4. Kebersihan. Banyak orang percaya bahwa akne vulgaris disebabkan oleh kulit yang kotor, padahal jika kita hanya membersihkan saja tidak
akan mengatasinya. Di lain pihak, membersihkan wajah secara berlebihan dengan produk-produk seperti alkohol-based cleanser dan
scrub dapat mengiritasi kulit lebih jauh dan memperparah akne vulgaris. Padahal sebenarnya diperlukan hanya membersihkan wajah
dua kali sehari dengan air dan sabun yang lembut untuk mengurangi minyak yang berlebih dan mengangkat kulit mati. Dari penelitian yang
sudah ada, didapati frekuensi membersihkan wajah berhubungan linier, dimana semakin sering wajah dibersihkan semakin rendah angka
kejadian akne vulgaris Tjekyan, 2009. 5. Penggunaan kosmetik. Bahan-bahan kimia yang ada dalam kosmetik
dapat langsung menyebabkan akne vulgaris. Biasanya kosmetik ini menyebabkan akne dalam bentuk ringan terutama komedo tertutup
dengan beberapa lesi papulopustul di daerah pipi dan dagu. Dari penelitian yang sudah ada, didapati angka kejadian akne vulgaris pada
kelompok yang menggunakan kosmetika mencapai sepuluh kali lipat lebih banyak daripada responden yang tidak menggunakan kosmetik
Tjekyan, 2009.
Kelima faktor risiko tersebut diduga berperan dalam timbulnya akne. Faktor-faktor tersebutlah yang akan diteliti dalam karya tulis ilmiah ini untuk
mengetahui seberapa besar faktor risiko yang didapati ini berpengaruh dalam timbulnya akne di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara agar dapat dilakukan upaya pencegahan dengan menghindari faktor risiko yang dapat diubah.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah faktor risiko terjadinya akne vulgaris di kalangan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2009, 2010 dan 2011?
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko terbesar yang berhubungan dengan terjadinya akne vulgaris di kalangan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara angkatan 2009, 2010 dan 2011.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui persentase faktor risiko akne vulgaris di kalangan
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2009, 2010 dan 2011; mengikut jenis kelamin dan kelompok usia.
2. Untuk mengetahui prevalensi akne vulgaris di kalangan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2009, 2010
dan 2011; mengikut jenis kelamin, usia, kelompok usia, dan lokasi penyebarannya.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Menyajikan data primer mengenai akne vulgaris dan faktor risikonya
di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2009, 2010 dan 2011 sebagai rujukan bagi penelitian
selanjutnya. 2. Memberikan tambahan pengetahuan kepada anak yang memiliki
orangtua dengan riwayat akne agar dapat melakukan pencegahan bila didapatkan faktor keturunan sebagai faktor risiko terbesar pada akne
vulgaris. 3. Memberikan tambahan pengetahuan kepada pembaca bila didapatkan
faktor keseimbagan hormon sebagai faktor risiko terbesar pada akne vulgaris.
4. Memberikan saran untuk menjaga pola makan bila didapatkan faktor makanan sebagai faktor risiko terbesar pada akne vulgaris.
Universitas Sumatera Utara
5. Memberikan saran untuk menjaga kebersihan kulit bila didapatkan faktor kebersihan sebagai faktor risiko terbesar pada akne vulgaris.
6. Memberikan saran untuk membatasi pemakaian kosmetik bila didapatkan faktor kosmetik sebagai faktor risiko terbesar pada akne
vulgaris.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Akne Vulgaris secara Umum 2.1.1.Definisi Akne Vulgaris
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri
Wasitaatmadja, 2008. Walaupun akne bisa sembuh sendiri, sekuelnya bisa berlangsung seumur hidup, dengan pembentukan parut yang berlubang atau
hipertropi Zaenglein, 2008.
Hampir semua orang pernah menderita penyakit ini Wasitaatmadja, 2008. Umumnya insidens terjadi pada sekitar umur 14–17 tahun pada perempuan
dan 16-19 tahun pada laki-laki Wasitaatmadja, 2001. Akne derajat ringan terkadang tampak pada kelahiran, mungkin hasil dari stimulasi androgen, dan
dapat berlanjut pada periode neonatal Zaenglein, 2008. Penyakit ini sering menjadi manifestasi awal pada spekrum pubertas, dan setahun sebelum menarke
pada usia dewasa muda Soter, 1984. Setelah masa remaja kelainan ini berangsung berkurang Wasitaatmadja,
2008. Namun, pada wanita akne dapat menetap sampai dekade 30 atau bahkan lebih Soter, 1984. Meskipun pada pria umumnya akne vulgaris lebih cepat
berkurang, justru gejala yang berat biasanya terjadi pada pria Wasitaatmadja, 2008.
Diketahui pula bahwa ras Oriental Jepang, Cina, Korea lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia Eropa, Amerika, dan
lebih sering terjadi nodulo-kistik pada kulit putih daripada negro Wasitaatmadja, 2008. Pada penelitian, ditemukan bahwa akne lebih berat pada pasien bergenotip
XYY Zaenglein, 2008.
2.1.2. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab akne tidak diketahui, namun ada informasi yang berkaitan dengan patogenesisnya. Ini merupakan penyakit multifaktorial. Pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
mengenai berbagai faktor yang termasuk dalam penyakit ini penting karena penatalaksanaan mungkin ditujukan pada satu atau lebih faktor penyebab ini
Soter, 1984. Diyakini bahwa penyebab akne adalah sekresi berlebihan dari kelenjar sebaseus dengan penyumbatan duktus pilosebaseus dan infeksi bakteri
Pasricha, 2002. Kelenjar sebasea terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di
telapak tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kelenjar ini biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut. Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas,
skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada anak-anak jumlah kelenjar ini sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan
banyak serta mulai berfungsi secara aktif Wasitaatmadja, 2008. Ada empat faktor patogenesis yang diajukan, yaitu perubahan pola
keratinisasi dalam folikel, peningkatan produksi sebum yang menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik, terbentuknya fraksi asam
lemak bebas penyebab terjadinya inflamasi dan kekentalan sebum, dan peningkatan jumlah flora folikel yang berperan dalam kemotaksis inflamasi
Wasitaatmadja, 2001. Akne berkembang dalam folikel sebaseus. Folikel-folikel ini terbuka ke
permukaan dengan lubang folikular berdilatasi besar yang dinamakan pori-pori kulit wajah. Kanal folikular mengandung bahan keratin dan dinding kanal, sebum
dari kelenjar sebaseus, dan bermacam flora mikroba. Semua ini berperan dalam patogenesis penyakit Soter, 1984.
Perubahan awal yang terjadi adalah deskuamasi korneum pada folikel sebaseus yang menyebabkan pembentukan plak Fleischer, 2000. Terjadi
perubahan pola keratinisasi di infrainfundibulum Soter, 1984. Tidak diketahui penyebab hiperproliferasi keratinosit. Namun, ada beberapa faktor yang memicu
hiperproliferasi keratinosit, antara lain: stimulasi androgen, penurunan asam linoleat, dan peningkatan aktivitas interleukin-
1α. Hormon androgen mungkin berperan pada keratinosit folikular dalam menstimulasi terjadinya hiperproliferasi.
Universitas Sumatera Utara
Proliferasi keratinosit folikular juga mungkin diatur oleh asam linoleat. Diketahui bahwa terjadi penurunan asam linoleat pada penderita akne. IL-1 juga berperan
dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit folikular manusia menunjukkan hiperproliferasi dan pambentukan mikrokomedo saat IL-1 ditambahkan,
sedangkan reseptor antagonis IL-1 menghambat pembentukan mikrokomedo Zaenglein, 2008.
Hiperproliferasi epidermal folikular menghasilkan pembentukan lesi primer, yaitu mikrokomedo Zaenglein, 2008. Normalnya, keratinous squamae di
kanal folikular tersusun jarang. Pada lesi awal yang berupa mikrokomedo, bahan keratin menjadi lebih padat. Sel mikrokomedo lebih koheren dan mengandung
bahan amorfik, yang mungkin terbentuk dari lipid selama proses keratinisasi Soter, 1984. Sel ini berlebihan dan melekat sehingga menghasilkan plak di
lubang folikular. Plak ini kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terkumpul di dalam folikel. Konsentrasi yang terbungkus ini menyebabkan
dilatasi folikel rambut atas Zaenglein, 2008. Jika muncul dalam waktu yang lama, plak dapat menjadi komedo Fleischer, 2000. Komedo adalah massa
abnormal keratin dan sebum di dalam lubang folikular yang membesar. Komedo membesar sampai titik dimana paksaan mekanik sederhana mampu
menghancurkan dinding epidermal folikular, membiarkan keratin dan sebum masuk ke korium sebagai benda asing. Ini menghasilkan folikulitis dalam
keparahan yang beragam, mulai dari area eritem sampai lesi papulopustular purulen. Pillsburry, 1960.
Hal kedua yang berperan dalam patogenesis akne adalah produksi sebum yang berlebihan pada kelenjar sebaseus Zaenglein, 2008. Pasien akne biasanya
memiliki kelenjar sebaseus yang lebih besar dan memproduksi lebih banyak sebum daripada orang tanpa akne. Namun, pasien dengan kulit yang sangat kering
juga mungkin bisa memiliki akne Fleischer, 2000. Pada suatu kelompok, didapati pula bahwa pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum
daripada orang normal, dan pasien dengan akne berat memproduksi lebih banyak sebum daripada yang memiliki akne sedang. Namun, ada perbedaan produksi
sebum pada dalam kelompok pasien dengan akne, yang menujukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
penyakit ini tidak hanya berkaitan dengan aktivitas kelenjar sebaseus Soter, 1984.
Trigliserida, yang merupakan komponen pembentuk sebum, berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida diuraikan menjadi asam lemak bebas oleh P.
acnes, flora normal yang terdapat di unit pilosebaseus. Asam lemak bebas ini mengawali kolonisasi P. acnes, menyebabkan inflamasi, dan bisa menjadi
komedogenik. Hormon androgen juga berpengaruh dalam produksi sebum. Sama seperti aksinya di keratinosit infundibular folikular, hormon androgen berikatan
dan mempengaruhi aktivitas sebosit. Pasien akne memiliki tingkat androgen yang lebih tinggi daripada yang tidak menderita akne. 5α-reductase, enzim yang
bertanggung jawab mengubah testosteron menjadi DHT yang poten, memiliki aktivitas paling besar di area yang rentan terjadi akne, seperti wajah, leher, dan
punggung Zaenglein, 2008. Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa sebum berperan dalam
patogenesis penyakit ini, antara lain: sebum itu komedogenik, sebum menyebabkan inflamasi ketika disuntikkan ke dalam kulit, akne muncul pada
masa neonatal ketika kelenjar sebaseus berkembang dengan baik, akne muncul sebagai bagian dari spektrum pubertal pada saat perkembangan kelenjar sebaseus
muncul, dan akne bisa dikontrol dengan estrogen dan x-ray, yang dapat menghambat kelenjar sebaseus Soter, 1984.
Beberapa penelitian menunjukkan sebum dari pasien akne berbeda dari individu normal. Umumnya, tidak ada pola perubahan tetap yang telah diteliti.
Namun, ditunjukkan bahwa ada penurunan yang signifikan pada level asam linoleat dalam sebum. Normalnya, terdapat kurang dari 1 persen asam linoleat di
lipid permukaan kulit. Penurunan jumlah asam lemak esensial ini mungkin terlibat dalam penyakit ini Soter, 1984. Jumlah asam linoleat dapat menjadi normal
setelah penatalaksanaan dengan isotretinoin. Level subnormal asam linoleat dapat menginduksi hiperproliferasi keratinosit folikular dan menyebabkan sitokin pro-
inflamatorik. Diperkirakan juga bahwa jumlah asam linoleat yang dihasilkan pada penderita akne sebenarnya dalam kadar yang normal, tetapi terlarut oleh produksi
sebum yang berlebihan Zaenglein, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, yang berperan dalam patogenesis akne adalah proses inflamasi. Pada saat pertumbuhan bakteri sekunder muncul di komedo, folikular
yang ruptur dapat membiarkan bakteri masuk ke lapisan dermis, menyebabkan perubahan inflamatorik yang lebih parah Pillsbury, 1960. Tipe sel predominan
dalam 24 jam dari rupturnya komedo adalah limfosit. CD4
+
limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebaseus dimana sel CD8
+
ditemukan di perivaskular. Satu atau dua hari setelah ruptur komedo, neutrofil menjadi tipe sel predominan yang
mengelilingi mikrokomedo yang pecah Zaenglein, 2008. Awalnya diperkirakan bahwa inflamasi mengikuti pembentukan komedo,
tetapi ada bukti baru bahwa mungkin inflamasi dermal yang sebenarnya mengawali pembentukan komedo. Biopsi yang diambil dari kulit bebas komedo
dan rentan akne, menunjukkan peningkatan inflamasi dibandingkan kulit normal. Biopsi dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan inflamasi yang bahkan
lebih besar. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut mengenai kejadian ini Zaenglein, 2008.
Elemen terakhir dalam patogenesis akne adalah Propriobacterium acnes, yang juga berperan dalam proses inflamasi Zaenglein, 2008. Organisme
predominan pada flora folikular adalah Propriobacterium acnes. Pada usia 11 sampai 15 tahun, tidak ditemukan P. acnes pada pasien tanpa akne, sedangkan
pada pasien akne ditemukan 114.800 P. acnes per cm
2
. Perbedaan yang serupa ditemukan pada grup usia 16 sampai 20 tahun, tetapi pada individu yang lebih tua
jumlah organisme sama pada pasien dengan atau tanpa akne Soter, 1984. Pasien dengan akne berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi. Antibodi
antipropionibacterium memperparah respon inflamasi dengan cara mengaktifkan komplemen, yang kemudian mengawali kejadian pro-inflamatorik Zaenglein,
2008. P. acnes juga menyebabkan inflamasi dengan merangsang respon
hipersensitifitas tipe lambat dan dengan produksi enzim lipase, protease, hialuronidase, dan faktor kemotaktik. Selain itu, P. acnes diketahui merangsang
upregulation dari sitokin dengan berikatan pada Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel-sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebaseus. Setelah berikatan
Universitas Sumatera Utara
dengan Toll-like receptor 2, sitokin pro-inflamatorik seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan faktor nekrosis tumor-
α dilepaskan Zaenglein, 2008. Walaupun stafilokokus, mikrokokus, dan jamur juga ditemukan di folikel, tidak ada bukti bahwa mereka
berperan dalam proses terjadinya akne Soter, 1984. Keempat elemen dari patogenesis akne tersebut merupakan langkah yang
terjalin dalam pembentukan akne. Bermacam penatalaksanaan akne tertuju pada elemen yang berbeda dalam patogenesis akne. Dengan mengerti mekanisme aksi
pilihan penatalaksanaan dalam merawat akne akan membantu meyakinkan hasil terapeutik yang lebih baik Zaenglein, 2008.
2.1.3. Manifestasi Klinis
Tempat awal predileksi akne adalah wajah, leher, lalu ke punggung, dada, dan bahu. Di tubuh, lesi lebih banyak di dekat garis tengah. Akne merupakan
penyakit yang muncul dengan lesi noninflamatorik dan inflamatorik. Soter, 1984. Lesi berupa komedo terbuka, komedo tertutup, pustul, papul eritematosus,
dan nodul yang lebih dalam Fleischer, 2000. Pada pasien dengan satu tipe lesi yang lebih banyak, pengamatan yang lebih dekat biasanya menunjukkan beberapa
tipe lesi Soter, 1984. Perubahan patologi dasar pada akne adalah penutupan lubang folikular
oleh campuran keratin intrafolikular dan sebum. Ini dengan jelas tampak sebagai komedo Pillsbury, 1960. Komedo merupakan lesi yang inflamatorik. Komedo
tertutup atau whiteheads mungkin sulit untuk dilihat karena muncul sebagai papul yang pucat, naik sedikit, dan kecil, serta biasanya tidak memiliki lubang yang
terlihat secara klinis. Melebarkan kulit adalah cara untuk dapat melihat lesi ini. Karena komedo tertutup adalah prekursor untuk lesi inflamatorik yang besar, ini
penting untuk dipertimbangkan secara klinis Soter, 1984. Komedo terbuka atau blackheads berkembang dari komedo tertutup yang
lubangnya membesar. Komedo terbuka tampak datar atau sedikit naik oleh tekanan folikular tengah Soter, 1984. Warna hitam di atas komedo adalah akibat
dari perubahan kimia pada debris keratin dan bukan kotoran yang melekat Pillsbury, 1960. Walaupun komedo merupakan lesi primer dari akne, mereka
Universitas Sumatera Utara
tidak khas untuk penyakit ini sebab mereka mungkin bisa tampak pada kondisi lainnya, seperti komedo senil yang sering tampak pada area periorbital pada orang
tua Soter, 1984. Lesi inflamatorik pada akne bervariasi mulai dari papul dengan areola
inflamatorik pustul, hingga nodul yang besar, sakit, dan bernanah. Semua lesi ini menunjukkan inflitrat inflamatorik di dermis, dan memiliki patogenesis umum;
penampilannya tergantung pada ukuran dan lokasi infiltrat Soter, 1984.
Gradasi yang menunjukkan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan penatalaksanaan. Ada berbagai pola pembagian gradasi penyakit akne
vulgaris yang dikemukakan Wasitaatmadja, 2001. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia FKUI RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo RSCM membaginya menjadi tiga tingkat, yaitu ringan, sedang, dan berat Wasitaatmadja, 2001.
Terdapat 4 gradasi jerawat menurut Pillsbury 1963, yaitu : 1. Komedo di muka
2. Komedo, papul, pustul, dan peradangan lebih dalam di muka 3. Komedo, papul, pustul, dan peradangan lebih dalam di muka, dada, dan
punggung. 4. Akne konglobata.
Frank 1970: 1. Akne komedonal non-inflamatoar
2. Akne komedonal inflamatoar 3. Akne papular
4. Akne papulo pustular 5. Akne agak berat
6. Akne berat 7. Akne nodulo kistik konglobata
Burke dan Cunliffe 1984: 1. Akne minor yang terdiri atas gradasi ¼, ½, ¾.
2. Akne mayor yang terdiri atas gradasi 1,1 ¼, 1 ½,1 ¾, 2,2 ½, 3, 4, 5, 6, 7.
Universitas Sumatera Utara
Plewig dan Kligman 1975: 1. Komedonal yang terdiri atas gradasi:
a. bila ada kurang dari 10 komedo dari satu sisi muka b. bila ada 10 samapi 24 komedo
c. bila ada 25 sampai 50 komedo d. bila ada lebih dari 50 komedo
2. Papulopustul, yang terdiri atas 4 gradasi: a. bila ada kurang dari 10 lesi papulopustul dari satu sisi muka
b. bila ada 10 sampai 20 lesi papulopustul c. bila ada 21 sampai 30 lesi papulopustul
d. bila ada lebih dari 30 lesi papulopustul 3. Konglobata
2.1.4. Faktor Risiko
Ada banyak faktor yang memicu terjadinya akne Wasitaatmadja, 2001. Faktor yang penting peranannya dalam pembentukan akne adalah keturunan,
keseimbangan hormon, makanan, dan kebersihan. Sauer, 1985. Penggunaan kosmetik yang salah juga merupakan faktor yang memicu terjadinya akne
Wasitaatmadja, 2001. Faktor keturunan dan keseimbangan hormon merupakan faktor tak terkontrol, sedangkan faktor makanan, kebersihan, dan penggunaan
kosmetik merupakan faktor terkontrol. Faktor genetik merupakan penyebab akne yang paling penting. Satu atau
kedua orangtua biasanya terkena akne. Faktor ini muncul sebagai pemicu kelenjar pilosebaseus untuk bereaksi dalam cara yang selektif pada perangsangan hormon
Wilkinson, 1969. Perubahan hormon testosteron dan progesteron pada usia dewasa dapat
mempengaruhi ukuran dan aktivitas kelenjar sebaseus Wilkinson, 1969. Stimulasi androgenik penting baik pada pria maupun wanita karena berhubungan
dengan sekresi kelenjar sebaseus. Pengaruh hormonal lainnya mungkin memainkan peran; wanita sering memiliki eksaserbasi aktivitas akne pada masa
perimenstrual Fleischer, 2000. Hormon androgen berperan dalam keratinosit
Universitas Sumatera Utara
folikular untuk merangsang hiperproliferasi. Dihydrotestosterone DHT merupakan androgen poten yang berperan dalam mekanisme akne. Enzim yang
bertanggung jawab dalam pengubahan dehydroepiandrosterone sulfate menjadi DHT adalah 17β-hydroxysteroi ddehydrogenase dan 5α-reductase. DHT bisa
menstimulasi proliferasi keratinosit Zaenglein, 2008. Selain itu, kelenjar adrenal juga berperan dalam produksi akne; mekanismenya tidak jelas, tetapi akne muncul
pada orang yang dipicu dengan kortikosteroid dosis tinggi. Kecemasan, stres, tekanan emosi, dan kelemahan memiliki efek pasti pada penyebab akne
Wilkinson, 1969. Dalam kondisi stres, terjadi pengeluaran hormon adrenalin dalam tubuh yang merangsang keluarnya zat-zat lain yang pada akhirnya
mempengaruhi aliran darah sehingga muncul gejala-gejala fisik seperti akne vulgaris Perumal, 2011. Emosi berperan pada akne akut, tetapi tidak pada akne
kronik Fleischer, 2000. Peran estrogen pada produksi sebum tidak ditentukan dengan baik. Dosis
estrogen yang dibutuhkan untuk menurunkan produksi sebum lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme yang memungkinkan
peranan estrogen, antara lain: 1 secara langsung melawan efek androgen dalam folikel sebaseus; 2 menghambat produksi androgen dari jaringan gonad melalui
feedback negatif pada pelepasan gonadotropin hipofisis; 3 mengatur gen yang menekan pertumbuhan kelenjar sebaseus dan produksi lipid Zaenglein, 2008.
Makanan umumnya tidak mempengaruhi akne, dengan pengecualian pada coklat dan lemak Wilkinson, 1969. Makanan yang diduga sebagai faktor pemicu
terjadinya akne adalah makanan dengan kadar lemak tinggi, karbohidrat, dan jumlah kalori tinggi. Pengguaan obat tertentu dan minuman keras juga diduga
berperan Wasitaatmadja, 2001. Obat seperti bromida dan ionida memproduksi erupsi akne tanpa blackheads. Isonicotinic acid hydrazide juga memicu erupsi
akne Wilkinson, 1969. Kebersihan sangat penting dalam penatalaksanaan akne Zaenglein, 2008.
Membersihkan wajah dua kali sehari dengan air dan sabun yang lembut dapat mengurangi minyak yang berlebihan dan mengangkat sel kulit mati. Banyak orang
percaya bahwa akne vulgaris disebabkan oleh kulit yang kotor, padahal jika kita
Universitas Sumatera Utara
hanya membersihkan saja tidak akan mengatasinya. Di lain pihak, membersihkan wajah secara berlebihan dengan produk-produk seperti alkohol-based cleanser
dan scrub dapat mengiritasi kulit lebih jauh dan memperparah akne vulgaris. Berdasarkan data hasil penelitian, didapatkan responden yang menderita akne
vulgaris dengan frekuensi membersihkan wajah berhubungan linier dimana makin sering wajah dibersihkan makin rendah angka kejadian akne vulgaris, yang
membersihkan wajah lebih dari 3 kali perhari angka kejadian akne hanya 2 Tjekyan, 2008.
Bahan-bahan kimia yang ada dalam kosmetik dapat langsung menyebabkan akne vulgaris. Biasanya kosmetik ini menyebabkan akne dalam
bentuk ringan terutama komedo tertutup dengan beberapa lesi papulopustul di daerah pipi dan dagu. Dari penelitian yang sudah ada, didapati angka kejadian
akne vulgaris pada kelompok yang menggunakan kosmetika mencapai sepuluh kali lipat lebih banyak daripada responden yang tidak menggunakan kosmetik
Tjekyan, 2009.
2.1.5. Penatalaksanaan
Pemahaman mengenai keempat elemen patogenesis akne penting dalam prinsip terapeutik. Mekanisme aksi penatalaksanaan akne yang paling sering bisa
dikelompokkan dalam kategori berikut ini: 1 perbaiki pola keratinisasi folikular yang berubah; 2 turunkan aktivitas kelenjar sebaseus; 3 turunkan populasi
bakteri folikular, P. acnes; dan 4 menggunakan efek anti-inflamatorik. Penatalaksanaan pasien akne dengan pengetahuan mengenai patogenesis akne dan
mekanisme aksi penatalaksanaan akne yang ada, meyakinkan respon terapeutik yang maksimal. Sering kali, penatalaksanaan multipel digunakan dalam
kombinasi yang melawan banyak faktor dalam patogenesis akne Zaenglein, 2008.
Penatalaksanaan akne vulgaris mencakup tindakan medis dan non medis Julianto, 2005. Pemilihan penatalaksanaan dapat dilakukan berdasarkan derajat
penyakit. Pada tingkat penyakit ringan, penatalaksanaan cukup dilakukan dengan obat tipikal. Pada tingkat penyakit sedang, dapat diberikan penatalaksanaan
Universitas Sumatera Utara
topikal dan sistemik. Pada tingkat penyakit berat, harus diberikan penatalaksanaan topikal dan sistemik Wasitaatmadja, 2001.
Kombinasi dari beberapa cara pengobatan sangat diperlukan, dengan tujuan menemukan sekresi kelenjar sebasea sebosupresi, keratolisis pada intra
infundibulum, mengurangi jumlah jasad renik dengan antibiotika, dan mencegah timbulnya jaringan parut Julianto, 2005.
Penatalaksanaan topikal berupa bahan-bahan yang dapat mengadakan pengelupasan kulit seperti benzoyl peroxide, asam retinoat, dan asam azaleat.
Selain itu, ada pula bahan topikal antibiotika, seperti klindamisin, eritromisin, kloramphenikol, neomisin, dan tetrasiklin. Kadang-kadang, bahan topikal steroid
yang ringan seperti hidrokortison 1 diperlukan untuk mengurangi efek iritasi yang ditimbulkan oleh tretinoin, juga untuk menekan lesi yang bersifat nodulo
kistik dan granulasi. Hanya saja, sebaiknya tidak digunakan lebih dari seminggu, oleh karena efek komedogenik dari kortikosteroid Julianto, 2005.
Antioksidan juga penting dalam pengobatan penyakit kulit. Selain memiliki efek anti inflamasi, antioksidan dapat mencegah oksidasi sebum yang
terbukti komedogenik pada pasien akne. Sodium L- ascorbyl-2-phospate APS merupakan turunan vitamin C stabil dan merupakan antioksidan efektif tinggi.
Dari penelitian didapati bahwa Sodium L- ascorbyl-2-phospate 5 efektif sebagai terapi tunggal dalam pengobatan akne Woolery-lioyd, 2010.
Penatalaksanaan sistemik berupa oral antibiotika, seperti tetrasiklin, doksisiklin, minoksiklin, eritromisin, empisilin, linkomisin, dan klindamisin. Ada
pula terapi hormon dengan menggunakan kortikosteroid, cyproterone acetate, estrogen dan pil kontraseptik. Terapi oral lainnya berupa vitamin A dan tretinoin
Julianto, 2005. Tindakan khusus yang dapat dilakukan adalah ekstraksi komedo, insisi
dan drainase, eksisi, krioterapi, peeling, dan laser. Pengobatan acne scar berupa bowl-shaped atropic scars, dermabrasi pada keloid, injeksi triam cilicone pada
hipertropi, dan sinar laser pada sikatrik Julianto, 2005. Ada pula terapi sinar biru yang telah diteliti keamanan dan efikasinya.
Sinar biru ini menghasilkan intensitas cahaya tinggi dalam kisaran 407 hingga 420
Universitas Sumatera Utara
nm dalam medium daya dalam area yang disinai dari jarak 40-40 mWcm
2
. Panjang sinar ini efisien untuk fotostimulasi dari porfirin, yang disediakan oleh
penelitian in vitro dan in vivo. Penetrasi dari sinar ini kira-kira 1 mm ke dalam kulit, dan ia mencapai P.acne yang di permukaan dalam di dalam salurannya.
Pasien menerima proteksi dengan kacamata renang lensa gelap Speedo selama sesi. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa pengobatan sinar biru seefektif
benzoil peroksida untuk mengurangi jumlah akne derajat II dan III dan memiliki efek samping yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan benzoil peroksida
dalam isolasi. Fakta ini mengkonfirmasi bahwa sinar biru merupakan pilihan pengobatan, khususnya untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap metode
pengobatan Arruda, 2009. Biaya pengobatan yang agak besar harus dipertimbangkan pada
penatalaksanaan akne pada remaja yang belum mampu membiayai sendiri pengobatannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memulai dengan pengobatan
konservatif, baik topikal maupun sistemik. Pengobatan topikal dengan sulfur, resorsin, atau asam salisilat pada akne remaja harus dilakukan dengan penjelasan
yang cukup agar tidak membuat mereka menolak pengobatan akibat efek sampingnya. Pengobatan sistemik dengan menggunakan drug of choice tetrasiklin
akan cukup bermanfaat Wasitaatmadja, 2001. Terapi untuk akne memerlukan waktu yang agak lama, yaitu antara 12
sampai 14 minggu. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan akne diperlukan usaha pencegahan berupa informasi menyeluruh mengenai penyebab, proses
pengobatan, lamanya pengobatan, serta prognosis yang jelas agar pasien, apalagi yang remaja, tidak over estimate terhadap upaya pengobatan yang akan
berlangsung Wasitaatmadja, 2001. Selain itu, kebersihan juga sangat penting dalam penatalaksanaan akne.
Terlalu sering membersihkan atau penggunaan sabun alkalin keras dapat meningkatkan pH kulit dan merusak lapisan lemak kutaneus. Penggunaan
pembersih sintetik dapat membersihkan kulit tanpa mengubah pH kulit normal. Beberapa sabun antibiotik untuk akne yang mengandung agen seperti triclosan
sudah dipasarkan dengan baik. Sabun ini tampaknya menghambat kokus gram
Universitas Sumatera Utara
positif tetapi dapat meningkatkan batang gram negatif, dengan efek akne menjadi berkurang. Sabun kesehatan yang mengandung benzoyl peroxide atau salicylic
acid menawarkan kemudahan penggunaannya dalam bentuk busa dan bagus untuk area yang sulit dicapai seperti punggung. Pendekatan yang bijaksana untuk
pembersihan seharusnya diutamakan. Pembersihan dua kali sehari dengan pembersih yang lembut dan diikuti dengan aplikasi penatalaksanaan akne dapat
dilakukan secara rutin dan dilaksanakan dengan baik Zaenglein, 2008.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
3.2. Definisi Operasional dan Alat Ukur 3.2.1. Definisi Faktor Risiko
Faktor risiko akne vulgaris adalah keturunan, keseimbangan hormon, makanan, kebersihan, dan penggunaan kosmetik. Keturunan dinilai sebagai faktor
risiko jika salah satu orang tua responden menderita akne dan salah satu orang tua memiliki skar akne pada wajahnya. Keseimbangan hormon dinilai sebagai faktor
risiko bila responden menderita akne tiap masa perimenstrual; atau mengalami kecemasan, stres, dan tekanan emosi. Makanan dinilai sebagai faktor risiko bila
responden menderita akne setelah mengkonsumsi cokelat atau lemak; serta akne sembuh bila responden menghindari konsumsi cokelat atau lemak. Kebersihan
dinilai sebagai faktor risiko bila akne berkurang dengan rutin membersihkan wajah; serta bertambah bila responden jarang membersihkan wajah. Penggunaan
kosmetik dinilai sebagai faktor risiko bila responden mengalami kekambuhan akne pada saat penggunaan kosmetik; atau saat mengganti kosmetik dengan merk
lain; atau menggunakan kosmetik yang baru pertama kali dipakai.
3.2.2. Definisi Akne Vulgaris
Akne vulgaris reaksi peradangan di kulit oleh berbagai faktor dan etiologi, yang pernah dialami oleh semua orang, baik pria maupun wanita; dan paling
sering pada usia remaja, tetapi dapat berlanjut pada usia dewasa. Faktor Risiko
-Keturunan -Keseimbangan hormon
-Makanan -Kebersihan
-Penggunaan kosmetik Akne vulgaris pada mahasiswa
Universitas Sumatera Utara
3.2.3. Definisi Mahasiswa
Mahasiswa adalah kumpulan kalangan usia remaja akhir 17 s.d. 20 tahun dan usia dewasa di atas 21 tahun yang sedang menjalani suatu program
pendidikan di suatu institusi.
3.2.4. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dalam bentuk studi deskripsi frekuensi, dengan jumlah pertanyaan sebanyak 26 buah, mencakup prevalensi 2
buah, lokasi penyebaran dan gradasi 10 buah, dan kelima faktor risiko akne vulgaris 14 buah.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk menentukan faktor risiko akne vulgaris terbesar pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara angkatan 2009, 2010 dan 2011. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah studi potong lintang, dimana data
dikumpulkan pada satu waktu tertentu.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih berdasarkan kesesuaian
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Tempat ini memiliki populasi yang cukup besar sehingga dapat mengetahui faktor risiko akne vulgaris. Selain itu,
mahasiswa kedokteran dinilai dapat mengenali akne dengan baik sehingga dapat dijadikan sumber informasi yang akurat.
Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan September sampai Oktober 2012.
4.3. Populasi dan Sampel