
22
24
26

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

27
27
27

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

6

Jenis pigmen dan panjang gelombang dalam penyerapan cahaya pada
proses fotosintesis
Standar mutu karaginan
Parameter utama yang diamati
Parameter kualitas air yang diamati
Nilai rataan parameter kualitas air (intensitas cahaya, salinitas, fosfat,
ortofosfat, nitrat dan amonium) pada setiap lapisan air, serta
konsentrasi klorofil-a dan fikoeritrin, bobot panen basah, laju
pertumbuhan harian, bobot panen kering, dan persentase bobot kering
ruumput laut K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman berbeda
Nilai rataan rendemen, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan
kadar air karaginan dari K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman
berbeda

8
11
14
15

16

22

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh berbagai kedalaman tanam
terhadap laju pertumbuhan dan kualitas karaginan rumput laut
Kappaphycus alvarezii
2 Rumput laut K. alvarezii
3 Spektrum penetrasi cahaya matahari pada siang hari di berbagai
kedalaman air laut
4 Laju fotosintesis relatif berbagai jenis alga yang dipengaruhi oleh
panjang gelombang cahaya
5 Skema perlakuan dan kaitannya dengan parameter pengamatan

3
4
9
9
13

6 Penempatan unit percobaan sesuai perlakuan di antara pelampung tali
ris
7 Regresi eksponensial, hubungan kedalaman perairan dengan intensitas
cahaya matahari
8 Persamaan regresi polynomial. A). Hubungan antara intensitas cahaya
dengan konsentrasi klorofil-a; dan B). Hubungan antara intensitas
cahaya dengan konsentrasi fikoeritrin
9 Rataan konsentrasi klorofil-a dan fikoeritrin pada K. alvarezii yang
ditanam pada kedalaman berbeda
10 Grafik 3D scatter plots laju pertumbuhan harian (LPH), konsentrasi
klorofil-a (Chl-a) dan fikoeritrin (Phy) K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda
11 Rataan % bobot kering panen K. alvarezii pada kedalaman berbeda
12 Grafik 3D scatter plots rendemen karaginan, konsentrasi klorofil-a
(Chl-a) dan fikoeritrin (Phy) K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman
berbeda
13 Grafik 3D scatter plots kadar sulfat karaginan, konsentrasi klorofil-a
(Chl-a) dan fikoeritrin (Phy) K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman
berbeda
14 Grafik 3D Surface plots hubungan kekuatan gel (gel strength) dengan
kadar sulfat dan viskositas
15 Rataan kadar air karaginan K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman
berbeda

13
17

18
19

21
21

23

25
26
27

DAFTAR LAMPIRAN
1 Lokasi penelitian di perairan Teluk Gerupuk, Pulau Lombok Provinsi
Nusa Tenggara Barat
2 Metode analisa parameter percobaan
3 Kondisi perairan di lokasi penelitian
4 Morfologi (warna) talus K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman
berbeda
5 Konsentrasi pigmen klorofil-a pada rumput laut K. alvarezii yang
ditanam pada kedalaman berbeda
6 Konsentrasi pigmen fikoeritrin pada rumput laut K. alvarezii yang
ditanam pada kedalaman berbeda
7 Bobot panen dan laju pertumbuhan harian rumput laut K. alvarezii yang
ditanam pada kedalaman berbeda
8 Rendemen karaginan rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda
9 Kadar air karaginan rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda (pengujian sesaat setelah proses penepungan)
10 Kadar air karaginan rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda (pengujian setelah penyimpanan selama ± seminggu)
11 Kadar sulfat karaginan rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda

32
33
36
37
38
39
40
41
42

43
44

12 Kekuatan gel karaginan rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda
13 Viskositas karaginan rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada
kedalaman berbeda

45
46

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi rumput laut Indonesia tahun 2012 mencapai 5.2 juta ton, dengan
produk olahan berupa ATC (alkali treated carrageenan, ekstraksi basa), SRC
(semi refine carrageenan), RC (refine carrageenan), agar, alginat maupun produk
formulasi lainnya mencapai 205 ribu ton (Izzudin 2013). Meski produksi rumput
laut tinggi, Indonesia masih tetap melakukan impor terhadap produk olahannya
(karaginan), hingga mencapai 1.2 ribu ton per tahun (Purwanto 2013). Oleh
karena itu, potensi pengembangan produk olahan rumput laut di Indonesia masih
terbuka dan harus terus dikembangkan, mengingat perbandingan harga yang
sangat signifikan antara rumput laut kering dengan produk karaginan. Harga
rumput laut kering penghasil karaginan berkisar dari Rp 6 000 – 7 000 per
kilogram, sedangkan untuk karaginan dapat mencapai Rp 400 000 per kilogram
(Purwanto 2013). Salah satu jenis rumput laut penghasil karaginan yang banyak
dikembangkan adalah Kappaphycus alvarezii (alga merah).
Rumput laut Kappaphycus alvarezii sudah umum dibudidayakan di
Indonesia. Rumput laut ini memiliki pola distribusi yang luas, bahkan mampu
mencapai perairan yang lebih dalam dibandingkan alga dari divisi lain, dengan
syarat cahaya matahari masih dapat diterima oleh alga tersebut (Saffo 1987). Alga
hidup dengan cara menyerap nutrien dari perairan dan melakukan fotosintesis,
sehingga pertumbuhannya membutuhkan faktor fisika dan kimia perairan, seperti
pergerakan air, suhu, kadar garam, nitrat, fosfat dan pencahayaan matahari
(Poncomulyo 2006). Pada setiap lapisan perairan, terdapat perbedaan kandungan
nutrien dan kondisi fisika-kimia lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produk metabolisme lainnya pada alga.
Karaginan merupakan senyawa yang berasal dari getah rumput laut yang
terdapat dalam dinding sel dan merupakan salah satu hasil fotosintesisnya
(Distantina et al. 2011). Faktor utama yang mempengaruhi proses fotosintesis
alga adalah ketersediaan dan intensitas cahaya. Alga memerlukan cahaya untuk
proses metabolisme. Pada suatu perairan, umumnya cahaya berkurang secara
kuantitas dan kualitas dengan bertambahnya kedalaman (Saffo 1987). Pengaruh
cahaya pada alga meliputi respon fungsional dan struktural. Respon fungsional
meliputi toleransi, aktivitas metabolisme, reproduksi dan distribusi. Adapun
respon struktural meliputi perubahan ukuran, perbedaan morfologi dan perubahan
sitoplasma (Dawes 1981).
Penentu utama laju pertumbuhan dan kualitas karaginan K. alvarezii dan
alga lainnya adalah fotosintesis. Proses fotosintesis akan berlangsung dengan baik
apabila intensitas cahaya yang diterima optimum, adapun kelebihan penerimaan
cahaya akan mengakibatkan talus menjadi pucat, putih atau kehilangan pigmen.
Kekurangan intensitas cahaya yang diterima K. alvarezii akan berdampak pada
penurunan kemampuan fotosintesis sehingga berdampak negatif bagi laju
pertumbuhan dan kualitas karaginannya (Doty 1985).
Pigmen utama bagi alga untuk mengabsorbsi cahaya bagi fotosintesis adalah
klorofil-a. Sebagai bentuk adaptasi terhadap keterbatasan cahaya dan adaptasi
lainnya, alga merah (K. alvarezii) membentuk pigmen lain yang disebut fikoeritrin.

2
Fungsi dari fikoeritrin adalah sebagai pigmen pelengkap dalam optimasi
penangkapan cahaya matahari. Distribusi alga secara vertikal berkaitan dengan
kemampuannya membentuk pigmen fikoeritrin. Pada lapisan kedalaman yang
berbeda, terjadi perubahan komposisi pigmen hijau (klorofil) dan pigmen merah
(fikoeritrin) (Noviana dan Izzati 2009).
Komposisi pigmen yang berbeda pada berbagai kedalaman air diduga akan
berpengaruh terhadap hasil metabolisme K. alvarezii. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk menganalisis laju pertumbuhan dan kualitas karaginan
rumput laut K. alvarezii yang ditanam pada kedalaman berbeda.

Perumusan Masalah
Rumput laut K. alvarezii telah banyak dibudidayakan, bahkan hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Dalam perkembangannya, seringkali produksi
budidaya rumput laut yang diperoleh berfluktuasi, baik untuk kuantitas panen
maupun kualitas karaginannya. Hal ini diduga berkaitan dengan besarnya
pengaruh faktor eksternal (lingkungan) dan terbatasnya pengetahuan petani
terhadap metode dan perlakuan yang diterapkan pada saat budidaya. Oleh sebab
itu, diperlukan penelitian yang dapat menghasilkan laju pertumbuhan dan kualitas
karaginan yang optimum dengan memperhatikan faktor kedalaman tanam rumput
laut. Dengan demikian dapat disimpulkan apakah kedalaman menyebabkan
perbedaan kelimpahan pigmen (klorofil-a dan fikoeritrin), yang kemudian
berdampak pada laju pertumbuhan dan karaginan rumput laut K. alvarezii.

Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan untuk menganalisis kedalaman tanam terhadap laju
pertumbuhan dan kualitas karaginan rumput laut Kappaphycus alvarezii.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat
tentang laju pertumbuhan dan kualitas karaginan rumput laut (K. alvarezii) yang
ditanam pada kedalaman berbeda, sehingga dapat membantu para petani dan
pengolah rumput laut dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah diduga ada pengaruh kedalaman tanam
terhadap laju pertumbuhan dan kualitas karaginan dari rumput laut K. alvarezii.

3
Kerangka Pemikiran
Penempatan posisi tanam pada kedalaman yang tepat dapat meningkatkan
produksi rumput laut dan kualitas kandungan karaginan rumput laut. Untuk lebih
jelas, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian, analisis berbagai kedalaman
tanam terhadap laju pertumbuhan dan kualitas karaginan
rumput laut Kappaphycus alvarezii.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Kappaphycus alvarezii
Rumput laut Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis alga merah
(Rhodophyceae). Karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappakaraginan, maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii.
Namun nama “cottonii” umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia
perdagangan nasional maupun internasional untuk rumput laut jenis ini.
Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Archaeplastida (Plantae)
Divisi
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Famili
: Solieracea
Genus
: Eucheuma
Species
: Kappaphycus alvarezii

4
Morfologi dan reproduksi
Ciri umum fisik K. alvarezii adalah mempunyai talus silindris, permukaan
licin dan tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun.
Warna yang dimiliki oleh K. alvarezii beragam, ada yang berwarna hijau, hijaukuning, coklat, abu-abu atau merah (Gambar 2). Keragaman warna ini disebabkan
oleh faktor lingkungan dan merupakan suatu proses adaptasi kromatik, yaitu
penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Ahda
et al. 2005). Bentuk talus K. alvarezii runcing dan memanjang, agak jarang dan
tidak tersusun melingkar. Percabangannya tumbuh ke berbagai arah dengan
batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Cabang-cabang
yang tumbuh membentuk rumpun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya
cahaya matahari. Percabangan yang tumbuh juga memiliki sifat lain, yaitu
alternatus (berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan
dua-dua) atau trichotomus (percabangan tiga-tiga) (Atmadja et al. 1996).

Gambar 2 Rumput laut K. alvarezii.
Rumput laut memiliki dua macam pola reproduksi, yaitu: (1) reproduksi
seksual yang terdiri dari tiga tipe yakni haplobiontik, haplobiontik diploid dan
diplobiontik. Haplobiontik yaitu hanya satu individu bebas yang terlibat dalam
daur hidup. Haplobiontik diploid, dalam hal ini individu yang melakukan daur
hidup adalah diploid. Proses reproduksi diplobiontik, melibatkan dua individu
yang terlibat dalam daur hidupnya, yaitu gametofit haploid yang menghasilkan
gamet dan sporofit diploid yang menghasilkan spora. Pertemuan antara dua gamet
(jantan dan betina) akan membentuk zigot yang kemudian berkembang menjadi
sporofit. Individu baru inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui
meiosis dalam sporagenesis menjadi gametofit; dan (2) reproduksi aseksual yakni
pembentukan suatu individu baru rumput laut melalui pembelahan sel dan
fragmentasi (Susanto dan Abdillah 2008).
Habitat dan sebaran
Alga merah umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada
daerah yang selalu terendam air (subtidal), melekat pada substrat di dasar perairan
yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang
moluska. Umumnya rumput laut tumbuh dengan baik di daerah pantai yang
terdapat terumbunya, karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk
pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya kedalaman perairan, cahaya,
substrat, gerakan air dan lainnya. Dibandingkan dengan jenis alga lainnya, alga
merah dapat hidup pada lapisan air yang lebih dalam. Hal ini disebabkan, karena

5
adanya pigmen fikoeritrin yang berperan sebagai pigmen pelengkap dan mampu
menyerap cahaya biru-hijau yang banyak tersedia pada lapisan tersebut (Dawes
1981).

Budidaya Kappaphycus alvarezii
Bibit dan pertumbuhan
Bibit rumput laut yang berkualitas baik memiliki beberapa kriteria, antara
lain (Anggadiredja et al. 2006; SNI 2010): (1) bibit yang digunakan berasal dari
talus muda yang bercabang banyak, rimbun dan berujung runcing; (2) berwarna
cerah, segar dan tidak terdapat bercak, luka atau terkelupas sebagai akibat
terserang penyakit ice-ice atau terkena bahan cemaran, seperti minyak; (3) bibit
harus seragam dan tidak boleh tercampur dengan jenis lain; dan (4) bobot bibit
harus seragam (100 g per rumpun). Penggunaan bibit yang berkualitas akan
menunjang laju pertumbuhan maksimal bagi rumput laut, sehingga diperoleh hasil
panen dengan kuantitas dan kualitas sesuai dengan yang diharapkan.
Pertumbuhan rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii tergolong relatif
cepat, yaitu dengan bobot bibit 100 g dan budidaya dengan metode long-line,
sudah dapat dipanen pada hari ke-45 dengan bobot per rumpun (ikat) ± 600 g
(Atmawinata 2012; Hamid 2009). Adapun metode lepas dasar dengan bobot bibit
dan umur panen yang sama, dihasilkan ± 500 g per ikat (Sadaruddin 2011).
Panen
Umur panen sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas rumput laut
yang dihasilkan. Pemanenan dilakukan pada saat rumput laut dianggap cukup
matang dengan kandungan polisakarida maksimum, yaitu setelah 6-8 minggu
pemeliharaan. Lama pemeliharaan ini sangat erat kaitannya dengan lokasi, jenis
rumput laut serta metode budidaya. Rumput laut K. alvarezii mencapai bobot
tertingginya pada hari ke-42 hingga 45 dan setelahnya akan cenderung menurun,
hal ini disebabkan oleh massa rumput laut yang semakin berat sehingga mudah
rontok ketika terkena arus dan gelombang air (Atmawinata 2012; Hamid 2009;
Sadaruddin 2011). Demikian juga halnya dengan kandungan karaginan dari
rumput laut K. alvarezii yang optimum diperoleh pada umur panen 45 hari
(Atmawinata 2012; Sadaruddin 2011).

Faktor Lingkungan Budidaya
Suhu
Suhu perairan erat kaitannya dengan laju fotosintesis disamping cahaya dan
kandungan nutrien di perairan (Dawes 1981). Persyaratan suhu perairan yang
cocok untuk budidaya K. alvarezii berkisar antara 26-32 oC dan dengan fluktuasi
suhu yang rendah antara malam dan siang hari (SNI 2010).
Arus
Arus dapat berpengaruh dalam kegiatan budidaya, baik pengaruh baik
maupun pengaruh buruk. Pengaruh baiknya yaitu rumput laut memerlukan arus

6
untuk membantu ketersediaan pasokan nutrien. Adapun pengaruh buruknya yaitu
jika arus terlalu besar akan merusak rumput laut tersebut. Lokasi untuk budidaya
K. alvarezii harus terlindung dari arus dan hempasan ombak yang besar. Apabila
hal ini terjadi, arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman
(Anggadiredja et al. 2006).
Salinitas
Salinitas untuk pertumbuhan K. alvarezii yang optimum berkisar 28-34 o/oo.
Oleh sebab itu, lokasi budidaya harus jauh dari limpahan air tawar (muara sungai)
(SNI 2010), agar terhindar dari fluktuasi salinitas yang tinggi, karena dapat
mempengaruhi proses fisiologisnya, termasuk dalam hal ini adalah laju
fotosintesis K. alvarezii (Dawes 1981).
pH
Derajat keasamaan atau pH merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan K. alvarezii. Kisaran pH yang optimum untuk menunjang
kelangsungan hidup K. alvarezii adalah 7-8.5 (SNI 2010).
Substrat (dasar perairan)
Dasar perairan yang baik untuk pertumbuhan K. alvarezii adalah yang stabil
dan terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas
dari lumpur (SNI 2010).
Kecerahan dan kekeruhan
Kecerahan dan kekeruhan perairan sangat menentukan intensitas cahaya
matahari yang masuk ke lapisan air. Nilai kecerahan dari suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan
tersuspensi (Effendi 2000). Nilai kecerahan yang ideal untuk budidaya rumput
laut adalah > 1 meter (SNI 2010). Adapun nilai kekeruhan adalah < 40 NTU,
sebab setiap peningkatan nilai kekeruhan sebesar 25 NTU akan mengurangi
produktivitas primer sebesar 13-50 %.
Kedalaman
Kedalaman air untuk usaha budidaya rumput laut berkisar 2-15 meter pada
saat surut terendah (SNI 2010). Kondisi ini untuk menghindari rumput laut
kekeringan pada saat surut dan mengoptimalkan perolehan cahaya matahari
(Aslan 1998).
Unsur hara
Rumput laut memerlukan unsur hara sebagai bahan baku dalam proses
fotosintesisnya. Unsur utama yang dibutuhkan oleh rumput laut adalah fosfor
dalam bentuk fosfat (PO4) dan nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3) untuk
kelangsungan hidupnya (Effendi 2000).
Nitrat dan amonium adalah sumber nitrogen utama di perairan. Akan tetapi
amonium lebih disukai oleh tumbuhan sebagai sumber nitrogen. Kadar nitrat di
perairan yang tidak tercemar, biasanya lebih tinggi dari amonium. Aslan (1998),
menyebutkan bahwa kadar nitrat terendah untuk pertumbuahan alga berkisar 0.30.9 mg/L.

7
Unsur hara penting lainnya yang dibutuhkan oleh rumput laut adalah fosfat.
Kisaran fosfat yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0.051-1.00
ppm (Indriani dan Sumiarsih 2004). Wetzel (1975) menyebutkan bahwa ortofosfat
adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan akuatik dan
keberadaannya dapat menetukan klasifikasi lingkungan perairan. Kadar ortofosfat
0.003-0.01 mg/L merupakan perairan dengan tingkat kesuburan rendah, 0.0110.03 mg/L tergolong sedang dan 0.031-0.1 mg/L tergolong perairan dengan
tingkat kesuburan yang tinggi.

Peran Cahaya dan Kedalaman terhadap Kappaphycus alvarezii
Cahaya merupakan syarat utama dalam kelangsungan hidup Kappaphycus
alvarezii. Cahaya memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi kimia
rumput laut dan aktivitas fotosintesisnya. Pada perairan terbuka, penetrasi cahaya
dipengaruhi oleh kedalaman. Seiring bertambahnya kedalaman akan menurunkan
kualitas dan intensitas cahaya yang masuk. Respon struktural pada alga karena
pengaruh cahaya diantaranya adalah perubahan ukuran, perbedaan morfologi dan
perubahan sitoplasma (Dawes 1981).
Dawes (1981) menyebutkan bahwa distribusi alga secara vertikal
dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan mekanisme adaptasi alga merah (K.
alvarezii) terhadap cahaya lebih baik dibanding semua jenis alga lainnya.
Kemampuan ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan pigmen fotosintesis
yang dimiliki. Semua organisme fotosintesis mengandung pigmen organik yang
digunakan untuk menghasilkan energi. Ada tiga kelas utama pigmen yaitu
klorofil, karatenoid dan fikobilin (Richmond 2004).
Alga pada umumnya memiliki pigmen fotosintesis utama berupa klorofil,
karotenoid dan biliproteins (fikobilin). Klorofil merupakan pigmen utama dalam
penyerapan cahaya pada proses fotosintesis. Klorofil secara umum dibagi menjadi
4 jenis, yaitu klorofil a, b, c dan d. Klorofil-a terdapat pada semua alga, adapun
klorofil-b hanya terdapat pada alga hijau (Chlorophyta), klorofil-c hanya pada
alga coklat (Phaeophyta) dan klorofil-d hanya terdapat pada alga merah
(Rhadophyta) (Dawes 1981). Klorofil-a merupakan pigmen utama dalam proses
fotosintesis sedangkan klorofil b, c dan d berfungsi sebagai pigmen pelengkap
(pigment accessory) yang membantu klorofil-a dalam penyerapan cahaya (Dawes
1981; Saffo 1987).
Karotenoid berfungsi sebagai pigmen aksesori yang membantu klorofil
dalam menangkap cahaya. Karotenoid juga berperan sebagai pelindung, yaitu
menerima molekul oksigen sehingga dapat mencegah fotooksidasi molekul
klorofil. Konsentrasi karotenoid pada alga dapat digunakan untuk mengetahui
distribusinya pada kedalaman air dan kualitas cahaya. Karotenoid dibagi menjadi
dua kelas utama, yaitu karoten yang umumnya banyak ditemukan pada alga
berwarna kuning atau kekuning-kuningan dan xantofil pada alga berwarna hijau
(Anonymous 2012; Dawes 1981). Karoten berfungsi meneruskan sebagian besar
cahaya berwarna kuning, sedangkan xantofil lebih banyak meneruskan gelombang
cahaya oranye atau merah (Dawes 1981).
Dawes (1981), menyebutkan bahwa fikobilin dibagi dua, yaitu fikosianin
dan fikoeritrin. Fikosianin mampu merefleksikan cahaya biru (Cyanophyta),

8
sedangkan fikoeritrin mampu merefleksikan cahaya merah (Rhodophyta). Pada
lapisan air yang lebih dalam, alga merah memiliki konsentrasi fikoeritrin yang
lebih tinggi daripada yang lebih dangkal. Konsep ini disebut dengan adaptasi
kromatik. Perbedaan signifikan pada rasio korelasi antara konsentrasi fikoeritrin
dan cahaya yang tersedia menjadi penjelas distribusi alga berdasarkan kedalaman.
Konsentrasi dan kombinasi klorofil dengan fikoeritrin juga dapat digunakan
untuk mengetahui proses aklimatisasi alga terhadap perubahan cahaya secara
vertikal pada lapisan air laut. Konsentrasi dan rasio pigmen fikoeritrin dengan
klorofil-a pada Eucheuma berubah dari 20 : 1 di musim semi menjadi 1 : 1 di
musim panas. Perubahan rasio ini berkorelasi dengan penurunan kejernihan air
dan hilang atau menurunnya gelombang cahaya merah di perairan dangkal karena
adanya peningkatan kelimpahan plankton di musim panas (Dawes 1981).
Pigmen pada rumput laut memiliki ciri yang khas satu dengan yang lain,
karena memiliki puncak penyerapan cahaya matahari pada panjang gelombang
yang berbeda (Tabel 1). Rumput laut K. alvarezii diketahui memiliki dua jenis
pigmen yang dominan dalam penentu laju fotosintesisnya. Kedua pigmen tersebut
bekerja optimum pada panjang gelombang 664, 647 nm (klorofil-a) dan 455, 564
dan 592 (r-fikoeritrin).
Tabel 1 Jenis pigmen dan panjang gelombang dalam penyerapan cahaya pada
proses fotosintesis (Luning 1990)
No.

Jenis pigmen

Panjang gelombang (nm)

1
2
3
4
5
6

Klorofil-a
380; 410; 430; 580; 615; 644; 647; 663
Klorofil-b
455; 645
Klorofil-c1
444; 578; 630
Klorofil-c2
449; 582; 631
Fukosantin
449
Fikobiliprotein
r-Fikoeritrin
455; 498; 542; 564; 565; 592
r-Fikosianin
553; 615
Allofikosianin
650
Keterangan : Puncak penyerapan spektrum cahaya oleh pigmen fotosintesis pada
panjang gelombang (nm) yang dicetak tebal.
Pigmen fotosintesis selain klorofil-a pada dasarnya merupakan pigmen
pelengkap yang membantu klorofil-a untuk menyerap cahaya. Energi cahaya yang
diserap selanjutnya diteruskan ke klorofil-a, sehingga dapat mengoptimalkan
proses fotosintesis pada alga tersebut (Dawes 1981). Pigmen klorofil-a akan
semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman, karena kemampuan
penetrasi cahaya matahari yang semakin berkurang juga (Gambar 3). Pada saat
penetrasi cahaya berkurang, pigmen pelengkap memegang peranan penting.
Berkurangnya penetrasi cahaya matahari seiring dengan bertambahnya
kedalam perairan juga menandakan semakin menyempitnya panjang gelombang
cahaya yang menembus lapisan air tersebut. Namun hal tersebut tidak selalu
berdampak negatif bagi alga. Pada umumnya fotosintesis meningkat sejalan
dengan peningkatan intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu

9
(cahaya saturasi). Intensitas cahaya yang sangat tinggi dapat menyebabkan
terhambatnya proses fotosintesis (fotoinhibisi), karena pada intensitas cahaya
yang tinggi kelebihan energi yang diserap dapat menonaktifkan sistem fotosintesis.
Sedangkan intensitas yang terlalu rendah merupakan pembatas bagi proses
fotosintesis (Mann 1982; Parsons et al. 1984; Neale 1987).

Gambar 3 Spektrum penetrasi cahaya matahari pada
siang hari di berbagai kedalaman air laut
(Jerlov 1978).
Penentu utama laju pertumbuhan dan kualitas karaginan K. alvarezii adalah
fotosintesis. Menurut Luning (1990), laju fotosintesis tertinggi bagi alga merah (K.
alvarezii) didapatkan pada panjang gelombang 490-600 nm (Gambar 4). Proses
fotosintesis akan berlangsung dengan baik apabila intensitas cahaya yang diterima
optimum, adapun kelebihan penerimaan cahaya akan mengakibatkan talus
menjadi pucat, putih atau kehilangan pigmen. Kekurangan intensitas cahaya yang
diterima K. alvarezii dapat menghambat proses fotosintesis sehingga berdampak
negatif bagi laju pertumbuhan dan kualitas karaginannya (Doty 1985). Hal ini
disebabkan karena setiap alga memiliki syarat minimum terhadap intensitas
cahaya untuk membentuk talus agar lebih besar dan padat (Luning 1990).

Gambar 4 Laju fotosintesis relatif berbagai jenis alga
yang dipengaruhi oleh panjang gelombang
cahaya (Luning 1990).

10
Karaginan Kappaphycus alvarezii
Karaginan berasal dari getah rumput laut yang terdapat dalam dinding sel
atau matrik intraseluler dan merupakan salah satu hasil fotosintesisnya (Distantina
et al. 2011). Salah satu penentu kualitas fotosintesis rumput laut adalah
kandungan sulfat pada rumput laut. Sulfat dalam rumput laut merupakan
komponen yang berperan dalam pembentukan flavor, pigmen dan garam-garam
mineral. Namun pada saat pengadaan komponen primer rumput laut (agar dan
karaginan), tingginya kadar sulfat akan berdampak negatif bagi kualitas karaginan
(Suptijah 2012). Dengan perlakuan kedalaman, diharapkan pemanfaatan sulfat
oleh rumput laut semakin tinggi untuk dikonversi dalam proses metabolisme,
sehingga kandungan sulfat yang tersimpan didalamnya redah, namun kemampuan
laju pertumbuhannya tetap optimum.
Karaginan merupakan hidrokoloid yang terutama terdiri dari ester sulfat
amonium, kalsium, magnesium, kalium dan natrium dari galaktosa dan 3.6anhidrogalaktosa polisakarida (FAO 2001). Karaginan juga merupakan komponen
penyusun terbesar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen
lain. Karaginan diperoleh melalui ekstraksi ganggang merah (Rhodophyceae)
menggunakan air panas atau larutan alkali panas (Distantina et al. 2011).
Karaginan dibagi menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu
kappa, iota dan lambda karaginan. Kappa karaginan tersusun dari (1.3)-Dgalaktosa-4-sulfat dan (1.4)-3.6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karaginan juga
sering ditemukan mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3.6-anhidro-Dgalaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi
dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya
transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan 3.6-anhidro-D-galaktosa.
Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya
juga bertambah. Iota karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap
residu D-glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3.6-anhidro-Dgalaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian
alkali seperti kappa karaginan. Iota karaginan mengandung beberapa gugusan 6sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat
dihilangkan dengan pemberian alkali. Lambda karaginan berbeda dengan kappa
dan iota karaginan, karena memiliki residu disulfat (1-4) D-galaktosa, sedangkan
kappa dan iota karaginan selalu memiliki gugus 4-fosfat ester (Imeson 2000).
Saat ini jenis karagenan kappa utamanya diperoleh dari rumput laut tropis
Kappaphycus alvarezii. Rumput laut Eucheuma denticulatum atau Eucheuma
spinosum adalah spesies yang menghasilkan jenis karagenan iota. Karagenan
lamda diproduksi dari rumput laut Gigartina dan Condrus (Van de Velde et al.
2002).
Metode ekstraksi
Karaginan umumnya diperoleh dari rumput laut bersih yang diekstraksi
dengan air panas dalam suasana alkali (pH 8-11). Larutan alkali mempunyai dua
fungsi, yaitu membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan mengkatalisis
hilangnya gugus-6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk 3.6anhidrogalaktosa sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikan kekuatan gel
(Towle 1973). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan

11
peningkatan kekuatan gel yang berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi
NaOH atau KOH sebagai bahan ekstraksi. Selain itu juga, penggunaan NaOH atau
KOH sebagai bahan ekstraksi dapat berpengaruh terhadap peningkatan rendemen
dan kualitas karaginan yang dihasilkan (Distantina et al 2009; Yusita dan
Rachmawati 2009).
Volume pelarut yang digunakan dalam ekstraksi sebanyak 30-40 kali bobot
rumput laut (kering). Ekstraksi umumnya dilakukan pada suhu 90-95 oC. Selama
satu hingga beberapa jam. Pemisahan karaginan dari bahan pengekstrak dilakukan
dengan cara penyaringan dan pengendapan. Penyaringan ekstrak karaginan
umumnya menggunakan kain saring dan filter press dalam keadaan panas, yang
dimaksudkan untuk menghindari pembentukan gel (Chapman dan Chapman 1980).
Pengendapan karaginan dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode
gel press, KCl freezing, KCl press atau pengendap dengan etanol. Selain itu,
pengendapan dapat menggunakan isopropil alkohol dengan perbandingan volume
larutan 1.5-2.0 dengan filtrat karaginan (Yunizal et al. 2000). Setelah dilakukan
pengendapan, selanjutnya karaginan basah dikeringkan dengan bantuan cahaya
matahari atau menggunakan oven pada suhu ≥ 60 oC (Distantina et al. 2010).
Penggunaan karaginan
Pada umumnya karaginan digunakan sebagai penstabil, pengental,
pembentuk gel dan sebagai bahan aditif (Distantina et al. 2011). Karaginan juga
berfungsi sebagai pensuspensi, pelindung kaloid, mencegah terjadinya pelepasan
air dan pengikat (flocculating agent) (Anggadiredja et al. 2006).
Standar mutu karaginan
Hingga saat ini, standar kualitas karaginan belum ditetapkan oleh Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Oleh karena itu, baku mutu karaginan masih
menggunakan standar yang ditetapkan oleh Food Agriculture Organization (FAO),
Food Chemicals Codex (FCC) dan European Economic Community (EEC), serta
sesuai permintaan pasar (komersial) pada umumnya seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Standar mutu karaginan
Parameter
Komersial**
FAO*
FCC*
Kadar air (%)
14.34±0.25
≤ 12
≤ 12
Kadar sulfat (%)
≤ 40
≤ 40
Viskositas (cP)
≥5
2
Kekuatan gel (g/cm )
685.50±13.43
Keterangan : * (A/S Kobenhvns Pektifabrik 1978).
** (Yasita dan Rachmawati 2009).

EEC*
≤ 12
≤ 40
-

3 METODE
Metode penelitian yang digunakan berupa percobaan lapangan, dengan
objek penelitian rumput laut Kappaphycus alvarezii strain merah yang diberikan

12
perlakuan kedalaman tanam. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan faktor uji kedalaman tanam.
Ada lima perlakuan kedalaman tanam yang diuji yaitu : 15 cm (K, kontrol); 50 cm
(A); 100 cm (B); 150 cm (C); dan 200 cm (D). Setiap perlakuan diulang sebanyak
empat kali sehingga diperoleh 20 unit percobaan.

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan dilaksanakan mulai bulan Juli hingga September 2012
di perairan Teluk Gerupuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (Lampiran 1). Analisis
parameter kualitas air, rumput laut dan kualitas karaginan dilakukan mulai
Agustus 2012 di Laboratorim Kimia Analitik, Laboratorim Budidaya Perairan
Universitas Mataram (UNRAM), Laboratorium Kesehatan Lingkungan Balai
Budidaya Laut (BBL) Lombok dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB).

Alat dan Bahan
Alat
Peralatan dalam penelitian ini secara umum dibagi menjadi dua, yaitu
peralatan selama di lapangan dan peralatan di laboratorium. Selama di lapangan,
alat yang digunakan adalah seperangkat konstruksi long-line budidaya rumput laut
dan alat ukur kualitas air yang meliputi, DO meter (multitester), pH meter, secchi
disk, lux meter, botol sampel dan current meter. Adapun peralatan yang
digunakan di laboratorium terdiri dari blender, pressure cooker, labu alas bulat,
erlenmeyer, timbangan analitik, oven, waterbath dan heating mantle yang
digunakan dalam proses ekstraksi karaginan. Peralatan yang digunakan dalam
pengamatan kualitas karaginan adalah cawan porselin, desikator, labu alas bulat,
erlenmeyer, gelas piala, oven, viscosimeter dan texture analyzer.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput laut
jenis Kappaphycus alvareziii strain Tembalang merah. Disamping itu, ada juga
bahan-bahan kimia yang digunakan dalam mengukur kandungan pigmen rumput
laut, yaitu aseton 100%, buffer fosfat pH 6.8 dan pasir kuarsa. Bahan yang
digunakan selama proses ekstraksi dan analisis parameter kualitas karaginan, yaitu
akuades, isopropanol, NaOH 4N, NaCl 10%, asam klorida (HCl), barium klorida
(BaCl2) dan barium sulfat (BaSO4).

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang meliputi perlakuan uji dan parameter yang diamati
disajikan secara ringkas dalam Gambar 5.

13

Gambar 5 Skema perlakuan dan kaitannya dengan parameter
pengamatan.
Budidaya Kappaphycus alvarezii
Budidaya K. alvarezii yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode long-line. Metode long-line adalah metode budidaya dengan
menggunakan tali panjang yang dibentangkan pada perairan laut. Unit percobaan
diikat pada tali utama, yaitu di antara pelampung tali ris dengan jarak dua meter.

Tali utama
Pelampung tali ris

Gambar 6 Penempatan unit percobaan sesuai perlakuan
di antara pelampung tali ris.
Persiapan dan penanaman bibit
Bibit rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii strain Tembalang merah
diperoleh dari Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok-Nusa Tenggara Barat. Bibit
disiapkan setelah media tanam berupa long-line telah siap. Hal ini dimaksudkan
agar ketika persiapan bibit usai, bibit rumput laut dapat segera ditanam agar tidak
layu dan mati. Bibit diseleksi kembali agar sesuai dengan kriteria bibit yang
berkualitas baik. Bibit rumput laut yang baik berasal dari tanaman induk yang
sehat, segar dan bebas penyakit. Bibit yang baik juga dapat berasal dari ujung
bibit hingga ± 30 cm ke arah pangkal talus. Ciri-ciri bibit rumput laut K. alvarezii

14
yang baik adalah apabila dipegang terasa elastis, mempunyai cabang yang banyak,
ujungnya berwarna kuning kemerah-merahan, batang tebal dan bebas dari
tanaman yang lain (Indriani dan Sumarsih 2004).
Bibit rumput laut K. alvarezii diikat simpul terbuka pada tali. Pengikatan
dengan simpul terbuka dimaksudkan agar memudahkan ketika panen.
Pemasangan unit percobaan yang dilakukan adalah secara serial dan disusun
secara vertikal sesuai dengan kedalaman perlakuan yang diberikan (15 cm
(kontrol), 50, 100, 150 dan 200 cm). Setiap unit percobaan diletakkan secara acak
pada tali utama dengan jarak tiap unitnya adalah 200 cm dan berat bibit 100 g.
Pengontrolan dan panen
Pengontrolan bertujuan untuk menjaga kondisi bibit yang ditanam tetap
dalam keadaan baik. Pengontrolan dilakukan terhadap unit percobaan yang putus,
konstruksi media tanam berupa tali yang terlepas, pelampung dan keadaan jangkar.
Parameter fisik dan kimia perairan juga diukur pada saat awal penanaman dan
secara berkala, meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas, pH, kecerahan dan lainlain. Setelah dipanen rumput laut dicuci dengan menggunakan air laut, untuk
menghilangkan kotoron yang menempel dan selanjutnya ditimbang untuk
mengetahui bobot basahnya. Rumput laut kemudian dimasukkan ke dalam
kantong plastik untuk selanjutnya dibawa ke tempat penjemuran. Rumput laut
dijemur selama 4-5 hari. Selama penjemuran, rumput laut dijaga agar terhindar
dari air hujan.
Pembuatan tepung karaginan (ekstraksi)
Sampel rumput laut kering sebanyak 40 g dicuci dengan menggunakan air
hingga bersih. Sampel tersebut selanjutnya direndam dengan air tawar selama ±
24 jam. Kemudian diblender hingga halus untuk mempermudah ekstraksi.
Ekstraksi dilakukan dengan merebus sampel menggunakan alat pressure cooker
pada suhu 120 ºC selama 15 menit, dengan perbandingan 1 g sampel (rumput laut
kering) : 30 ml air tawar. Kemudian dilakukan perebusan lagi tanpa tekanan
dengan suhu 90-95ºC selama 2 jam hingga rumput laut membentuk gel. Proses
pemisahan selulosa dilakukan dengan penyaringan menggunakan nylon mesh
ukuran 150 mesh. Filtrat yang diperoleh kemudian diendapkan dengan
menggunakan isopropanol dengan perbandingan 1 : 2. Endapan