Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul

ANALISIS RESIKO PENYEBARAN PENYAKIT
BRUCELLOSIS PADA KAMBING DI RUMAH
POTONG HEWAN (RPH) CITARINGGUL

HENDRO DWI SUGIYANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Resiko
Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH)
Citaringgul adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014
Hendro Dwi Sugiyanto
NIM B04090113

ABSTRAK
HENDRO DWI SUGIYANTO. 2014. Analisis Resiko Penyebaran Penyakit
Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul.
Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan RAMILAH ERLIANI
NASUTION.
Brucella melitensis adalah agen penyebab Brucellosis pada kambing dan
dan bersifat zoonosis. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
mengenai besarnya resiko penyebaran penyakit Brucellosis pada kambing di RPH
Citaringgul. Data diperoleh melalui kegiatan pengamatan lapang dan banyak
sumber data sekunder. Data yang diperoleh disusun menjadi pertanyaan resiko
yang dibagi berdasarkan lokasi pengamatan, yaitu daerah peternakan asal,
penampungan sementara, dan RPH Citaringgul. Penghitungan resiko
menunjukkan bahwa nilai resiko pada penampungan sementara, daerah
peternakan asal, dan RPH Citaringgul adalah 5,00x10-2, 2,79x10-3 and 7,81x10-8.
Nilai tersebut kemudian ditempatkan pada matriks resiko dan menunjukkan
bahwa resiko penyebaran Brucellosis di RPH Citaringgul tergolong dapat

diterima.
Kata kunci: analisis resiko, Brucella melitensis, Brucellosis pada kambing, RPH

ABSTRACT
HENDRO DWI SUGIYANTO. 2014. Risk Analysis of Goat’s Brucellosis at
Citaringgul Abattoir. Supervised by EKO SUGENG PRIBADI and RAMILAH
ERLIANI NASUTION.
Brucella melitensis is causing brucellosis on goats and zoonoses. This study
aims to provide an overview of the risk estimation for goat Brucellosis spreading
probability at Citaringgul Abattoir. Data were obtained through field observations
activities and many secondary data resources. Obtained data compiled into risk
question which divided based on observation area, namely was the origin
husbandry, transit shelter, and Citaringgul Abattoir. The calculated risk showed
that the risk value at transit shelter, origin husbandry and Citaringgul Abattoir are
5,00x10-2, 2,79x10-3 and 7,81x10-8. They were plotted to risk matrix and showed
that risk of Brucella melitensis at Citaringgul Abattoir is acceptable.
Keywords: abattoir, Brucella melitensis, goat brucellosis, risk analysis

ANALISIS RESIKO PENYEBARAN PENYAKIT
BRUCELLOSIS PADA KAMBING DI RUMAH

POTONG HEWAN (RPH) CITARINGGUL

HENDRO DWI SUGIYANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di
Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul
Nama
: Hendro Dwi Sugiyanto
NIM

: B04090113

Disetujui oleh

Dr drh Eko Sugeng Pribadi, MS
Pembimbing I

drh Ramilah E Nasution, MM
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di
Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul
: Hendro Dwi Sugiyanto

Nama
: B04090113
N1M

Disetujui oleh

Dr drh Eko Sugeng Pribadi, MS
Pembimbing I

Tanggal Lulus:

1 U JAN Rq ゥセ@

embimbing II

PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Resiko Penyebaran
Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan Ruminansia Kecil
(RPH-RK) Citaringgul. Penelitian ini bertujuan menganalisis resiko penyebaran

penyakit Brucellosis ke masyarakat dan lingkungan melalui RPH-RK Citaringgul.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang membantu
menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan pada waktu yang tepat.
Dengan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Eko
S Pribadi, MS dan drh Ramilah E Nasution, MM sebagai dosen pembimbing yang
senantiasa memberi saran dan masukan. Dukungan serta motivasi dari tementeman Geochelone terutama Yuliani Indrawati dan teman-teman C2. Serta
kerjasama dari pihak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, serta
UPT Rumah Potong Hewan. Karya ini dipersembahkan untuk keluarga, Ayah
(Sugiyanto), Ibu (Mujilah), Kakak (Tetty Eka Sugiyanto), dan adik (Wisnu Tri
Sugiyanto) penulis.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan
dan kendala yang dihadapi. Namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2014
Hendro Dwi Sugiyanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

6

Waktu dan Tempat


6

Rancangan Penelitian dan Pengambilan Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Fakta Lapangan di RPH Citaringgul

7

Pengenalan Bahaya

9

Penilaian Resiko


9

Konsekuensi Resiko

17

Pengelolaan Resiko

17

Komunikasi Resiko

18

SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan


19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1 Daftar kegiatan yang disusun berdasarkan alur perjalanan kambing dari
tempat asalnya hingga tiba di RPH Citaringgul
2 Pembobotan peluang kejadian berdasarkan munculnya resiko
3 Kajian resiko kegiatan pemotongan kambing dari tempat asalnya
hingga tiba di RPH Citaringgul

11
12
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Peta lokasi RPH Citaringgul
Fasilitas Ruangan Bagian Dalam RPH Citaringgul
Fasilitas RPH Citaringgul Bagian Luar
Penempatan nilai keparahan dari kegiatan pemotongan kambing di RPH
Citaringgul

5
8
9
17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi industri ternak ruminansia kecil, khususnya kambing, di Indonesia
dapat dikatakan cukup diminati pengusaha. Data Ditjennak (2013) menyatakan
pertumbuhan produksi ternak kambing di Jawa Barat memiliki persentase kedua
terbesar setelah Jawa Timur. Peningkatan populasi ternak kambing memiliki
dampak terhadap perkembangan penyakit ternak. Pemerintah berkewajiban
menjamin keamanan pangan asal hewan karena daging, susu, dan produk
olahannya sangat rentan dicemari mikroorganisme patogen yang mengancam
kesehatan manusia dan lingkungan.
Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu infrastruktur yang
dimiliki oleh pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan asal hewan.
Peranan RPH adalah untuk menyediakan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal
kepada masyarakat. Fungsi RPH sebagai sarana untuk melaksanakan pemotongan
hewan secara benar yang sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat
veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama; pemeriksaan kesehatan
antemortem dan postmortem; serta pemantauan dan surveilans penyakit hewan
dan zoonosis sebagai pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit
hewan yang dapat menular ke manusia di daerah asal hewan (Tawaf 2012).
Brucellosis termasuk zoonosis dan kambing merupakan salah satu inang
yang rentan terhadap infeksi oleh bakteri Brucella ovis dan B. melitensis yang
dapat menular ke manusia melalui produk daging dan susu. Kerugian ekonomi
yang ditimbulkan oleh Brucellosis cukup tinggi, sehingga membuat peternak
harus memperhatikan kesehatan ternak untuk mencegah masuknya patogen ke
dalam lingkungan peternakan. Keberadaan RPH membantu dalam pengawasan
dan pencegahan Brucellosis yang bersumber dari suatu peternakan agar Brucella
sp. tidak keluar dan menyebar, hingga dapat menulari hewan maupun manusia.
RPH Pemerintah di wilayah kerja Kabupaten Bogor dibagi menjadi dua
jenis, yaitu RPH hewan besar untuk sapi dan kerbau dan RPH hewan kecil untuk
kambing dan domba. Unit RPH yang melayani pemotongan hewan besar, yaitu
RPH Cibinong, RPH Jonggol, dan RPH Galuga, sedangkan pemotongan hewan
kecil dilakukan di RPH Citaringgul. RPH Citaringgul terletak di Kecamatan
Babakan Madang Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Citaringgul. Ternak yang
dipotong di RPH Citaringgul berasal dari wilayah sekitar Kabupaten Bogor,
seperti Kecamatan Cisarua, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, dan
Kabupaten Garut. Pemasok ternak yang dipotong di RPH Citaringgul kebanyakan
merupakan pedagang sate kiloan (PSK) untuk langsung dipasarkan di kios yang
berada di Kabupaten Bogor.
Penelitian yang dilakukan oleh Yaddi (2008) memperlihatkan bahwa secara
serologik sebagian besar sapi perah yang diperiksa di Kecamatan Cisarua
menderita Brucellosis. Berdasarkan data tersebut, tidak menutup kemungkinan
bahwa kambing yang ada di wilayah Kabupaten Bogor juga dapat tertular
Brucellosis. Analisis resiko terjadinya penyebaran B. melitensis perlu dilakukan
untuk mengetahui peluang terjadinya Brucellosis pada kambing dan faktor yang
paling berperan dalam penyebaran agen di peternakan dan RPH. Hasil analisis

2
resiko penyebaran Brucellosis di RPH Citaringgul dapat digunakan sebagai dasar
dari pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan pengendalian
Brucellosis.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari penelitian ini adalah
(1)Berapa besar peluang terjadinya Brucellosis?
(2)Apa faktor resiko yang dapat berperan dalam penyebaran dan penularan
Brucella sp. dari peternakan ke RPH Citaringgul?
(3)Apa dampak yang ditimbulkan jika Brucellosis dapat masuk dan menyebar di
lingkungan peternakan dan RPH Citaringgul?
(4)Apa pengelolaan resiko yang dapat diterapkan RPH untuk mencegah masuk
dan menyebarnya Brucellosis?
(5)Siapa pihak yang harus mengetahui besarnya resiko terjadinya Brucellosis?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai besarnya resiko
penyebaran penyakit Brucellosis pada kambing di RPH Citaringgul.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai besarnya
resiko dan faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit Brucellosis pada
kambing di RPH Citaringgul.

TINJAUAN PUSTAKA
Todar (2008) mengemukakan bahwa Brucella sp. masuk dalam klasifikasi
sebagai berikut :
Kelas : Alpha Proteobacteria
Ordo
: Rhizobiales
Famili : Brucellaceae
Genus : Brucella
Brucella sp. memiliki enam spesies dengan inang definitif yang berbeda.
Penamaan spesies Brucella tersebut didasarkan pada nama latin dari inang
definitif mereka, yaitu Brucella suis pada babi, B. abortus pada sapi, B. neotomae
dan B. canis pada anjing, B. ovis pada domba, dan B. melitensis pada kambing
(Alton et al. 1988). Acha dan Boris (2003) menyebutkan bahwa dari enam spesies
Brucella tersebut, terdapat lima spesies yang berpotensi menyebabkan penyakit
pada manusia dan hewan, yaitu B. suis pada babi, B. abortus pada sapi, B. ovis
pada domba, B. canis pada anjing, dan B. melitensis pada kambing.
Penyebaran Brucella sp. secara umum terdapat di seluruh dunia, namun di
beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dikategorikan sebagai penyakit

3
endemik (Doganay dan Aygen 2003). Brucellosis pertama kali ditemukan di
Indonesia pada tahun 1935 melalui pemeriksaan serologik di Grati Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur, dan pada tahun 1938 B. abortus berhasil diisolasi.
Kasus Brucellosis sangat beragam antar daerah di Indonesia, tergantung
pada tatalaksana pemeliharaan ternak. Beberapa wilayah di Indonesia telah
dinyatakan bebas Brucellosis oleh Ditkeswan (2004), yaitu Bali, Lombok,
Kalimantan, dan Sumatera bagian tengah (Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan
Sumatera Barat). Menurut Noor (2006), kejadian Brucellosis pada manusia di
Indonesia, jumlahnya belum dapat diketahui secara pasti karena tidak adanya
laporan dari masyarakat yang disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai
Brucellosis yang merupakan penyakit zoonotik. Jumlah Brucellosis dapat
diperkirakan berdasarkan laporan penyakit di negara endemis lain, yaitu berkisar
mulai kurang dari 0.01 sampai lebih dari 200 kasus per 100 000 orang (Merino
1989). Prevalensi Brucellosis pada ternak secara umum mencapai 40% yang
menyebar hampir diseluruh provinsi di Indonesia, sehingga memungkinkan
terjadinya penularan Brucellosis ke manusia (Noor 2006).
Brucellosis dikenal dengan beberapa nama, diantaranya keluron, demam
Malta (Malta fever), undulan fever, Mediteranean fever, Bang's Disease, Crimean
fever, dan Brucellosis. Bakteri yang berasal dari genus Brucella, setiap spesiesnya
memiliki hewan inang yang spesifik, seperti B. ovis pada domba dan B. melitensis
pada kambing. Brucellosis sering terjadi pada hewan domestik (kambing, babi,
sapi, anjing, dll) dan manusia, terutama pada negara berkembang (Renukaradhya
et al. 2002).
Bakteri Brucella sp. bersifat gram negatif, tidak berspora, tidak dapat
bergerak, tidak berkapsul, berbentuk kokobasilus berukuran 0,6–1,5 m dan hidup
pada suhu 20-40 °C. Brucella sp. terbagi menjadi galur kasar dan halus
berdasarkan lipopolisakarida (LPS) yang dapat menentukan tingkat virulensi. LPS
merupakan salah satu komponen dinding sel yang berfungsi sebagai penghambat
kerja bakterisidal di dalam sel makrofag. Galur kasar terdiri atas B. canis,
sedangkan galur halus terdiri atas B. melitensis B. abortus, dan B. suis (Rittig et al.
2003). Galur kasar memiliki tingkat virulensi lebih rendah pada manusia.
Brucella sp. cukup mudah menular akibat daya tahan hidup cukup baik di
luar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan. Brucella sp dapat
betahan hingga beberapa hari pada susu dan beberapa minggu sampai bulan pada
produk olahan susu (Acha dan Boris 2003). Brucella sp. dapat bertahan pada
tanah kering hingga 4 hari, sedangkan pada tanah yang lembab dapat bertahan
hingga 66 hari (CFSPH 2008) dan pada tanah yang becek 151–185 hari (Crawford
et al. 1990). Selain itu, menurut Noor (2006), Brucella sp. juga dapat bertahan
pada air minum ternak selama 5–114 hari dan air limbah selama 30–150 hari
Sudibyo (1995).
Brucellosis dapat menular melalui penetrasi selaput lendir mata, membran
mukosa saluran pernapasan, pencernaan, dan kuku (Hirsh et al. 2004). Penularan
terutama terjadi secara vertikal melalui jaringan plasenta, janin, kolostrum, dan
susu (Quinn et al. 2006). Penularan dapat juga terjadi melalui cairan genital,
semen, darah, dan urin (CFSPH 2008). Brucellosis juga digolongkan sebagai
penyakit akibat pekerjaan (occupational disease). Menurut Alsubaie et al. (2005),
profesi yang memiliki peluang tertular Brucellosis lebih tinggi adalah petugas
RPH, inseminator, dokter hewan, mantri hewan, dan pemerah susu. Kasus

4
penularan Brucellosis tidak hanya dialami oleh orang dengan pekerjaan tersebut,
namun juga dapat dialami oleh konsumen saat menangani atau memakan daging
mentah atau belum matang sempurna dan meminum susu serta produk olahannya
yang tidak dipasteurisasi terlebih dahulu.
Brucellosis Pada Kambing dan Domba
Brucellosis pada kambing dan domba dapat disebabkan oleh B. ovis dan B.
melitensis. Dari kedua jenis agen tersebut hanya B. melitensis yang bersifat
zoonosis (EC 2001). Brucellosis pada kambing dan domba merupakan penyakit
yang penting, baik pada bidang kesehatan masyarakat maupun pada bidang
kesehatan dan produksi hewan. Brucellosis pada kambing telah menyebar luas di
berbagai wilayah di dunia, khususnya daerah Mediteanian, Timur Tengah, Asia
Tengah, dan beberapa daerah di Amerika Latin. Beberapa negara di wilayah
Eropa Timur, Asia Tengah dan Timur Tengah kejadian Brucellosis yang
disebabkan oleh B. melitensis lebih sering terjadi dibandingkan B. abortus (FAO
2010).
B. melitensis merupakan salah satu dari enam spesies yang dapat
menyebabkan Brucellosis pada kambing. B. melitensis ditemukan sebagai bakteri
patogen yang secara khusus menginfeksi kambing dan domba, yang menyebabkan
penurunan fertilitas, penurunan produksi susu, dan keguguran. Bakteri ini bersifat
zoonosis karena mampu menginfeksi manusia. Masa inkubasi dari B. melitensis
terjadi selama 820 hari dan dapat menyebabkan gejala klinis yang terjadi
berbeda-beda. Bentuk akut dari penyakit ini memiliki gejala berupa kelesuan,
sakit kepala, mengeluarkan banyak keringat terutama pada malam hari, dan sakit
pada persendian dan otot. Kejadian Brucellosis terkadang terbatas pada suatu
organ atau sistem saja. Gejala klinis yang paling sering terlihat pada kasus ini
adalah spondylitis, arthtitis peripheral, atau epididymo-orchitis. Gejala berupa
komplikasi antara saraf, hepatosplenik, genitourinari dan kardiovaskular dapat
ditemukan pada infeksi B. melitensis. Brucellosis kronis muncul jika salah satu
atau beberapa gejala yang disebutkan di atas terjadi secara berulang dan terusmenerus hingga enam bulan atau lebih. Brucella dermatitis muncul dalam bentuk
alergi (EC 2001).

RPH Citaringgul
RPH Citaringgul merupakan rumah potong hewan khusus ruminansia kecil
yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bogor. RPH
Citaringgul terletak di Desa Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang Kabupaten
Bogor (Gambar 1). Ternak yang dipotong dipasok oleh pedagang sate kiloan
(PSK) dan karkas langsung dipasarkan di kios-kios yang berada di Kabupaten
Bogor. Ternak yang dipotong berasal dari wilayah sekitar Kabupaten Bogor,
seperti Kecamatan Cisarua, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi dan yang
paling banyak berasal dari Kabupaten Garut.
RPH Citaringgul didirikan pada tahun 2005 dengan tujuan awal mencegah
penyebaran penyakit antraks yang merupakan endemis di daerah Babakan
Madang. Selain itu, pemotongan di RPH Citaringgul saat ini dilaksanakan untuk

5
menjamin keamanan dan kelayakan konsumsi daging, serta mencegah terjadinya
penyebaran penyakit ke lingkungan dan masyarakat sekitar.

Gambar 1. Peta lokasi RPH Citaringgul
Analisis Resiko
Resiko
Resiko adalah hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu
kegiatan, karena dalam setiap kegiatan, pasti ada berbagai ketidakpastian
(uncertainty). Faktor ketidakpastian inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya
resiko pada suatu kegiatan. Resiko selalu berkaitan dengan peluang (probability)
kerugian, terutama yang akan menimbulkan masalah. Menurut Williams dan
Heins (1985), resiko adalah suatu keragaman hasil yang dapat terjadi selama
kondisi tertentu pada periode tertentu. Sedangkan menurut ISO/IEC Guide 73,
resiko dapat didefinisikan sebagai kombinasi probabilitas suatu kejadian dengan
konskuensinya atau dengan akibatnya (Siahaan 2007).
Analisis resiko (risk analysis) merupakan metode analisis yang meliputi
beberapa faktor penilaian seperti karakterisasi, komunikasi, manajemen, dan
kebijakan yang berkaitan dengan resiko tersebut. Secara sederhana, analisis resiko
dapat diartikan sebagai sebuah langkah untuk mengenali satu ancaman dan
kerentanan, kemudian menganalisis dan menyoroti bagaimana dampak-dampak
yang ditimbulkan dapat dihilangkan atau dikurangi. Krutz dan Russel (2003)
memberikan pengertian analisis resiko sebagai proses untuk mengenali resiko
keamanan, menetapkan strategi untuk meredam resiko tersebut, dan identifikasi
area yang membutuhkan pengamanan. Analisis resiko merupakan bagian dari
pengelolaan resiko. Komponen dalam kegiatan analisis resiko meliputi
pengenalan bahaya (hazard identification), penilaian resiko (risk assessment),
pengelolaan resiko (risk management), dan komunikasi resiko (risk
communication) (OIE 2013).
Pengenalan Bahaya
Penentuan bahaya merupakan suatu proses yang secara sistematik dan terus
menerus dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan timbulnya. Menurut
EPA (2012), identifikasi bahaya merupakan suatu proses untuk menentukan
apakah paparan dari sumber cekaman (stres) dapat mengakibatkan peningkatan
kejadian gangguan kesehatan.

6
Penilaian Resiko
Penilaian resiko menilai bagaimana dampak dari suatu keadaan atau
kejadian dapat mengganggu pencapaian dari suatu tujuan. Besarnya dampak dapat
dianalisis dalam dua perspektif, yaitu peluang kejadian (likelihood) dan besaran
dari terjadinya resiko (konsekuensi, consequence). Oleh karena itu besarnya
resiko dari setiap kejadian merupakan perkalian antara peluang dan konsekuensi
(Vose 2008).
Penilaian resiko dapat menggunakan dua metode, yaitu metode kualitatif
dan kuantitatif. Metode kualitatif dinyatakan dengan hubungan antara dampak
yang ditimbulkan oleh suatu bahaya (consequence) dengan kemungkinan kejadian
bahaya di masa yang akan datang (likelihood) dan yang ditampilkan dalam satu
matriks resiko (risk matrix) atau urutan resiko (risk ranking). Indikator bahaya
ditunjukkan dengan istilah kualitatif seperti rendah (low), moderat (moderate),
tinggi (high) dan ekstrim (extreme). Sedangkan likelihood diekspresikan dengan
istilah hampir pasti tidak terjadi (very unlikely), lebih sering tidak terjadi daripada
terjadi (unlikely), bisa terjadi (somewhat likely), lebih sering terjadi daripada tidak
terjadi (likely), dan hampir pasti terjadi (very likely) (Black et al. 2013).
Penilaian resiko kuantitatif dinyatakan dalam bentuk numerik. Metode ini
memerlukan perhitungan dari dua komponen resiko (R), yaitu besarnya potensi
kerugian (L), dan peluang/probabilitas (P) terjadinya kerugian (Vose 2008).
Pengelolaan Resiko
Pengelolaan resiko merupakan proses pengenalan, penilaian dan prioritas
resiko yang diikuti dengan penerapan sumberdaya secara terkoordinasi dan
ekonomis untuk meminimalkan, memantau, dan mengendalikan dampak dari
suatu ketidakpastian (Hubbard 2009). Strategi yang dapat diambil untuk
mengatasi suatu resiko antara lain adalah menghindari resiko, menampung
sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu, mengurangi efek negatif resiko,
dan. memindahkan resiko kepada pihak lain (Dorfman 2007).
Komunikasi Resiko
Komunikasi resiko merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan hasil
dari penilaian resiko dan pengelolaan resiko kepada pihak-pihak terkait seperti
pemerintah, pengusaha peternakan kambing, dan konsumen daging dan produk
sampingan dari kambing.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2013. Penelitian ini dilaksanakan di
peternakan pemasok kambing, penampungan sementara dan RPH Citaringgul
yang berlokasi di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat.

7
Rancangan Penelitian dan Pengambilan Data
Penelitian ini dilakukan dengan dua bentuk kegiatan, yaitu desk study dan
pengamatan lapang. Desk study dilakukan sebelum dan sesudah pengamatan
lapang yang bertujuan untuk merancang segala rencana kegiatan penelitian dan
menelaah data dan informasi yang diperoleh, baik data primer maupun data
sekunder. Selain itu desk study juga dilakukan untuk melakukan penilaian analisis
resiko. Sedangkan pengamatan lapang dilakukan untuk memperoleh data primer
yang diperlukan. Data yang diperlukan untuk penelitian ini terdiri data primer dan
data sekunder.
Data primer
Data primer merupakan data yang didapat langsung di lapangan dengan
mengamati secara langsung tata laksana dan kegiatan yang ada di peternakan asal,
kandang penampungan sementara dan RPH. Dalam penelitian ini data primer
diperoleh dengan dua cara, yaitu :
(1) Pengamatan lapang
Pengamatan lapang dilakukan dengan cara mengunjungi langsung tempat
pengambilan data untuk melakukan pengamatan lokasi, kondisi hewan,
hingga sistem pengolahan limbah.
(2) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap peternak yang datang ke RPH dan petugas
RPH dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui tahapan biosekuriti
yang dilakukan pada peternakan dan RPH tersebut.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari data-data yang ada di Dinas Perikanan dan
Peternakan Kabupaten Bogor serta hasil penelitian yang telah ada sebelumnya.
Data-data ini digunakan sebagai pembanding dan pendukung data primer.
Analisis Resiko
Komponen-komponen dalam melakukan Analisis resiko adalah
(1) Pengenalan Bahaya
(2) Penilaian Resiko
(3) Pengelolaan Resiko
(4) Komunikasi Resiko

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fakta Lapangan di RPH Citaringgul
Kegiatan pemotongan di RPH Citaringgul dilakukan antara pukul
09.0017.00 WIB tergantung kedatangan ternak yang akan dipotong. Pemotongan
ternak biasanya dilakukan oleh 23 orang dengan tugas yang berbeda. Setelah
dipotong, karkas langsung diantar ke pedagang sate kiloan pemilik ternak.
Pedagang yang memotongkan ternaknya di RPH Citaringgul merupakan pedagang

8
sate kiloan yang berada di Kecamatan Babakan Madang. Ternak yang dipotong
sebagian besar berjenis kelamin betina dan telah berumur lebih dari satu tahun.
RPH Citaringgul tertata dengan rapi dan memiliki fasilitas yang memenuhi
persyaratan rumah potong hewan, seperti tempat penurunan ternak,
penyembelihan, penggantungan karkas, pencucian jeroan, dan pengolahan limbah.
Pintu masuk ternak hidup di bangunan RPH Citaringgul dibuat terpisah dari
pintu keluar karkas (Gambar 3b). Namun dalam praktiknya kedua pintu tersebut
tidak selalu digunakan sesuai dengan fungsinya. Ruangan pada RPH Citaringgul
dibagi menjadi daerah bersih dan daerah kotor (Gambar 2c). Daerah kotor
terdapat tempat pemotongan ternak dan pencucian jeroan (Gambar 2a) yang
memiliki saluran pembuangan (Gambar 2d) dan terhubung dengan tempat
pengolahan limbah (Gambar 3a). Daerah bersih merupakan tempat pemotongan
karkas menjadi beberapa bagian sebelum diangkut ke kios pedagang sate kiloan.
Keadaan dalam ruangan daerah RPH Citaringgul lantai yang licin serta sudut
pertemuan antara dinding dengan lantai berbentuk landai (Gambar 2b).
Pelaksanaan prinsip-prinsip higiene dan sanitasi personal maupun ruangan
di RPH Citaringgul sudah baik. Petugas yang menangani karkas berbeda dengan
petugas yang menangani jeroan. Peralatan yang digunakan dalam proses
pemotongan ternak dan penanganan karkas tidak terdapat karat dan dirawat
dengan baik. Kebersihan ruangan pada daerah kotor dan bersih selalu dijaga oleh
petugas dengan cara selalu menyiram dan membersihkan kotoran atau darah yang
ada di lantai maupun dinding.
a

b

c

d

Gambar 2. Fasilitas Ruangan Bagian Dalam RPH Citaringgul

9
a

b

Gambar 3. Fasilitas RPH Citaringgul Bagian Luar
Pengenalan Bahaya
Penularan B. melitensis ke manusia umumnya disebabkan oleh perpindahan
bakteri dari ternak melalui susu kambing terinfeksi yang tidak dipasteurisasi
(Rajashekara et al. 2006). Selain itu, daging yang dimakan mentah atau tidak
masak sempurna juga berpotensi menularkan Brucellosis ke manusia (USDA
2013).
Keberadaan B. melitensis pada jaringan otot tidak mungkin ditemukan
dalam jumlah tinggi. Ginjal, limpa, testis, hati, dan ambing mungkin mengandung
jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan di otot. Penularan Brucellosis melalui
daging tidak akan menimbulkan bahaya yang serius jika dimasak dengan matang.
Pengeringan, pengasapan, dan pengasinan bukan merupakan cara yang dapat
membunuh Brucella sp. pada daging. Brucella sp. juga masih dapat bertahan
hidup dalam pendingin dengan suhu dibawah 0°C (CFSPH 2008). Penanganan
daging dan jeroan yang terinfeksi juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran
ke makanan lain jika tidak dilakukan dengan higienis.
Penilaian Resiko
Pada tahap Penilaian Resiko akan dilakukan penelaahan resiko yang
diperkirakan muncul melalui pembahasan (i) penilaian penglepasan patogen
(release assessment), (ii) penilaian cara pemaparan (exposure assessment), (iii)
pertanyaan resiko (risk question), (iv) perhitungan resiko (risk estimation), dan (v)
penilaian konsekuensi (consequence assessment).
(i) Penilaian cara penglepasan patogen
Brucella melitensis dapat menyebar luas dengan berbagai cara.
Penyebarluasan Brucella melitensis dengan jumlah paling besar adalah melalui
fetus, cairan allantois, leleran vagina, dan plasenta dari ternak yang terinfeksi.
Brucella melitensis akan terus dikeluarkan oleh kambing terinfeksi selama 23
bulan. Penyebaran Brucella juga dapat terjadi melalui sekresi ambing dan semen
(EC 2001).
Brucella melitensis juga dapat ditularkan oleh induk kepada anaknya.
Penularan Brucella melitensis kepada anak dapat terjadi melalui dua cara, yaitu
pada masa kebuntingan dan menyusui. Penularan pada masa kebuntingan terjadi
selama fetus berada dalam uterus induk, tetapi dalam jumlah yang sedikit.

10
Proporsi penularan Brucella melitensis yang paling banyak dari induk kepada
anaknya adalah melalui kolostrum dan susu (EC 2001).
Pencemaran Brucella melitensis dalam jumlah besar ke lingkungan dapat
terjadi melalui abortus, plasenta, feses, dan leleran vagina dari hewan yang
terinfeksi (Cook 1999). Brucella melitensis yang terbawa oleh media tersebut
dapat mencemari air, tanah, dan rumput sehingga dapat beresiko menulari ternak
lain.
(ii) Penilaian cara pemaparan

Penilaian cara pemaparan dilakukan untuk memperkirakan peluang
menyebarnya bakteri B. melitensis dan cara bakteri ini menginfeksi inang lainnya.
Brucella pada umumya dapat menginfeksi inang lain jika bakteri ikut tertelan atau
terhirup baik secara langsung maupun tidak. Penularan Brucellosis juga dapat
terjadi melalui proses perkawinan karena Brucella ditemukan juga di dalam
semen dan saluran genital ternak yang terinfeksi.
.
(iii) Pertanyaan resiko
Beberapa pertanyaan dapat dikembangkan dari tahap-tahap penilaian
penglepasan patogen dan penilaian pemaparan oleh patogen seperti yang tersusun
di bawah ini:
(1) Apakah kambing berasal dari daerah yang belum bebas Brucellosis?
(2) Apakah Kambing yang dijual dari peternakan telah berumur 6–12 bulan atau
berganti gigi?
(3) Apakah kambing yang dijual dari peternakan berjenis kelamin jantan?
(4) Apakah kambing yang ada di peternakan dikembangbiakkan dengan
perkawinan alami?
(5) Apakah kambing betina yang ada di peternakan pernah mengalami abortus?
(6) Apakah dilakukan vaksinasi pada seluruh kambing yang ada di peternakan
dan sekitarnya?
(7) Apakah dari peternakan asal kambing terdapat sistem surveilens untuk
menentukan keberadaan Brucellosis?
(8) Apakah dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap bangkai dan
ternak sakit yang ada di peternakan kambing?
(9) Apakah terdapat surat keterangan kesehatan hewan dari dinas asal kambing?
(10) Apakah ternak yang baru datang ke penampungan dipisahkan dari ternak
yang sudah datang terlebih dahulu?
(11) Apakah ternak berada di penampungan lebih dari lima hari
(12) Apakah sebelum disembelih di RPH terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
antemortem?
(13) Apakah pintu masuk dan keluar di bangunan RPH berbeda?
(14) Apakah daerah kotor dan bersih ditempatkan secara terpisah?
(15) Apakah penanganan terhadap karkas dan jeroan dilakukan oleh petugas
yang berbeda?
(16) Apakah dilakukan pemeriksaan postmortem terhadap karkas oleh pihak
yang berwenang?
(17) Apakah pengelola RPH memperhatikan aspek higiene dan sanitasi fasilitas?
(18) Apakah dilakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan
dari kegiatan pemotongan hewan?

11
(iv) Perhitungan resiko
Dari pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun di atas, maka tahap
selanjutnya adalah menyusun rangkaian kejadian yang sebenarnya terjadi di
lapangan berdasarkan hasil pengamatan seperti terpapar di dalam Tabel 1 berikut
ini.
Tabel 1. Daftar kegiatan yang disusun berdasarkan alur perjalanan kambing dari tempat
asalnya hingga tiba di RPH Citaringgul
Kejadian
(K)
(1)

Uraian kejadian
(2)

Tidak ada
resiko
(3)

Ada resiko

-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



(4)

A. Di area peternakan asal
K1

Apakah kambing berasal dari daerah yang belum bebas
Brucellosis?
K2
Apakah Kambing yang dijual dari peternakan telah
berumur dewasa?
K3
Apakah kambing yang dijual dari peternakan berjenis
kelamin jantan?
K4
Apakah kambing yang ada di peternakan
dikembangbiakkan dengan perkawinan alami?
K5
Apakah kambing betina yang ada di peternakan pernah
mengalami abortus?
K6
Apakah dilakukan vaksinasi pada seluruh kambing yang
ada di peternakan dan sekitarnya?
K7
Apakah dari peternakan asal kambing terdapat sistem
surveilens untuk mendeteksi Brucellosis?
K8
Apakah dilakukan penanganan sesuai tata laksana
terhadap bangkai dan hewan sakit yang ada di
peternakan kambing?
K9
Apakah terdapat Surat Keterangan Kesehatan Hewan
dari dinas asal kambing?
B. Di area penampungan ternak
K10
apakah ternak yang baru datang ke penampungan
dipisahkan dari ternak yang sudah datang terlebih
dahulu?
K11
apakah ternak berada di penampungan lebih dari lima
hari
C. Di area pemotongan RPH Citaringgul
K12
Apakah Sebelum disembelih di RPH terlebih dahulu
dilakukan antemortem (pemeriksaan fisik)?
K13
Apakah Pintu masuk dan keluar kambing sebelum dan
setelah dipotong berbeda?
K14
Apakah Daerah kotor dan bersih ditempatkan secara
terpisah?
K15
Apakah Penanganan terhadap karkas dan jeroan
dilakukan oleh petugas yang berbeda?
K16
Apakah Dilakukan pemeriksaan postmortem terhadap
kambing yang disembelih oleh pihak yang berwenang?
K17
Apakah Higiene dan sanitasi fasilitas serta peralatan
RPH diperhatikan?
K18
Apakah Dilakukan penanganan yang baik terhadap
limbah RPH?

12
Penilaian resiko dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan
kuantitatif berdasarkan asumsi peluang pelepasan dan pemaparan Brucella sp.
seperti yang terpapar di dalam Tabel 3 di bawah ini. Penghitungan peluang juga
dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder.
Tabel 2 Pembobotan peluang kejadian berdasarkan munculnya resiko
Ruang
Lingkup
Tinggi
Moderat
Rendah
Sangat
Rendah
Ekstrim
Rendah
Dapat
Diabaikan

Definisi
Kejadian akan sangat mungkin terjadi
Kejadian akan terjadi dengan
kemungkinan yang sama
Kejadian akan tidak sekiranya terjadi
Kejadian akan secara ekstrim tidak
sekiranya terjadi
Kejadian akan secara ekstrim tidak
sekiranya terjadi
Kejadian akan hampir pasti tidak terjadi

Peluang
Kisaran 0,7 – 1
Kisaran 0,3 – 0,7
Kisaran 0,05 – 0.3
Kisaran 0,001 – 0,05
Kisaran 0,0001 – 0,001
Kisaran 0 – 0,0001

Dengan data sekunder yang ada dan Tabel 2 di atas, maka penetapan nilai
probabilitas terhadap masing-masing kejadian terpapar pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Kajian resiko kegiatan pemotongan kambing dari tempat asalnya hingga tiba di
RPH Citaringgul
Kejadian
(K)
(1)

Uraian kejadian

Probabilitas (P)

(2)

(3)

A. Di area peternakan asal
A.1
Apakah kambing berasal dari daerah yang belum bebas
Brucellosis?
A.2
Apakah Kambing yang dijual dari peternakan telah berumur
dewasa?
A.3
Apakah kambing yang dijual dari peternakan berjenis kelamin
jantan?
A.4
Apakah kambing yang ada di peternakan dikembangbiakkan
dengan perkawinan alami?
A.5
Apakah kambing betina yang ada di peternakan pernah
mengalami abortus?
A.6
Apakah dilakukan vaksinasi pada seluruh kambing yang ada
di peternakan dan sekitarnya?
A.7
Apakah dari peternakan asal kambing terdapat sistem
surveilens untuk mendeteksi Brucellosis?
A.8
Apakah dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap
bangkai dan hewan sakit yang ada di peternakan kambing?
A.9
Apakah terdapat Surat Keterangan Kesehatan Hewan dari
dinas asal kambing?
Perhitungan resiko untuk (A) =
B. Di area penampungan ternak
B.1
Apakah ternak yang baru datang ke penampungan dipisahkan
dari ternak yang sudah datang terlebih dahulu?
B.2
Apakah ternak berada di penampungan lebih dari 5 hari

1,00
0,92
0,73
0,80
0,13
1,00
1,00
0,05
0,80
2,79x10-3

1,0
0,05

13
Perhitungan resiko untuk (B) =
C. Di area pemotongan RPH Citaringgul
C.1
Apakah Sebelum disembelih di RPH terlebih dahulu
dilakukan antemortem (pemeriksaan fisik)?
C.2
Apakah Pintu masuk dan keluar kambing sebelum dan setelah
dipotong berbeda?
C.3
Apakah Daerah kotor dan bersih ditempatkan secara terpisah?
C.4
Apakah Penanganan terhadap karkas dan jeroan dilakukan
oleh petugas yang berbeda?
C.5
Apakah Dilakukan pemeriksaan postmortem terhadap
kambing yang disembelih oleh pihak yang berwenang?
C.6
Apakah Higiene dan sanitasi fasilitas serta peralatan RPH
diperhatikan?
C.7
Apakah Dilakukan penanganan yang baik terhadap limbah
RPH?
Perhitungan resiko untuk (C) =

5x10-2
0,05
0,5
0,5
0,05
0,05
0,05
0,05
7,81x10-8

Berdasarkan data primer maupun sekunder yang telah dikumpulkan, maka
penentuan asumsi peluang dari setiap kejadian terpapar dalam penjelasan di
bawah ini.
A.Di daerah peternakan asal
A.1 Peluang kambing berasal dari daerah yang belum bebas Brucellosis.
Kambing yang dipotong di RPH Citaringgul berasal dari Jawa Barat,
terutama Kabupaten Bogor dan Garut. Daerah ini merupakan daerah
endemik Brucellosis (Ditkeswan 2004). Asumsi peluang (P1) = 1,00
A.2 Peluang kambing yang dijual dari peternakan telah berumur dewasa.
B. melitensis dapat menimbulkan penyakit hanya pada ternak yang sudah
dewasa kelamin/berumur 6–12 bulan, baik jantan maupun betina. Ternak
yang masih muda mungkin saja terinfeksi, namun hanya akan terlacak
reaksi serologik yang lemah dan tidak menunjukkan gejala klinis (EC 2001).
Pengamatan lapang dilakukan selama satu minggu di RPH Citaringgul. Dari
total 72 ekor ternak yang dipotong selama satu minggu pengamatan,
terdapat enam ekor ternak yang masih belum dewasa yang ditandani dengan
gigi yang belum berganti dengan gigi tetap. Asumsi peluang (P2) = 0,92.
A.3 Peluang kambing yang dijual dari peternakan berjenis kelamin betina.
Pada umumnya kerentanan antara ternak jantan dan betina terhadap infeksi
Brucellosis sama. Namun tidak menutup kemungkinan ternak betina yang
dipotong sedang bunting. Pada masa ini bakteri dalam jumlah banyak
terdapat pada saluran genital ternak (EC 2001). Jika ternak dipotong maka
kemungkinan bakteri akan dapat lepas ke lingkungan dan mencemari daging
apabila tidak ditangani dengan baik. Dari total 72 ekor ternak yang dipotong
selama satu minggu pengamatan, terdapat 19 ekor ternak yang berjenis
kelamin jantan . Asumsi peluang (P3) = 0,73.
A.4 Peluang kambing yang ada di peternakan dikembangbiakkan dengan
perkawinan alami.
Brucella dapat hidup dan bertahan pada saluran genital ternak betina serta
semen pada ternak jantan. Sehingga jika salah satu ternak terinfeksi
Brucella, maka akan dapat menulari ternak lainnya dalam perkawinan alami
(USDA 2013). Sebanyak 80% ternak yang ada di peternakan
dikembangbiakan dengan perkawinan alami. Asumsi peluang (P4) = 0,80.

14
A.5 Peluang kambing betina yang ada di peternakan pernah mengalami abortus.
Abortus merupakan salah satu faktor resiko penular Brucellosis dengan
jumlah banyak. Menurut Mustafa et al. (2011), prevalensi kasus abortus
pada kambing adalah sebesar 12,7%. Asumsi peluang (P5) = 0,13
A.6 Peluang tidak adanya vaksinasi pada seluruh kambing yang ada di
peternakan dan sekitarnya.
Vaksin dapat mencegah terjadinya penularan Brucellosis dari ternak
terinfeksi ke ternak yang sehat. Daya perlindungan vaksin terhadap paparan
Brucella adalah sekitar 65% (USDA 2013). Tidak adanya laporan mengenai
kasus brucellosis pada kambing menyebabkan belum dilakukannya upaya
vaksinasi terhadap kambing, baik di wilayah Kabupaten Bogor maupun
Garut. Asumsi peluang (P6) = 1,00.
A.7 Peluang tidak adanya sistem surveilens di peternakan asal kambing untuk
melacak Brucellosis.
Kegiatan surveilens Brucellosis pada kambing belum dilakukan karena
belum ada laporan mengenai kasus ini. Walaupun begitu tidak ada jaminan
bahwa kambing yang ada di peternakan asal bebas dari Brucellosis. Hal ini
membuat surveilens sangat penting dilakukan sehingga dapat dilakukan
pencegahan secara dini. Asumsi peluang (P7) = 1,00
A.8 Peluang tidak dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap bangkai
dan hewan sakit yang ada di peternakan kambing.
Peternak mengetahui dengan baik bahaya penularan penyakit antar ternak.
Hal ini ditunjukkan dengan dilakukannya penguburan terhadap ternak yang
mati dan pemisahan ternak yang sakit dengan ternak yang sehat. Dengan
dilakukannya langkah tersebut maka penularan brucellosis antar ternak akan
tidak sekiranya terjadi. Asumsi peluang (P8) = 0,05.
A.9 Peluang tidak adanya surat keterangan kesehatan hewan dari dinas asal
kambing.
Surat keterangan kesehatan hewan memiliki peran yang sangat penting
untuk memberikan jaminan bahwa hewan tersebut telah diperiksa dan
dinyatakan bebas dari penyakit menular dan dapat digunakan sesuai
peruntukannya. Namun ternak-ternak yang dipotong di RPH tidak disertai
dengan surat keterangan kesehatan hewan. Sehingga tanpa adanya surat
keterangan kesehatan hewan, kemungkinan brucellosis yang ada di daerah
lain dapat masuk ke wilayah Kabupaten Bogor cukup tinggi. Asumsi
peluang (P9) = 0,80.
B. Di area penampungan ternak
B.1 Peluang tidak dipisahnya kandang ternak yang baru datang dengan ternak
yang sudah datang terlebih dahulu
Ternak yang baru datang tidak ditempatkan pada kandang terpisah dengan
ternak yang sudah terlebih dahulu datang. Sehingga memungkinkan
terjadinya penularan penyakit. Asumsi peluang (P1) = 1,00.
B.2 Peluang ternak berada di penampungan lebih dari satu minggu
Ternak berada di penampungan tidak lebih dari lima hari. Hal ini
dikarenakan tujuan adanya penampungan sementara adalah untuk
mengistirahatkan ternak sambil menunggu persedian ternak yang lama habis
dipotong. Karena masa inkubasi Brucellosis berkisar antara 5 hingga 60 hari

15
(CDC 2013), maka kejadian ini sekiranya tidak terjadi.Asumsi peluang (P2)
= 0,05.
C. Di area pemotongan RPH Citaringgul
C.1 Peluang tidak dilakukannya pemeriksaan antemortem pada kambing
sebelum disembelih di RPH
Semua kambing yang akan dipotong di RPH terlebih dahulu diperiksa oleh
dokter hewan, sehingga penularan brucellosis akan sekiranya tidak terjadi.
Asumsi peluang (P1) = 0,05
C.2 Probabilitas tidak diberlakukannya pemisahan pintu masuk dan keluar
kambing sebelum dan setelah dipotong
Terdapat dua pintu berbeda yang digunakan sebagai tempat masuk dan
keluar kambing sebelum dan setelah dipotong. Namun dua pintu tersebut
tidak selalu difungsikan sebagaimana mestinya. Sehingga dapat
diasumsikan bahwa penggunaan kedua pintu sesuai fungsinya sebesar 50%.
Asumsi peluang (P2) R10 = 0,50
C.3 Probabilitas tidak diberlakukannya pemisahan daerah kotor dan bersih
Daerah kotor dan bersih berada di wilayah yang berbeda dan memiliki
dinding pemisah. Namun penggunaan daerah tersebut tidak selalu
difungsikan sebagaimana mestinya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa
penggunaan daerah bersih dan daerah kotor sesuai fungsinya sebesar 50%.
Asumsi peluang (P3) = 0,50
C.4 Probabilitas tidak adanya pemisahan petugas yang menangani karkas dan
jeroan
Petugas yang menangani karkas dan jeroan pada setiap kegiatan
pemotongan dibedakan, sehingga petugas yang menangani karkas tidak
boleh sekaligus menangani jeroan, begitu juga sebaliknya. Asumsi peluang
(P4) = 0,05
C.5 Probabilitas tidak dilakukannya pemeriksaan postmortem terhadap kambing
yang disembelih oleh pihak yang berwenang
Karkas kambing diperiksa terlebih dahulu oleh dokter hewan yang bertugas
di RPH sebelum diedarkan. Dengan adanya langkah ini maka kejadian
penyebaran Brucellosis akan sekiranya tidak terjadi. Asumsi peluang (P5) =
0,05
C.6 Probabilitas tidak diperhatikannya higiene dan sanitasi fasilitas serta
peralatan RPH.
Higiene dan sanitasi di RPH selalu diperhatikan. RPH Citaringgul sudah
memiliki sertifikat NKV tingkat 3, sehingga penyebaran Brucellosis akan
sekiranya tidak terjadi. Asumsi peluang (P6) = 0,05
C.7 Probabilitas tidak dilakukannya penanganan yang baik terhadap limbah
RPH.
Terdapat beberapa tempat penanganan limbah yang berada tepat di sebelah
RPH. Limbah diolah dengan baik sehingga layak untuk dialirkan ke
lingkungan sehingga penyebaran Brcuellosis akan sekiranya tidak terjadi.
Asumsi peluang (P7) = 0,05.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan mengalikan asumsi probabilitas
seperti yang terpapar pada Tabel 3 di atas. Perhitungannya adalah

16
Resiko Penyebaran Brucellosis di peternakan asal
= A.1 x A.2 x A.3 x A.4 x A.5 x A.6 x A.7 x A.8 x A.9
= 1,00 x 0,92 x 0,73 x 0,80 x 0,13 x 1,00 x 1,00 x 0,05 x 0,80
= 2,79x10-3
Resiko Penyebaran Brucellosis di penampungan sementara
= B.1 x B.2
= 1,00 x 0,05
=5,00x10-2
Resiko Penyebaran Brucellosis di RPH Citaringgul.
= C.1 x C.2 x C.3 x C.4 x C.5 x C.6 x C.7
= 0,05 x 0,50 x 0,50 x 0,05 x 0,05 x 0,05 x 0,05
=7,81x10-8
Setelah mendapatkan angka probabilitas pada masing-masing kelompok
kegiatan, maka ditentukan tingkat keparahan (S) dengan cara memasukkan nilai
probabilitas (P) ke dalam rumus. Rumus yang digunakan sesuai dengan
penggunaan nilai probabilitas, nilai paling rendah (PL) atau nilai paling tinggi
(PU). Woodruff (2005) menggunakan nilai batas atas (PU) sebagai toleransi
tertinggi dari nilai resiko atas konsekuensi yang terjadi. Yang digunakannya
adalah satu kejadian dari 1000 peluang kejadian per tahun. Sedangkan batas
toleransi bawahnya adalah satu kejadian dari 1000000 peluang kejadian per tahun.
S = 0,001/PU ; dan
S = 0,000001/PL
(Woodruff 2005)
S Peternakan Asal

S Penampungan Sementara

S RPH Citaringgul

= 0,001/PU
= 0,001/1
= 0,001
= 0,001/PU
= 0,001/1
= 0,001
= 0,001/PU
= 0,001/0,5
= 0,002

Setelah mendapatkan nilai S maka dicarilah matriks resikonya (R) dengan
rumus R = S x P dan menempatkan nilai R tersebut ke dalam grafik matriks resiko
seperti yang terpapar pada Gambar 4 di bawah ini (Woodruff 2005).
R Peternakan Asal

R Penampungan Sementara

=SxP
= 0,001 x 2,79x10-3
= 2,79x10-6
=SxP
= 0,001 x 5x10-2
= 5,00 x 10-5

17
R RPH Citaringgul

=SxP
= 0,002 x 7,81x10-8
= 1,56 x 10-10

Gambar 4. Penempatan nilai keparahan dari kegiatan
pemotongan kambing di RPH Citaringgul
Konsekuensi Resiko
Konsekuensi resiko merupakan gambaran konsekuensi yang terjadi jika
terjadi pemaparan agen patogen (B. melitensis) di RPH. Berdasarkan Tabel 3,
probabilitas resiko penyebaran Brucellosis terbesar berada pada penampungan
sementara dan diikuti oleh peternakan asal dan RPH Citaringgul dengan nilai
masing-masing 5,00x10-2, 2,79x10-3 dan 7,81x10-8.
Setelah dilakukan perhitungan resiko terhadap probabilitas penyebaran
Brucellosis di tiga tempat tersebut, nilai resiko ditempatkan pada matriks seperti
pada Gambar 4. Dari penempatan tersebut didapatkan nilai resiko di ketiga tempat
penelitian. Resiko di peternakan asal tergolong dapat diterima karena peternak
telah mengetahui dan melaksanakan beberapa kegiatan yang dapat mengurangi
penularan penyakit pada ternak seperti penguburan ternak yang mati dan
pemisahan ternak yang sakit dengan yang sehat, sehingga resiko dianggap sebagai
hal yang dapat diabaikan dan masih dapat dikendalikan. Sedangkan resiko di
penampungan sementara tergolong dapat ditoleransi karena tidak dilakukannya
pemisahan antara ternak yang baru datang dengan yang terlebih dahulu datang
dapat meningkatkan resiko penularan penyakit pada ternak, sehingga resiko harus
dikurangi ke tingkat yang wajar dan serendah mungkin. Tingkat resiko di RPH
Citaringgul tergolong dapat diterima karena sebagian besar tata laksana
pemotongan ternak di RPH Citaringgul telah memenuhi syarat, sehingga dengan
dilakukannya pemotongan ternak di RPH Citaringgul menyebabkan resiko
dianggap sebagai hal yang dapat diabaikan dan masih dapat dikendalikan.
Pengelolaan Resiko
Pengelolaan resiko merupakan rangkaian kegiatan untuk mengurangi
tingkat resiko penyebaran bakteri B. melitensis yang terkait dengan kegiatan di
RPH Citaringgul.

18
(i)

Di daerah asal ternak
Brucellosis dalam jumlah besar dikeluarkan oleh ternak terinfeksi melalui
leleran vagina, abortus, plasenta, dan susu (EC 2001). Oleh karena itu dengan
hanya menjual kambing jantan dan betina yang sudah tidak produktif dapat
mengurangi resiko penularan Brucellosis. Vaksinasi dan surveilens juga dapat
dilakukan untuk memastikan keberadaan B. melitensis agar dapat dilakukan upaya
penanganan dini jika hasilnya positif. Selain itu untuk memastikan keamanan dan
kelayakan dari ternak yang akan dipotong perlu selalu disertakannya surat
keterangan kesehatan hewan pada setiap ternak yang akan dikirim ke daerah lain.
(ii)

Di tempat penampungan kambing
Ternak hanya berada pada penampungan sementara dalam waktu relatif
singkat. Hal ini dapat menjadi penting dalam proses penularan penyakit karena
walaupun masa inkubasi Brucellosis berkisar 5–60 hari (CDC 2013; EC 2001).
Oleh karena itu pada penampungan sementara perlu dilakukan pemisahan antara
ternak yang baru datang dengan yang sudah terlebih dahulu datang untuk
mengantisipasi terjadinya penularan Brucellosis.
(iii)

Di RPH Citaringgul
Berdasarkan pengamatan terhadap fisik bangunan yang ada saat ini, RPH
Citaringgul dengan aktifitasnya yang berlangsung sampai saat ini memang sudah
memenuhi ketentuan seperti yang ditetapkan dalam SNI 01-6159-1999 mengenai
Rumah Pemotongan Hewan (BSN 1999). Beberapa aspek di RPH Citaringgul
masih perlu diperhatikan dan ditingkatkan, antara lain pemisahan petugas antara
daerah bersih dan kotor hendaknya lebih diperketat lagi. Pemisahan pintu masuk
dan keluar antara ternak sebelum dan sesudah dipotong juga harus selalu
dilakukan.

Komunikasi Resiko
Komunikasi resiko merupakan kegiatan menyampaikan hasil penilaian
resiko kepada pihak terkait seperti pemerintah, pegusaha peternakan kambing, dan
konsumen daging kambing.
1. Pemerintah
Kejadian Brucellosis pada kambing memang belum pernah dilaporkan di
wilayah Kabupaten Bogor dan bahkan di Indonesia sekalipun. Namun untuk
mencegah terjadinya kasus tersebut, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Bogor perlu melakukan surveilens terhadap Brucellosis pada kambing seperti
yang telah dilakukan pada sapi oleh Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Subang (Rahmawan et al. 2012). Pemeriksaan kesehatan terhadap ternak yang
akan masuk ke wilayah Kabupaten Bogor, khususnya yang menuju RPH
Citaringgul juga perlu dilakukan dan dibuktikan dengan surat keterangan sehat
dari dokter hewan atau dinas terkait daerah asal ternak tersebut.

19
2. Pengusaha Peternakan Kambing
Walaupun resiko penyebaran Brucellosis tergolong dapat diterima, namun
pengusaha peternakan kambing juga hendaknya memperhatikan hal-hal yang
berpengaruh terhadap resiko masuk dan keluarnya Brucella sp. Hal ini
dikarenakan peternakan sangat berperan penting dalam penyediaan ternak yang
sehat dan layak dikonsumsi.
3. Konsumen Daging Kambing
Penularan Brucellosis hampir dapat dipastikan tidak terjadi pada daging
yang t